Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

KISAH CINTA PERTAMA YANG ABADI

KISAH CINTA PERTAMA YANG ABADI

SAME KADE by SAME KADE
March 18, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 22 mins read
KISAH CINTA PERTAMA YANG ABADI

Daftar Isi

  • BAB 1 PERTEMUAN  YANG  TAK TERLUPAKAN
  • BAB 2  MOMEN -MOMEN  KECIL YANG  BERMAKNA
  • BAB 3  PERASAAN  YANG  TUMBUH
  • BAB 4  MOMEN  PERTAMA YANG MENGUBAH  SEGALANYA
  • BAB 5 TANTANGAN  YANG  MUNCUL
  • BAB  6  KETAKUTAN  DAN  KEPUTUSASN  BESAR
  • BAB 7  MENGHADAPI  PERPISAHAN

BAB 1 PERTEMUAN  YANG  TAK TERLUPAKAN

Hari pertama semester baru selalu dipenuhi dengan semangat dan kegembiraan. Bella berjalan melewati lorong-lorong sekolah yang ramai, mendengarkan suara tawa dan canda teman-temannya. Namun, meskipun banyak teman sekelasnya, ia merasa sedikit terasing. Ia bukanlah tipe gadis yang suka berkerumun, lebih suka menikmati ketenangan di sudut-sudut yang sepi. Keheningan sering kali menjadi pelipur lara baginya, membuatnya merasa lebih nyaman daripada berada di tengah keramaian.

Pagi itu, di perpustakaan sekolah, Bella duduk di meja favoritnya, sebuah meja kecil dekat jendela yang menghadap ke taman. Ia menikmati membaca buku-buku yang selalu membawa dirinya ke dunia lain—dunia yang jauh dari keributan. Namun, tak seperti biasanya, ada sesuatu yang berbeda pada hari itu. Sebuah suara mengganggu konsentrasi membaca Bella, suara langkah kaki yang semakin mendekat.

Tanpa mengangkat pandangannya dari buku, Bella bisa merasakan seseorang yang berdiri di dekatnya. Ia berpura-pura tidak memperhatikan, berharap orang itu segera berlalu dan memberi ruang pada keheningan yang ia rindukan. Namun, suara itu tetap bertahan, sampai akhirnya terdengar sebuah suara halus di telinganya.

“Maaf, apakah buku ini tersedia untuk dipinjam?” tanya suara itu, yang terdengar ramah dan penuh rasa ingin tahu.

Bella menoleh ke arah suara tersebut, dan untuk pertama kalinya, matanya bertemu dengan mata seorang pemuda yang sedang berdiri di depannya. Pemuda itu memiliki senyum yang hangat, dengan rambut hitam yang sedikit berantakan, serta mata cokelat yang tampak tajam dan penuh semangat. Ia mengenakan seragam sekolah dengan kemeja putih dan celana biru gelap, memancarkan aura percaya diri yang membuat Bella sedikit terkejut.

“Oh, iya, silakan,” jawab Bella, dengan sedikit teragak-agak. Ia segera menutup bukunya dan memberikannya kepada pemuda tersebut. Ia merasa sedikit canggung, karena jarang sekali berbicara dengan orang yang tidak dikenalnya, apalagi yang terlihat begitu percaya diri.

Pemuda itu tersenyum lebar, seolah tak merasa ada yang aneh dengan situasi tersebut. “Terima kasih,” katanya, sebelum melangkah menuju rak buku lain. Bella memandanginya sesaat, kemudian kembali menatap buku yang ada di tangannya, tetapi entah kenapa, kali ini ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan aneh yang muncul di dalam dadanya, seperti ada sesuatu yang menarik perhatiannya, meskipun ia tidak tahu apa itu.

Tak lama setelah itu, pemuda yang baru saja ia temui itu kembali ke meja Bella, kali ini membawa buku yang ia pinjam. Ia tersenyum lagi, tampaknya merasa nyaman berbicara dengan Bella, yang kini tampak agak terkejut dengan kemunculannya kembali.

“Buku ini sangat menarik, ya,” ujar pemuda itu. “Saya baru saja pindah ke sekolah ini, jadi masih mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.”

Bella mengangguk, sedikit terkejut mendengar pemuda itu mengaku baru pindah sekolah. “Oh, jadi kamu siswa baru?” tanya Bella dengan hati-hati, merasa sedikit canggung karena percakapan yang terjadi begitu cepat.

“Iya, saya Raka,” jawab pemuda itu, memperkenalkan diri dengan penuh percaya diri. “Senang bisa berbicara denganmu, meskipun aku tidak tahu siapa lagi yang ada di sini. Bisa aku tanya, kamu sering ke sini?”

Bella mengangguk, merasa sedikit lebih rileks saat mendengar Raka berbicara lebih banyak. “Iya, aku suka membaca di sini. Tempatnya tenang.”

Raka tersenyum, dan matanya berbinar, menunjukkan ketertarikannya. “Wah, kebetulan. Aku juga suka buku-buku seperti itu. Mungkin kita bisa berbicara lebih banyak tentang buku nanti?”

Bella hanya tersenyum kecil, merasakan ada kehangatan dalam kata-kata Raka. Ada sesuatu yang menarik dalam sikapnya yang spontan dan penuh semangat. Sesuatu yang membuatnya merasa lebih nyaman daripada yang biasanya ia rasakan ketika berinteraksi dengan orang lain.

“Yah, mungkin saja,” jawab Bella, sedikit ragu namun tetap memberi kesempatan pada percakapan itu untuk berkembang.

Mereka berbicara sedikit lebih lama, membahas berbagai hal tentang buku, sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler yang ada. Raka ternyata memiliki banyak minat yang sama dengan Bella, mulai dari sastra hingga film. Bella yang biasanya hanya menyendiri, mulai merasa nyaman berbicara dengan Raka. Ia bahkan merasa ada koneksi yang tumbuh dengan cepat, meskipun ini adalah percakapan pertama mereka.

Setelah beberapa saat, bel berbunyi, menandakan akhir dari waktu istirahat. Raka menatap Bella sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya tersenyum. “Aku harus pergi sekarang, Bella. Senang bisa bertemu denganmu. Mungkin kita bisa bertemu lagi besok di sini?”

Bella merasa sedikit kaget dengan ajakan itu, namun di dalam hati, ia merasa senang. “Iya, mungkin saja,” jawabnya, mencoba menyembunyikan perasaan canggung yang muncul.

Raka tersenyum lebar, dan sebelum pergi, ia memberikan kata-kata yang tak terlupakan. “Jangan khawatir, Bella. Kita akan bertemu lagi.”

