Daftar Isi
BAB 1 PERTEMUAN TAK TERDUGA
Dina sedang duduk di sudut perpustakaan universitas, menundukkan kepala, fokus pada bukunya. Di luar jendela, hujan mulai turun dengan deras, menciptakan paduan suara yang menenangkan di sela-sela kesunyian yang ada. Suara tetesan air hujan yang memercik di kaca jendela membuatnya merasa terbuai, seolah-olah waktu berjalan lebih lambat dan semua kekhawatirannya hilang. Ia sedang menyelami sebuah novel karya penulis favoritnya, mencoba menghindari keramaian dunia luar yang selalu membuatnya merasa canggung.
Di tengah-tengah kesibukan membaca, tanpa sengaja, ia mendengar langkah kaki mendekat. Dina mengangkat wajahnya sejenak, hanya untuk melihat seorang pria muda yang tampak kebingungan mencari sesuatu di rak buku. Dina sempat meliriknya, tetapi kemudian ia kembali tenggelam dalam dunia buku yang ia baca. Ia tahu, sepertinya bukan waktu yang tepat untuk berinteraksi dengan orang lain. Baginya, dunia buku adalah tempat di mana ia bisa bebas dari kerumunan, bebas dari ketidaknyamanan yang sering muncul saat ia berinteraksi dengan orang lain.
Namun, entah mengapa, kali ini perasaannya sedikit berbeda. Ada sesuatu yang menarik perhatian Dina dari sosok pria itu—entah karena penampilannya yang sedikit berantakan dengan jaket hoodie yang sudah mulai kusut atau karena caranya yang terlihat sedikit bingung itu. Seakan-akan dunia mereka hanya dipisahkan oleh selembar buku.
Tak lama kemudian, pria itu mendekat dan berhenti tepat di samping meja Dina. Dina sedikit terkejut ketika pria itu berbicara, suaranya dalam, namun terdengar cemas. “Permisi, apakah kamu tahu di mana saya bisa menemukan buku tentang psikologi sosial?” tanya pria itu, matanya sedikit ragu.
Dina menatapnya sejenak, mencoba menilai apakah pria ini benar-benar membutuhkan bantuan atau hanya sekadar mencari kesempatan untuk berbicara. Ia kemudian menyadari bahwa pria ini tampaknya benar-benar membutuhkan bantuan. Dina menutup bukunya perlahan, tersenyum canggung. “Oh, tentu, buku tentang psikologi sosial ada di rak bagian belakang, dekat dengan rak literatur sosial. Saya bisa tunjukkan kalau kamu mau,” jawabnya dengan suara pelan, sedikit gugup.
Pria itu tersenyum, wajahnya terlihat lebih cerah, seolah-olah mendengar suara yang sudah lama ia harapkan. “Terima kasih banyak. Aku baru pertama kali ke perpustakaan ini, jadi masih sedikit bingung,” kata pria itu sambil sedikit tertawa.
Dina merasa sedikit lega melihat senyumnya, dan tanpa berpikir panjang, ia berdiri dan mengajak pria itu berjalan menuju rak buku yang dimaksud. Mereka berdua berjalan beriringan, meskipun ada sedikit jarak di antara mereka. Dina merasa sedikit canggung. Biasanya, ia lebih suka menghindari percakapan dengan orang asing, tapi entah mengapa kali ini, ia merasa nyaman dengan kehadiran pria itu.
Sesampainya di rak yang dimaksud, Dina mulai mencari-cari buku yang dicari pria itu. “Ini dia,” katanya, menunjuk ke rak paling atas yang berisi buku-buku psikologi. “Ada beberapa buku yang bisa kamu pilih. Kamu suka buku yang lebih teknis atau lebih ringan?”
Pria itu memandang buku-buku yang ada di rak, tampak bingung, lalu akhirnya memilih salah satu buku yang terlihat lebih tipis. “Mungkin yang lebih ringan. Aku tidak terlalu sering membaca buku serius,” jawabnya sambil tersenyum.
Dina tersenyum kecut, merasa sedikit lega karena pria itu ternyata tidak terlalu serius, setidaknya soal buku. “Aku juga suka yang ringan, kadang-kadang buku berat bisa bikin kepala pusing,” kata Dina, mencoba mencairkan suasana.
Ada hening sejenak di antara mereka. Dina merasa aneh, perasaan yang biasanya tidak ia alami saat berinteraksi dengan orang lain. Mungkin karena pria ini berbeda. Mungkin karena ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Dina merasa ingin berbicara lebih banyak.
Pria itu kemudian berpaling ke Dina dan berkata, “Oh ya, aku belum kenalkan diri. Nama aku Rian.” Ia tersenyum ramah. “Kamu siapa?”
Dina terkejut mendengar pertanyaan itu. Biasanya, ia tidak suka memberi tahu nama lengkapnya kepada orang yang baru dikenal, tapi entah mengapa, kali ini ia merasa nyaman. “Dina,” jawabnya singkat, lalu sedikit tersenyum. “Senang bisa membantu.”
Rian mengangguk dengan penuh rasa terima kasih. “Terima kasih, Dina. Aku benar-benar menghargai bantuanmu.”
