Daftar Isi
Bab 1: Perjumpaan yang Tak Terduga
Suara bel sekolah berdering nyaring, menandakan bahwa jam istirahat telah tiba. Para siswa berhamburan keluar dari kelas, beberapa berlari menuju kantin, sementara yang lain memilih tetap di kelas untuk sekadar berbincang atau menyelesaikan tugas. Aku, Raka, lebih memilih duduk di pojok perpustakaan, tempat yang selalu menjadi pelarianku dari kebisingan sekolah.
Di antara deretan buku-buku tebal, aku menemukan tempat nyaman untuk membaca novel kesukaanku. Aku menikmati kesunyian, hingga tiba-tiba suara tawa yang khas terdengar dari balik rak buku. Tanpa perlu melihat, aku tahu siapa pemilik suara itu—Aira.
Aira, gadis yang selalu menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Ia bukan tipe gadis yang sombong atau terlalu mencari perhatian, tetapi kepribadiannya yang ceria dan ramah membuatnya mudah didekati. Hampir semua orang di sekolah mengenalnya. Dia memiliki banyak teman, selalu tersenyum, dan sepertinya tidak pernah kehabisan energi.
Aku mencuri pandang dari sela-sela rak buku. Aira berdiri bersama beberapa temannya, tertawa sambil menggenggam buku yang sepertinya baru saja ia pinjam. Aku menatapnya lama, teringat bagaimana selama ini aku hanya bisa mengaguminya dari jauh. Kami berada di kelas yang sama, tapi nyaris tidak pernah berbicara.
“Apa yang kamu baca?”
Aku tersentak. Suara itu begitu dekat, begitu akrab. Ketika aku mendongak, Aira sudah berdiri di hadapanku, tersenyum dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Eh… ini… hanya novel biasa,” jawabku gugup, menutup buku di tanganku dan berusaha menyembunyikan kegugupanku.
Aira melirik sampul buku itu dan mengangguk kecil. “Kamu suka baca novel?” tanyanya lagi, masih dengan senyum yang membuat jantungku berdegup lebih kencang.
Aku mengangguk pelan. “Iya, lumayan.”
Dia tertawa kecil. “Keren. Aku juga suka baca, tapi lebih suka novel yang ringan, yang bisa bikin ketawa atau baper.”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Rasanya aneh berbicara dengannya, seseorang yang selama ini hanya bisa kulihat dari jauh.
“Boleh duduk di sini?” tanyanya lagi.
Aku hanya bisa mengangguk, masih tak percaya bahwa Aira benar-benar ingin duduk bersamaku. Ia menarik kursi dan duduk di seberangku. Tangannya memainkan ujung bukunya, sementara matanya menatapku dengan rasa ingin tahu.
“Aku sering lihat kamu di sini,” katanya tiba-tiba. “Kamu suka banget ya, sama tempat ini?”
Aku mengangguk lagi. “Iya. Lebih tenang dibanding tempat lain.”
Aira tersenyum. “Aku jarang ke perpustakaan, sih. Tapi hari ini aku harus cari referensi buat tugas.”
Aku hanya mengangguk, tak tahu harus berkata apa. Percakapan ini terasa ganjil bagiku. Aku tidak pernah menyangka bahwa Aira akan berbicara denganku, apalagi dengan santai seperti ini.
“Aku Raka, kalau kamu lupa,” kataku akhirnya, mencoba mencairkan suasana.
Aira tertawa kecil. “Aku tahu, kok. Kita satu kelas, kan?”
Aku tersenyum kikuk. Tentu saja dia tahu, tapi aku tidak pernah merasa menjadi seseorang yang cukup penting untuk diingat oleh Aira.
Kami melanjutkan obrolan singkat itu. Aira bercerita tentang buku yang sedang ia baca, tentang bagaimana ia lebih suka cerita romantis daripada yang berat seperti yang kusuka. Aku hanya mendengarkan, sesekali menimpali, tetapi lebih sering terdiam.
