Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Mengubah Hidup
Di pagi yang cerah, embusan angin sejuk menyapu lembut jalanan Kota Yogyakarta. Matahari baru saja beranjak dari peraduannya, menyisakan semburat jingga yang memantul di atap-atap bangunan tua. Di tengah hiruk pikuk jalanan Malioboro yang mulai dipadati wisatawan, seorang perempuan muda bernama Alana berjalan dengan langkah tergesa-gesa.
Alana mengenakan dress sederhana berwarna biru langit yang bergerak seiring dengan langkahnya. Rambut hitam panjangnya terurai, menari-nari ditiup angin pagi. Di tangannya tergenggam sebuah buku tua dengan sampul yang mulai pudar. Buku itu adalah warisan dari mendiang ibunya, dan menjadi salah satu benda paling berharga dalam hidupnya.
Hari itu adalah hari yang istimewa bagi Alana. Ia telah lama menunggu kesempatan untuk menghadiri acara diskusi sastra di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota. Kafe itu terkenal sebagai tempat berkumpulnya para pecinta seni dan sastra. Dengan hati yang penuh semangat, ia mempercepat langkahnya.
Namun, nasib berkata lain. Di tengah perjalanannya, seorang pria yang juga tampak tergesa-gesa tiba-tiba menabraknya. Buku tua di tangan Alana terjatuh dan beberapa halamannya terlepas.
“Aduh, maaf! Saya nggak sengaja,” ucap pria itu dengan nada panik.
Alana berjongkok untuk mengambil halaman-halaman yang berserakan di trotoar. Pria itu dengan sigap ikut membantunya.
“Ini halaman terakhirnya,” ujar pria tersebut sambil menyerahkan sebuah lembaran yang hampir tertiup angin.
Alana mendongak dan untuk pertama kalinya menatap wajah pria itu. Matanya yang tajam bertemu dengan tatapan mata cokelat yang hangat. Wajah pria itu terlihat bersih dengan rambut yang sedikit acak-acakan. Ada sesuatu yang membuat jantung Alana berdetak lebih cepat.
“Makasih,” ujar Alana sambil mencoba menenangkan dirinya.
“Sama-sama. Maaf banget tadi saya nggak lihat jalan. Saya bener-bener buru-buru,” katanya dengan nada menyesal.
“Nggak apa-apa. Saya juga buru-buru, jadi kita impas,” Alana tersenyum kecil.
Pria itu ikut tersenyum. Ada sesuatu dalam senyumannya yang terasa menenangkan.
“Nama saya Arga, by the way,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
“Alana,” jawab Alana sambil menyambut uluran tangannya.
“Alana? Nama yang cantik,” puji Arga dengan nada tulus.
Alana merasa wajahnya memanas. Ia segera mengalihkan pandangannya.
“Kamu suka baca buku?” tanya Arga, melihat buku tua yang masih berada di tangan Alana.
“Iya, buku ini sebenarnya warisan dari ibu saya. Isinya kumpulan puisi klasik yang langka,” jawab Alana dengan nada bangga.
“Wah, keren. Saya juga suka baca, meskipun lebih sering novel modern sih,” kata Arga sambil tertawa kecil.
Percakapan mereka terhenti sejenak ketika suara klakson mobil terdengar nyaring. Alana tersadar bahwa ia masih memiliki acara yang harus dihadiri.
“Saya harus pergi sekarang. Acara diskusi sastra hampir dimulai,” ujarnya.
“Diskusi sastra? Di mana?” tanya Arga dengan antusias.
“Di Kafe Layar Kata, tahu kan?”
“Tahu dong. Saya juga sering nongkrong di sana. Boleh ikut?” tanya Arga penuh semangat.
Alana terkejut dengan permintaannya, tetapi entah kenapa ia merasa tidak keberatan.
“Ya, kalau mau ikut sih ayo saja,” jawab Alana sambil tersenyum.
Mereka pun berjalan bersama menuju Kafe Layar Kata. Sepanjang perjalanan, percakapan mereka terus mengalir tanpa henti. Alana merasa ada sesuatu yang berbeda dari Arga. Pria itu mampu membuatnya merasa nyaman dalam waktu singkat.
Sesampainya di kafe, suasana sudah dipenuhi oleh para pengunjung yang antusias. Aroma kopi yang harum menyambut mereka. Di sudut ruangan, sebuah panggung kecil dengan latar kain putih telah dipersiapkan untuk acara diskusi.
Alana dan Arga duduk di barisan tengah. Pembicara yang hadir adalah seorang penulis terkenal yang karya-karyanya telah menginspirasi banyak orang. Diskusi dimulai dengan pembicaraan tentang makna cinta dalam sastra.
Di tengah diskusi, Alana mencuri pandang ke arah Arga. Pria itu terlihat serius mendengarkan, sesekali mengangguk dan tersenyum. Ada sesuatu yang membuat Alana merasa bahwa pertemuan mereka bukan sekadar kebetulan.
Setelah acara selesai, Arga mengajak Alana untuk berbincang lebih lanjut di salah satu sudut kafe.
“Tadi seru banget ya diskusinya,” ujar Arga dengan antusias.
“Iya, banyak perspektif baru yang aku dapat,” jawab Alana.
“Ngomong-ngomong, aku nggak nyangka bisa ketemu kamu hari ini. Sepertinya semesta sedang baik hati,” kata Arga sambil tersenyum.
Alana tertawa kecil. “Mungkin memang sudah jalannya.”
Hari itu menjadi awal dari sebuah kisah yang tidak pernah Alana duga sebelumnya. Pertemuan yang tampak sederhana ternyata mampu mengubah hidupnya. Ada sesuatu tentang Arga yang membuatnya ingin mengenal pria itu lebih dalam.
Seiring berjalannya waktu, Alana menyadari bahwa pertemuan mereka di jalanan Malioboro bukan sekadar kebetulan. Ada takdir yang menyatukan mereka, dan hari itu menjadi bab pertama dari kisah cinta yang penuh lika-liku.Alana mengenakan dress biru muda yang membelai lututnya. Rambut hitam panjangnya terurai, sesekali tersapu angin pagi. Wajahnya tampak cerah meskipun ada guratan kekhawatiran di matanya. Di tangannya, tergenggam erat sebuah buku tua bersampul cokelat pudar, sebuah warisan berharga dari mendiang ibunya. Buku itu selalu menjadi penghibur setianya.
Hari ini adalah kesempatan emas yang telah lama dinantinya. Diskusi sastra yang diadakan di Kafe Layar Kata akan menghadirkan seorang penulis terkenal, sosok yang karya-karyanya telah menginspirasinya sejak remaja. Dengan semangat yang membara, ia bergegas agar tidak terlambat.
Namun, takdir memiliki rencana lain.
Saat Alana berbelok di trotoar yang ramai, seorang pria yang juga tampak terburu-buru tidak sengaja menabraknya. Tabrakan itu membuat buku tua di tangan Alana terjatuh, dan beberapa lembarannya beterbangan tertiup angin.
“Aduh, maaf!” seru pria itu dengan nada panik. Ia segera berjongkok untuk membantu Alana mengumpulkan halaman-halaman yang berserakan.
Alana ikut berjongkok, wajahnya memerah antara kesal dan cemas. Buku itu terlalu berharga baginya.
“Ini halaman terakhirnya,” ujar pria tersebut sambil menyerahkan lembaran yang hampir terbawa angin.
Alana mendongak dan untuk pertama kalinya menatap wajah pria itu. Mata mereka bertemu dalam pandangan yang seolah membekukan waktu. Mata cokelat pria itu memancarkan kehangatan yang anehnya mampu meredakan kekesalan Alana.
“Makasih,” ucap Alana dengan nada datar, mencoba menyembunyikan emosinya.
“Maaf banget. Saya benar-benar nggak lihat jalan tadi,” pria itu berkata dengan wajah penuh penyesalan.
Alana menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, saya juga terburu-buru,” katanya sambil mengumpulkan sisa halaman yang terserak.
Pria itu tersenyum tipis. “Nama saya Arga,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Alana sedikit ragu sebelum akhirnya menyambut uluran tangan tersebut. “Alana,” jawabnya.
“Alana? Nama yang cantik,” puji Arga tanpa ragu.
Wajah Alana memanas. Ia segera mengalihkan pandangan, mencoba fokus pada bukunya yang sudah berhasil terkumpul kembali.
“Kamu suka baca buku?” tanya Arga, mencoba mencairkan suasana.
“Iya, buku ini sebenarnya warisan dari ibu saya. Isinya kumpulan puisi klasik yang langka,” jawab Alana dengan nada bangga.
“Wah, keren! Saya juga suka baca, meskipun lebih sering novel modern sih,” kata Arga sambil tertawa kecil.
Percakapan mereka terhenti ketika suara klakson mobil terdengar nyaring di kejauhan. Alana tersadar bahwa ia masih memiliki acara penting yang harus dihadiri.
“Saya harus pergi sekarang. Diskusi sastra hampir dimulai,” ujarnya sambil berdiri.
“Diskusi sastra? Di mana?” tanya Arga dengan antusias.
“Di Kafe Layar Kata. Kamu tahu tempatnya?”
“Tahu dong. Saya sering nongkrong di sana. Boleh ikut?” tanyanya penuh semangat.
Alana terkejut dengan permintaannya. Tapi entah kenapa, ia tidak merasa keberatan.
“Kalau mau ikut sih ayo saja,” jawab Alana sambil tersenyum kecil.
Sepanjang perjalanan menuju kafe, percakapan mereka terus mengalir tanpa hambatan. Alana merasa nyaman berbicara dengan Arga. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa akrab, seolah mereka telah lama saling mengenal.
Sesampainya di Kafe Layar Kata, suasana sudah ramai. Aroma kopi yang harum memenuhi ruangan, menyambut para pengunjung yang antusias. Kafe itu memiliki interior yang hangat dengan dinding bata ekspos dan rak buku yang penuh dengan berbagai karya sastra.
Alana dan Arga memilih duduk di barisan tengah. Di depan mereka, sebuah panggung kecil telah disiapkan untuk diskusi. Lampu-lampu gantung menciptakan suasana yang intim dan nyaman.
Pembicara yang hadir adalah seorang penulis ternama yang karyanya telah memikat banyak pembaca. Diskusi dimulai dengan pembahasan mendalam tentang makna cinta dalam sastra. Suasana kafe yang semula riuh berubah hening, hanya tersisa suara penulis yang berbicara dengan penuh semangat.
Di tengah diskusi, Alana mencuri pandang ke arah Arga. Pria itu terlihat serius mendengarkan, sesekali mengangguk dan tersenyum kecil. Ada sesuatu yang membuat hati Alana bergetar. Ia merasa bahwa pertemuan mereka bukan sekadar kebetulan.
Setelah acara selesai, Arga mengajak Alana untuk duduk di sudut kafe yang lebih sepi.
“Tadi seru banget ya diskusinya,” ujar Arga dengan antusias.
“Iya, banyak perspektif baru yang aku dapat,” jawab Alana.
Arga menatap Alana dengan tatapan yang dalam. “Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu hari ini. Sepertinya semesta sedang baik hati,” katanya sambil tersenyum.
Alana tertawa kecil. “Mungkin memang sudah jalannya,” balasnya.
Hari itu menjadi awal dari sebuah kisah yang tidak pernah Alana duga sebelumnya. Pertemuan yang tampak sederhana ternyata mampu mengubah hidupnya. Ada sesuatu tentang Arga yang membuatnya ingin mengenal pria itu lebih dalam.
Di sepanjang perjalanan pulang, pikiran Alana terus dipenuhi oleh sosok Arga. Ia menyadari bahwa pertemuan mereka di jalan ihan Malioboro mungkin bukan sekadar kebetulan, melainkan takdir yang telah mempertemukan mereka.
Dan hari itu, tanpa mereka sadari, menjadi bab pertama dari sebuah kisah cinta yang akan penuh dengan cerita dan kenangan yang tak terlupakan.*
Bab 2: Cinta yang Bersemi
Kisah indah tentang kebersamaan mereka.
Momen-momen romantis dan janji yang diucapkan.