Dina hanya mengangguk, merasa sedikit canggung, namun juga merasa ada sesuatu yang menarik dalam percakapan itu. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—perasaan yang membuatnya ingin berbicara lebih banyak dengan Rian. Namun, mereka berdua tidak melanjutkan percakapan itu lebih jauh. Rian hanya tersenyum lagi, lalu mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum melangkah pergi menuju meja peminjaman.
Dina kembali duduk di tempatnya semula, namun kali ini pikirannya tidak bisa lepas dari pertemuan tak terduga itu. Rian, nama yang baru saja ia dengar, berputar-putar di pikirannya. Ia tidak tahu apa yang membuatnya merasa begitu terhubung, padahal pertemuan mereka hanya berlangsung singkat. Namun, perasaan itu ada, dan meskipun Dina mencoba mengabaikannya, ada perasaan aneh yang muncul di dalam hatinya.
Pagi itu, Dina tidak hanya bertemu dengan seseorang yang baru saja datang ke hidupnya, tetapi juga dengan sebuah perasaan baru yang membuat hatinya berdebar. Sesuatu yang ia tahu akan mengubah segalanya, meskipun ia tidak tahu bagaimana caranya. Sejak saat itu, Dina merasa ada ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh seseorang—seseorang yang tidak lain adalah Rian, pria yang baru saja memasuki dunia kecilnya.
Tanpa ia sadari, pertemuan tak terduga itu hanyalah permulaan dari sebuah kisah yang akan menjadi milik mereka berdua. Kisah yang penuh dengan kebetulan, perasaan yang tumbuh dengan perlahan, dan kenangan yang hanya mereka berdua yang bisa mengerti.*
BAB 2 PERCAKAPAN PERTAMA
Dina merasa sedikit canggung saat memasuki ruang perpustakaan yang biasanya menenangkan. Hari itu, seperti biasa, dia datang untuk mencari ketenangan di antara rak buku yang penuh dengan kisah-kisah hidup yang berbeda. Namun, hari itu terasa sedikit berbeda. Rasa janggal itu datang bukan hanya karena dia baru saja menginjakkan kaki di dalam ruangan yang biasanya familiar, tetapi juga karena ada seseorang yang tak ia kenal yang sedang duduk di meja di depan jendela besar, menyerap cahaya matahari yang lembut.
Rian. Namanya terdengar begitu asing bagi Dina, meskipun dia merasa sudah beberapa kali melihat wajah itu, namun baru hari ini mereka berada di ruang yang sama, dalam waktu yang sama. Dina berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mendalam. Seperti biasa, dia mengambil sebuah buku yang telah menjadi pilihan di tangannya dan bergegas ke salah satu sudut perpustakaan. Namun tak lama setelah ia duduk, suara langkah kaki yang datang mendekat menghentikan fokusnya pada buku yang dibaca.
“Maaf, bisa tolong geser sedikit?” suara itu terdengar cukup rendah, tetapi jelas, mengingatkan Dina pada suara seseorang yang tidak terlalu asing.
Dina menoleh dan mendapati Rian berdiri di depannya dengan senyum ceria yang seolah mengundang percakapan. Entah kenapa, Dina merasa sedikit terkejut meskipun itu adalah pertemuan yang tampaknya biasa saja. “Oh, maaf…” jawab Dina tergagap, segera memberikan sedikit ruang untuk Rian yang hendak melewati meja kecil di depannya.
Rian duduk di kursi yang berada tepat di samping Dina, tidak terlalu dekat, namun cukup untuk membuat Dina merasa sedikit lebih waspada. Dengan segera, ia membuka buku yang dibawanya, mencoba fokus, tetapi masih ada rasa tidak nyaman yang mengganjal di hatinya. Rian duduk dengan tenang, tampaknya sedang membaca beberapa catatan di ponselnya. Dina mendapati dirinya mencuri pandang ke arahnya sesekali, meskipun dia berusaha untuk tidak terlihat.
Beberapa menit berlalu, dan rasa canggung itu masih mengendap di udara. Tiba-tiba, Rian menoleh ke arah Dina dan tersenyum, senyum yang hangat dan tidak memaksa. “Kamu suka baca buku di sini juga?” tanyanya dengan nada yang lembut, mencoba membuka percakapan.
Dina terkejut, tidak menyangka Rian akan memulai percakapan. Ada banyak pertanyaan yang memenuhi pikirannya—apakah dia benar-benar ingin berbicara, atau hanya sekadar basa-basi? Namun, karena rasa ingin tahu yang lebih besar, Dina memutuskan untuk menjawab.
“Iya, biasanya aku suka datang ke sini. Tempatnya tenang dan nyaman,” jawab Dina sambil sedikit tersenyum, mencoba untuk tidak terkesan gugup. “Aku suka baca buku-buku fiksi, yang membuatku bisa masuk ke dalam cerita dan melupakan semuanya.”
“Wah, aku juga suka fiksi!” kata Rian dengan antusias. “Tapi lebih ke genre petualangan dan misteri. Aku suka kalau ceritanya penuh teka-teki dan membuatku berpikir.”
Dina merasa ada sesuatu yang menyenangkan dari percakapan ini. Meskipun mereka berbicara tentang hal yang sederhana—buku—namun ada kecocokan di antara mereka yang terasa begitu alami. “Aku juga suka yang misteri, tapi lebih ke fiksi ilmiah. Kamu pernah baca buku tentang waktu dan dimensi?” tanya Dina, mencoba mencari titik kesamaan.
