Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

KISAH MANIS YANG BRAHKIR PAHIT

KISAH MANIS YANG BRAHKIR PAHIT

SAME KADE by SAME KADE
April 11, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 19 mins read
KISAH MANIS YANG BRAHKIR PAHIT

Bab 1 Pertemuan Tak Terduga

Hari itu, langit cerah berawan dengan sedikit angin yang berhembus lembut. Alya, seorang wanita muda berusia 25 tahun, sedang duduk di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota. Wajahnya tampak lelah meski senyum di bibirnya masih terlihat, menutupi banyak hal yang tersembunyi di dalam hatinya. Ia memandang keluar jendela, melihat lalu-lalang orang yang tampaknya sibuk dengan kehidupan masing-masing. Pikirannya kembali melayang jauh—terjebak dalam bayang-bayang masa lalu yang tak mudah untuk dilupakan.

Alya telah melewati banyak hal dalam hidupnya—cinta yang terkhianati, kehilangan yang mendalam, dan luka emosional yang tak pernah benar-benar sembuh. Namun, saat ini, ia mencoba untuk menikmati kesendirian yang datang dengan ketenangan. Pekerjaannya sebagai seorang penulis lepas memberinya kebebasan, tetapi juga keheningan yang kadang membuatnya merasa terisolasi.

Sebuah suara langkah kaki mengalihkan perhatian Alya. Ia menoleh, dan matanya bertemu dengan seorang pria yang sedang berjalan mendekatinya. Pria itu, Rizky, tampak lebih muda darinya, dengan pakaian rapi dan sikap percaya diri yang terpancar dari setiap langkahnya. Sebuah senyuman tipis mengulas di wajahnya saat mereka bertemu pandang, membuat Alya merasa sedikit canggung. Seperti ada energi tak terlihat yang menghubungkan mereka seketika.

Rizky berhenti beberapa langkah di depannya, menatap dengan ragu. “Maaf, apakah kursi ini kosong?” tanyanya dengan suara yang tenang namun mantap.

Alya mengangguk, sedikit bingung dengan pertanyaan tersebut. Sebenarnya, ia lebih suka duduk sendirian, namun ada sesuatu dalam diri Rizky yang membuatnya tak bisa menolak. “Silakan duduk,” jawab Alya, mencoba untuk terdengar ramah meskipun hatinya sedikit ragu.

Rizky tersenyum dan duduk di kursi seberang Alya. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, seolah merasa nyaman meskipun baru pertama kali bertemu. Alya merasa tidak nyaman, tetapi juga penasaran. Ada sesuatu dalam tatapan mata Rizky yang membuatnya sulit untuk mengalihkan pandangannya.

Mereka duduk dalam keheningan sejenak, hanya ditemani oleh suara mesin kopi yang berdengung di latar belakang dan aroma kopi yang memenuhi udara. Alya mengambil cangkir kopi yang ada di depannya, mencoba untuk kembali fokus pada pikirannya, tetapi ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang mulai muncul.

“Apakah kamu sering datang ke sini?” Rizky akhirnya memecah keheningan dengan pertanyaan ringan.

Alya menatapnya sejenak sebelum mengangguk. “Iya, ini salah satu tempat favoritku. Menenangkan,” jawabnya sambil tersenyum kecil, meskipun dalam hatinya, ia merasa ragu tentang keberadaan pria ini dalam hidupnya.

Rizky tersenyum, senyumnya seakan mengundang Alya untuk berbicara lebih banyak. “Aku baru pertama kali ke sini. Tempatnya cukup nyaman. Aku suka suasananya.” Ia mengamati sekitar dengan perhatian, tapi matanya kembali tertuju pada Alya.

Alya merasa aneh dengan percakapan ini. Mengapa pria ini begitu tertarik untuk berbicara dengannya? Dalam benaknya, ia mengingat beberapa pertemuan dengan orang asing yang sering kali berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan kesan yang berarti. Tetapi ada sesuatu dalam diri Rizky yang membuatnya merasa bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan semata.

“Nama kamu siapa?” tanya Rizky setelah beberapa saat berlalu dalam keheningan yang lebih lama dari sebelumnya.

“Alya,” jawabnya singkat, tidak terlalu terbuka. Ia merasa agak canggung dengan pertanyaan itu, tetapi tetap menjawabnya.

“Rizky,” jawab pria itu, mengenalkan dirinya dengan cara yang lebih santai. Ia menatap Alya dengan mata yang tajam, seolah mencoba membaca isi pikirannya.

Alya merasa sedikit terganggu dengan tatapan itu, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. Ia menyadari bahwa, walaupun ada ketegangan, perasaan yang aneh ini tidak bisa ia pungkiri. Ada sesuatu yang menarik antara mereka, meskipun ia tahu bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan hal-hal semacam itu.

“Jadi, kamu penulis?” tanya Rizky lagi, merujuk pada laptop yang tergeletak di meja Alya.

“Iya,” jawab Alya, sedikit lebih terbuka. “Saya penulis lepas. Kadang menulis artikel, kadang cerita fiksi.”

Rizky mengangguk, seolah tertarik. “Menulis cerita fiksi pasti menyenangkan, ya. Kamu bisa menciptakan dunia yang berbeda.”

Alya tersenyum tipis, merasa lebih nyaman dengan percakapan yang mulai mengalir. “Ya, itu bagian yang menyenangkan. Tapi terkadang, menulis juga bisa membuatmu merasa terperangkap dalam dunia yang kamu buat sendiri.”

“Sepertinya kamu menulis tentang sesuatu yang cukup dalam,” ujar Rizky, mencoba menggali lebih jauh.

Alya terdiam sejenak, berpikir. Ia merasa ada sesuatu dalam diri Rizky yang membuatnya ingin membuka diri. Namun, ia juga sadar bahwa perasaan seperti itu mungkin hanya ilusi belaka. Perkenalan yang singkat ini tidak bisa terlalu dalam, bukan?

