Daftar Isi
Bab 1: Ketika Mata Bertemu
Alisha merasa cemas setiap kali memasuki kampus yang baru. Ia baru saja pindah dari kota kecil ke kota besar untuk melanjutkan kuliah, dan meskipun ia selalu mencoba untuk bersikap percaya diri, rasa asing itu selalu membayangi. Di kota ini, semua orang tampaknya sudah memiliki dunia mereka sendiri. Setiap orang tampaknya sudah memiliki teman, kelompok, dan kehidupan sosial yang sibuk. Sementara itu, Alisha merasa seperti seorang pengamat, hanya bisa memandang dari luar tanpa bisa benar-benar terhubung dengan siapa pun.
Hari itu adalah hari biasa. Ia memutuskan untuk menghabiskan waktunya di perpustakaan, tempat yang paling nyaman baginya. Di sana, ia bisa melupakan kebingungannya dan tenggelam dalam dunia buku. Alisha mengambil tempat di meja pojok, jauh dari keramaian, dengan tumpukan buku di depannya. Ia menyandarkan kepala ke kursi, mencoba meresapi setiap kata dalam buku yang sedang dibaca.
Namun, seperti halnya kebanyakan hari-harinya di kampus, rasa cemas itu tidak bisa ia hilangkan begitu saja. Hati Alisha tetap terasa kosong, meskipun ia tahu bahwa ia berada di tempat yang seharusnya membuatnya merasa nyaman. Suasana perpustakaan yang tenang dan sepi justru membuat perasaan kesepian itu semakin jelas. Ia tahu, meskipun dikelilingi oleh ribuan buku, ia tetap merasa jauh dari segala sesuatu.
Tiba-tiba, ada suara langkah kaki yang mendekat. Alisha tidak terlalu memerhatikan, karena banyak orang yang datang dan pergi di perpustakaan. Namun, seketika itu juga, langkah kaki tersebut berhenti tepat di depan mejanya. Alisha mendongak, dan saat itulah ia melihatnya untuk pertama kali.
Pria itu berdiri di depan meja, tampaknya sedang mencari sesuatu. Ia mengenakan jaket hitam yang agak longgar dan celana jeans yang sudah sedikit pudar. Namun, apa yang benar-benar menarik perhatian Alisha adalah matanya. Pasangan mata cokelatnya yang dalam dan tajam, seolah-olah bisa menembus jauh ke dalam pikirannya. Mungkin hanya beberapa detik, tetapi bagi Alisha, rasanya seperti selamanya. Waktu seakan berhenti, dan ia merasa dunia di sekitarnya menghilang.
Mata mereka bertemu, dan untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, Alisha merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Tak ada kata-kata yang terucap, hanya sebuah tatapan singkat yang membekas begitu dalam. Lalu, seperti disadarkan dari lamunannya, Alisha menundukkan kepala dan meraih buku di depannya. Namun, ia merasa matanya masih terasa terikat pada sosok pria itu, yang mulai melangkah menjauh dengan tenang.
Alisha berusaha untuk menenangkan diri. “Itu cuma kebetulan,” pikirnya, meskipun hatinya tidak bisa begitu saja meyakinkan dirinya. Ketika ia kembali mencoba membaca bukunya, ia merasa matanya tidak bisa fokus. Ia berulang kali melirik ke arah pria itu, yang kini sudah berada di rak buku sebelah. Setiap kali ia melirik, pria itu tampaknya juga mencuri pandang ke arahnya.
Dari sudut matanya, Alisha bisa melihat pria itu sedang memindahkan beberapa buku ke rak yang lebih tinggi, dengan gerakan yang cukup lincah. Ada sesuatu yang memikat dalam caranya bergerak—begitu natural, begitu percaya diri. Itu membuat Alisha merasa sedikit kagum. Namun, ia segera mengalihkan pandangannya lagi, takut pria itu menyadari bahwa ia sedang mengamatinya.
Waktu terus berjalan, dan tak terasa Alisha sudah berada di perpustakaan hampir dua jam. Ia merasa sedikit lega karena akhirnya bisa tenggelam dalam dunia buku lagi, meskipun perasaan itu tetap mengganggunya. Sesekali, matanya kembali melirik pria yang sempat menatapnya. Namun, pria itu tidak tampak peduli, seperti hanya melanjutkan rutinitasnya di perpustakaan.
Namun, saat Alisha mulai merapikan bukunya dan bersiap untuk pergi, ia kembali melihat pria itu—tetapi kali ini, pria itu sedang berdiri di dekat pintu keluar, seolah menunggu sesuatu. Alisha melangkah ke arah pintu itu dengan langkah tergesa, ingin segera keluar dan menghindari kerumitan perasaan yang masih belum ia pahami. Tapi saat ia hampir melewati pria itu, tanpa sengaja mereka saling menatap lagi.
Bukan tatapan biasa. Kali ini, tatapan itu lebih dalam, lebih intens. Alisha merasa darahnya berdesir, dan untuk beberapa detik, dunia di sekitar mereka kembali lenyap. Hanya ada mereka berdua dalam ruangan itu. Suara detak jantung Alisha mengisi kesunyian yang tiba-tiba muncul, dan dalam hati ia merasa sangat cemas.
Namun, pria itu hanya tersenyum kecil—senyum yang tidak terlalu lebar, namun cukup untuk membuat hati Alisha berdebar lebih kencang. Lalu, dengan cepat, pria itu berbalik dan melangkah keluar dari perpustakaan tanpa berkata apa-apa.
Alisha berdiri terpaku beberapa saat, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada perasaan aneh yang mengguncang dirinya. Apakah itu hanya kebetulan? Apakah itu hanya sekedar tatapan tanpa makna? Namun, kenapa ia merasa begitu terhubung dengan pria itu, meskipun hanya untuk sesaat?