Setelah Raka pergi, Bella duduk beberapa saat, merenung. Ada perasaan hangat yang mengalir di dalam dadanya, perasaan yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda setelah bertemu dengan Raka. Meskipun hanya pertemuan singkat, itu terasa seperti sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya. Bella tahu, meskipun ia tidak bisa menjelaskan dengan jelas mengapa, pertemuan ini akan selalu menjadi kenangan yang tak terlupakan.

Saat itu, Bella tidak tahu bahwa pertemuan itu akan menjadi awal dari kisah cinta pertama yang akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, ada perasaan di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini adalah sebuah awal yang indah. Sebuah kisah cinta yang baru saja dimulai, meskipun keduanya belum menyadarinya sepenuhnya.*

BAB 2  MOMEN -MOMEN  KECIL YANG  BERMAKNA

Hari-hari berlalu, dan Bella merasa dirinya semakin dekat dengan Raka. Meskipun mereka belum secara resmi berstatus sebagai pasangan, namun ada sesuatu yang berbeda dalam setiap pertemuan mereka. Setiap detik yang dihabiskan bersama Raka terasa berharga, seolah-olah waktu berhenti ketika mereka saling berbicara, tertawa, atau bahkan hanya saling diam.

Di suatu pagi yang cerah, saat bel tanda masuk sekolah baru saja berbunyi, Bella berjalan menuju kelas dengan pikiran yang melayang. Ia tidak tahu kenapa, tetapi hari itu ada perasaan berbeda yang mengisi dadanya. Semua dimulai ketika Raka menepuk pelan pundaknya dari belakang, sebuah tindakan kecil yang membuat hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya.

“Pagi, Bella,” sapa Raka dengan senyuman yang membuat Bella sulit menahan diri untuk tidak membalas dengan senyuman yang sama. Senyuman Raka selalu punya cara untuk membuat dunia terasa lebih ringan.

“Pagi, Raka,” jawab Bella, sedikit canggung. Meskipun mereka sudah sering bertemu, ada sensasi baru yang terasa setiap kali berinteraksi dengannya. Bella merasa sesuatu yang lebih, lebih dari sekadar pertemanan biasa.

Sejak pertemuan pertama mereka, Bella merasa ada ikatan khusus yang mulai terjalin di antara mereka. Raka bukan hanya teman biasa. Dia adalah seseorang yang bisa membuat hati Bella berdebar setiap kali bertemu. Dan semakin hari, Bella semakin menyadari bahwa perasaan ini semakin kuat.

Di hari lain, Raka mengajak Bella untuk makan siang bersama di kantin. Meskipun mereka duduk di meja yang sama dengan beberapa teman lainnya, Bella merasa dunia mereka berdua menjadi lebih kecil, lebih intim. Raka berbicara tentang banyak hal, mulai dari hobi-hobi anehnya hingga film-film favoritnya. Bella mendengarkan dengan penuh perhatian, namun matanya tak bisa lepas dari senyum Raka yang selalu membuatnya tersipu.

Suatu ketika, Bella lupa membawa bekal makan siangnya. Ketika Raka melihatnya yang duduk sendirian di meja, dia mendekat dengan membawa sebotol jus dan sandwich.

“Ini, buat kamu,” kata Raka sambil tersenyum lebar.

Bella merasa tersentuh, tidak hanya oleh tindakan kecil Raka, tetapi juga oleh perhatian yang diberikan. “Terima kasih, Raka. Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan.”

Momen itu mungkin terlihat sepele bagi orang lain, tetapi bagi Bella, itu adalah salah satu kenangan manis yang sulit untuk dilupakan. Sebuah tindakan kecil, namun penuh makna, yang menunjukkan bahwa Raka tidak hanya memperhatikan dirinya, tetapi juga peduli terhadap hal-hal yang mungkin tampak tidak penting. Rasanya seperti Raka bisa membaca isi hatinya tanpa perlu dia ungkapkan.

Seiring berjalannya waktu, mereka semakin sering berbicara. Raka mulai mengajak Bella untuk berjalan pulang bersama setelah sekolah, menikmati jalan-jalan sore yang tenang sambil berbicara tentang segala hal. Mereka berbicara tentang buku yang mereka baca, film yang mereka tonton, dan bahkan impian masa depan yang terkadang terasa jauh dan tak terjangkau. Tetapi bersama Raka, segala hal terasa mungkin.

Suatu sore, mereka duduk di bangku taman dekat sekolah. Raka membawa gitar dan mulai memainkan beberapa lagu akustik dengan lembut. Bella duduk di sampingnya, mendengarkan dengan saksama. Suara gitar Raka mengalun lembut, dan Bella merasa seperti berada di dunia mereka sendiri. Ada kedamaian yang mengisi hati Bella, seolah semua keraguan dan kecemasan tentang kehidupan menghilang sejenak.

“Bagaimana rasanya, Bella, kalau kita bisa selalu berada di sini, tanpa ada yang mengganggu kita?” tanya Raka, matanya tak lepas dari gitar yang sedang dia petik.

Bella terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. Dia merasa seolah Raka baru saja mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. “Itu… rasanya indah,” jawab Bella pelan. “Kadang aku merasa seperti dunia ini terlalu sibuk, dan momen seperti ini membuatku merasa lebih tenang.”

Raka tersenyum dan mengangguk. “Aku juga merasa begitu, Bella. Kadang kita terlalu terburu-buru mengejar sesuatu, sampai lupa menikmati momen kecil yang berharga.”

Kata-kata Raka menumbuhkan perasaan yang dalam dalam hati Bella. Terkadang, momen kecil yang sederhana—seperti duduk bersama, berbicara tentang kehidupan, dan menikmati keheningan—adalah hal yang paling berarti. Dan bersama Raka, Bella mulai menyadari bahwa cinta pertama tidak selalu harus berwujud grand gestures atau momen-momen besar. Terkadang, hal yang paling berharga dalam hubungan adalah momen-momen kecil yang kita jalani bersama orang yang kita cintai.

Suatu hari setelah sekolah, Raka mengajak Bella untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota. Kafe itu tidak begitu ramai, dengan suasana yang nyaman dan tenang. Mereka duduk berhadapan di meja kecil, menikmati secangkir kopi panas. Bella memandangi Raka, merasakan ketenangan yang jarang ia temui sebelumnya.