“Apa kamu tinggal di sini?” Alya membalas dengan pertanyaan untuk memecah kecanggungan yang semakin terasa.

Rizky mengangguk. “Iya, baru beberapa bulan. Pindah kerja ke sini.”

Percakapan itu berlanjut dengan santai, meskipun Alya masih merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Ada banyak pertanyaan yang tidak terucap, dan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Tapi, satu hal yang pasti, pertemuan ini bukanlah kebetulan belaka. Alya merasakannya, dan mungkin, begitu juga dengan Rizky. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar percakapan ringan baru saja dimulai, dan itu akan mengubah arah hidup mereka.

Begitulah awal pertemuan mereka, yang dipenuhi dengan ketegangan dan keingintahuan. Perasaan aneh yang tumbuh di antara mereka menandakan bahwa hubungan ini akan membawa mereka pada sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih menyakitkan.

Daftar Isi

  • Bab 2 Dendam yang Terpendam
  • Bab 3 Manisnya Cinta Penuh Janji
  • Bab 4 Titik Balik
  • Bab 5 Cinta yang Terluka
  • Bab 6 Balas Dendam
  • Bab 7 Cinta dan Dendam yang Saling Berkait

Bab 2 Dendam yang Terpendam

Alya berjalan perlahan melewati lorong gelap di apartemen Rizky, hatinya dipenuhi kebingungan yang semakin mendalam. Hari itu, seperti hari-hari lainnya, mereka menghabiskan waktu bersama. Mereka tertawa, saling berbagi cerita, dan saling menyokong dalam segala hal. Namun, perasaan aneh yang tak bisa diungkapkan mulai mengganggu pikirannya. Ada sesuatu yang tidak beres, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Rizky.

Setiap kali Alya melihat Rizky, ia merasa ada sesuatu yang tidak sesuai antara kata-kata manis yang keluar dari mulutnya dan mata yang kadang terlihat jauh, seperti menyimpan rahasia besar. Alya mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perasaan berlebihan, tetapi semakin lama, perasaan itu semakin tak terbendung. Sebagai wanita yang penuh intuisi, Alya tidak bisa mengabaikan perasaan itu.

Suatu malam, ketika Alya duduk di balkon apartemen Rizky sambil menatap pemandangan kota yang diterangi lampu-lampu, matanya tertuju pada sebuah buku yang tergeletak di meja dekat jendela. Buku itu bukan miliknya, dan ia tidak ingat pernah melihatnya sebelumnya. Penasaran, ia mengambil buku itu dan membukanya. Halaman pertama yang terbuka memperlihatkan sebuah nama—*Alya Putri*—namanya. Alya terkejut dan merasa gelisah. Apa hubungan buku ini dengan dirinya?

Alya terus membaca, dan ternyata buku itu adalah catatan harian seseorang. Isinya menceritakan kisah-kisah masa lalu yang ternyata sangat dekat dengan hidupnya. Ada deskripsi tentang peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lalu, yang ia kira sudah terkubur dalam ingatannya. Dalam buku itu, disebutkan tentang sebuah kecelakaan yang hampir merenggut nyawa orang yang sangat ia cintai. Alya menelan ludah, tubuhnya terasa lemas, dan hatinya mulai berdegup kencang.

Buku itu menceritakan tentang sebuah insiden yang membuatnya kehilangan seseorang yang sangat berharga—seorang pria yang dulu adalah pacarnya, dan sekarang bahkan tak ada jejaknya lagi. Dalam catatan itu, ditulis bahwa orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan itu adalah seorang pria bernama *Rizky*—nama yang sama dengan pria yang kini sedang bersamanya.

Alya merasa darahnya berdesir kencang. Semua kenangan buruk itu kembali menghantui. Bagaimana bisa Rizky, pria yang kini ia cintai, ternyata terlibat dalam kejadian yang menghancurkan hidupnya? Bagaimana bisa tak ada tanda-tanda atau bahkan penjelasan yang memberitahunya tentang hal ini?

Alya mencoba untuk menenangkan dirinya, namun perasaan bingung dan marah terus menguasai pikirannya. Ia memutuskan untuk menghadapinya, untuk mencari tahu kebenarannya. Malam itu juga, ia menunggu Rizky pulang dari pekerjaannya.

Ketika Rizky masuk ke dalam apartemen, Alya duduk dengan sikap yang tegas, menatapnya tanpa kata-kata. Rizky merasa ada yang tidak biasa dengan sikap Alya, dan ia langsung mendekatinya.

“Alya, ada apa? Kenapa kamu tampak begitu serius?” Rizky bertanya sambil duduk di sampingnya, mencoba menggenggam tangan Alya.

Alya menatapnya dengan tajam. “Apa yang kamu sembunyikan, Rizky? Apa hubunganmu dengan kecelakaan itu?”

Rizky terkejut. Wajahnya berubah pucat, dan matanya terlihat bingung. “Alya… maksudmu kecelakaan apa?”

“Jangan bohong! Aku tahu segalanya! Aku tahu siapa yang bertanggung jawab atas kecelakaan itu, dan aku tahu siapa yang ada di balik semua ini. Bukankah kamu yang menyebabkan kecelakaan itu?!” Alya berkata dengan suara serak, menahan air mata yang mulai muncul di sudut matanya.

Rizky terdiam, dan Alya bisa melihat rasa bersalah yang tergambar di wajahnya. “Alya, aku… aku tidak pernah ingin hal itu terjadi. Itu adalah kecelakaan, dan aku menyesal seumur hidup,” kata Rizky dengan suara serak, matanya mulai berkaca-kaca.