Sampai akhirnya, bel masuk kembali berbunyi. Aira berdiri, merapikan buku di tangannya.
“Senang bisa ngobrol sama kamu, Raka. Lain kali, kita ngobrol lagi ya?” katanya dengan senyum yang membuatku membeku di tempat.
Aku hanya bisa mengangguk, masih belum bisa mencerna kejadian barusan. Aira tersenyum sekali lagi sebelum melangkah pergi, meninggalkan aroma parfumnya yang lembut.
Setelah ia pergi, aku menatap kosong ke buku di tanganku. Perjumpaan singkat itu mungkin biasa saja baginya, tapi bagiku, itu adalah sesuatu yang luar biasa. Untuk pertama kalinya, aku berbicara dengan seseorang yang selama ini hanya bisa kukagumi dari jauh.
Dan saat itu, aku tahu bahwa hatiku telah berbicara untuk pertama kali.
Bab 2: Saat Hati Mulai Berbicara
Sejak pertemuan di perpustakaan hari itu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, hari-hariku di sekolah terasa biasa saja—datang, belajar, dan menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. Tapi sekarang, setiap langkahku terasa lebih bermakna, seolah ada sesuatu yang kutunggu setiap harinya.
Dan itu semua karena Aira.
Aku tidak tahu apakah dia hanya bersikap ramah atau memang tertarik untuk berteman denganku. Yang jelas, setelah perbincangan singkat kami di perpustakaan, Aira mulai sering menyapaku di kelas. Awalnya hanya sekadar sapaan ringan, seperti “Hai, Raka,” atau “Lagi baca buku apa hari ini?” Tapi lama-kelamaan, percakapan kami menjadi lebih panjang.
Aku masih ingat hari ketika semuanya berubah sedikit lebih dalam.
Hari itu, matahari bersinar terik, dan semua siswa terlihat kelelahan setelah pelajaran olahraga. Aku berjalan pelan ke kantin, berniat membeli air mineral. Saat itulah aku mendengar suara familiar memanggil namaku.
“Raka! Sini!”
Aku menoleh dan melihat Aira melambaikan tangan ke arahku. Dia duduk di salah satu meja kantin bersama beberapa temannya. Jantungku berdegup kencang, tapi aku mencoba tetap tenang.
Aku berjalan mendekat. Salah satu temannya, Sinta, menatapku dengan heran. “Sejak kapan kamu kenal Raka, Ra?” tanyanya pada Aira.
Aira tersenyum. “Sejak di perpustakaan. Dia suka baca buku, loh, Sin. Kita ngobrol lumayan lama waktu itu.”
Sinta mengangkat alisnya, lalu tersenyum menggoda. “Oh, jadi Raka sekarang masuk daftar teman spesial, nih?”
Aku merasa wajahku panas mendengar candaan itu, tapi Aira hanya tertawa. “Ah, kamu lebay deh. Raka itu asik diajak ngobrol.”
Aku hanya bisa tersenyum canggung. Aku tidak tahu harus merasa senang atau gugup dengan perhatian yang tiba-tiba ini.
Sejak hari itu, Aira semakin sering berbicara denganku, baik di kelas maupun saat istirahat. Kadang-kadang, dia bahkan menghampiriku di perpustakaan, tempat yang dulu hampir tak pernah ia kunjungi.
Suatu hari, saat aku sedang asyik membaca, suara langkah ringan mendekat. Aku mengangkat kepala dan menemukan Aira berdiri di depanku, tersenyum seperti biasa.
“Kali ini aku yang mau baca buku,” katanya sambil mengangkat novel di tangannya.
Aku melirik sampul buku itu. Sebuah novel romantis ringan, sesuatu yang jauh berbeda dari buku-buku yang biasa kubaca.
“Sepertinya menarik,” kataku sambil tersenyum.
Aira duduk di depanku, membuka bukunya, lalu menatapku. “Aku penasaran, kenapa kamu suka baca buku?”
