Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

LANGKAH AWAL MENUJU RINDU

LANGKAH AWAL MENUJU RINDU

SAME KADE by SAME KADE
March 5, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 18 mins read
LANGKAH AWAL MENUJU RINDU

Daftar Isi

  • BAB 1 AWAL LANGKAH
  • BAB 2  MENAPAKI PERKENALAN
  • Bab 3 Rindu yang Mulai Tumbuh
  • BAB 4 LANGKAH YANG MEMBAWA JARAK
  • Bab 5 Rindu di Balik Waktu
  • BAB 7 MENGUNGKAP RASA

BAB 1 AWAL LANGKAH

Aruna sedang duduk di bangku kayu di taman kota, menatap kanvas putih yang terbentang di hadapannya. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma rumput yang baru saja dipangkas. Ia menggenggam kuas dengan erat, mencoba menangkap inspirasi dari pemandangan di sekitarnya. Langit sore mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi oranye keemasan, menciptakan suasana yang magis.

Taman itu menjadi tempat favorit Aruna sejak ia pindah ke kota ini beberapa bulan yang lalu. Sebagai mahasiswi seni rupa, ia sering mencari ketenangan di tempat ini untuk menggali inspirasi. Namun, sore itu terasa berbeda. Ada kegelisahan yang tak ia pahami, seperti sesuatu yang besar akan terjadi.

Sementara itu, di sisi lain taman, Farel sedang sibuk mengatur kameranya. Ia adalah seorang fotografer lepas yang gemar menangkap keindahan alam dan kehidupan sehari-hari. Kamera adalah sahabat sejatinya, alat yang membantunya berbicara ketika kata-kata tak mampu mengungkapkan perasaannya. Pandangannya tertuju pada seorang gadis yang duduk di bangku taman, dikelilingi peralatan melukis. Ia terpikat oleh ekspresi serius gadis itu, seolah-olah ia tenggelam dalam dunia yang hanya ia sendiri yang tahu.

Klik!

Suara shutter kamera memecah keheningan. Aruna menoleh ke arah sumber suara, matanya bertemu dengan pandangan Farel yang tampak terkejut. “Hei, kamu memotretku?” tanya Aruna, suaranya terdengar lembut tetapi penuh rasa ingin tahu.

Farel, yang tidak menyangka akan ketahuan, segera menggaruk tengkuknya dengan canggung. “Maaf, aku hanya… aku suka ekspresi seriusmu tadi. Itu terlihat sangat alami,” jawabnya.

Aruna mengerutkan kening, tetapi kemudian tersenyum kecil. “Biasanya orang meminta izin dulu sebelum memotret orang lain, tahu?”

Farel tertawa pelan. “Benar juga. Maaf, aku keterusan. Namaku Farel, dan aku seorang fotografer.”

“Aruna,” jawab gadis itu, memperkenalkan dirinya. “Aku seorang pelukis.”

Percakapan sederhana itu menjadi awal dari perkenalan mereka. Setelah beberapa menit berbicara, Aruna mulai merasa nyaman dengan kehadiran Farel. Ia menyadari bahwa pemuda itu memiliki cara berbicara yang tenang, tetapi menyenangkan. Mereka berbicara tentang seni, sesuatu yang menjadi jembatan antara mereka.

Farel, yang biasanya pendiam, merasa ada yang berbeda dengan Aruna. Gadis itu memiliki semangat yang memancar dari caranya berbicara tentang lukisan dan keinginannya untuk mengabadikan emosi di setiap karya seninya. Ia merasa tertarik, tidak hanya pada apa yang dikatakan Aruna, tetapi juga pada cara gadis itu melihat dunia.

“Apa yang sedang kamu lukis?” tanya Farel, mendekati kanvas Aruna.

Aruna menghela napas panjang. “Sebenarnya, aku sedang mencari inspirasi. Aku ingin menangkap suasana taman ini, tapi entah kenapa rasanya ada yang kurang.”

Farel tersenyum, lalu mengarahkan kameranya ke langit yang mulai dipenuhi semburat jingga. “Coba lihat dari sudut ini,” katanya sambil menunjukkan hasil fotonya. “Langit itu seperti berbicara, memberitahu kita bahwa setiap perubahan warna adalah cerita baru.”

Aruna menatap foto itu dengan takjub. Dalam gambar itu, langit terlihat begitu indah, seolah-olah sedang menari. “Wow, kamu hebat,” ucapnya tanpa sadar.

“Kamu juga bisa menangkap keindahan itu dengan caramu sendiri,” balas Farel. “Melalui lukisanmu.”

Percakapan mereka berlanjut hingga matahari tenggelam di ufuk barat. Aruna merasa ada sesuatu yang hangat saat berbicara dengan Farel. Ia tidak pernah merasa senyaman ini dengan seseorang yang baru ia kenal. Di sisi lain, Farel merasa seperti menemukan seseorang yang mampu memahami dirinya tanpa banyak berkata-kata.

Ketika malam mulai menyelimuti taman, Aruna menyadari bahwa ia harus pulang. “Terima kasih untuk obrolannya, Farel. Aku merasa terinspirasi,” katanya sambil membereskan alat-alat melukisnya.

“Sama-sama,” balas Farel. “Kalau begitu, sampai bertemu lagi di sini?”

Aruna tersenyum. “Mungkin.”

