Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

LANGIT MENYAKSIKAN CINTA KITA

LANGIT MENYAKSIKAN CINTA KITA

SAME KADE by SAME KADE
March 31, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 33 mins read
LANGIT MENYAKSIKAN CINTA KITA

Daftar Isi

  • BAB 1: Langit yang Mempertemukan Kita
  • BAB 2: Lukisan Langit dan Perasaan yang Tumbuh
  • BAB 3:PERASAAN YANG TUMBUH
  • BAB 4: Langit yang Jauh, Hati yang Berubah
  • BAB 5: Rasa yang Tak Terungkap
  • BAB 6: Kembali ke Tempat Awal
  • BAB 7: Langit Menyaksikan Jawaban Kita

BAB 1: Langit yang Mempertemukan Kita

Alya dan Raka pertama kali bertemu di festival seni saat mereka sama-sama mengabadikan keindahan senja. Dari percakapan tentang langit, muncul rasa penasaran dan ketertarikan.

Langit sore itu dihiasi semburat jingga yang perlahan memudar menjadi ungu kebiruan. Awan-awan tipis melayang dengan tenang, seolah ikut menikmati perubahan warna yang memukau. Udara terasa hangat, berpadu dengan semilir angin yang membawa aroma hujan yang baru saja reda beberapa jam sebelumnya. Festival seni di alun-alun kota tengah berlangsung meriah. Seniman dari berbagai daerah berkumpul untuk menampilkan karya mereka: lukisan, fotografi, patung, serta berbagai pertunjukan seni lainnya.

Di tengah keramaian, seorang gadis berdiri di tepi pagar pembatas taman dengan kamera menggantung di lehernya. Ia menyesuaikan fokus lensanya, mengarahkan bidikan ke langit senja yang begitu indah. Gadis itu adalah Alya, seorang mahasiswa seni rupa yang memiliki ketertarikan mendalam terhadap fotografi. Baginya, langit adalah kanvas alam yang selalu berubah, menciptakan lukisan baru setiap harinya.

Saat sedang asyik memotret, tiba-tiba seseorang berdiri di sampingnya, juga mengarahkan kamera ke langit. Seorang pemuda dengan kemeja denim biru, rambutnya sedikit berantakan karena tertiup angin. Matanya tajam, penuh konsentrasi, dan sesekali ia menekan tombol kameranya. Alya melirik sekilas, merasa penasaran dengan sosok yang sepertinya memiliki ketertarikan yang sama dengannya.

“Kamu juga suka memotret langit?” tanya Alya, mencoba membuka percakapan.

Pemuda itu menoleh dan tersenyum tipis. “Ya. Langit selalu punya cerita, menurutku. Selalu berubah, tapi tetap punya keindahannya sendiri.”

Alya tersenyum mendengar jawaban itu. “Aku juga berpikir begitu. Rasanya langit selalu punya sesuatu untuk diceritakan. Kadang tenang, kadang mendung, kadang penuh warna.”

“Kamu seorang fotografer?” tanya pemuda itu.

“Bisa dibilang begitu. Aku masih belajar. Namaku Alya,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.

“Raka,” jawabnya, menyambut uluran tangan Alya.

Mereka kembali menatap langit. Sinar matahari perlahan menghilang di balik cakrawala, meninggalkan kilauan cahaya keemasan yang tercermin di jendela-jendela bangunan sekitar. Festival seni semakin ramai, tetapi Alya dan Raka justru tenggelam dalam percakapan mereka.

“Kalau boleh tahu, apa yang paling kamu suka dari langit?” tanya Raka, matanya masih menatap senja yang mulai beranjak pergi.

Alya berpikir sejenak sebelum menjawab. “Ketidakpastiannya. Langit selalu berubah, tapi tetap ada di sana. Kadang cerah, kadang mendung, tapi selalu memberikan harapan.”

Raka mengangguk. “Menarik. Kalau aku… mungkin aku suka karena langit itu luas, tanpa batas. Membuatku merasa bebas.”

Percakapan mereka berlanjut, berputar pada banyak hal—tentang fotografi, seni, mimpi, dan hal-hal kecil yang sering terabaikan. Alya baru tahu bahwa Raka adalah seorang mahasiswa arsitektur, yang juga memiliki ketertarikan pada seni visual. Mereka membandingkan hasil jepretan masing-masing, berdiskusi tentang sudut pengambilan gambar, pencahayaan, dan komposisi.

Seiring waktu, langit malam mulai menggantikan senja. Cahaya lampu festival menambah suasana menjadi lebih magis. Raka menatap Alya yang masih asyik melihat hasil foto di kameranya. Ada sesuatu dalam dirinya yang berkata bahwa pertemuan ini bukan kebetulan.

“Alya, apakah kamu percaya pada takdir?” tanyanya tiba-tiba.

Alya menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tersenyum samar sebelum menjawab. “Aku percaya bahwa setiap orang dipertemukan dengan alasan. Mungkin untuk belajar sesuatu, mungkin untuk mengubah jalan hidup kita. Dan mungkin… untuk sesuatu yang lebih besar.”

Raka terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. “Aku juga ingin percaya. Mungkin pertemuan kita ini juga bagian dari itu.”

Alya tertawa kecil. “Mungkin langit memang sedang menyaksikan sesuatu yang istimewa malam ini.”

Tanpa mereka sadari, di atas mereka, bintang-bintang mulai bermunculan, menjadi saksi atas awal sebuah kisah yang belum mereka pahami sepenuhnya.

Tanpa mereka sadari, di atas mereka, bintang-bintang mulai bermunculan, menjadi saksi atas awal sebuah kisah yang belum mereka pahami sepenuhnya.

Di tengah percakapan yang semakin dalam, tiba-tiba terdengar suara musik dari salah satu panggung utama. Alya menoleh, matanya berbinar saat mengenali lagu yang dimainkan.

“Aku suka lagu ini!” katanya antusias. “Ayo kita lihat lebih dekat.”

Raka mengangguk dan mengikuti langkah Alya menuju kerumunan. Mereka menyelinap di antara pengunjung festival yang asyik menikmati pertunjukan. Suara gitar akustik berpadu dengan suara penyanyi yang lembut, menciptakan atmosfer yang hangat dan syahdu.

Saat lagu berakhir, Alya bertepuk tangan dengan penuh semangat. Ia menoleh ke arah Raka dan tersenyum. “Malam ini terasa sempurna, ya?”

Raka mengangguk. “Ya. Dan aku senang bertemu denganmu.”

Alya tertawa kecil. “Kita lihat nanti apakah ini hanya pertemuan singkat atau sesuatu yang lebih.”

Mereka menghabiskan sisa malam dengan menjelajahi festival, mencoba jajanan khas daerah, dan menikmati berbagai instalasi seni yang dipamerkan. Sesekali, Alya mengabadikan momen dengan kameranya, dan tanpa ia sadari, Raka juga mulai mengabadikan sosok Alya dalam kameranya sendiri.

Langit malam semakin pekat, tetapi di hati mereka, sebuah kisah baru mulai bersemi.

Langit sore itu dihiasi semburat jingga yang perlahan memudar menjadi ungu kebiruan. Awan-awan tipis melayang dengan tenang, seolah ikut menikmati perubahan warna yang memukau. Udara terasa hangat, berpadu dengan semilir angin yang membawa aroma hujan yang baru saja reda beberapa jam sebelumnya. Festival seni di alun-alun kota tengah berlangsung meriah. Seniman dari berbagai daerah berkumpul untuk menampilkan karya mereka: lukisan, fotografi, patung, serta berbagai pertunjukan seni lainnya.

Di tengah keramaian, seorang gadis berdiri di tepi pagar pembatas taman dengan kamera menggantung di lehernya. Ia menyesuaikan fokus lensanya, mengarahkan bidikan ke langit senja yang begitu indah. Gadis itu adalah Alya, seorang mahasiswa seni rupa yang memiliki ketertarikan mendalam terhadap fotografi. Baginya, langit adalah kanvas alam yang selalu berubah, menciptakan lukisan baru setiap harinya.

Saat sedang asyik memotret, tiba-tiba seseorang berdiri di sampingnya, juga mengarahkan kamera ke langit. Seorang pemuda dengan kemeja denim biru, rambutnya sedikit berantakan karena tertiup angin. Matanya tajam, penuh konsentrasi, dan sesekali ia menekan tombol kameranya. Alya melirik sekilas, merasa penasaran dengan sosok yang sepertinya memiliki ketertarikan yang sama dengannya.

“Kamu juga suka memotret langit?” tanya Alya, mencoba membuka percakapan.

Pemuda itu menoleh dan tersenyum tipis. “Ya. Langit selalu punya cerita, menurutku. Selalu berubah, tapi tetap punya keindahannya sendiri.”

Alya tersenyum mendengar jawaban itu. “Aku juga berpikir begitu. Rasanya langit selalu punya sesuatu untuk diceritakan. Kadang tenang, kadang mendung, kadang penuh warna.”

“Kamu seorang fotografer?” tanya pemuda itu.

“Bisa dibilang begitu. Aku masih belajar. Namaku Alya,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.

“Raka,” jawabnya, menyambut uluran tangan Alya.

Mereka kembali menatap langit. Sinar matahari perlahan menghilang di balik cakrawala, meninggalkan kilauan cahaya keemasan yang tercermin di jendela-jendela bangunan sekitar. Festival seni semakin ramai, tetapi Alya dan Raka justru tenggelam dalam percakapan mereka.

“Kalau boleh tahu, apa yang paling kamu suka dari langit?” tanya Raka, matanya masih menatap senja yang mulai beranjak pergi.

Alya berpikir sejenak sebelum menjawab. “Ketidakpastiannya. Langit selalu berubah, tapi tetap ada di sana. Kadang cerah, kadang mendung, tapi selalu memberikan harapan.”

Raka mengangguk. “Menarik. Kalau aku… mungkin aku suka karena langit itu luas, tanpa batas. Membuatku merasa bebas.”

