Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Tidak Tersangka
Alya berjalan dengan langkah cepat di trotoar, matanya terfokus pada layar ponsel yang ia pegang. Pesan dari teman-temannya sudah memenuhi ruang chat, namun hari ini ia merasa malas untuk membalas. Tugas kuliah yang menumpuk di meja dan rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya membuatnya memilih untuk berjalan pulang ke rumah tanpa banyak berpikir. Waktu terasa begitu lambat, dan rasanya hari ini tidak ada yang menarik untuk dipikirkan.
Namun, saat melintas di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan, matanya secara tak sengaja tertuju pada seseorang yang sedang duduk di meja dekat jendela. Seorang pria muda, dengan jaket denim biru dan wajah serius, sedang membaca buku sambil sesekali menatap ke luar jendela. Ada sesuatu yang berbeda dengan sosoknya—sesuatu yang menarik perhatian Alya tanpa ia tahu mengapa.
Tanpa sadar, Alya memperlambat langkahnya. Ia tidak berniat untuk berhenti atau memperhatikannya lebih lama, namun entah kenapa matanya tetap tertahan pada sosok pria itu. Wajahnya yang tidak asing, namun juga tidak begitu dikenal, membuat Alya merasa ada rasa penasaran yang tiba-tiba muncul. Mungkin dia pernah melihatnya di kampus atau di tempat lain, tetapi seketika itu, rasa penasaran yang tidak dapat dijelaskan mendorongnya untuk terus menatap.
Pria itu akhirnya menoleh ke arah jalan, dan saat mata mereka bertemu, detik itu juga rasanya dunia berhenti sejenak. Alya merasa seolah ada semacam magnet yang menarik pandangan mereka. Ia terperanjat, merasa seperti ada yang aneh dengan pertemuan mata itu. Hanya beberapa detik, tetapi perasaan itu menggetarkan sesuatu dalam dirinya. Alya buru-buru menoleh ke arah lain, merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Apa yang baru saja terjadi? Ia bertanya-tanya dalam hati.
Namun, ia mencoba untuk mengabaikan perasaan itu dan terus melangkah pergi. Mungkin itu hanya perasaan aneh karena kelelahan atau karena terlalu banyak berpikir tentang tugas kuliah yang menumpuk. Tidak ada alasan untuk merasa aneh hanya karena sekadar bertemu pandang dengan orang asing. Setidaknya itulah yang coba diyakinkan Alya pada dirinya sendiri.
Saat ia hampir sampai di ujung jalan, ponselnya berdering. Itu adalah pesan dari teman kuliahnya, Sinta.
“Alya, ikut yuk makan siang, kamu sudah makan?”
Alya melirik pesan itu dan kemudian mengetik cepat untuk membalas, “Belum, aku lagi di jalan pulang, Sinta. Nanti aja.”
Tiba-tiba, di kejauhan, ia melihat sosok pria tadi—ya, dia—berjalan ke arahnya. Entah kenapa, kali ini Alya merasa cemas. Kakinya seperti berat untuk melangkah, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Mereka akan bertemu di jalan, dan ia harus berpura-pura tidak ada apa-apa. Hanya pertemuan kebetulan, bukan sesuatu yang penting.
Namun, saat pria itu semakin dekat, tiba-tiba ia berhenti di depan sebuah toko buku dan seakan-akan memperhatikan buku-buku yang dipajang. Alya, yang kini berada hanya beberapa langkah darinya, merasa bingung. Perasaan canggung itu muncul kembali, dan ia berusaha mencari jalan keluar. Sebelum pria itu melihatnya, ia mempercepat langkah, berharap bisa menghindari pertemuan itu.
Namun, tak disangka, pria itu berbalik dengan cepat dan tanpa sengaja menabraknya. “Oh, maaf!” ucapnya buru-buru, mencoba menyeimbangkan langkahnya.
Alya yang terkejut langsung melangkah mundur, matanya terbuka lebar. “Tidak, tidak apa-apa,” jawabnya cepat, berusaha untuk mengalihkan perhatian dari perasaan kikuk yang melanda. Ia menatap pria itu yang kini terlihat canggung, seolah sama bingungnya dengan dirinya.
“Eh, kamu… aku rasa kita pernah ketemu,” kata pria itu, menggaruk belakang kepalanya, terlihat ragu. “Di kampus, kan?”
Alya mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. “Iya, aku sering lihat kamu di ruang baca,” jawabnya.
Tersenyum sedikit, pria itu mengangguk. “Aku Rizky,” katanya, “Aku kira kita tidak pernah ngobrol langsung.”
“Alya,” balas Alya singkat, berusaha untuk tetap menjaga jarak meskipun ada perasaan aneh yang mulai muncul. Tidak ada yang spesial sebenarnya, hanya sekadar perkenalan biasa.
Rizky terlihat agak kikuk, tetapi kemudian melanjutkan percakapan. “Kamu sedang buru-buru?” tanyanya, mencoba membuka percakapan lebih lanjut.
Alya merasa sedikit terkejut. “Aku… tidak, sih,” jawabnya, berpikir untuk melanjutkan berjalan, tetapi sesuatu membuatnya ragu. Sepertinya ia tidak ingin bergegas pergi begitu saja.
“Kalau begitu, boleh aku ajak ngobrol sebentar?” tanya Rizky, dengan senyum tipis yang membuat Alya merasa canggung dan aneh, tapi entah kenapa ia tidak merasa keberatan.
Alya mengangguk perlahan. “Tentu,” jawabnya dengan suara yang sedikit ragu.
Mereka berjalan bersama, meskipun jarak di antara mereka masih terasa canggung. Alya merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Mengapa perasaan ini muncul hanya karena percakapan singkat dengan seseorang yang hampir tidak ia kenal?