Aku terdiam sejenak sebelum menjawab, “Karena buku bisa membawaku ke dunia lain. Kadang, dunia nyata terasa terlalu membosankan.”
Aira tersenyum kecil. “Jadi, kamu lebih suka dunia dalam buku daripada dunia nyata?”
Aku berpikir sejenak. “Tidak juga. Tapi di dalam buku, segalanya terasa lebih jelas. Perasaan, pikiran, bahkan masa depan tokohnya bisa kita ketahui. Sementara di dunia nyata, semuanya tidak pasti.”
Aira mengangguk pelan. “Aku suka cara kamu berpikir.”
Aku menatapnya, sedikit terkejut dengan ucapannya. Biasanya, orang-orang menganggapku terlalu serius atau terlalu pendiam. Tapi Aira… dia justru tertarik dengan caraku melihat dunia.
Sejak saat itu, aku mulai merasa lebih nyaman berbicara dengannya. Kami sering mengobrol tentang banyak hal—tentang buku, tentang kehidupan, bahkan tentang impian kami di masa depan. Aira bercerita bahwa dia ingin menjadi seorang penulis, sesuatu yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
“Kamu suka menulis?” tanyaku suatu hari.
Aira mengangguk penuh semangat. “Aku suka merangkai cerita. Aku ingin menulis kisah yang bisa membuat orang tersenyum, menangis, atau bahkan jatuh cinta.”
Aku tersenyum kecil. “Aku yakin kamu bisa.”
Dia menatapku lekat-lekat, lalu tersenyum lembut. “Terima kasih, Raka.”
Saat itu, aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam diriku. Ada kehangatan yang menjalar di dadaku, sesuatu yang selama ini tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
Apakah ini… cinta?
Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, setiap kali berbicara dengannya, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Aku mulai menantikan hari-hari di sekolah, berharap bisa bertemu dan berbicara dengannya lagi.
Dan tanpa kusadari, hati ini mulai berbicara lebih sering dari sebelumnya.
Bab 3: Perpisahan yang Tak Terelakkan
Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku pertama kali berbicara dengan Aira di perpustakaan, dan sekarang, masa-masa SMA kami hampir berakhir. Hari-hari di sekolah terasa berbeda. Tidak ada lagi tugas menumpuk, tidak ada lagi guru yang berdiri di depan kelas menjelaskan materi. Yang tersisa hanya pengumuman kelulusan, acara perpisahan, dan momen-momen terakhir sebelum kami semua berpisah menjalani kehidupan masing-masing.
Aku duduk di bangku belakang kelas, memperhatikan sekeliling. Teman-teman sekelasku sibuk berfoto, bercanda, dan saling menuliskan pesan perpisahan di buku kenangan. Namun, aku hanya diam, memperhatikan seseorang dari kejauhan—Aira.
Dia duduk di tengah-tengah kelompok temannya, tertawa seperti biasa. Tidak ada yang berubah dari dirinya, masih ceria, masih menjadi pusat perhatian. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di dadaku. Sebuah rasa yang selama ini berusaha kusembunyikan, namun semakin hari semakin sulit untuk ditekan.
Aku menyukai Aira. Aku sudah menyukainya sejak lama.
Tapi aku belum pernah mengatakannya, dan mungkin… aku tidak akan pernah punya kesempatan untuk mengatakannya.
Hari Perpisahan
Hari itu akhirnya tiba—hari di mana kami semua akan meninggalkan SMA dan melangkah ke dunia yang baru. Aula sekolah dipenuhi siswa yang mengenakan seragam terakhir kali. Pidato kepala sekolah, seremonial pemberian sertifikat, hingga momen di mana seluruh siswa bernyanyi bersama, semuanya berjalan begitu cepat.
Aku berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Aira yang sibuk berfoto bersama teman-temannya. Sesekali dia tertawa, melompat kegirangan, dan memeluk sahabatnya. Aku ingin sekali mendekatinya, ingin berbicara dengannya untuk terakhir kalinya, tapi entah kenapa kakiku terasa berat.