Percakapan mereka berlanjut, berputar pada banyak hal—tentang fotografi, seni, mimpi, dan hal-hal kecil yang sering terabaikan. Alya baru tahu bahwa Raka adalah seorang mahasiswa arsitektur, yang juga memiliki ketertarikan pada seni visual. Mereka membandingkan hasil jepretan masing-masing, berdiskusi tentang sudut pengambilan gambar, pencahayaan, dan komposisi.

Seiring waktu, langit malam mulai menggantikan senja. Cahaya lampu festival menambah suasana menjadi lebih magis. Raka menatap Alya yang masih asyik melihat hasil foto di kameranya. Ada sesuatu dalam dirinya yang berkata bahwa pertemuan ini bukan kebetulan.

“Alya, apakah kamu percaya pada takdir?” tanyanya tiba-tiba.

Alya menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tersenyum samar sebelum menjawab. “Aku percaya bahwa setiap orang dipertemukan dengan alasan. Mungkin untuk belajar sesuatu, mungkin untuk mengubah jalan hidup kita. Dan mungkin… untuk sesuatu yang lebih besar.”

Raka terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. “Aku juga ingin percaya. Mungkin pertemuan kita ini juga bagian dari itu.”

Alya tertawa kecil. “Mungkin langit memang sedang menyaksikan sesuatu yang istimewa malam ini.”

Di tengah percakapan yang semakin dalam, tiba-tiba terdengar suara musik dari salah satu panggung utama. Alya menoleh, matanya berbinar saat mengenali lagu yang dimainkan.

“Aku suka lagu ini!” katanya antusias. “Ayo kita lihat lebih dekat.”

Raka mengangguk dan mengikuti langkah Alya menuju kerumunan. Mereka menyelinap di antara pengunjung festival yang asyik menikmati pertunjukan. Suara gitar akustik berpadu dengan suara penyanyi yang lembut, menciptakan atmosfer yang hangat dan syahdu.

Saat lagu berakhir, Alya bertepuk tangan dengan penuh semangat. Ia menoleh ke arah Raka dan tersenyum. “Malam ini terasa sempurna, ya?”

Raka mengangguk. “Ya. Dan aku senang bertemu denganmu.”

Alya tertawa kecil. “Kita lihat nanti apakah ini hanya pertemuan singkat atau sesuatu yang lebih.”

Mereka menghabiskan sisa malam dengan menjelajahi festival, mencoba jajanan khas daerah, dan menikmati berbagai instalasi seni yang dipamerkan. Sesekali, Alya mengabadikan momen dengan kameranya, dan tanpa ia sadari, Raka juga mulai mengabadikan sosok Alya dalam kameranya sendiri.

Saat malam semakin larut, mereka duduk di bangku taman yang sedikit lebih sepi dari keramaian. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan wangi bunga dari sekitar taman.

“Apa impian terbesarmu, Alya?” tanya Raka tiba-tiba.

Alya terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku ingin suatu hari nanti karyaku dikenal. Aku ingin menangkap momen yang bisa membuat orang merasa sesuatu… entah bahagia, sedih, atau bahkan terinspirasi. Fotografi bukan sekadar gambar, tapi cerita yang tertangkap dalam satu frame.”

Raka menatap Alya dengan kagum. “Itu keren. Aku rasa kamu akan mencapainya.”

Alya tersenyum. “Kalau kamu sendiri? Apa impianmu?”

Raka menatap langit. “Aku ingin merancang sesuatu yang akan diingat orang. Bukan sekadar bangunan, tapi sesuatu yang punya makna. Seperti bagaimana langit ini selalu menginspirasi kita.”

Alya mengangguk pelan. “Mungkin suatu hari nanti kita bisa bekerja sama. Aku yang menangkap momen, dan kamu yang menciptakan sesuatu yang bertahan selamanya.”

Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan yang nyaman. Langit di atas mereka dipenuhi bintang-bintang kecil yang berkelap-kelip.

“Mungkin langit benar-benar menyaksikan sesuatu yang istimewa malam ini,” bisik Raka, hampir tak terdengar.

Alya menoleh dan tersenyum. “Kita lihat saja nanti.”*

BAB 2: Lukisan Langit dan Perasaan yang Tumbuh

Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Raka yang awalnya skeptis terhadap keajaiban cinta, perlahan mulai terbuka. Namun, Reza mulai menyadari perasaannya terhadap Alya.

Sejak pertemuan di festival seni, Alya dan Raka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Awalnya, semua terasa seperti kebetulan—bertemu di perpustakaan kampus, berpapasan di kedai kopi dekat fakultas, atau sekadar bertemu di sudut kota yang sama saat sedang mengambil foto. Namun, perlahan-lahan, kebetulan itu berubah menjadi pertemuan yang disengaja. Mereka mulai saling menghubungi, mencari alasan untuk bertemu, hingga akhirnya kebersamaan mereka menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam keseharian masing-masing.

Alya sering mengajak Raka untuk berburu foto langit di berbagai tempat. Dari atap gedung kampus, bukit kecil di pinggiran kota, hingga dermaga yang menawarkan pemandangan matahari terbenam terbaik. Raka yang awalnya lebih suka memotret bangunan dan arsitektur mulai menemukan pesona dalam mengabadikan langit. Bagi Raka, melihat Alya yang begitu bersemangat saat membidik kameranya adalah keindahan tersendiri. Ia menyadari bahwa Alya melihat dunia dengan cara yang berbeda—lebih peka terhadap detail-detail kecil yang sering terlewatkan.

Namun, di balik kebersamaan yang semakin erat, ada seseorang yang mulai merasa resah—Reza.

Awal Perubahan dalam Diri Raka

Raka bukanlah seseorang yang percaya pada keajaiban cinta. Baginya, cinta adalah sesuatu yang kompleks dan tidak selalu berakhir bahagia. Ia selalu melihat hubungan sebagai sesuatu yang sementara, terutama setelah menyaksikan orang tuanya yang kerap bertengkar hingga akhirnya memilih untuk berpisah. Sejak kecil, ia menghindari keterikatan emosional yang terlalu dalam. Tapi dengan Alya, semuanya terasa berbeda.

Setiap tawa Alya, setiap tatapan matanya saat berbicara tentang impian dan kecintaannya pada seni, perlahan mengubah sesuatu dalam diri Raka. Ia mulai menunggu pesan dari Alya, mulai merindukan suara gadis itu, dan tanpa ia sadari, mulai memikirkan Alya lebih dari yang seharusnya.

Suatu sore, mereka duduk di tepi danau, menunggu matahari terbenam sambil menikmati es kopi favorit Alya.

“Raka, menurutmu apa yang membuat langit begitu menarik untuk difoto?” tanya Alya tiba-tiba.

Raka menatap langit yang mulai berubah warna. “Mungkin karena langit selalu berubah, tapi tetap indah dalam setiap perubahannya. Sama seperti hidup, kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi, tapi selalu ada sesuatu yang bisa kita nikmati di setiap momennya.”

Alya tersenyum, mengangguk pelan. “Itu jawaban yang bagus. Aku suka cara berpikirmu.”

Saat itu, Raka menyadari bahwa Alya bukan hanya seseorang yang sekadar lewat dalam hidupnya. Ia ingin mengenal gadis itu lebih dalam, ingin tetap berada di sisinya. Tapi di saat yang sama, perasaan takut kembali menyergapnya—takut jika ini hanya akan menjadi kisah yang berakhir seperti hubungan orang tuanya.

Reza dan Perasaan yang Tersadar

Di sisi lain, Reza mulai menyadari bahwa ada yang berubah dalam dirinya setiap kali melihat Alya bersama Raka. Reza adalah sahabat Alya sejak SMA, seseorang yang selalu ada untuknya, seseorang yang mengenal setiap sisi dari Alya. Ia selalu berpikir bahwa Alya adalah sahabatnya, tidak lebih dari itu. Tapi saat melihat bagaimana Alya tersenyum saat bersama Raka, bagaimana matanya berbinar saat berbicara dengannya, Reza mulai merasakan sesuatu yang selama ini ia abaikan—perasaan yang lebih dari sekadar sahabat.

Suatu malam, Reza mengajak Alya bertemu di kafe favorit mereka. Ia menatap gadis itu dengan ekspresi yang lebih serius dari biasanya.

“Alya, aku punya pertanyaan,” kata Reza pelan.

Alya menyesap kopinya, lalu tersenyum. “Apa itu? Kok serius banget?”

Reza menghela napas. “Apa yang sebenarnya kamu rasakan tentang Raka?”

Alya terdiam sesaat, lalu menunduk, memainkan ujung sendoknya di atas meja. “Aku nggak tahu. Aku nyaman dengannya, aku suka menghabiskan waktu bersamanya… tapi aku sendiri belum benar-benar mengerti apa yang aku rasakan.”

Reza menelan ludah. Jawaban itu seharusnya membuatnya lega, tapi justru semakin membebani perasaannya. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam, tapi di saat yang sama, ia takut jika kata-katanya justru akan merusak semuanya.

“Kalau dia membuatmu bahagia, aku akan mendukungmu,” kata Reza akhirnya, meskipun hatinya terasa berat.

Alya menatapnya, tersenyum penuh rasa terima kasih. “Terima kasih, Reza. Kamu selalu ada buat aku.”

Dan saat itu, Reza sadar bahwa ia mungkin telah terlambat.

Konflik yang Mulai Tumbuh

Hari-hari berlalu, dan kebersamaan Alya dan Raka semakin erat. Namun, perasaan yang belum terselesaikan dalam hati Reza mulai menciptakan jarak yang tak kasat mata antara dirinya dan Alya. Ia tak lagi seceria dulu saat bersama Alya, lebih banyak diam, lebih sering menghindari percakapan yang terlalu pribadi. Alya menyadari perubahan itu, tapi ia tak tahu harus berbuat apa.

Sementara itu, Raka semakin berjuang dengan perasaannya sendiri. Ia ingin mengakui bahwa ia menyukai Alya, bahwa gadis itu telah mengubah cara pandangnya terhadap cinta. Tapi di saat yang sama, ada keraguan dalam dirinya. Apakah ia benar-benar bisa mencintai seseorang tanpa takut kehilangan? Apakah ia bisa melawan ketakutannya sendiri?