Keputusan mereka untuk serius menjalani hubungan.
Setiap hubungan yang tumbuh, pasti diawali dengan momen-momen yang terasa indah, yang mungkin tidak terduga dan kadang datang begitu tiba-tiba. Seperti halnya hubungan antara Arjuna dan Ayu, yang dimulai dari sekadar pertemuan tak sengaja di sebuah kafe kecil di Jakarta. Meskipun awalnya terasa canggung, tidak lama kemudian, mereka merasa seolah-olah sudah mengenal satu sama lain lebih lama. Dari situlah, benih-benih cinta mulai tumbuh di antara mereka, meski jarak dan waktu menjadi halangan yang tak bisa dipungkiri.
Malam itu, langit Jakarta cerah, dengan sedikit bintang menghiasi cakrawala. Arjuna yang biasa sibuk dengan pekerjaannya di dunia digital marketing, merasa jenuh dengan rutinitasnya. Maka, dia memutuskan untuk pergi ke kafe favoritnya yang terletak di sudut kota, tempat dia sering menghabiskan waktu untuk berpikir dan merenung. Di kafe itu, di bawah cahaya lampu temaram, dia bertemu dengan Ayu.
Ayu, seorang penulis lepas yang sedang mencari inspirasi, duduk sendirian di meja yang berseberangan dengan meja Arjuna. Kejadian kecil yang tak terduga, seperti secangkir kopi yang hampir tumpah akibat Ayu yang ceroboh, menjadi awal perkenalan mereka. Arjuna, yang saat itu tengah asyik membaca sebuah buku, terkejut ketika melihat Ayu berusaha menenangkan dirinya setelah tumpahan kopi itu. Dengan penuh perhatian, Arjuna memberikan tisu dan membantu Ayu membersihkan meja.
“Terima kasih, kamu baik sekali,” ucap Ayu dengan senyum malu-malu.
Arjuna hanya tertawa, “Tidak masalah, kok. Lagipula, kalau kita tidak saling bantu, siapa lagi?”
Percakapan kecil itu berlanjut, dan mereka mulai berbicara tentang buku yang sedang dibaca Arjuna. Ayu ternyata juga seorang penggemar buku dan mereka mulai membahas berbagai genre sastra. Obrolan yang awalnya terasa ringan dan tidak terlalu berarti, perlahan berubah menjadi pembicaraan yang lebih dalam. Mereka berbicara tentang impian, cinta, dan juga tentang kerinduan yang tak terucapkan dalam hidup mereka.
Malam itu, mereka akhirnya saling bertukar nomor telepon dan berjanji untuk bertemu lagi di kesempatan berikutnya. “Kapan-kapan kita bisa ngopi bareng lagi, ya?” Ayu berkata dengan senyuman yang menawan.
Setelah pertemuan pertama itu, Arjuna dan Ayu mulai sering berkomunikasi. Entah itu lewat pesan teks, telepon, atau bahkan video call yang menjadi kebiasaan mereka setiap malam. Meskipun mereka baru mengenal satu sama lain, percakapan mereka selalu mengalir dengan mudah. Mereka menemukan kenyamanan dalam kehadiran masing-masing, seolah-olah sudah lama saling mengenal.
Dalam setiap percakapan, mereka mulai berbagi lebih banyak tentang hidup mereka. Ayu menceritakan tentang keluarganya yang selalu mendukung karier menulisnya, sementara Arjuna bercerita tentang perjuangannya untuk meraih sukses di dunia digital marketing. Mereka mulai saling menghargai dan memberi semangat satu sama lain, meskipun jarak yang memisahkan mereka terasa begitu jauh.
Namun, seiring berjalannya waktu, mereka merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka. Arjuna mulai merasakan ada perasaan yang lebih dari sekadar ketertarikan fisik. Begitu juga dengan Ayu, yang merasakan kehangatan yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Ada getaran yang berbeda dalam setiap pesan yang mereka kirimkan, ada rasa ingin terus berhubungan lebih dari sekadar teman.
Suatu hari, saat mereka sedang video call, Arjuna tiba-tiba berkata, “Ayu, kamu tahu nggak? Setiap kali kita bicara, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Rasanya seperti aku nggak bisa berhenti berpikir tentang kamu.”
Ayu yang mendengar itu merasa jantungnya berdegup kencang. “Aku juga merasakannya, Arjuna. Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya aku mulai merasa lebih dari sekadar nyaman dengan kamu.”
Percakapan malam itu menjadi titik balik dalam hubungan mereka. Meskipun mereka belum mengatakannya secara langsung, keduanya sudah tahu bahwa ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara mereka, sesuatu yang lebih dalam dan lebih serius dari sekadar pertemanan.
Malam-malam berikutnya, Arjuna dan Ayu semakin dekat. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang impian-impian yang ingin mereka capai bersama. Meski tidak pernah secara langsung membicarakan status hubungan mereka, keduanya merasa bahwa ada ikatan yang kuat yang terbentuk.
Pada suatu malam yang tenang, ketika hujan turun dengan deras di luar, mereka sedang berbicara tentang keluarga dan kehidupan masing-masing. Tiba-tiba, Ayu memulai percakapan yang agak serius.
“Arjuna,” kata Ayu dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, “aku ingin kamu tahu satu hal. Meskipun kita masih terpisah jarak, aku merasa kamu adalah orang yang tepat dalam hidupku. Aku ingin kita serius menjalani hubungan ini, kalau kamu juga merasa sama.”
Arjuna terdiam sejenak. Hujan di luar menambah kesan mendalam pada momen itu. Dia memandang layar ponselnya, memperhatikan wajah Ayu yang tampak penuh harap. Dalam hati, Arjuna merasa lega. Tidak ada keraguan sedikit pun dalam dirinya.
“Ayu, aku juga merasa hal yang sama. Aku ingin kita serius menjalani hubungan ini. Meskipun jarak memisahkan kita, aku yakin kita bisa menghadapinya,” jawab Arjuna, suaranya tegas namun lembut.
Malam itu, mereka berdua mengikat janji untuk saling menjaga dan berkomitmen menjalani hubungan mereka dengan penuh cinta dan kesabaran. Tidak ada lagi ketidakpastian, hanya ada keyakinan bahwa mereka bisa menghadapi segala halangan bersama.
“Aku janji akan selalu ada untuk kamu, Ayu. Meskipun jarak memisahkan kita, aku akan selalu berusaha untuk menjaga hubungan kita tetap kuat,” ujar Arjuna dengan tulus.
“Aku juga janji, Arjuna. Aku akan selalu berusaha untuk membuat hubungan ini bertahan, apapun yang terjadi,” jawab Ayu dengan penuh keyakinan.
Dengan janji itu, mereka berdua merasa lega dan lebih percaya diri. Mereka tahu, meskipun perjalanan mereka tidak akan mudah, mereka akan terus berjuang untuk menjaga cinta yang telah tumbuh di antara mereka.
Seiring berjalannya waktu, mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama, meskipun hanya lewat layar ponsel. Arjuna dan Ayu mulai merasa bahwa mereka siap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar. Mereka mulai merencanakan untuk bertemu secara langsung lebih sering, menghabiskan waktu bersama di tempat-tempat yang mereka impikan, dan bahkan mulai membicarakan kemungkinan masa depan mereka.
Suatu hari, Arjuna mengajukan ide besar. “Ayu, aku rasa sudah saatnya kita bertemu lebih sering. Aku ingin kita merencanakan liburan bersama, mungkin ke Bali atau ke tempat yang kita berdua impikan. Aku ingin lebih dekat denganmu.”
Ayu tersenyum mendengar itu. “Aku setuju, Arjuna. Aku juga ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersamamu. Dan siapa tahu, mungkin kita bisa memulai hidup bersama setelah itu.”
Mereka mulai merencanakan perjalanan bersama, sebuah langkah nyata untuk memperkuat hubungan mereka. Arjuna dan Ayu mulai menata masa depan mereka, tidak hanya sebagai pasangan, tetapi sebagai dua individu yang saling melengkapi. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan selalu mulus, tetapi mereka berkomitmen untuk terus berjuang bersama.
Janji mereka untuk saling menjaga dan mencintai semakin menguatkan tekad mereka untuk menjalani hubungan ini dengan serius. Meskipun jarak masih memisahkan mereka, mereka percaya bahwa cinta mereka lebih kuat dari apapun. Dengan komitmen dan keyakinan yang bulat, Arjuna dan Ayu siap untuk menghadapi masa depan bersama, penuh dengan harapan dan kebahagiaan.
Bab 3: Awal Perpisahan
Salah satu tokoh mendapatkan kesempatan besar (pekerjaan atau beasiswa di luar kota/negeri).Pergulatan emosi antara senang dan takut kehilangan.Keputusan untuk mencoba hubungan jarak jauh.Kehidupan seringkali penuh dengan kejutan yang tak terduga, dan kadang-kadang, perpisahan datang tanpa kita siap. Itulah yang dialami oleh Arjuna dan Ayu—dua jiwa yang pernah saling menyatu dalam cinta, kini terpisah oleh kenyataan yang lebih keras dari yang pernah mereka bayangkan. Semua dimulai dengan ketegangan yang tak terucapkan, perasaan yang terpendam, dan keputusan yang semakin jauh dari mereka. Perpisahan, yang tampaknya tak terelakkan, menjadi ujian bagi keduanya, dan meskipun cinta mereka kuat, kenyataan hidup membentangkan dinding yang sulit mereka lewati bersama.
skipun keduanya telah melalui banyak hal bersama, hubungan jarak jauh itu akhirnya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Arjuna dan Ayu sudah cukup lama menjalani hubungan ini, dan seiring berjalannya waktu, mereka menyadari bahwa meskipun cinta mereka masih ada, ada banyak hal yang telah berubah. Tidak ada lagi percakapan hangat setiap malam, tidak ada lagi tawa ringan yang menghiasi waktu-waktu mereka bersama. Ketika dulu mereka bisa berbicara berjam-jam tentang apa saja, sekarang, setiap percakapan terasa seperti sebuah rutinitas yang harus dijalani. Keinginan untuk berbagi cerita, untuk berbicara tentang hari yang berat, atau sekadar mendengar suara satu sama lain, perlahan mulai berkurang.
Arjuna merasa kesulitan dengan pekerjaan yang semakin menumpuk di Jakarta. Dunia digital marketing yang dulu dia cintai, kini mulai menuntut lebih banyak waktu dan perhatian. Setiap hari dia bangun dengan jadwal yang padat, ditambah dengan tekanan dari klien yang terus meminta hasil terbaik. Waktu yang dimilikinya semakin terbatas, dan ia mulai merasakan bahwa hubungan jarak jauh dengan Ayu menjadi semakin berat. Tidak ada lagi waktu untuk berbicara panjang lebar tentang mimpi atau impian masa depan mereka, karena Arjuna terlalu terjebak dalam dunia yang seolah tidak memberi ruang untuk hal lain.
Sementara itu, Ayu juga merasa kesulitan. Sebagai seorang penulis lepas, Ayu sering kali merasa terisolasi, meskipun ia tinggal di Yogyakarta yang lebih tenang. Ketika awalnya hubungan mereka menjadi pelarian dari kesendirian, kini ia merasa lebih sering merasa kesepian. Ayu mulai merasa bahwa mereka berdua lebih banyak berbicara tentang hal-hal praktis dan logistik daripada impian atau rencana-rencana masa depan yang dulu mereka bicarakan dengan semangat. Ia merasa kehilangan koneksi yang dulu begitu kuat. Ada banyak hal yang ingin dia ungkapkan, tetapi setiap kali dia mencoba, percakapan selalu terhenti pada kata-kata yang tidak cukup untuk menjelaskan perasaannya.
Hari-hari berlalu, dan rasa kosong itu semakin terasa. Mereka berdua merasa terperangkap dalam rutinitas masing-masing, dan meskipun mereka berdua tidak menginginkan perpisahan, mereka tahu bahwa ada sesuatu yang berubah dalam diri mereka, dalam hubungan mereka.