“Bella, kamu tahu nggak,” kata Raka tiba-tiba, “Aku sering berpikir, kalau aku bisa mengulang waktu, aku ingin mengenal kamu lebih cepat. Aku merasa banyak hal yang aku lewatkan, dan aku menyesal tidak bertemu kamu lebih awal.”

Bella terdiam mendengarnya, sedikit terkejut dengan pengakuan itu. Ia merasa hatinya berdebar kencang, meskipun hanya sebuah kalimat sederhana yang keluar dari mulut Raka. “Aku juga merasa begitu,” jawab Bella, suaranya bergetar. “Sepertinya setiap pertemuan kita adalah bagian dari takdir, dan aku senang bisa mengenalmu sekarang.”

Momen-momen kecil ini, meskipun terlihat sederhana, sebenarnya telah mengikat mereka lebih erat. Percakapan-percakapan tentang hal-hal yang ringan, berbagi tawa, bahkan saling berbagi kenangan dan mimpi, semua itu menjadi bagian dari perjalanan cinta pertama mereka. Setiap detik bersama Raka terasa istimewa, dan Bella tahu, meskipun dunia di luar sana terus berputar dengan cepat, momen-momen kecil inilah yang akan selalu ia kenang.

Dalam setiap momen kecil, Bella mulai menyadari bahwa cinta pertama bukan hanya tentang perasaan berdebar-debar ketika melihat orang yang kita sukai. Cinta pertama adalah tentang menikmati kebersamaan, tentang berbagi waktu dan perasaan dengan seseorang yang membuat kita merasa nyaman dan berarti. Momen-momen kecil ini adalah fondasi yang akan membangun cinta mereka menjadi lebih kuat, lebih dalam, dan lebih abadi.

Dengan Raka, Bella belajar bahwa kebahagiaan sejati tak hanya datang dari hal-hal besar, tetapi juga dari perhatian kecil yang kita berikan kepada orang yang kita cintai. Dan meskipun mereka belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan, mereka tahu bahwa setiap momen yang mereka jalani bersama adalah kenangan yang tak akan pernah pudar dari hati mereka.*

BAB 3  PERASAAN  YANG  TUMBUH

Hari-hari semakin terasa berbeda sejak pertama kali Bella dan Raka bertemu. Semua mulai terasa lebih cerah, seperti ada sesuatu yang baru mengisi ruang dalam hidup Bella—sesuatu yang datang begitu perlahan namun tak bisa diabaikan. Perasaan itu mulai tumbuh, perlahan namun pasti. Setiap kali mereka berbicara, entah itu melalui pesan singkat atau saat bertemu di sekolah, hati Bella terasa lebih ringan, penuh kegembiraan yang sulit dijelaskan. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada juga kegelisahan yang menggerogoti pikirannya.

Bella sering kali bertanya pada dirinya sendiri, apakah ini hanya perasaan biasa yang muncul karena dekat dengan seseorang yang menyenangkan? Atau apakah ini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar rasa suka biasa? Perasaan itu begitu kuat, hingga setiap detik bersama Raka menjadi sangat berharga. Bella bahkan mulai memperhatikan setiap hal kecil tentang Raka—cara dia tersenyum, suara tawanya yang membuat hati Bella berdebar, bahkan cara dia memperhatikan orang di sekitarnya dengan penuh rasa hormat.

Setiap pagi, Bella merasa semangat untuk datang ke sekolah hanya untuk bisa bertemu Raka, meskipun mereka tidak selalu berbicara banyak. Keberadaannya saja sudah cukup membuat Bella merasa tenang. Namun, saat-saat seperti itu juga membuatnya semakin bingung. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapinya, apakah perasaan ini hanya sesaat atau akan bertahan lebih lama.

Suatu sore, saat mereka berdua sedang duduk di bangku taman sekolah setelah pelajaran berakhir, Bella merasakan adanya kedekatan yang semakin dalam di antara mereka. Raka bercerita tentang berbagai hal yang membuat Bella tertarik, mulai dari film yang dia tonton, buku yang dia baca, hingga impian-impian yang ia miliki di masa depan. Bella mendengarkan dengan seksama, merasa setiap kata yang keluar dari mulut Raka terasa begitu penting. Tidak hanya karena Raka adalah orang yang pintar dan menarik, tetapi juga karena Bella merasa bahwa ia bisa berbagi banyak hal dengannya—sesuatu yang selama ini ia rasakan sulit dilakukan dengan orang lain.

“Bella,” Raka tiba-tiba menatapnya dengan tatapan yang serius namun lembut. “Aku senang bisa berbicara seperti ini denganmu. Rasanya seperti… ada koneksi yang sulit dijelaskan.”

Mendengar kata-kata itu, Bella terdiam. Hatinya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Apakah Raka juga merasakan hal yang sama? Apakah dia merasakan ikatan yang Bella rasakan? Bella tidak bisa menahan senyumnya yang merekah, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.

“Aku juga merasa begitu,” jawab Bella pelan, berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Kadang aku merasa seperti… aku bisa menjadi diri sendiri saat bersamamu. Itu jarang terjadi dengan orang lain.”

Raka tersenyum, dan untuk sesaat, dunia di sekitar mereka seolah berhenti berputar. Semua kebingungannya, semua keraguannya, terasa hilang hanya dengan senyum itu. Bella tahu, ia sudah mulai jatuh hati pada Raka, meskipun ia tidak sepenuhnya siap untuk mengakuinya. Tapi perasaan itu semakin kuat setiap harinya, dan Bella tahu bahwa itu adalah perasaan yang tak bisa diabaikan.

Setelah hari itu, mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Mereka berjalan-jalan di taman kota, mengunjungi kafe kecil yang selalu ramai, dan berbagi cerita tentang segala hal. Bella merasa begitu bahagia saat berada di dekat Raka, dan setiap pertemuan itu semakin membuatnya yakin bahwa perasaannya bukanlah perasaan biasa. Ini lebih dari itu, lebih dari sekadar kekaguman pada seorang teman. Cinta pertama Bella tumbuh perlahan, menyusup ke dalam hatinya tanpa bisa ditahan.

Namun, meskipun perasaan itu begitu kuat, ada rasa takut yang selalu mengikutinya. Bella tidak ingin terburu-buru dalam mengartikan perasaannya, tetapi di sisi lain, ia merasa bahwa ia tidak bisa menahan perasaan itu lebih lama lagi. Bagaimana jika ini hanya perasaan sesaat? Bagaimana jika Raka tidak merasakan hal yang sama? Bella takut jika perasaan ini justru akan mengganggu persahabatan mereka yang sudah terjalin begitu baik. Ia tidak ingin merusak hubungan yang sudah ada, tapi perasaan cinta yang tumbuh begitu alami membuatnya semakin sulit untuk tidak memperhatikan Raka dengan cara yang lebih dari sekadar teman.