Suatu malam, saat mereka kembali dari sebuah perjalanan singkat untuk berburu foto, Raka menghentikan langkahnya di bawah langit malam yang cerah.

“Alya,” panggilnya lirih.

Alya menoleh. “Ya?”

Raka menatap gadis itu dalam-dalam, seolah mencari jawaban dalam matanya. “Apa kamu pernah merasa takut mencintai seseorang? Takut kalau suatu saat semuanya akan berubah dan tidak akan pernah sama lagi?”

Alya terdiam. Pertanyaan itu terasa lebih dalam dari yang ia duga. Ia tersenyum kecil, lalu berkata, “Cinta memang selalu membawa ketidakpastian, Raka. Tapi menurutku, lebih menakutkan jika kita membiarkan ketakutan itu menghentikan kita untuk merasakannya.”

Raka mengangguk pelan. Kata-kata Alya menggema dalam pikirannya. Mungkin sudah saatnya ia menghadapi ketakutannya. Mungkin sudah saatnya ia menerima bahwa ada hal-hal yang memang patut diperjuangkan.

Di sisi lain kota, Reza menatap layar ponselnya, melihat foto Alya yang baru saja ia ambil diam-diam saat mereka bertemu terakhir kali. Hatinya dipenuhi dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Malam itu, langit menyimpan banyak cerita. Dan kisah mereka baru saja dimulai.

Langit senja di kota kecil itu tampak seolah dilukis dengan sapuan tangan Tuhan sendiri. Gradasi warna jingga, ungu, dan merah muda berpadu sempurna, seakan menyelimuti dunia dalam kehangatan yang menenangkan. Angin sore berembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan siang tadi.

Di pinggir danau kecil yang terletak di belakang sekolah, Aira duduk termenung dengan buku sketsa di pangkuannya. Matanya menatap cakrawala yang mulai kehilangan sinarnya, tapi tangannya masih enggan bergerak untuk menggambar. Ia ingin mengabadikan pemandangan itu, namun ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

“Kau tidak menggambar?” suara seorang pemuda membuyarkan lamunannya.

Aira menoleh dan mendapati langit senja bukanlah satu-satunya keindahan yang hadir sore itu. Raihan berdiri di sana, dengan kemeja putih sekolah yang lengannya digulung hingga siku. Rambutnya sedikit berantakan akibat angin, tapi senyumnya tetap sama—hangat dan menenangkan.

“Aku sedang mencari inspirasi,” jawab Aira lirih.

Raihan berjalan mendekat lalu duduk di sampingnya, menatap langit yang sama. “Langit ini cukup indah untuk menjadi inspirasi, bukan?”

Aira mengangguk pelan. “Iya, tapi kadang inspirasi bukan hanya soal keindahan yang terlihat.”

“Lalu, soal apa?” Raihan menoleh, menatap gadis itu dengan penuh rasa ingin tahu.

Aira terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Mungkin soal apa yang kita rasakan saat melihatnya.”

Raihan mengangguk seolah memahami maksud Aira. Ia lalu mengambil sebuah batu kecil dan melemparkannya ke danau, menciptakan riak kecil di permukaan air yang tenang. “Kalau begitu, apa yang kau rasakan saat melihat langit senja ini?”

Aira menggigit bibirnya, berpikir sejenak sebelum menjawab, “Aku merasa… ada sesuatu yang berubah. Tapi aku belum tahu apa.”

Raihan tersenyum samar, tapi matanya seolah menyiratkan bahwa ia tahu perubahan apa yang Aira maksud. “Perasaan itu tidak selalu harus langsung kita pahami, kadang kita hanya perlu merasakannya.”

Aira menatap Raihan dalam diam. Entah sejak kapan, tapi kehadiran pemuda itu mulai memberinya perasaan yang berbeda. Sesuatu yang hangat, tapi juga membingungkan. Ia menunduk, kembali menatap bukunya yang masih kosong. Namun kali ini, tangannya mulai bergerak, perlahan menggoreskan pensilnya untuk menggambar sesuatu yang baru—bukan hanya langit senja, tetapi juga seorang pemuda yang sedang duduk di sisinya, dengan senyum yang tak pernah gagal menenangkan hatinya.

Mungkin, inilah inspirasi yang ia cari selama ini.*

BAB 3:PERASAAN YANG TUMBUH

Senja di langit Jakarta mulai memancarkan cahaya oranye keemasan, seolah ikut menyaksikan perubahan yang terjadi dalam hati Raka dan Aileen. Sejak pertemuan mereka yang semakin intens, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di antara mereka, sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, tapi bisa dirasakan dalam setiap tatapan dan senyuman yang tercipta.

Pertemuan yang Menjadi Kebiasaan

Awalnya, Aileen menganggap kehadiran Raka dalam hidupnya sebagai kebetulan semata. Mereka bertemu di kafe yang sama, di taman yang sama, bahkan di perpustakaan kampus dengan tidak sengaja. Namun, semakin sering mereka bertemu, semakin Aileen menyadari bahwa ada kenyamanan dalam setiap obrolan mereka.

“Kamu suka kopi hitam, ya?” tanya Raka suatu sore saat mereka kembali bertemu di kafe favorit Aileen.

Aileen mengangkat alis, sedikit terkejut karena Raka memperhatikan kebiasaannya. “Iya, sejak dulu. Lebih suka rasa pahitnya daripada yang manis.”

Raka tersenyum kecil. “Sama. Aku juga suka kopi hitam. Mungkin karena kita sama-sama menikmati sesuatu yang sederhana tapi mendalam.”

Percakapan kecil seperti itu mulai menjadi bagian dari keseharian mereka. Dari hal-hal sederhana, mereka mulai berbagi cerita yang lebih dalam. Raka bercerita tentang impian dan ketakutannya, tentang bagaimana dia ingin menjadi seseorang yang berarti dalam hidup orang lain. Aileen pun mulai terbuka, berbicara tentang mimpinya menjadi penulis, tentang ketakutannya kehilangan orang yang ia sayangi.

Tanpa mereka sadari, benih perasaan mulai tumbuh.

Gelisah yang Tak Terucap

Semakin banyak waktu yang mereka habiskan bersama, semakin Aileen merasa ada yang berbeda. Dia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Raka—cara dia tersenyum saat mendengar lagu favoritnya, cara dia menatap matahari terbenam dengan penuh arti, dan bagaimana dia selalu memperhatikan setiap kata yang diucapkan Aileen seolah itu adalah sesuatu yang penting.

Namun, perasaan itu juga datang dengan kegelisahan. Aileen bertanya pada dirinya sendiri, apakah ini hanya sekadar perasaan nyaman sebagai teman, atau ada sesuatu yang lebih dari itu? Apakah Raka juga merasakan hal yang sama?

Di sisi lain, Raka juga merasakan kebingungan yang sama. Dia tak pernah menyangka akan menemukan seseorang yang bisa membuatnya merasa dihargai dan dipahami seperti Aileen. Tapi, dia takut. Takut kalau perasaannya terlalu berlebihan, takut kalau Aileen tidak merasakan hal yang sama.

Momen yang Mengubah Segalanya

Suatu hari, mereka memutuskan untuk pergi ke pameran seni. Aileen sangat antusias karena dia memang menyukai seni, sedangkan Raka hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya. Mereka berjalan beriringan, melihat satu demi satu lukisan yang dipamerkan.

“Ini bagus,” kata Aileen, menunjuk sebuah lukisan yang menggambarkan langit dengan berbagai warna yang bertabrakan.

Raka mengamati lukisan itu. “Seperti langit yang menyaksikan semua perasaan manusia, ya? Kadang tenang, kadang penuh gejolak.”

Aileen menoleh, menatap Raka. “Kamu suka langit?”

Raka mengangguk. “Aku suka langit karena dia selalu ada. Mau bagaimanapun perasaan kita, langit tetap di sana, menyaksikan segalanya.”

Aileen tersenyum, tapi hatinya bergetar. Kata-kata Raka seakan menyentuh sesuatu dalam dirinya.

Saat itulah, untuk pertama kalinya, mereka berdua menyadari bahwa perasaan yang mereka miliki bukan lagi sekadar perasaan biasa. Ada sesuatu yang lebih. Sesuatu yang mereka takut untuk akui, tapi juga tak bisa mereka hindari.

Kesadaran yang Perlahan Muncul

Sepulang dari pameran seni, mereka berjalan berdua di bawah langit malam. Jalanan sedikit lengang, hanya ada suara angin yang berhembus pelan.

“Aileen,” panggil Raka pelan.

Aileen menoleh. “Ya?”

Raka terdiam sejenak, seolah ragu untuk mengucapkan sesuatu. “Kamu pernah merasa… ingin menghentikan waktu?”

Aileen mengerutkan kening. “Maksudnya?”

Raka menarik napas dalam. “Saat bersama seseorang, dan kamu berharap momen itu tidak berakhir.”

Hati Aileen berdegup lebih cepat. Dia ingin bertanya apakah Raka sedang berbicara tentang dirinya, tapi dia tak berani.

“Aku rasa… iya,” jawab Aileen akhirnya.

Mereka saling menatap dalam diam. Tak ada kata-kata yang terucap setelah itu, tapi ada sesuatu yang berubah. Perasaan yang selama ini mereka abaikan mulai muncul ke permukaan.

Dan langit malam itu, seperti biasa, menjadi saksi dari segala perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka

Senja di langit Jakarta mulai memancarkan cahaya oranye keemasan, seolah ikut menyaksikan perubahan yang terjadi dalam hati Raka dan Aileen. Sejak pertemuan mereka yang semakin intens, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di antara mereka, sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, tapi bisa dirasakan dalam setiap tatapan dan senyuman yang tercipta.

Pertemuan yang Menjadi Kebiasaan

Awalnya, Aileen menganggap kehadiran Raka dalam hidupnya sebagai kebetulan semata. Mereka bertemu di kafe yang sama, di taman yang sama, bahkan di perpustakaan kampus dengan tidak sengaja. Namun, semakin sering mereka bertemu, semakin Aileen menyadari bahwa ada kenyamanan dalam setiap obrolan mereka.