Rian mengangguk. “Pernah. Aku suka banget baca yang bisa membuatku berpikir tentang waktu dan dunia ini dengan cara yang berbeda. Itu seperti membuka perspektif baru. Kalau kamu?”
Dina tersenyum dan mulai merasa lebih nyaman. “Aku rasa aku lebih suka cerita yang bisa membuka mata kita tentang kehidupan manusia. Mungkin lebih banyak tentang perasaan dan hubungan antar manusia, tapi tetap dengan bumbu misteri.”
Percakapan mereka mengalir begitu natural. Rian tampaknya sangat terbuka dan mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara Dina merasa semakin rileks. Mereka berbicara tentang berbagai buku, karakter, dan bahkan mengungkapkan sedikit tentang diri mereka—meskipun tidak banyak.
Beberapa kali, Dina merasa malu dengan betapa jujurnya dia mengungkapkan pendapatnya tentang buku yang dibaca, namun Rian tidak pernah menyela, malah menunjukkan ketertarikan. “Kamu tahu nggak, aku suka banget kalau ada buku yang bisa merubah cara kita melihat sesuatu. Seperti apa yang kamu bilang, tentang hubungan manusia—itu penting,” kata Rian sambil merenung sejenak. “Aku rasa, banyak orang yang kehilangan makna dalam hidup mereka, nggak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan, dan cuma mengikuti apa yang ada.”
Dina sedikit terkejut dengan pernyataan Rian. “Aku setuju dengan itu. Kadang, kita terjebak dalam rutinitas dan melupakan apa yang benar-benar kita inginkan. Itu juga yang aku rasakan akhir-akhir ini.”
Rian menatap Dina dengan tatapan yang penuh pemahaman. “Kamu kelihatan seperti orang yang banyak berpikir, Dina. Tapi, kalau kamu mau, bisa kok berbagi lebih banyak. Kadang, kita butuh orang untuk mendengar.”
Dina merasa tergerak oleh kata-kata Rian. Selama ini, ia jarang berbicara tentang dirinya dengan orang lain, kecuali sahabat dekatnya. Tetapi, ada sesuatu dalam diri Rian yang membuat Dina merasa nyaman. Mereka berbicara lebih dalam tentang kehidupan masing-masing, tentang keluarga, tentang masa depan yang belum jelas, dan tentang impian yang kadang tampak terlalu jauh untuk digapai.
“Rian, aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa seperti kita sudah lama kenal, meskipun ini percakapan pertama kita,” kata Dina pelan, hampir tidak percaya dengan dirinya sendiri.
Rian tersenyum, seolah merasakan hal yang sama. “Aku juga merasa begitu. Kadang, ada perasaan yang sulit dijelaskan, kan? Mungkin kita memang cuma baru pertama kali bicara, tapi sepertinya kita sudah saling mengerti tanpa perlu banyak kata.”
Dina terdiam sejenak, merasa hangat mendengar kata-kata Rian. Mungkin inilah yang disebut dengan perasaan pertama—ketika segala sesuatu terasa begitu nyata meskipun baru dimulai. Mereka tidak tahu ke mana percakapan ini akan berlanjut, tetapi satu hal yang pasti—hari ini, percakapan pertama mereka akan menjadi langkah kecil menuju hubungan yang lebih dalam. Dan Dina tahu, ini adalah awal dari kisah yang belum sepenuhnya terungkap, namun sudah terasa begitu berarti.*
BAB 3 RINDU YANG DIAM-DIAM
Hujan turun dengan lembut pada sore itu, menyelimuti jalanan kota yang sibuk. Dina duduk di dekat jendela kamar, memandangi tetesan air yang mengalir di kaca, sambil sesekali menghela napas panjang. Hatinya terasa kosong, sepi, seakan ada bagian yang hilang. Beberapa minggu sudah berlalu sejak pertemuannya dengan Rian, dan meskipun mereka hanya berbicara sebentar, perasaan itu tumbuh dengan cepat dan diam-diam.
Rian, pemuda yang baru saja ia temui di perpustakaan, kini seakan menjadi bagian dari hidupnya meski mereka terpisah oleh jarak. Kepergian Rian untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negeri seolah memberi kesan mendalam bagi Dina. Ia tak bisa memungkiri perasaan rindu yang datang begitu tiba-tiba, perasaan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan terhadap siapapun. Rindu ini datang tanpa peringatan, seperti hujan yang turun begitu saja di tengah hari yang cerah.
Sebelum Rian pergi, mereka hanya sempat bertukar beberapa kata, berbicara tentang buku-buku yang mereka suka dan sedikit tentang kehidupan masing-masing. Tak ada janji atau kata-kata yang mengikat hubungan mereka. Namun, setelah pertemuan itu, Dina merasa ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali Rian ada dalam pikirannya, perasaan itu semakin kuat. Dina tahu, bahwa apa yang ia rasakan bukanlah sekadar rasa suka biasa. Ini lebih dalam, lebih berarti.