Aku takut.
Takut bahwa setelah hari ini, aku tidak akan pernah melihatnya lagi.
Takut bahwa aku tidak memiliki cukup keberanian untuk mengungkapkan perasaanku.
Aku menggenggam buku kenangan di tanganku. Di dalamnya, ada halaman kosong yang seharusnya kuisi dengan pesan untuk Aira. Tapi setiap kali aku mencoba menulis sesuatu, aku tidak tahu harus menuliskan apa.
“Hai, Raka.”
Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan menemukan Aira berdiri di sampingku, masih dengan senyum cerianya.
“Kamu nggak foto-foto?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan. “Nggak terlalu suka.”
Aira tertawa kecil. “Kamu selalu begini, ya? Diam di sudut dan menikmati dunia sendiri.”
Aku hanya tersenyum kecil.
“Jadi, setelah ini kamu mau ke mana?” tanyanya lagi.
Aku terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku diterima di universitas di luar kota.”
Aira mengangguk. “Aku juga. Aku akan pindah ke kota lain.”
Hatiku mencelos. Jadi, setelah hari ini, kami benar-benar akan menjalani kehidupan masing-masing, di tempat yang berbeda?
Aira menatapku sebentar, lalu mengulurkan buku kenangannya. “Tulis sesuatu untukku?”
Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengambil buku itu. Aku membuka halaman kosong dan mulai menulis. Kata demi kata mengalir, tapi bukan kata-kata yang sebenarnya ingin kusampaikan. Aku ingin menulis, Aku menyukaimu sejak lama. Tapi yang kutulis hanyalah, Semoga sukses di masa depan. Terima kasih sudah menjadi teman yang baik.
Aku mengembalikan buku itu padanya. Aira membacanya sekilas, lalu tersenyum. “Terima kasih, Raka.”
Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin menanyakan sesuatu, tapi suaraku seakan tercekat di tenggorokan.
“Aku senang bisa mengenalmu,” lanjut Aira. “Kamu orang yang baik, dan aku harap kita masih bisa bertemu lagi suatu hari nanti.”
Aku mengangguk. “Iya… semoga.”
Kami berdiri dalam diam untuk beberapa detik, sebelum akhirnya salah satu temannya memanggilnya. Aira tersenyum padaku sekali lagi sebelum melangkah pergi, bergabung kembali dengan teman-temannya.
Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Dan di saat itu, aku menyadari satu hal—aku telah kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku.
Aku telah membiarkan cinta pertamaku pergi, tanpa pernah tahu apakah dia pernah memiliki perasaan yang sama.
Hari itu berakhir dengan perasaan hampa. Aku berjalan keluar dari sekolah untuk terakhir kalinya, membawa kenangan yang tak akan pernah kulupakan.
Perpisahan ini tak terelakkan.
Dan aku hanya bisa berharap, mungkin suatu hari nanti, takdir akan mempertemukan kami kembali.
Bab 4: Takdir Mempertemukan Kembali
Lima tahun berlalu sejak hari perpisahan itu. Lima tahun sejak aku terakhir kali melihat Aira, mendengar tawanya, dan merasakan kehadirannya yang selalu membawa kehangatan. Waktu berjalan begitu cepat, dan kehidupan membawaku ke berbagai arah yang tak pernah kuduga.
Setelah lulus SMA, aku melanjutkan studi di luar kota dan sibuk mengejar impianku. Aku tenggelam dalam kesibukan kuliah, tugas, dan magang, hingga perlahan-lahan semua kenangan masa lalu terasa semakin jauh. Namun, di lubuk hatiku yang terdalam, ada satu bagian yang tak pernah berubah—rasa yang masih tetap ada untuk seseorang yang dulu mengisi hari-hariku.
Aira.