Farel memperhatikan Aruna pergi, langkahnya ringan tetapi meninggalkan jejak yang sulit ia lupakan. Ia merasa bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan semata. Ada sesuatu dalam diri Aruna yang membuatnya ingin mengenal gadis itu lebih dalam.

Di perjalanan pulang, Aruna tidak bisa berhenti memikirkan pertemuan mereka. Senyuman Farel dan cara pemuda itu melihat dunia begitu berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui. Ia bertanya-tanya apakah ini hanya pertemuan biasa, ataukah langkah awal menuju sesuatu yang lebih berarti.

Sementara itu, di rumahnya, Farel membuka hasil foto yang ia ambil sore itu. Salah satu foto Aruna tampak begitu memikat, dengan latar belakang langit senja yang indah. Ia menyimpan foto itu, merasa bahwa kenangan tentang sore ini akan selalu ia ingat.

Pertemuan pertama mereka memang sederhana, tetapi di dalamnya tersimpan awal dari perjalanan panjang yang penuh makna. Sebuah langkah kecil menuju rindu yang mungkin akan tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar.*

BAB 2  MENAPAKI PERKENALAN

Sinar matahari sore menembus celah-celah pepohonan di taman kota, menciptakan bayangan yang menari di atas jalan setapak. Di sudut taman, Arini duduk di bangku kayu sambil memegang buku sketsanya. Jari-jarinya dengan lincah menggoreskan pensil, membentuk garis-garis halus yang perlahan menyerupai pemandangan di depannya—sebuah air mancur kecil yang dikelilingi bunga warna-warni. Ia kehilangan rasa waktu saat sedang menggambar, tenggelam dalam dunia yang ia ciptakan sendiri.

Di sisi lain taman, Farel sibuk dengan kameranya. Ia baru saja kembali dari sesi fotografi untuk proyek majalah kampus. Saat melewati area air mancur, matanya tertumbuk pada sosok Arini yang sedang asyik menggambar. Ia sempat berhenti sejenak, tertarik pada keseriusan gadis itu. Matahari yang hampir tenggelam memantulkan cahaya ke rambut Arini, menciptakan pemandangan yang menurut Farel layak diabadikan. Tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan kameranya ke arah Arini.

“Klik!” Suara jepretan kamera terdengar cukup keras, membuat Arini menoleh dengan cepat.

“Heh! Apa yang kamu lakukan?” tanya Arini dengan nada terkejut.

Farel yang merasa tertangkap basah langsung menurunkan kameranya dan tersenyum canggung. “Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Cahaya sore ini… terlihat sangat indah saat jatuh di rambutmu. Aku cuma—”

“Jadi kamu sembarangan memotret orang tanpa izin?” potong Arini, matanya memicing curiga.

Farel mengangkat kedua tangannya, mencoba menjelaskan. “Aku nggak bermaksud kasar. Aku cuma merasa pemandangannya menarik, dan kamu… kamu terlihat fokus sekali dengan gambarmu. Aku pikir itu momen yang bagus.”

Arini menghela napas. Meskipun merasa kesal, ia tak bisa mengabaikan nada jujur di suara Farel. “Baiklah. Tapi lain kali, minta izin dulu kalau mau memotret orang, ya.”

Farel mengangguk cepat. “Tentu. Maaf sekali lagi.”

Setelah jeda sejenak, Farel melihat ke arah sketsa yang ada di pangkuan Arini. “Kamu menggambar air mancur ini? Bagus sekali.”

Arini melirik sketsanya, lalu menatap Farel dengan ekspresi datar. “Terima kasih. Tapi aku masih belum selesai.”

Farel tersenyum kecil. “Kalau begitu, jangan biarkan aku mengganggu. Aku pergi dulu.”

Namun, sebelum ia melangkah pergi, Arini tiba-tiba merasa ada sesuatu yang menarik dari pria itu. Cara dia berbicara, sikap sopannya, dan tentu saja, kamera yang menggantung di lehernya. Tanpa sadar, ia berkata, “Tunggu.”

Farel berhenti dan menoleh. “Ya?”

“Kamu fotografer?” tanya Arini, menunjuk kamera di tangan Farel.

“Iya. Aku suka memotret sebagai hobi, tapi aku juga sering ikut proyek kampus,” jawabnya.

Arini tersenyum tipis. “Aku juga suka seni. Mungkin itu sebabnya aku lumayan kesal tadi. Tapi, kalau dipikir-pikir, aku penasaran juga seperti apa fotonya.”

Farel tersenyum lega. Ia membuka layar kameranya dan memperlihatkan hasil jepretannya. “Ini dia.”

Arini melihat hasil fotonya dan terkejut. Foto itu menangkap dirinya dalam momen yang benar-benar alami. Ia tampak tenang, dengan senyum kecil yang tak ia sadari muncul di wajahnya saat menggambar.

“Ini… bagus sekali,” gumam Arini.

“Terima kasih,” kata Farel. “Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa ada sesuatu yang spesial dalam cara kamu menggambar. Seolah-olah kamu benar-benar larut dalam dunia yang kamu ciptakan.”

Arini merasa pipinya memerah. Jarang sekali orang memuji dirinya seperti itu. Biasanya, orang-orang hanya melihat hasil akhirnya, bukan prosesnya.

“Terima kasih juga. Aku nggak tahu kalau seseorang bisa melihat itu dariku,” jawabnya dengan suara pelan.