Suatu malam, setelah sekian lama mereka tidak melakukan percakapan panjang, Ayu memutuskan untuk menelepon Arjuna. Hujan turun dengan deras di luar, dan suara ketukan di jendela terasa lebih nyaring dari biasanya. Ayu merasa cemas, tapi juga rindu. Dia ingin mendengar suara Arjuna, ingin merasakan kembali kehangatan dari orang yang telah menemani hari-harinya.
“Arjuna, kamu ada waktu?” suara Ayu terdengar cemas di ujung telepon.
“Eh, iya. Ada, kok. Apa kabar, Ayu?” jawab Arjuna, meskipun nada suaranya terdengar lelah.
Mereka berbicara selama beberapa menit, membahas hal-hal ringan. Ayu mencoba menjaga percakapan tetap ringan, tetapi hatinya merasa sesak. Sesekali dia menatap layar ponselnya, melihat Arjuna yang hanya memberikan respons singkat, seolah-olah pikirannya sudah tidak berada di sana. Ayu menelan rasa kecewa yang perlahan tumbuh.
“Ayu, aku harus segera tidur. Besok pagi aku ada rapat penting,” kata Arjuna akhirnya, setelah beberapa menit hening di antara mereka.
“Ya, tentu. Aku ngerti kok. Kerja yang penting dulu,” jawab Ayu dengan suara serak, meskipun dia mencoba untuk tersenyum.
Keesokan harinya, Ayu merasa sangat kosong. Panggilan telepon mereka semalam mengganggu pikirannya. Ada perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya—sebuah perasaan takut akan perpisahan yang tak terucapkan. Arjuna tidak lagi menjadi orang yang dulu membuatnya merasa istimewa. Suasana yang seharusnya penuh dengan kehangatan kini terasa dingin, seolah-olah hubungan mereka hanya tinggal sebuah rutinitas yang dipaksakan.
Dia mencoba menghubungi Arjuna beberapa kali, tetapi hanya mendapatkan balasan yang sangat singkat. Arjuna terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan Ayu mulai merasa terabaikan. Setiap pesan yang dia kirimkan, setiap pertanyaan yang dia ajukan, seolah tidak mendapat perhatian yang layak. Ada saat-saat di mana Ayu merasa seperti orang asing dalam hidup Arjuna, meskipun dia sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya selama beberapa tahun terakhir.
Malam itu, setelah seharian berpikir, Ayu memutuskan untuk mengirim pesan panjang kepada Arjuna. Ia tidak bisa terus-terusan menahan perasaan ini. Setelah beberapa saat, Arjuna membalas pesan tersebut, tetapi responnya tetap tidak seperti yang Ayu harapkan.
Ayu:
“Arjuna, aku sudah mencoba untuk mengerti situasi kita. Aku tahu kamu sibuk dengan pekerjaanmu, aku juga. Tapi aku merasa kita semakin jauh, dan aku takut ini akan berakhir seperti ini. Aku tidak ingin hubungan kita hanya menjadi rutinitas atau beban bagi kita berdua. Aku ingin kita bisa berbicara tentang apa yang terjadi, tentang kita.”
Beberapa menit kemudian, Arjuna membalas.
Arjuna:
“Aku juga merasa ada yang berbeda, Ayu. Tapi jujur, aku merasa kesulitan. Pekerjaan dan banyak hal lainnya membuatku sulit untuk memberi perhatian yang kamu butuhkan. Aku tidak ingin kamu merasa terabaikan, tapi aku juga merasa terkadang aku terlalu fokus pada hal-hal lain.”
Ayu menatap layar ponselnya dengan hati yang berdebar. Setiap kata yang diketik Arjuna seperti pisau yang mengiris-iris perasaannya. Ia merasa seperti semuanya mulai runtuh begitu saja.
Ayu:
“Aku mengerti, Arjuna. Aku juga merasakannya. Tapi aku tidak bisa terus bertahan dalam hubungan yang hanya terasa kosong. Kita sudah mencoba untuk bertahan, tapi aku rasa ini bukan lagi tentang usaha, ini tentang keinginan untuk tetap bersama. Dan aku tidak bisa terus-terusan merasa seperti ini.”
Arjuna terdiam. Mungkin ini adalah kalimat yang paling berat yang pernah dibaca Ayu. Mereka berdua tahu bahwa keputusan ini tidak akan mudah. Ayu merasa sakit, tetapi pada saat yang sama, dia tahu bahwa jika mereka terus berjalan dengan cara ini, mereka akan semakin saling menyakiti.
Arjuna:
“Aku tidak ingin ini berakhir seperti ini, Ayu. Tapi aku juga tidak ingin kita merasa terjebak. Mungkin kita butuh waktu untuk berpikir tentang apa yang sebenarnya kita inginkan.”
Percakapan itu terasa seperti babak akhir dari sebuah hubungan yang penuh kenangan indah. Ayu meneteskan air mata, merasa hancur, tapi juga lega. Mungkin ini adalah keputusan yang benar, meskipun perpisahan adalah hal yang paling sulit untuk diterima.
Keesokan harinya, Arjuna mengirim pesan panjang kepada Ayu, mengatakan bahwa ia juga merasa perpisahan ini adalah pilihan yang terbaik, meskipun mereka berdua tidak menginginkannya. Mereka berdua tahu bahwa ini adalah keputusan yang datang karena kenyataan hidup yang tidak bisa mereka abaikan. Cinta mereka tidak hilang begitu saja, tetapi mereka menyadari bahwa hubungan ini tidak bisa terus dipaksakan.
Ayu duduk terdiam di kamarnya, menatap layar ponselnya, meresapi setiap kata yang ditulis Arjuna. Ada rasa sakit yang begitu dalam, tetapi juga sebuah rasa kedamaian yang datang setelah melepas sesuatu yang sudah tidak lagi bisa dipertahankan. Dia tahu bahwa meskipun cinta itu ada, kadang-kadang, kita harus melepaskan agar bisa melangkah ke depan, untuk mencari kebahagiaan yang lebih baik.
Arjuna dan Ayu akhirnya sepakat untuk berpisah. Meskipun mereka akan selalu mengingat kenangan indah yang mereka bagi bersama, mereka tahu bahwa ini adalah akhir dari sebuah babak dalam hidup mereka, dan mereka harus siap untuk membuka lembaran baru.
Tidak ada yang bisa memprediksi kapan sebuah hubungan mulai retak. Terkadang, keretakan itu datang dengan perlahan, dalam diam, dan baru terasa ketika sudah terlalu dalam. Begitulah yang dirasakan oleh Arjuna dan Ayu. Kisah cinta mereka yang semula dipenuhi harapan, impian, dan janji-janji manis kini mulai terasa semakin berat. Meskipun mereka berdua masih saling mencintai, ada sesuatu yang hilang. Keintiman yang dulu terjalin dengan begitu mudah kini terasa semakin jauh. Perpisahan, yang tampaknya tak terhindarkan, mulai menghampiri mereka, meskipun tidak ada yang ingin mengakui itu.
Semua bermula dari rutinitas yang semakin padat. Arjuna yang kini bekerja di Jakarta sebagai seorang digital marketer semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Setiap hari, ia disibukkan dengan rapat, presentasi, dan tenggat waktu yang tak kunjung selesai. Pekerjaan yang semula ia nikmati kini menjadi beban yang semakin berat. Arjuna merasa kehilangan arah. Dulu, waktu senggang yang dimilikinya bisa ia habiskan dengan Ayu, tetapi kini segala sesuatunya terasa berbeda. Ayu, yang dahulu selalu hadir sebagai tempatnya berbagi cerita dan melepas lelah, kini mulai terasa jauh. Ketika mereka menghubungi satu sama lain, percakapan mereka terasa kaku dan penuh keheningan.
Ayu, di sisi lain, merasakan perubahan yang sama. Sebagai seorang penulis lepas di Yogyakarta, ia memang memiliki banyak waktu untuk menulis, tetapi tanpa adanya teman berbagi, rutinitasnya terasa semakin sepi. Ayu menyadari bahwa semakin jarang Arjuna meluangkan waktu untuknya. Telepon yang dulu selalu mereka lakukan setiap malam kini hanya berlangsung sebentar dan cenderung terhenti dengan alasan kesibukan masing-masing. Meskipun Ayu berusaha mengerti, ada perasaan terluka yang semakin tumbuh dalam hatinya.
Mereka mulai menghindari pembicaraan tentang masa depan, tentang rencana mereka bersama. Tidak seperti dulu, saat mereka berbicara panjang lebar tentang harapan-harapan yang mereka miliki untuk masa depan. Setiap kali Ayu mengajak berbicara tentang masa depan, Arjuna selalu menunda atau mengalihkan topik pembicaraan. Ayu merasa tidak diprioritaskan lagi. Rasanya seperti ada jarak yang semakin lebar, meskipun fisik mereka tetap terhubung melalui pesan teks atau panggilan suara.
Ketegangan ini semakin memuncak saat Ayu menyadari bahwa dia lebih sering merasa kesepian daripada merasa dicintai. Mereka berdua menyadari bahwa meskipun mereka saling menginginkan satu sama lain, ada hal-hal yang lebih penting dalam hidup yang harus mereka hadapi terlebih dahulu. Ayu merasa bahwa Arjuna terlalu sibuk untuk memberikan perhatian yang sama seperti dulu. Sementara Arjuna, merasa terlalu tertekan dengan pekerjaannya untuk memberi perhatian pada hubungan yang semakin berat baginya. Tidak ada lagi rasa cinta yang menggebu seperti dulu. Semua terasa seperti sebuah kewajiban yang harus dijalani, bukan kebahagiaan yang dinikmati.
Pada suatu malam, setelah hampir seminggu tidak saling berbicara dengan mendalam, Ayu merasa tidak tahan lagi. Perasaan tidak aman dan kesepian semakin menguasai dirinya. Dia memutuskan untuk menghubungi Arjuna, meskipun ia tahu percakapan ini akan sangat berat. Ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Jika hubungan ini akan berakhir, maka harus ada pembicaraan yang jelas tentang itu.
Saat telepon terhubung, suasana terasa berbeda. Arjuna terdengar lelah, suaranya yang biasanya hangat kini terdengar datar dan kosong. Ayu mencoba membuka percakapan dengan lembut, berharap bisa menggali lebih dalam.
“Aku rasa kita perlu bicara, Arjuna,” kata Ayu dengan hati-hati. “Aku merasa ada yang berubah antara kita. Kamu merasa itu juga, kan?”
Arjuna terdiam sejenak. Ia tahu ini adalah percakapan yang tidak bisa dihindari, meskipun ia merasa berat. “Iya, aku juga merasa begitu, Ayu,” jawab Arjuna akhirnya, suaranya terdengar pelan. “Aku tahu kita semakin jauh, tapi aku benar-benar kesulitan, Ayu. Pekerjaanku… aku terlalu sibuk dengan semuanya.”
Ayu menghela napas panjang. “Aku mengerti, tapi… bagaimana dengan kita? Apa yang terjadi dengan hubungan kita?”
“Tidak mudah, Ayu,” kata Arjuna, suaranya serak. “Aku merasa kita seperti dua orang yang terpisah oleh jarak dan waktu. Meskipun aku masih mencintaimu, tapi… aku merasa semakin sulit untuk menjaga semuanya tetap utuh.”
Ayu merasakan sebuah tusukan di hatinya. Kata-kata itu seperti menamparnya, meskipun ia sudah tahu bahwa hubungan mereka sudah tidak seperti dulu. Ia tidak bisa lagi menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Aku juga merasa seperti itu, Arjuna. Aku merasa kita semakin terpisah. Aku rindu kamu, tapi aku juga takut kalau kita terus bertahan, kita hanya akan semakin saling menyakiti. Aku tidak ingin kita menjadi pasangan yang hanya ada di nama,” ujar Ayu, suaranya bergetar.
Arjuna terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu bahwa Ayu benar. Meskipun cinta mereka masih ada, ada sesuatu yang lebih besar yang harus mereka hadapi—kenyataan bahwa mereka sudah tidak bisa lagi saling memberikan apa yang mereka butuhkan. Ketegangan ini sudah terlalu lama terpendam, dan mereka akhirnya tidak bisa lagi menghindarinya.
