Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

SAME KADE by SAME KADE
May 16, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 28 mins read
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan Takdir
  • Bab 2: Cinta yang Membutakan
  • Bab 3: Pengkhianatan yang Terungkap
  • Bab 4: Bara yang Mulai Membakar
  • Bab 5: Perang Dimulai
  • Bab 6: Hujan Fitnah dan Serangan Balik
  • Bab 7: Sisi Gelap Pengorbanan
  • Bab 8: Pertaruhan Nyawa
  • Bab 9: Jejak Darah di Tengah Pertempuran
  • Bab 10: Kebenaran yang Membebaskan

Bab 1: Pertemuan Takdir

Langit sore memancarkan rona jingga ketika Nadia melangkah ke dalam aula mewah di sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Acara amal itu diadakan oleh yayasan terkenal yang sering dikunjungi oleh kaum elit, namun Nadia hadir bukan sebagai tamu kehormatan. Dia bekerja sebagai sukarelawan yang membantu jalannya acara. Dengan gaun sederhana berwarna biru pastel yang dia pinjam dari temannya, Nadia tampak anggun meskipun dirinya merasa canggung berada di tengah keramaian orang-orang berpakaian mahal.

Saat Nadia sibuk mengatur meja pendaftaran, seorang pria tinggi dengan jas hitam berdiri di hadapannya. Mata pria itu gelap, penuh karisma, dengan senyuman yang bisa membuat siapa saja merasa dihargai.
“Maaf, saya terlambat. Saya Arman,” katanya sambil mengulurkan tangan.

Nadia sempat terdiam sejenak, tak yakin apakah pria ini sedang menyapa dirinya atau sekadar basa-basi. Namun, dia akhirnya membalas uluran tangan itu. “Nadia. Apakah Anda sudah terdaftar di acara ini?”

Arman mengangguk ringan, lalu dengan nada santai menjawab, “Seharusnya begitu. Tapi saya yakin, jika belum, Anda bisa membantu saya.”

Ada sesuatu yang menarik sekaligus sedikit mengintimidasi dari sikapnya. Nadia melirik daftar tamu, lalu menemukan nama “Arman Setiawan” di sana, tertulis dengan huruf kapital yang mencolok.
“Sudah terdaftar. Silakan masuk,” ujar Nadia singkat, mencoba menyingkirkan rasa gugup.

Namun, bukannya langsung masuk ke aula, Arman tetap berdiri di sana. “Apa Anda juga akan bergabung nanti? Acara ini terlalu membosankan jika hanya untuk bisnis.”

Nadia tertawa kecil. “Saya di sini hanya membantu, bukan tamu undangan.”

“Kalau begitu, saya merasa beruntung bisa bertemu dengan seseorang yang lebih tulus daripada mereka yang hanya datang untuk pamer,” balas Arman dengan nada bercanda. Kata-katanya terdengar sederhana, tapi cukup untuk membuat pipi Nadia sedikit memerah.

—

Acara berlangsung dengan lancar. Nadia terus sibuk, mengawasi jalannya kegiatan dari sudut ruangan, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Dari kejauhan, dia bisa melihat Arman sedang berbincang dengan beberapa pengusaha lain. Aura percaya dirinya membuatnya tampak seperti pusat perhatian, namun ada kalanya tatapan Arman menyelinap ke arah Nadia, membuat gadis itu merasa dirinya diawasi.

Saat acara hampir selesai, Arman kembali menghampiri Nadia.
“Jadi, apa rencana Anda setelah ini?” tanyanya.

Nadia mengerutkan dahi. “Pulang, tentu saja. Hari ini cukup melelahkan.”

Arman tersenyum. “Bagaimana kalau saya antar? Saya ingin berterima kasih karena Anda sudah membantu acara ini dengan sangat baik.”

“Tidak perlu, terima kasih. Saya bisa pulang sendiri,” jawab Nadia tegas.

Namun, sebelum Nadia bisa menolak lebih jauh, temannya, Lina, datang dan dengan riang berkata, “Dia tinggal di apartemen kecil dekat sini, Mas. Kalau Anda ingin membantu, kenapa tidak?”

Nadia ingin memprotes, tapi Lina sudah berjalan pergi dengan senyuman nakal. Akhirnya, dengan setengah hati, Nadia menerima tawaran itu.