Obrolan mereka berputar pada hal-hal biasa—tugas kuliah, kesibukan kampus, dan bagaimana mereka jarang berbicara meskipun sering bertemu di tempat yang sama. Namun, di setiap kata yang keluar dari mulut Rizky, Alya merasa semakin terikat, semakin tertarik tanpa ia sadari. Suasana yang awalnya terasa kaku perlahan mulai mencair, dan ia mulai merasa lebih nyaman.
Tanpa terasa, percakapan mereka berjalan cukup lama. Rizky tersenyum lebih sering, dan Alya mulai merasa aneh—perasaan yang begitu jarang muncul dalam kehidupannya yang selalu sibuk. Ada semacam magnet yang menarik mereka lebih dekat. Tanpa pernah merencanakannya, mereka berdua kini berjalan bersama, berbicara tentang segala hal tanpa adanya tekanan.
Saat akhirnya mereka berpisah di persimpangan jalan, Rizky menoleh dan tersenyum. “Alya, senang bisa ngobrol dengan kamu. Mungkin kita bisa bertemu lagi,” ujarnya, tampak lebih santai dari sebelumnya.
Alya hanya mengangguk dan memberikan senyum tipis, merasa sedikit bingung dengan perasaan yang mulai tumbuh. Ia tak tahu apakah ini hanya sekadar kebetulan atau ada sesuatu yang lebih besar di balik pertemuan itu.
“Ya, senang juga. Sampai jumpa,” jawabnya singkat.
Alya melangkah pulang, tetapi kali ini ada perasaan hangat di dalam dirinya. Mungkin, pertemuan ini bukanlah kebetulan. Mungkin saja, ini adalah langkah pertama dalam perjalanan yang tak terduga.*
Bab 2: Kenangan yang Mengalir Perlahan
Alya duduk di sudut ruang perpustakaan kampus, menatap layar laptopnya yang kosong. Sejak pertemuan singkat dengan Rizky beberapa hari lalu, pikirannya selalu teralihkan padanya. Meskipun mereka hanya berbincang tentang tugas kuliah dan kehidupan sehari-hari, ada sesuatu yang terasa berbeda setelah itu. Ada kenangan yang mengalir perlahan di dalam dirinya, seperti aliran air yang menyentuh hati tanpa disadari.
Hari itu, Alya seharusnya fokus pada tugas yang harus diselesaikan, tetapi pikirannya melayang kembali pada percakapan mereka. Ingatannya tentang Rizky—senyum tipisnya, cara dia berbicara yang penuh perhatian, bahkan cara dia memperhatikan setiap kata yang diucapkan—semua itu terngiang-ngiang di benaknya. Sesuatu tentang dirinya membuat Alya merasa nyaman, meskipun keduanya baru saling mengenal.
Tiga hari setelah pertemuan pertama itu, Rizky menghubunginya lewat pesan singkat.
“Hai, Alya! Bagaimana tugasmu? Aku baru sadar kita belum benar-benar berbicara banyak tentang kuliah, cuma obrolan ringan kemarin. Kalau ada waktu, kita bisa bahas tugas bareng. “
Alya menatap pesan itu sejenak. Ada sedikit rasa canggung di hatinya, tetapi juga perasaan ingin tahu yang sulit dijelaskan. Dia tidak bisa menahan rasa ingin bertemu lagi. Di satu sisi, ia merasa bingung—apakah ini hanya sekadar percakapan biasa, atau ada sesuatu yang lebih. Di sisi lain, ada dorongan untuk mengenalnya lebih dalam.
“Tentu, Rizky. Aku juga lagi butuh teman untuk berdiskusi soal tugas. Kita bisa ketemu di kafe kampus besok, jam 4?” balas Alya, mencoba menenangkan diri. Ketika jari-jarinya mengetik pesan itu, ada sedikit kegugupan yang menyusup ke dalam hatinya.
“Oke, aku tunggu. Sampai besok!” jawab Rizky dengan emotikon senyum.
Alya merasa ada yang berbeda setelah pesan itu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Tidak ada alasan yang jelas, tetapi perasaan itu semakin sulit untuk diabaikan. Sesuatu tentang Rizky membuatnya merasa tertarik, lebih dari sekadar teman biasa.
Esok harinya, Alya pergi ke kafe kampus seperti yang dijanjikan. Dia tiba lebih dulu, memilih meja di pojok dekat jendela, tempat yang nyaman dan tenang. Sambil menunggu, dia merogoh tasnya dan mengeluarkan beberapa buku kuliah untuk dibaca. Meskipun awalnya ia berusaha tetap fokus, pikirannya kembali terbang ke percakapan mereka yang terakhir. Ada kebingungannya sendiri—apakah ini berarti apa-apa, ataukah dia hanya terlalu memikirkannya?
Tak lama kemudian, Rizky datang, tersenyum lebar sambil membawa secangkir kopi di tangannya. Senyum itu seakan membuat segala kecanggungan hilang seketika. Alya merasa seolah-olah mereka sudah saling mengenal lebih lama daripada yang sebenarnya.
“Hei, Alya,” sapa Rizky dengan nada yang ringan, duduk di kursi seberang. “Sudah mulai dengan tugasnya?”
Alya tersenyum, sedikit bingung dengan dirinya sendiri yang merasa begitu senang melihatnya. “Belum, baru buka-buka saja. Sepertinya kita butuh banyak diskusi untuk ini,” jawabnya, mencoba terdengar santai.
Mereka pun mulai berdiskusi tentang tugas kuliah, meskipun perbincangan itu tak lama kemudian beralih ke hal-hal yang lebih pribadi. Mereka berbicara tentang hobi, keluarga, dan kehidupan masing-masing. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Rizky terdengar begitu menyenangkan di telinga Alya. Ada kedekatan yang tumbuh tanpa mereka sadari, seperti benang-benang tak terlihat yang mengikat hati mereka sedikit demi sedikit.