Alya merasakan perasaan campur aduk dalam dirinya. Marah, terluka, bingung, dan bahkan sedikit takut. “Jadi, kamu menyembunyikan semua ini dariku? Kamu tahu betul bahwa aku… aku kehilangan seseorang yang sangat aku cintai, dan itu karena kamu. Kamu sudah tahu, Rizky, tapi kamu masih tetap dekat denganku, seolah tidak terjadi apa-apa!” Alya hampir berteriak.

Rizky memegangi kepala, wajahnya penuh penyesalan. “Alya, aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya. Aku… aku tidak pernah ingin mengingat kembali itu semua. Aku terjebak dalam rasa bersalah yang menghantui setiap hari. Aku tahu aku tidak bisa menggantikan apa yang hilang, tapi aku benar-benar mencintaimu. Aku tidak pernah bermaksud untuk melibatkanmu dalam masa lalu itu.”

Alya berdiri, menatapnya dengan mata penuh amarah dan air mata yang hampir tak bisa ditahan. “Kamu memang tidak bermaksud, tapi kamu sudah melakukannya, Rizky. Kamu telah menghancurkan segalanya tanpa sadar. Dendam ini, rasa sakit ini… aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Tidak bisa.”

Rizky berdiri juga, mencoba mendekat, namun Alya mundur. “Alya, tolong… aku mohon, beri aku kesempatan untuk menjelaskan.”

“Tidak, Rizky. Aku tak ingin mendengarkan penjelasanmu. Aku hanya ingin pergi.” Alya berbalik dan berjalan menuju pintu.

Rizky memegangi lengan Alya dengan lembut, namun Alya melepaskan pegangan itu dengan cepat, meninggalkan ruang itu dengan hati yang berat dan penuh kebingungan. Sebelum keluar, Alya sempat menoleh dan berkata dengan suara bergetar, “Ini bukan hanya soal cinta, Rizky. Ini soal kepercayaan. Dan kamu sudah merusaknya.”

Saat pintu tertutup di belakangnya, Rizky berdiri kaku, merasa kehilangan dan terluka lebih dalam daripada yang ia bayangkan. Keputusan Alya mungkin lebih sulit daripada yang ia kira, tetapi ini adalah awal dari perjalanan panjang untuk menebus kesalahannya—meski ia tahu, mungkin ia tak akan pernah bisa sepenuhnya mendapatkan maaf dari Alya.

Dan untuk Alya, rasa sakit itu mungkin akan tetap ada—dendam yang terpendam dalam dirinya, yang seakan tak bisa ia lepaskan begitu saja.

Bab 3 Manisnya Cinta Penuh Janji

Alya duduk di tepi jendela, matanya menatap keluar, meski sejujurnya pikirannya tak benar-benar pada pemandangan indah yang terpampang di depan matanya. Ia sedang memikirkan Rizky, pria yang telah berhasil memasuki hidupnya dengan cara yang tak terduga. Sejak pertemuan mereka yang penuh ketegangan itu, banyak hal yang telah terjadi. Dari rasa benci, kecurigaan, hingga kecemasan yang perlahan berubah menjadi perasaan lain yang lebih dalam. Cinta. Cinta yang seolah datang begitu mendalam tanpa bisa dihentikan.

Malam itu, Rizky mengajaknya makan malam di sebuah restoran yang sederhana namun elegan. Suasana romantis dengan cahaya lampu temaram dan musik lembut di latar belakang membuat suasana semakin intim. Rizky, dengan senyumnya yang memikat, memandang Alya dengan tatapan penuh makna.

“Alya,” suara Rizky memecah keheningan yang nyaman di antara mereka. “Aku tahu ini mungkin terasa cepat, tapi aku merasa sudah cukup lama mengenalmu. Aku ingin kau tahu, tak ada seorang pun yang bisa menggantikanmu. Hanya kamu yang ada di pikiranku saat ini.”

Alya terdiam. Kata-kata itu, meski terdengar manis dan tulus, tetap menyisakan keraguan di hatinya. Bagaimana bisa ia begitu cepat percaya pada pria yang sebelumnya ia anggap sebagai sosok misterius dan sulit dipahami? Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang berontak, mencoba untuk percaya. Cinta memang sering datang begitu, tanpa bisa dijelaskan dengan logika. Ia hanya merasa, bahwa saat itu, inilah yang ia inginkan.

“Kamu tahu, Rizky,” Alya akhirnya berbicara, suaranya bergetar lembut, “Aku juga merasa ada yang berbeda. Sejak kita mulai berbicara lebih banyak, aku merasa nyaman denganmu. Seperti ada kedamaian yang datang bersama kamu. Tapi… aku juga takut. Aku takut akan masa lalu yang masih menghantuiku.”

Rizky menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Alya dengan lembut. “Aku mengerti, Alya. Masa lalu memang bisa menghantui, tapi kita tak bisa terus berlari darinya. Aku ingin kita berdua sama-sama melangkah maju. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa membantumu menghapus semua bayang-bayang itu, jika kau memberi kesempatan.”

Alya menatap tangan Rizky yang menggenggamnya, rasa hangat mengalir melalui setiap jari mereka yang bersentuhan. Ada kenyamanan yang ia rasakan, meski dalam hati masih ada bayang-bayang keraguan. Namun, seiring waktu, setiap pertemuan dengan Rizky terasa semakin indah. Mereka berbicara tentang segala hal; mulai dari hal-hal sepele seperti makanan favorit mereka, hingga perbincangan yang lebih mendalam tentang impian dan harapan mereka di masa depan.