—

Di dalam mobil mewah Arman, suasana terasa canggung di awal. Namun, Arman dengan mudah mencairkan suasana dengan pertanyaan-pertanyaan ringan.
“Jadi, apa yang membuat Anda mau repot-repot jadi sukarelawan?” tanyanya.

Nadia menjawab sambil menatap keluar jendela. “Saya suka membantu orang. Mungkin itu cara saya merasa hidup lebih berarti.”

Arman terdiam sejenak, seperti sedang merenungi jawabannya. “Jarang sekali saya bertemu seseorang yang berpikir seperti itu. Dunia ini penuh dengan orang yang hanya peduli pada keuntungan pribadi.”

Percakapan mereka terus berlanjut hingga Nadia hampir lupa bahwa dia sedang berbicara dengan seseorang dari kelas sosial yang sangat berbeda darinya. Ketika mobil berhenti di depan apartemennya, Arman turun untuk membukakan pintu.

“Terima kasih, Arman,” ucap Nadia sambil tersenyum tipis.

“Sama-sama. Saya harap kita bisa bertemu lagi,” balas Arman, kali ini dengan nada yang lebih serius.

Nadia hanya mengangguk sebelum masuk ke dalam. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada rasa aneh yang sulit dia definisikan—campuran antara kegembiraan dan kekhawatiran.

—

Malam itu, Nadia berbaring di tempat tidurnya yang sempit, memikirkan segala hal yang terjadi hari itu. Pertemuan dengan Arman terasa seperti sesuatu yang istimewa, namun dia tahu dunia mereka sangat berbeda. Baginya, pria seperti Arman adalah seseorang yang tidak akan pernah benar-benar mengerti apa yang harus dia lalui untuk bertahan hidup. Tapi kenapa, meskipun begitu, dia tidak bisa menghilangkan senyum Arman dari pikirannya?

Di sisi lain, di apartemen mewahnya, Arman sedang memegang segelas anggur sambil memikirkan hal yang sama. Nadia bukan gadis seperti yang biasa dia temui di lingkaran sosialnya. Ada sesuatu tentangnya yang membuat Arman ingin tahu lebih banyak. Tapi, dia tahu ini bukan sekadar ketertarikan biasa. Ada motif lain yang perlahan mulai menyusup ke dalam pikirannya.

“Gadis itu akan berguna,” gumam Arman pada dirinya sendiri. Senyum kecil terlukis di wajahnya, namun matanya mencerminkan sesuatu yang lebih gelap.*

Bab 2: Cinta yang Membutakan

Hari-hari berlalu sejak pertemuan pertama Nadia dan Arman. Awalnya, Nadia mengira itu hanya pertemuan singkat yang akan segera dia lupakan, namun nyatanya Arman mulai sering menghubunginya. Pesan-pesan singkat seperti, “Selamat pagi, semoga harimu menyenangkan” atau, “Jangan lupa makan siang” perlahan menjadi kebiasaan harian. Meski pada awalnya Nadia ragu untuk membalas, lama-kelamaan dia tidak bisa mengabaikan perhatian itu.

Di sisi lain, Arman sangat pandai menyesuaikan diri. Setiap kali mereka bertemu, dia menampilkan sisi hangat dan sederhana yang berhasil membuat Nadia merasa nyaman. Tidak ada kesan arogan dari pria kaya itu, dan Nadia semakin merasa bahwa Arman berbeda dari pria lain yang pernah dia temui. Nadia mulai percaya bahwa Arman benar-benar tulus.

—

Pada suatu akhir pekan, Arman mengundang Nadia untuk makan malam di sebuah restoran kecil yang nyaman, jauh dari keramaian kota. Nadia awalnya merasa canggung; dia tidak terbiasa berada di tempat-tempat seperti itu. Namun, Arman memastikan bahwa malam itu tidak akan terasa formal.

“Ini tempat favorit saya,” kata Arman sambil menuangkan teh hangat untuk Nadia. “Bukan restoran mahal seperti yang biasa dikunjungi orang-orang di dunia saya, tapi di sini saya merasa seperti manusia biasa.”

