Daftar Isi
Bab 1 Pertemuan di Antara Dunia
Rara menatap layar laptopnya dengan pandangan kosong. Pagi itu, cuaca di Jakarta cukup terik, namun hatinya justru terasa dingin. Ia baru saja menutup percakapan video dengan temannya di luar negeri, yang seakan-akan memberikan angin segar, meski hanya sejenak. Belum lama ini, hidupnya terasa sedikit stagnan, berputar dalam rutinitas yang itu-itu saja. Di kantor, ia bekerja sebagai desainer grafis, sementara waktu luangnya dihabiskan dengan menonton serial atau membaca buku. Kadang, ia merasa ada kekosongan yang tak bisa ia isi dengan apa pun.
Namun, pada suatu malam yang tak terduga, sebuah pesan datang di akun media sosialnya dari seseorang yang tidak ia kenal.
“Hai, aku melihat kamu suka buku yang sama, ingin ngobrol?”
Rara sempat ragu untuk membalasnya. Sebagai orang yang tidak mudah mempercayai orang asing, ia sering kali mengabaikan pesan semacam itu. Tetapi entah kenapa, kali ini ia merasa ada sesuatu yang menarik dari pesan tersebut. Mungkin karena rasa sepi yang mulai mencekam, atau mungkin karena ketertarikan pada buku yang sama yang disebutkan di profil orang itu “The Midnight Library” sebuah novel yang sudah lama ingin ia baca, tapi belum sempat.
Dengan sedikit keberanian, Rara akhirnya membalas pesan itu.
“Halo, aku juga suka buku itu! Tapi, aku tidak yakin kalau aku sering ngobrol dengan orang yang baru aku kenal.”
Tak lama, balasan itu muncul.
“Aku mengerti kok, tidak apa-apa. Aku cuma penasaran saja, menurutmu apa hal menarik dari buku itu?”
Percakapan itu berlanjut dengan sangat alami, tanpa rasa canggung yang biasanya terjadi dalam percakapan dengan orang asing. Mereka berbicara tentang buku itu, tentang kehidupan mereka masing-masing, tentang kegelisahan yang mereka rasakan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Rara merasa nyaman, bahkan tanpa sadar sudah hampir dua jam berbicara dengan orang yang baru saja ia kenal itu. Nama orang tersebut adalah Ardan.
Ardan, yang ternyata tinggal di Melbourne, Australia, berbicara dengan penuh semangat mengenai segala hal yang ada di sekitarnya. Meskipun ada perbedaan waktu yang cukup jauh antara Indonesia dan Australia, Rara merasa percakapan itu mengalir begitu saja, seperti sudah saling mengenal bertahun-tahun. Mereka mulai bertukar cerita tentang hobi mereka, mimpi-mimpi yang ingin dicapai, dan juga kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam kehidupan masing-masing.
Rara mendengar dengan saksama cerita Ardan tentang bagaimana ia merasa terasing di negara asing, merindukan keluarganya, dan bagaimana pekerjaan yang dilakukannya sering kali membuatnya merasa kesepian. Rara pun bercerita tentang kehidupan di Jakarta yang kadang membuatnya merasa terjebak dalam rutinitas yang membosankan.
Namun, ada satu hal yang membuat Rara merasa janggal, meskipun ia tidak bisa menahannya sebuah perasaan yang mulai tumbuh tanpa ia sadari. Ardan memiliki cara berbicara yang sangat lembut dan menenangkan, seolah-olah ia memahami perasaan Rara tanpa perlu banyak kata. Dalam beberapa kali percakapan, Rara merasa seolah-olah Ardan lebih mengenalnya daripada dirinya sendiri. Mungkin itu karena keduanya berbicara dari hati ke hati, tanpa ada yang disembunyikan.
Tiga minggu berlalu sejak percakapan pertama mereka. Setiap malam, mereka berkomunikasi melalui pesan teks atau panggilan suara, bahkan sesekali video call. Ada sesuatu yang sangat khas tentang Ardan cara dia menceritakan tentang kehidupannya, tentang kebiasaannya yang aneh, atau bahkan tentang apa yang ia makan malam itu. Semua terasa begitu hidup, begitu nyata, meskipun mereka terpisah oleh ribuan kilometer.
Suatu malam, Rara tiba-tiba merasa ingin berbicara lebih banyak lagi. Ia membuka aplikasi pesan di ponselnya dan mengirimkan pesan panjang untuk Ardan, yang sedang berada di kantor. Rara tidak tahu kenapa, tetapi ia merasa ingin berbagi lebih banyak hal tentang rasa kesepian yang kadang menghantui dirinya, tentang kegelisahan tentang masa depan, dan juga tentang ketidakpastian yang melingkupi kehidupannya saat itu.
“Kadang aku merasa hidup ini hanya berputar di tempat, Ardan,” tulis Rara. “Aku merasa seperti orang asing di kota sendiri. Kadang aku berpikir, apa benar ini semua yang aku inginkan? Aku ingin pergi ke suatu tempat, mencari jawaban atas semua kebingunganku ini.”
Pesan itu terkirim, dan Rara menatap layar ponselnya, menunggu balasan. Hatinya berdebar, karena entah kenapa, ia merasa sedikit rentan. Namun, tak lama kemudian, Ardan membalas.
“Aku mengerti perasaanmu, Rara. Di sini, aku juga sering merasa seperti itu. Namun, aku percaya ada alasan kenapa kita berdua bertemu. Mungkin ini bukan kebetulan.”
Rara terdiam membaca pesan itu. Ada sesuatu yang membuatnya merasa lega, tetapi sekaligus bingung. “Mungkin ini bukan kebetulan,” kata-kata itu terus terngiang di telinganya.