Hari demi hari, hubungan mereka berkembang begitu alami. Rizky selalu berusaha menunjukkan perhatian yang tulus, mengajak Alya ke tempat-tempat yang ia suka, dan selalu ada untuknya ketika dibutuhkan. Alya, yang awalnya sangat berhati-hati, mulai terbuka. Ia mulai mengandalkan Rizky, berbagi kisah-kisah masa lalu yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Meski tak semuanya ia ceritakan, ada rasa kepercayaan yang perlahan tumbuh di dalam hatinya. Rizky mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. Ia hanya memberikan pelukan hangat atau kata-kata yang bisa membuat Alya merasa sedikit lebih ringan.

Suatu sore, saat mereka duduk berdua di bangku taman, Rizky menatap Alya dengan serius. “Alya, aku ingin kita membangun masa depan bersama. Aku ingin menghabiskan waktu denganmu, mendukungmu dalam setiap langkah hidupmu, dan merayakan setiap keberhasilan bersama. Aku tahu ini terdengar seperti janji besar, tapi aku siap untuk itu.”

Alya menatapnya, perasaan hangat memenuhi dadanya. “Aku ingin itu, Rizky. Aku ingin merasakan itu. Aku ingin punya seseorang yang selalu ada untukku, yang bisa membuatku merasa aman, seperti yang kamu lakukan selama ini. Tapi, aku juga takut. Takut jika semuanya akan berakhir seperti yang pernah terjadi sebelumnya.”

Rizky meraih wajah Alya dengan lembut, menatap matanya dengan penuh kasih. “Aku tak akan pernah meninggalkanmu, Alya. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membuatmu merasa bahagia. Kita akan melewati segala rintangan, apapun itu, bersama-sama.”

Saat itu, Alya merasa seolah dunia mereka hanya milik berdua. Semua rasa takut yang sempat menggelayuti hatinya seakan menguap begitu saja. Dalam pelukan Rizky, ia merasa terlindungi, merasa bahwa mungkin inilah yang disebut cinta sejati. Ia ingin mempercayai kata-kata Rizky, meskipun hatinya masih bergelut dengan keraguan.

Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin erat. Mereka berbagi tawa, canda, dan bahkan tangis. Alya merasa semakin nyaman dengan Rizky. Ia bisa melihat masa depan yang cerah di sampingnya, seperti apa yang telah mereka impikan bersama. Setiap janji yang mereka buat terasa begitu manis, bahkan bisa dikatakan mereka mulai membangun kehidupan bersama, meski tanpa kata-kata resminya.

Namun, meski segalanya tampak sempurna, ada hal yang terus mengganggu pikiran Alya. Rasa curiga terhadap masa lalu Rizky masih terus menghantuinya. Dia mencoba untuk menekan perasaan itu, berusaha percaya sepenuhnya pada janji yang telah diberikan Rizky. Tetapi apakah janji-janji itu akan bertahan? Ataukah kelak, kebenaran yang disembunyikan akan merusak semuanya?

Alya memejamkan mata, menyadari bahwa meski cinta mereka terasa manis, bayang-bayang masa lalu selalu menunggu untuk datang dan menguji mereka. Namun, saat itu, untuk pertama kalinya, ia merasa cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang datang—selama mereka berjuang bersama.

Bab 4 Titik Balik

Alya duduk di depan meja kerjanya, matanya kosong menatap layar ponsel. Suara detak jam di ruangan itu terasa begitu nyata, bergaung mengisi kekosongan yang tiba-tiba membelenggu hatinya. Jari-jarinya gemetar saat ia membuka pesan yang baru saja masuk. Nama pengirimnya adalah *Rizky*—sebuah nama yang selama ini ia hindari, sebuah nama yang dulu pernah membuatnya merasa lengkap. Namun, kini rasanya seperti nama yang membawa badai.

Ia merasa mual hanya dengan melihat pesan itu. Alya mencoba mengabaikannya, namun rasa ingin tahu mengalahkan segalanya. Dengan hati yang penuh kekhawatiran, ia membuka pesan tersebut.

**“Alya, ada yang perlu kamu ketahui.”**

Hanya lima kata itu yang terlihat di layar. Tiba-tiba matanya terasa panas. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang membuat dada Alya sesak. Apa yang harus dia ketahui? Apa yang selama ini disembunyikan oleh Rizky?

Alya memutuskan untuk membalas. Tangan yang semula ragu kini mengetik dengan cepat.

**“Apa yang ingin kamu katakan?”**

Tak lama, ponselnya bergetar lagi. Pesan baru masuk. Kali ini, ada lampiran foto yang tersimpan di dalamnya. Alya merasa dunia seakan berhenti berputar sesaat. Ia membuka foto itu dengan perlahan. Hatinya seperti dihantam palu saat matanya menangkap gambar itu.

Foto itu memperlihatkan sebuah kejadian yang sudah lama terlupakan—sebuah insiden yang melibatkan orang yang sangat ia cintai. Itu adalah gambar yang memperlihatkan Rizky berbicara dengan seseorang yang selama ini menjadi bagian dari kisah kelam masa lalunya. Gambar itu diambil pada malam yang sama saat kehidupannya berubah selamanya—malam yang mengubah segalanya. Rizky tampaknya tidak hanya sekadar terlibat, tetapi ia juga terlihat memberi isyarat kepada orang tersebut, sesuatu yang tidak pernah disadari Alya sebelumnya.

Alya merasa darahnya seperti membeku. Wajahnya yang semula tenang kini berubah menjadi pucat pasi. Setiap kata yang ditulis Rizky dalam pesan itu seakan-akan menjadi serangan langsung ke hatinya. Semuanya mulai terungkap. Kenapa ia baru sekarang mengetahui hal ini? Kenapa Rizky tidak memberitahunya lebih awal? Bukankah mereka sudah berbagi begitu banyak bersama? Bukankah selama ini ia mempercayai Rizky sepenuh hati?

Alya merasa tubuhnya lemas. Ia harus tahu kebenarannya.

Dengan langkah yang terhuyung-huyung, ia menghubungi Rizky. Panggilan itu tidak membutuhkan waktu lama untuk dijawab. Suara Rizky terdengar ragu, namun tetap terdengar penuh penyesalan.