Sejak saat itu, Dina tidak bisa berhenti memikirkan Rian. Setiap kali ia melihat pesan atau foto yang dikirim Rian, hatinya berdebar. Mereka saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun komunikasi mereka terasa tidak cukup. Dina ingin lebih, ia ingin lebih banyak waktu bersama Rian, lebih banyak percakapan dan tawa yang mengalir bebas di antara mereka. Namun, Rian kini berada ribuan kilometer jauhnya, dan Dina hanya bisa menatap layar ponselnya, menunggu kabar darinya.
Rindu itu tumbuh perlahan, tak terlihat oleh orang lain, namun begitu kuat di dalam hati Dina. Ia mencoba untuk melupakan perasaan itu, mencoba untuk terus melanjutkan kehidupan seperti biasa, namun setiap kali mendengar nama Rian, atau melihat tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi bersama, hatinya terasa sesak. Dina tahu, ia tidak bisa mengabaikan perasaannya begitu saja.
Pernah suatu malam, saat Dina sedang berjalan pulang dari kampus, ia melewati taman kecil tempat pertama kali ia bertemu dengan Rian. Tempat itu kini tampak lebih sepi, meskipun lampu-lampu jalan masih menyala. Dina berhenti sejenak dan duduk di bangku kayu yang dulu sering mereka duduki bersama. Ia mengingat kembali percakapan pertama mereka, bagaimana Rian tertawa kecil saat mereka membahas buku yang sama, bagaimana matanya berbinar saat berbicara tentang musik favoritnya.
Tiba-tiba, Dina merasakan perasaan yang begitu kuat. Rindu itu datang begitu mendalam, menghujam hingga ke dasar hati. “Kenapa harus begitu jauh, Rian?” pikirnya dalam hati. Ia merasa seolah ada bagian dari dirinya yang tertinggal bersama Rian, dan kini harus menjalani hari-hari tanpa kehadirannya.
Namun, meskipun rasa rindu itu semakin menguat, Dina juga tahu bahwa ia tidak bisa terus terlarut dalam perasaan itu. Hidupnya harus tetap berjalan, dan ia harus melanjutkan semua yang telah ia mulai. Rian berada di luar negeri untuk mengejar impian dan cita-citanya, dan Dina harus menghormati itu. Ia tidak ingin menjadi beban, atau membuat Rian merasa bersalah karena perasaannya.
Dina mencoba untuk lebih fokus pada kuliah dan aktivitas lainnya. Ia mulai lebih banyak bergaul dengan teman-temannya, mengikuti kegiatan di kampus, dan mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari Rian. Namun, setiap kali ia teringat Rian, perasaan itu muncul kembali, dan Dina merasa seperti berperang dengan dirinya sendiri. Ia tidak ingin terlalu mengharapkan sesuatu, tapi hatinya terus mendesaknya untuk berharap bahwa suatu hari nanti, Rian akan kembali dan mereka bisa melanjutkan kisah yang belum sempat mereka mulai.
Di lain waktu, Rian mengirimkan pesan singkat kepadanya, menceritakan pengalamannya selama di luar negeri. Dina merasa bahagia mendengarnya, namun di sisi lain, ia juga merasa kesepian. “Aku ingin kamu di sini, Dina,” tulis Rian dalam salah satu pesannya. Kalimat itu membuat Dina merasa bimbang. Ia tahu, Rian merindukannya, tetapi mereka berada dalam jarak yang begitu jauh. Bagaimana bisa cinta berkembang jika mereka hanya bisa berbicara lewat layar ponsel dan pesan singkat?
Malam itu, Dina terbaring di tempat tidurnya, menatap langit yang gelap di luar jendela. Hujan mulai turun lagi, suara tetesan air terdengar lembut di atas genteng. Dina memejamkan mata, berusaha mengusir semua perasaan yang datang. Ia tahu, ia tidak bisa terus terperangkap dalam rasa rindu yang tidak ada ujungnya. Namun, di saat yang sama, ia tidak bisa menahan hati untuk tidak merindukan Rian.
“Aku rindu kamu, Rian,” bisiknya dalam hati. Tidak ada yang bisa mendengar perasaan itu selain dirinya sendiri. Rindu itu tidak perlu diucapkan, karena sudah begitu jelas di dalam hatinya. Ini adalah perasaan yang hanya Dina yang tahu, dan hanya Rian yang bisa mengerti. Mereka mungkin terpisah oleh jarak, tapi perasaan ini tetap ada, tumbuh dalam diam, menunggu saat yang tepat untuk terungkap.
Dina menatap layar ponselnya, membaca pesan terakhir yang dikirimkan Rian. Ia tersenyum kecil, lalu mengetik balasan singkat: “Aku juga rindu, Rian. Semoga kita bisa bertemu lagi segera.” Pesan itu dikirimkan, dan Dina merasa sedikit lega. Setidaknya, ia tahu bahwa Rian juga merasakan hal yang sama.