Perasaan itu tak bisa ia pungkiri. Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ada lebih dari sekadar tatapan biasa. Ada perasaan yang lebih dalam yang mulai tumbuh, meskipun Alisha berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikannya. Ia tahu bahwa perasaan seperti itu—perasaan yang datang begitu cepat dan tanpa peringatan—adalah perasaan yang bisa membuat segalanya menjadi rumit.
Dengan langkah pelan, Alisha keluar dari perpustakaan, membawa perasaan yang tak terungkapkan, dan berjalan menuju tempat parkir kampus. Tapi meskipun ia mencoba untuk melupakan perasaan itu, matanya masih terbayang oleh sosok pria itu, dengan senyumnya yang misterius dan tatapan yang terasa begitu intens.*
Bab 2: Perkenalan yang Tak Terduga
Hari itu, Alisha merasa seolah-olah seluruh dunia bergerak begitu cepat di sekitarnya, sementara ia tetap berada dalam keramaian yang tak pernah ia pahami. Setelah pertemuan tak terduga di perpustakaan beberapa hari lalu, perasaan aneh itu masih menghantui dirinya. Ia tidak bisa mengabaikan tatapan pria itu, Daffa—sebut saja begitu, karena ia akhirnya tahu namanya setelah mendengar teman sekelasnya menyebutkan namanya beberapa kali. Alisha bahkan tidak tahu mengapa ia begitu penasaran dengan seseorang yang bahkan tidak pernah berbicara dengannya.
Pagi itu, setelah kelas pertama, Alisha memutuskan untuk berjalan menuju taman kampus. Udara pagi yang segar dan sinar matahari yang menembus celah-celah dedaunan memberi rasa damai yang jarang ia rasakan di tengah kesibukan kampus yang hiruk-pikuk. Ia duduk di salah satu bangku kayu, membuka buku catatannya, tetapi pikirannya justru melayang jauh, kembali kepada pertemuan di perpustakaan.
Setiap kali ia memikirkan Daffa, hatinya berdegup kencang. Ia tidak tahu apakah itu perasaan biasa atau semacam ketertarikan yang lebih dalam, namun ia tidak bisa menepisnya. Ada perasaan aneh yang terus mengganggunya, perasaan yang seolah datang begitu tiba-tiba tanpa bisa ia kontrol. Sebagai seorang yang lebih sering tenggelam dalam kesendirian dan dunia pribadinya, Alisha merasa sedikit canggung dengan perasaan yang baru pertama kali ia rasakan ini.
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Alisha menoleh, dan detik itu juga, matanya langsung bertemu dengan sepasang mata cokelat yang tidak asing baginya. Daffa. Ia berdiri di sana, dengan senyum yang tampaknya tulus, sambil memegang sebotol air mineral.
“Eh, Alisha, kan?” tanya Daffa, suaranya terdengar santai dan penuh perhatian, seperti sudah lama mereka saling mengenal.
Alisha merasa sedikit terkejut, namun segera tersenyum. “Iya, Daffa, kan?” jawabnya, mencoba untuk terdengar tidak gugup.
Daffa mengangguk sambil duduk di bangku sebelah Alisha. “Aku baru saja selesai kelas juga, jadi… kayaknya enak duduk-duduk di sini sebentar, ya?”
Alisha hanya mengangguk, meskipun pikirannya sedang bingung. Bagaimana bisa Daffa yang selama ini hanya ia lihat dari jauh, tiba-tiba duduk di sampingnya? Bukankah mereka baru bertemu beberapa hari yang lalu? Tatapan di perpustakaan itu, yang membuat hatinya berdebar-debar, seolah tidak pernah benar-benar terhapus.
“Gimana kuliahmu tadi pagi?” tanya Daffa membuka percakapan, memecah keheningan yang tiba-tiba muncul di antara mereka.
Alisha menarik napas pelan. “Lumayan… Tapi nggak bisa fokus. Banyak banget tugas,” jawabnya, sedikit canggung.
Daffa tertawa pelan, dan Alisha merasa sedikit lebih lega mendengar suaranya yang hangat. “Iya, tugas kuliah memang sering bikin kepala pusing,” kata Daffa sambil meletakkan botol air di sampingnya.
Mereka duduk berdua, dan dalam keheningan itu, Alisha mulai merasa sedikit lebih nyaman. Obrolan mereka berlanjut tentang kehidupan kampus, tentang tugas yang harus mereka kerjakan, dan topik-topik ringan lainnya. Alisha merasa terkejut. Biasanya, ia lebih suka diam dan menghindari percakapan ringan seperti ini, tetapi entah kenapa, dengan Daffa, ia merasa mudah berbicara. Tanpa sadar, senyumannya mulai terlihat lebih sering.
“By the way, aku lihat kamu beberapa kali di perpustakaan,” kata Daffa tanpa melihat ke arah Alisha. “Kamu sering banget baca buku.”
Alisha sedikit terkejut, tapi mencoba untuk tidak tampak canggung. “Iya, aku emang suka baca. Lebih enak di perpustakaan karena bisa fokus,” jawabnya sambil tersenyum kecil.
Daffa memandangnya dengan senyum yang tidak bisa dipahami Alisha. “Aku juga sering ke sana, cuma lebih sering cari buku yang lebih ringan. Tapi… kayaknya kamu bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sana, ya?”
Alisha tertawa pelan, merasa sedikit lebih akrab dengan Daffa. “Iya, sih. Bisa-bisa aja kalau buku yang aku baca menarik. Tapi, kadang juga ngerasa capek. Pusing banget ngurusin tugas kuliah.”