Keesokan harinya, mereka melanjutkan percakapan seperti biasa. Mereka tertawa, berbicara tentang hal-hal ringan, dan saling berbagi cerita yang semakin mempererat hubungan mereka. Namun, meskipun percakapan mereka semakin mendalam, Rara masih merasa bingung. Ada satu pertanyaan yang terus mengganggunya: apakah hubungan ini bisa bertahan, mengingat jarak yang begitu jauh?
Ardan menghubungi Rara lebih sering dari sebelumnya. Setiap kali mereka berinteraksi, Rara merasa dunia di sekitarnya menjadi sedikit lebih cerah. Ada kedekatan yang tumbuh, bahkan meskipun mereka hanya berkomunikasi melalui dunia maya. Rara mulai merasa bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, perasaan mereka semakin dekat.
Namun, rasa takut akan ketidakpastian tetap ada. Rara takut bahwa semuanya hanya akan berhenti pada dunia maya, pada kata-kata yang tak terucap secara langsung. Bagaimana jika Ardan hanya ingin berbicara untuk sementara waktu, tanpa ada niat untuk melanjutkannya lebih jauh? Atau, bagaimana jika perasaan ini hanyalah sebuah pelarian dari kehidupan mereka yang penuh tekanan?
Rara mencoba mengusir keraguan itu, tetapi perasaan itu kembali muncul setiap kali ia membuka ponselnya. Mungkin ini hanya langkah pertama dari sebuah perjalanan yang panjang perjalanan yang penuh dengan pertanyaan, kebingungan, dan kemungkinan yang tak terhingga. Namun, satu hal yang pasti—ia mulai merasa sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa penasaran.
“Langit yang terpisah” bukan lagi hanya metafora bagi jarak mereka yang jauh, tapi juga menjadi gambaran tentang perasaan yang perlahan tumbuh, meski tidak dapat disentuh. Rara menyadari, mungkin inilah awal dari perjalanan yang akan mengubah hidupnya. Sebuah perjalanan yang akan membawa mereka melewati dunia maya, menuju dunia nyata tempat di mana langit mereka akan bersatu, tanpa ada lagi yang memisahkan.*
Bab 2 Langit yang Terpisah
Malam itu, Rara duduk di depan layar laptopnya, menatap pesan dari Ardan yang baru saja masuk. Sebuah pesan singkat yang membuatnya merenung lebih dalam:
“Aku rasa kita harus bicara serius tentang ini, Rara.”
Rasa cemas mulai menggerayangi hati Rara. Ardan tidak pernah mengirimkan pesan seperti itu sebelumnya. Biasanya, percakapan mereka selalu ringan dan penuh tawa. Namun, malam ini, kata-kata itu terasa berat. Rara membalas pesan itu, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mulai merayap.
“Ada apa, Ardan?”
Beberapa detik kemudian, balasan Ardan datang. Namun kali ini, ia tidak langsung menjawab. Rara memutuskan untuk menunggu, matanya melayang keluar jendela, menatap langit malam yang berselimutkan awan. Ia merasa terhubung dengan langit itu, tetapi pada saat yang sama, langit itu terasa sangat jauh. Seperti hubungan mereka.
Akhirnya, Ardan membalas.
“Aku ingin kamu tahu, Rara. Aku sangat menghargai hubungan kita, dan aku merasa semakin dekat denganmu setiap hari. Tapi…”
Rara menahan napas. Kata “tapi” itu seakan menjadi duri dalam hatinya. Ardan melanjutkan.
“Tapi aku mulai merasa bahwa jarak yang memisahkan kita bukan hanya masalah fisik. Kadang aku berpikir, apakah kita benar-benar bisa bertahan? Kita tinggal di dua tempat yang sangat berbeda, dengan kehidupan yang sangat berbeda pula. Aku merasa, meskipun kita sering berbicara, ada sesuatu yang hilang. Jarak ini semakin membuatku ragu.”
Pesan itu membuat Rara terhenyak. Sesuatu dalam dirinya terasa terluka, tetapi di saat yang sama, ada rasa yang tidak bisa ia bantah ia merasakan hal yang sama. Meskipun ia mencoba untuk membangun kedekatan, ada bagian dalam dirinya yang merasa cemas tentang masa depan hubungan ini.
Ia membiarkan beberapa menit berlalu sebelum memutuskan untuk membalas. Terkadang, menunggu adalah cara terbaik untuk menemukan kata-kata yang tepat. Dengan hati yang sedikit berdebar, Rara mengetik balasan.
“Aku juga merasakan hal yang sama, Ardan. Tidak mudah untuk terus bertahan seperti ini. Aku kadang merasa kesepian, bahkan meskipun kita selalu berkomunikasi. Aku selalu berpikir, apakah cinta bisa bertahan hanya melalui pesan teks dan video call? Apakah itu cukup untuk mengikat kita?”
Rara menekan tombol kirim, lalu menundukkan kepalanya. Ada perasaan kosong yang datang begitu saja, menyelubungi hatinya yang sebelumnya penuh dengan harapan. Dalam keheningan itu, ia menatap kembali langit malam yang sama, merasa seolah-olah langit itu membentang sangat luas di atasnya, tak terjangkau, tak terbatas.
Tidak lama kemudian, balasan Ardan masuk.
“Aku tahu, Rara. Aku tahu ini sulit. Kita saling mencintai, tetapi kadang aku bertanya-tanya, apakah kita bisa melangkah lebih jauh dari sini. Aku di sini, dan kamu di sana. Jarak ini, waktu ini, semuanya membuatku berpikir tentang masa depan kita.”