“Alya, aku tahu ini berat. Aku harus memberitahumu semuanya,” ujar Rizky pelan.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Rizky?” Alya berusaha menahan suara yang hampir pecah.

“Alya, aku terlibat dalam kejadian itu. Semua yang kamu pikirkan tentang masa lalu itu, aku ada di sana. Aku tidak ingin kamu tahu karena aku takut kehilanganmu, tetapi ini terlalu besar untuk disembunyikan lagi.” Rizky terdengar hampir putus asa.

Alya tak bisa menahan emosinya lebih lama lagi. “Kamu… kamu terlibat dalam insiden itu? Kamu… tahu tentang semuanya?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.

“Alya, aku tidak pernah berniat melukai hatimu. Tapi aku salah, aku terlibat dalam peristiwa itu. Aku salah, dan aku menyesalinya setiap hari,” Rizky terdengar sangat menyesal.

Alya merasa tubuhnya mulai gemetar. Ia tidak bisa memercayai apa yang didengarnya. Pria yang selama ini ia cintai, yang telah membangun segala kenangan indah bersama dirinya, ternyata adalah bagian dari luka yang sudah lama ia coba lupakan. Alya merasa seolah dunia ini berputar terlalu cepat, tidak memberinya kesempatan untuk bernafas.

“Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?” tanya Alya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Kenapa kamu tidak mengungkapkan semuanya? Kenapa harus sekarang, Rizky? Kenapa harus melibatkan dirimu dalam masalah yang begitu besar?”

Rizky terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab dengan nada penuh penyesalan. “Aku takut kehilanganmu, Alya. Aku takut kamu tidak bisa memaafkan aku, dan lebih dari itu, aku takut kalau hubungan kita akan hancur. Jadi aku memilih diam, berharap aku bisa menghapus masa laluku.”

Tapi justru dengan memilih diam, Rizky justru membuat segalanya lebih buruk. Alya merasa seolah kepercayaannya dihancurkan begitu saja. Tidak hanya dirinya yang terluka, tetapi ia merasa dikhianati oleh seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dan sahabatnya.

“Aku… aku tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan,” ujar Alya, suara itu terasa pecah. “Aku pikir kita bisa saling mengandalkan satu sama lain, Rizky. Tapi kamu memilih untuk menutup-nutupi hal yang begitu penting dari aku. Kamu memilih untuk membohongiku.”

Alya merasakan amarah yang semakin membara. Setiap kata Rizky terasa seperti sayatan di hatinya. Ia tidak tahu apakah bisa memaafkan semua yang sudah terjadi. Cinta yang pernah ia rasakan kini terasa semakin jauh, seperti bayangan yang perlahan-lahan menghilang.

Rizky, yang tak bisa lagi menahan rasa bersalah, memohon, “Alya, maafkan aku. Aku tahu aku telah menghancurkan segalanya, tapi aku tidak ingin kehilanganmu. Aku masih mencintaimu.”

Namun, Alya merasa bahwa kata-kata itu sudah terlambat. Cinta itu, meskipun ada, tak akan pernah sama lagi. Rahasia yang selama ini disembunyikan telah merusak semuanya. Dendam yang terpendam semakin kuat, dan Alya merasa tidak ada jalan kembali.

“Rizky, aku butuh waktu untuk memikirkan ini semua. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang,” jawab Alya pelan, lalu menutup teleponnya.

Ia duduk kembali di meja, matanya kosong, pikirannya kacau. Dunia di sekelilingnya terasa sangat asing. Ia harus memilih—apakah ia akan mengubur dendamnya, ataukah ia akan terus merasakan sakit yang tak berkesudahan ini? Semua jawaban tampaknya begitu jauh, seolah tak ada pilihan yang bisa menyembuhkan luka di hatinya.

Bab 5 Cinta yang Terluka

Alya berdiri di tepi balkon apartemennya, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Angin malam yang dingin menusuk kulitnya, tetapi dinginnya tak sebanding dengan kehampaan yang kini menguasai hatinya. Pikirannya masih berputar pada kenyataan yang baru saja menghancurkan seluruh dunianya. Rizky, pria yang selama ini dicintainya, ternyata adalah orang yang tak pernah ia bayangkan akan membawa luka paling dalam dalam hidupnya.

Alya menggenggam erat ponselnya. Sejak kebenaran itu terungkap, Rizky telah menghubunginya berkali-kali, mengirim pesan panjang yang menjelaskan semuanya. Namun, tak satu pun yang ia baca. Baginya, tidak ada kata maaf yang cukup untuk menghapus luka yang telah ia derita. Bagaimana mungkin seseorang yang membuatnya merasakan cinta sedalam ini juga menjadi sumber penderitaannya yang paling menyakitkan?

Tangannya gemetar saat mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya. Dulu, ia mengira Rizky adalah jawaban dari segala doanya. Lelaki itu datang ke dalam hidupnya seperti cahaya di tengah gelap, memberinya harapan bahwa cinta bisa menyembuhkan luka. Namun, kenyataan membuktikan sebaliknya—Rizky justru adalah sosok yang selama ini tanpa sadar menjadi bagian dari tragedinya.

Di sisi lain kota, Rizky duduk di dalam mobilnya yang terparkir di depan apartemen Alya. Sudah berjam-jam ia menunggu, berharap Alya akan membuka pesan darinya atau setidaknya memberinya kesempatan untuk berbicara. Namun, harapannya perlahan terkikis oleh kenyataan yang pahit: Alya mungkin sudah membencinya sepenuh hati.

“Alya, kumohon…” gumam Rizky, menekan panggilan terakhir di ponselnya. Nada sambung berbunyi lama, hingga akhirnya berakhir dengan pesan suara. Ia menghela napas, lalu berbicara dengan suara penuh keputusasaan.