Aku tidak pernah benar-benar melupakannya. Sesekali, aku mencoba mencari tahu tentangnya lewat media sosial, tapi yang kutemukan hanyalah potongan-potongan kecil kehidupannya yang tak lagi kuikuti secara langsung. Sejak hari perpisahan itu, kami tak pernah lagi berkomunikasi. Mungkin dia sudah lupa padaku. Mungkin dia sudah punya hidup yang baru.
Sampai akhirnya, takdir mempertemukan kami kembali dengan cara yang tak pernah kuduga.
Hari itu, aku baru saja keluar dari sebuah kafe di pusat kota, tempat biasa aku menghabiskan waktu untuk bekerja sambil menikmati suasana. Langit mendung, udara terasa sejuk, dan jalanan ramai dengan orang-orang yang sibuk dengan aktivitas mereka.
Saat itulah aku melihatnya.
Di seberang jalan, seorang gadis berdiri di depan sebuah toko buku, tampak serius menatap ponselnya. Rambut panjangnya yang dulu sering ia biarkan tergerai, kini diikat rapi. Gayanya tampak lebih dewasa, tetapi ada sesuatu yang tetap sama—senyumnya.
Aira.
Jantungku berdegup lebih cepat. Aku berdiri diam di tempat, ragu apakah aku harus mendekatinya atau membiarkannya pergi begitu saja, seperti lima tahun lalu. Tapi sebelum aku bisa mengambil keputusan, entah bagaimana, dia menoleh dan tatapan kami bertemu.
Aku melihat keterkejutan di matanya, lalu perlahan, senyum itu muncul. Senyum yang masih sama seperti dulu.
“Raka?”
Suara itu membuatku tersadar dari lamunanku. Aku mengangguk pelan, masih belum percaya bahwa ini nyata.
Aira berjalan mendekat, dan aku hanya bisa berdiri kaku menunggunya.
“Ya ampun, ini benar-benar kamu?” katanya dengan nada penuh antusias.
Aku mengangguk lagi, lalu tersenyum kecil. “Iya… lama tidak bertemu, ya?”
Aira tertawa pelan. “Lima tahun, Raka. Itu bukan cuma lama, itu sangat lama.”
Aku ikut tertawa, meski dalam hatiku masih ada kebingungan yang bercampur dengan kegembiraan. “Apa kabar?”
“Baik!” katanya bersemangat. “Kamu sendiri?”
“Baik juga,” jawabku.
Kami saling bertukar tatapan sejenak, seolah masih mencoba meyakinkan diri bahwa pertemuan ini benar-benar terjadi.
Aira menunjuk ke arah kafe tempat aku baru saja keluar. “Kamu ada waktu? Kita bisa ngobrol sebentar.”
Aku mengangguk tanpa ragu. “Tentu.”
Kami duduk di dekat jendela, memesan kopi, dan mulai mengobrol. Awalnya, percakapan kami terasa sedikit canggung—mungkin karena sudah terlalu lama tidak berbicara satu sama lain. Tapi seiring berjalannya waktu, semuanya terasa seperti dulu.
Aira bercerita bahwa setelah lulus, dia melanjutkan studi di bidang sastra dan kini bekerja sebagai penulis lepas. Aku tidak terkejut. Dia memang selalu mencintai dunia tulisan, dan aku senang mengetahui bahwa dia mengejar apa yang dia impikan.
“Aku ingat kamu suka membaca buku-buku berat,” katanya tiba-tiba.
Aku tertawa kecil. “Dan aku ingat kamu lebih suka cerita yang ringan dan romantis.”
Dia tersenyum. “Ternyata aku masih ingat banyak hal tentang kamu.”
Aku menatapnya, lalu berkata, “Aku juga.”
Sejenak, keheningan menyelimuti kami. Tapi bukan keheningan yang canggung—lebih seperti momen di mana kami sama-sama menyadari bahwa meskipun waktu telah berlalu, ada sesuatu yang tetap bertahan di antara kami.
Aku ingin menanyakan sesuatu, sesuatu yang selama ini selalu menjadi pertanyaan di kepalaku.
“Kamu… pernah kepikiran tentang aku?” tanyaku akhirnya.