Mereka berbicara lebih banyak lagi, dan seiring berjalannya waktu, Alisha merasa semakin nyaman di dekat Daffa. Dia tidak tahu apa yang membuat percakapan ini terasa begitu mudah, tetapi entah kenapa, Daffa seperti tidak membuatnya merasa canggung. Sepertinya, Daffa memiliki kemampuan untuk membuat orang merasa diterima, seolah-olah ia tidak menghakimi siapa pun.
Namun, di dalam hati Alisha, perasaan itu masih ada. Ada keraguan yang masih mengganggu pikirannya. Apakah Daffa benar-benar ingin berteman dengannya? Atau ada maksud lain yang tidak bisa ia pahami? Alisha mencoba untuk menepis keraguan itu, tetapi semakin lama ia berbicara dengan Daffa, semakin kuat perasaan itu tumbuh dalam dirinya. Ada sesuatu yang berbeda tentang Daffa—sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup, lebih terbuka, meskipun ia selalu merasa lebih nyaman dalam kesendirian.
Saat mereka berdua beranjak untuk pergi, Daffa tersenyum padanya dan berkata, “Mungkin kita bisa belajar bareng minggu depan. Kamu kan sering banget ke perpustakaan. Kalau ada waktu, aku mau ikut belajar juga, nih.”
Alisha mengangguk, mencoba tersenyum meskipun hatinya berdebar. “Tentu, kalau kamu butuh teman belajar, aku bisa bantu. Mungkin minggu depan bisa lebih santai, ya?”
Daffa tertawa pelan. “Setuju. Kita lihat saja nanti.”
Alisha melihat Daffa berjalan menjauh, dan dalam sekejap, hatinya kembali berdebar kencang. Apa yang baru saja terjadi? pikirnya. Apa benar Daffa menganggapnya hanya teman biasa, atau ada sesuatu yang lebih? Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih dalam, ia sudah kehilangan jejak Daffa, yang sudah melangkah jauh di depan.
Namun, satu hal yang pasti—setelah percakapan singkat itu, Alisha merasa dunia seakan berputar sedikit lebih cepat. Ia merasa bahwa perkenalan mereka, yang awalnya tak terduga, akan membawa banyak hal yang tidak bisa ia prediksi. Entah itu hanya sebuah persahabatan yang sederhana atau sesuatu yang lebih dalam, Alisha merasa dirinya tidak bisa mengabaikan perasaan yang perlahan-lahan tumbuh di dalam hatinya.*
Bab 3: Kenangan yang Mulai Tumbuh
Alisha mulai terbiasa dengan perasaan yang menggelayuti hatinya setiap kali bertemu dengan Daffa. Setiap pertemuan, meski singkat, terasa seperti petualangan kecil yang membawa kenyamanan dan keraguan sekaligus. Sejak perkenalan mereka yang tak terduga beberapa minggu lalu, Alisha tidak bisa lagi mengabaikan perasaan yang semakin tumbuh. Namun, meskipun hatinya mulai berbunga-bunga, ia tetap berusaha untuk menjaga jarak, takut terjebak dalam harapan yang terlalu tinggi.
Minggu demi minggu berlalu, dan kedekatan mereka semakin terjalin. Alisha dan Daffa sering menghabiskan waktu bersama—baik itu di perpustakaan, di kafe kampus, atau sekadar berjalan bersama selepas kuliah. Meskipun hubungan mereka belum jelas, Alisha merasa semakin nyaman berada di dekat Daffa. Percakapan mereka yang selalu mengalir dengan mudah, tawa ringan yang sering terdengar, dan senyum Daffa yang selalu berhasil membuat hati Alisha berdebar, semuanya mulai membentuk kenangan-kenangan kecil yang tak terhapuskan.
Suatu sore yang cerah, setelah kelas selesai, Daffa mengajak Alisha untuk berjalan-jalan di taman kampus. Mereka duduk di bangku favorit mereka yang terletak di bawah pohon rindang, tempat yang sering mereka kunjungi setelah belajar. Matahari yang hampir terbenam memberikan cahaya keemasan, dan suasana di sekitar mereka begitu tenang. Semua orang tampak sibuk dengan dunia mereka sendiri, namun Alisha dan Daffa merasa seolah mereka berdua saja yang ada di dunia ini.
“Alisha, kamu pernah berpikir nggak sih, tentang masa depan?” tanya Daffa, sambil menatap langit yang perlahan berubah warna.
Alisha terdiam sejenak, mencerna pertanyaan itu. Ia tidak pernah benar-benar memikirkan masa depan secara serius. Semua yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah kehidupannya di kampus, tugas kuliah, dan rutinitas yang padat. Namun, entah mengapa, mendengar pertanyaan itu membuat hatinya sedikit terbawa jauh.
“Masa depan?” Alisha mengulangi kata itu perlahan, mencoba merangkai jawabannya. “Aku sih nggak terlalu tahu. Kadang-kadang aku cuma fokus sama apa yang ada di depan mata aja, kayak tugas kuliah dan temen-temen.”
Daffa tersenyum mendengar jawaban itu. “Aku sih selalu penasaran tentang masa depan, tentang apa yang akan terjadi nanti. Rasanya seperti, kalau aku nggak mikirin itu sekarang, semuanya akan terasa sia-sia.”
Alisha memandangi Daffa dengan rasa ingin tahu. Ada sesuatu dalam cara Daffa berbicara yang membuatnya merasa lebih terhubung. “Jadi, kamu udah tahu apa yang mau kamu capai di masa depan?” tanya Alisha, penasaran.