Rara menelan ludah, perasaan itu kembali menghantui. Meskipun mereka telah berbicara banyak tentang masa depan, kenyataannya adalah, mereka hidup dalam dua dunia yang sangat berbeda. Ardan di Melbourne, dengan segala kesibukan dan kehidupannya yang penuh dinamika. Sementara Rara, di Jakarta, merasa terjebak dalam rutinitas yang kadang menekan. Mereka hidup di dua belahan dunia, dua benua yang saling terpisah oleh ribuan kilometer. Tetapi bahkan lebih dari itu, mereka hidup di dua dunia emosional yang berbeda.
Rara tahu, meskipun kata-kata Ardan terasa penuh ketulusan, ada kesulitan besar yang tak bisa mereka hindari jarak. Tidak hanya jarak fisik, tetapi juga jarak waktu, kebiasaan, dan kehidupan sehari-hari yang berjarak begitu jauh. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk menahan semua itu?
Namun, di dalam hatinya yang terdalam, Rara tahu bahwa ia tidak ingin kehilangan Ardan. Ia ingin mempertahankan hubungan ini, meskipun ia tahu itu akan sangat sulit. Ia merasa sudah terlalu banyak berbagi dengan Ardan tentang masa kecil mereka, impian mereka, ketakutan mereka. Mereka sudah saling memahami lebih dari sekadar pasangan biasa, dan itu membuatnya enggan melepaskan.
Akhirnya, Rara mengetik pesan balasan lagi.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Ardan. Tapi aku merasa kita tidak bisa hanya menyerah begitu saja. Kita sudah terlalu jauh untuk berhenti. Aku mungkin takut, tapi aku ingin mencoba. Kita harus mencari cara untuk membuat ini berhasil.”
Ardan tidak langsung membalas. Rara menunggu, dan dalam keheningan itu, ia merenung. Apakah keputusan ini benar? Apakah ia bisa bertahan dengan perasaan rindu yang terus menguasai dirinya? Apakah Ardan merasakan hal yang sama? Semua pertanyaan itu berputar-putar dalam pikirannya, seperti awan yang bergulung di langit malam.
Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, pesan balasan Ardan pun tiba.
“Kamu benar, Rara. Kita tidak bisa menyerah begitu saja. Aku juga tidak ingin kehilanganmu. Tapi kita harus memikirkan langkah-langkah selanjutnya, bukan hanya tentang perasaan kita sekarang, tetapi juga tentang masa depan kita.”
Rara merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu. Setidaknya, mereka sepakat untuk tidak menyerah begitu saja. Namun, ia juga tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Mereka harus menghadapi banyak hal—keterbatasan waktu, jarak, perbedaan budaya, dan ketidakpastian tentang masa depan.
Percakapan malam itu menandai titik balik dalam hubungan mereka. Mereka tidak lagi bisa mengabaikan kenyataan tentang jarak yang memisahkan mereka. Mereka harus memilih: apakah mereka akan terus berjuang, atau apakah mereka akan membiarkan jarak itu akhirnya memisahkan mereka selamanya.
Rara menatap langit malam yang gelap, mengingat kembali pesan Ardan yang tadi “Langit yang terpisah”. Entah kenapa, kalimat itu terasa sangat berat. Apakah jarak ini akan selalu menjadi penghalang? Ataukah mereka akan menemukan cara untuk menghadapinya bersama?
Ia menarik napas dalam-dalam, berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari jawaban. Sebab, meskipun langit yang terpisah, Rara tahu perasaan mereka tidak bisa begitu saja dipisahkan oleh batasan-batasan yang ada. Mereka harus menemukan jalan. Tidak ada yang mustahil jika mereka bersama.*
Bab 3 Rindu yang Menggugah
Rara terbangun di pagi hari dengan perasaan yang berbeda. Ada sebuah kekosongan yang menyelubungi hatinya. Biasanya, begitu membuka mata, ia akan mengecek ponselnya, berharap ada pesan baru dari Ardan—meski hanya sekedar ucapan selamat pagi atau sebuah gambar lucu yang bisa membuatnya tersenyum. Tetapi pagi ini, ponselnya tampak sunyi, tidak ada satu pun pemberitahuan yang masuk. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan tak terjawab.
Entah kenapa, perasaan cemas mulai menggerogoti dirinya. Rara tahu bahwa Ardan pasti sibuk dengan pekerjaannya, dan perbedaan waktu juga sering membuat komunikasi mereka terhambat. Namun, entah mengapa, ketidakpastian itu membuatnya merasa sedikit terabaikan. Bagaimana jika semuanya berubah? Bagaimana jika Ardan sudah mulai merasa jenuh dengan hubungan jarak jauh ini?
Dengan langkah pelan, Rara keluar dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur. Ia membuka jendela kecil di dapur, menyambut sinar matahari pagi yang masuk ke dalam ruangan. Jakarta pagi itu tampak cerah, tetapi hatinya terasa penuh dengan awan gelap. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan—rindu yang begitu dalam, namun disertai dengan ketakutan akan kehilangan.
Rara membuka aplikasi pesan di ponselnya dan mengecek kembali percakapan terakhirnya dengan Ardan. Mereka berdua memang sempat berbicara semalam, namun percakapan itu terasa berbeda. Ada sedikit jarak di antara kata-kata mereka, seolah-olah keduanya sedang berusaha menjaga jarak emosional, meskipun perasaan yang mereka miliki seolah berkata lain.