Aira menatapku dengan mata yang sulit kuartikan. Lalu, dia tersenyum lembut.
“Tentu saja,” jawabnya pelan. “Aku sering bertanya-tanya, apa kabarmu? Apa kamu masih suka menghabiskan waktu di perpustakaan? Apa kamu masih menyukai dunia yang tenang?”
Aku terdiam, merasakan kehangatan merayapi hatiku.
“Aku juga sering kepikiran tentang kamu,” kataku jujur.
Aira tersenyum lagi, tapi kali ini matanya terlihat sedikit berkaca-kaca.
“Lalu, kenapa kita tidak pernah mencoba menghubungi satu sama lain?” tanyanya pelan.
Bab 5: Mengungkapkan yang Tersembunyi
Sejak pertemuan tak terduga itu, aku dan Aira mulai sering bertukar pesan. Awalnya hanya sekadar menanyakan kabar atau membahas hal-hal kecil seperti buku yang sedang kami baca atau pekerjaan yang sedang kami jalani. Namun, semakin hari, obrolan kami menjadi lebih dalam.
Aku tidak pernah menyangka bahwa setelah lima tahun berpisah, kami bisa kembali sedekat ini. Perasaan yang dulu pernah ada dalam hatiku, yang sempat aku coba lupakan, kini muncul lagi, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.
Tapi kali ini, aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak ingin membiarkan perasaan ini tetap tersembunyi, seperti dulu.
Aku ingin mengungkapkannya.
Suatu Malam di Pinggir Kota
Malam itu, aku dan Aira bertemu lagi. Kami berjalan menyusuri trotoar sebuah taman kota yang dipenuhi lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip. Udara malam terasa sejuk, dan suara gemericik air mancur di tengah taman menciptakan suasana yang menenangkan.
“Aku masih nggak percaya kita bisa ketemu lagi,” kata Aira sambil tersenyum.
Aku menatapnya. “Aku juga. Rasanya seperti… takdir memang sengaja mempertemukan kita kembali.”
Aira tertawa kecil. “Kamu percaya pada takdir, Raka?”
Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Setelah semua yang terjadi… ya, aku mulai percaya.”
Kami berjalan dalam diam untuk beberapa saat, menikmati suasana. Lalu, dengan hati-hati, aku berkata, “Aira… aku ingin bilang sesuatu.”
Dia menoleh padaku, matanya penuh rasa ingin tahu. “Apa?”
Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Ini adalah momen yang selama ini aku tunggu, momen yang seharusnya terjadi lima tahun lalu.
“Aku pernah menyukaimu.”
Aira terdiam. Matanya menatapku lekat-lekat, seolah mencerna kata-kata yang baru saja kuucapkan.
“Aku nggak tahu apakah kamu menyadarinya atau tidak,” lanjutku, “tapi sejak SMA, aku selalu menyimpan perasaan untukmu. Aku ingin mengatakannya saat kita masih di sekolah, tapi aku terlalu takut. Dan akhirnya, aku kehilangan kesempatan itu.”
Aira masih tetap diam, tapi ekspresi di wajahnya mulai berubah.
Aku melanjutkan, “Saat kita bertemu lagi, aku pikir perasaan itu sudah hilang. Tapi ternyata tidak. Justru semakin kuat.” Aku menghela napas. “Aku nggak ingin membuat kesalahan yang sama. Aku nggak ingin menyimpan perasaan ini lagi tanpa kamu tahu.”
Keheningan kembali menyelimuti kami. Jantungku berdebar kencang menunggu reaksinya. Aku tidak tahu apakah dia akan tertawa, terkejut, atau bahkan kecewa.
Tapi kemudian, dia tersenyum. Senyum yang sama seperti yang selalu aku ingat.
“Raka…” suaranya terdengar lembut. “Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?”
Aku menatapnya, sedikit bingung. “Maksudmu?”
Aira menarik napas pelan. “Karena aku juga menyukaimu dulu.”