“Kamu suka kopi hitam, ya?” tanya Raka suatu sore saat mereka kembali bertemu di kafe favorit Aileen.

Aileen mengangkat alis, sedikit terkejut karena Raka memperhatikan kebiasaannya. “Iya, sejak dulu. Lebih suka rasa pahitnya daripada yang manis.”

Raka tersenyum kecil. “Sama. Aku juga suka kopi hitam. Mungkin karena kita sama-sama menikmati sesuatu yang sederhana tapi mendalam.”

Percakapan kecil seperti itu mulai menjadi bagian dari keseharian mereka. Dari hal-hal sederhana, mereka mulai berbagi cerita yang lebih dalam. Raka bercerita tentang impian dan ketakutannya, tentang bagaimana dia ingin menjadi seseorang yang berarti dalam hidup orang lain. Aileen pun mulai terbuka, berbicara tentang mimpinya menjadi penulis, tentang ketakutannya kehilangan orang yang ia sayangi.

Tanpa mereka sadari, benih perasaan mulai tumbuh.

Gelisah yang Tak Terucap

Semakin banyak waktu yang mereka habiskan bersama, semakin Aileen merasa ada yang berbeda. Dia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Raka—cara dia tersenyum saat mendengar lagu favoritnya, cara dia menatap matahari terbenam dengan penuh arti, dan bagaimana dia selalu memperhatikan setiap kata yang diucapkan Aileen seolah itu adalah sesuatu yang penting.

Namun, perasaan itu juga datang dengan kegelisahan. Aileen bertanya pada dirinya sendiri, apakah ini hanya sekadar perasaan nyaman sebagai teman, atau ada sesuatu yang lebih dari itu? Apakah Raka juga merasakan hal yang sama?

Di sisi lain, Raka juga merasakan kebingungan yang sama. Dia tak pernah menyangka akan menemukan seseorang yang bisa membuatnya merasa dihargai dan dipahami seperti Aileen. Tapi, dia takut. Takut kalau perasaannya terlalu berlebihan, takut kalau Aileen tidak merasakan hal yang sama.

Momen yang Mengubah Segalanya

Suatu hari, mereka memutuskan untuk pergi ke pameran seni. Aileen sangat antusias karena dia memang menyukai seni, sedangkan Raka hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya. Mereka berjalan beriringan, melihat satu demi satu lukisan yang dipamerkan.

“Ini bagus,” kata Aileen, menunjuk sebuah lukisan yang menggambarkan langit dengan berbagai warna yang bertabrakan.

Raka mengamati lukisan itu. “Seperti langit yang menyaksikan semua perasaan manusia, ya? Kadang tenang, kadang penuh gejolak.”

Aileen menoleh, menatap Raka. “Kamu suka langit?”

Raka mengangguk. “Aku suka langit karena dia selalu ada. Mau bagaimanapun perasaan kita, langit tetap di sana, menyaksikan segalanya.”

Aileen tersenyum, tapi hatinya bergetar. Kata-kata Raka seakan menyentuh sesuatu dalam dirinya.

Saat itulah, untuk pertama kalinya, mereka berdua menyadari bahwa perasaan yang mereka miliki bukan lagi sekadar perasaan biasa. Ada sesuatu yang lebih. Sesuatu yang mereka takut untuk akui, tapi juga tak bisa mereka hindari.

Kesadaran yang Perlahan Muncul

Sepulang dari pameran seni, mereka berjalan berdua di bawah langit malam. Jalanan sedikit lengang, hanya ada suara angin yang berhembus pelan.

“Aileen,” panggil Raka pelan.

Aileen menoleh. “Ya?”

Raka terdiam sejenak, seolah ragu untuk mengucapkan sesuatu. “Kamu pernah merasa… ingin menghentikan waktu?”

Aileen mengerutkan kening. “Maksudnya?”

Raka menarik napas dalam. “Saat bersama seseorang, dan kamu berharap momen itu tidak berakhir.”

Hati Aileen berdegup lebih cepat. Dia ingin bertanya apakah Raka sedang berbicara tentang dirinya, tapi dia tak berani.

“Aku rasa… iya,” jawab Aileen akhirnya.

Mereka saling menatap dalam diam. Tak ada kata-kata yang terucap setelah itu, tapi ada sesuatu yang berubah. Perasaan yang selama ini mereka abaikan mulai muncul ke permukaan.

Langit dan Hujan

Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin dekat. Suatu sore, hujan turun tiba-tiba. Aileen yang tengah berjalan pulang tanpa membawa payung terpaksa berteduh di halte terdekat. Tak lama, sebuah motor berhenti di hadapannya.

“Naiklah,” kata Raka, menyerahkan helm kepadanya.

Aileen ragu sejenak, tapi kemudian mengambil helm itu dan naik ke boncengan. Mereka melaju dalam diam, hanya suara hujan yang menemani.

Saat mereka berhenti di depan rumah Aileen, Raka menatapnya dalam. “Aku suka hujan,” ujarnya tiba-tiba.

Aileen tersenyum. “Kenapa?”

“Karena hujan menyembunyikan banyak hal. Tangis, rindu, bahkan cinta yang tak terucap.”

Aileen terpaku, jantungnya berdetak lebih cepat. Seolah-olah kata-kata Raka adalah sebuah pengakuan yang tersamar.

Perasaan yang Kian Jelas

Seiring berjalannya waktu, Aileen mulai menerima kenyataan bahwa dia telah jatuh cinta pada Raka. Dia melihatnya dalam setiap kebiasaan kecil, dalam perhatian yang tak terucap, dalam cara Raka membuatnya merasa berarti.

Namun, dia masih belum tahu apakah Raka merasakan hal yang sama. Rasa takut kehilangan pertemanan mereka menghantuinya. Bagaimana jika dia mengungkapkan perasaannya dan segalanya berubah?

Sementara itu, Raka pun bergulat dengan perasaannya sendiri. Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengungkapkan apa yang dia rasakan, tapi ketakutan masih menahannya.

Malam itu, di bawah langit yang kembali menjadi saksi, mereka menyadari satu hal—perasaan yang tumbuh di antara mereka tak lagi bisa diabaikan.*

BAB 4: Langit yang Jauh, Hati yang Berubah

Komunikasi mereka semakin jarang. Alya merasa Raka berubah, sementara Reza selalu ada di sisinya. Surat dan pesan yang dulu penuh kehangatan kini terasa hambar.

Pagi itu, seperti biasa, Alya duduk di meja makan, menatap layar ponselnya yang menampilkan nama Raka di bagian pesan. Ada rasa cemas yang menggelayuti hati, seiring dengan ketikan jemarinya yang ragu. Meski sudah berulang kali memeriksa, pesan yang sama tetap belum datang. Beberapa minggu terakhir, hubungan mereka semakin renggang. Raka, yang dulu selalu berada di dekatnya, kini seolah menjauh, baik dalam hal fisik maupun perasaan.

Alya menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja. Pandangannya kosong menatap secangkir teh yang sudah mulai dingin. Hari-hari mereka, yang dahulu selalu dipenuhi tawa dan percakapan hangat, kini terasa hampa. Dia merasa seperti langit yang jauh, hanya bisa menyaksikan namun tak bisa meraih apa pun.

Alya menggenggam cangkir teh itu dengan kedua tangannya, mencoba mencari kedamaian dalam keheningan. Semua yang terjadi membuat hatinya semakin terluka. Raka yang dulu begitu penuh perhatian dan pengertian kini seolah menghindarinya. Ada apa dengan dia? Apa yang berubah? Apakah Alya yang salah? Semua pertanyaan itu berputar-putar di benaknya tanpa jawaban yang pasti.

Di sisi lain, ada Reza. Pria itu selalu ada di sampingnya, menemani dalam kesendirian, menghibur dengan kehadirannya yang tulus. Reza tak pernah meminta lebih dari apa yang Alya bisa berikan. Meski hubungan mereka masih terjaga dalam batas persahabatan, kehadirannya sering kali memberi ketenangan yang sangat Alya butuhkan.

Reza adalah sosok yang tak pernah berubah. Setiap kali Alya merasa kehilangan arah, dia tahu Reza akan selalu ada untuk memberinya sedikit cahaya. Namun, meskipun dia merasa nyaman dengan Reza, hatinya masih terikat pada Raka. Raka, yang kini semakin jauh dari jangkauan. Alya merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya.

Malam yang Sepi

Alya duduk di sudut kamar, menatap bintang yang bersinar di langit malam. Bintang-bintang itu tampak begitu jauh, seperti hatinya yang kini terasa begitu jauh dari Raka. Dulu, mereka sering berbaring bersama, menatap langit yang sama, berbicara tentang masa depan yang penuh harapan. Tetapi sekarang, semuanya terasa berbeda. Raka yang dulu penuh dengan canda dan perhatian, kini tampak seperti sosok asing.

Alya menggenggam teleponnya sekali lagi, mencoba untuk menghubungi Raka. Beberapa kali dia mencoba mengirim pesan, tapi selalu berakhir dengan satu kalimat singkat yang terasa hampa. Pesan-pesan yang dulunya penuh dengan kata-kata manis kini berubah menjadi percakapan yang terputus-putus, tanpa kehangatan.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan baru dari Raka masuk. Dengan cepat, Alya membuka pesan itu dengan penuh harap. Namun, hanya ada satu kalimat singkat.

“Aku sibuk akhir-akhir ini. Kita bicara nanti.”

Alya merasa hatinya kembali terluka. Pesan itu tak ada beda dengan yang sebelumnya. Tidak ada pertanyaan tentang kabar, tidak ada keinginan untuk bertemu. Hanya sekadar pemberitahuan bahwa Raka sedang sibuk. Segera, perasaan kecewa mulai menyelimuti hatinya. Kenapa dia merasa semakin terabaikan? Apa yang salah dengan hubungan ini?