“Ayu, aku minta maaf,” kata Arjuna dengan suara pelan. “Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Tapi aku tidak ingin hubungan kita berakhir dengan cara yang menyakitkan. Mungkin kita memang butuh waktu untuk mencari tahu apa yang sebenarnya kita inginkan.”
Ayu menutup matanya, mencoba menahan tangis yang sudah tak bisa dibendung. “Aku tidak ingin kita berakhir dengan kebencian atau perasaan sakit hati, Arjuna. Tapi aku rasa kita sudah tidak bisa lagi melanjutkan ini.”
Setelah percakapan malam itu, semuanya terasa semakin jelas bagi Ayu. Ia tahu bahwa perpisahan adalah keputusan yang terbaik untuk keduanya. Mereka sudah tidak lagi menjadi pasangan yang saling mendukung seperti dulu. Jarak, waktu, dan kehidupan yang terus bergerak maju telah mengubah segalanya. Mereka telah berubah, dan meskipun cinta itu masih ada, mereka tahu bahwa hubungan mereka sudah tidak bisa dipertahankan lagi.
Arjuna juga merasakan hal yang sama. Meskipun hatinya berat, ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi memberikan apa yang Ayu butuhkan. Pekerjaan yang terus menumpuk, keinginan untuk maju dalam karier, dan perasaan tertekan yang tak kunjung hilang membuatnya merasa tidak bisa menjalani hubungan ini dengan sepenuh hati. Ia tidak ingin menjadi sosok yang hanya hadir fisik tanpa mampu memberikan perhatian dan cinta yang Ayu layak terima.
“Ayu, aku rasa kita perlu memberi ruang untuk diri kita sendiri. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik,” kata Arjuna, meskipun suara hatinya sangat berontak.
Ayu mengangguk, meskipun air mata sudah mulai mengalir. “Aku tahu. Aku rasa ini sudah waktunya. Aku mencintaimu, Arjuna, tapi kita tidak bisa terus saling mengikat jika kita sudah tidak bisa saling melengkapi lagi.”
Perpisahan itu terjadi dengan penuh kesedihan dan keheningan. Meskipun mereka masih saling mencintai, mereka tahu bahwa cinta itu tidak cukup untuk menyelamatkan hubungan mereka. Mereka berdua harus melepaskan satu sama lain untuk menemukan jalan hidup mereka masing-masing.
Setelah perpisahan itu, Arjuna dan Ayu masing-masing berusaha untuk melanjutkan hidup mereka. Meskipun mereka tidak lagi bersama, kenangan indah tentang masa lalu mereka tetap hidup dalam ingatan. Mereka saling mendukung dari jauh, meskipun tidak lagi dalam kapasitas sebagai pasangan. Mereka tahu bahwa keputusan perpisahan ini bukan karena cinta mereka hilang, tetapi karena mereka telah menyadari bahwa terkadang, melepaskan adalah bentuk cinta yang paling murni.
Ayu, yang dulu merasa terperangkap dalam kesepian, mulai menemukan kebahagiaan dalam menulis kembali. Ia kembali menemukan inspirasi dan semangat yang hilang. Arjuna, yang terjebak dalam rutinitas yang membosankan, akhirnya mulai mengambil waktu untuk dirinya sendiri. Mereka berdua tumbuh, meskipun terpisah. Perpisahan itu memberi mereka kebebasan untuk menemukan jalan hidup mereka yang lebih baik.*
Bab 4: Rindu yang Tak Terucap
Tantangan komunikasi karena perbedaan waktu dan kesibukan.Surat, panggilan video yang terputus-putus, dan rindu yang menyiksa.Kecemasan dan rasa kesepian yang mulai merayap.
Munculnya godaan dari orang ketiga.Salah satu tokoh mulai meragukan hubungan mereka.Pertengkaran besar yang hampir memutuskan hubungan.
Setelah pertemuan tak terduga di reuni itu, Arjuna dan Ayu kembali terjebak dalam kerinduan yang tak bisa mereka hindari. Meskipun mereka berdua tahu bahwa perpisahan adalah keputusan yang telah diambil dengan pertimbangan matang, kenangan yang kembali muncul begitu kuat, menyelimuti hati mereka dengan godaan yang menggoda dan keraguan yang tak terhindarkan. Waktu seakan berhenti saat mereka berhadapan, namun kenyataan di luar sana tetap berjalan—mereka harus berhadapan dengan pilihan yang sulit dan perasaan yang tidak pernah benar-benar hilang.
Setelah reuni itu, Arjuna merasa seperti terbangun dari sebuah mimpi panjang yang tak kunjung berakhir. Malam-malamnya kini terasa lebih gelap. Meskipun ia kembali ke rutinitasnya, baik itu pekerjaan maupun aktivitas lain, hatinya terasa kosong. Ia tidak bisa berhenti memikirkan Ayu. Suara tawa Ayu, pandangan matanya yang penuh arti, sentuhan tangan mereka yang dulu terasa begitu akrab, semua itu kembali mengisi pikirannya. Seperti ada magnet tak terlihat yang menariknya kembali ke masa lalu, kembali ke saat-saat mereka bersama.
Namun, meskipun perasaan itu begitu kuat, Arjuna sadar bahwa ia tidak bisa terjebak dalam kenangan. Mereka telah memilih untuk berpisah. Itu adalah keputusan yang dibuat setelah berbulan-bulan pemikiran, pertimbangan, dan akhirnya, kesadaran bahwa mereka memiliki jalan hidup masing-masing. Arjuna mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa pertemuan itu hanyalah kebetulan, bahwa mereka hanya dua orang yang saling mengenang masa lalu. Tapi, semakin ia mencoba melepaskan diri dari perasaan itu, semakin ia merasa terjebak.
Ada godaan besar yang datang bersama pertemuan itu—godaan untuk kembali bersama Ayu. Arjuna tahu bahwa Ayu adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Rindu yang menggebu, kenangan indah yang terus membayang, semuanya membuatnya merasa seperti berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ia ingin melanjutkan hidupnya tanpa menghiraukan masa lalu, tetapi di sisi lain, ia merasa ada bagian dari dirinya yang selalu terikat pada Ayu. Ini adalah perasaan yang bertentangan, seperti sebuah tarik-menarik antara logika dan emosi.
Arjuna berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia mengalihkan perhatian dengan bekerja lebih keras, menghabiskan waktu dengan teman-teman, dan melakukan kegiatan yang biasanya membuatnya merasa sibuk. Namun, setiap kali ia sendirian, pikirannya selalu kembali pada Ayu. Ia mencoba untuk mengingat alasan perpisahan mereka—bahwa hubungan itu sudah tidak sehat, bahwa mereka telah berjuang dengan cara yang salah, dan akhirnya, mereka memutuskan untuk berjalan masing-masing demi kebaikan mereka berdua.
Tetapi, apakah itu keputusan yang benar?
Itulah pertanyaan yang terus menghantui Arjuna. Ia tidak bisa menghindar dari godaan untuk kembali bersamanya. Namun, di sisi lain, ia juga tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Perasaan cinta itu tetap ada, tapi keraguan pun mulai muncul—apakah mereka berdua bisa berubah? Apakah mereka bisa menjalani hubungan yang lebih baik setelah semua yang terjadi? Semua pertanyaan ini terus berputar di kepalanya, menciptakan ketidakpastian yang semakin dalam.
Di sisi lain, Ayu juga merasakan gejolak yang tak kalah besar. Setelah pertemuan itu, ia merasa seperti kembali ke masa lalu, ke saat-saat yang penuh dengan kebahagiaan dan juga konflik. Ayu mencoba untuk menghindari perasaan itu, tetapi seperti Arjuna, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia masih mencintainya. Perasaan itu datang begitu mendalam, dan meskipun Ayu sudah mencoba untuk membangun hidup barunya, tidak ada yang bisa menghapus kenangan tentang Arjuna.
Namun, Ayu juga tahu bahwa perpisahan mereka bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Mereka berdua telah memilih untuk berpisah karena alasan yang kuat, alasan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Hidup mereka, meskipun berjalan tanpa satu sama lain, tetap berlanjut. Ayu memfokuskan dirinya pada pekerjaannya, menulis dengan lebih tekun, dan mencoba menjalani hari-hari dengan kebiasaan baru. Tapi di balik semua itu, ada perasaan yang tak bisa ia ungkapkan.
Saat malam tiba dan Ayu berbaring di tempat tidurnya, perasaan itu kembali datang. Ia merindukan Arjuna. Ia merindukan cara mereka berbicara tentang segala hal, cara mereka saling mendukung, dan kebahagiaan sederhana yang mereka ciptakan bersama. Namun, ia juga tahu bahwa mereka tidak bisa kembali lagi. Tidak setelah semua yang terjadi. Apakah itu akan membuat mereka lebih bahagia, atau justru membawa mereka kembali ke tempat yang sama, ke dalam lingkaran perasaan yang penuh dengan kebingungan?
Rindu itu tak pernah benar-benar hilang, dan Ayu mulai merasa terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia benar-benar ingin kembali bersama Arjuna? Apakah ia siap untuk membuka hati dan menerima kenyataan bahwa mungkin, hubungan mereka yang dulu memang sudah tidak dapat dipertahankan? Ayu merasa bingung dan terombang-ambing. Ia tidak tahu harus memilih jalan mana.
Dan godaan itu pun datang. Godaan untuk kembali ke masa lalu, untuk mencari kenyamanan dalam kebersamaan yang dulu ada. Godaan untuk merasakan kembali kehangatan dalam pelukan Arjuna. Tetapi, di sisi lain, Ayu juga sadar bahwa jika mereka kembali bersama, akan ada banyak hal yang harus mereka hadapi—masalah yang belum terselesaikan, kebiasaan buruk yang masih ada, dan keraguan yang terus muncul.
Suatu malam, Arjuna menghubungi Ayu. Mereka belum benar-benar berbicara sejak reuni itu, dan meskipun keduanya merasakan perasaan yang sama, mereka belum membahas apa yang terjadi setelah pertemuan itu. Arjuna merasa bahwa ini adalah saat yang tepat untuk berbicara, untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan, meskipun ia tahu itu bukanlah hal yang mudah.
“Ayu, bisakah kita bertemu?” tulis Arjuna di pesan singkat.
Ayu membaca pesan itu dengan hati berdebar. Ia tahu bahwa pertemuan ini akan membawa banyak perubahan. Setelah beberapa lama mempertimbangkan, ia memutuskan untuk setuju. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang dulu sering mereka kunjungi. Saat Ayu masuk, ia melihat Arjuna sudah duduk menunggunya. Ada ketegangan di antara mereka, tapi juga perasaan rindu yang tak terucapkan.
“Arjuna,” Ayu memulai dengan suara lembut, “apa yang sebenarnya kita lakukan ini?”
Arjuna menatapnya dengan mata yang penuh pertanyaan. “Aku tidak tahu, Ayu. Aku hanya tahu bahwa aku merindukanmu. Dan aku merasa… kita harus membicarakan ini.”
Ayu menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Kita sudah berpisah karena alasan tertentu, Arjuna. Meskipun aku merindukanmu, aku juga tahu bahwa kita tidak bisa mengulang masa lalu. Kita harus menemukan cara untuk menerima kenyataan ini.”
Arjuna mengangguk pelan. “Tapi, bagaimana jika perasaan kita masih ada? Bagaimana jika kita bisa membuatnya bekerja kali ini?”
Ayu menundukkan kepala, perasaan yang membuncah di dalam dirinya sulit untuk diungkapkan. “Aku tidak tahu, Arjuna. Aku ingin percaya bahwa kita bisa berubah, tapi aku juga takut jika kita hanya kembali ke pola lama. Apakah kita siap untuk itu?”
Kedua hati ini terperangkap dalam keraguan yang sama. Mereka saling merindukan, tetapi mereka juga takut menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka mungkin tidak bisa diperbaiki begitu saja. Mereka merasa seperti berada di ujung jurang—di satu sisi ada keinginan untuk mencoba lagi, dan di sisi lain ada ketakutan akan kegagalan yang sama.