Sejak saat itu, percakapan antara Arini dan Farel mulai mengalir lebih alami. Mereka berbicara tentang seni, fotografi, dan hal-hal kecil yang mereka sukai. Farel bercerita tentang bagaimana ia mulai tertarik pada fotografi saat masih kecil, sementara Arini menceritakan bahwa menggambar adalah caranya untuk melarikan diri dari dunia nyata.

Tak terasa, senja mulai berubah menjadi malam. Lampu taman menyala, menciptakan suasana hangat.

“Aku rasa aku harus pulang,” kata Arini, menutup buku sketsanya.

Farel mengangguk. “Aku juga. Senang bertemu denganmu, Arini.”

Arini tertegun. “Tunggu, aku belum bilang namaku.”

Farel tersenyum misterius. “Ada nama di sudut sketsamu.”

Arini tertawa kecil. Ia lupa kalau selalu menuliskan namanya di setiap halaman sketsa. “Kamu pintar juga, ya.”

Farel mengulurkan tangan. “Aku Farel, kalau kamu ingin tahu namaku.”

Arini menyambut uluran tangan itu dengan senyum. “Senang bertemu denganmu, Farel.”

Sejak pertemuan itu, keduanya sering bertemu secara kebetulan di taman atau di kafe dekat kampus. Percakapan kecil mereka mulai berubah menjadi diskusi panjang tentang mimpi dan kehidupan. Meskipun belum ada perasaan yang jelas terungkap, ada sesuatu di antara mereka yang mulai tumbuh—sebuah kenyamanan yang tidak mereka temukan di tempat lain.

Namun, di balik semua itu, Arini mulai menyadari satu hal: setiap kali ia tidak melihat Farel, ada rasa rindu yang perlahan muncul, meskipun ia belum benar-benar memahami apa artinya. Sementara itu, Farel, yang biasanya tertutup, mulai membuka dirinya sedikit demi sedikit, merasakan bahwa kehadiran Arini memberikan warna baru dalam hidupnya.

Langkah kecil mereka menuju perkenalan kini menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar, meskipun mereka belum sepenuhnya menyadarinya. Di taman yang sama, di bawah langit yang sama, kisah mereka baru saja dimulai.*

Bab 3 Rindu yang Mulai Tumbuh

Hari itu langit tampak cerah, tetapi Aruna merasa kosong. Di tengah kebisingan taman kota, tempat biasa ia melukis, pikirannya terus saja melayang pada sosok Farel. Sudah seminggu sejak mereka terakhir bertemu. Waktu terasa melambat setiap kali mereka tidak menghabiskan waktu bersama, meskipun sebenarnya ia tahu ini bukanlah kali pertama mereka berjauhan.

Aruna mencoba mengalihkan pikirannya dengan fokus pada lukisannya. Di kanvas, ia sedang mencoba menggambarkan siluet pohon besar yang menjulang tinggi di tengah hamparan padang rumput. Namun, setiap sapuan kuasnya seolah kehilangan arah. Padahal biasanya, melukis adalah pelariannya—tempat ia merasa bebas dan tenang.

“Kenapa sih pikiranku jadi begini?” gumam Aruna, sambil menghela napas panjang.

Ia teringat pada hari-hari menyenangkan bersama Farel. Mereka sering bertemu di tempat ini, berbincang tentang hal-hal kecil, dan terkadang hanya diam menikmati pemandangan. Aruna mengingat senyum Farel yang hangat, tatapan mata yang selalu penuh makna, dan caranya menyemangati Aruna saat ia kehilangan percaya diri.

“Aruna, kamu selalu bisa lihat dunia dengan cara yang orang lain nggak bisa. Jangan pernah berhenti melukis,” kata Farel suatu ketika, saat melihat karya pertama Aruna dipamerkan di kampus. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.

Sementara itu, di sisi lain kota, Farel sedang berdiri di atas jembatan kecil sambil memegang kameranya. Ia berusaha menangkap pantulan cahaya matahari yang memantul di atas air sungai. Namun, pikirannya terus saja kembali pada Aruna. Setiap kali ia melihat sesuatu yang indah, ia selalu ingin berbagi momen itu dengan Aruna.

“Apa dia juga sedang memikirkan aku sekarang?” pikir Farel sambil tersenyum kecil.

Selama beberapa minggu terakhir, Farel mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Sebelumnya, ia selalu merasa nyaman berada di dekat Aruna sebagai seorang teman. Tetapi sekarang, ada rasa cemas setiap kali ia tidak bertemu dengannya. Setiap kali ponselnya berbunyi, ia berharap itu adalah pesan dari Aruna.

Ia masih ingat ketika terakhir kali mereka bertemu di taman kota. Saat itu, Aruna tampak ceria, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Farel merasa ingin melindunginya. Ia ingin lebih dari sekadar menjadi teman bagi Aruna, tetapi rasa takut menghalanginya.

“Kalau aku bilang perasaanku, apa dia akan menjauh?” pikir Farel sambil merapikan kamera di tangannya.

Ketika senja mulai menyelimuti kota, Aruna memutuskan untuk pulang. Namun, langkahnya terasa berat. Setiap sudut jalan yang ia lewati mengingatkannya pada momen bersama Farel—momen sederhana yang entah kenapa kini terasa istimewa.

Saat sampai di rumah, ia memutuskan untuk mengirim pesan pada Farel. Jemarinya ragu-ragu di atas layar ponsel. “Aku harus bilang apa ya? Jangan sampai kelihatan kalau aku kangen,” gumamnya pelan. Setelah beberapa saat, ia mengetik pesan sederhana:

**Aruna:** “Hai, gimana harimu hari ini?”

Beberapa menit berlalu tanpa balasan, membuat Aruna gelisah. Namun, saat ia hampir meletakkan ponselnya, layar ponsel menyala.