Ia meraih cangkir teh hangat yang sudah ada di meja, mencoba menenangkan diri. Rara mengambil napas panjang, berharap bisa mengusir perasaan cemas yang terus menggumpal di dadanya. Mungkin ini hanya perasaan sementara, dan semuanya akan kembali seperti biasa nanti. Tapi hatinya tetap tidak bisa tenang. Rindu itu datang begitu tiba-tiba mengingatkan dirinya akan betapa dalamnya ia mencintai Ardan, dan betapa sulitnya menjalani semua ini dari jauh.
Tak lama kemudian, sebuah notifikasi masuk. Rara langsung menoleh ke ponselnya. Itu adalah pesan dari Ardan.
“Rara, aku merasa aneh pagi ini. Ada sesuatu yang berbeda, dan aku tidak bisa menghilangkannya. Aku ingin mendengar suaramu, bisa kita video call sebentar?”
Rara merasa lega sekaligus terharu membaca pesan itu. Ardan merasakan hal yang sama—rindu yang mengganggu, dan ingin mendekatkan diri dengan cara apapun yang bisa dilakukan. Rara segera membalas.
“Aku juga merindukanmu, Ardan. Aku merasa kosong tanpa ada kabar darimu. Video call yuk, aku sudah menunggu.”
Setelah beberapa menit, panggilan video Ardan masuk. Rara tidak bisa menahan senyum saat melihat wajah Ardan muncul di layar ponselnya. Meski jarak memisahkan mereka, Ardan selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik. Mata mereka saling bertemu melalui layar itu, meskipun tidak bisa merasakan sentuhan fisik, ada kedekatan yang terjalin begitu nyata di antara keduanya.
“Selamat pagi, Rara.” Suara Ardan terdengar lembut, penuh kehangatan. Rara merasa hatinya sedikit lebih tenang mendengar suara itu.
“Selamat pagi, Ardan. Aku baru saja berpikir tentang kamu, dan… rindu banget.” Rara tidak bisa menahan perasaan itu, kata-kata itu keluar begitu saja.
Ardan tersenyum, meskipun ada sedikit rona kelelahan di matanya. “Aku juga, Rara. Rasanya hari-hari tanpa kamu di sini terasa berbeda. Kadang aku merasa seperti ada yang hilang. Sungguh, aku berharap kita bisa lebih sering berbicara seperti ini.”
Mata Rara terasa berkaca-kaca. Ia tahu, perasaan itu saling mengisi. Rindu yang begitu mendalam, namun terbentur oleh kenyataan bahwa mereka hanya bisa terhubung lewat layar. Terkadang, meskipun mereka berbicara selama berjam-jam, ada bagian dari dirinya yang merasa hampa. Bagian yang ingin merasakan kehadiran Ardan secara fisik, bukan hanya dalam bentuk suara dan gambar.
“Aku juga merasa seperti itu, Ardan. Ada kalanya aku merasa kesepian meskipun kita selalu berkomunikasi. Rasanya aku ingin merasakan sentuhanmu, mendengar tawa kita bersama di tempat yang sama.” Rara menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kesedihannya.
Ardan terlihat serius, matanya memancarkan kehangatan dan kepedulian. “Aku tahu, Rara. Aku benar-benar ingin berada di sana denganmu, bukan hanya melalui layar. Tapi kadang aku merasa terjebak dalam perasaan ini rindu yang begitu kuat, namun tidak bisa aku wujudkan. Aku berharap, suatu hari nanti kita bisa berada di tempat yang sama, tanpa ada jarak yang memisahkan.”
Rara tersenyum, meskipun ada sedikit rasa perih di hatinya. “Aku juga berharap begitu, Ardan. Kadang aku merasa seolah-olah dunia ini terlalu luas, dan kita hanya terkurung dalam ruang yang berbeda.”
“Aku ingin kita menghadapinya bersama. Tidak peduli seberapa jauh jaraknya, Rara. Kita harus bertahan.” Ardan berkata dengan suara yang penuh keyakinan.
Rara merasa ada sedikit kelegaan mendengar kata-kata itu. Ada rasa yakin dalam diri Ardan yang membuatnya merasa lebih kuat. Mereka mungkin terpisah oleh ribuan kilometer, tetapi perasaan mereka tetap terhubung. Meski sulit, mereka tahu bahwa rindu ini tidak akan pernah benar-benar hilang. Yang bisa mereka lakukan adalah menjalani hubungan ini dengan sebaik-baiknya, meskipun terkadang perasaan itu menggugah begitu dalam.
Percakapan mereka berlanjut dengan penuh kehangatan. Rara merasa semakin yakin bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, cinta yang mereka miliki lebih kuat dari apapun. Ada rindu yang menggugah, tetapi juga ada tekad yang bulat untuk tidak menyerah. Seperti Ardan yang selalu mengingatkan dirinya, mereka harus bertahan karena hubungan mereka lebih dari sekedar kata-kata atau jarak. Ini adalah tentang perasaan yang tumbuh dan berkembang, meskipun tidak selalu bisa dipahami sepenuhnya.
Setelah beberapa waktu, video call itu berakhir. Rara menatap layar ponselnya, tersenyum kepada diri sendiri. Rindu itu memang menggugah, tetapi cinta mereka jauh lebih besar daripada itu. Mungkin, meskipun langit yang terpisah, mereka bisa tetap melangkah bersama, menjalin ikatan yang kuat meski dunia tampak terpisah.*
Bab 4 Surat Cinta yang Terlupakan
Rara duduk di meja kerjanya, menyelesaikan beberapa pekerjaan desain grafis untuk klien yang datang mendadak. Meskipun pekerjaannya tidak terlalu sulit, pikirannya terus melayang. Ia merasa ada yang mengganjal, ada yang hilang sesuatu yang belum ia sadari sepenuhnya. Waktu terasa begitu lambat hari itu. Ia telah menghabiskan lebih dari setengah hari di depan layar, namun pikirannya tetap saja berkelana jauh, kembali ke percakapan-percakapan dengan Ardan yang selalu membuatnya merasa terhubung meskipun jarak memisahkan mereka.