“Alya, aku tahu aku salah. Aku tahu aku sudah menyakitimu lebih dari yang bisa kau bayangkan. Tapi, tolong… dengarkan aku. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku mencintaimu.”

Suara Rizky bergetar, matanya mulai memanas. Ia bukan orang yang mudah menangis, tetapi kali ini, ia tidak bisa menahan perasaannya. Semua yang ia bangun bersama Alya, semua kenangan manis mereka, kini terasa seperti mimpi yang tak akan pernah bisa ia genggam lagi.

Alya masih berdiri di balkon ketika ponselnya bergetar. Nama Rizky muncul di layar. Ia menatapnya lama, hatinya berkecamuk. Setiap detik yang berlalu terasa seperti pertarungan batin yang melelahkan. Ia ingin mendengar suaranya, ingin memahami mengapa semua ini harus terjadi. Namun, di sisi lain, ia juga takut. Takut bahwa jika ia mendengar suara Rizky, pertahanannya akan runtuh dan ia akan kembali mempercayai pria itu.

Dengan tangan gemetar, Alya akhirnya menekan tombol pesan suara. Suara Rizky terdengar lirih, penuh dengan kesedihan dan rasa bersalah. Setiap kata yang diucapkannya menancap dalam di hati Alya, seperti belati yang menyayat perlahan. Ia menutup matanya, membiarkan air mata yang sudah ia tahan mengalir deras.

“Kenapa harus kamu, Rizky?” bisiknya dengan suara serak. “Kenapa harus kamu yang membuatku jatuh, hanya untuk menghancurkanku?”

Hari-hari berikutnya terasa seperti siksaan bagi keduanya. Alya mencoba menghindari semua hal yang berhubungan dengan Rizky, sementara Rizky terus mencari cara untuk memperbaiki segalanya. Namun, tak peduli seberapa keras ia berusaha, Alya tetap menutup hatinya.

Di tempat kerjanya, Alya menjadi lebih pendiam. Rekan-rekannya mulai menyadari perubahan pada dirinya. Senyum cerahnya yang dulu selalu ada, kini lenyap tanpa jejak. Ia masih bekerja dengan profesional, tetapi jiwanya terasa kosong.

Sementara itu, Rizky juga tak kalah hancur. Ia tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya, tidak bisa tidur dengan tenang. Wajah Alya selalu muncul di pikirannya, mengingatkannya pada semua kebahagiaan yang kini terasa begitu jauh. Ia sadar, mungkin Alya tidak akan pernah bisa memaafkannya. Namun, yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia mungkin harus hidup tanpa Alya selamanya.

Suatu malam, Alya memutuskan untuk pergi ke tempat favoritnya—sebuah kafe kecil di sudut kota yang sering ia kunjungi bersama Rizky. Ia duduk di meja yang biasa mereka tempati, memesan kopi kesukaannya, dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kenangan.

Saat ia hendak menyesap kopinya, ia mendengar suara yang sangat familiar. “Alya…”

Jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh, dan di sana, berdiri Rizky dengan wajah yang terlihat lelah dan penuh harap. Mata mereka bertemu, dan seketika, semua perasaan yang selama ini ia tekan muncul ke permukaan.

“Kita perlu bicara,” kata Rizky lirih.

Alya menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Apa lagi yang tersisa untuk dibicarakan, Rizky?”

Rizky menelan ludah. “Semuanya. Tentang kita. Tentang kesalahan yang telah aku buat. Tentang… apakah masih ada kesempatan bagi kita.”

Alya menggenggam cangkirnya erat, mencoba menahan emosinya. Ia ingin berteriak, ingin meluapkan segala kemarahannya. Tetapi di saat yang sama, ada bagian dalam dirinya yang ingin mendengar penjelasan Rizky.

“Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Rizky,” katanya akhirnya. “Tapi aku ingin tahu… kenapa?”

Malam itu, mereka duduk berhadapan, menghadapi luka yang belum sembuh, mencoba mencari jawaban yang mungkin tidak pernah ada. Cinta mereka masih ada, tetapi apakah cinta cukup untuk menyembuhkan luka yang sudah terlalu dalam? Atau apakah ini hanya akan menjadi awal dari perpisahan yang lebih menyakitkan

Bab 6 Balas Dendam

Alya duduk di tepi jendela kamarnya, menatap hujan yang jatuh membasahi kota. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Hatinya masih dipenuhi kemarahan, sakit hati, dan dendam yang membara. Rizky, pria yang telah membuatnya jatuh cinta, ternyata adalah orang yang terlibat dalam kehancuran keluarganya.

“Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja,” gumamnya lirih, bibirnya menyeringai pahit.

Sejak mengetahui kebenaran, Alya mulai menyusun rencana. Ia tidak akan gegabah, ia ingin Rizky merasakan penderitaan yang sama seperti yang ia rasakan. Namun, ia sadar bahwa balas dendam terbaik bukanlah dengan kekerasan atau kemarahan semata, tetapi dengan cara yang lebih halus—melukai hatinya, membuatnya kehilangan segalanya.

Langkah Pertama: Meraih Kepercayaan Lagi

Alya tahu bahwa untuk bisa membalas dendam, ia harus kembali dekat dengan Rizky. Maka, ia menghubungi pria itu lebih dulu.

“Aku ingin bicara, Rizky. Bisakah kita bertemu?”

Rizky membalas dengan cepat. “Alya… aku tidak menyangka kamu akan menghubungiku lagi. Tentu, kapan pun kamu mau.”

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di sudut kota. Rizky tampak berbeda dari sebelumnya—wajahnya lelah, matanya memancarkan rasa bersalah yang mendalam. Alya pura-pura terlihat ragu, seolah-olah ia sedang berjuang untuk memaafkan.