Namun, Alya tidak bisa memaksa. Dia tahu, dalam hubungan apapun, komunikasi adalah kunci. Tanpa komunikasi, hubungan itu akan semakin jauh. Dan kini, mereka sedang berada di titik itu—di mana jarak semakin melebar meski mereka masih berada dalam satu dunia yang sama.

Keberadaan Reza yang Menenangkan

Malam-malam yang penuh kesendirian itu akhirnya membuat Alya lebih sering menghabiskan waktu bersama Reza. Meskipun mereka hanya berteman, kehadiran Reza sering kali memberi ketenangan yang sangat dibutuhkan. Reza tak pernah menuntut apa-apa, selalu hadir tanpa mengharapkan balasan.

Alya tahu, Reza adalah teman sejati yang tidak akan pernah meninggalkannya, meskipun dunia sekitarnya mulai hancur. Keberadaannya memberi rasa aman yang sangat dibutuhkan, meski di dalam hati Alya, dia tak bisa sepenuhnya terbuka. Ada satu bagian dari dirinya yang masih berharap hubungan dengan Raka bisa kembali seperti dulu. Tapi, semakin lama, harapan itu mulai memudar.

“Kenapa kamu diam saja?” tanya Reza suatu malam saat mereka sedang duduk di kafe favorit mereka. Alya menatapnya, mencoba tersenyum meski hatinya terasa kosong.

“Raka semakin jauh,” jawab Alya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku merasa dia sudah berubah, Reza. Aku tidak tahu kenapa, tapi setiap kali aku menghubunginya, aku merasa semakin terabaikan.”

Reza menghela napas, kemudian memandangnya dengan penuh pengertian. “Kadang-kadang, orang memang berubah. Tapi itu bukan berarti kamu harus berhenti hidup, Alya. Jangan sampai kamu mengabaikan orang-orang yang ada di sekitarmu hanya karena seseorang yang mungkin tidak tahu apa yang dia inginkan.”

Alya merasa ada sesuatu dalam kata-kata Reza yang mengena. Seperti sebuah peringatan bahwa dia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam kenangan yang tidak pasti. Namun, meskipun dia tahu itu, hatinya masih terikat pada Raka. Dia tahu, suatu saat nanti, dia harus melepaskan.

Rasa Rindu yang Menghantui

Setiap hari, Alya terus berusaha menerima kenyataan. Tapi rasa rindu itu sulit untuk dibendung. Setiap kali dia melihat pesan-pesan lama dari Raka, ada seberkas cahaya yang menyentuh hatinya. Seolah-olah, itu adalah masa-masa indah yang tidak bisa dilupakan. Namun, semakin lama, cahaya itu semakin redup.

Hari-hari yang dia lewati bersama Reza kini semakin intens. Ada rasa nyaman yang terbangun, meskipun Alya tahu dia masih mencintai Raka. Tapi di sisi lain, dia juga merasa bingung. Reza, dengan segala kebaikannya, semakin menunjukkan bahwa dia bisa menjadi lebih dari sekadar teman. Namun, hati Alya masih terikat pada Raka. Keputusan untuk memilih antara dua hati ini semakin sulit.

Suatu sore, saat mereka duduk berdua di taman, Reza tiba-tiba memegang tangan Alya dengan lembut. “Kamu tahu, Alya, aku selalu ada untukmu. Aku bisa jadi lebih dari sekadar teman jika kamu mau.”

Alya terkejut mendengar itu. Ada rasa bingung dalam hatinya. Apakah ini saatnya dia membuka hati untuk Reza? Atau, apakah dia harus menunggu Raka kembali padanya? Segala perasaan itu membingungkan, seakan dunia menguji dirinya untuk membuat keputusan besar.

Pertemuan yang Tak Terduga

Di tengah kebingungannya, Raka akhirnya menghubunginya lagi setelah beberapa minggu tidak ada kabar. Alya merasa jantungnya berdegup kencang. Pesan itu masuk begitu saja, tanpa peringatan. “Alya, aku butuh bicara.”

Alya merasa bingung, cemas, dan sedikit kesal. Kenapa sekarang, setelah begitu lama? Namun, dia tetap memutuskan untuk bertemu. Ketika mereka bertemu, Raka terlihat sangat berbeda. Ada yang berubah dalam dirinya. Dia tampak lelah, seperti ada beban berat yang tak terlihat.

“Alya,” Raka mulai, suara penuh penyesalan. “Aku minta maaf. Aku terlalu sibuk dengan hidupku, dengan pekerjaan dan segala sesuatu. Aku tahu aku telah membuatmu merasa terabaikan. Itu bukan yang kuinginkan. Aku masih peduli padamu, tapi aku… aku butuh waktu untuk menemukan diriku sendiri.”

Alya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Hatinya terasa campur aduk. Di satu sisi, dia merasa bahagia Raka akhirnya mengungkapkan perasaannya, tapi di sisi lain, rasa sakit yang sudah terpendam selama ini membuatnya ragu. “Aku tahu,” jawab Alya pelan. “Tapi aku juga butuh kepastian, Raka. Aku tidak bisa terus menunggu tanpa tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan.”

Raka terdiam, kemudian menghela napas panjang. “Aku tidak tahu, Alya. Aku butuh waktu. Tapi aku ingin kita tetap menjaga hubungan ini, entah itu sebagai teman atau lebih.”

Langit yang Jauh

Malam itu, Alya kembali ke rumah dengan perasaan yang kacau. Langit malam terasa sangat jauh, begitu pula dengan hatinya yang seakan terpisah oleh dua dunia. Raka, yang dulu begitu dekat, kini terasa seperti seseorang yang asing. Dan Reza, yang selalu ada, menjadi satu-satunya tempat Alya bisa bersandar.

Namun, pilihan itu tidaklah mudah. Kadang, hati manusia memang penuh dengan pertentangan yang sulit dimengerti. Di luar sana, langit yang sama menyaksikan segala pergulatan dalam diri Alya. Sementara itu, dunia terus berjalan, dan Alya tahu, suatu saat nanti, dia harus memilih jalan yang akan mengubah hidupnya.

Sejak kepindahan Raka ke kota lain untuk bekerja, hubungan antara Alya dan Raka mulai merenggang. Awalnya, mereka masih rutin berkirim pesan, berbagi cerita tentang keseharian mereka, dan melakukan panggilan video di malam hari. Namun, perlahan semua itu berubah. Pesan-pesan Raka mulai singkat dan dingin, panggilan video semakin jarang, dan bahkan ketika Alya mengirimkan pesan panjang, balasan yang diterimanya hanya berupa beberapa kata tanpa ekspresi.

Alya mencoba memahami. Ia tahu pekerjaan Raka di perusahaan multinasional itu menuntut waktu dan energi. Tapi tidak bisa dipungkiri, hatinya mulai merasakan kehampaan. Raka bukan lagi pria yang selalu memberinya kejutan manis, yang selalu menanyakan kabarnya dengan penuh perhatian. Kini, komunikasi mereka terasa seperti kewajiban semata, bukan lagi ungkapan kasih sayang.

Di sisi lain, ada Reza. Pria itu selalu ada, dengan senyum hangat dan kata-kata yang menenangkan. Sejak pertama kali Alya mengenalnya di kampus, Reza selalu menjadi sahabat yang baik. Namun, belakangan ini, Alya merasa kenyamanan itu semakin tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam. Bukan sekali dua kali ia menangis karena sikap Raka, dan setiap kali itu terjadi, Reza-lah yang menghiburnya.

Suatu malam, Alya mencoba menghubungi Raka. Ia rindu suaranya, rindu cerita-cerita lucunya, rindu perasaan bahwa ia masih dicintai.

“Hai, Kak Raka… Apa kabar?” tanyanya dengan suara penuh harap saat panggilan tersambung.

“Hmm? Oh, Alya… Aku baik. Kamu?” jawab Raka singkat.

Alya menggigit bibir. Dulu, setiap kali ia menelepon, Raka akan menyapanya dengan hangat, bertanya tentang harinya, bahkan menggoda dengan suara manja. Tapi sekarang? Suaranya terdengar lelah, atau mungkin bosan?

“Aku baik juga. Kak Raka sibuk, ya?” tanyanya, berharap Raka akan berkata tidak dan mengajaknya mengobrol lama.

“Iya, ada banyak deadline. Ini pun aku masih di kantor.”

“Oh… Begitu. Jangan lupa jaga kesehatan, ya,” ucap Alya, mencoba terdengar ceria meskipun hatinya mencelos.

“Iya. Makasih. Aku harus balik kerja lagi. Bye.”

Telepon terputus. Begitu saja.

Alya menatap layar ponselnya lama, seolah berharap Raka akan menelepon kembali. Tapi tidak ada. Tidak ada pesan, tidak ada permintaan maaf karena telah mengakhiri pembicaraan begitu cepat. Tidak ada perhatian seperti dulu.

Air mata yang ditahannya sejak tadi akhirnya jatuh. Hatinya sakit. Ia mencoba mengerti, mencoba bersabar, tapi semakin hari, ia merasa semakin jauh dari Raka.

Keesokan harinya, Alya bertemu dengan Reza di kafe favorit mereka. Ia butuh seseorang untuk mendengarkan.

“Dia berubah, Za…” kata Alya lirih sambil menatap cangkir kopinya.

Reza, yang duduk di seberangnya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Maksudmu?”

“Raka. Dia tidak seperti dulu. Kami jarang bicara. Setiap aku menelepon, dia seperti… ingin cepat-cepat mengakhiri percakapan. Aku merasa seperti beban buatnya.”

Reza terdiam sesaat sebelum berkata, “Mungkin dia memang sedang sibuk, Alya. Pekerjaannya pasti berat.”

Alya mengangguk, tapi hatinya masih gelisah. “Aku tahu. Tapi tetap saja, rasanya beda. Aku merasa seperti tidak penting lagi buatnya.”

Reza menghela napas dan mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Alya di atas meja. “Alya, kamu nggak boleh terus-terusan menyiksa dirimu sendiri dengan perasaan ini. Kalau dia benar-benar peduli, dia nggak akan membiarkan kamu merasa seperti ini.”