Pagi itu, seperti biasa, ia mengecek ponselnya. Sejumlah pesan masuk, namun yang menarik perhatiannya adalah sebuah pesan dari Ardan. Pesan itu masuk beberapa jam lalu, namun ia baru sempat membukanya sekarang. Rara membuka pesan itu dengan rasa ingin tahu yang sedikit tercampur kekhawatiran.
“Rara, aku menemukan sesuatu yang sangat berharga tadi. Itu dari kamu, surat yang kamu tulis waktu kita pertama kali bertemu.”
Rara terhenyak membaca kata-kata itu. Surat? Apa yang dimaksud Ardan? Ia merasa bingung. Memang, mereka sudah saling berbicara banyak hal dalam percakapan mereka, tetapi ia tidak pernah menulis surat untuk Ardan. Rara ingat, beberapa bulan lalu, ia sempat mengirimkan sebuah surat kepada Ardan, namun surat itu ditulis dalam bentuk digital, bukan fisik. Apakah itu yang dimaksud Ardan?
“Kamu menemukan surat itu?” balas Rara, merasa sedikit penasaran dan cemas.
Ardan membalas dengan cepat.
“Iya, aku menemukan surat itu di folder lama di emailku. Itu adalah surat yang kamu kirimkan saat kita baru mulai berbicara. Surat yang penuh dengan harapan dan impian. Aku lupa bahwa aku menyimpannya, dan membaca surat itu lagi membuat aku teringat bagaimana kita berdua dulu memulai perjalanan ini.”
Rara terdiam sejenak. Surat itu… ia ingat sekarang. Itu adalah surat yang ia tulis saat mereka pertama kali mulai berkenalan. Saat itu, ia merasa ada sesuatu yang sangat berbeda dalam hubungan ini, sesuatu yang membuatnya ingin menyampaikan perasaan yang belum pernah ia ungkapkan kepada siapa pun sebelumnya. Ia merasa bahwa perasaan itu perlu dituangkan dalam sebuah surat—bukan sekadar pesan teks atau email biasa, tetapi sesuatu yang lebih mendalam, lebih pribadi.
Rara segera membuka emailnya dan mencari surat itu. Ketika akhirnya ia menemukannya, ia membuka surat tersebut, membaca kalimat-kalimat yang pernah ia tulis berbulan-bulan lalu. Matanya membelalak saat membaca setiap kata, seolah-olah surat itu ditulis oleh orang yang berbeda—seorang Rara yang penuh harapan, yang belum terhalang oleh ketidakpastian dan ketakutan akan jarak.
“Ardan, aku merasa seolah-olah dunia ini terlalu kecil untuk memisahkan kita. Aku tahu kita belum saling mengenal begitu lama, tetapi aku merasa bahwa ada sesuatu yang besar yang menghubungkan kita. Mungkin ini terdengar gila, tetapi aku merasa kamu adalah bagian dari hidupku yang hilang selama ini. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan ini, tetapi aku ingin kita berusaha untuk saling memahami, meskipun kita terpisah oleh ribuan kilometer.”
Rara terdiam membaca kata-kata itu. Surat itu adalah gambaran dari dirinya yang dulu penuh harapan, penuh impian tentang masa depan yang cerah, yang tidak mempedulikan jarak dan waktu. Namun, sekarang setelah berbulan-bulan menjalani hubungan jarak jauh ia merasa jauh lebih realistis. Apakah perasaan ini masih sama seperti dulu?
Perasaan rindu yang menggebu-gebu, perasaan cinta yang mengalir setiap kali mereka berbicara, itu semua memang masih ada. Tetapi ketakutan juga datang seiring berjalannya waktu ketakutan bahwa hubungan ini akan terhenti di tengah jalan, bahwa jarak yang memisahkan mereka akan menjadi penghalang yang tidak dapat mereka atasi. Surat itu, dengan kata-kata yang begitu murni dan penuh harapan, terasa seperti sebuah kenangan yang terlupakan sebuah bagian dari dirinya yang kini terlihat begitu naif.
Rara teringat kembali beberapa hari lalu, ketika ia dan Ardan sempat membahas tentang masa depan mereka. Mereka berbicara tentang kemungkinan untuk bertemu di suatu tempat, atau bahkan mungkin berpindah ke negara lain untuk hidup bersama. Tetapi selalu ada keraguan yang menghantui mereka. Waktu dan jarak selalu menjadi topik yang mengusik, dan Rara merasa bahwa meskipun mereka mencoba sekuat tenaga, tidak semua mimpi bisa terwujud.
Ponselnya bergetar, memecah lamunannya. Itu adalah pesan dari Ardan.
“Rara, setelah aku membaca surat itu, aku merasa kita telah berjalan begitu jauh. Ada banyak hal yang berubah, dan banyak hal yang kita hadapi bersama. Tapi satu hal yang tidak berubah adalah perasaan kita satu sama lain. Aku tahu kita menghadapi banyak tantangan, tetapi aku percaya kita bisa melewati semuanya. Aku percaya kita bisa mencari jalan keluar, asal kita saling mendukung.”