Akhirnya, mereka berdua diam. Tidak ada kata-kata lagi yang terucap, hanya perasaan yang saling bertautan. Godaan untuk kembali bersama terus menggoda mereka, tetapi keraguan yang menghantui membuat mereka bertanya-tanya apakah itu keputusan yang benar.
Malam itu, pertemuan mereka berakhir dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Arjuna dan Ayu tahu bahwa mereka tidak bisa terus hidup dalam keraguan. Mereka harus membuat pilihan. Apakah mereka akan mencoba lagi, ataukah mereka akan terus melanjutkan hidup mereka tanpa satu sama lain? Mereka berdua tahu bahwa jawaban itu hanya bisa ditemukan dalam hati mereka sendiri. Tapi, seperti halnya perjalanan cinta mereka yang penuh dengan godaan dan keraguan, keputusan ini tidak akan pernah
Setelah pertemuan yang tidak terduga itu, Arjuna dan Ayu merasa seakan terperangkap dalam pusaran perasaan yang tidak pernah benar-benar hilang. Meskipun mereka telah sepakat untuk berpisah, pertemuan itu mengingatkan mereka pada segala yang pernah ada—kenangan indah yang pernah mereka bagikan, dan juga rasa rindu yang selama ini tertahan. Godaan untuk kembali bersama muncul begitu kuat, namun keraguan tentang keputusan yang telah mereka ambil membuat mereka terjebak dalam dilema yang mendalam.
Arjuna merasa ada bagian dari dirinya yang terpecah setelah bertemu Ayu. Dia bisa merasakan getaran dalam dirinya setiap kali mereka berbicara, seperti ada kekuatan magnetik yang menariknya kembali ke masa lalu. Setelah sekian lama berusaha melupakan, kenangan tentang Ayu kembali membanjiri pikirannya. Suara tawa Ayu, sentuhan lembut tangannya, cara mereka berbicara tentang masa depan—semua itu tiba-tiba terasa sangat nyata. Seolah-olah perasaan yang mereka coba buang kembali muncul begitu kuat.
Namun, di sisi lain, Arjuna juga tahu bahwa mereka berpisah dengan alasan yang kuat. Mereka berdua memiliki tujuan yang berbeda dalam hidup, dan meskipun mereka saling mencintai, hubungan mereka tak lagi bisa bertahan. Perpisahan itu adalah keputusan yang diambil setelah melalui banyak pertimbangan, dan meskipun hatinya ingin sekali kembali bersamanya, Arjuna merasa tak bisa mengabaikan kenyataan yang telah ada.
“Apakah aku benar-benar siap kembali ke dalam hubungan ini?” Arjuna sering bertanya pada dirinya sendiri. “Jika kita kembali bersama, apakah kita akan bahagia seperti dulu, atau justru terperangkap dalam kesalahan yang sama?”
Pekerjaan dan rutinitas sehari-hari tampaknya tidak cukup untuk mengalihkan pikirannya dari Ayu. Setiap kali ia duduk di kantornya, menghadiri rapat, atau menghabiskan waktu dengan teman-temannya, pikirannya selalu melayang pada kenangan indah yang ia bagikan bersama Ayu. Bahkan sesekali, ia memikirkan untuk menghubunginya, untuk mencari tahu apakah Ayu merasakan hal yang sama—sebuah rasa ingin tahu yang begitu menggoda, namun juga menakutkan.
Tetapi Arjuna tahu, di dalam hatinya, bahwa perasaan itu lebih kompleks daripada sekadar rindu. Dia merasa takut jika mereka hanya kembali ke pola lama yang penuh dengan ketegangan dan ketidakpastian. Dia bertanya-tanya apakah mereka sudah berubah, apakah mereka bisa membangun hubungan yang lebih sehat, ataukah mereka hanya akan mengulangi kesalahan yang sama. Arjuna merasa terjebak antara cinta dan logika antara perasaan yang memanggilnya untuk kembali bersama, dan suara kecil dalam dirinya yang mengatakan bahwa mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk benar-benar move on.
Di sisi lain, Ayu juga tidak bisa menghindari perasaan yang muncul begitu mendalam setelah pertemuan itu. Setiap detik yang berlalu, setiap saat ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, perasaan itu tetap ada—rindu yang tidak terucap. Ayu berusaha untuk melanjutkan hidupnya, menjalani hari-harinya dengan rutinitas yang telah ia bangun, tetapi ada bagian dari dirinya yang selalu terikat pada Arjuna. Meskipun ia tahu bahwa perpisahan mereka adalah keputusan yang tepat pada waktu itu, hatinya tidak bisa menahan rasa rindu yang datang begitu mendalam.
Saat malam tiba, Ayu sering terbangun dengan perasaan cemas yang tak bisa ia jelaskan. Ia merasa sepi, meskipun dikelilingi oleh teman-teman dan pekerjaan yang sibuk. Dalam kesunyian malam, ia merasa seakan-akan dunia berputar tanpa dirinya, sementara Arjuna—yang seharusnya ada di sampingnya—jauh di luar sana, hidup dengan caranya sendiri. Kenangan tentang mereka bersama terus menghantui. Kenangan itu tak bisa dihapus, tak bisa dijauhkan. Semakin ia berusaha mengabaikan, semakin kuat perasaan itu kembali muncul.
“Apakah aku terlalu egois untuk menginginkannya kembali?” Ayu sering bertanya pada dirinya sendiri. “Kenapa perasaan ini begitu kuat, meskipun aku tahu kita tidak bisa bersama?”
Setiap kali ia mencoba membuka hatinya untuk orang lain, bayangan Arjuna selalu muncul. Tidak ada yang bisa menggantikan perasaan yang ia miliki untuknya. Ketika Ayu berjalan sendirian di jalanan Yogyakarta yang sepi, atau saat ia menikmati secangkir kopi di kafe favorit mereka, ia merindukan sosok Arjuna. Ia merindukan cara mereka berbicara, cara mereka saling mengerti tanpa perlu banyak kata-kata. Namun, keraguan itu muncul kembali.
“Apakah aku benar-benar ingin kembali ke dalam hubungan yang penuh ketidakpastian ini?” Ayu berpikir. “Apakah kita bisa memperbaiki semua yang telah rusak?”
Ayu mulai bertanya-tanya apakah mereka berdua bisa berubah. Apakah mereka dapat memperbaiki kesalahan masa lalu dan memulai kembali hubungan yang lebih sehat? Ataukah mereka akan terjebak dalam lingkaran yang sama, saling menyakiti dan merasa tidak puas satu sama lain? Semua pertanyaan ini berputar dalam pikirannya, menciptakan kebingungan yang semakin dalam. Ayu tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam keraguan ini, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana cara untuk menghadapinya.
Setelah beberapa minggu berlalu sejak reuni itu, Arjuna dan Ayu akhirnya memutuskan untuk bertemu lagi. Tidak ada janji untuk mengubah apapun, tetapi keduanya merasa bahwa ada sesuatu yang belum terselesaikan. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang mereka sukai, tempat di mana mereka biasa berbicara panjang lebar tentang hidup dan impian mereka.
Malam itu, perasaan mereka begitu campur aduk. Arjuna merasa gugup, sementara Ayu juga tidak jauh berbeda. Mereka saling menatap, dan meskipun tidak ada kata-kata yang terucap, keduanya bisa merasakan perasaan yang sama—rindu yang begitu mendalam. Namun, perasaan itu juga dibarengi dengan keraguan yang begitu kuat.
Ayu mulai berbicara dengan suara yang pelan, “Arjuna… aku tahu kita sudah lama berpisah, dan aku tahu kita berdua berusaha melanjutkan hidup masing-masing. Tapi, aku merasa… ada bagian dari diriku yang belum bisa melupakan kita.”
Arjuna menundukkan kepalanya, mencoba menyembunyikan perasaan yang muncul. “Aku juga merasa seperti itu, Ayu. Setiap kali aku melihatmu, rasanya semuanya kembali hidup. Semua kenangan, semua perasaan—seolah kita belum pernah berpisah.”
Tapi, Ayu menatapnya dalam-dalam. “Tapi, Arjuna, kita tahu ini tidak bisa sesederhana itu. Kita tahu bahwa banyak hal yang sudah rusak. Kita sudah mencoba untuk bersama, dan kita berpisah karena alasan yang tidak bisa diabaikan. Bagaimana kita bisa yakin bahwa kita bisa mengubah semuanya? Bagaimana kita tahu bahwa kita tidak akan jatuh ke dalam pola yang sama lagi?”
Arjuna merasa hatinya sakit mendengar kata-kata itu. Ia tahu Ayu benar. Ada banyak alasan yang menyebabkan mereka berpisah, dan meskipun perasaan mereka masih kuat, kenyataan tidak bisa diabaikan begitu saja. “Aku tidak tahu, Ayu,” jawabnya pelan. “Aku hanya tahu bahwa aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Tapi, aku juga takut jika kita hanya akan membuat kesalahan yang sama.”
Mereka terdiam sejenak, hanya ada keheningan yang membungkus keduanya. Tidak ada yang tahu apa yang harus dilakukan. Perasaan mereka begitu kuat, namun keraguan itu terlalu besar untuk diabaikan. Mereka merasa terjebak—di satu sisi, ada keinginan untuk kembali bersama, namun di sisi lain, ada rasa takut akan kegagalan dan rasa sakit yang mungkin muncul lagi.
Ayu menarik napas panjang dan akhirnya berkata, “Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan, Arjuna. Aku merindukanmu, tapi aku juga takut jika kita hanya akan membuat luka yang lebih dalam.”
Arjuna memandangnya dengan tatapan penuh keinginan, namun juga penuh keraguan. “Mungkin kita tidak perlu memutuskan apa-apa malam ini,” katanya. “Mungkin kita hanya perlu memberi diri kita waktu untuk berpikir.”
Mereka saling memandang, dan untuk sejenak, tidak ada kata-kata lagi yang terucap. Rindu itu masih ada, tetapi begitu juga dengan keraguan. Mereka berdua tahu bahwa jalan ke depan tidaklah mudah, dan apapun yang mereka pilih, perasaan itu akan selalu ada—sebuah godaan yang tak terucap, namun terus menguji hati mereka.*
Bab 6: Di Persimpangan Jalan
Keduanya mencoba introspeksi diri setelah pertengkaran.
Mereka mulai mempertanyakan apakah cinta saja cukup.
Flashback kenangan indah mereka bersamaa.
Perjalanan hidup kadang membawa kita pada titik-titik tertentu di mana pilihan kita menentukan segalanya. Tidak hanya tentang arah yang akan kita pilih, tetapi juga tentang siapa kita saat memilihnya. Arjuna dan Ayu kini berdiri di sebuah persimpangan jalan, sebuah tempat yang penuh dengan keraguan, perasaan yang belum selesai, dan potensi masa depan yang belum terungkap.
Perpisahan yang mereka alami telah membawa mereka ke jalan masing-masing, tetapi pertemuan tak terduga beberapa waktu lalu mengingatkan mereka akan masa lalu yang indah—namun juga penuh dengan luka. Mereka merindukan satu sama lain, namun mereka tahu bahwa mereka tidak dapat kembali ke titik awal. Mereka harus memilih, dan setiap pilihan membawa konsekuensinya masing-masing.
Setelah beberapa waktu berlalu sejak pertemuan kedua mereka, Arjuna masih terjebak dalam pertanyaan yang sama. Apakah ia bisa kembali bersama Ayu? Apakah mereka berdua bisa mengatasi masa lalu yang penuh dengan ketegangan dan keraguan? Arjuna merasa seolah-olah ada dua suara dalam dirinya yang saling bertentangan.
Di satu sisi, ia merasa bahwa Ayu adalah bagian penting dari hidupnya. Ia merindukan tawa dan kebahagiaan yang mereka bagi bersama. Setiap kali perasaan itu datang, ia merasakan dorongan kuat untuk kembali ke masa lalu, untuk memperbaiki semua yang telah hilang. Namun, di sisi lain, Arjuna tahu bahwa hubungan mereka dulu telah dihancurkan oleh ketidakmampuan mereka untuk berkomunikasi dengan baik, oleh perbedaan yang tak bisa mereka atasi, dan oleh kesalahan yang berulang. Apakah ia benar-benar siap untuk mengambil risiko yang sama lagi? Apakah ia bisa kembali menjalani kehidupan yang penuh dengan ketegangan dan rasa tidak aman?