Aku terpaku.
Aira menatap langit, seolah mengingat sesuatu. “Aku menyukaimu sejak SMA. Aku suka bagaimana kamu selalu tenang, bagaimana kamu melihat dunia dengan cara yang berbeda. Aku suka saat kita berbicara di perpustakaan, saat kamu diam-diam memperhatikan aku tanpa sadar aku juga memperhatikan kamu.”
Hatiku berdebar semakin kencang. “Lalu… kenapa kamu nggak pernah bilang?” tanyaku.
Aira tersenyum sedih. “Sama seperti kamu. Aku juga takut. Takut kalau perasaanku hanya satu sisi. Dan akhirnya, aku memilih diam.”
Aku tidak bisa berkata-kata. Selama ini, aku mengira hanya aku yang menyimpan perasaan. Aku mengira aku sendirian dalam semua ini. Tapi ternyata, Aira juga merasakan hal yang sama.
Dia menatapku lagi. “Dan sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, aku pikir perasaan itu sudah hilang. Aku pikir aku sudah melupakan semuanya. Tapi ternyata… aku salah.”
Hatiku seolah meledak mendengar kata-katanya.
Aku mengambil langkah maju, mendekat padanya. “Aira… kalau begitu, bolehkah aku menebus kesalahan kita di masa lalu?” tanyaku pelan.
Dia menatapku, lalu tersenyum. “Bagaimana caranya?”
Aku menatapnya dalam-dalam, lalu berkata, “Dengan memulai dari awal. Kali ini, tanpa ada yang kita sembunyikan.”
Aira tidak menjawab untuk beberapa saat. Tapi kemudian, dia mengangguk pelan. “Aku juga ingin itu, Raka.”
Aku tersenyum lega. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa benar-benar bahagia.
Malam itu, di bawah langit penuh bintang, dua hati yang dulu terpisah akhirnya menemukan jalannya kembali.
Dan kali ini, aku tidak akan membiarkan perasaan ini tetap tersembunyi.
Aku menghela napas. “Mungkin karena aku takut.”
“Takut apa?”
Aku menatapnya dalam-dalam. “Takut kalau kamu sudah melupakan aku. Takut kalau aku hanya bagian kecil dari masa lalumu.”
Aira tertawa pelan. “Raka… kamu selalu terlalu banyak berpikir.”
Aku ikut tertawa, merasa sedikit lega.
Hari itu, kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara. Tentang masa lalu, tentang kehidupan kami selama lima tahun terakhir, tentang bagaimana perasaan kami tidak pernah benar-benar berubah.
Dan saat aku mengantarnya pulang, saat aku melihatnya tersenyum padaku sekali lagi, aku tahu satu hal pasti—
Takdir memang selalu punya cara untuk mempertemukan kembali orang-orang yang seharusnya bersama.
Bab 6: Cinta yang Terlambat
Setelah malam itu, aku dan Aira semakin sering bertemu. Kami tidak lagi canggung seperti dulu. Tidak ada lagi kata-kata yang ditahan, tidak ada lagi perasaan yang disembunyikan. Aku merasa seperti menemukan kembali sesuatu yang pernah hilang dari hidupku—seseorang yang selalu ada dalam pikiranku selama ini.
Tapi ada satu pertanyaan yang terus menghantuiku: apakah ini tidak terlalu terlambat?
Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Kami telah melalui banyak hal, menjalani kehidupan yang berbeda, bertemu orang-orang baru. Apakah mungkin bagi kami untuk mengulang kembali apa yang pernah tertunda?
Aku ingin percaya bahwa semuanya bisa berjalan baik. Aku ingin percaya bahwa takdir benar-benar mempertemukan kami kembali untuk sebuah alasan. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku—sesuatu yang Aira belum katakan padaku.
—
Percakapan di Tepi Senja
Hari itu, aku dan Aira duduk di sebuah kafe kecil di pinggir kota. Matahari mulai tenggelam, menciptakan warna jingga yang indah di langit. Aira menatap ke luar jendela dengan ekspresi yang sulit kuartikan.