Rara membaca pesan itu berkali-kali. Kata-kata Ardan terasa begitu menguatkan. Namun, di sisi lain, ia merasa berat. Ada bagian dari dirinya yang ingin melanjutkan hubungan ini, tetapi ada juga bagian yang merasa khawatir jika mereka terus terjebak dalam rutinitas komunikasi yang tidak pernah berujung pada kenyataan. Surat cinta yang terlupakan ini, dengan segala harapannya, semakin membuatnya sadar bahwa meskipun cinta itu ada, tidak semua hal berjalan sesuai rencana.
“Aku juga percaya, Ardan,” jawab Rara akhirnya. “Aku ingin kita bertahan, meskipun kadang aku merasa ragu. Surat itu—itu adalah bagian dari aku yang ingin selalu percaya bahwa kita bisa melampaui segalanya. Tapi kadang, aku merasa takut. Takut jika kita tidak pernah bisa benar-benar bersama.”
Beberapa detik berlalu sebelum Ardan membalas.
“Rara, kita sudah terlalu jauh untuk berhenti. Kita harus mencari cara, tidak peduli betapa sulitnya. Kita telah melewati banyak hal bersama, dan itu adalah hal yang membuatku yakin kita bisa terus berjalan. Aku tidak ingin kehilanganmu.”
Rara menundukkan kepala, perasaan itu semakin menggugah hatinya. Surat itu yang seharusnya menjadi kenangan lama—kini terasa seperti sebuah pengingat bahwa perasaan mereka tidak hanya sekadar kata-kata, tetapi sebuah janji untuk terus berusaha. Ardan benar. Mereka tidak bisa berhenti hanya karena rintangan yang ada. Mereka harus terus mencari cara agar tetap bisa bersama, meskipun segala macam tantangan menghampiri.
Rara menarik napas dalam-dalam. Surat cinta yang terlupakan itu, yang pernah ia tulis dengan penuh harapan, kini menjadi simbol dari segala perasaan yang mereka jalani. Perasaan yang kadang ragu, kadang penuh ketakutan, namun tetap bertahan. Surat itu bukan hanya tentang harapan yang tulus, tetapi juga tentang perjalanan yang terus berlanjut meski dunia terasa terpisah.
“Aku tidak ingin kehilanganmu juga, Ardan.” Balas Rara, dengan hati yang lebih tenang.*
Bab 5 Menyambung Langit
Rara menatap layar ponselnya, menunggu pesan dari Ardan. Sudah lebih dari seminggu sejak percakapan mereka tentang masa depan dan jarak yang memisahkan. Setiap detik terasa lebih lama dari biasanya. Rasa rindu itu semakin menggugah, semakin menuntut untuk diperhatikan. Sudah terlalu lama mereka berdua hanya bisa berbicara melalui layar. Mereka sudah berbicara tentang banyak hal, berbagi tawa, berbagi harapan, tetapi ada satu hal yang belum bisa mereka temukan jawabannya: bagaimana cara menyambung langit yang terpisah?
Setiap kali berbicara dengan Ardan, Rara merasa dunia ini begitu luas. Walaupun ia tahu Ardan di sana, di Melbourne, dengan kehidupannya yang penuh dengan rutinitas yang kadang-kadang membuatnya merasa jauh, ada sesuatu yang membuat Rara merasa seperti ia sedang berbicara dengan bayangannya sendiri. Ada kesenjangan emosional yang sulit diungkapkan, meskipun mereka sudah mencoba sebaik mungkin untuk menjaga hubungan ini tetap hidup.
Ponselnya bergetar, memecah lamunan Rara. Itu adalah pesan dari Ardan.
“Rara, aku baru selesai dari rapat. Maaf, aku baru sempat menghubungi kamu sekarang.”
Rara tersenyum kecil. Meskipun tidak ada yang baru dalam pesannya, ia merasa sedikit lega. Setidaknya Ardan masih memikirkan dirinya meskipun kesibukan menghalangi komunikasi mereka. Ia membalas cepat.
“Gak masalah, aku juga baru selesai kerja kok. Rasanya lama banget gak ngobrol serius. Kamu lagi sibuk banget ya?”
Balasan Ardan datang dalam hitungan detik.
“Iya, akhir-akhir ini memang agak padat. Tapi aku tahu, kita harus cari waktu untuk lebih banyak berbicara. Aku rasa kita mulai kehilangan arah, Rara. Aku merasa ada banyak hal yang belum kita bicarakan, dan aku takut kita terjebak dalam rutinitas tanpa benar-benar menghadapinya.”
Kata-kata Ardan membuat Rara terdiam. Ia tahu bahwa akhir-akhir ini komunikasi mereka terasa sedikit hambar. Mereka masih berbicara, tetapi semuanya terasa seperti hanya sekadar mengisi waktu. Kadang mereka saling bertukar cerita seputar aktivitas sehari-hari, tetapi seringkali pembicaraan itu hanya berputar di sekitar topik yang itu-itu saja. Tidak ada pembicaraan tentang masa depan, tentang impian mereka, tentang bagaimana mereka bisa benar-benar bersama suatu hari nanti.
“Aku juga merasa seperti itu, Ardan. Kita semakin jauh meskipun kita selalu berbicara. Kadang aku merasa seolah-olah kita sudah kehilangan arah.”
Ardan membalas dengan lebih serius.
“Aku tidak ingin kita seperti ini, Rara. Aku tahu kita sudah banyak berkorban, tetapi aku ingin kita punya tujuan yang lebih jelas. Kita tidak bisa terus seperti ini, hanya bertahan dengan rindu dan perasaan yang tidak bisa kita wujudkan. Aku ingin kita menyusun rencana sesuatu yang konkrit, yang bisa membuat kita merasa lebih dekat, meskipun jarak tetap ada.”