Nadia tersenyum mendengar kata-kata itu. “Sepertinya hidupmu tidak sesulit yang kamu pikirkan, Arman. Dengan semua yang kamu miliki, bukankah seharusnya kamu bahagia?”

Arman tertawa kecil. “Terkadang, apa yang terlihat di luar tidak mencerminkan apa yang ada di dalam, Nadia.”

Percakapan mereka terus mengalir, dari topik ringan tentang kehidupan sehari-hari hingga impian-impian yang belum tercapai. Nadia merasa bahwa di balik semua pesona dan kesempurnaan Arman, ada sisi rapuh yang jarang dia tunjukkan pada orang lain. Tanpa sadar, Nadia mulai membuka hatinya.

—

Seiring waktu, hubungan mereka semakin dekat. Arman sering menjemput Nadia di tempat kerjanya, membawanya berjalan-jalan ke tempat-tempat yang tak pernah dia kunjungi sebelumnya. Nadia, yang selama ini menjalani hidup sederhana dan penuh perjuangan, merasa bahwa dunianya mulai berubah. Dia melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda, sebuah dunia yang selama ini terasa jauh dari jangkauannya.

Namun, tanpa disadari, kedekatan itu mulai mengubah prioritas Nadia. Dia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Arman dan lebih sedikit dengan teman-temannya. Pekerjaan sukarelawan yang dulu sangat dia cintai kini terasa seperti beban.

“Kenapa kamu masih repot-repot jadi sukarelawan?” tanya Arman suatu hari ketika mereka sedang makan malam di apartemennya yang luas. “Dengan kemampuanmu, kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, menghasilkan lebih banyak uang, dan hidup lebih nyaman.”

Nadia mengerutkan kening. “Aku suka pekerjaanku, Arman. Itu bukan tentang uang. Aku merasa seperti bisa membuat perbedaan, sekecil apa pun itu.”

“Tapi Nadia,” Arman menatapnya dengan serius. “Dunia ini tidak akan berubah hanya karena niat baik. Terkadang, kamu perlu berpikir lebih besar. Aku hanya ingin kamu punya hidup yang lebih baik.”

Kata-kata itu terdengar seperti nasihat, tapi tanpa Nadia sadari, perlahan-lahan dia mulai meragukan pilihan-pilihannya sendiri. Dia mulai mempertimbangkan apa yang sebenarnya ingin dia capai dalam hidupnya, dan tanpa sadar, dia mulai terpengaruh oleh cara berpikir Arman.

—

Sementara itu, di luar hubungan mereka, Arman mulai menggunakan pengaruhnya untuk membentuk kehidupan Nadia sesuai rencananya. Dia diam-diam mendekati atasan Nadia, menawarkan posisi yang lebih baik untuk Nadia di sebuah perusahaan besar milik temannya. Semua ini dilakukan dengan tujuan untuk menjauhkan Nadia dari kehidupan lamanya.

Nadia, yang awalnya menolak pekerjaan itu karena merasa tidak pantas, akhirnya menerima setelah Arman meyakinkannya. “Ini kesempatan yang tidak datang dua kali, Nadia. Kamu pantas mendapatkannya.”

Meski pekerjaan barunya menawarkan gaji yang jauh lebih besar, Nadia merasa ada sesuatu yang hilang. Dia tidak lagi memiliki waktu untuk teman-temannya, atau bahkan untuk hal-hal kecil yang dulu membuatnya bahagia. Tapi setiap kali keraguan itu muncul, perhatian dan cinta Arman membuatnya melupakan segalanya.

—

Hubungan mereka terlihat sempurna di mata Nadia, tetapi di balik semua itu, Arman memiliki rencana tersembunyi. Dia tahu bahwa Nadia adalah kunci untuk memenangkan hati publik, terutama karena perusahaan keluarganya sedang berada di bawah sorotan media akibat skandal besar. Dengan menjadikan Nadia sebagai “pasangan sempurna,” Arman berharap bisa memulihkan reputasinya.

Namun, apa yang awalnya hanya bagian dari rencana perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit. Arman mulai benar-benar peduli pada Nadia, meskipun dia sendiri tidak mau mengakui perasaannya.