Selama beberapa minggu, Arjuna mencoba untuk melanjutkan hidupnya seperti biasa. Ia bekerja lebih keras, mencoba mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang menyibukkan pikirannya. Namun, setiap kali ia berhadapan dengan Ayu, ia merasa seperti ada kekuatan yang tak bisa dijelaskan menariknya untuk kembali ke hubungan mereka. Itu adalah godaan yang kuat, sebuah dorongan yang tidak bisa dia lawan.
Namun, Arjuna juga sadar bahwa kebahagiaan yang dia dambakan mungkin tidak terletak pada Ayu. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah aku memilih untuk kembali karena aku benar-benar mencintainya, atau karena aku hanya merindukan kenyamanan masa lalu?” Kadang-kadang ia merasa terjebak dalam rutinitas yang membuatnya merasa aman, tetapi sekaligus terkurung dalam kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya.
Pertanyaannya semakin rumit ketika ia mempertimbangkan kebebasan yang telah ia nikmati sejak berpisah dengan Ayu. Ia merasa bahwa hidupnya lebih tenang tanpa beban hubungan yang penuh dengan ketegangan. Arjuna menikmati kebebasan untuk menjalani hidupnya tanpa khawatir akan ekspektasi orang lain atau berurusan dengan masalah yang selalu muncul dalam hubungan mereka. Namun, kebebasan ini juga terasa kosong tanpa kehadiran Ayu. Ada kekosongan yang sulit dijelaskan—sebuah rasa yang tak bisa ia penuhi dengan apapun, kecuali dengan Ayu.
Berkali-kali Arjuna menulis pesan kepada Ayu, tapi selalu berhenti di tengah jalan, ragu apakah itu langkah yang benar. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana ia bisa menjelaskan perasaannya tanpa membuat keadaan semakin rumit? Arjuna merasa terjebak dalam kebingungan yang mendalam—di satu sisi, ia ingin berjuang untuk hubungan mereka, tetapi di sisi lain, ia juga ingin melindungi dirinya dari rasa sakit yang mungkin muncul jika mereka kembali bersama.
Ketika malam datang, Arjuna sering berbaring di tempat tidurnya, merenung tentang apa yang telah terjadi. Ia memikirkan pilihan yang harus diambil, dan setiap kali ia berpikir bahwa ia mungkin sudah tahu jawabannya, keraguan itu muncul kembali. Arjuna tahu bahwa suatu hari ia harus membuat keputusan, tetapi keputusan itu tidak pernah mudah. Apakah ia akan kembali bersama Ayu dan mengambil risiko, atau apakah ia akan terus menjalani hidupnya tanpa mengharapkan kebahagiaan yang ia kira hanya bisa ia temukan dalam hubungan itu?
Ayu merasa seperti sudah berjalan jauh dari Arjuna, namun setiap kali ia menoleh, bayangan Arjuna selalu ada di belakangnya, tak pernah benar-benar hilang. Setelah pertemuan kedua mereka, Ayu mencoba untuk melanjutkan hidupnya, tetapi ada perasaan yang terus mengganggu. Setiap kali ia berpikir bahwa ia bisa mengatasi semua ini, kenangan tentang Arjuna kembali datang, membawa kembali rasa rindu yang selama ini ia tahan.
Di satu sisi, Ayu merasa bahwa keputusan untuk berpisah dengan Arjuna adalah keputusan yang benar. Mereka memiliki jalan hidup yang berbeda, dan meskipun cinta mereka begitu kuat, mereka tidak bisa saling memenuhi kebutuhan hidup yang berbeda. Ayu juga tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke masa lalu. Ia telah menghabiskan waktu untuk membangun kehidupannya sendiri, menemukan kembali apa yang membuatnya bahagia tanpa bergantung pada orang lain. Namun, meskipun ia merasa lebih mandiri, ada kesepian yang tidak bisa ia hindari. Ayu merindukan seseorang untuk berbagi hidupnya, seseorang yang bisa mengerti dirinya tanpa kata-kata. Dan dalam hatinya, ia tahu bahwa hanya Arjuna yang pernah bisa memberikannya hal itu.
Tapi, keraguan selalu muncul dalam pikirannya. Apakah mereka akan kembali bersama hanya untuk mengulang kesalahan yang sama? Apakah mereka berdua sudah cukup berubah untuk membangun hubungan yang sehat? Ayu sering kali berputar-putar dalam pikirannya, mempertimbangkan semua kemungkinan yang ada. Ada saat-saat di mana ia merasa bahwa mereka bisa kembali bersama dan membangun masa depan yang lebih baik, tetapi ada juga saat-saat di mana ia merasa takut bahwa mereka hanya akan mengulangi kegagalan yang sama.
Setiap kali Ayu mencoba membuka hatinya untuk orang lain, ia merasa tidak bisa melupakan Arjuna. Ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan—sebuah kekosongan yang hanya bisa diisi oleh sosok Arjuna. Namun, di sisi lain, Ayu juga merasa bahwa ia tidak bisa kembali ke dalam hubungan yang penuh dengan ketidakpastian dan konflik. Ayu mulai merasa bahwa mungkin, untuk kali ini, ia harus memilih jalan yang lebih sulit—untuk melupakan Arjuna dan melanjutkan hidupnya tanpa melihat ke belakang.
Di suatu malam yang sunyi, Ayu duduk di balkon rumahnya, menatap bintang-bintang yang berkelip di langit. Dalam kesendirian itu, ia merasakan kekosongan yang tak bisa diisi dengan apa pun. Meskipun ia telah berusaha untuk mengalihkan perhatian dengan pekerjaan, dengan menulis, dan dengan bertemu dengan teman-teman, rasa rindu itu tetap ada. Tetapi ada satu hal yang lebih menonjol—keraguan yang semakin mendalam tentang apakah ia harus kembali bersama Arjuna, ataukah ia harus melanjutkan hidupnya sendirian.
Ayu merasa seperti berada di ujung jurang. Di satu sisi, ia merindukan Arjuna dan berharap mereka bisa memperbaiki hubungan mereka. Tetapi, di sisi lain, ia juga tahu bahwa jika mereka kembali bersama, mereka harus menghadapi banyak masalah yang belum terselesaikan—masalah yang mungkin terlalu berat untuk diatasi. Ayu merasa terombang-ambing, seperti berada di persimpangan jalan yang tidak ada ujungnya.
Suatu hari, tanpa direncanakan, Arjuna menghubungi Ayu. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang mereka sukai, tempat di mana mereka dulu sering berbicara tentang masa depan mereka. Saat Ayu tiba, Arjuna sudah duduk di bangku yang sama tempat mereka pernah duduk bertahun-tahun yang lalu. Mereka saling menatap, dan meskipun tidak ada kata-kata, keduanya bisa merasakan bahwa perasaan mereka masih kuat. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini—sesuatu yang lebih serius, lebih mendalam.
“Ayu,” kata Arjuna dengan suara pelan, “aku tahu kita berdua sudah lama tidak berbicara tentang ini, tapi aku rasa kita harus memilih, untuk kita dan untuk hidup kita. Aku masih mencintaimu, Ayu. Aku merindukanmu lebih dari yang bisa aku ungkapkan.”
Ayu menatapnya, dan meskipun hatinya terasa penuh, ia juga merasa bingung. “Arjuna… aku juga masih mencintaimu, tapi aku tahu kita tidak bisa kembali seperti dulu. Ada terlalu banyak yang harus kita selesaikan, terlalu banyak yang harus kita ubah. Apakah kita benar-benar siap untuk itu?”
Arjuna terdiam sejenak. Ia tahu bahwa Ayu benar. Mereka tidak bisa kembali ke masa lalu. Keputusan ini tidak hanya tentang cinta, tetapi juga tentang siapa mereka sekarang, tentang perubahan yang telah mereka alami, dan tentang jalan hidup yang harus mereka pilih.
“Jadi, apa yang harus kita
Arjuna dan Ayu berdiri di persimpangan jalan yang berat, di mana masing-masing harus membuat pilihan besar tentang masa depan mereka. Di satu sisi, ada kenangan manis yang pernah mereka bagi, sebuah cinta yang pernah tumbuh dengan begitu indah namun akhirnya hancur karena berbagai alasan. Di sisi lain, ada kenyataan bahwa hubungan mereka tidak lagi bisa dipertahankan, dan mereka berdua harus memilih jalan hidup yang berbeda. Keputusan ini bukan hanya soal memilih untuk bersama atau berpisah lagi, tetapi juga tentang memahami siapa mereka sekarang, setelah semua yang telah terjadi.
Setelah pertemuan mereka yang kedua, Arjuna merasa seolah-olah ada bagian dari dirinya yang hilang. Perasaan yang selama ini ia coba untuk kubur dalam-dalam, kini kembali muncul begitu kuat. Cinta, rindu, dan semua kenangan bersama Ayu datang menghantui pikirannya. Tetapi, meskipun ia merindukan Ayu, ada bagian dari dirinya yang merasa lebih tenang setelah berpisah. Kebebasan yang ia nikmati selama ini memberikan ruang bagi Arjuna untuk menemukan dirinya sendiri, untuk berkembang tanpa beban.
Setiap kali ia berbicara dengan Ayu, Arjuna merasa seolah-olah dunia mereka kembali menyatu. Ada kehangatan dalam setiap percakapan, ada rasa nyaman yang ia rasakan saat bersama Ayu, meskipun hanya sebentar. Namun, seiring berjalannya waktu, keraguan itu datang kembali. Apakah ia benar-benar ingin kembali bersama Ayu, atau apakah ia hanya merasa takut untuk menghadapi kenyataan bahwa hidupnya kini lebih tenang tanpa hubungan yang penuh gejolak?
Pekerjaannya menjadi pelarian bagi Arjuna, tempat di mana ia bisa menyibukkan diri, berpikir tentang masa depan, dan mencoba melupakan perasaan yang datang begitu kuat. Namun, ketika malam tiba, ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa bayangan Ayu selalu ada dalam pikirannya. Bahkan, saat ia mencoba berbicara dengan teman-temannya tentang hal lain, ia selalu merasa seolah-olah ada kekosongan yang tidak bisa ia penuhi. Ketika ia menyendiri, Arjuna bertanya pada dirinya sendiri: apakah kebahagiaan sejati terletak pada kebebasan yang ia nikmati, ataukah dalam menjalani kembali hubungan dengan Ayu?
Keraguan semakin dalam ketika Arjuna kembali mengingat alasan mereka berpisah. Meskipun ia masih mencintai Ayu, ia tahu bahwa hubungan mereka sebelumnya penuh dengan ketidakpastian. Banyak hal yang tidak dapat diselesaikan, banyak luka yang masih belum sembuh. Adakah kemungkinan untuk memperbaiki semua itu? Atau apakah mereka hanya akan terperangkap dalam lingkaran kesalahan yang sama?
“Apakah aku siap mengambil langkah itu lagi?” Arjuna bertanya pada dirinya sendiri setiap malam. “Apakah kita bisa membangun sesuatu yang lebih baik, atau apakah kita hanya akan mengulang masa lalu?”
Semakin lama, Arjuna merasa terperangkap dalam dilema itu. Hatinya masih menginginkan Ayu, tetapi pikirannya memperingatkannya untuk tidak membuat keputusan terburu-buru. Arjuna merasa seperti berada di jalan yang terbelah—di satu sisi, ia merasa ada potensi kebahagiaan jika mereka bersama, tetapi di sisi lain, ia juga merasa takut akan kekecewaan yang lebih dalam jika hubungan itu kembali gagal.