**Farel:** “Lagi mikirin sesuatu, tapi jadi lebih baik karena kamu nanya. Kamu sendiri gimana?”

Membaca balasan itu, Aruna tersenyum kecil. Ada sesuatu dalam kata-kata Farel yang selalu membuatnya merasa dihargai.

**Aruna:** “Hari ini cukup sibuk, tapi rasanya ada yang kurang.”

Farel membaca pesan itu sambil tersenyum. Ia tahu maksud Aruna, tetapi ia tidak ingin langsung menebak-nebak.

**Farel:** “Kurang apa?”

Aruna terdiam sejenak. Ia tidak ingin terlalu terbuka, tetapi perasaannya sudah sulit untuk disembunyikan.

**Aruna:** “Kurang ngobrol sama kamu.”

Balasan itu membuat Farel terdiam. Ia merasakan dadanya menghangat. Ini adalah pertama kalinya Aruna menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian sebagai teman.

**Farel:** “Aku juga merasa begitu.”

Percakapan sederhana itu berlanjut hingga malam. Mereka saling berbagi cerita, dari hal-hal kecil yang mereka alami hingga rencana-rencana yang ingin mereka wujudkan. Meski hanya melalui pesan, Aruna merasa lebih dekat dengan Farel.

Ketika akhirnya percakapan itu selesai, Aruna tersenyum puas. Ia meletakkan ponselnya di meja dan menatap kanvas yang tadi ia tinggalkan. Tanpa disadari, ia mulai melukis lagi. Kali ini, sapuan kuasnya lebih yakin. Ia menambahkan siluet seorang pria di bawah pohon besar, membawa kamera di tangan.

Sementara itu, Farel memandangi ponselnya sambil tersenyum kecil. Ia tahu bahwa perasaan yang selama ini ia coba abaikan tidak bisa lagi ia sembunyikan. Rindu itu nyata, dan ia tahu Aruna merasakannya juga.

Malam itu, meskipun mereka terpisah oleh jarak, hati mereka semakin dekat. Mereka belum sepenuhnya menyadari bahwa cinta pertama itu perlahan mulai tumbuh, seperti benih kecil yang mulai mencari cahaya. Apa yang mereka rasakan bukan sekadar rindu, melainkan langkah awal menuju kisah yang lebih dalam.

Dan di tengah kesunyian malam, di hati masing-masing, sebuah keyakinan perlahan muncul. Bahwa perasaan ini adalah sesuatu yang layak untuk diperjuangkan, meskipun mereka belum tahu bagaimana cara melakukannya.*

BAB 4 LANGKAH YANG MEMBAWA JARAK

Hari itu, matahari bersinar terik di langit kota. Aruna duduk di bawah pohon rindang di taman kota, tempat yang biasa ia kunjungi bersama Farel. Sambil menatap kanvas kosong di depannya, pikirannya melayang pada percakapan yang baru saja terjadi pagi tadi. Farel, dengan suara pelan namun mantap, memberitahu Aruna bahwa ia menerima tawaran pekerjaan sebagai fotografer di luar kota.

“Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa kamu di sini,” bisik Aruna, lebih pada dirinya sendiri. Hatinya bergejolak antara mendukung mimpi Farel atau mengungkapkan ketakutannya akan kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya.

Sementara itu, Farel berdiri di depan kamar gelap kecilnya, menatap foto-foto yang baru selesai dicetak. Foto-foto itu adalah potret Aruna yang diambilnya secara diam-diam di berbagai kesempatan: ketika ia melukis di taman, saat tertawa bersama teman-teman, atau sekadar termenung menatap langit. Bagi Farel, foto-foto itu adalah caranya menyimpan kenangan yang tak akan pernah ia lupakan.

Namun, keputusan untuk menerima pekerjaan itu bukanlah hal yang mudah baginya. “Aku ingin tinggal,” pikirnya. Tapi, kesempatan untuk bekerja di salah satu studio fotografi terbaik di luar kota adalah impiannya sejak lama. Ia tidak ingin mengecewakan dirinya sendiri, apalagi Aruna, yang selalu mendukung setiap langkahnya.

Ketika sore menjelang, mereka memutuskan untuk bertemu. Tempat pertemuan mereka selalu sama—taman kota di dekat pohon besar yang menjadi saksi banyak cerita mereka. Farel sudah duduk di bangku panjang dengan kamera di tangannya saat Aruna tiba. Wajahnya terlihat gelisah, namun senyuman kecil tetap menghiasi bibirnya.

“Kamu sudah lama di sini?” tanya Aruna sambil mengambil tempat di sebelah Farel.

“Baru saja,” jawab Farel sambil mengalihkan pandangan dari kameranya ke Aruna. “Kamu baik-baik saja?”

Aruna mengangguk, meski sebenarnya hatinya tidak benar-benar yakin. Ia ingin menunjukkan bahwa ia mendukung Farel, meskipun ada perasaan kosong yang mulai merayap di hatinya.

“Aku sudah memutuskan,” kata Farel akhirnya, memecah keheningan. “Aku akan mengambil pekerjaan itu. Tapi aku janji, aku tidak akan melupakan kita.”

Aruna mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. “Aku tahu. Aku tahu kamu tidak akan melupakan kita, tapi itu tidak membuat ini lebih mudah.”