Daffa mengangguk pelan. “Aku sih nggak tahu sepenuhnya. Tapi, aku yakin aku mau terus mengejar apa yang aku suka. Nggak mau menyesal nanti kalau nggak melakukan apa yang benar-benar aku inginkan.”
Mendengar Daffa berbicara dengan penuh keyakinan tentang masa depannya membuat Alisha merasa sedikit terinspirasi. Ia merasa, meskipun belum tahu dengan pasti apa yang ingin ia capai, mungkin ini saatnya untuk lebih memikirkan tentang dirinya sendiri. Sebelum ia sempat meresapi pikiran itu lebih jauh, Daffa kembali bertanya.
“Eh, tapi kamu sendiri gimana? Ada nggak sesuatu yang kamu ingin capai?” tanya Daffa dengan wajah serius, namun senyum tipis di ujung bibirnya.
Alisha menunduk, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Aku… nggak tahu. Rasanya aku terlalu sibuk dengan hal-hal yang terjadi sekarang. Mungkin suatu saat aku akan tahu apa yang ingin aku capai. Tapi… untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati momen-momen kecil seperti ini.”
Daffa tersenyum lagi, senyum yang terasa hangat. “Iya, kadang kita perlu menikmati saat-saat seperti ini. Tapi siapa tahu, kenangan seperti ini bisa jadi bagian dari masa depan yang kita capai nanti.”
Kalimat Daffa terasa dalam dan penuh makna. Alisha tidak tahu mengapa, tapi mendengarnya membuat hatinya berdebar lebih cepat. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang mengingatkannya pada hal-hal yang selama ini ia lupakan—betapa pentingnya menghargai setiap momen, setiap pertemuan, setiap senyum yang terukir dalam perjalanan hidup.
Sejak saat itu, kenangan kecil bersama Daffa mulai tumbuh dan menyelubungi Alisha seperti bunga yang mekar perlahan. Setiap kali mereka berbicara, ada perasaan yang semakin dalam yang mulai ia rasakan. Percakapan tentang kuliah, tentang hidup, tentang masa depan, semuanya terasa begitu berarti. Tawa mereka yang mengalir begitu alami, tatapan Daffa yang selalu penuh perhatian, bahkan keheningan yang terjalin di antara mereka—semua itu mulai membentuk kenangan-kenangan yang indah, kenangan yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.
Suatu malam, ketika mereka selesai mengerjakan tugas bersama di perpustakaan, Daffa mengajak Alisha untuk makan malam di sebuah kedai kecil yang tidak jauh dari kampus. Alisha, yang biasanya lebih suka pulang langsung ke kost setelah berjam-jam di perpustakaan, merasa senang dengan ajakan itu. Mereka duduk di meja kecil dekat jendela, dengan pemandangan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di luar.
“Seru ya, bisa belajar bareng dan ngobrol kayak gini,” kata Daffa sambil menyantap makanannya.
Alisha tersenyum. “Iya, aku juga senang. Rasanya lebih ringan kalau ada teman yang bisa diajak bicara tentang tugas.”
Daffa menatapnya dengan tatapan serius, yang membuat jantung Alisha berdebar. “Aku juga senang bisa ngobrol sama kamu. Kayaknya kita banyak punya kesamaan, ya?”
Alisha terdiam sejenak, merasa sedikit gugup. “Kita… iya, mungkin memang banyak kesamaan. Tapi, kadang aku merasa aku nggak tahu banyak hal, Daffa. Aku masih banyak belajar tentang kehidupan, tentang diri sendiri…”
Daffa tersenyum lembut, meletakkan garpu di piringnya dan menatap Alisha. “Aku juga. Kita semua masih dalam perjalanan, kan? Belajar dari setiap pengalaman dan pertemuan.”
Kalimat itu terdengar begitu sederhana, namun Alisha merasakannya begitu dalam. Di tengah malam yang tenang itu, dengan suasana yang begitu akrab, ia merasa bahwa kenangan bersama Daffa mulai membentuk sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan. Ada perasaan yang tumbuh begitu alami, meskipun ia masih merasa ragu apakah perasaan itu bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar.
Namun, meskipun ada keraguan, satu hal yang pasti: kenangan itu mulai menyelimuti hatinya dengan cara yang indah. Setiap senyum Daffa, setiap percakapan mereka, setiap momen yang mereka bagi, perlahan mulai menjadi bagian dari hidupnya. Kenangan itu tidak bisa lagi ia hindari, dan semakin hari, ia merasa semakin kuat untuk menerima kenyataan bahwa mungkin, hanya mungkin, ia mulai jatuh cinta.
Alisha menatap Daffa dengan mata yang penuh makna. Mungkin, kenangan yang mulai tumbuh ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Sesuatu yang belum bisa ia mengerti sepenuhnya, tetapi sesuatu yang ingin ia rasakan lebih dalam lagi.*
Bab 4: Ketika Perasaan Itu Muncul
Minggu-minggu berlalu, dan semakin hari, perasaan yang awalnya samar mulai tumbuh dengan sendirinya. Alisha tidak bisa lagi mengabaikannya. Rasa cemas yang dulu ia rasakan ketika berada di dekat Daffa kini berubah menjadi sesuatu yang lebih mendalam. Perasaan itu tak terjelaskan, tapi kuat, seperti benih yang perlahan menembus tanah dan mulai menyebar akarnya di dalam hati Alisha.
Setiap kali mereka bersama, entah itu saat belajar di perpustakaan, ngobrol santai di kafe kampus, atau sekadar berjalan bersama setelah kuliah, ada sesuatu yang berbeda. Ada kebersamaan yang semakin erat, ada tawa yang terasa lebih berarti, dan ada tatapan yang lebih intens yang terkadang membuat Alisha lupa untuk bernapas. Daffa tampaknya tidak menyadari dampak dari setiap perkataan dan tindakannya, namun bagi Alisha, semuanya terasa lebih dari sekadar kebetulan.