Rara merasa hatinya berdebar. Ada keinginan besar dalam dirinya untuk mengatakan “ya, kita bisa melakukannya,” tetapi juga ada ketakutan yang datang seiring dengan pertanyaan itu. Apa yang bisa mereka lakukan? Bagaimana cara mereka bisa menyambung langit yang terpisah?
“Aku setuju,” balas Rara, meskipun suaranya terdengar sedikit gemetar. “Tapi, apa yang harus kita lakukan, Ardan? Aku merasa kita sudah mencoba segala cara, tetapi selalu ada sesuatu yang menghalangi. Entah itu waktu, atau kesibukan, atau bahkan jarak itu sendiri.”
Ardan memberikan jawaban yang singkat, namun penuh makna.
“Mungkin kita harus mulai dengan satu hal yang sederhana. Mencari cara agar kita bisa lebih sering bersama, bahkan jika itu hanya dalam bentuk obrolan yang lebih berarti. Aku ingin kita membuat waktu untuk satu sama lain, Rara. Aku ingin mendengar suara kamu lebih sering, aku ingin kita bisa berbagi lebih banyak lagi, bukan hanya tentang rutinitas, tapi tentang apa yang benar-benar kita impikan.”
Rara mengangguk, meskipun Ardan tidak bisa melihatnya. Itu adalah hal yang paling ia inginkan untuk kembali merasakan kedekatan itu, untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih dalam, bukan hanya tentang pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Ia ingin merasakan kembali semangat yang dulu ada, saat mereka pertama kali berbicara, saat mereka saling berbagi impian dan harapan.
“Aku juga ingin itu, Ardan,” jawab Rara, dan kali ini suaranya terdengar lebih yakin. “Aku ingin kita membuat rencana. Aku ingin kita bisa saling berbagi lebih banyak. Mungkin kita bisa mulai dengan hal kecil dulu. Misalnya, menetapkan waktu untuk obrolan rutin, atau bahkan merencanakan perjalanan bersama.”
Ardan membalas dengan penuh antusias.
“Itu ide bagus, Rara. Aku juga berpikir kita bisa merencanakan untuk bertemu dalam beberapa bulan ke depan. Aku tahu itu bukan hal yang mudah, tapi jika kita berdua berusaha, aku yakin kita bisa melakukannya. Kita tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian.”
Rara merasakan semangat baru dalam dirinya. Meskipun masih ada banyak hal yang harus mereka hadapi, setidaknya mereka sudah mulai bergerak ke arah yang lebih jelas. Rencana-rencana yang mereka buat mungkin tidak sempurna, tetapi ada satu hal yang pasti mereka berdua ingin memperjuangkan hubungan ini. Mereka ingin menyambung langit yang terpisah, sedikit demi sedikit.
“Aku senang mendengar itu, Ardan. Aku ingin kita lebih sering berbicara tentang masa depan, bukan hanya tentang bagaimana bertahan dengan jarak ini, tetapi tentang apa yang akan kita lakukan untuk menghadapinya bersama.”
Ardan mengirimkan pesan yang panjang.
“Rara, aku ingin kamu tahu, meskipun kita terpisah oleh jarak, aku merasa sangat dekat denganmu. Setiap kali kita berbicara, aku merasa seperti kita hanya berada di satu tempat yang sama. Dan aku ingin itu terus berlanjut, bahkan ketika kita tidak bisa bertemu. Aku percaya, dengan waktu dan usaha, kita bisa menyambung langit yang terpisah ini.”
Rara terdiam membaca pesan itu. Ia merasakan perasaan yang sama. Ada banyak hal yang tidak bisa mereka kontrol, tetapi satu hal yang pasti: cinta mereka lebih besar dari sekadar jarak dan waktu. Meskipun langit mereka terpisah, mereka tahu bahwa selama mereka terus berusaha, mereka akan menemukan cara untuk menyambungkannya kembali.
“Aku juga percaya itu, Ardan. Aku ingin kita berjuang bersama.”
Obrolan mereka berlanjut dengan penuh harapan. Meskipun ada banyak ketidakpastian yang masih harus dihadapi, satu hal yang pasti adalah mereka berdua tidak ingin melepaskan apa yang sudah mereka bangun. Jarak mungkin masih ada, tetapi mereka mulai memahami bahwa tidak ada yang mustahil jika mereka berdua berusaha untuk menyambung langit yang terpisah.
Dengan semangat yang baru, Rara menatap langit malam yang terbentang luas di atasnya. Mungkin langit mereka terpisah oleh ribuan kilometer, tetapi hati mereka selalu dekat. Dan selama mereka bersama, tidak ada jarak yang terlalu jauh untuk mereka taklukkan.*
Bab 6 Langit yang Tak Lagi Terpisah
Hari itu, Rara terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ada sebuah ketenangan yang menenangkan hatinya, meskipun jarak masih tetap ada. Sejak percakapan terakhir dengan Ardan, banyak hal yang mulai berubah dalam dirinya. Mereka berdua telah membuat keputusan penting—untuk tidak lagi membiarkan jarak menjadi halangan yang tak teratasi. Mereka sepakat untuk terus berjuang, untuk merencanakan pertemuan nyata, untuk melangkah lebih dekat ke masa depan bersama.
Sambil mempersiapkan sarapan, Rara memeriksa ponselnya. Di sana, ada pesan dari Ardan yang baru saja ia terima beberapa menit yang lalu.
“Rara, aku baru saja mengatur jadwal perjalanan. Aku akan datang ke Jakarta bulan depan. Kita akan bertemu, dan aku sudah tidak sabar untuk melihatmu lagi.”