Suatu malam, saat Bella sedang duduk di kamarnya, menulis di jurnal pribadinya, ia merasa perlu untuk menuliskan perasaannya. Terkadang, menulis adalah cara terbaik untuk mengungkapkan apa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata langsung. Dalam jurnalnya, Bella menulis dengan hati-hati, mencoba menjelaskan perasaan yang selama ini menguasai hatinya.

*”Aku tidak tahu kapan ini mulai tumbuh, atau apakah aku benar-benar siap untuk merasakannya, tetapi aku tahu satu hal—perasaan ini begitu nyata. Raka, entah mengapa, selalu ada dalam pikiranku. Ketika aku melihatnya, aku merasa dunia ini lebih indah. Setiap tawa, setiap kata, setiap tatapan matanya, semuanya membuat aku merasa lebih hidup. Aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini lagi. Aku jatuh cinta padanya. Cinta pertama yang begitu membingungkan, namun begitu indah.”*

Setelah menulis itu, Bella merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa perasaan cinta pertama itu adalah perjalanan yang penuh keraguan dan ketakutan, tetapi juga penuh dengan kebahagiaan dan harapan. Bella mulai menyadari bahwa mungkin inilah saatnya untuk mengakui perasaan itu—baik kepada dirinya sendiri maupun kepada Raka.

Hari berikutnya, saat mereka bertemu di taman sekolah, Bella merasa lebih percaya diri. Raka tampaknya juga merasakan ada sesuatu yang berbeda di antara mereka, dan saat mereka berbicara, Bella bisa merasakan ketegangan yang manis, yang menandakan bahwa mereka berdua saling merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.

“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Raka dengan senyum hangat, matanya yang tajam menatap Bella dengan penuh arti.

Bella menatapnya dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk menghadapi kenyataan. “Aku… aku rasa aku mulai menyadari sesuatu, Raka. Sesuatu yang tidak bisa aku sembunyikan lagi.”

Raka menunggu, matanya penuh harap.

“Aku rasa aku mulai jatuh cinta padamu,” Bella akhirnya mengatakannya, suara hatinya yang terdalam keluar tanpa hambatan.

Raka terdiam sejenak, lalu senyum yang paling indah yang pernah Bella lihat muncul di wajahnya. “Aku juga merasakannya, Bella. Aku jatuh cinta padamu sejak lama.”

Perasaan Bella yang tumbuh perlahan kini menjadi kenyataan yang indah. Cinta pertama mereka telah dimulai dengan langkah penuh kebingungan, tetapi saat ini, mereka tahu bahwa mereka telah siap untuk melangkah bersama, menjalani perjalanan ini dengan hati yang penuh kasih.*

BAB 4  MOMEN  PERTAMA YANG MENGUBAH  SEGALANYA

Hari itu, langit tampak cerah dan udara terasa segar. Bella dan Raka sedang duduk di bangku taman sekolah yang mereka sebut sebagai “tempat rahasia.” Tempat itu selalu menjadi saksi bisu setiap percakapan mereka, setiap tawa kecil yang tertahan, dan setiap tatapan yang terasa lebih dalam dari sekadar sekilas pandang. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada hari itu. Sesuatu yang membuat jantung Bella berdebar lebih kencang dari biasanya, sesuatu yang tak terucapkan namun jelas terasa di antara mereka.

Raka duduk di samping Bella, mencoba tampak santai, tetapi Bella bisa melihat dari ekspresinya bahwa dia sedang berusaha menyusun kata-kata. Sudah beberapa hari terakhir, Bella merasakan ada jarak yang mulai muncul di antara mereka. Bukan jarak fisik, melainkan jarak yang lebih dalam—sebuah ketegangan yang tak terucapkan namun jelas terasa.

“Kenapa kamu diam saja?” tanya Bella, mencoba memecah keheningan yang semakin tegang. “Ada yang mengganggu pikiranmu, Raka?”

Raka menatap Bella dengan pandangan yang tidak seperti biasanya, ada ketegasan dalam matanya, tapi juga keraguan yang sulit disembunyikan. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka mulut.

“Bella, aku… aku harus memberitahumu sesuatu yang sudah lama ingin aku ucapkan,” kata Raka dengan suara pelan, hampir seperti berbisik.

Bella menatapnya, perasaannya mulai terguncang. Ini bukan kali pertama mereka berbicara serius, tetapi ada sesuatu dalam cara Raka berbicara yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

“Apa itu, Raka?” tanya Bella, suaranya hampir tidak terdengar. Ia bisa merasakan ketegangan yang semakin menebal di udara sekitar mereka.

Raka mengalihkan pandangannya ke tanah, seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Bella, aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya, tapi selama ini aku… aku sudah lama merasa ada yang lebih di antara kita. Aku merasa, setiap kali aku bersamamu, ada perasaan yang tumbuh, sesuatu yang aku tidak bisa jelaskan. Aku tahu kita sudah dekat, tapi aku harus jujur padamu. Aku… aku suka padamu, Bella. Aku lebih dari sekadar teman.”

Bella terdiam. Sejenak, dunia di sekitarnya seolah berhenti berputar. Kata-kata Raka terasa begitu mendalam, begitu tak terduga, dan begitu penuh arti. Ia merasa seperti ada ribuan kupu-kupu yang terbang dalam dadanya, jantungnya berdegup kencang, dan wajahnya memerah.

“Apa… maksudmu?” kata Bella, suaranya sedikit gemetar. Ia tidak bisa memungkiri bahwa hatinya juga berdebar hebat, namun ia takut jika ini hanyalah imajinasinya saja. Rasa takut itu muncul begitu saja, takut akan perubahan yang bisa terjadi setelah pengakuan itu.

Raka menoleh ke Bella, matanya penuh ketulusan. “Aku tahu ini mungkin membuatmu terkejut, tapi aku tidak bisa menahan perasaan ini lagi. Aku suka padamu, Bella. Aku merasa, kita punya ikatan yang lebih dari sekadar persahabatan. Aku ingin tahu apakah kamu merasakan hal yang sama.”

Bella tidak bisa menahan senyum yang mulai muncul di wajahnya. Hatinya bergetar, dan seluruh dunia seakan menghilang kecuali Raka di sampingnya. Namun, di balik rasa bahagia itu, ada juga kekhawatiran yang menggerogoti. Apa yang akan terjadi setelah ini? Bagaimana jika perasaan ini hanya sementara?