Hari itu, setelah kuliah yang panjang, Alisha merasa sedikit lelah. Udara panas di luar membuatnya malas bergerak, dan ia memutuskan untuk singgah di taman kampus sejenak, mencari ketenangan. Begitu duduk di bangku favorit mereka yang terletak di bawah pohon besar, Alisha menarik napas panjang, menikmati udara sore yang segar. Namun, perasaan yang mengganggunya selama ini muncul kembali. Ia berpikir tentang Daffa, tentang kebersamaan mereka yang semakin intens. Tentang cara Daffa selalu membuatnya merasa dilihat, dihargai, bahkan saat mereka hanya berbicara tentang hal-hal sepele.
Tiba-tiba, langkah kaki yang tidak asing terdengar mendekat. Alisha menoleh dan melihat Daffa, yang baru saja keluar dari gedung kuliah. Pria itu mengenakan jaket hitam dan celana jeans yang sudah agak pudar, gaya yang sederhana namun tampak begitu menarik bagi Alisha. Senyum tipis muncul di wajah Daffa ketika melihat Alisha di bangku taman.
“Kamu di sini?” tanya Daffa sambil melangkah menuju bangku yang kosong di samping Alisha.
“Iya, cuma pengen istirahat sebentar. Kuliah hari ini padat banget,” jawab Alisha, sedikit tersenyum.
Daffa duduk di sampingnya, dengan wajah yang tampak lelah tapi tetap terlihat santai. “Aku juga, rasanya kayak otakku hampir meledak dengan semua tugas dan deadline.”
Mereka tertawa bersama, seolah semua keluhan dan stres kuliah itu hilang seketika. Alisha merasa nyaman dengan Daffa, seolah dunia mereka hanya terdiri dari dua orang saja. Tidak ada tuntutan, tidak ada tekanan—hanya mereka berdua, duduk di bawah pohon, berbicara tentang segala hal yang ringan.
Namun, setelah beberapa saat, keheningan tiba-tiba datang. Alisha menatap ke depan, melihat sekelompok mahasiswa yang sedang berkumpul di sebelah taman. Tetapi pikirannya tidak bisa lepas dari Daffa yang duduk di sampingnya. Tanpa ia sadari, ia mulai memperhatikan setiap detail tentang pria itu—senyum di bibirnya, cara ia menggerakkan tangan saat berbicara, bahkan tatapan matanya yang sering berkelip seakan ingin mengatakan sesuatu lebih dalam.
“Alisha,” suara Daffa memecah keheningan, dan Alisha menoleh dengan cepat. “Kamu pernah nggak sih merasa… bingung tentang perasaan kamu? Maksudnya, kadang kita nggak tahu apakah yang kita rasakan itu beneran atau cuma sekedar perasaan biasa?”
Alisha terdiam. Kalimat itu seperti menyentuh sesuatu yang dalam dalam dirinya, seolah-olah Daffa bisa membaca pikirannya. Ia merasa hatinya berdegup lebih cepat, dan seketika itu juga, seluruh dunia terasa berhenti sejenak. Apakah dia tahu tentang perasaanku? pikir Alisha, meskipun dia tahu itu tidak mungkin.
“Apa maksudmu?” akhirnya Alisha bertanya, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya berdebar kencang.
Daffa menatapnya dengan tatapan serius, namun tidak terburu-buru untuk menjawab. “Maksudku, kadang kita merasa nyaman dengan seseorang, tapi kita nggak tahu apakah itu cuma karena mereka teman kita, atau ada perasaan lebih dari itu. Aku merasa kadang kita lebih dari sekadar teman, tapi aku nggak tahu pasti apa itu.”
Alisha merasa seolah ada batu besar yang menghimpit dadanya. Perkataan Daffa itu terdengar begitu dekat dengan perasaannya sendiri, tapi ia tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Perasaan yang tumbuh dalam dirinya semakin membingungkan, dan kenyataan bahwa Daffa mungkin merasakannya juga membuat hatinya berdebar lebih cepat.
“Tapi, kita cuma teman, kan?” jawab Alisha, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Daffa tersenyum kecil, tetapi senyum itu terasa penuh makna. “Iya, kita teman. Tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih, Alisha. Aku nggak tahu, mungkin aku salah, tapi… aku merasa nyaman banget sama kamu, lebih dari sekadar teman.”
Alisha merasa tubuhnya kaku. Kata-kata Daffa seakan meluncur begitu mudah dari bibirnya, tanpa beban. Namun, bagi Alisha, itu seperti sebuah ledakan kecil yang mengguncang dunia kecil yang selama ini ia ciptakan. Ia tahu ada sesuatu yang berubah, dan kalimat sederhana itu membuat hatinya tak lagi bisa bersembunyi. Apa ini perasaan cinta? pikirnya. Apa benar aku mulai jatuh cinta?
“Tapi…” Alisha mencoba untuk berkata, tetapi kata-kata itu terhenti begitu saja. Ia merasa begitu cemas, begitu takut jika perasaannya salah, atau jika ini hanya perasaan sementara yang tidak akan bertahan lama.
Daffa, seolah merasakan kebingungannya, menatapnya dengan lembut. “Aku nggak mau memaksakan apa-apa, Alisha. Aku cuma pengen kamu tahu bahwa aku… merasa nyaman banget sama kamu. Dan aku nggak mau kehilangan kesempatan untuk lebih dekat.”