“Aku ingin mencoba… tapi aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi,” ucapnya dengan nada penuh kepedihan.

Rizky menggenggam tangannya erat. “Aku akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahanku. Aku benar-benar mencintaimu, Alya.”

Alya menundukkan wajahnya, menyembunyikan senyuman tipisnya. Rencana berjalan dengan baik

Langkah Kedua: Menghancurkan Karier Rizky

Rizky adalah seorang pengusaha muda yang sedang naik daun. Bisnis yang ia jalankan berkembang pesat, dan citranya di dunia bisnis sangat baik. Alya tahu bahwa titik kelemahannya adalah reputasi dan kesuksesannya.

Maka, Alya mulai menyusup ke dalam lingkaran bisnis Rizky. Ia berpura-pura mendukungnya, menjadi sosok kekasih yang penuh pengertian. Diam-diam, ia mengumpulkan informasi tentang bisnisnya. Melalui koneksi lama ayahnya, ia menemukan beberapa celah dalam bisnis Rizky—kesalahan kecil dalam laporan keuangan dan beberapa kesepakatan yang bisa disalahgunakan.

Suatu malam, Alya menyebarkan informasi itu secara anonim ke media dan investor utama Rizky. Hanya dalam beberapa hari, berita tentang dugaan penyalahgunaan keuangan Rizky menyebar luas. Investor mulai menarik diri, dan bisnisnya mengalami goncangan besar.

Ketika Rizky meneleponnya dalam keadaan panik, Alya hanya berkata dengan suara lembut, “Aku di sini untukmu, Rizky. Kita akan melewati ini bersama.”

#### **Langkah Ketiga: Menghancurkan Hatinya**

Saat Rizky berada dalam kondisi paling lemah, Alya mulai melancarkan pukulan terakhir. Ia membuat Rizky semakin tergantung padanya, memberikan harapan bahwa mereka bisa membangun masa depan bersama. Rizky percaya, bahkan semakin mencintai Alya.

Suatu malam, mereka pergi ke vila di luar kota, tempat di mana Rizky berencana melamar Alya. Ia menatap gadis itu dengan penuh cinta dan harapan.

“Alya, aku tahu aku pernah menyakitimu, tapi aku ingin menebus semua kesalahanku. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Maukah kau menikah denganku?”

Alya menatap cincin berlian di hadapannya. Jantungnya berdebar, bukan karena bahagia, tetapi karena akhirnya ia mencapai tahap terakhir dari rencananya.

Ia menatap Rizky dengan mata berkaca-kaca, lalu tertawa kecil. “Kau benar-benar berpikir aku akan menikah denganmu? Setelah semua yang kau lakukan pada keluargaku?”

Rizky terdiam, wajahnya berubah pucat. “Alya… apa maksudmu?”

Alya mendekatinya, berbisik di telinganya dengan penuh kebencian. “Ini semua hanya permainan, Rizky. Aku ingin melihatmu hancur seperti bagaimana kau menghancurkan keluargaku.”

Rizky mundur selangkah, matanya penuh ketidakpercayaan. “Tidak… kau tidak serius…”

“Aku sangat serius,” kata Alya dingin. “Bisnismu telah runtuh, reputasimu hancur, dan sekarang hatimu… aku pastikan kau tidak akan pernah bisa melupakan rasa sakit ini.”

Air mata menggenang di mata Rizky. Ia tidak pernah menyangka Alya yang lembut dan penuh kasih bisa berubah menjadi seseorang yang begitu dingin dan kejam.

“Tapi… aku mencintaimu, Alya…”

Alya menatapnya, kali ini dengan ekspresi penuh luka. “Dan aku juga mencintaimu, dulu. Tapi cinta tidak cukup untuk menghapus rasa sakit dan pengkhianatan. Selamat tinggal, Rizky.”

Tanpa menunggu jawaban, Alya berbalik dan meninggalkan Rizky sendirian dalam kehancurannya.

Di luar vila, hujan turun deras. Alya menengadah, membiarkan rintik-rintik hujan menyapu wajahnya. Hatinya terasa kosong. Ia telah membalaskan dendamnya, tetapi mengapa ia tidak merasa puas? Mengapa hatinya justru terasa semakin hancur?

Sambil melangkah pergi, Alya menyadari satu hal yang terlambat ia sadari—dendam memang bisa memberikan kepuasan sesaat, tetapi ia juga bisa menjadi belenggu yang tak terlepas selamanya.

Bab 7 Cinta dan Dendam yang Saling Berkait

Alya menatap langit senja yang mulai meredup. Angin sore membelai wajahnya, tetapi hatinya tetap terasa panas oleh bara dendam yang belum sepenuhnya padam. Ia telah menjalankan rencananya, membuat Rizky merasakan sakit yang ia rasakan selama ini. Namun, semakin ia melihat penderitaan pria itu, semakin perasaannya bercampur aduk.

Di sisi lain, Rizky duduk di balkon apartemennya, menatap kosong ke arah kota yang mulai diselimuti kegelapan. Ia tahu bahwa apa yang terjadi adalah konsekuensi dari kesalahannya di masa lalu. Namun, melihat bagaimana Alya membalasnya dengan begitu dingin membuat dadanya terasa sesak. Cinta yang dulu terasa manis kini berubah menjadi racun yang perlahan-lahan menghancurkan mereka berdua

Alya berjalan dengan langkah mantap menuju sebuah kafe tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama. Ia tahu Rizky akan ada di sana, seperti kebiasaannya ketika pikirannya sedang kalut. Saat tiba di sana, matanya langsung menangkap sosok pria itu yang duduk di sudut ruangan dengan tatapan kosong pada cangkir kopi yang sudah dingin.