Meskipun jarak memisahkan mereka, perasaan rindu yang diam-diam tumbuh dalam hati Dina tidak akan pernah pudar. Itu adalah bagian dari kisah mereka yang hanya bisa mereka pahami. Sebuah kisah yang menunggu waktu untuk berkembang, hingga akhirnya mereka bisa saling bertemu, dengan perasaan yang sudah semakin kuat.*
BERTEMU 4 KEMBALI BERTEMU
Hari itu, Dina merasa tidak seperti biasanya. Sejak pagi, perasaan aneh bercampur aduk dalam hatinya. Pagi yang cerah seolah menghadirkan kilasan-kilasan kenangan tentang Rian. Kenangan tentang tawa dan obrolan ringan yang mereka bagi beberapa bulan lalu, sebelum Rian berangkat untuk mengikuti program pertukaran pelajar. Mereka berpisah tanpa janji, namun perasaan mereka seolah tetap terhubung meski jarak memisahkan.
Sudah hampir tiga bulan Rian pergi, dan Dina merasakan sepi yang mendalam setiap kali dia menyadari bahwa hari-hari mereka tidak lagi diisi dengan percakapan ringan atau waktu bersama. Dina mulai merasa bahwa ada kekosongan yang belum bisa ia isi, meski berusaha disibukkan dengan banyak hal. Namun, tak ada yang bisa mengalahkan rasa rindu yang terus tumbuh dalam dirinya. Rian, meski jauh, masih memegang tempat yang sangat spesial di hatinya.
Pada suatu siang yang tenang, Dina mendapatkan pesan singkat yang membuat jantungnya berdegup kencang. “Dina, aku kembali. Bisakah kita bertemu?” Pesan itu berasal dari Rian. Dina terdiam sejenak, mencerna setiap kata yang tertulis di layar ponselnya. Sebuah perasaan campur aduk memenuhi pikirannya—antara kegembiraan yang tak terungkapkan dan kekhawatiran yang muncul begitu saja. Apakah semuanya akan sama seperti dulu?
Setelah sekian lama menahan perasaan, Dina merasa cemas akan perubahan yang mungkin terjadi. Meskipun mereka berdua hanya saling mengirim pesan beberapa kali, Dina merasa bahwa jarak dan waktu telah mengubah banyak hal. Ia khawatir jika pertemuan ini akan menghadirkan keraguan, atau mungkin sebuah kenyataan bahwa hubungan mereka hanya akan menjadi kenangan belaka.
Namun, keinginan untuk melihat Rian lagi jauh lebih besar daripada ketakutannya. Dina pun membalas pesan itu, “Tentu, Rian. Aku akan menunggu.”
Pertemuan mereka ditentukan di taman kecil yang menjadi tempat favorit mereka dulu. Sebuah tempat yang penuh kenangan, di mana mereka sering berbincang tentang segala hal, tentang impian mereka, dan tentang dunia yang mereka ingin jelajahi bersama. Dina tahu, meskipun banyak waktu yang telah berlalu, taman itu masih akan menyimpan kenangan indah mereka.
Saat Dina tiba di taman, ia melihat Rian sudah menunggu di bangku panjang yang biasa mereka duduki. Hatinya berdebar saat melihat sosoknya, sosok yang selama ini hanya ada dalam bayangannya. Rian tampak berbeda, tentu saja—lebih dewasa, lebih matang. Namun, senyumnya tetap sama, senyum yang membuat Dina merasa hangat dan tenang.
“Dina,” Rian berkata dengan suara lembut, seolah menunggu konfirmasi bahwa ia benar-benar ada di depan Dina. “Kamu datang juga.”
Dina hanya bisa tersenyum, meski ada rasa canggung yang tiba-tiba muncul. “Aku tidak mungkin tidak datang, Rian. Sudah lama sekali.”
Rian tertawa kecil, dan mereka duduk berdua di bangku yang sama, di bawah pohon besar yang selalu mereka nikmati bersama. Suasana sekitar tampak begitu tenang, seakan dunia berhenti berputar hanya untuk mereka. Dina memandangi Rian dengan hati yang penuh perasaan. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi kata-kata terasa terjebak di tenggorokannya.
“Aku rindu,” akhirnya Rian memecah keheningan itu. “Rindu berbicara denganmu, Dina. Aku sering memikirkan kita, tentang bagaimana semuanya dulu berjalan begitu mudah. Aku merasa… seperti kehilangan banyak hal.”
Dina mengangguk, merasakan hal yang sama. Rindu yang selama ini ia pendam kini terungkap. “Aku juga rindu, Rian. Kadang aku merasa kosong, seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Dan aku tahu, itu karena kamu.”
Mata Rian melembut, dan ia menggenggam tangan Dina, sebuah sentuhan yang sudah sangat dirindukan Dina. “Aku juga merasa begitu, Dina. Aku pikir aku bisa menghadapinya, tapi semakin jauh aku dari kamu, semakin aku sadar betapa berharganya hubungan kita.”
Dina menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai terbaca jelas di wajahnya. Namun, di dalam hatinya, Dina merasa bahagia. Mereka mungkin telah berpisah untuk sementara, namun kedekatan yang mereka miliki tidak pernah hilang. Malah, perasaan itu kini lebih kuat, lebih nyata, dan lebih penuh makna.
“Apa yang terjadi selama kamu pergi?” tanya Dina dengan lembut, ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan Rian selama ia berada di luar negeri.