Alya menatap tangan Reza yang hangat menggenggamnya. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang memberinya rasa nyaman yang sudah lama tidak ia rasakan dari Raka.

Hari-hari berlalu dengan kebiasaan yang sama. Raka semakin jauh, sementara Reza semakin dekat. Alya tahu ia tidak boleh membandingkan, tapi hatinya tidak bisa berbohong. Setiap kali bersama Reza, ia merasa dihargai, diperhatikan, dan yang paling penting—tidak merasa sendirian.

Namun, ada ketakutan yang mengintai. Ia masih mencintai Raka, atau setidaknya ia pikir begitu. Tapi sampai kapan ia harus bertahan jika Raka terus mengabaikannya? Sampai kapan ia harus menunggu seseorang yang bahkan tidak lagi menanyakan kabarnya?

Suatu sore, Alya duduk di balkon kamar kosnya, menatap langit yang mulai memerah. Sejak kapan ia mulai merasa bahwa Raka adalah masa lalu, dan Reza adalah masa kini?

Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Raka.

“Alya, aku mungkin nggak bisa pulang bulan ini. Banyak kerjaan. Maaf.”

Hanya itu. Tanpa tambahan kalimat lain, tanpa pertanyaan tentang kabarnya.

Alya menarik napas panjang, lalu mengetik balasan.

“Aku mengerti. Hati-hati di sana, Kak.”

Ia menekan tombol kirim, lalu meletakkan ponselnya di meja. Rasanya kosong. Entah sejak kapan, ia berhenti berharap lebih.

Beberapa menit kemudian, ada pesan lain yang masuk. Dari Reza.

“Alya, aku lagi di dekat kosanmu. Mau keluar sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan.”

Tanpa pikir panjang, Alya mengambil jaketnya dan keluar. Angin sore yang sejuk menyambutnya, membawa perasaan yang berbeda. Ketika ia melihat Reza yang berdiri di depan motor dengan senyum khasnya, ada sesuatu dalam dirinya yang semakin yakin.

Mungkin, langit yang jauh bukan satu-satunya tempat untuk berharap. Mungkin, hatinya telah menemukan cahaya baru.

Malam itu, Alya dan Reza duduk di sebuah bukit kecil di pinggiran kota. Di depan mereka, lampu-lampu kota berkelip, seolah menari mengikuti ritme hati mereka yang mulai berubah.

“Alya,” Reza memanggil lembut. “Kalau kamu lelah menunggu seseorang yang nggak lagi memperjuangkanmu, mungkin… ada orang lain yang lebih ingin menjagamu.”

Alya menoleh, menatap mata Reza yang penuh ketulusan. Hatinya berdetak lebih cepat. Mungkin, inilah saatnya untuk berhenti menunggu.

Di bawah langit yang menyaksikan, Alya tahu bahwa hatinya perlahan mulai berubah.*

BAB 5: Rasa yang Tak Terungkap

Reza akhirnya mengakui perasaannya kepada Alya. Di sisi lain, Alya mendapat kabar bahwa Raka mulai dekat dengan seseorang di tempat barunya. Hatinya semakin goyah.

Malam itu, langit bertabur bintang, seolah-olah alam semesta sedang menyaksikan peristiwa penting dalam hidup Reza dan Alya. Setelah sekian lama menyimpan perasaannya, akhirnya Reza memberanikan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini hanya berani ia simpan dalam hati.

“Alya, aku suka sama kamu,” ujar Reza dengan suara bergetar.

Alya terdiam. Ia menatap Reza dengan mata yang sedikit membelalak, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Hatinya berkecamuk. Reza, sahabat yang selalu ada untuknya, kini mengungkapkan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Reza… aku… aku nggak tahu harus ngomong apa,” ucap Alya pelan. Tangannya meremas ujung jaketnya, mencoba mencari ketenangan dalam kebingungannya.

Reza menghela napas panjang, seakan sedang mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan.

“Aku tahu ini mendadak. Aku nggak minta kamu langsung jawab sekarang. Aku cuma ingin kamu tahu, bahwa selama ini aku selalu ada di sini, bukan hanya sebagai sahabat, tapi sebagai seseorang yang benar-benar mencintaimu,” lanjut Reza.

Alya semakin bingung. Hatinya masih dipenuhi bayangan Raka. Namun, di saat yang sama, ia menyadari bahwa Reza selalu ada untuknya. Setiap kali ia terluka, Reza adalah orang pertama yang menghiburnya. Setiap kali ia merasa kehilangan, Reza yang menguatkannya. Tapi apakah itu cukup untuk menggantikan perasaannya pada Raka?

Beberapa hari setelah pengakuan Reza, Alya mendapat kabar dari teman-temannya bahwa Raka mulai dekat dengan seseorang di tempat barunya. Jantungnya mencelos. Meskipun Raka tak pernah berjanji untuk menunggunya, meskipun ia tahu ini kemungkinan besar akan terjadi, tetap saja kenyataan itu menohoknya.

“Alya, kamu nggak apa-apa?” tanya Nita, sahabatnya, saat melihat ekspresi wajah Alya yang tiba-tiba berubah.

Alya mengangguk pelan. “Aku baik-baik aja.”

Tapi dalam hatinya, ia bertanya-tanya: apakah benar ia baik-baik saja? Mengapa ada rasa sakit saat mendengar kabar itu? Apakah selama ini ia masih menggantungkan hatinya pada Raka?

Di sisi lain, Reza semakin gelisah. Ia tahu Alya butuh waktu untuk meresapi perasaannya, tapi melihat Alya yang tampak murung membuatnya khawatir. Hingga suatu malam, ia mengajak Alya bertemu di taman tempat mereka biasa menghabiskan waktu.

“Alya, kamu kenapa? Kamu nggak harus jawab perasaanku sekarang, tapi aku cuma pengen tahu, kamu baik-baik aja, kan?” tanya Reza dengan nada khawatir.

Alya tersenyum samar. “Reza, kenapa kamu selalu baik sama aku?”

“Karena aku peduli sama kamu. Karena aku sayang sama kamu,” jawab Reza tegas.

Hati Alya kembali bergetar. Reza adalah orang yang selalu ada, tapi hatinya masih berada di tempat lain. Haruskah ia tetap mempertahankan perasaannya pada Raka yang mungkin sudah menemukan kebahagiaannya sendiri? Atau haruskah ia mulai membuka hatinya untuk seseorang yang telah berusaha mencintainya dengan tulus?

Langit malam itu menyaksikan pergulatan batin Alya. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan. Sebuah keputusan yang bisa mengubah segalanya.

Alya semakin bingung. Hatinya masih dipenuhi bayangan Raka. Namun, di saat yang sama, ia menyadari bahwa Reza selalu ada untuknya. Setiap kali ia terluka, Reza adalah orang pertama yang menghiburnya. Setiap kali ia merasa kehilangan, Reza yang menguatkannya. Tapi apakah itu cukup untuk menggantikan perasaannya pada Raka?

Beberapa hari setelah pengakuan Reza, Alya mendapat kabar dari teman-temannya bahwa Raka mulai dekat dengan seseorang di tempat barunya. Jantungnya mencelos. Meskipun Raka tak pernah berjanji untuk menunggunya, meskipun ia tahu ini kemungkinan besar akan terjadi, tetap saja kenyataan itu menohoknya.

“Alya, kamu nggak apa-apa?” tanya Nita, sahabatnya, saat melihat ekspresi wajah Alya yang tiba-tiba berubah.

Alya mengangguk pelan. “Aku baik-baik aja.”

Tapi dalam hatinya, ia bertanya-tanya: apakah benar ia baik-baik saja? Mengapa ada rasa sakit saat mendengar kabar itu? Apakah selama ini ia masih menggantungkan hatinya pada Raka?

Di sisi lain, Reza semakin gelisah. Ia tahu Alya butuh waktu untuk meresapi perasaannya, tapi melihat Alya yang tampak murung membuatnya khawatir. Hingga suatu malam, ia mengajak Alya bertemu di taman tempat mereka biasa menghabiskan waktu.

“Alya, kamu kenapa? Kamu nggak harus jawab perasaanku sekarang, tapi aku cuma pengen tahu, kamu baik-baik aja, kan?” tanya Reza dengan nada khawatir.

Alya tersenyum samar. “Reza, kenapa kamu selalu baik sama aku?”

“Karena aku peduli sama kamu. Karena aku sayang sama kamu,” jawab Reza tegas.

Hati Alya kembali bergetar. Reza adalah orang yang selalu ada, tapi hatinya masih berada di tempat lain. Haruskah ia tetap mempertahankan perasaannya pada Raka yang mungkin sudah menemukan kebahagiaannya sendiri? Atau haruskah ia mulai membuka hatinya untuk seseorang yang telah berusaha mencintainya dengan tulus?

Langit malam itu menyaksikan pergulatan batin Alya. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan. Sebuah keputusan yang bisa mengubah segalanya.

Seminggu berlalu sejak malam di taman. Alya mulai menjauh dari Reza, bukan karena ia ingin, tetapi karena ia takut. Takut bahwa hatinya tidak bisa memberi jawaban yang Reza harapkan. Namun, semakin ia mencoba menjauh, semakin ia merasa kehilangan. Reza bukan hanya seseorang yang mencintainya, tetapi juga seseorang yang telah menjadi bagian besar dalam hidupnya.

Pada suatu sore yang mendung, Alya duduk di bangku taman sendirian. Pikirannya dipenuhi kenangan—kenangan bersama Raka dan juga kenangan bersama Reza. Tanpa ia sadari, air matanya menetes. Seakan menumpahkan segala perasaan yang selama ini ia tahan.

“Alya,” suara Reza mengejutkannya. Ia menoleh dan mendapati Reza berdiri di hadapannya, membawa dua gelas kopi kesukaannya.

“Reza…”

“Aku tahu kamu butuh waktu. Tapi aku nggak akan pergi sebelum aku tahu apa yang benar-benar kamu rasakan,” kata Reza dengan suara lembut namun tegas.