“Sebenarnya, aku suka banget baca buku-buku tentang psikologi,” kata Rizky sambil menyeruput kopinya. “Pernah coba baca buku karya Carl Jung? Menurutku, dia punya pandangan menarik tentang hubungan antar manusia.”
Alya terdiam sejenak, terkesan dengan topik yang dibawa Rizky. “Jung? Aku pernah dengar, tapi belum sempat baca. Mungkin bisa jadi referensi bacaan aku selanjutnya,” jawab Alya, mencoba ikut serta dalam percakapan dengan penuh minat.
Rizky tersenyum lebar. “Aku bisa pinjamkan beberapa buku kalau kamu mau. Ada beberapa yang menurutku bagus banget untuk dipahami.”
Alya merasa sedikit canggung, namun senyum hangat Rizky membuatnya lebih rileks. “Makasih, Rizky. Aku akan pertimbangkan itu.”
Percakapan mereka terus mengalir begitu alami, seolah-olah tak ada jarak di antara mereka. Bahkan, ketika mereka mulai membicarakan hal-hal kecil—seperti makanan favorit atau tempat yang ingin dikunjungi—Alya merasa semakin nyaman. Ada perasaan aneh yang mulai tumbuh, sesuatu yang sulit dijelaskan, tetapi jelas terasa dalam hatinya. Bagaimana bisa seseorang yang baru saja dikenalnya bisa membuatnya merasa begitu dekat?
Hari itu, setelah beberapa jam berlalu, mereka memutuskan untuk berpisah. Rizky menawarkan untuk mengantarnya pulang, tetapi Alya menolak dengan alasan sudah terbiasa pulang sendiri. Mereka pun berpisah dengan senyuman yang tak bisa disembunyikan oleh keduanya.
“Alya, terima kasih untuk hari ini,” kata Rizky, dengan mata yang penuh kehangatan. “Senang bisa ngobrol lebih banyak.”
Alya hanya mengangguk, sedikit tersipu. “Aku juga senang, Rizky. Sampai jumpa lagi.”
Saat Alya berjalan pulang, kenangan tentang pertemuan mereka terus mengalir dalam pikirannya, seperti aliran sungai yang tenang namun kuat. Setiap kata yang terucap, setiap senyum yang terukir, semakin mengukir ruang di hatinya. Rasanya, inilah perasaan yang selama ini ia coba hindari—perasaan yang perlahan tumbuh tanpa bisa dicegah.
Malam itu, sebelum tidur, Alya merenung. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa setelah pertemuan-pertemuan singkat itu, ia merasa ada sesuatu yang mengikat dirinya pada Rizky? Kenangan tentang obrolan mereka, senyumannya, bahkan cara Rizky mendengarkan dengan penuh perhatian, membuat Alya merasa seperti ada benang yang semakin erat mengikat hatinya. Ia tidak bisa menghindar lagi. Rasa ini tumbuh perlahan, seperti aliran air yang terus mengisi ruang hatinya.
Beberapa hari berlalu setelah pertemuan itu, dan Alya merasa bahwa hubungan mereka semakin berkembang meskipun tidak ada kata-kata yang terlalu gamblang. Mereka semakin sering bertemu, berbincang, dan berbagi momen-momen kecil yang menguatkan perasaan mereka. Namun, Alya masih ragu apakah ia siap untuk menerima perasaan ini sepenuhnya. Ia takut jika ia terlalu berharap, semuanya akan berakhir dengan kekecewaan.
Namun, satu hal yang pasti: perasaan itu tidak bisa lagi diabaikan. Kenangan itu terus mengalir perlahan, menumbuhkan rasa yang sulit dibendung. Dan, tanpa disadari, Alya mulai memahami bahwa langkah kecil yang mereka ambil bersama-sama mungkin akan membentuk kisah yang tak terduga.*
Bab 3: Tanda-Tanda yang Muncul
Hari itu langit cerah dengan sinar matahari yang hangat, meskipun angin sedikit berhembus, membawa kesegaran yang menyenangkan. Alya berjalan pelan di sepanjang trotoar kampus, matanya memandangi gedung-gedung yang akrab. Namun, pikirannya tak sepenuhnya berada di situ. Hari-hari terakhir terasa semakin penuh dengan perasaan yang sulit ia pahami. Sesuatu yang perlahan berkembang, meskipun ia belum benar-benar siap mengakuinya.
Setelah pertemuan-pertemuan mereka yang semakin sering, percakapan yang semakin nyaman, dan kenangan-kenangan kecil yang semakin banyak terbentuk, Alya mulai merasakan tanda-tanda yang tak bisa ia abaikan lagi. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, seperti secercah harapan yang mulai tumbuh di balik keraguan. Perasaan ini—perasaan yang awalnya ia coba tutupi—sekarang semakin jelas dan sulit untuk disangkal. Apakah ini cinta? Atau hanya rasa suka yang sementara?
Pagi itu, ketika Alya melangkah masuk ke ruang kuliah, matanya langsung mencari-cari sosok Rizky. Sudah beberapa hari mereka tidak bertemu di luar kampus, karena kesibukan masing-masing. Namun, kali ini perasaan ingin bertemu dengannya begitu kuat. Dan seperti yang ia harapkan, Rizky sudah duduk di kursi dekat jendela, membaca buku, seperti biasa.
Alya menghela napas pelan. Ia tahu perasaan ini bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Ada dorongan kuat untuk mendekat, untuk berbicara, meskipun kadang ia merasa canggung dan ragu dengan apa yang sebenarnya ia rasakan. Setiap kali ia bersama Rizky, ada perasaan hangat yang mengalir dalam dirinya. Tapi kadang, perasaan itu membuatnya bingung. Tanda-tanda yang muncul seolah memberi petunjuk, namun tidak jelas arahnya.
Tanpa sadar, langkah Alya semakin cepat, dan dalam sekejap ia sudah duduk di depan Rizky. Pria itu tersenyum lebar, seolah tidak sabar untuk menyapanya.