“Raka… aku juga merasakan hal yang sama,” akhirnya Bella menjawab, suaranya serak, penuh emosi yang sulit diungkapkan. “Aku sudah lama menyukaimu, tapi aku takut kalau aku salah atau jika perasaan ini hanya ada dalam pikiranku. Aku takut kalau kita berubah setelah ini.”

Raka tersenyum lebar, senyum yang menghangatkan hati Bella. “Aku juga takut, Bella. Tapi aku rasa, kalau kita saling menyukai, kita harus memberi kesempatan pada diri kita untuk mencoba. Kita tidak akan tahu jika tidak mencobanya, kan?”

Mereka saling berpandangan, dan untuk pertama kalinya, Bella merasa ada kedekatan yang lebih dalam antara mereka. Pengakuan itu bukan hanya tentang kata-kata yang diucapkan, tetapi juga tentang perasaan yang mengalir begitu tulus antara mereka. Cinta pertama mereka, meskipun baru saja dimulai, terasa seperti sesuatu yang sudah lama ada, yang hanya menunggu waktu untuk diungkapkan.

Namun, meskipun ada kebahagiaan dalam hati Bella, ia tak bisa menahan rasa cemas. “Apa yang akan terjadi setelah ini, Raka? Kita akan berubah, bukan? Aku takut kalau hubungan kita jadi berbeda, atau bahkan kita akan jadi lebih jauh setelah mengungkapkan perasaan ini.”

Raka menggenggam tangan Bella dengan lembut, seolah mencoba memberi kepercayaan diri. “Aku juga merasa seperti itu, Bella. Tapi, aku percaya bahwa kita bisa melalui semuanya bersama. Kita akan tumbuh bersama, belajar bersama, dan mungkin akan ada banyak rintangan. Tapi aku percaya, jika kita berusaha, kita bisa menjaga perasaan ini tetap hidup.”

Saat itu, Bella merasa seperti sebuah pintu besar terbuka di hadapannya. Sebuah dunia baru yang penuh dengan kemungkinan, penuh dengan ketidakpastian, tetapi juga penuh dengan harapan. Momen pertama yang mengubah segalanya—momen yang mengubah hubungan mereka dari sekadar teman menjadi sesuatu yang lebih, lebih dari sekadar perasaan biasa.

Di bawah langit yang cerah, di tempat yang mereka anggap sebagai tempat rahasia, Bella dan Raka merasakan sebuah ikatan yang lebih kuat daripada sebelumnya. Mereka tahu, jalan ke depan mungkin tidak mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa cinta pertama mereka, meskipun penuh dengan ketakutan dan keraguan, adalah sebuah perjalanan yang layak untuk dijalani bersama.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Bella, suaranya tenang namun penuh arti.

“Yang terbaik yang kita bisa lakukan adalah menikmati momen ini,” jawab Raka dengan senyum yang penuh keyakinan. “Kita akan saling mendukung, saling menjaga, dan yang paling penting, kita akan berusaha untuk selalu ada satu sama lain, meskipun dunia berubah.”

Mereka duduk bersama, memandang matahari yang perlahan tenggelam, dan Bella tahu bahwa momen ini adalah awal dari perjalanan yang penuh dengan tantangan, kebahagiaan, dan kemungkinan yang tak terbatas. Momen pertama mereka yang mengubah segalanya, yang membuat mereka berdua percaya bahwa cinta pertama bisa menjadi cinta yang abadi, selama mereka berjuang untuk itu.*

BAB 5 TANTANGAN  YANG  MUNCUL

Hubungan Bella dan Raka, yang baru tumbuh dengan indah, kini mulai dihadapkan pada tantangan-tantangan yang semakin nyata. Meskipun mereka berdua merasa saling mencintai, kenyataan bahwa hidup mereka tidak akan selalu berjalan mulus mulai menguji kekuatan cinta pertama mereka. Bella duduk di ruang tamu rumahnya, matanya menatap layar ponsel dengan cemas, menunggu pesan dari Raka. Sudah beberapa hari terakhir ini, mereka tidak banyak berbicara, hanya berkomunikasi melalui pesan singkat yang terasa semakin dingin. Tidak ada lagi percakapan hangat seperti dulu.

Pada awalnya, hubungan mereka begitu menyenangkan. Mereka saling mengenal satu sama lain, berbicara tentang impian masa depan, dan merencanakan segala hal bersama-sama. Namun, semakin lama mereka menghabiskan waktu bersama, semakin banyak perbedaan yang muncul. Raka mulai sibuk dengan kegiatannya di luar sekolah. Sebagai anak yang berbakat dalam berbagai bidang, ia mulai terlibat dalam organisasi dan kegiatan ekstrakurikuler yang membuatnya semakin jarang di rumah. Bella, di sisi lain, merasa terabaikan. Sebagai seorang gadis yang cenderung lebih pendiam dan membutuhkan perhatian lebih, ia merasa kesepian.

Hari-hari berlalu dengan Raka yang semakin sibuk. Ia jarang mengirim pesan, dan ketika menghubungi Bella, ia tampak terburu-buru, seolah tidak memiliki waktu lagi untuk berbicara lebih lama. Bella merasa seakan-akan Raka semakin menjauh darinya. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, Raka tampak lebih fokus pada teman-temannya dan kegiatan lainnya, sementara Bella hanya bisa diam, mencoba mengerti meskipun hatinya terasa terluka. Rasa cemburu pun mulai tumbuh dalam diri Bella, terutama ketika ia melihat Raka tertawa bahagia dengan teman-temannya, sementara ia sendiri hanya menjadi penonton dalam hubungan mereka yang semakin terasa dingin.

Suatu hari, Bella memutuskan untuk berbicara dengan Raka tentang perasaannya. Ia tidak ingin hubungan mereka semakin memburuk hanya karena ketidakpastian. Mereka bertemu di taman setelah sekolah, tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama untuk berbicara tentang segala hal. Bella merasa berat untuk memulai percakapan itu, namun ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan hubungan mereka.

“Raka, kita perlu bicara,” kata Bella dengan suara pelan namun tegas.

Raka menatapnya sejenak, terlihat sedikit bingung. “Ada apa, Bella? Kenapa kamu terlihat serius sekali?”

Bella menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. “Aku merasa… kita semakin jauh. Kamu sibuk dengan kegiatanmu, dan aku merasa seperti… kita hanya sekadar teman biasa. Kita jarang berbicara sekarang, dan aku merasa cemas kalau ini akan mempengaruhi hubungan kita.”