Rian menceritakan pengalamannya, tentang teman-teman baru, pengalaman-pengalaman tak terlupakan yang ia dapatkan, dan tentu saja, tentang bagaimana ia sering kali teringat pada Dina di tengah segala kesibukannya. Dina mendengarkan dengan penuh perhatian, senyum kecil terus terukir di wajahnya. Meskipun jarak dan waktu memisahkan mereka, sepertinya tak ada yang berubah. Dina merasa seolah-olah waktu itu berhenti, dan ia kembali merasakan kedekatan yang dulu mereka miliki.
Namun, saat percakapan mereka mulai mereda, Dina merasakan bahwa ada satu hal yang belum ia ungkapkan. Sesuatu yang sejak awal pertemuan ini menggantung di hatinya. “Rian,” panggil Dina pelan, “apakah kamu pikir semuanya akan sama setelah ini? Apakah kita bisa kembali seperti dulu?”
Rian terdiam, matanya memandang langit senja yang mulai memerah. “Aku tidak tahu, Dina. Banyak hal yang berubah, dan aku merasa kita juga berubah. Tapi satu hal yang pasti, aku ingin mencoba. Aku ingin kita menjadi lebih baik, menjadi lebih dari sekadar kenangan.”
Dina merasakan kehangatan yang dalam dari kata-kata Rian. Ini adalah jawaban yang ia harapkan, meskipun ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh dengan ketidakpastian. Mereka tidak bisa kembali ke masa lalu, namun mereka bisa membangun masa depan bersama, melangkah maju dengan segala yang telah mereka pelajari.
“Kalau begitu, mari kita coba,” jawab Dina, dengan senyum yang penuh harapan. “Kita akan melangkah bersama, Rian. Untuk kisah kita yang baru.”
Mereka berdua tersenyum, dan pada saat itu, Dina tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru. Sebuah kisah yang akan mereka jalani bersama, dengan penuh cinta dan pengertian, tanpa ada lagi ketakutan akan kehilangan. Mereka tahu bahwa cinta yang sejati tidak hanya ditemukan dalam waktu singkat, tetapi juga dalam kesabaran dan usaha untuk terus bersama.*
BAB 5 MENGUNGKAPKAN PERASAAN
Dina duduk di bangku taman yang selalu mereka kunjungi, memandangi rerumputan yang hijau dan angin sore yang berhembus lembut. Hari itu terasa berbeda, ada kegelisahan yang menghantuinya. Hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Rian, yang biasanya penuh canda, kini duduk di sebelahnya dengan senyum yang membuat Dina semakin ragu. Beberapa kali Dina mengalihkan pandangannya, menatap jalan setapak yang sibuk dengan orang-orang berlalu lalang, namun hatinya tetap tidak tenang.
Rian menoleh, dan mata mereka bertemu. Ada keheningan sejenak sebelum Rian membuka mulut. “Kamu kenapa, Dina? Kamu kelihatan… nggak biasa.” Suaranya lembut, penuh perhatian, seperti biasanya, namun ada sedikit kekhawatiran yang tergambar di wajahnya.
Dina menghela napas panjang, merasakan beban yang sudah lama ia pendam. Ada sesuatu yang harus ia katakan, dan saat ini adalah waktunya. “Rian, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” ujarnya dengan suara yang hampir tak terdengar. Ia merasa gugup, tapi di sisi lain, ada semangat yang muncul. Inilah saatnya untuk mengungkapkan perasaan yang sudah terlalu lama ia sembunyikan.
Rian menatapnya dengan serius, seakan merasakan pentingnya pembicaraan ini. “Apa itu, Dina? Kamu bisa bilang apa saja, kamu tahu kan?”
Dina tersenyum kecil, meski hatinya masih terasa berdebar. Ia menundukkan kepala sejenak, mencoba menata kata-kata yang tepat. Semua kata-kata yang sudah ia persiapkan seakan menghilang begitu saja. Bagaimana ia bisa menjelaskan perasaannya yang begitu besar dan rumit dengan kata-kata sederhana?
“Aku…” Dina terdiam, suaranya tiba-tiba serasa tercekik. Ia mengatupkan bibir, mencoba mengontrol napasnya. “Aku merasa ada sesuatu yang berbeda sejak pertama kali kita berbicara. Aku tidak tahu persis kapan itu dimulai, tapi aku merasa semakin dekat denganmu. Setiap kali kita bertemu, ada perasaan yang aku nggak bisa jelaskan. Perasaan ini terus tumbuh, semakin kuat.” Dina menatap Rian dengan penuh keberanian, namun matanya sedikit basah, menahan rasa takut yang begitu besar. “Aku rasa aku jatuh cinta padamu, Rian.”
Suasana sejenak hening. Dina menunggu jawaban Rian, tetapi ia juga merasa takut akan penolakan. Apakah perasaannya ini hanya sebuah angan-angan belaka? Ataukah Rian juga merasakan hal yang sama?
Rian terdiam, wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit Dina pahami. Seperti ada perasaan campur aduk dalam diri Rian—keheranan, kebingungan, atau mungkin ia juga merasa terkejut mendengar pengakuan itu. Dina menundukkan kepala, merasakan sakit hati yang begitu mendalam jika ternyata Rian tidak merasakan hal yang sama.