Alisha merasa perasaannya campur aduk. Bagaimana bisa sesuatu yang sederhana, seperti pertemuan biasa di taman, tiba-tiba berubah menjadi momen yang begitu besar? Bagaimana bisa ia begitu mudah terpengaruh oleh kata-kata Daffa, meskipun mereka belum pernah benar-benar mengungkapkan apa yang mereka rasakan? Tetapi, dalam hatinya, Alisha tahu ada satu hal yang tidak bisa ia bantah—perasaan itu tidak bisa lagi ia sembunyikan.
“Daffa…” Alisha akhirnya berkata, suaranya sedikit bergetar. “Aku juga merasa hal yang sama. Tapi aku nggak tahu harus gimana. Aku takut kalau aku terlalu cepat merasa…”
Daffa mengangguk pelan, seolah memahami kegelisahan Alisha. “Aku juga nggak ingin buru-buru, Alisha. Aku cuma ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, dan aku nggak akan kemana-mana.”
Di bawah pohon itu, dalam keheningan yang hangat, perasaan mereka saling bertaut. Alisha merasa ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Ketika perasaan itu muncul, begitu perlahan namun pasti, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Dengan satu senyum penuh pengertian, Daffa berkata, “Kita akan lihat saja nanti, ya. Kita jalanin pelan-pelan.”
Alisha mengangguk, meskipun hatinya penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Namun, di saat yang sama, ia merasa lega—seperti ada sesuatu yang melepaskan beban di pundaknya. Mungkin, inilah saatnya untuk mulai merasakan perasaan itu. Perasaan yang mulai tumbuh, yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya.*
Bab 5: Pengakuan yang Ditunggu
Hari-hari yang berlalu sejak percakapan di bawah pohon itu membawa Alisha dalam perjalanan batin yang semakin dalam. Meskipun perasaan itu sudah mulai tumbuh dengan kuat, ia masih merasa ragu dan cemas. Setiap kali bersama Daffa, ada perasaan yang tak bisa dijelaskan—perasaan yang membuat hatinya berdebar lebih cepat, tetapi juga membingungkan. Setiap senyum Daffa, setiap tatapan hangatnya, membawa rasa nyaman yang tak terukur, namun juga menambah ketakutan dalam dirinya. Apakah Daffa benar-benar merasakan hal yang sama? Apakah dia hanya menganggapnya teman? Atau, apakah ada sesuatu lebih yang berkembang tanpa Alisha sadari?
Sejak percakapan yang mereka miliki di taman kampus, Alisha merasa ada jarak yang semakin menyempit antara mereka, namun juga ada keheningan yang datang setelahnya. Daffa, dengan sikapnya yang selalu penuh perhatian, tampak tidak berubah. Namun, Alisha merasa ada sesuatu yang masih tertahan di dalam dirinya. Dia menunggu—menunggu sebuah pengakuan, sebuah penegasan dari Daffa, agar ia tahu dengan pasti apa yang sebenarnya ada di antara mereka. Namun, di sisi lain, ia juga takut untuk bertanya, takut jika pengakuan itu justru akan menghancurkan segalanya.
Hari itu, Alisha memutuskan untuk menyelesaikan tugas kuliah yang sudah menumpuk. Namun, meskipun pikirannya seharusnya fokus pada tugas, hatinya terus melayang pada Daffa. Sering kali, ketika ia membuka laptopnya, bayangan Daffa muncul begitu saja. Suara tawanya, senyumnya yang membuat suasana sekelilingnya menjadi lebih hangat—semuanya terasa begitu dekat, tetapi begitu jauh pada saat yang bersamaan.
Di tengah kekalutan itu, Alisha mendapat pesan di ponselnya. Itu dari Daffa.
Daffa: “Alisha, ada waktu nggak besok sore? Aku ingin ngobrol.”
Mata Alisha terfokus pada pesan singkat itu. Ada sesuatu dalam kata-kata Daffa yang membuat hatinya berdegup lebih cepat. Apakah ini saatnya? Apakah ini pengakuan yang ia tunggu-tunggu? Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya, tetapi ia berusaha menenangkan dirinya.
Alisha: “Besok sore? Tentu, ada apa?”
Daffa membalas dalam hitungan detik.
Daffa: “Aku cuma ingin kita bicara lebih banyak. Tentang beberapa hal.”
Alisha merasa jantungnya berdegup kencang. Apakah ini saatnya? pikirnya. Apa yang ingin Daffa bicarakan? Meski begitu, ia mencoba untuk tetap tenang. Mungkin, ini adalah kesempatan untuk mengungkapkan apa yang selama ini mengganjal dalam pikirannya.
Keesokan harinya, setelah kuliah selesai, Alisha merasa seolah-olah seluruh dunia berputar lebih lambat. Ia berjalan menuju taman kampus, tempat mereka sering bertemu, dengan hati yang tidak karuan. Semakin dekat ia menuju bangku yang biasa mereka duduki, semakin kuat perasaan gugup itu merayap. Namun, saat ia melihat Daffa yang sudah duduk di sana menunggunya, sesuatu dalam dirinya terasa lebih tenang. Daffa tersenyum ketika melihatnya, dan senyum itu seperti memberi rasa aman bagi Alisha.
“Hey, kamu datang juga,” kata Daffa, menyapanya dengan cara yang akrab.
Alisha tersenyum kembali, meskipun sedikit gugup. “Iya, aku baru selesai kuliah. Jadi, apa yang ingin kita bicarakan?”
Daffa mengangguk pelan. “Sebelumnya, aku cuma mau bilang, aku senang banget bisa dekat sama kamu, Alisha. Rasanya kita punya banyak kesamaan, dan aku merasa nyaman banget kalau bisa ngobrol sama kamu.”