“Hai, Alya! Lagi-lagi kita sekelas,” kata Rizky sambil menutup buku yang sedang dibacanya.
Alya tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang sedikit menguasai dirinya. “Iya, sepertinya kita tak pernah lepas dari satu kelas ini, ya?” jawabnya, dengan suara sedikit tertawa untuk menutupi perasaan canggung itu.
Rizky mengangguk, lalu membuka tasnya. “Ada tugas yang harus diselesaikan, tapi aku lebih memilih untuk ngobrol sebentar dengan kamu daripada terus berpikir soal tugas itu,” ujarnya sambil tersenyum.
Alya merasa sedikit lega mendengarnya. Senyum itu, senyum hangat yang selalu mengingatkannya pada perasaan nyaman, selalu berhasil membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Kenapa bisa seperti ini? Alya bertanya-tanya dalam hati. Mereka hanya berbicara tentang tugas kuliah, tetapi kenapa perasaan ini muncul setiap kali mereka bertemu?
Namun, hari itu ada sesuatu yang berbeda. Seiring dengan berjalannya waktu, Alya mulai menyadari bahwa Rizky bukan hanya sekadar teman biasa baginya. Tanda-tanda itu semakin jelas. Ketika Rizky melirik ke arahnya dan memberikan senyuman yang begitu tulus, Alya merasa ada semacam kebahagiaan kecil yang terlahir di dalam hatinya. Mungkin ini adalah tanda pertama bahwa perasaan itu semakin menguat.
“Sebenarnya, aku merasa nyaman berbicara denganmu,” kata Rizky, mendekatkan kursinya sedikit ke arah Alya. “Aku nggak tahu kenapa, tapi rasanya setiap kali ngobrol dengan kamu, waktu terasa cepat berlalu.”
Alya merasa sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. Apakah Rizky merasakan hal yang sama? Apakah ia juga merasa ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka?
“Mungkin karena kita punya banyak kesamaan,” jawab Alya, mencoba mengalihkan perhatian, meskipun hatinya berdebar lebih cepat. “Tapi memang, rasanya kita bisa ngobrol lama tanpa merasa bosan.”
Rizky mengangguk, kemudian menatapnya lebih dalam. “Kamu tahu, aku juga merasa seperti itu. Ada banyak hal yang aku pengen tahu tentang kamu, dan aku merasa semakin nyaman dengan kamu setiap kali kita ngobrol,” katanya dengan suara lebih pelan, penuh perhatian.
Alya terdiam. Kata-kata itu membuat perasaan di dalam dadanya semakin bergejolak. Rasanya, kata-kata itu mengungkapkan apa yang sudah lama ia rasakan, meskipun ia enggan untuk mengakuinya. Perasaan itu memang ada—ada lebih dari sekadar rasa suka atau pertemanan biasa.
Seiring berjalannya minggu, perasaan itu semakin kuat. Setiap kali Rizky melontarkan lelucon ringan, senyumnya yang tulus, atau bahkan cara dia mendengarkan dengan sepenuh hati, Alya merasa semakin tertarik. Ia tidak bisa lagi mengabaikan tanda-tanda yang muncul di hatinya. Namun, ada ketakutan yang menggerayangi pikirannya. Apakah perasaan ini bisa diterima? Apakah Rizky merasakannya juga?
Satu malam, saat mereka bertemu untuk menyelesaikan tugas bersama di kafe kampus, Alya merasakan perasaan yang semakin tidak tertahankan. Rizky duduk di seberangnya, berbicara tentang topik yang ringan, tetapi Alya merasa ada yang berbeda dalam cara mereka berkomunikasi. Tidak seperti sebelumnya, saat percakapan mereka terasa begitu alami, kini ada ketegangan yang halus, meskipun mereka tidak mengatakannya secara langsung.
Alya merasakan hatinya berdebar setiap kali Rizky menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. Ada sesuatu yang dalam di mata Rizky, yang membuat Alya merasa seperti ada semacam pengertian tanpa kata-kata. Apakah ini yang namanya cinta, atau hanya perasaan biasa yang muncul karena kedekatan mereka?
“Rizky,” kata Alya dengan suara pelan, meskipun hatinya berdebar kencang. “Kenapa… kamu selalu membuat aku merasa begitu nyaman?”
Rizky berhenti sejenak, kemudian tersenyum lebar, seolah sudah tahu apa yang ada di dalam hati Alya. “Karena kamu memang orang yang membuat aku merasa nyaman, Alya. Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi setiap kali aku berada di dekatmu, perasaan itu datang dengan sendirinya.”
Alya terdiam, matanya terpaku pada Rizky. Ada kehangatan dalam kata-kata itu yang semakin menumbuhkan perasaan yang selama ini terpendam.
Kedua hati itu, yang selama ini mengalir perlahan tanpa kata-kata yang jelas, kini seolah mulai menemukan jawabannya. Tanda-tanda itu sudah muncul, dan mereka tidak bisa lagi mengabaikan perasaan yang tumbuh di antara mereka. Perasaan yang semakin nyata, meskipun belum sepenuhnya diungkapkan.
Alya tahu, perasaan ini bukanlah sesuatu yang bisa ia hindari lagi. Kenangan tentang pertemuan mereka, senyuman, dan kata-kata yang penuh perhatian itu—semua itu menjadi bagian dari kisah mereka yang perlahan mulai terbentuk. Namun, masih ada satu pertanyaan yang mengganggu hatinya: apakah mereka siap untuk melangkah lebih jauh dan mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di hati mereka?