Ayu berada dalam pergulatan batin yang tidak jauh berbeda. Setelah berpisah dengan Arjuna, ia berusaha keras untuk melanjutkan hidupnya. Ayu mengalihkan perhatiannya ke pekerjaan, teman-teman, dan segala hal yang bisa membuatnya tetap sibuk. Namun, perasaan itu—rindu yang tak bisa dijelaskan—terus menghantuinya. Setiap kali ia mengingat Arjuna, ia merasakan kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun. Bahkan di tengah keramaian, ada bagian dari dirinya yang selalu merasa sunyi.
Pertemuan mereka yang kedua mengembalikan semua perasaan itu. Rindu yang selama ini ia coba untuk kubur dalam-dalam kembali muncul begitu kuat. Setiap senyum Arjuna, setiap kata yang keluar dari bibirnya, seolah menghidupkan kembali perasaan-perasaan yang sudah lama tertinggal. Namun, meskipun ia merindukan Arjuna, Ayu juga tahu bahwa ada banyak alasan mengapa mereka berpisah. Ada luka yang belum sembuh, ada ketegangan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Apakah mereka benar-benar bisa kembali bersama dan memperbaiki hubungan mereka? Ataukah mereka hanya akan mengulang kesalahan yang sama?
Ayu merasa terjebak antara dua perasaan yang bertentangan. Di satu sisi, ia ingin sekali kembali bersama Arjuna, tetapi di sisi lain, ia takut akan rasa sakit yang mungkin muncul lagi. Ia tidak ingin kembali ke hubungan yang penuh dengan ketidakpastian dan rasa cemas. Ayu sudah bekerja keras untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri, lebih kuat, dan ia tidak ingin hubungan mereka menghalangi itu.
Saat berlibur sendirian ke luar kota, Ayu mencoba mencari jawaban dalam kesendirian. Ia berjalan-jalan di sepanjang pantai, merenung tentang hidupnya dan apa yang ia inginkan. “Aku sudah cukup kuat tanpa Arjuna,” pikirnya. “Aku bisa hidup tanpa harus bergantung pada hubungan ini. Tapi mengapa aku masih merasa kosong?”
Pikiran itu terus menghantui Ayu. Ia ingin maju, tetapi bayangan masa lalu terus mengikutinya. Ia tidak tahu apakah ia bisa kembali ke dalam hubungan yang penuh ketidakpastian itu, tetapi ia juga merasa bahwa ada perasaan yang tak bisa ia lepaskan begitu saja. Keputusan untuk kembali bersama Arjuna atau melanjutkan hidupnya tanpa dia adalah pilihan yang sulit, dan Ayu merasa bingung bagaimana cara mengambil keputusan yang benar.
Suatu malam, setelah berhari-hari berpikir dan merenung, Ayu dan Arjuna akhirnya sepakat untuk bertemu lagi. Mereka memilih tempat yang sederhana, sebuah kafe kecil yang mereka sering kunjungi bersama. Tempat itu penuh kenangan, tetapi kali ini rasanya sangat berbeda. Keadaan berubah. Mereka berdua merasa canggung, namun juga ada ketegangan yang sulit dijelaskan.
“Arjuna, aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana,” Ayu berkata pelan, matanya tidak dapat menatapnya langsung. “Aku tahu kita saling mencintai, tapi aku juga tahu bahwa kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Ada banyak hal yang perlu kita selesaikan, banyak luka yang belum sembuh.”
Arjuna menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku tahu, Ayu. Aku juga merasa hal yang sama. Kita berdua telah berubah, dan mungkin kita tidak bisa kembali ke hubungan seperti dulu. Tetapi, aku masih merasa ada sesuatu di antara kita, sesuatu yang sulit untuk diabaikan.”
Ayu menarik napas dalam-dalam. “Aku rindu kita yang dulu. Aku rindu kebahagiaan itu. Tapi aku takut, Arjuna. Aku takut kita hanya akan mengulangi semua kesalahan itu lagi. Aku takut, jika kita kembali bersama, kita hanya akan saling menyakiti.”
Arjuna mengangguk perlahan, seolah memahami apa yang Ayu rasakan. “Aku juga takut, Ayu. Takut bahwa kita tidak akan bisa menyelesaikan semua masalah kita. Tapi aku juga tahu, kita tidak akan pernah tahu jika kita tidak mencobanya. Kita harus memutuskan, apakah kita ingin berjuang untuk ini atau tidak.”
Ayu terdiam. Kata-kata itu menggantung di udara, terasa begitu berat. Dia tahu bahwa keputusan ini tidak hanya mempengaruhi hidupnya, tetapi juga hidup Arjuna. Apakah mereka bisa menemukan kebahagiaan bersama lagi, atau apakah mereka hanya akan menyakiti satu sama lain lebih dalam?
Pada akhirnya, Ayu berkata dengan suara bergetar, “Aku rasa, kita perlu waktu. Waktu untuk mencari tahu apa yang benar-benar kita inginkan, tanpa terburu-buru membuat keputusan. Kita sudah membuat keputusan besar dengan berpisah dulu. Sekarang, kita harus berpikir dengan kepala dingin.”
Arjuna menatapnya dengan lembut, seolah ingin memeluk Ayu, tetapi ia tahu bahwa ini bukan waktu yang tepat. “Aku mengerti, Ayu. Mungkin kita perlu memberi ruang untuk diri kita sendiri. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, tapi aku ingin memastikan kita membuat keputusan yang benar, bukan hanya berdasarkan perasaan sesaat.”
Mereka duduk diam sejenak, masing-masing merenung dengan perasaan yang campur aduk. Terkadang, pilihan terbaik adalah memberikan waktu untuk diri sendiri, memberi jarak untuk bisa melihat dengan lebih jelas. Keputusan mereka, meskipun belum pasti, akan membawa mereka pada sebuah titik perubahan yang menentukan masa depan mereka.*
Bab 7: Pertemuan yang Ditunggu
Salah satu tokoh memutuskan pulang untuk menemui kekasihnya.
Pertemuan emosional setelah sekian lama berpisah.
Dialog yang penuh air mata dan harapan.
Setiap perjalanan hidup mengajarkan kita tentang ketidakpastian dan pilihan. Setelah berbulan-bulan meraba-raba dalam kebingungan, Arjuna dan Ayu akhirnya menemukan titik temu dalam perasaan mereka. Titik temu yang selama ini mereka takutkan, tetapi juga mereka rindukan. Meskipun perpisahan mereka terasa final, kenyataan yang mereka hadapi saat ini membawa mereka pada sebuah pertemuan yang tak terelakkan. Sebuah pertemuan yang mengubah segalanya—baik untuk masa lalu maupun masa depan mereka.
Arjuna merasa bahwa setiap detik yang berlalu sejak pertemuan terakhir mereka semakin membebaninya. Ia menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan Ayu, tentang apa yang mereka alami, dan mengapa mereka akhirnya sampai pada titik perpisahan. Ketika dia kembali memikirkan hubungan mereka, ada banyak hal yang membuat hatinya berat. Terkadang, ia merasa seperti sudah cukup berjuang, namun di sisi lain, ada keinginan yang kuat untuk kembali bersamanya.
Namun, perasaan itu sangat sulit untuk dimengerti. Setiap kali ia bertemu dengan orang lain, ia merasa tidak ada yang bisa menggantikan Ayu. Meski demikian, ada rasa takut yang selalu menghantui dirinya—takut bahwa kembali bersamanya berarti mengulang kesalahan yang sama. Arjuna merasa bahwa kebebasan yang telah ia nikmati sejak berpisah dengan Ayu memberinya ketenangan, tetapi ada suatu bagian dari dirinya yang kosong, yang hanya bisa diisi oleh Ayu.
Sampai suatu hari, sebuah pesan masuk di ponselnya. Pesan yang mengubah segalanya. Ayu menghubunginya.
“Arjuna, aku rasa kita perlu bicara. Aku tidak bisa terus seperti ini.”
Arjuna hanya menatap layar ponselnya, jantungnya berdebar. Pesan itu, meskipun singkat, mengandung banyak hal yang tidak terucapkan. Ada kegelisahan yang tercermin dalam kata-kata Ayu. Ada keraguan, tetapi juga sebuah harapan. Dan Arjuna tahu, pertemuan ini adalah titik balik. Waktu yang telah berlalu memberi mereka kesempatan untuk merenung, tetapi juga menumbuhkan rindu yang mendalam. Sekarang, kesempatan itu ada di depan mata.
“Apakah aku siap menghadapi ini?” Arjuna bertanya pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan perasaan yang mulai berkecamuk dalam dada. Tetapi jawaban itu hanya datang dengan satu kata—”Aku harus siap.”
yu menatap layar ponselnya, tangan gemetar ketika ia mengetik pesan tersebut. Setiap kata terasa berat, seperti ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama terpendam. Meskipun ia tahu bahwa pertemuan ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang baru, ia juga menyadari bahwa itu bisa mengarah pada luka yang lebih dalam.
Ayu tidak bisa menahan perasaan rindu yang telah menggerogoti hatinya. Ada banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Apakah mereka bisa kembali seperti dulu? Bisakah mereka mengatasi semua masalah yang telah mengakhiri hubungan mereka sebelumnya? Namun, meskipun ada keraguan yang besar, ada juga keyakinan dalam dirinya bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Ayu merasa, sudah terlalu lama ia menahan diri. Rindu yang ia rasakan tak bisa dipendam lebih lama lagi.
Dia menyadari bahwa ini adalah momen yang menentukan. Jika ia benar-benar ingin melangkah maju—entah bersama Arjuna atau tanpa dia—maka pertemuan ini harus terjadi. Ayu tahu bahwa hidupnya tidak akan sama setelah ini, apapun hasilnya. Jika ia memilih untuk kembali bersama Arjuna, maka mereka harus menghadapi kenyataan yang lebih besar, sebuah kenyataan yang jauh lebih kompleks dari sekadar perasaan cinta. Jika mereka memilih untuk berpisah selamanya, Ayu harus bisa menerima kenyataan bahwa cinta mereka benar-benar telah berakhir, dan ia harus merelakan perasaan itu pergi.
Setelah beberapa hari berpikir, Ayu memutuskan untuk menghubungi Arjuna. Ia memikirkan dengan hati-hati apa yang akan ia katakan, dan akhirnya hanya satu kalimat yang keluar dari bibirnya: “Aku rasa kita perlu bicara.”
Namun, meskipun ia merasa bahwa itu adalah langkah yang benar, rasa takut selalu datang saat memikirkan pertemuan itu. Bagaimana jika mereka tidak bisa mengatasi perbedaan mereka? Bagaimana jika perasaan itu hilang begitu saja setelah sekian lama? Tapi Ayu tahu, jika mereka benar-benar ingin menemukan jawabannya, mereka harus berhadapan langsung. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan.
Hari itu tiba. Arjuna dan Ayu akhirnya bertemu di sebuah kafe kecil yang mereka pilih karena kenangan lama mereka yang terpatri di sana. Kafe ini selalu menjadi tempat mereka berbicara tentang segala hal—dari masa depan mereka hingga impian dan ketakutan mereka. Kafe ini, meskipun sederhana, adalah saksi bisu perjalanan mereka.
Ayu sudah tiba lebih awal. Ia duduk di meja yang terletak di pojok dekat jendela, mengamati orang-orang yang berlalu lalang di luar. Angin yang menerpa pelan jendela kafe membuat suasana semakin terasa hening. Sebuah rasa tidak sabar bercampur dengan kecemasan menyelip di hatinya. Ia merasa seperti menunggu sesuatu yang besar, sesuatu yang akan mengubah hidupnya.
Saat Arjuna memasuki kafe, matanya langsung bertemu dengan Ayu. Dalam sekejap, banyak kenangan kembali menghujam dalam pikirannya—senyum Ayu, tawa mereka, dan semua hal kecil yang mereka lakukan bersama. Namun, kali ini ada ketegangan yang tidak bisa dihindari.
Arjuna mendekat, duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh Ayu. Keduanya saling memandang sejenak dalam diam. Hening yang aneh, penuh dengan emosi yang tak terucapkan.
“Ayu,” kata Arjuna akhirnya, suara berat dan penuh makna. “Aku tahu kita berdua sudah melalui banyak hal. Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi satu hal yang pasti, aku masih mencintaimu.”