Alisha menatap Daffa, merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari kata-kata itu. “Aku juga senang, Daffa. Selama ini, aku merasa kita punya banyak waktu bareng, dan setiap kali ngobrol, aku merasa semakin dekat dengan kamu.”
Daffa tersenyum, namun ada keraguan dalam tatapannya. “Aku nggak tahu bagaimana cara bilangnya, tapi akhir-akhir ini aku merasa ada yang berbeda dalam diri aku. Perasaan ini… semakin kuat, Alisha. Aku merasa lebih dari sekadar teman, dan aku nggak bisa lagi ngelihat kamu cuma sebagai teman biasa.”
Mendengar kalimat itu, Alisha merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak. Perasaan itu, yang selama ini ia rasakan dalam diam, kini terungkap dengan jelas. Semua keraguan dan ketakutan yang selama ini menghantui dirinya perlahan menghilang. Hatinya berdegup kencang, tetapi kali ini, itu adalah detakan yang penuh harapan.
“Jadi, kamu merasa hal yang sama?” tanya Alisha, suaranya hampir tak terdengar, penuh rasa ingin tahu.
Daffa mengangguk, dan matanya terlihat serius namun lembut. “Iya, Alisha. Aku merasa, kita nggak hanya sekadar teman. Aku sudah mulai merasakan hal yang lebih dari itu. Dan aku nggak bisa menunggu lebih lama untuk mengungkapkan semuanya.”
Alisha merasa sebuah kelegaan yang luar biasa. Ada perasaan yang berat di dadanya yang akhirnya terangkat. “Aku juga merasa hal yang sama, Daffa. Tapi, aku nggak tahu apakah aku siap menghadapinya. Kadang aku takut kalau ini hanya perasaan sementara, atau kalau nanti semuanya berubah.”
Daffa menggenggam tangannya dengan lembut, seolah memberi rasa aman. “Aku ngerti, Alisha. Aku juga nggak mau terburu-buru. Tapi aku nggak mau menunggu lagi untuk memberi tahu kamu betapa pentingnya kamu buat aku. Aku nggak bisa pura-pura kalau aku nggak merasakan sesuatu yang lebih.”
Alisha menatap Daffa, matanya mulai berkaca-kaca. Dia merasa ada angin segar yang menyapu keraguan dalam hatinya. Selama ini, ia takut mengungkapkan perasaannya, tetapi sekarang, di hadapan Daffa, semuanya terasa lebih ringan. “Aku takut, Daffa. Tapi aku juga merasa ini benar. Mungkin ini waktunya untuk kita coba, untuk melihat ke mana perasaan ini bisa membawa kita.”
Daffa mengangguk, senyum tulus menghiasi wajahnya. “Aku nggak akan pernah memaksa kamu, Alisha. Aku cuma ingin kita berdua bisa saling mengerti dan menemukan kebahagiaan, entah itu sebagai teman atau lebih dari itu.”
Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, saling berpandangan dengan hati yang penuh harapan. Terkadang, pengakuan itu datang pada saat yang tak terduga, dan meskipun ketakutan sempat menghantui, Alisha merasa bahwa ini adalah langkah yang tepat. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan meskipun jalan ke depan tidak selalu mulus, mereka siap menghadapi apapun yang datang, bersama-sama.
Di bawah langit sore yang semakin memerah, Alisha merasa seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua. Pengakuan yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang, dan meskipun masih ada keraguan, ia tahu bahwa inilah awal dari sesuatu yang lebih indah. Sebuah perjalanan baru yang dimulai dengan pengakuan sederhana namun penuh makna.
Dan untuk pertama kalinya, Alisha merasa bahwa cinta itu bukan lagi sesuatu yang hanya bisa ia harapkan, tetapi sesuatu yang sudah mulai tumbuh, perlahan namun pasti, dalam setiap detakan jantung mereka yang saling bersatu.*
Bab 6: Awal dari Segalanya
Hari-hari setelah pengakuan itu terasa seperti mimpi yang perlahan menjadi kenyataan. Alisha merasa seolah-olah ia memasuki dunia baru yang penuh dengan kemungkinan, dunia di mana perasaan-perasaan yang dulu ia sembunyikan kini terungkap dengan jujur. Setiap senyum Daffa, setiap tatapan penuh perhatian yang ia berikan, dan setiap kata-kata yang mengalir dengan lembut, membawa rasa nyaman yang tak bisa digambarkan. Rasanya, dunia mereka berdua semakin kecil, terfokus hanya pada mereka dan perasaan yang sedang berkembang.
Namun, meskipun semuanya terasa begitu indah, ada satu hal yang tetap menghantui pikiran Alisha: Apakah semuanya ini nyata?
Setelah pertemuan mereka di taman, mereka mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama. Setiap percakapan, bahkan yang paling sederhana sekalipun, terasa begitu berarti. Alisha merasa seperti menemukan dunia baru yang lebih hangat, lebih hidup. Ketika Daffa memegang tangannya, entah mengapa, dunia seakan berhenti sejenak, dan ia merasa segala ketakutannya meluruh begitu saja. Namun, rasa cemas itu masih ada, tak bisa sepenuhnya hilang. Apakah Daffa benar-benar merasa hal yang sama? Apakah ini cinta yang sejati, atau hanya sebuah rasa yang sementara?
Hari itu, setelah kuliah selesai, Daffa mengajak Alisha untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan kampus. Alisha setuju tanpa berpikir panjang, dan begitu mereka duduk di meja yang sudah dipesan Daffa, suasana di sekitar mereka terasa semakin intim. Kafe itu cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang sibuk dengan laptop atau berbincang dengan teman mereka. Di tengah suasana yang tenang itu, Alisha merasa semakin dekat dengan Daffa, meskipun hanya berdua, dengan secangkir kopi hangat di depan mereka.