Namun, Rian akhirnya membuka mulut. “Dina, aku… aku nggak tahu harus bilang apa,” ucapnya pelan. Dina menatapnya, hatinya bergetar. “Aku nggak mau kamu merasa bingung atau tersakiti. Aku senang kita bisa berbicara terbuka seperti ini, tapi… aku juga merasa bingung, Dina. Aku belum tahu pasti apa yang aku rasakan.”
Kata-kata Rian menghantam Dina seperti batu besar yang jatuh di atas hatinya. Sesuatu yang ia harapkan, yaitu jawaban yang jelas dan pasti, malah datang dengan keraguan. Dina merasa matanya mulai berkaca-kaca, namun ia berusaha menahannya. “Aku mengerti,” jawabnya dengan suara bergetar. “Mungkin aku terlalu terburu-buru mengungkapkan ini. Maafkan aku jika membuatmu merasa tidak nyaman.”
Rian meraih tangan Dina dengan lembut, membuat Dina terkejut. “Dina, jangan salah paham,” katanya dengan suara yang lebih lembut. “Aku nggak pernah merasa tidak nyaman. Aku cuma butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Kamu tahu kan, aku tidak pernah ingin membuat kamu merasa seperti ini.”
Dina mengangguk, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang perlahan tumbuh. Meskipun Rian belum bisa memberikan jawaban yang pasti, ada rasa hangat dalam sentuhan tangan Rian yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang. “Aku hanya ingin kamu tahu apa yang aku rasakan, Rian,” ucap Dina pelan. “Aku ingin hubungan ini lebih dari sekadar teman. Tapi, aku tahu semuanya butuh waktu.”
Rian tersenyum lembut, dan untuk pertama kalinya, Dina merasakan senyum itu tulus dan tidak terburu-buru. “Dina, aku hargai keberanianmu untuk mengungkapkan perasaan ini. Aku juga ingin hal yang sama, cuma aku nggak tahu bagaimana caranya. Aku takut jika aku terlalu cepat, aku bisa membuat semuanya jadi rumit.”
Dina merasakan sebuah perasaan lega. Meskipun Rian belum bisa memberikan jawaban pasti, ia merasa lebih dihargai. “Kita bisa melakukannya pelan-pelan, kan?” tanya Dina. “Aku nggak ingin terburu-buru. Aku hanya ingin bersama-sama, langkah demi langkah.”
Rian mengangguk, matanya penuh dengan pengertian. “Kita akan melakukannya bersama, Dina. Dengan cara kita.”
Hari itu, meskipun tak ada jawaban yang pasti, Dina merasa lega karena akhirnya bisa mengungkapkan perasaannya. Ia tahu bahwa perjalanan cinta mereka masih panjang, dan mungkin tidak akan mudah. Namun, yang lebih penting adalah mereka sudah memulai langkah pertama untuk menghadapinya bersama, dengan saling memahami dan memberi waktu.
Malam itu, ketika Dina pulang, ia merasakan angin malam yang sejuk menyapu wajahnya. Ada perasaan yang lebih ringan, seolah beban yang selama ini mengganjal hatinya telah sedikit berkurang. Meski tidak ada kepastian, Dina merasa bahwa mengungkapkan perasaan adalah awal dari sesuatu yang lebih indah, bahkan jika itu harus dimulai dengan keraguan.
Kisah mereka baru saja dimulai, dan meskipun penuh dengan ketidakpastian, Dina tahu satu hal—cinta pertama adalah perjalanan yang penuh dengan kejutan dan belajar bersama. Langkah pertama telah diambil, dan kini, mereka hanya perlu menunggu waktu untuk melihat ke mana perasaan itu akan membawa mereka.*
BAB 6 KISAH YANG TUMBUH
Hari itu, langit biru cerah menyambut mereka di taman kecil yang selalu menjadi tempat pelarian Dina dan Rian. Taman itu seakan menjadi saksi bisu dari perjalanan mereka, dari awal pertemuan yang tak terduga hingga saat ini, di mana mereka berdiri di ambang pintu kisah yang semakin dalam. Mereka duduk di bangku kayu yang sama seperti biasa, dikelilingi oleh bunga-bunga yang mekar dan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma segar. Dina memandang Rian, merasa lebih dekat dengan lelaki itu daripada sebelumnya. Perasaan itu sudah tumbuh begitu besar, seiring berjalannya waktu.
Namun, di balik perasaan itu, ada juga keraguan. Cinta pertama bukanlah hal yang mudah. Setiap langkah terasa seperti pelajaran baru yang harus dipelajari, dan Dina tahu mereka masih harus banyak memahami satu sama lain. Ada begitu banyak hal yang perlu mereka selesaikan, banyak impian dan harapan yang belum mereka ungkapkan sepenuhnya. Tetapi, saat dia duduk di samping Rian, dengan tangan yang saling menggenggam, Dina merasa bahwa mereka sedang menuju ke arah yang benar.
“Rian, kadang aku merasa kita ini seperti dua orang yang berjalan di jalan yang sama, tapi dengan langkah yang belum sepenuhnya selaras,” kata Dina, suaranya pelan namun penuh makna.
Rian menoleh padanya, matanya penuh perhatian. “Apa maksudmu?” tanyanya, tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang muncul begitu mendalam.