Alya menatap matanya. Mata yang penuh ketulusan dan harapan. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Aku nggak tahu, Reza. Aku nggak tahu apakah aku bisa membalas perasaanmu. Aku masih terjebak di masa lalu, masih sulit melepas seseorang yang bahkan mungkin sudah melupakanku.”

Reza mengangguk pelan. “Aku nggak mau memaksa, Alya. Aku cuma ingin kamu tahu, aku akan selalu ada untukmu. Entah sebagai sahabat, atau sebagai seseorang yang lebih dari itu. Aku cuma ingin kamu bahagia.”

Mendengar itu, air mata Alya kembali jatuh. Ia merasa bodoh karena telah menyakiti hati seseorang yang begitu tulus mencintainya. Ia ingin membalas perasaan itu, tetapi apakah ia mampu?

Hari-hari berikutnya, Alya mulai melihat Reza dengan cara yang berbeda. Ia mulai menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari seseorang yang pernah kita cintai di masa lalu, tetapi juga dari seseorang yang berusaha mencintai kita di masa sekarang. Perlahan tapi pasti, ia mulai membangun kembali hatinya. Dan kali ini, ia ingin melakukannya dengan seseorang yang benar-benar peduli padanya.

Di bawah langit senja yang indah, Alya dan Reza berjalan berdampingan. Tanpa kata-kata, tanpa tekanan, hanya menikmati kebersamaan yang perlahan terasa semakin bermakna. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang selama ini ia abaikan, tetapi kini mulai ia sadari sebagai bagian penting dalam hidupnya.*

BAB 6: Kembali ke Tempat Awal

Alya memutuskan untuk pergi ke tempat di mana ia dan Raka pertama kali bertemu. Ia mencari jawaban atas perasaannya—apakah ia masih mencintai Raka atau harus melepaskannya.

Alya berdiri di depan kafe kecil di sudut kota, tempat pertama kali ia dan Raka bertemu. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma kopi dan nostalgia yang menusuk perasaannya. Setelah sekian lama terombang-ambing dalam kebingungan, ia memutuskan untuk kembali ke tempat ini, mencari jawaban atas perasaannya. Apakah ia masih mencintai Raka, atau sudah waktunya untuk benar-benar melepaskan?

Dengan langkah ragu, Alya melangkah masuk. Suara lonceng kecil di pintu menyambutnya, diikuti oleh senyuman ramah barista di balik meja kasir. Tidak banyak yang berubah. Meja kayu dengan ukiran khas, aroma kopi yang menguar di udara, serta rak buku kecil di pojok ruangan yang dulu sering mereka datangi.

Ia memilih duduk di sudut ruangan, tempat favoritnya dan Raka dulu. Jemarinya menyusuri permukaan meja, mengingat momen ketika ia pertama kali bertemu dengan Raka di sini. Waktu itu, hujan turun deras, dan mereka sama-sama berteduh di kafe ini. Raka, dengan kemeja basah dan rambut yang sedikit acak-acakan, meminjamkan handuk kecil miliknya. Itulah awal dari kisah mereka.

Kenangan itu masih jelas di benaknya, begitu hidup dan nyata. Namun, seiring waktu, semuanya berubah. Raka pergi, meninggalkan lubang dalam hatinya. Kini, Alya bertanya-tanya, apakah ia masih menunggu Raka, atau hanya menunggu bayangan masa lalu yang sulit ia lepaskan?

Pikirannya buyar ketika seorang pria duduk di meja sebelahnya. Alya menoleh, dan matanya melebar saat melihat wajah familiar itu.

“Alya?” suara itu menyebut namanya dengan ragu.

Alya terdiam, hatinya berdegup kencang. “Raka…?”

Raka tersenyum kecil. “Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini. Aku cuma mampir sebentar sebelum kembali ke kantor.”

Alya menelan ludahnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Setelah sekian lama, mereka akhirnya bertemu kembali, dan perasaan yang ia pikir sudah mereda, tiba-tiba muncul kembali dengan kekuatan penuh.

“Gimana kabarmu?” tanya Raka, suaranya tenang, tapi ada nada penasaran di dalamnya.

“Baik,” jawab Alya singkat. “Kamu sendiri?”

“Sama, baik juga,” jawab Raka sambil menyesap kopinya. “Aku dengar kamu masih di kota ini. Aku kira kamu sudah pergi.”

Alya tersenyum tipis. “Aku sempat berpikir untuk pergi, tapi… aku nggak tahu, mungkin ada sesuatu yang masih menahanku di sini.”

Mereka terdiam sejenak. Suasana kafe yang ramai terasa kontras dengan keheningan di antara mereka. Banyak yang ingin Alya katakan, banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan, tapi lidahnya terasa kelu.

“Alya, aku tahu mungkin aku orang terakhir yang berhak bilang ini, tapi… aku minta maaf,” kata Raka akhirnya.

Alya menatapnya, mencari kejujuran di matanya. “Maaf untuk apa?”

“Untuk pergi tanpa penjelasan, untuk membuatmu menunggu tanpa kepastian. Aku sadar itu egois, dan aku nggak bisa mengubah masa lalu, tapi aku ingin kamu tahu kalau aku menyesal.”

Alya menghela napas. Kata-kata itu adalah yang dulu ingin ia dengar, tapi sekarang, setelah waktu berlalu, apakah ia masih menginginkannya?

“Aku nggak akan bohong, Raka. Aku memang terluka waktu itu, aku marah, aku kecewa. Tapi sekarang, aku lebih banyak bertanya-tanya, apakah aku benar-benar masih menunggumu, atau aku cuma nggak bisa melepaskan kenangan tentang kita.”

Raka mengangguk pelan. “Aku mengerti. Dan aku juga nggak mau memaksamu untuk menjawab sekarang. Aku cuma ingin kamu tahu, aku masih peduli.”

Alya menatap keluar jendela. Matahari mulai tenggelam, menciptakan semburat jingga di langit. Ia datang ke sini mencari jawaban, dan kini, jawaban itu mulai terbentuk di hatinya.

Mungkin, yang ia butuhkan bukan jawaban tentang Raka, tetapi tentang dirinya sendiri. Tentang apakah ia siap untuk melangkah maju, atau tetap terjebak dalam bayangan masa lalu yang tidak lagi nyata.

Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum pada Raka. “Terima kasih, Raka. Untuk semuanya. Aku rasa, aku akhirnya tahu apa yang harus aku lakukan.”

Dan di bawah langit yang mulai gelap, Alya merasa lebih ringan, lebih siap untuk menentukan langkah selanjutnya dalam hidupnya.

Saat keluar dari kafe, Alya tidak langsung pulang. Ia memutuskan berjalan kaki ke taman tempat ia dan Raka dulu sering menghabiskan waktu. Ia ingin melihat apakah tempat itu masih memberikan perasaan yang sama.

Langkah-langkah kecilnya membawa ingatannya kembali ke masa lalu. Saat mereka duduk di bangku kayu dekat air mancur, berbicara tentang impian, harapan, dan masa depan. Saat Raka menggenggam tangannya untuk pertama kali. Saat tawa mereka memenuhi udara.

Namun, saat Alya tiba di taman itu, perasaannya berbeda. Ia masih bisa mengingat kenangan indah itu, tetapi tidak lagi merasakan keterikatan yang sama. Ia menyadari bahwa meskipun kenangan itu berharga, ia tidak bisa terus hidup dalam bayangannya.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Reza.

“Alya, kalau kamu butuh seseorang untuk berbagi cerita, aku ada di sini.”

Senyum tipis muncul di wajahnya. Mungkin, ini saatnya untuk membuka hati. Bukan untuk Raka yang ada di masa lalu, tetapi untuk seseorang yang ada di masa kini.

Dengan langkah lebih ringan, Alya meninggalkan taman itu. Ia tidak lagi mencari jawaban dari masa lalu. Ia siap menulis kisah barunya.*

BAB 7: Langit Menyaksikan Jawaban Kita

Raka kembali, membawa semua penyesalan dan harapan. Alya harus membuat keputusan: apakah ia masih bisa mempercayai cinta mereka atau memilih jalan lain.

Alya duduk di bangku taman yang dulu sering ia kunjungi bersama Raka. Langit senja menggurat warna keemasan yang menenangkan, seolah menjadi saksi bisu atas keputusan yang harus ia ambil. Hatinya masih berdebar sejak pertemuannya kembali dengan Raka. Pria itu datang lagi, membawa serta penyesalan dan harapan yang sempat terkubur waktu.

Pikirannya kacau. Raka, yang dulu ia tunggu dengan sia-sia, kini kembali dengan segala kata maaf dan keinginannya untuk memperbaiki segalanya. Namun, di sisi lain, ada Reza—seseorang yang selama ini selalu ada untuknya, seseorang yang tanpa ia sadari telah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Sebuah suara menginterupsi lamunannya. “Alya?”

Ia menoleh dan menemukan Raka berdiri di belakangnya. Mata pria itu menyiratkan keteguhan yang dulu sempat hilang. Alya menghela napas, bersiap menghadapi apa pun yang akan dikatakannya.

“Boleh aku duduk?” tanya Raka.

Alya mengangguk. Raka duduk di sampingnya, menyandarkan punggung ke bangku kayu yang sudah usang. Mereka terdiam sejenak, membiarkan angin menyapu kegelisahan masing-masing.

“Aku nggak akan memaksa kamu untuk langsung menerima aku kembali, Alya,” kata Raka akhirnya. “Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku sadar aku sudah menyia-nyiakan banyak waktu, dan aku nggak bisa mengubah masa lalu. Tapi aku ingin mencoba lagi. Aku ingin memperbaiki semuanya.”

Alya mengatupkan bibirnya erat. Bagian dari dirinya ingin percaya, ingin kembali pada kisah yang dulu sempat terputus. Tapi ada keraguan yang tak bisa ia abaikan.

“Raka… aku nggak tahu apakah aku masih bisa mempercayai semuanya,” ucap Alya jujur. “Aku nggak mau lagi hidup dalam ketidakpastian. Dulu, aku menunggu kamu dengan harapan yang akhirnya hanya menyisakan luka. Aku nggak bisa mengulang hal yang sama.”