Tapi untuk sekarang, Alya memutuskan untuk membiarkan perasaan itu tumbuh perlahan. Seperti aliran sungai yang mengalir tenang, ia akan membiarkan perasaan itu berjalan dengan sendirinya, tanpa terburu-buru, karena kadang-kadang, cinta datang dengan cara yang paling tak terduga.*
Bab 4: Perasaan yang Tak Terucapkan
Hari itu, kampus terasa lebih ramai dari biasanya. Alya berjalan cepat menyusuri lorong kampus, menghindari kerumunan mahasiswa yang berkumpul di sekitar pintu gedung. Pikirannya tidak berada di sana—di antara suara riuh dan langkah kaki yang berdesakan—melainkan terperangkap dalam kenangan beberapa hari terakhir. Setiap kali ia bersama Rizky, ada sesuatu yang terasa berbeda. Ada rasa hangat yang terus berkembang, tetapi juga perasaan canggung yang sulit dijelaskan. Rasa itu ada di sana, mengendap di dalam hatinya, namun ia tak tahu bagaimana harus mengungkapkannya.
Perasaan itu semakin kuat. Meskipun Alya berusaha menyibukkan dirinya dengan tugas kuliah atau kegiatan lainnya, saat-saat bersama Rizky selalu meninggalkan jejak yang sulit dihapuskan. Senyum Rizky, tatapan matanya yang penuh perhatian, bahkan cara dia berbicara dengan begitu lembut dan penuh rasa ingin tahu tentang dirinya, semuanya terasa begitu menyentuh hati Alya. Tetapi satu hal yang terus mengganggunya: kenapa perasaan ini seolah hanya dapat ia rasakan sendiri? Kenapa ia merasa seperti ada sesuatu yang belum terungkap?
Rizky memang tidak pernah mengatakan apa-apa tentang perasaan mereka. Percakapan mereka selalu ringan, penuh tawa, dan kadang disertai canda. Namun, Alya bisa merasakan ada lebih dari itu. Ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka, sesuatu yang tidak diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin Rizky juga merasakannya, namun entah mengapa, baik Alya maupun Rizky tampaknya takut untuk berbicara lebih jauh tentang itu.
Hari itu, mereka berencana untuk bertemu lagi di kafe kampus. Alya sudah menunggu Rizky di meja yang biasa mereka duduki, namun kali ini perasaan cemas mulai menggelayuti pikirannya. Ia bertanya-tanya, apakah ini saat yang tepat untuk membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka? Ataukah ia hanya membuang-buang waktu dan berharap sesuatu yang belum tentu terjadi? Alya menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Tak lama, Rizky muncul di pintu kafe dengan senyum khasnya. Alya merasa detak jantungnya semakin cepat hanya dengan melihatnya. Tanpa banyak kata, Rizky langsung menuju meja mereka dan duduk di hadapannya.
“Hai, Alya. Gimana kuliah hari ini?” tanya Rizky dengan suara ringan, sambil meletakkan cangkir kopi di atas meja.
Alya tersenyum sedikit, berusaha tidak menunjukkan perasaan yang sebenarnya sedang menguasainya. “Seperti biasa, banyak tugas. Tapi nggak masalah, bisa dikerjakan kok. Kalau kamu sendiri, ada yang menarik hari ini?” jawabnya, meskipun hatinya ingin sekali bertanya lebih banyak.
“Ah, sama aja. Tugas ini itu, tapi kadang aku suka bingung juga. Terkadang aku merasa, kenapa ya kita terlalu sibuk dengan hal-hal yang nggak begitu penting, padahal ada hal-hal kecil yang kadang kita lewatkan. Seperti…” Rizky berhenti sejenak, matanya menatap Alya dengan lembut. “Seperti ngobrol sama kamu, misalnya.”
Alya merasa terkejut, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Kata-kata itu terdengar begitu tulus, namun ada keheningan yang cukup lama setelahnya. Seolah ada makna yang lebih dalam di balik kalimat sederhana itu. Alya terdiam sejenak, matanya bertemu dengan mata Rizky yang penuh arti.
“Rizky…” Alya mulai berbicara, suaranya pelan namun penuh perasaan. “Aku… aku merasa ada sesuatu yang berbeda akhir-akhir ini. Tapi aku nggak tahu harus bagaimana mengatakannya.”
Rizky menatapnya lebih dalam, kemudian menundukkan kepala sejenak, seolah mengumpulkan kata-kata. “Aku juga merasakannya, Alya,” ujarnya pelan. “Kadang aku merasa kita berdua tahu ada sesuatu yang tumbuh, tapi kita sama-sama nggak bisa mengungkapkannya.”
Alya merasa sedikit terkejut mendengar kata-kata Rizky. Mereka berdua seolah-olah berbicara tentang hal yang sama, namun tak pernah berani mengatakannya secara langsung. Ada perasaan aneh yang muncul dalam diri Alya, sebuah perasaan lega namun juga cemas. Cemas karena ia tidak tahu ke mana perasaan ini akan membawa mereka. Lega karena akhirnya, setidaknya Rizky juga merasakan hal yang sama.
Namun, di balik perasaan itu, ada ketakutan yang tak bisa dihindari. Alya tidak tahu apa yang sebenarnya ingin ia ungkapkan, dan apakah ini benar-benar saat yang tepat. Cinta yang tumbuh perlahan ini terasa begitu indah, namun ia juga takut jika semuanya akan hancur begitu saja. Kadang, rasa takut untuk kehilangan sesuatu yang berharga membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh.
“Apa yang kita rasakan ini, Rizky… apakah kamu yakin kita bisa menghadapinya?” tanya Alya, suaranya terdengar sangat lembut, hampir seperti sebuah bisikan.
Rizky tampaknya merenung sejenak. “Aku nggak tahu, Alya. Tapi aku yakin kalau kita bisa coba, walaupun itu berarti ada banyak hal yang harus kita hadapi. Aku… aku nggak bisa memaksakan diriku untuk tidak merasa seperti ini. Aku nggak bisa berhenti memikirkan kamu, bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun.”
Alya menunduk, merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Kata-kata itu semakin menegaskan apa yang selama ini ia coba sembunyikan. Mereka berdua tidak pernah berbicara tentang perasaan mereka dengan jelas, tetapi kini semuanya terasa begitu nyata, seperti ada udara yang penuh dengan kata-kata yang tak terucapkan.