Farel menunduk, merasa berat mendengar nada sedih dalam suara Aruna. “Aku juga takut, Aruna. Tapi aku pikir, ini adalah langkah yang harus aku ambil. Aku ingin kita berdua tetap mendukung mimpi kita masing-masing.”

Aruna terdiam. Kata-kata Farel terdengar benar, tapi hatinya masih bergejolak. Bagaimana jika jarak membuat mereka semakin jauh? Bagaimana jika perasaan ini memudar seiring berjalannya waktu?

“Kamu tahu, aku selalu mendukung kamu, Farel,” kata Aruna akhirnya, mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa perih. “Aku hanya… aku hanya takut kehilangan kamu.”

Farel menatap mata Aruna dalam-dalam. “Kamu tidak akan kehilangan aku, Aruna. Aku akan selalu ada untukmu, walaupun tidak secara fisik. Kita masih bisa saling berbicara, saling berbagi cerita. Aku tidak akan membiarkan jarak ini memisahkan kita.”

Aruna menarik napas panjang, mencoba menyerap kata-kata Farel. “Aku percaya kamu,” ujarnya akhirnya. “Tapi tolong, jangan biarkan waktu mengubah kita.”

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan persiapan keberangkatan Farel. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, mencoba menciptakan sebanyak mungkin kenangan sebelum jarak memisahkan mereka. Farel bahkan memberi Aruna sebuah buku kecil, tempat ia menuliskan pesan-pesan dan kenangan indah mereka. Di halaman terakhir, ia menulis:

*”Aruna, meskipun kita terpisah oleh jarak, hatiku selalu bersamamu. Jangan pernah ragu untuk menghubungiku, apa pun yang terjadi. Kita akan baik-baik saja, karena aku percaya pada cinta kita.”*

Ketika hari keberangkatan tiba, Aruna mengantar Farel ke stasiun kereta. Suasana terasa berat, tetapi mereka berusaha tetap tersenyum. “Ingat,” kata Farel sambil mengenggam tangan Aruna, “ini bukan perpisahan, hanya jeda sementara.”

Aruna mengangguk, berusaha menyembunyikan tangisnya. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara bergetar. “Aku akan menunggu kamu kembali.”

Kereta perlahan mulai bergerak. Aruna berdiri di peron, melambaikan tangan dengan air mata yang akhirnya tak terbendung. Ia melihat Farel yang juga melambaikan tangan dari jendela, wajahnya dipenuhi kepercayaan diri, tetapi matanya menyiratkan kesedihan yang sama.

Ketika kereta menghilang di kejauhan, Aruna berdiri terpaku. Hari itu, ia merasa kehilangan sebagian dirinya. Namun, ia juga sadar bahwa cinta sejati tidak hanya tentang bersama-sama, tetapi juga tentang mendukung langkah masing-masing, meskipun harus berhadapan dengan jarak.

Aruna memegang erat buku kecil yang diberikan Farel, seolah-olah itu adalah jembatan di antara mereka. Di dalam hatinya, ia berjanji untuk menjaga cinta itu tetap hidup, apa pun yang terjadi.

“Langkah ini mungkin membawa jarak,” pikirnya, “tapi aku percaya, jarak ini akan membawa kita lebih dekat pada rindu yang tak tergantikan.”*

Bab 5 Rindu di Balik Waktu

Aruna duduk di depan jendela kamarnya, memandangi hujan yang turun dengan lembut di luar sana. Suara tetesan hujan mengiringi hatinya yang terusik oleh rasa rindu. Sudah tiga bulan sejak Farel pergi ke luar kota untuk mengejar mimpi sebagai fotografer profesional. Awalnya, mereka sering berkomunikasi melalui telepon dan pesan singkat. Namun, seiring waktu, kesibukan masing-masing mulai menjadi penghalang.

Aruna menghela napas panjang, lalu membuka kotak kecil di atas meja. Di dalamnya, tersimpan sebuah foto hasil jepretan Farel yang ia berikan sebelum pergi. Foto itu memperlihatkan pantulan cahaya senja di permukaan danau, dengan bayangan pohon-pohon yang terlihat seperti lukisan. Bagi Aruna, foto itu adalah pengingat betapa indahnya momen-momen kecil yang mereka habiskan bersama.

Namun, semakin lama, foto itu justru membuatnya merasakan kehampaan. Ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran rindu yang tak berujung. Setiap kali mencoba melupakan rasa rindunya, bayangan senyuman Farel muncul di pikirannya.

**“Aku harus melakukan sesuatu,”** gumam Aruna pada dirinya sendiri. Ia kemudian memutuskan untuk melukis sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Kanvas putih di depannya menjadi media untuk menyalurkan perasaannya. Namun, setiap goresan kuasnya selalu mengarah pada kenangan bersama Farel. Seolah-olah hatinya menolak untuk melupakan.

Sementara itu, di kota lain, Farel sedang sibuk dengan pekerjaannya. Kamera di tangannya menjadi sahabat sejati yang selalu menemani perjalanannya. Ia menghadiri berbagai pameran dan mendapatkan banyak pengalaman baru. Tapi, di tengah semua kesibukan itu, ada sesuatu yang selalu mengganggu pikirannya—Aruna.

Farel membuka galeri fotonya di laptop dan melihat foto Aruna yang diam-diam pernah ia ambil. Foto itu memperlihatkan Aruna yang sedang melukis di taman kota, dengan mata yang penuh semangat dan senyuman kecil di wajahnya. Melihat foto itu membuat Farel menyadari betapa besar rasa rindunya.