Raka terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu. “Aku tahu aku memang semakin sibuk, Bella. Tapi ini hanya sementara, aku harus fokus dengan kegiatan-kegiatanku. Kamu tahu kan, semua ini untuk masa depan kita juga?”

Bella merasa hatinya semakin berat. “Aku paham itu, Raka. Tapi aku juga merasa kehilangan. Aku rindu waktu kita bersama, rindu percakapan kita yang dulu hangat. Aku tidak tahu bagaimana kita bisa bertahan jika jarak ini semakin melebar.”

Raka menundukkan kepala, merasa bersalah. “Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Aku hanya merasa kita harus fokus pada tujuan masing-masing. Tapi… aku juga tidak ingin kehilangan kamu, Bella.”

Bella merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu, tetapi keraguan masih mengisi hatinya. “Tapi aku butuh lebih dari sekadar janji, Raka. Aku butuh kehadiranmu. Aku takut kalau kita terus seperti ini, kita akan kehilangan cinta kita.”

Percakapan itu berakhir dengan keheningan. Mereka berdua merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bella kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena bisa mengungkapkan perasaannya, tetapi di sisi lain, ia merasa semakin takut kehilangan Raka.

Beberapa hari kemudian, tantangan lain datang. Bella mendengar dari teman-temannya bahwa Raka mulai dekat dengan seorang gadis baru di sekolah mereka. Nama gadis itu adalah Mira, seorang siswa baru yang pintar dan sangat populer. Bella merasa perasaan cemburunya semakin membengkak. Ia mencoba untuk berpikir rasional, tetapi bayangan tentang Raka yang lebih tertarik pada Mira membuatnya merasa khawatir. Ia bertanya-tanya apakah Raka benar-benar masih peduli padanya, atau apakah hubungannya dengan Mira sudah lebih penting.

Bella akhirnya memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Suatu siang, ia secara tidak sengaja melihat Raka dan Mira sedang berbicara bersama di koridor sekolah. Mereka tertawa bersama, dan Raka tampak sangat nyaman dengan kehadiran Mira. Bella merasa hatinya hancur, tetapi ia berusaha tetap tenang dan tidak menunjukkan perasaannya kepada mereka.

Setelah kejadian itu, Bella merasa bingung. Ia ingin berbicara dengan Raka, tetapi rasa takut dan cemburu mulai menguasainya. Ia khawatir jika ia mengungkapkan perasaannya, Raka akan merasa tertekan. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa terus-menerus merasakan ketidakpastian ini.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Bella akhirnya memberanikan diri untuk berbicara dengan Raka. Mereka bertemu di taman sekolah, tempat yang biasa mereka gunakan untuk berbicara. Bella menatap mata Raka dengan penuh keraguan.

“Raka, ada yang perlu aku bicarakan,” kata Bella, suara gemetar.

Raka menatapnya dengan serius. “Apa yang terjadi, Bella?”

Bella menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Aku melihat kamu dan Mira tadi. Aku… aku merasa cemburu, Raka. Aku takut kamu mulai lebih dekat dengannya dan melupakan aku.”

Raka terdiam sejenak, kemudian menggenggam tangan Bella dengan lembut. “Bella, aku mengerti kenapa kamu merasa seperti itu. Tapi percayalah, Mira hanya teman sekelasku. Aku hanya sibuk karena aku ingin memberi yang terbaik untuk kita berdua. Aku tidak ingin kamu merasa seperti ini. Aku minta maaf kalau aku membuatmu merasa terabaikan.”

Air mata mulai mengalir di pipi Bella. “Aku hanya takut, Raka. Takut kalau kita semakin jauh, takut kalau aku tidak cukup baik untukmu.”

Raka memeluk Bella erat. “Bella, kamu lebih dari cukup. Aku akan berusaha lebih baik, janjiku. Kita akan melalui ini bersama, apapun yang terjadi.”

Meskipun perasaan Bella masih bercampur aduk, ia merasa sedikit lebih tenang setelah percakapan itu. Namun, ia tahu bahwa tantangan dalam hubungan mereka belum berakhir. Cinta pertama mereka memang indah, tetapi tidak jarang harus menghadapi rintangan dan ujian. Bella dan Raka harus belajar untuk saling memahami, menjaga komunikasi, dan berjuang bersama untuk mengatasi ketakutan dan keraguan yang muncul.*

BAB  6  KETAKUTAN  DAN  KEPUTUSASN  BESAR

Hari itu terasa lebih berat daripada hari-hari sebelumnya. Cuaca di luar jendela terlihat mendung, namun tidak ada hujan yang turun. Suasana hati Bella seakan mencerminkan cuaca yang suram. Ia duduk di ruang tamu rumahnya, matanya tertuju pada ponsel di tangan, namun pikirannya melayang jauh, terperangkap dalam kebingungannya sendiri. Raka, kekasihnya yang baru saja mengungkapkan perasaan mereka, telah menerima tawaran untuk melanjutkan studi di luar kota. Bella tahu betul bahwa kesempatan ini adalah langkah besar bagi masa depan Raka, namun di sisi lain, ia merasa ketakutan yang tak bisa dijelaskan.

Keputusan Raka untuk melanjutkan studi di luar kota bukanlah hal yang mudah. Sebuah peluang yang tak datang dua kali, yang membuka banyak kemungkinan untuk masa depannya. Raka berbicara tentang impian-impian besarnya, tentang karier yang ingin ia bangun, dan bagaimana ia percaya bahwa ini adalah jalannya. Bella memahami bahwa Raka harus mengambil langkah ini, dan ia mendukungnya. Namun, di dalam hatinya, ada rasa cemas yang tak kunjung surut. Apakah mereka mampu menjaga hubungan ini meskipun jarak akan memisahkan mereka? Apakah cinta pertama mereka akan bertahan atau justru terkubur oleh waktu dan kesibukan masing-masing?

Saat Raka datang menjemputnya setelah sekolah, Bella sudah memutuskan untuk berbicara tentang semua perasaannya. Mereka duduk di bangku taman yang sama di mana mereka pertama kali bertemu, tempat yang selalu mengingatkan mereka pada awal mula hubungan ini. Raka terlihat penuh semangat, meskipun ada sesuatu dalam sorot matanya yang menunjukkan kecemasan. Bella tahu, mereka berdua tengah memikirkan hal yang sama, meskipun dengan cara yang berbeda.