“Tapi, kenapa kita nggak pernah bicara lebih dalam tentang ini?” Alya bertanya lagi, suara penuh keraguan. “Kenapa kita hanya diam, sementara ada banyak hal yang ingin kita katakan?”
Rizky menghela napas, lalu tersenyum sedikit. “Mungkin kita sama-sama takut, Alya. Takut kalau kita mengungkapkan apa yang ada di hati kita, semuanya akan berubah. Takut kalau perasaan ini tidak bisa berjalan sebagaimana kita harapkan.”
Alya merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti hatinya. Ternyata, bukan hanya dia yang merasa takut. Rizky pun merasakan hal yang sama—takut akan ketidakpastian yang datang bersama perasaan yang berkembang di antara mereka. Tetapi, apakah mereka akan terus berdiam diri, terjebak dalam ketakutan itu?
Perasaan yang selama ini mereka sembunyikan perlahan mulai muncul ke permukaan. Tanpa kata-kata yang eksplisit, mereka berdua sudah mengetahui bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan yang biasa. Ada sebuah hubungan yang tumbuh dalam diam, di antara senyum, tawa, dan percakapan kecil.
Alya mengangkat kepala dan memandang Rizky dengan mata yang lebih dalam. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Rizky, tapi aku ingin kita bicara lebih banyak tentang ini. Aku nggak bisa lagi mengabaikan perasaan ini.”
Rizky tersenyum, mengangguk pelan. “Aku juga, Alya. Mungkin sekarang adalah saat yang tepat.”
Untuk pertama kalinya, Alya merasa lega, meskipun masih ada banyak hal yang belum mereka bicarakan. Namun, setidaknya mereka telah membuka diri satu sama lain. Perasaan yang selama ini tak terucapkan akhirnya mulai diungkapkan, meskipun dengan kata-kata yang hati-hati. Cinta mereka mungkin belum sempurna, tetapi langkah pertama telah diambil.
Dan dengan itu, Alya tahu—tak ada lagi yang perlu disembunyikan. Kini, semuanya akan menjadi bagian dari perjalanan mereka bersama.*
Bab 5: Langkah Pertama Berani
Alya berdiri di depan kaca, menatap pantulan dirinya sendiri dengan rasa yang tak bisa ia jelaskan. Rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya tampak lebih hidup dari sebelumnya. Ada semacam kekuatan yang muncul dalam dirinya, meskipun ia masih merasa ragu. Ketika perasaan tumbuh begitu dalam, ketika ada keraguan yang datang bersamaan, mengambil langkah pertama bisa menjadi hal yang paling sulit. Tetapi hari itu, setelah percakapan yang hampir membuatnya kehilangan kata-kata bersama Rizky, Alya merasa bahwa ia tak bisa lagi menunda-nunda. Ia harus mengambil langkah pertama. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk perasaan yang telah tumbuh perlahan di hatinya.
Pagi itu terasa berbeda. Setelah hari yang penuh dengan kebingungannya, akhirnya ia memutuskan untuk bertemu dengan Rizky. Mereka sudah berencana untuk bertemu di sebuah kafe kecil di ujung kampus, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Namun, kali ini, Alya tahu bahwa hari itu akan berbeda. Tidak seperti pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya yang terasa ringan dan santai, pertemuan kali ini akan membuka jalan bagi sesuatu yang lebih besar, lebih berarti.
Alya merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia berjalan menuju kafe tersebut. Pikirannya berputar-putar, mencoba menyusun kata-kata yang akan keluar dari mulutnya nanti. “Apa yang harus aku katakan? Bagaimana jika aku mengungkapkan perasaan ini, dan ternyata dia tidak merasakannya juga? Bagaimana jika aku malah merusak semuanya?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya, membuatnya merasa cemas dan takut.
Namun, semakin ia berpikir, semakin ia sadar bahwa ketakutannya itu hanya akan memperlambat langkahnya. Tidak ada yang bisa terjadi jika ia terus-menerus ragu dan terjebak dalam ketidakpastian. Ia harus berani melangkah, karena hanya dengan melakukannya, ia bisa tahu apakah perasaan ini layak untuk diperjuangkan.
Setibanya di kafe, Alya melihat Rizky sudah duduk di meja yang biasa mereka tempati. Dia tampak sedang memeriksa ponselnya, namun sesaat setelah Alya melangkah masuk, Rizky mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar. Senyum itu—senyum yang tulus dan penuh kehangatan—langsung membuat perasaan cemas di hati Alya sedikit mereda. Tetapi di saat yang sama, perasaan cemas itu tetap ada, meskipun sedikit lebih terkendali.
“Hai, Alya! Kamu datang juga akhirnya,” sapa Rizky, matanya berbinar.
“Hai, Rizky.” Alya tersenyum, meskipun ia merasa sedikit gugup. Ia duduk di hadapannya, mencoba untuk mengatur napas dan menenangkan diri. Ada ketegangan halus di udara, sesuatu yang tidak bisa dihindari. Mungkin itu karena mereka tahu perasaan yang selama ini terpendam, perasaan yang kini mulai mengarah pada pengakuan.
“Bagaimana kuliahmu tadi pagi?” tanya Rizky, membuka percakapan dengan cara yang biasa mereka lakukan.
“Ada beberapa tugas, tapi bisa dikerjakan. Gimana dengan kamu?” jawab Alya, berusaha untuk tidak terdengar gugup.
“Ya, sama, sih. Tapi aku lebih sering sibuk mikirin hal lain. Kayak perasaan aku akhir-akhir ini, yang selalu mengarah ke kamu,” kata Rizky, dengan suara yang sedikit lebih pelan dan penuh makna.