—

Di suatu malam, saat mereka berjalan di taman, Arman tiba-tiba bertanya, “Apakah kamu percaya bahwa cinta bisa mengubah seseorang, Nadia?”

Nadia menatapnya dengan heran. “Aku percaya cinta bisa membuat seseorang menjadi lebih baik, jika itu cinta yang tulus. Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

Arman terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku hanya penasaran. Karena aku merasa, sejak bertemu denganmu, aku mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda.”

Kata-kata itu membuat Nadia tersipu. Baginya, Arman adalah seseorang yang dia pikir tidak membutuhkan perubahan apa pun. Tapi di sisi lain, dia merasa bahwa dirinya mulai kehilangan jati dirinya sendiri.

—

Cinta yang awalnya indah perlahan berubah menjadi sesuatu yang membingungkan. Nadia mulai merasa bahwa dia terlalu bergantung pada Arman, sementara Arman semakin intens dalam mengendalikan hidupnya. Namun, cinta yang membutakan itu membuat Nadia mengabaikan semua tanda-tanda bahaya.

Di saat yang sama, Arman mulai merasakan dilema. Di satu sisi, dia membutuhkan Nadia sebagai bagian dari strateginya. Di sisi lain, dia mulai takut bahwa perasaannya pada Nadia bisa merusak rencana besarnya.

Tanpa disadari oleh keduanya, hubungan yang mereka bangun kini telah menjadi awal dari permainan emosi yang jauh lebih rumit dari yang mereka duga.*

Bab 3: Pengkhianatan yang Terungkap

Hubungan Nadia dan Arman berjalan semakin intens. Nadia merasa dirinya seperti hidup dalam dongeng. Arman tidak hanya memberinya perhatian, tetapi juga memanjakannya dengan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dia bayangkan. Makan malam mewah, hadiah-hadiah kecil, hingga perjalanan ke tempat-tempat eksklusif membuat Nadia merasa dihargai. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang perlahan mulai membuat Nadia merasa gelisah.

Arman mulai mengatur jadwal hidupnya. Setiap kali Nadia ingin meluangkan waktu untuk teman-temannya atau keluarganya, Arman selalu berhasil meyakinkan bahwa ada hal lain yang lebih penting. Nadia, yang terlanjur mencintai Arman, mengabaikan perasaan ini. Baginya, cinta membutuhkan pengorbanan, dan dia rela memberikan semuanya untuk kebahagiaan mereka.

—

Namun, segala sesuatu mulai berubah ketika Nadia secara tidak sengaja menemukan sesuatu yang mengejutkan.

Hari itu, Arman mengundang Nadia ke kantornya. “Datanglah lebih awal. Aku ingin mengenalkanmu pada beberapa orang penting,” katanya melalui telepon.

Nadia tiba di kantor Arman dengan senyuman. Dia mengenakan gaun biru yang Arman berikan untuknya beberapa hari sebelumnya. Namun, ketika Nadia sampai di ruang resepsionis, dia melihat seorang wanita keluar dari ruangan Arman. Wanita itu adalah Siska, sahabat terdekat Nadia sejak kecil.

“Siska?” panggil Nadia dengan nada bingung.

Siska yang sedang merapikan rambutnya tampak terkejut. Namun, hanya sekejap. Dia segera memasang senyuman yang canggung. “Oh, Nadia! Aku tidak tahu kamu akan datang ke sini.”

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Nadia sambil menatap sahabatnya dengan penuh rasa ingin tahu.

Siska tergagap sejenak, tetapi kemudian menjawab dengan santai, “Oh, aku hanya bertemu klien. Kantor Arman kebetulan punya rekanan yang bekerja sama dengan tempatku.”

Jawaban itu terdengar logis, tetapi ada sesuatu dalam nada suara Siska yang terasa tidak meyakinkan. Nadia ingin bertanya lebih jauh, tetapi sebelum sempat dia membuka mulut, Arman muncul dari dalam ruangan.

“Nadia, kamu sudah datang?” tanyanya dengan senyum lebar, seolah tidak ada yang terjadi.

Nadia mengangguk pelan, tapi matanya terus mengamati ekspresi keduanya. Dia tidak ingin membuat kesimpulan terlalu cepat, jadi dia memutuskan untuk mengabaikan perasaan aneh yang muncul di dadanya.