Dina menarik napas panjang, mencoba untuk merangkai kata-kata yang tepat. “Kadang aku merasa, meskipun kita sudah bersama, kita masih belum sepenuhnya memahami satu sama lain. Seperti ada bagian dari diriku yang belum bisa aku ceritakan padamu, dan mungkin sebaliknya.”
Rian terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Dina. Ada kejujuran yang begitu tulus dalam kalimat itu, dan dia tahu betapa sulitnya Dina mengungkapkan perasaannya. “Aku juga merasa begitu,” kata Rian akhirnya. “Tapi aku percaya kita akan sampai pada titik di mana kita bisa saling memahami sepenuhnya. Cinta itu bukan hanya soal perasaan, tetapi juga tentang waktu dan kesabaran, kan?”
Dina mengangguk, merasakan kenyamanan dalam kata-kata Rian. Mereka tidak perlu terburu-buru, tidak perlu mencari kepastian tentang segalanya. Yang mereka butuhkan hanyalah waktu, untuk membiarkan kisah mereka tumbuh dan berkembang secara alami. Dengan setiap hari yang mereka jalani bersama, hubungan mereka semakin kuat. Meskipun ada ketidakpastian, ada juga keyakinan bahwa mereka bisa melewati semua itu, bersama-sama.
Pernah suatu ketika, Dina merasa takut akan perasaan yang datang begitu mendalam. Cinta pertama selalu begitu mempengaruhi, membawa emosi yang sulit untuk diatur. Ada kalanya Dina merasa cemas jika perasaan ini tidak akan bertahan, jika semuanya akan berakhir seperti kisah cinta yang banyak ia dengar dari teman-temannya, yang hanya sesaat dan kemudian hilang begitu saja. Namun, bersama Rian, dia merasa ada sesuatu yang berbeda. Rian selalu ada untuknya, tidak hanya ketika semuanya baik-baik saja, tetapi juga ketika mereka saling bingung dan tidak tahu harus kemana.
“Apa yang kamu rasakan saat kita tidak bersama?” tanya Rian, memecah keheningan.
Dina tersenyum tipis, teringat pada saat-saat mereka berpisah karena kesibukan masing-masing. “Aku merasa ada yang hilang, Rian. Bukan hanya karena kita tidak bertemu, tapi karena perasaan itu—perasaan yang tumbuh setiap hari—tiba-tiba seperti tidak ada lagi. Rasanya sepi.”
Rian memandang Dina dengan lembut, menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku juga merasa begitu,” jawabnya. “Aku merasa, saat kita tidak bersama, dunia ini terasa sedikit lebih kosong. Tapi, aku tahu kita berdua bisa mengisinya dengan kisah kita.”
Kata-kata Rian itu membuat hati Dina terasa lebih hangat. Mereka sudah mulai merangkai kisah yang hanya milik mereka, yang tidak bisa dipahami oleh orang lain. Kisah itu adalah perjalanan mereka untuk tumbuh bersama, untuk belajar dari perbedaan, dan untuk mencintai satu sama lain meskipun tak sempurna. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka, bukan karena mereka sempurna, tetapi karena mereka saling memahami dan menerima ketidaksempurnaan masing-masing.
Hari demi hari, hubungan mereka semakin menguat. Rian mulai lebih terbuka tentang masa lalu dan impian-impian yang ingin dicapainya. Dina, meskipun lebih tertutup, mulai merasa lebih nyaman untuk berbagi tentang dirinya. Mereka tidak lagi takut untuk menunjukkan siapa diri mereka sebenarnya, bahkan dengan segala kelemahan dan kekurangan yang ada. Itulah yang membuat cinta mereka semakin kuat—mereka menerima satu sama lain tanpa syarat, meskipun ada keraguan, tetapi juga ada keyakinan.
Satu hal yang Dina pelajari adalah bahwa cinta pertama tidak harus selalu sempurna. Cinta itu adalah tentang perjalanan bersama, tentang belajar untuk tumbuh dan mengerti satu sama lain. Ada masa-masa indah yang akan dikenang, dan ada juga masa-masa sulit yang akan mempererat ikatan mereka. Namun, yang paling penting adalah mereka tahu bahwa meskipun mereka tidak selalu berada dalam keadaan sempurna, cinta mereka tetap tumbuh dan berkembang.
Rian meraih tangan Dina, menggenggamnya dengan erat. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan,” kata Rian. “Tapi aku tahu satu hal, Dina—aku ingin selalu berada di sini, bersama kamu, melewati setiap langkah yang ada.”
Dina menatapnya, mata mereka bertemu dengan penuh kehangatan. “Aku juga merasa begitu, Rian. Tidak ada yang lebih aku inginkan selain bisa terus berjalan bersama kamu, menjalani kisah yang hanya milik kita.”
Mereka duduk dalam diam, menikmati ketenangan yang tercipta antara mereka. Taman itu masih sama, namun perasaan yang ada di dalamnya sudah berbeda. Kisah mereka semakin tumbuh, dan meskipun masih banyak yang harus mereka pelajari, Dina dan Rian tahu bahwa setiap langkah bersama mereka adalah kisah yang indah, kisah yang hanya milik mereka.
Dan dengan begitu, mereka melanjutkan perjalanan mereka, satu langkah pada satu waktu, membiarkan cinta mereka tumbuh lebih dalam dari hari ke hari.***
——–THE END——–