Alya terdiam sejenak. Kata-kata itu seperti petunjuk jelas yang akhirnya membuat hatinya berdebar lebih cepat. Rizky—pria yang sudah cukup lama menjadi teman dekatnya—akhirnya mengatakannya. Tidak ada lagi yang tersisa untuk disembunyikan. Semua perasaan yang selama ini mereka coba tutupi kini mulai terbuka, tanpa perlu kata-kata yang terlalu panjang.
Alya menundukkan kepala, mencoba mencari keberanian untuk mengatakan apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya. Tapi, kata-kata itu seperti terhalang di tenggorokannya. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu yang jujur, yang berasal dari hati, tetapi ia takut jika kata-kata itu bisa merusak segalanya.
“Rizky, aku…” Alya akhirnya membuka mulutnya, suaranya sedikit gemetar. “Aku… aku juga merasakannya, kamu tahu? Aku juga merasa ada yang berbeda, tapi aku tidak tahu apakah ini benar-benar perasaan yang bisa aku ungkapkan.”
Rizky menatapnya dengan penuh perhatian, matanya lembut. “Aku juga takut, Alya. Takut kalau perasaan kita ini nggak sama, atau malah jadi canggung di antara kita.”
Alya mengangkat wajahnya, dan dalam tatapan mata itu, ia melihat kejujuran yang tak bisa disembunyikan lagi. Mereka berdua berada pada titik yang sama. Mereka sama-sama merasakan hal yang sama, tetapi keduanya takut untuk melangkah lebih jauh.
“Aku takut, Rizky. Takut kalau semuanya berubah kalau aku mengungkapkan ini. Takut kalau nanti kita nggak bisa kembali seperti dulu, seperti kita biasa ngobrol dan tertawa bersama,” kata Alya, suara hampir tak terdengar. “Tapi aku nggak bisa lagi menyangkal perasaan ini.”
Rizky menyentuh tangan Alya, sebuah sentuhan yang lembut, yang membuat perasaan hangat mengalir di seluruh tubuh Alya. “Aku juga takut, Alya. Tapi aku nggak bisa membohongi diri sendiri. Aku merasa kita berdua sudah cukup dekat, dan perasaan ini sudah tumbuh terlalu lama untuk hanya dibiarkan begitu saja. Mungkin ini saatnya untuk kita berani melangkah.”
Alya mengangguk pelan, matanya bertemu dengan mata Rizky yang penuh harapan. Rasa takut itu masih ada, tetapi ada sesuatu yang lebih besar—keinginan untuk melangkah bersama. Mereka sudah cukup lama menyembunyikan perasaan ini, dan sekarang, mereka akhirnya siap untuk menghadapi kenyataan.
Dengan keberanian yang baru ditemukan, Alya meraih tangan Rizky. “Aku ingin kita coba, Rizky. Aku ingin kita melangkah bersama, meskipun aku tahu ada banyak hal yang bisa menghalangi kita. Tapi aku yakin kita bisa menghadapi semua itu bersama.”
Rizky tersenyum lebar, matanya berbinar. “Aku juga ingin itu, Alya. Aku ingin kita berdua mencoba, berani menghadapi perasaan ini bersama.”
Mereka duduk bersama di kafe itu, dua hati yang akhirnya menemukan keberanian untuk melangkah maju. Perasaan yang sebelumnya terpendam kini terungkap dengan tulus, dan meskipun masa depan penuh ketidakpastian, mereka tahu bahwa langkah pertama telah diambil. Langkah pertama menuju perjalanan cinta yang baru, yang penuh dengan harapan dan juga tantangan.
Alya tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan mereka, tetapi justru awal dari sebuah kisah yang indah. Meskipun jalan di depan mungkin tidak selalu mulus, mereka sudah siap menghadapinya—bersama. Karena cinta, meskipun tumbuh perlahan, memiliki kekuatan untuk membawa mereka melewati segala rintangan.*
Bab 6: Cinta yang Mulai Terbentuk
Setelah beberapa hari penuh ketegangan dan perasaan yang tak terucapkan, Alya dan Rizky akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah pertama. Mereka tidak lagi ragu untuk saling berbicara tentang perasaan yang selama ini tumbuh di hati masing-masing. Namun, meskipun kata-kata sudah diucapkan, mereka tahu bahwa cinta itu bukan sesuatu yang bisa langsung terbentuk begitu saja. Ada banyak hal yang perlu mereka pahami, ada banyak momen yang harus dijalani bersama, dan ada banyak proses yang harus dilalui agar cinta itu benar-benar tumbuh dan berkembang.
Hari itu, mereka kembali bertemu di tempat yang sama—kafe kecil di ujung kampus yang sudah menjadi tempat favorit mereka. Suasana di dalam kafe terasa lebih santai dibandingkan sebelumnya. Beberapa mahasiswa terlihat sibuk dengan laptop dan buku kuliah mereka, sementara Alya dan Rizky duduk berhadapan dengan secangkir kopi hangat masing-masing. Di luar, hujan turun dengan lembut, memberi suasana yang nyaman dan intim.
Alya duduk dengan sedikit canggung, meskipun ia sudah merasa sedikit lebih tenang setelah pengakuan perasaan mereka beberapa hari sebelumnya. Ada perasaan baru yang mengalir di dalam dirinya—rasa nyaman yang datang perlahan, tetapi semakin lama semakin kuat. Alya menyadari, perasaan itu bukan hanya tentang ketertarikan semata, tetapi sesuatu yang lebih dalam dan lebih berarti. Itulah yang disebut cinta, bukan?
Rizky memandang Alya dengan senyum tipis, matanya penuh makna. “Alya,” katanya dengan suara yang hangat, “kamu tahu nggak, akhir-akhir ini aku merasa… semuanya jadi berbeda. Kita jadi lebih sering ngobrol, lebih banyak tertawa, dan… lebih sering berada di sekitar satu sama lain. Rasanya, seperti ada sesuatu yang tumbuh di antara kita, bahkan ketika kita hanya duduk berdua seperti ini.”