Raka menatapnya, matanya penuh dengan rasa bersalah. “Aku ngerti. Aku ngerti kalau aku mungkin sudah kehilangan kepercayaanmu. Tapi aku mau berusaha, Alya. Aku mau menunjukkan kalau aku benar-benar berubah. Kalau aku benar-benar serius kali ini.”

Alya menggigit bibirnya. Sebelum ia sempat menjawab, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Reza muncul di layar:

“Alya, aku tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat, tapi aku ingin kamu tahu sesuatu. Aku nggak akan pernah memaksamu untuk memilih aku, tapi kalau kamu butuh seseorang yang selalu ada untukmu, kamu tahu aku di sini.”

Hatinya semakin bimbang. Dua pria, dua kisah, dan dua pilihan yang sama sulitnya. Haruskah ia mempercayai cinta lama yang kembali, ataukah melangkah menuju cinta baru yang perlahan tumbuh?

Langit mulai menggelap, dan di bawah cahaya bintang yang bertaburan, Alya tahu bahwa malam ini ia harus menemukan jawabannya.

Ia menarik napas dalam, lalu menatap Raka dengan mata yang penuh ketegasan. “Raka, aku butuh waktu. Aku nggak bisa mengambil keputusan ini dalam satu malam. Aku harus benar-benar yakin dengan apa yang aku inginkan.”

Raka mengangguk pelan, meski terlihat kecewa. “Aku akan menunggu, Alya. Selama apa pun itu.”

Alya tersenyum tipis, lalu berdiri. Angin malam mengusap wajahnya, membawa ketenangan yang perlahan meresap ke dalam hatinya. Ia tidak akan terburu-buru. Ia ingin memastikan bahwa keputusannya nanti bukan sekadar didorong oleh nostalgia, tapi oleh cinta yang benar-benar ia yakini.

Beberapa hari kemudian, Alya memutuskan untuk bertemu dengan Reza. Mereka memilih tempat yang tenang, sebuah kafe kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Reza sudah menunggunya di sana, duduk dengan tenang sambil menyesap kopinya.

“Terima kasih sudah mau datang, Alya,” ujar Reza begitu Alya duduk di depannya.

Alya tersenyum tipis. “Aku yang harusnya bilang terima kasih. Aku butuh berbicara denganmu.”

Reza mengangguk, memberikan waktu bagi Alya untuk mengumpulkan keberanian. Ia selalu seperti itu—sabar, penuh pengertian, dan tak pernah memaksakan kehendaknya.

“Reza… Aku tahu kamu selalu ada untukku, dan aku sangat menghargai itu,” ucap Alya akhirnya. “Aku juga sadar bahwa aku selama ini terlalu terjebak dalam bayangan masa lalu. Aku takut untuk mengambil langkah baru, takut untuk percaya lagi. Tapi kamu selalu di sini, menunggu tanpa menuntut.”

Reza tersenyum lembut. “Aku nggak pernah menunggu jawaban, Alya. Aku hanya ingin kamu bahagia. Kalau kamu merasa bahagia dengan memilih Raka, aku nggak akan menghalangimu.”

Alya terdiam. Ia menatap Reza, mencari kejujuran di matanya. Di sana, ia menemukan sesuatu yang selama ini ia butuhkan—ketulusan tanpa syarat.

Hari terus berlalu, dan Alya masih mempertimbangkan segalanya. Raka tetap berusaha mendekatinya, mencoba membuktikan bahwa ia telah berubah. Sementara Reza tetap menjadi sosok yang diam tapi selalu ada, memberinya ruang untuk berpikir.

Pada suatu malam, Alya berdiri di balkon apartemennya, menatap langit yang bertabur bintang. Ia mengingat semua kenangan dengan Raka—tawa, tangis, kebahagiaan, dan luka. Lalu ia mengingat kehadiran Reza, yang selalu menjadi tempatnya bersandar tanpa mengharap balasan.

Saat itu, ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Keesokan harinya, Alya menghubungi Raka. Mereka bertemu di taman yang sama, tempat semua kebimbangan ini dimulai. Raka menyambutnya dengan senyum penuh harapan.

“Alya, aku senang kamu mau bertemu,” kata Raka.

Alya tersenyum kecil, tapi ada ketegasan di matanya. “Raka, aku sudah memikirkan semuanya. Aku berterima kasih karena kamu datang kembali dan mencoba memperbaiki semuanya. Aku juga nggak menyangkal bahwa kita punya banyak kenangan indah bersama. Tapi aku sadar, aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Aku harus melihat ke depan.”

Mata Raka meredup. “Jadi… ini keputusanmu?”

Alya mengangguk. “Aku sudah terlalu lama hidup dalam bayangan yang seharusnya sudah aku tinggalkan. Aku ingin melangkah maju.”

Raka menghela napas, lalu tersenyum pahit. “Aku mengerti. Aku cuma ingin kamu bahagia, Alya. Kalau ini yang terbaik untukmu, aku rela melepaskan.”

Alya tersenyum, merasa lebih ringan. Setelah perpisahan itu, ia pergi menemui Reza. Pria itu menyambutnya dengan tatapan penuh tanya.

“Alya?”

Alya tersenyum, lalu menggenggam tangan Reza. “Aku memilih untuk melihat ke depan. Dan aku ingin kamu ada di sana bersamaku.”

Reza terdiam sejenak, lalu tersenyum bahagia. “Aku selalu ada untukmu, Alya.”

Di bawah langit yang menyaksikan segalanya, Alya akhirnya menemukan jawabannya. Ia memilih cinta yang tidak hanya berasal dari kenangan, tetapi dari keyakinan akan masa depan yang lebih baik.

riBeberapa hari kemudian, Alya memutuskan untuk bertemu dengan Reza. Mereka memilih tempat yang tenang, sebuah kafe kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Reza sudah menunggunya di sana, duduk dengan tenang sambil menyesap kopinya.

“Terima kasih sudah mau datang, Alya,” ujar Reza begitu Alya duduk di depannya.

Alya tersenyum tipis. “Aku yang harusnya bilang terima kasih. Aku butuh berbicara denganmu.”

Reza mengangguk, memberikan waktu bagi Alya untuk mengumpulkan keberanian. Ia selalu seperti itu—sabar, penuh pengertian, dan tak pernah memaksakan kehendaknya.

“Reza… Aku tahu kamu selalu ada untukku, dan aku sangat menghargai itu,” ucap Alya akhirnya. “Aku juga sadar bahwa aku selama ini terlalu terjebak dalam bayangan masa lalu. Aku takut untuk mengambil langkah baru, takut untuk percaya lagi. Tapi kamu selalu di sini, menunggu tanpa menuntut.”

Reza tersenyum lembut. “Aku nggak pernah menunggu jawaban, Alya. Aku hanya ingin kamu bahagia. Kalau kamu merasa bahagia dengan memilih Raka, aku nggak akan menghalangimu.”

Alya terdiam. Ia menatap Reza, mencari kejujuran di matanya. Di sana, ia menemukan sesuatu yang selama ini ia butuhkan—ketulusan tanpa syarat.

Hari terus berlalu, dan Alya masih mempertimbangkan segalanya. Raka tetap berusaha mendekatinya, mencoba membuktikan bahwa ia telah berubah. Sementara Reza tetap menjadi sosok yang diam tapi selalu ada, memberinya ruang untuk berpikir.

Pada suatu malam, Alya berdiri di balkon apartemennya, menatap langit yang bertabur bintang. Ia mengingat semua kenangan dengan Raka—tawa, tangis, kebahagiaan, dan luka. Lalu ia mengingat kehadiran Reza, yang selalu menjadi tempatnya bersandar tanpa mengharap balasan.

Saat itu, ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Keesokan harinya, Alya menghubungi Raka. Mereka bertemu di taman yang sama, tempat semua kebimbangan ini dimulai. Raka menyambutnya dengan senyum penuh harapan.

“Alya, aku senang kamu mau bertemu,” kata Raka.

Alya tersenyum kecil, tapi ada ketegasan di matanya. “Raka, aku sudah memikirkan semuanya. Aku berterima kasih karena kamu datang kembali dan mencoba memperbaiki semuanya. Aku juga nggak menyangkal bahwa kita punya banyak kenangan indah bersama. Tapi aku sadar, aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Aku harus melihat ke depan.”

Mata Raka meredup. “Jadi… ini keputusanmu?”

Alya mengangguk. “Aku sudah terlalu lama hidup dalam bayangan yang seharusnya sudah aku tinggalkan. Aku ingin melangkah maju.”

Raka menghela napas, lalu tersenyum pahit. “Aku mengerti. Aku cuma ingin kamu bahagia, Alya. Kalau ini yang terbaik untukmu, aku rela melepaskan.”

Alya tersenyum, merasa lebih ringan. Setelah perpisahan itu, ia pergi menemui Reza. Pria itu menyambutnya dengan tatapan penuh tanya.

“Alya?”

Alya tersenyum, lalu menggenggam tangan Reza. “Aku memilih untuk melihat ke depan. Dan aku ingin kamu ada di sana bersamaku.”

Reza terdiam sejenak, lalu tersenyum bahagia. “Aku selalu ada untukmu, Alya.”

Di bawah langit yang menyaksikan segalanya, Alya akhirnya menemukan jawabannya. Ia memilih cinta yang tidak hanya berasal dari kenangan, tetapi dari keyakinan akan masa depan yang lebih baik.***

—————-THE END————–

 

 

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintapertama#CintaSegitiga (jika ada konflik cinta)#Drama#Persahabatan (jika ada unsur persahabatan yang kuat)#Romansa
Previous Post

CINTA YANG MENGUBUR MASA LALU

Next Post

DENDAM YANG KU PERAM

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
DENDAM YANG KU PERAM

DENDAM YANG KU PERAM

MENUNGGGU DIDALAM HENING

MENUNGGGU DIDALAM HENING

” AKU MASIH MENGINGAT TATAPAN ITU “

" AKU MASIH MENGINGAT TATAPAN ITU "

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id