Mata Rara tiba-tiba berkaca-kaca. Ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan sebuah perasaan yang muncul dari dalam dirinya dan membanjiri hatinya. Meskipun ini bukanlah pertemuan yang sangat besar dalam arti fisik hanya beberapa hari yang bisa mereka habiskan bersama tapi itu adalah sesuatu yang mereka impikan. Langit yang terpisah kini tidak lagi menjadi jarak yang tak bisa ditembus. Ardan akan datang, dan itu berarti mereka akan bertemu dalam dunia nyata setelah berbulan-bulan hanya berhubungan lewat layar.
Rara membalas pesan itu dengan cepat.
“Aku tidak percaya. Ini benar-benar terjadi? Aku sudah sangat merindukanmu, Ardan. Aku tidak sabar untuk bertemu.”
Ardan segera membalas.
“Aku juga, Rara. Kita sudah terlalu lama berbicara tentang rencana ini, dan akhirnya aku merasa kita sudah siap untuk melangkah lebih jauh. Tidak ada lagi alasan untuk menunda, kita harus mulai bergerak menuju masa depan bersama.”
Rara meletakkan ponselnya dan memejamkan mata sejenak, berusaha meresapi pesan itu. Dalam beberapa bulan terakhir, mereka telah banyak berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada, tentang pertemuan yang mungkin terjadi suatu saat nanti. Tapi kali ini, itu bukan sekadar harapan kosong. Ini adalah kenyataan. Ardan benar-benar akan datang.
Saat hari berlalu, Rara mulai merasakan sebuah perasaan yang lebih tenang—kelegaan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia tahu bahwa mereka akan bertemu, dan itulah yang selama ini ia inginkan. Jarak yang dulu terasa seperti tembok besar kini hanya menjadi sebuah bayangan yang memudar seiring berjalannya waktu.
Setelah seharian bekerja, Rara duduk di balkon apartemennya, memandang langit sore yang mulai berubah warna. Senja datang dengan perlahan, membawa kedamaian yang terasa begitu indah. Rara merasa bahwa, seiring dengan perubahan langit yang begitu memukau itu, hidupnya juga berubah. Langit yang selama ini terpisah, yang selalu membuatnya merasa rindu dan jauh, kini seolah menyatu. Semua yang ia impikan selama ini tentang Ardan untuk bertemu, untuk merasakan kehadirannya secara langsung sekarang tampak semakin nyata.
“Langit yang terpisah,” pikirnya, “tapi bukan lagi untuk selamanya.”
Ponselnya bergetar lagi. Kali ini, itu adalah panggilan video dari Ardan.
Rara tidak membuang waktu. Ia segera menjawabnya dan menyambut Ardan dengan senyuman yang tidak bisa ia sembunyikan. Di layar ponselnya, Ardan terlihat lebih nyata dari sebelumnya—wajahnya yang begitu familiar, mata cokelatnya yang menenangkan, dan senyumnya yang selalu mampu membuatnya merasa lebih baik.
“Hai, sayang,” Ardan menyapa dengan hangat, wajahnya memantulkan cahaya senja dari jendela kamar. “Kamu sedang apa?”
Rara tersenyum, duduk dengan nyaman di kursi balkon.
“Aku sedang menikmati senja, memikirkan kamu,” jawab Rara dengan lembut. “Akhirnya, kamu akan datang, Ardan. Aku tidak tahu harus berkata apa. Rasanya seperti mimpi.”
Ardan tertawa pelan, seolah tahu betul betapa pentingnya momen ini bagi mereka berdua.
“Aku juga merasa seperti itu. Tapi ini bukan mimpi, Rara. Kita sudah berjanji untuk membuat semuanya menjadi kenyataan. Aku datang ke Jakarta untuk kita untuk kita berbicara langsung, untuk kita melangkah lebih dekat. Tidak ada lagi jarak yang bisa menghalangi kita.”
Rara menatap Ardan dengan tatapan penuh cinta, merasakan kehangatan yang mengalir meski mereka masih terpisah oleh layar ponsel. Namun, kali ini perasaan itu berbeda. Mereka sedang merencanakan masa depan mereka, dan itu terasa jauh lebih nyata daripada sebelumnya.
“Aku tidak sabar, Ardan. Kita akan melihat dunia bersama-sama. Kita akan membangun kenangan, dan kita akan menghadapi apa pun yang datang di depan kita.”
Ardan mengangguk, wajahnya serius namun penuh harapan.
“Aku berjanji, Rara. Kita akan melakukannya bersama-sama. Aku akan datang dan kita akan menghadapi dunia yang baru. Tidak ada lagi langit yang terpisah, hanya langit yang menyatukan kita.”
Rara menatapnya lama, merasakan perasaan yang begitu dalam, begitu kuat. Bagaimanapun juga, mereka telah berjuang begitu lama, melalui berbagai ujian, melalui rindu yang menguras hati. Namun, semua itu kini berbuah manis pertemuan yang selama ini hanya ada dalam impian, akan segera menjadi kenyataan.
Senja perlahan berubah menjadi malam, dan di langit yang gelap itu, Rara merasakan ada secercah harapan yang semakin terang. Langit yang terpisah kini bukan lagi penghalang, tetapi sebuah pengingat bahwa meskipun ada jarak, mereka telah menemukan cara untuk menyatukan dunia mereka. Setiap kata yang mereka ucapkan, setiap janji yang mereka buat, semakin mendekatkan mereka satu sama lain.
Malam itu, Rara terlelap dengan senyum yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu, meskipun jarak masih ada, langit mereka tidak lagi terpisah. Mereka akan bersama, dan dunia mereka akan bersatu, sedikit demi sedikit.***
————–THE END—————-