**“Aku harus bicara dengannya,”** pikir Farel. Namun, ketika ia membuka ponselnya, ia ragu. Bagaimana jika Aruna merasa marah karena ia terlalu sibuk? Bagaimana jika jarak ini telah mengubah segalanya?

Hari-hari berlalu, dan Aruna mulai mencoba berdamai dengan rasa rindunya. Ia menghadiri pameran seni di galeri kecil dekat kampusnya, berharap mendapatkan inspirasi baru. Saat ia berjalan menyusuri ruangan, matanya terpaku pada sebuah foto yang dipajang di salah satu dinding.

Foto itu adalah salah satu karya Farel. Ia mengenali gaya fotografi itu dengan mudah—sudut pandang yang unik, permainan cahaya yang sempurna, dan emosi yang terpancar dari setiap detailnya.

**“Dia berhasil,”** gumam Aruna dengan senyuman kecil. Meski rasa rindunya semakin kuat, ia merasa bangga pada Farel.

Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Farel.

**“Aruna, apa kabar? Aku tahu akhir-akhir ini aku jarang menghubungimu, dan aku minta maaf untuk itu. Aku hanya ingin kamu tahu, aku merindukanmu.”**

Pesan itu membuat hati Aruna berdebar. Ia tak menyangka Farel masih memikirkan dirinya di tengah kesibukan yang begitu padat. Dengan cepat, ia membalas pesan itu.

**“Aku juga merindukanmu, Farel. Tapi aku tahu, kita harus menjalani ini untuk impian masing-masing.”**

Percakapan itu membawa mereka kembali ke masa-masa indah yang pernah mereka lewati. Meski jarak memisahkan mereka, obrolan singkat itu menjadi pengingat bahwa perasaan mereka masih sama.

Farel mengakhiri pesannya dengan sesuatu yang membuat Aruna tersenyum. **“Suatu hari nanti, aku ingin kita melihat matahari terbenam bersama lagi. Aku akan membawamu ke tempat yang jauh lebih indah daripada foto yang pernah kubuat.”**

Aruna menutup ponselnya dengan senyuman di wajah. Ia merasa lebih ringan, seolah-olah kerinduannya menemukan jalan untuk berdamai.

Malam itu, Aruna melanjutkan lukisannya. Kali ini, ia melukis pemandangan senja yang pernah ia lihat bersama Farel. Ia menuangkan semua perasaannya ke dalam lukisan itu—rindu, cinta, dan harapan.

Bagi Aruna, waktu yang berjalan tanpa Farel memang sulit. Tapi ia mulai menyadari bahwa rindu ini bukan sekadar luka. Rindu ini adalah pengingat akan betapa berharganya kebersamaan mereka.

Sementara itu, Farel duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang penuh bintang. Ia memikirkan Aruna dan berjanji dalam hati bahwa ia akan kembali—bukan hanya untuk bertemu, tetapi untuk membuktikan bahwa cinta mereka mampu melewati segala ujian.

Meski jarak memisahkan mereka, hati mereka tetap saling terhubung. Dan di balik waktu yang berjalan, rindu itu terus menjadi pengikat yang menguatkan cinta mereka.

BAB 6 MENGHADAPI KERAGUAN

Aruna memandang kosong ke arah kanvas di depannya. Di studio seni yang biasa menjadi tempat pelariannya, hari itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Ia mencoba melukis, tetapi bayangan wajah Farel terus hadir dalam pikirannya. Sudah seminggu sejak Farel kembali ke kota ini, namun pertemuan mereka pertama kali setelah sekian lama terasa dingin. Ada jarak di antara mereka, bukan lagi karena kilometer, tetapi karena hati yang penuh keraguan.

“Apa aku terlalu banyak berharap?” gumam Aruna pada dirinya sendiri, suara kecilnya tenggelam di antara suara hujan di luar jendela.

Hatinya bertanya-tanya. Ia mencoba memahami apa yang berubah di antara mereka. Sebelum Farel pergi, hubungan mereka terasa begitu hangat, meski belum ada kata-kata cinta yang terucap. Namun kini, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka. Farel masih perhatian, masih melontarkan senyuman khasnya, tetapi ada sesuatu yang hilang—kehangatan yang biasa ia rasakan kini terasa dingin.

Di sisi lain, Farel duduk di kamarnya, matanya terpaku pada bingkai foto yang ia bawa dari luar kota. Foto itu adalah hasil jepretannya, gambar Aruna yang tertangkap dalam momen penuh spontanitas di taman kota beberapa tahun lalu. Foto itu selalu menjadi pengingat bagi Farel akan kenangan manis bersama Aruna. Namun sekarang, kenangan itu terasa seperti beban.

“Haruskah aku memberitahunya?” pikir Farel. Ia tahu bahwa perasaannya pada Aruna tidak pernah berubah, bahkan semakin dalam. Namun, rasa bersalah dan keraguan terus menghantuinya. Farel merasa tidak layak untuk Aruna. Perjalanan hidupnya yang selama ini ia banggakan kini terasa seperti penghalang.

Hari itu, Farel akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi Aruna. Ia mengirim pesan singkat:
*“Bisa kita bertemu di taman nanti sore? Ada yang ingin aku bicarakan.”*

Pesan itu membuat Aruna tersentak. Ada kegembiraan yang muncul di hatinya, tetapi sekaligus rasa cemas. *Apa yang akan dia katakan? Apakah ini akhirnya?* pikir Aruna.