Alya merasa sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. Ia tahu bahwa perasaan yang berkembang di dalam dirinya bukan hanya miliknya saja. Rizky merasakannya juga, bahkan lebih dari itu. Ada koneksi yang tak terucapkan di antara mereka, sesuatu yang lebih kuat dari sekadar pertemanan. Alya tersenyum, lalu menatap Rizky dengan mata yang lembut. “Aku merasa hal yang sama, Rizky,” ujarnya pelan. “Tapi aku juga merasa kalau kita belum benar-benar tahu bagaimana cinta itu bisa berkembang. Kita baru saja mulai, kan?”
Rizky mengangguk. “Iya, benar. Kita baru mulai mengenal satu sama lain lebih dalam. Mungkin, ini semua memang masih baru, tapi aku nggak bisa mengabaikan perasaan ini. Rasanya, setiap kali aku bersamamu, aku merasa lebih hidup. Lebih lengkap.”
Kata-kata itu membuat hati Alya berdebar lebih cepat. Ada sesuatu yang sangat jujur dalam setiap ucapan Rizky. Cinta mereka memang masih dalam tahap awal, tetapi Alya bisa merasakan bahwa perasaan itu sudah tumbuh dengan kuat. Mungkin tidak bisa langsung terlihat dengan jelas, tetapi semakin mereka berbagi waktu bersama, semakin mereka saling mengenal, semakin besar pula cinta itu tumbuh di dalam diri mereka.
Alya menatap Rizky lebih dalam, seolah mencoba memastikan apakah ini semua nyata. “Tapi Rizky, kita nggak bisa terburu-buru, kan? Cinta bukan sesuatu yang bisa dibentuk dengan cepat. Kita harus melalui banyak hal bersama, menghadapi berbagai tantangan. Aku takut kalau kita terlalu cepat menginginkan semuanya, kita malah kehilangan bagian-bagian penting dari perjalanan ini.”
Rizky tersenyum lembut, mengerti maksud Alya. “Aku paham, Alya. Aku juga nggak ingin terburu-buru. Aku hanya merasa… aku ingin mengenal kamu lebih dalam, lebih lama. Aku ingin melihat ke mana perasaan ini akan membawa kita.”
Alya merasa lega mendengar kata-kata itu. Ternyata Rizky tidak terburu-buru, dia juga mengerti bahwa cinta yang sejati harus dibangun dengan proses, bukan sekadar diucapkan dalam satu malam. Cinta itu harus dipupuk dengan waktu, kepercayaan, dan pengertian satu sama lain. Dan yang lebih penting, mereka berdua sudah siap untuk menjalani perjalanan itu bersama.
Setelah beberapa saat dalam diam, Alya membuka pembicaraan lagi. “Kamu tahu, Rizky, sejak kita mulai lebih sering bersama, aku merasa banyak hal berubah. Aku jadi lebih nyaman dengan diriku sendiri, aku jadi lebih terbuka dengan perasaan-perasaan yang selama ini aku pendam. Kamu itu… mungkin kamu nggak sadar, tapi kamu telah mengubah cara aku melihat banyak hal, termasuk tentang cinta.”
Rizky terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Alya. Lalu, dengan senyum penuh pengertian, dia berkata, “Aku juga merasa begitu, Alya. Kamu membuatku melihat dunia dengan cara yang berbeda. Aku merasa lebih terbuka, lebih memahami apa arti cinta yang sebenarnya. Dan aku ingin kita terus berjalan bersama, meskipun kita tahu ada banyak hal yang harus kita hadapi.”
Alya merasakan sesuatu yang hangat memenuhi dadanya. Kata-kata Rizky adalah hal yang ia inginkan selama ini. Ia ingin seseorang yang bisa melihatnya apa adanya, seseorang yang bisa memahami betapa berartinya perasaan ini. Dan Rizky adalah orang itu.
Namun, meskipun perasaan mereka tumbuh dengan kuat, Alya masih merasa ada sesuatu yang perlu mereka bicarakan. Sesuatu yang akan menguatkan hubungan mereka, tetapi juga akan menguji seberapa besar mereka siap untuk menghadapi kenyataan bersama.
“Rizky,” Alya melanjutkan, matanya berkilau dengan tekad. “Aku tahu kita berdua mulai merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Tapi aku juga sadar bahwa kita harus siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Kadang, perasaan itu bisa datang dengan banyak tantangan. Kita harus siap menerima kekurangan kita, menerima semua hal yang bisa mengubah hubungan kita.”
Rizky menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku siap, Alya. Aku tahu nggak ada hubungan yang sempurna. Tapi aku yakin kita bisa menjalani ini dengan saling memahami, saling mendukung. Aku nggak ingin kamu merasa sendirian dalam perjalanan ini. Aku ingin kita melewati semuanya bersama.”
Alya merasa hatinya berdebar lebih cepat. Kalimat-kalimat itu, begitu tulus dan penuh pengertian, membuatnya yakin bahwa mereka bisa menghadapinya bersama. Mereka mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi yang pasti, mereka sudah memulai perjalanan ini dengan penuh keyakinan. Cinta yang mulai terbentuk ini bukanlah sesuatu yang bisa dihancurkan dengan mudah. Mereka sudah mengambil langkah pertama, dan kini mereka tahu bahwa setiap langkah berikutnya akan lebih berarti, lebih penuh makna.
Dengan itu, Alya merasa tenang. Cinta mereka memang baru dimulai, tetapi itu adalah awal dari sesuatu yang besar. Sesuatu yang mungkin akan tumbuh dengan lebih kuat, dengan lebih banyak tantangan, dan lebih banyak kebahagiaan yang mereka jalani bersama. Cinta yang mulai terbentuk perlahan, namun dengan setiap momen, ia menjadi semakin nyata.***
———— THE END————