“Raka,” Bella memulai, suara nya terdengar agak goyah. “Aku tahu ini adalah kesempatan besar buat kamu, dan aku benar-benar bangga sama kamu. Tapi… aku juga takut, Raka. Takut jika kita… kalau kita terpisah seperti ini, aku nggak tahu apa yang akan terjadi.”

Raka menatap Bella dengan mata penuh pengertian. Ia meraih tangan Bella dan menggenggamnya dengan lembut, mencoba memberikan kenyamanan meskipun ia sendiri merasa tidak pasti. “Aku juga takut, Bella. Aku nggak ingin kita terpisah. Tapi ini adalah keputusan yang harus aku ambil untuk masa depan. Aku nggak ingin kehilanganmu, tapi aku juga tahu, ini adalah kesempatan yang sangat penting buat aku.”

Bella mengalihkan pandangannya, menatap rumput yang tertiup angin. Setiap kata Raka terasa begitu benar, dan Bella merasa sangat bangga padanya, namun kenyataan bahwa Raka akan pergi meninggalkan semuanya di sini sangat berat untuk diterima. Ia tak ingin egois, namun di dalam dirinya ada ketakutan yang semakin menguat.

“Tapi… bagaimana kalau kita berubah?” Bella mengungkapkan ketakutannya yang paling dalam. “Bagaimana kalau aku nggak cukup kuat buat bertahan di sini sementara kamu jauh di sana? Aku takut kalau kita berdua akhirnya saling melupakan.”

Raka menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum ia berbicara. “Aku mengerti rasa takutmu, Bella. Aku pun merasakannya. Tapi aku percaya, kalau kita benar-benar saling mencintai, kita bisa melewati semua ini. Kita hanya perlu memberi waktu dan ruang untuk cinta kita tumbuh, meskipun ada jarak yang memisahkan.”

Kata-kata Raka terdengar penuh keyakinan, namun Bella merasa ragu. Bagaimana bisa mereka tetap bertahan jika waktu dan jarak semakin memisahkan mereka? Hubungan mereka baru saja mulai berkembang, dan sepertinya begitu banyak hal yang bisa mengubah perasaan mereka. Bella tidak tahu apakah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapinya.

Raka, yang merasa cemas dengan ketidakpastian yang ada, mencoba meyakinkan Bella. “Aku nggak mau pergi dengan hati yang ragu, Bella. Aku ingin kamu tahu, meskipun jarak akan memisahkan kita, kamu tetap akan selalu ada di hatiku. Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk tetap menjaga hubungan kita.”

Bella menatapnya dalam-dalam. Ada ketulusan di mata Raka, dan itu membuatnya merasa sedikit tenang. Namun, rasa cemasnya tetap ada, menggerogoti hati dan pikirannya. “Apa yang harus kita lakukan, Raka? Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku ingin mendukungmu, tetapi aku takut jika kita berdua akhirnya terlupakan.”

Raka menyentuh pipi Bella dengan lembut, memberi rasa nyaman pada kekasihnya. “Kita nggak akan terlupakan, Bella. Selama kita terus berusaha untuk menjaga komunikasi, saling mendukung, kita bisa melewati ini. Kamu harus percaya pada cinta kita.”

Bella menggigit bibirnya, berjuang menahan air mata yang ingin keluar. Bagaimana bisa ia menahan perasaan rindu yang sudah pasti datang begitu deras nanti? Bagaimana jika waktu akhirnya memudar dan mengikis cinta mereka yang semula begitu kuat? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikirannya.

Setelah beberapa lama terdiam, Bella akhirnya mengambil keputusan. “Aku ingin kita berjuang, Raka. Aku ingin kita tetap bersama, meskipun ada jarak. Aku ingin percaya bahwa kita bisa menjaga cinta ini tetap hidup, meskipun kita tidak saling bertemu setiap hari.”

Raka menatap Bella dengan penuh haru, wajahnya sedikit tersenyum. “Kamu luar biasa, Bella. Aku nggak tahu bagaimana aku bisa lebih bersyukur karena punya kamu. Aku janji, aku nggak akan menyerah. Kita akan tetap berjuang.”

Dengan keputusan itu, mereka berdua tahu bahwa perjalanan cinta mereka akan sangat berbeda dari sebelumnya. Mereka harus melewati jarak yang memisahkan, dan mereka tidak tahu apa yang akan terjadi. Namun, pada saat itu, mereka membuat komitmen untuk saling mendukung dan mempercayai satu sama lain. Mereka tahu bahwa cinta pertama mereka akan terus diuji, namun mereka juga tahu bahwa jika mereka berdua saling berusaha, mereka akan mampu melewati segala rintangan yang ada.

Saat perpisahan semakin dekat, Bella dan Raka saling berpelukan erat. Ada rasa berat yang menggerogoti hati mereka, namun juga ada harapan yang besar untuk masa depan mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi mereka tahu bahwa keputusan besar yang mereka buat hari itu akan menjadi langkah pertama menuju cinta yang abadi, meskipun harus melewati banyak ujian yang tidak terduga.*

BAB 7  MENGHADAPI  PERPISAHAN

Hari itu, langit terlihat kelabu, seperti mencerminkan perasaan Bella. Setelah berbulan-bulan bersama, saat yang paling ditakuti akhirnya datang juga. Raka, kekasih yang telah memberikan kebahagiaan, canda tawa, dan kenangan indah, akan segera meninggalkan kota untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Bella berdiri di depan pintu rumahnya, menatap sosok Raka yang sedang memunggungi, mengemas koper dan ransel di depan pintu. Ada kegelisahan yang tak tertahankan di hati Bella, yang tak bisa ia ungkapkan.

Raka berbalik dan tersenyum lembut kepada Bella, namun senyumnya itu tak bisa menutupi kegelisahan di matanya. “Aku akan merindukanmu, Bella,” katanya dengan suara yang hampir pecah.

Bella merasa seperti ada yang menekan dadanya, membuatnya sesak. “Aku juga, Raka,” jawab Bella dengan suara yang tertahan, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Tapi… kita harus bertahan, kan? Walaupun kita terpisah jauh sekali.”

Raka mengangguk, namun ekspresinya tetap menunjukkan kekhawatiran. Ia tahu, meskipun perasaan mereka saling terikat, ujian terbesar dalam hubungan jarak jauh adalah tetap mempertahankan cinta meskipun ada jarak, waktu, dan kesibukan yang datang. “Aku akan selalu berusaha, Bella. Tapi… aku takut jika kita tidak bisa bertahan dengan semua ini.”