—

Namun, rasa curiga itu terus menghantui Nadia. Beberapa hari kemudian, dia memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Dengan penuh keraguan, Nadia mulai memeriksa ponsel Arman saat pria itu sedang mandi di apartemennya. Meski hatinya berdebar, dia merasa ada sesuatu yang harus dia ketahui.

Ketika Nadia membuka galeri foto, dia menemukan sesuatu yang membuat dadanya terasa seperti dihantam batu besar. Ada foto Arman bersama Siska, diambil beberapa hari sebelumnya di restoran yang sama tempat Arman sering membawanya. Mereka terlihat terlalu dekat, senyum mereka terlalu akrab untuk disebut sekadar rekan kerja.

Nadia ingin meyakinkan dirinya bahwa ini hanya kesalahpahaman. Namun, ketika dia membuka aplikasi pesan, dia menemukan serangkaian percakapan antara Arman dan Siska. Pesan-pesan itu bukan hanya menggambarkan hubungan profesional, tetapi hubungan penuh keintiman.

—

Malam itu, Nadia tidak bisa tidur. Perasaan marah, kecewa, dan hancur bercampur menjadi satu. Dia tidak bisa percaya bahwa dua orang yang paling dia percayai ternyata mengkhianatinya. Dia merasa bodoh karena telah begitu mudah mempercayai Arman dan mengabaikan semua tanda-tanda peringatan sebelumnya.

Keesokan harinya, Nadia memutuskan untuk mengonfrontasi Siska. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil tempat mereka biasa mengobrol. Namun, suasana kali ini jauh dari hangat.

“Aku tidak tahu harus memulai dari mana, tapi aku ingin kamu jujur,” kata Nadia dengan suara bergetar. “Apa hubunganmu dengan Arman?”

Siska terdiam, mencoba menghindari tatapan Nadia. Namun, setelah beberapa saat, dia mendesah panjang. “Aku tidak berniat menyakitimu, Nadia. Semuanya terjadi begitu saja. Aku tidak bisa menahannya…”

“Tidak bisa menahan apa?” potong Nadia dengan nada tinggi. “Dia pacarku, Siska! Kamu tahu itu!”

Siska menunduk, merasa bersalah, tetapi dia tetap tidak menyangkal apa yang telah terjadi. “Arman mencintaiku, Nadia. Dia hanya bersama kamu karena…”

“Karena apa?” tanya Nadia tajam.

Siska menggeleng pelan, enggan melanjutkan. Tapi bagi Nadia, itu sudah cukup untuk memahami segalanya.

—

Setelah pertemuan itu, Nadia merasa dunianya runtuh. Hubungannya dengan Arman yang selama ini dianggapnya sempurna ternyata hanya sebuah kebohongan. Semua perhatian dan kasih sayang yang dia terima ternyata hanyalah alat manipulasi.

Di malam yang sama, Nadia menghadapi Arman. Dengan air mata yang membasahi pipinya, dia menunjukkan bukti-bukti yang dia temukan.

“Jelaskan ini, Arman,” katanya sambil melemparkan ponsel ke meja.

Arman terkejut sejenak, tetapi dia segera memasang wajah tenang. “Nadia, dengarkan aku. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan.”

“Tidak seperti yang kupikirkan?” balas Nadia dengan suara gemetar. “Jadi apa ini? Kamu berselingkuh dengan sahabatku sendiri, dan kamu bilang aku salah paham?”

Arman mencoba mendekatinya, tetapi Nadia mundur. “Jangan mendekat! Aku ingin tahu, apakah selama ini hubungan kita hanya permainan bagimu?”

Arman akhirnya menghela napas panjang, menyerah untuk mempertahankan kebohongan. “Aku tidak pernah berniat melukaimu, Nadia. Tapi aku memang punya hubungan dengan Siska, bahkan sebelum aku bertemu denganmu.”

Pengakuan itu menghancurkan Nadia sepenuhnya. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dengan hati yang hancur, dia meninggalkan apartemen Arman tanpa berkata sepatah kata pun.

—

Di dalam taksi menuju apartemennya, Nadia tidak bisa menahan air matanya. Dia merasa kehilangan segalanya. Bukan hanya cinta, tetapi juga kepercayaan pada orang-orang terdekatnya. Namun, di balik kehancurannya, ada bara kecil yang mulai menyala di dalam dirinya. Bara itu adalah kemarahan.