“Kamu kenapa?” tanyaku, mencoba membaca pikirannya.
Dia menghela napas pelan sebelum menoleh padaku. “Raka… aku ingin mengatakan sesuatu.”
Jantungku berdebar. Nada suaranya terdengar serius. Aku tahu ini bukan hal yang mudah baginya.
“Ada apa?” tanyaku hati-hati.
Aira menggenggam cangkir kopinya erat, lalu berkata, “Aku sudah punya seseorang.”
Waktu seakan berhenti. Aku menatapnya, mencoba memahami kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya.
“Seseorang?” ulangku, meski aku tahu apa maksudnya.
Aira mengangguk pelan. “Aku punya seseorang dalam hidupku sekarang, Raka. Kami sudah bersama selama hampir dua tahun.”
Aku merasa seperti baru saja ditarik kembali ke realitas yang selama ini kuabaikan. Aku terlalu terbuai dengan kebahagiaan bertemu Aira lagi, terlalu tenggelam dalam perasaan lama yang kembali muncul, hingga aku lupa bahwa kehidupan tidak berhenti hanya karena aku masih mencintainya.
Dia sudah melanjutkan hidupnya.
Aku berusaha tersenyum, meski aku tahu senyum itu tidak sepenuhnya tulus. “Dia… pria yang baik?” tanyaku pelan.
Aira menatapku, lalu mengangguk. “Dia baik. Dia selalu mendukungku, dan… aku menghargainya.”
Aku menangkap sesuatu di matanya, sesuatu yang tidak dia katakan secara langsung.
“Kamu mencintainya?” tanyaku akhirnya.
Aira terdiam. Sekian detik berlalu sebelum dia menjawab, “Aku… aku tidak tahu.”
Aku mengernyit. “Maksudmu?”
Dia menatapku dengan ekspresi bimbang. “Aku peduli padanya. Aku menghargai semua yang dia lakukan untukku. Tapi setelah bertemu denganmu lagi… aku jadi mulai mempertanyakan banyak hal.”
Aku menelan ludah. “Aira… aku nggak mau jadi orang yang mengacaukan hubunganmu.”
Aira tersenyum kecil. “Kamu nggak mengacaukannya, Raka. Kamu hanya mengingatkan aku pada sesuatu yang pernah hilang.”
Aku menghela napas panjang. Perasaan bahagia yang sempat muncul dalam hatiku kini bercampur dengan rasa sakit yang sulit dijelaskan. Aku ingin memperjuangkan Aira, tapi aku juga tidak ingin egois.
“Apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku.
Aira menatap ke arah langit senja yang mulai berubah menjadi gelap. “Aku juga tidak tahu, Raka. Tapi satu hal yang aku sadari… perasaan ini tidak bisa lagi aku abaikan.”
Aku menatapnya, berharap bahwa di balik kebimbangannya, ada tempat untukku di hatinya. Tapi aku juga sadar bahwa ini bukan hanya tentang aku dan dia. Ada orang lain yang akan terluka jika kami memutuskan untuk mengikuti perasaan kami.
Dan aku tidak ingin membuatnya memilih.
Karena mungkin, cinta kami memang datang terlambat.
—
Malam yang Penuh Kebingungan
Aku berjalan sendirian menyusuri jalan kota setelah pertemuan itu. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan pikiranku penuh dengan pertanyaan yang tidak bisa kujawab.
Aku mencintainya. Itu adalah satu hal yang pasti.
Tapi apakah itu cukup?
Apakah cinta yang telah tertunda sekian lama masih bisa diperjuangkan, ataukah lebih baik dibiarkan menjadi kenangan?
Aku tidak tahu. Dan mungkin, Aira juga belum tahu.
Yang aku tahu hanyalah satu hal—
Takdir memang mempertemukan kami kembali. Tapi mungkin, kali ini pun kami tetap tidak bisa bersama.
—THE END—