Ayu menggigit bibir bawahnya. Ia menatap Arjuna dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Aku juga masih mencintaimu, Arjuna. Tapi ada banyak hal yang perlu kita bicarakan. Aku tidak ingin kembali jika itu hanya akan berakhir seperti dulu. Aku ingin kita jujur tentang apa yang kita inginkan.”
Arjuna menundukkan kepalanya, merasa berat. Ia tahu Ayu benar. Mereka tidak bisa kembali tanpa memahami apa yang salah sebelumnya. “Aku takut, Ayu. Takut kita tidak akan pernah bisa berubah. Takut kita akan mengulang kesalahan yang sama.”
Ayu menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Aku juga takut. Takut kita terlalu banyak menanggung beban masa lalu. Tapi aku juga tahu, jika kita tidak berani mencoba, kita akan selalu hidup dalam bayangan. Jadi, kita harus jujur tentang apa yang kita rasakan sekarang. Tidak ada lagi penundaan.”
Di situlah titik kritisnya—kejujuran. Kejujuran yang sudah lama terkubur dalam rasa takut dan keraguan. Mereka tahu bahwa pertemuan ini bukan sekadar untuk meredakan rindu, tetapi juga untuk membuat keputusan besar yang akan mempengaruhi seluruh hidup mereka.
Salah satu hal yang mereka bicarakan adalah bagaimana mereka masing-masing telah berubah. Waktu yang telah berlalu memberikan mereka perspektif yang lebih luas tentang siapa mereka saat ini. Mereka tahu bahwa untuk bisa kembali bersama, mereka harus terlebih dahulu memahami siapa mereka sebenarnya—tanpa bayang-bayang masa lalu. Mereka berbicara tentang perasaan yang belum tuntas, tentang kebahagiaan yang mereka rindukan, dan juga tentang ketakutan mereka.
Seiring berjalannya waktu, percakapan mereka semakin dalam. Mereka mulai mengungkapkan hal-hal yang selama ini tersembunyi—perasaan yang selama ini mereka pendam, alasan-alasan yang menghalangi mereka untuk lebih dekat satu sama lain. Setiap kata yang keluar adalah langkah mereka menuju pemahaman. Ayu tahu bahwa meskipun pertemuan ini penuh dengan ketegangan, ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.
“Aku ingin kita memberi kesempatan pada diri kita sendiri, Arjuna,” kata Ayu akhirnya. “Tapi kita harus melakukannya dengan hati yang terbuka. Kita harus bisa menerima kesalahan kita dan belajar dari mereka.”
Saat Arjuna dan Ayu bertemu di kafe kecil yang penuh kenangan itu, suasana terasa sangat berbeda dibandingkan sebelumnya. Dulu, tempat ini selalu menjadi saksi kebersamaan mereka, tempat di mana mereka saling tertawa, berbicara tentang impian, dan berbagi segalanya tanpa takut akan konsekuensi. Namun hari ini, semuanya terasa tegang. Ketegangan yang tak terucapkan menggantung di antara mereka, seolah-olah ada sesuatu yang harus dibicarakan tetapi keduanya belum siap untuk mengungkapkan sepenuhnya.
Ayu menatap Arjuna dengan hati yang berdebar. Ia tahu bahwa ini adalah saat yang sangat penting—bukan hanya bagi hubungan mereka, tetapi juga bagi masa depan mereka masing-masing. Meskipun rasa rindu itu mengalir deras dalam dirinya, ia merasa kesulitan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Ada begitu banyak perasaan yang tersimpan dalam hatinya, dan ia tidak tahu harus memulainya dari mana.
Arjuna merasakan hal yang sama. Ia tahu betul bahwa pertemuan ini bisa menjadi momen yang menentukan—baik untuk hubungan mereka, atau mungkin untuk menutup bab tersebut selamanya. Tangan Arjuna gemetar sedikit saat ia duduk di hadapan Ayu. Ia ingin mengungkapkan betapa dalam perasaan cintanya, namun ia juga takut jika kata-katanya hanya akan memperburuk keadaan. Mereka telah berpisah lama, dan terlalu banyak hal yang telah berubah sejak itu.
“Ayu,” kata Arjuna akhirnya, memecah kesunyian yang menggelisahkan. “Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku tahu kita sudah lama tidak bertemu, dan mungkin banyak yang telah berubah. Tapi aku masih merasa ada sesuatu yang kuat di antara kita.”
Ayu terdiam sejenak, meresapi kata-kata Arjuna. “Aku juga merasakannya, Arjuna,” jawabnya perlahan. “Rindu itu tidak pernah benar-benar hilang. Tetapi, aku juga tahu bahwa kita tidak bisa kembali ke masa lalu begitu saja. Ada banyak hal yang belum selesai, banyak luka yang belum sembuh.”
Arjuna mengangguk, matanya terfokus pada tangan Ayu yang terlipat di atas meja. “Aku tahu, Ayu. Aku juga tidak bisa melupakan apa yang telah terjadi. Banyak hal yang mengganggu pikiranku. Tapi aku merasa kita harus membicarakan ini. Kita harus jujur pada diri kita sendiri, dan juga satu sama lain.”
Suasana di kafe semakin terasa penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Mereka berdua tahu bahwa apa yang akan mereka bicarakan hari ini bukanlah percakapan biasa. Ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk merangkai kembali hubungan yang pernah hancur, atau memilih untuk melanjutkan hidup masing-masing tanpa melihat ke belakang.
“Aku takut, Arjuna,” kata Ayu, suaranya terdengar lirih. “Takut jika kita hanya akan mengulang kesalahan yang sama. Takut kita hanya akan jatuh dalam lingkaran yang sama lagi.”
Arjuna menatap Ayu dengan hati yang berat. Ia mengerti ketakutan itu. Mereka berdua sudah melalui begitu banyak rintangan. Ketika mereka pertama kali jatuh cinta, semua terasa mudah. Namun, seiring berjalannya waktu, kesulitan muncul—perbedaan, jarak, dan ego masing-masing. Mereka bertahan selama mungkin, tetapi pada akhirnya, hubungan itu terputus juga.
“Aku juga takut, Ayu,” ujar Arjuna. “Aku takut jika kita kembali bersama, kita akan kehilangan diri kita masing-masing. Kita sudah berubah. Banyak hal yang sudah berbeda. Dan aku tidak ingin kita jatuh ke dalam jebakan yang sama lagi.”
Ayu mengangguk, meskipun hatinya terasa sakit. Ia tahu bahwa perasaan mereka satu sama lain masih sangat kuat, tetapi ia juga menyadari bahwa mereka tidak bisa kembali ke keadaan sebelumnya. Mereka harus berubah, dan hubungan ini harus dibangun kembali dari awal, dengan pemahaman yang lebih dalam dan lebih matang.
“Aku ingin mencoba, Arjuna,” kata Ayu akhirnya, matanya menatap dalam ke arah Arjuna. “Aku ingin mencoba membangun kembali apa yang telah hilang. Tapi aku juga ingin kita melakukan ini dengan cara yang berbeda. Tidak seperti dulu.”
Arjuna terdiam, mencoba mencerna kata-kata Ayu. Ia merasa terharu mendengarnya. Ia tahu ini bukanlah keputusan yang mudah bagi Ayu, dan itu membuat hatinya semakin berat. Tetapi, ada satu hal yang pasti—ia tidak ingin kehilangan Ayu untuk selamanya.
“Aku juga ingin itu, Ayu. Aku ingin kita mencoba, tapi aku ingin melakukannya dengan cara yang benar,” jawab Arjuna dengan penuh keyakinan. “Kita tidak bisa melupakan masa lalu, tapi kita bisa belajar darinya. Kita bisa membangun sesuatu yang lebih baik, jika kita berani menghadapi ketakutan kita.”
Sementara mereka berbicara tentang perasaan mereka, ada sesuatu yang lebih besar sedang berperang dalam diri masing-masing. Arjuna merasa terombang-ambing antara keinginan untuk kembali bersama Ayu dan rasa takut akan kegagalan. Di satu sisi, ia merindukan kebersamaan mereka, kenangan manis yang mereka bagi, dan perasaan cinta yang tulus. Namun, di sisi lain, ia merasa bahwa ia telah tumbuh dan berubah sebagai individu, dan ia tidak ingin kehilangan kebebasannya lagi. Kebebasan yang ia rasakan setelah perpisahan mereka memberinya ruang untuk menjadi lebih kuat, lebih mandiri, dan lebih memahami dirinya sendiri.
Ayu, di sisi lain, juga merasa bimbang. Meskipun ia merasa perasaan cintanya tidak pernah benar-benar hilang, ia juga tahu bahwa ia telah belajar banyak selama waktu mereka berpisah. Ia belajar untuk berdiri sendiri, untuk tidak bergantung pada siapa pun untuk merasa lengkap. Tetapi, perasaan terhadap Arjuna tetap ada, dan itu membuatnya merasa bingung. Apakah mereka bisa kembali bersama tanpa mengorbankan siapa diri mereka sekarang? Ataukah mereka hanya akan terjebak dalam pola lama yang merusak?
Keduanya merasa seolah-olah mereka sedang berdiri di tepi jurang, siap untuk melompat, tetapi tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Mereka tahu bahwa keputusan ini tidak hanya akan mempengaruhi hubungan mereka, tetapi juga kehidupan mereka masing-masing. Apa yang mereka pilih sekarang akan menentukan apakah mereka akan melangkah ke depan bersama atau terpisah selamanya.
Setelah beberapa saat terdiam, Ayu akhirnya berbicara dengan suara pelan, tetapi penuh ketegasan. “Arjuna, aku ingin kita memberikan kesempatan pada diri kita sendiri. Aku tidak bisa menjanjikan bahwa semuanya akan mudah, atau bahwa kita akan kembali seperti dulu. Tapi aku ingin kita mencoba untuk membangun sesuatu yang lebih kuat, lebih dewasa. Aku ingin kita belajar dari masa lalu kita, dan mulai lagi dari awal.”
Arjuna menatap Ayu, matanya penuh dengan perasaan campur aduk. “Aku setuju, Ayu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi aku siap mencoba. Jika kita memang ingin kembali bersama, kita harus melakukannya dengan cara yang benar. Kita harus saling mendukung, bukan hanya saling mencintai, tetapi juga saling memahami dan memberi ruang untuk tumbuh.”
Ayu tersenyum lembut mendengar kata-kata Arjuna. Meskipun masih ada banyak ketakutan dan keraguan di dalam hati mereka, keduanya merasa lebih ringan. Mungkin ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih baik. Mereka sadar bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi jika mereka berkomitmen untuk berubah bersama, mungkin saja ada peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih cerah.
Setelah beberapa saat, Arjuna memecah keheningan lagi, “Aku senang kita bisa berbicara seperti ini, Ayu. Mungkin ini yang kita butuhkan—waktu untuk benar-benar memahami satu sama lain.”
Ayu mengangguk setuju. “Ya, aku merasa kita telah banyak berubah. Tapi yang paling penting adalah kita berdua masih punya keinginan untuk saling memberi kesempatan.”
Mereka duduk lebih lama, saling bertukar cerita tentang kehidupan mereka masing-masing selama perpisahan ini. Mereka berbicara tentang apa yang mereka pelajari, apa yang mereka takutkan, dan apa yang mereka inginkan. Satu hal yang pasti, pertemuan ini membawa mereka pada pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri, dan tentang bagaimana mereka bisa melangkah maju—bersama atau terpisah.
Saat mereka akhirnya beranjak dari kafe itu, ada perasaan berbeda yang mengalir dalam diri mereka. Mungkin mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang mereka tahu pasti—mereka tidak lagi takut untuk menghadapi perasaan mereka. Mereka siap untuk membangun sesuatu yang baru, bukan hanya berdasarkan kenangan indah, tetapi juga dengan kesadaran akan pentingnya pertumbuhan pribadi dan mendukung.Langkah pertama telah mereka ambil. Apa yang akan terjadi selanjutnya, hanya waktu yang bisa menjawab.*
Bab 8: Kisah yang Terpisah Oleh Waktu
Keputusan besar: Apakah mereka akan bersatu atau menjalani hidup masing-masing?