Nadia sadar bahwa dia tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja. Jika Arman dan Siska berpikir bahwa mereka bisa mempermainkannya, mereka salah besar. Untuk pertama kalinya, Nadia merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya: keinginan untuk membalas dendam.*

Bab 4: Bara yang Mulai Membakar

Pagi itu, setelah malam penuh air mata dan kehancuran, Nadia duduk di depan cermin kecil di kamarnya. Matanya masih sembab, tetapi sorotnya berbeda. Tidak ada lagi kesedihan yang mendominasi, melainkan kemarahan yang kini menjadi bahan bakar baru dalam hidupnya. Di tengah keheningan pagi itu, Nadia mengambil napas panjang. Dia memutuskan bahwa ini bukan saatnya untuk menyerah. Jika Arman dan Siska berani menghancurkan hidupnya, dia akan memastikan bahwa mereka tidak akan melakukannya tanpa balasan.

Langkah pertama adalah mengambil kembali kendali atas hidupnya. Nadia memutuskan untuk tidak membiarkan dirinya larut dalam emosi. Dia tahu bahwa jika ingin membalas dendam, dia harus melakukannya dengan cerdas. Dan untuk itu, dia perlu tahu lebih banyak tentang Arman dan Siska.

—

Sore itu, Nadia menemui Lina, sahabat yang selalu ada untuknya. Lina adalah orang yang paling dia percaya selain Siska, tetapi kali ini, Nadia memilih untuk tidak menceritakan semuanya. Dia hanya mengatakan bahwa ada sesuatu tentang Arman yang ingin dia selidiki.

“Lina, kamu pernah bilang punya teman yang bekerja di dunia korporat, kan? Apakah dia kenal dengan perusahaan tempat Arman bekerja?”

Lina mengerutkan kening, terlihat bingung. “Iya, kenapa? Kamu butuh informasi tentang Arman?”

Nadia mengangguk, mencoba terdengar santai. “Aku hanya penasaran. Dia selalu terlihat seperti pria sempurna, tetapi aku merasa ada yang dia sembunyikan dariku. Aku ingin tahu lebih banyak tentang latar belakangnya.”

Lina memandang Nadia dengan curiga, tetapi akhirnya dia mengangguk. “Baiklah. Aku akan coba tanyakan. Tapi, Nadia, apakah semuanya baik-baik saja antara kamu dan Arman?”

Nadia tersenyum tipis. “Tentu saja. Aku hanya ingin lebih mengenalnya.”

—

Beberapa hari kemudian, Lina kembali dengan informasi. “Arman memang pria sukses, tapi perusahaannya sedang dalam masalah besar. Ada rumor bahwa keluarganya terlibat dalam skandal keuangan yang belum terungkap di media. Banyak pihak yang curiga bahwa dia sedang berusaha membersihkan citranya.”

Nadia tertegun mendengar itu. Tiba-tiba semuanya terasa masuk akal—kenapa Arman begitu perhatian padanya, kenapa dia begitu sempurna di depan publik. Nadia mulai menyadari bahwa dia mungkin hanyalah pion dalam permainan besar Arman.

Namun, informasi itu juga memberinya kekuatan baru. Jika Arman menggunakan dirinya sebagai alat, maka Nadia akan memastikan bahwa dia menjadi alat yang menghancurkannya.

—

Langkah berikutnya adalah menghadapi Siska. Nadia tahu bahwa dia tidak bisa langsung menyerang sahabatnya. Dia perlu membuat Siska merasa aman, sehingga dia bisa menggali lebih banyak informasi. Suatu malam, Nadia menghubungi Siska dan meminta bertemu.

Di sebuah kafe kecil yang biasa mereka datangi, Siska terlihat canggung. “Aku tidak menyangka kamu masih mau bicara denganku, Nad.”

Nadia menatapnya dengan dingin. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku ingin tahu satu hal—apa kamu bahagia?”

Siska terdiam, tampak bingung dengan pertanyaan itu. “Maksudmu apa?”

“Arman. Apa dia membuatmu bahagia?”