“Tak kusangka kau masih sering datang ke sini,” ujar Alya dengan nada yang terdengar tenang, namun penuh dengan ketegangan yang terselubung.

Rizky mengangkat wajahnya dan menatap Alya dengan mata yang penuh kesedihan. “Aku berharap kau datang, meskipun aku tahu itu hanya angan-angan.”

Alya tersenyum sinis. “Harapanmu terkabul. Tapi aku tidak datang untuk bernostalgia.” Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Rizky. “Aku ingin tahu, apakah kau menyesali semuanya?”

Rizky menghela napas panjang. “Setiap detik. Aku menyesal telah menyakitimu. Aku menyesal karena masa lalu yang tidak bisa kuubah. Tapi lebih dari segalanya, aku menyesal karena kehilanganmu.”

Alya terdiam. Kata-kata Rizky mengguncang hatinya, tetapi ia menolak untuk menunjukkannya. “Menyesal saja tidak cukup, Rizky. Kau menghancurkan hidupku. Dan aku ingin kau merasakan hal yang sama.”

“Aku sudah merasakannya, Alya.” Suaranya serak. “Aku kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidupku. Aku kehilanganmu. Dan itu adalah hukuman yang lebih berat dari apa pun yang bisa kau lakukan padaku.”

Alya terdiam. Kata-kata itu menggema dalam pikirannya. Apakah benar Rizky telah cukup menderita? Apakah balas dendamnya benar-benar memberinya kepuasan? Ia berpikir bahwa dengan membuat Rizky menderita, ia akan merasa puas. Namun, kenyataannya, justru hatinya semakin kacau.

Malam itu, Alya kembali ke apartemennya dengan perasaan yang tidak menentu. Ia berdiri di depan jendela besar, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Matanya memanas, dan tanpa sadar, air mata mengalir di pipinya.

“Kenapa aku masih menangis untuknya?” gumamnya.

Alya telah menjalankan rencana balas dendamnya dengan sempurna. Rizky kehilangan pekerjaannya karena laporan yang ia buat, reputasinya hancur, dan bahkan orang-orang terdekatnya mulai menjauhinya. Tapi, apakah semua itu cukup untuk membayar rasa sakit yang Rizky berikan kepadanya? Apakah benar kebahagiaan bisa didapatkan dengan membuat orang lain menderita?

Di saat yang sama, Rizky duduk di kamarnya yang gelap. Tangannya gemetar saat ia meraih ponselnya dan mengetik pesan untuk Alya.

> *Alya, aku tahu aku pantas mendapatkan semua ini. Tapi aku ingin kau tahu satu hal. Aku mencintaimu, bahkan saat kau membenciku. Jika aku bisa mengubah masa lalu, aku akan melakukannya. Tapi aku tidak bisa. Dan aku tahu kau pun tidak bisa terus hidup dalam dendam. Tolong, jangan hancurkan dirimu sendiri karena ingin menghancurkanku.*

Alya membaca pesan itu berulang kali. Jantungnya berdebar kencang. Ia ingin mengabaikannya, tetapi sesuatu dalam dirinya menolak untuk melakukannya. Ia menutup matanya, mencoba mengusir perasaan yang kembali mengganggunya.

Keesokan harinya, Alya duduk di bangku taman, mencoba menenangkan pikirannya. Di sudut lain taman, Rizky berdiri, memperhatikannya dari kejauhan. Ia ragu untuk mendekat, takut bahwa kehadirannya hanya akan menambah luka di hati Alya.

Namun, tanpa disangka, Alya menoleh dan mata mereka bertemu. Tidak ada kebencian di mata Alya kali ini. Yang tersisa hanyalah kelelahan dan kesedihan yang mendalam.

Rizky melangkah mendekat dengan hati-hati. “Alya…”

Alya menghela napas panjang. “Aku lelah, Rizky. Lelah membencimu, lelah mencoba menyakitimu. Aku tidak tahu lagi apa yang aku cari.”

Rizky duduk di sampingnya, menjaga jarak. “Aku tidak meminta untuk dimaafkan. Aku hanya ingin kau tidak menyakiti dirimu sendiri dengan semua kebencian ini. Aku ingin kau bahagia, meskipun itu berarti tanpaku.”

Alya menunduk. “Aku pikir balas dendam akan membuatku merasa lebih baik. Tapi aku salah. Aku hanya semakin terjebak dalam rasa sakit.”

Rizky mengangguk. “Terkadang, melepaskan adalah satu-satunya cara untuk menemukan kedamaian.”

Alya menatap langit yang mulai cerah. Dalam hatinya, ia tahu bahwa meskipun cinta dan dendam telah membuat hidupnya berantakan, ia masih memiliki kesempatan untuk memulai kembali. Dan mungkin, cara terbaik untuk menyembuhkan luka itu bukanlah dengan membalas dendam, melainkan dengan belajar untuk melepaskan.

Bab ini menggambarkan puncak dilema batin yang dialami oleh Alya dan Rizky. Setelah melalui perjalanan panjang yang penuh dengan cinta dan kebencian, mereka akhirnya menyadari bahwa dendam hanya akan membawa lebih banyak luka. Kini, keputusan ada di tangan Alya—apakah ia akan tetap terperangkap dalam masa lalu atau melangkah menuju masa depan yang baru?

Akhir dari perjalanan mereka semakin dekat, dan jawaban atas pertanyaan terbesar mereka akan segera terungkap di bab berikutnya.

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #PerjuanganMimpi #InspirasiHidup #GotongRoyong #KisahDesa #PerubahanPositif
Previous Post

luka yang indah

Next Post

DEMI KAMU AKU BERTAHAN

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
DEMI KAMU AKU BERTAHAN

DEMI KAMU AKU BERTAHAN

milik yang terlarang

milik yang terlarang

SETIAP DETIK UNTUK KAMU

SETIAP DETIK UNTUK KAMU

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id