Saat sore tiba, Aruna tiba lebih awal di taman kota, tempat kenangan mereka bermula. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan jejak basah di dedaunan dan aroma tanah yang khas. Ia duduk di bangku favorit mereka, mengenakan jaket hangat dan membawa sketsa kecil yang ia gambar beberapa hari sebelumnya. Sketsa itu adalah gambar pohon besar di tengah taman, tempat pertama kali ia dan Farel berbagi cerita.

Farel datang beberapa menit kemudian, mengenakan jaket cokelat yang sama seperti yang ia pakai saat mereka pertama kali bertemu. Ia membawa sebuah kotak kecil di tangannya, tetapi tidak langsung memberikannya pada Aruna. Langkahnya pelan dan ragu, seolah-olah ia takut akan apa yang akan terjadi.

“Hai,” sapa Farel dengan senyuman kecil, duduk di sebelah Aruna.

“Hai,” balas Aruna, mencoba tersenyum meski hatinya diliputi keraguan.

Keduanya duduk dalam keheningan beberapa saat, hanya ditemani suara angin yang bertiup lembut. Farel tampak berjuang mencari kata-kata, sementara Aruna menggenggam erat sketsanya, berharap Farel akan mengatakan sesuatu.

“Aku tahu kita sudah lama tidak berbicara seperti ini,” akhirnya Farel memulai, suaranya terdengar pelan. “Aku ingin minta maaf kalau selama ini aku terlihat menjauh.”

Aruna menatap Farel, matanya menunjukkan campuran antara rasa bingung dan harapan. “Kenapa kamu menjauh, Farel? Aku pikir kita… aku pikir semuanya baik-baik saja.”

Farel menghela napas panjang, pandangannya tertuju pada kotak kecil di tangannya. “Aku merasa aku berubah, Aruna. Aku pergi dan menemukan banyak hal baru. Aku takut kalau aku tidak lagi menjadi orang yang sama seperti yang kamu kenal dulu. Aku takut kalau aku mengecewakanmu.”

Aruna terdiam sejenak, mencoba memahami apa yang baru saja Farel katakan. “Farel, kamu tahu, aku tidak pernah berharap kamu akan tetap sama. Aku tahu waktu dan jarak bisa mengubah seseorang. Tapi satu hal yang aku yakini… aku tahu siapa kamu, dan aku percaya pada kamu.”

Farel tersenyum kecil, tetapi masih ada keraguan di matanya. “Aku juga ragu pada diriku sendiri, Aruna. Aku ragu apakah aku bisa memberikan yang terbaik untukmu. Aku tidak ingin kamu merasa aku tidak cukup.”

Aruna menatap Farel dengan lembut, suaranya tegas namun penuh kehangatan. “Farel, cinta itu bukan soal menjadi sempurna. Aku tidak pernah meminta kamu untuk menjadi yang terbaik. Aku hanya ingin kita saling mendukung, apapun yang terjadi.”

Farel merasa hatinya mulai tenang mendengar kata-kata Aruna. Ia membuka kotak kecil yang sedari tadi ia genggam. Di dalamnya ada sebuah gantungan kecil berbentuk kamera, sesuatu yang ia buat khusus untuk Aruna.

“Aku membuat ini untukmu,” kata Farel, menyerahkan gantungan itu. “Aku ingin kamu tahu bahwa setiap langkah yang aku ambil, aku selalu memikirkanmu. Aku mungkin ragu pada banyak hal, tapi satu hal yang tidak pernah aku ragukan adalah perasaanku padamu.”

Aruna menerima gantungan itu dengan senyum penuh haru. “Aku juga tidak pernah meragukan perasaanku padamu, Farel. Tapi kita harus saling percaya, tidak hanya pada cinta ini, tapi juga pada diri kita sendiri.”

Malam itu, di bawah pohon kenangan mereka, Farel dan Aruna berbicara lebih banyak dari sebelumnya. Mereka saling mengungkapkan perasaan, keraguan, dan harapan. Keraguan yang selama ini mengganjal mulai menghilang, digantikan oleh keyakinan bahwa mereka bisa melalui semua ini bersama-sama.

Hujan mulai turun kembali, tetapi mereka tidak peduli. Hujan itu terasa seperti awal yang baru, langkah menuju hubungan yang lebih kuat. Kini, mereka tahu bahwa keraguan hanya akan melemahkan jika tidak dihadapi. Dan bersama-sama, mereka siap menghadapi apa pun yang ada di depan.*

BAB 7 MENGUNGKAP RASA

Langit malam itu begitu tenang. Bintang-bintang yang bersinar terlihat lebih cerah dari biasanya, seakan mendukung momen yang akan terjadi di antara Aruna dan Farel. Mereka berdua duduk di bangku taman yang dulu menjadi saksi awal pertemuan mereka. Suara gemerisik dedaunan yang ditiup angin malam memberikan suasana damai, namun di hati mereka masing-masing, ada keheningan yang penuh dengan kegelisahan.

Farel, dengan tangan yang gemetar ringan, menggenggam secangkir kopi yang baru saja ia beli dari warung kecil di sudut taman. Ia mencuri pandang ke arah Aruna, yang terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri, menatap ke arah langit tanpa banyak berkata. Dalam hatinya, Farel tahu bahwa malam ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya—perasaan yang sudah lama ia simpan, yang semakin mendesak untuk diutarakan sejak ia kembali ke kota.