Bella menunduk, menarik napas dalam-dalam. “Aku juga takut, Raka. Takut kalau kita mulai berubah, takut kalau aku mulai merasa kesepian tanpa kehadiranmu di sini. Takut kalau cinta ini, yang sudah kita perjuangkan begitu lama, mulai memudar.”

Kata-kata itu terasa seperti beban yang sangat berat di hati Bella. Ia tak tahu bagaimana harus merespons ketakutan yang sama, yang juga ada di benak Raka. Namun, yang bisa mereka lakukan hanyalah berusaha, dan memegang satu sama lain dalam ikatan yang tidak terlihat namun sangat kuat.

Raka mendekat dan memegang tangan Bella dengan lembut. “Aku tahu ini akan sulit, Bella. Tapi aku percaya kita bisa melewati semuanya. Kita hanya perlu saling percaya, dan saling mendukung meskipun jarak memisahkan kita.”

Perasaan cemas, bingung, dan kehilangan berputar-putar di kepala Bella. Bagaimana ia bisa menghadapi kenyataan ini? Bagaimana ia bisa melanjutkan hidup tanpa Raka di sisi setiap harinya? Rasanya, dunia Bella menjadi sangat kecil tanpa kehadiran Raka. Tetapi, meskipun rasa takut itu menghantui, Bella tahu bahwa cinta pertama mereka adalah sesuatu yang sangat berarti, dan mereka berdua harus berjuang untuk itu, meskipun ujian yang datang terasa sangat besar.

Ketika Raka akhirnya meninggalkan rumah Bella dan menuju bandara, Bella merasa seluruh tubuhnya lemas. Ia menatap punggung Raka yang semakin menjauh, hati kecilnya ingin berlari mengejarnya, tetapi ia tahu ia harus merelakan. Ini adalah langkah yang harus diambil agar Raka bisa mengejar impian dan masa depannya.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bella merasa seolah-olah ada kekosongan yang tidak bisa ia isi dengan apapun. Ponselnya terasa sangat sepi tanpa pesan atau telepon dari Raka. Rasanya, seolah seluruh dunia menghilang begitu saja, meninggalkan dia sendiri dengan kenangan-kenangan indah bersama Raka.

Di malam hari, Bella mencoba tidur, tetapi matanya tak bisa terpejam. Ia terus memikirkan Raka, tentang bagaimana mereka harus menjaga cinta ini tetap hidup. Tidak ada yang bisa menghindari kenyataan bahwa hubungan jarak jauh memang penuh tantangan. Setiap hari terasa berat, dan rasa rindu itu seakan tak pernah berhenti. Bella pun merasa kesepian, meskipun tahu bahwa Raka juga merasakan hal yang sama.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan perasaan campur aduk. Bella mencoba untuk tetap sibuk dengan kegiatannya di sekolah dan bersama teman-temannya, namun setiap detik yang berlalu, hatinya selalu teringat pada Raka. Ia menunggu pesan singkat, telepon, atau bahkan sekadar foto atau video yang bisa membuatnya merasa lebih dekat dengan kekasihnya yang berada jauh di sana. Rasa rindu yang mendalam itu semakin hari semakin kuat, dan Bella semakin menyadari betapa besar perasaan cintanya terhadap Raka.

Di sisi lain, Raka juga merasakan hal yang sama. Kehidupan barunya di luar negeri tak semudah yang ia bayangkan. Di tengah kesibukannya dengan kuliah dan lingkungan baru, ia tetap merasa ada yang hilang. Setiap kali ia melihat pemandangan indah di tempat baru, ia merasa ingin berbagi itu dengan Bella, tetapi kenyataannya mereka berada ribuan kilometer jauhnya. Ia merindukan tawa Bella, cara Bella menatapnya dengan penuh perhatian, dan bagaimana Bella selalu ada saat ia membutuhkan dukungan.

Namun, meskipun perasaan rindu itu begitu kuat, mereka berdua tahu bahwa hubungan mereka harus dilalui dengan cara yang berbeda. Mereka harus saling percaya dan memberi ruang satu sama lain untuk tumbuh dan mengejar impian masing-masing, tanpa melupakan ikatan cinta yang telah terjalin. Setiap malam sebelum tidur, mereka selalu menghubungi satu sama lain, berbagi cerita tentang hari mereka, tentang tantangan yang dihadapi, dan tentang bagaimana mereka bisa saling mendukung meskipun terpisah jarak.

Meski rasa rindu tak pernah berhenti, Bella mulai belajar untuk menerima kenyataan ini. Ia mulai berusaha lebih banyak menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri, mengejar hobinya, dan menjaga hubungan dengan teman-temannya. Ia tahu, untuk menjaga hubungan dengan Raka tetap hidup, ia harus menjadi pribadi yang lebih kuat, yang bisa berdiri sendiri meski jauh dari kekasihnya.

Suatu hari, setelah beberapa minggu terpisah, Raka mengirimkan sebuah pesan kepada Bella yang mengubah segalanya: “Bella, aku tahu ini sulit, tetapi aku merasa lebih dekat denganmu setiap harinya, meskipun kita terpisah ribuan kilometer. Cinta kita tidak akan pudar, dan aku akan selalu berusaha untuk tetap ada untukmu. Kita akan melewati semua ini bersama, tidak ada yang bisa memisahkan kita.”

Mendengar kata-kata itu, Bella merasa hatinya lebih ringan. Ia tahu bahwa meskipun perpisahan itu berat, cinta mereka akan tetap kuat. Jarak hanyalah ujian, dan jika mereka bisa melewatinya, maka cinta pertama mereka akan menjadi sesuatu yang abadi, sesuatu yang tak terhancurkan oleh apapun.

Dengan keyakinan baru, Bella menatap masa depan dengan penuh harapan. Meski perjalanan ini penuh rintangan, ia tahu bahwa perpisahan ini bukanlah akhir dari kisah mereka, melainkan sebuah awal baru dari cinta yang lebih dalam dan lebih kuat. Dan dengan itu, Bella percaya bahwa suatu saat nanti, mereka akan kembali bersama, dengan cinta yang lebih matang dan abadi.***

—————–THE END——————–

Source: DELA SAYFA
Tags: #CintaPertama #UjianCinta #HubunganJarakJauh #PerpisahanMengharukan #RinduYangDalam
Previous Post

CINTA MELALUI JARAK

Next Post

RINDU YANG TAK TERUKUR

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
RINDU YANG TAK TERUKUR

RINDU YANG TAK TERUKUR

SAAT CINTA TUMBUH

SAAT CINTA TUMBUH

CINTA YANG TERTUNDA

CINTA YANG TERTUNDA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id