Daffa memulai percakapan dengan santai, namun Alisha merasakan ada sesuatu yang berbeda di udara. Ada ketegangan yang tak terlihat, namun jelas terasa. Seperti ada sesuatu yang ingin diungkapkan, tetapi belum menemukan kata-kata yang tepat.
“Alisha,” Daffa memanggil namanya dengan suara lembut, “Kamu pernah nggak sih merasa… kita punya perasaan yang sama, tapi nggak tahu harus mulai dari mana?”
Alisha terdiam sejenak. Itu pertanyaan yang sama sekali tidak ia duga. Seperti ada yang tertekan di dada, dan seketika ia merasa sulit bernapas. Ini adalah percakapan yang selama ini ia hindari—percakapan tentang perasaan mereka yang semakin mendalam. Sebuah pengakuan yang sepertinya akan mengubah semuanya.
“Perasaan yang sama…?” Alisha menjawab, mencoba untuk terdengar tenang. Hatinya berdebar cepat, tetapi ia mencoba mengatur napasnya. “Aku… aku merasa hal yang sama, Daffa. Aku merasa semakin dekat dengan kamu, dan semakin banyak waktu yang kita habiskan bersama, semakin aku merasa itu bukan sekadar pertemanan lagi. Tapi… aku juga bingung.”
Daffa mengangguk, mengerti betul kegelisahan Alisha. “Aku juga merasa gitu, Alisha. Aku nggak tahu mulai dari mana, atau bagaimana perasaan ini bisa berkembang begitu saja. Tapi aku nggak bisa lagi pura-pura kalau aku nggak merasa ada yang lebih.”
Alisha menunduk, merasa seluruh dunia terasa berputar begitu cepat. Semua yang pernah ia pikirkan tentang Daffa, tentang perasaan mereka, kini terungkap dalam percakapan yang penuh ketulusan ini. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini adalah merasakan—merasakan perasaan itu dengan sepenuh hati.
“Jadi… ini berarti kita sama-sama merasa… lebih dari teman?” tanya Alisha, perlahan, berharap bahwa ia tidak salah paham.
Daffa menatapnya dengan mata yang penuh pengertian. “Iya, Alisha. Aku merasa… ini bukan hanya pertemanan. Aku ingin lebih dari itu, jika kamu juga merasa demikian. Aku nggak bisa lagi menahan perasaan ini.”
Alisha menelan salivanya, dan meskipun hatinya berdebar lebih cepat, ia merasakan kelegaan yang luar biasa. Semua keraguan yang selama ini mengisi pikirannya mulai menghilang. Mungkin, inilah yang sebenarnya ia inginkan—mungkin, inilah awal dari segala sesuatu yang lebih besar.
“Daffa…” suara Alisha sedikit bergetar, tapi ia tahu, ini adalah waktunya. “Aku ingin percaya, aku ingin ini menjadi nyata. Aku… aku juga merasa ada sesuatu yang lebih, tapi aku takut kalau semuanya akan berubah.”
Daffa tersenyum, kemudian menggenggam tangan Alisha dengan lembut. “Aku nggak akan pernah memaksakanmu, Alisha. Kita berjalan pelan-pelan, kalau itu yang kamu mau. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku serius dengan perasaan ini. Aku ingin kita bisa lebih dekat, dan melihat kemana perasaan kita bisa pergi.”
Alisha merasa hangat di dadanya mendengar kata-kata Daffa. Ini bukan sekadar pertemuan atau percakapan biasa—ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar. Ini adalah awal dari sebuah perjalanan bersama, perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian, tetapi juga penuh dengan harapan dan cinta yang tulus. Semua ketakutan yang selama ini menghalangi jalannya kini mulai terkikis, sedikit demi sedikit.
Di tengah kafe yang tenang itu, dengan secangkir kopi yang sudah semakin dingin, Alisha merasa dunia mereka berdua semakin terasa nyata. Semua perasaan yang selama ini ia pendam, semua keraguan yang pernah ada, akhirnya menemukan tempatnya. Ada sesuatu yang mengalir di antara mereka—sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan, lebih dari sekadar kebersamaan. Itu adalah perasaan yang mulai tumbuh menjadi cinta, cinta yang penuh dengan harapan, tetapi juga penuh dengan pertanyaan tentang apa yang akan terjadi ke depannya.
Alisha mengangkat wajahnya, dan Daffa tersenyum padanya, senyum yang membuat hatinya semakin meleleh. “Aku nggak tahu ke mana perasaan ini akan membawa kita, Daffa,” kata Alisha, “Tapi aku siap untuk menjalani semua ini. Bersama kamu.”
Daffa memegang tangan Alisha dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya. “Aku juga siap, Alisha. Kita mulai dari sini, langkah demi langkah, dan kita lihat ke mana semuanya akan membawa kita.”
Di saat itu, Alisha tahu bahwa ini adalah awal dari segalanya. Awal dari sebuah perjalanan yang tak bisa diprediksi, tetapi penuh dengan kemungkinan. Mereka berdua sudah sepakat untuk tidak terburu-buru, untuk menikmati setiap langkah yang mereka ambil bersama. Namun, di dalam hati mereka berdua, ada keyakinan yang sama—ini adalah awal dari sesuatu yang lebih indah daripada yang pernah mereka bayangkan.
Dan, meskipun dunia di luar sana terus berputar dengan segala kesibukan dan tantangannya, bagi Alisha dan Daffa, dunia mereka berdua terasa lebih nyata daripada sebelumnya. Inilah awal dari segalanya. Awal dari cinta pertama yang mungkin akan tumbuh dan berkembang lebih dalam dari yang mereka kira.***
—————THE END————-