“Aruna,” Farel akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar pelan tetapi penuh dengan ketulusan.

Aruna menoleh, matanya yang teduh menangkap wajah Farel yang tampak sedikit gugup. “Iya, Farel?”

Sejenak, Farel terdiam, mencari keberanian dalam hatinya. “Aku… aku ingin membicarakan sesuatu. Tentang kita.”

Jantung Aruna berdegup kencang. Kata-kata itu, meski sederhana, membuat pikirannya berputar. Ia sudah lama menunggu momen seperti ini, tetapi tetap saja, ia tidak tahu apa yang akan terjadi.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Aruna, berusaha tetap tenang meski hatinya terasa seperti hendak meledak.

Farel menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. “Selama aku di luar kota, ada banyak hal yang kupikirkan. Tentang hidupku, tentang mimpiku… dan terutama, tentang kamu.”

Aruna terdiam. Ia menunggu kelanjutan kata-kata Farel dengan penuh perhatian.

“Aku pikir, jarak itu akan membuatku melupakan semuanya. Aku pikir, kesibukan dan kehidupan baru di sana akan mengalihkan pikiranku. Tapi aku salah, Aruna,” lanjut Farel, suaranya semakin lembut tetapi tegas. “Setiap malam, aku selalu teringat kamu. Senyummu, tawamu, cara kamu berbicara tentang hal-hal kecil yang membuatmu bahagia. Semuanya ada di pikiranku, dan semakin aku mencoba untuk mengabaikannya, semakin kuat aku merasakannya.”

Aruna merasa matanya mulai berkaca-kaca. Kata-kata Farel menggugah perasaannya yang selama ini ia pendam.

“Jadi, apa maksudmu, Farel?” tanya Aruna, suaranya bergetar pelan.

Farel tersenyum kecil, menatap langsung ke mata Aruna. “Maksudku adalah… aku mencintaimu, Aruna. Dari awal kita bertemu hingga saat ini, perasaanku tidak pernah berubah. Aku tahu mungkin aku terlambat mengatakannya, tapi aku tidak ingin menunda lagi. Aku ingin kamu tahu bahwa kamu adalah bagian terpenting dalam hidupku.”

Kata-kata itu membuat waktu seolah berhenti bagi Aruna. Hatinya penuh dengan kebahagiaan, tetapi juga dengan rasa tidak percaya. Selama ini, ia selalu bertanya-tanya apakah Farel merasakan hal yang sama. Dan kini, jawaban itu ada di hadapannya.

“Farel…” Aruna mencoba berkata, tetapi suaranya tercekat. Ia mengambil napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku juga merasakan hal yang sama. Aku juga mencintaimu. Selama ini, aku takut untuk mengatakannya karena aku tidak tahu bagaimana perasaanmu.”

Mata Farel melembut mendengar pengakuan Aruna. Senyuman lega dan bahagia terpancar di wajahnya. Ia merasa seperti beban besar di hatinya telah terangkat.

“Aku bodoh karena membiarkan waktu berlalu tanpa mengatakannya,” kata Farel dengan nada menyesal. “Tapi aku janji, aku tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini lagi.”

Aruna tersenyum, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. “Kita memang melewati banyak hal, Farel. Tapi aku percaya, selama kita saling jujur dan saling mendukung, kita bisa menghadapi apa pun bersama.”

Malam itu menjadi malam yang penuh kenangan bagi mereka. Mereka berbicara panjang lebar, mengungkapkan semua hal yang selama ini terpendam. Farel menceritakan betapa sulitnya hidup di luar kota tanpa Aruna di sisinya, sementara Aruna berbagi tentang bagaimana ia terus mendukung Farel dalam doanya meski mereka terpisah.

Sebagai penutup, Farel menggenggam tangan Aruna dengan lembut. “Aruna, aku tahu mungkin perjalanan kita tidak akan selalu mudah. Tapi aku berjanji, aku akan selalu ada untukmu. Kita akan melangkah bersama, apa pun yang terjadi.”

Aruna mengangguk, hatinya dipenuhi rasa percaya. “Aku juga, Farel. Aku ingin kita selalu melangkah bersama, sampai kapan pun.”

Langit malam seolah menyaksikan janji mereka. Bintang-bintang bersinar lebih terang, seakan merayakan cinta yang akhirnya terungkap. Di bawah langit malam itu, Aruna dan Farel mengambil langkah pertama menuju cinta yang lebih dewasa, penuh dengan komitmen dan keyakinan.

Kini, mereka tidak lagi takut pada jarak, pada waktu, atau pada apa pun yang mungkin menghadang. Mereka tahu, selama mereka bersama, mereka bisa mengatasi semuanya. **Langkah menuju rindu** telah membawa mereka pada cinta sejati yang selama ini mereka cari.***

————THE END———-

 

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #LangkahMenujuRindu #MalamPenuhKenangan #CintaYangTerlambat #KekuatanRindu #HubunganRomantis
Previous Post

CINTA TANPA TITIK TEMU

Next Post

LANGKAHMU DITANAH LAIN

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
LANGKAHMU DITANAH LAIN

LANGKAHMU DITANAH LAIN

PESAN YANG TERLAMBAT

PESAN YANG TERLAMBAT

PURNAMA YANG MENYAKSIKAN KITA

PURNAMA YANG MENYAKSIKAN KITA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id