Siska menggigit bibirnya, lalu menjawab pelan. “Aku tidak tahu, Nadia. Semua ini terjadi begitu cepat. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu, tapi aku juga tidak bisa mengendalikan perasaanku.”

Nadia menahan emosi yang mendidih dalam dirinya. Dia hanya tersenyum kecil. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak marah. Aku hanya ingin semuanya jelas. Jika dia mencintaimu, aku akan mundur.”

Siska tampak terkejut mendengar itu. “Benarkah?”

“Ya. Aku hanya butuh waktu untuk menerima semuanya. Tapi aku ingin kamu bahagia, Sis.”

Kata-kata Nadia membuat Siska mulai merasa nyaman. Dia tidak menyadari bahwa di balik senyum itu, Nadia menyimpan rencana besar.

—

Di malam yang sama, Nadia memulai langkah berikutnya. Dia membuka laptopnya dan mulai mencari informasi lebih dalam tentang perusahaan Arman. Berbekal sedikit informasi dari Lina, dia menemukan beberapa artikel lama yang menyebutkan dugaan penggelapan dana yang melibatkan perusahaan itu.

Namun, yang lebih menarik adalah daftar rekan bisnis Arman. Salah satu nama yang muncul adalah seseorang bernama Herman Santoso, seorang pengusaha kecil yang pernah bangkrut setelah bekerja sama dengan perusahaan Arman. Nadia mencatat namanya, merasa bahwa dia bisa menjadi kunci untuk membuka rahasia besar yang disembunyikan Arman.

—

Keesokan harinya, Nadia memutuskan untuk menemui Herman. Dengan sedikit usaha, dia berhasil menemukan alamatnya. Pria itu tinggal di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Ketika Nadia mengetuk pintu, Herman membukanya dengan ragu.

“Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu,” kata Nadia dengan sopan. “Saya ingin bicara tentang Arman Setiawan.”

Wajah Herman langsung berubah. “Apa yang kamu inginkan darinya?”

“Saya ingin tahu kebenaran. Saya tahu dia bukan orang yang terlihat sempurna seperti di depan umum. Dan saya pikir Anda tahu sesuatu tentang itu.”

Herman terdiam sejenak sebelum akhirnya mengundang Nadia masuk. Dengan suara pelan, dia mulai bercerita tentang bagaimana Arman dan keluarganya menggunakan kekuasaan mereka untuk menghancurkan orang-orang yang bekerja sama dengan mereka.

“Mereka mengambil semuanya dariku,” kata Herman dengan suara bergetar. “Bisnis, reputasi, bahkan keluarga. Arman mungkin terlihat seperti pria baik, tapi dia sama saja seperti keluarganya. Mereka hanya peduli pada keuntungan.”

Kata-kata Herman membuat amarah Nadia semakin membara. Dia sadar bahwa Arman bukan hanya pria yang mengkhianati cintanya, tetapi juga seseorang yang menghancurkan hidup orang lain demi ambisinya.

—

Malam itu, Nadia kembali ke apartemennya dengan hati yang penuh dendam. Dia tahu bahwa jika dia ingin membalas Arman, dia harus merusak citranya di depan umum. Namun, dia juga tahu bahwa ini bukan hanya tentang dirinya. Nadia ingin memastikan bahwa Arman tidak akan pernah bisa menggunakan orang lain lagi seperti dia menggunakan dirinya.

Nadia menatap cermin di kamarnya, sorot matanya tajam. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa bahwa dia punya tujuan yang jelas. Arman telah mengubahnya, dan kini, dia akan menggunakan perubahan itu untuk melawan.

“Permainan ini belum selesai, Arman,” gumamnya dengan suara penuh tekad. “Aku akan memastikan kamu merasakan apa yang aku rasakan.*

Bab 5: Perang Dimulai

Nadia duduk di depan meja kerjanya yang kecil, menatap dinding kamar yang penuh dengan catatan dan foto-foto yang sudah dia kumpulkan. Di antara potongan artikel, foto Arman, Siska, dan beberapa nama penting yang berkaitan dengan perusahaan Arman, Nadia mulai merancang strategi balas dendamnya. Bukan hanya untuk menghancurkan Arman secara pribadi, tetapi juga untuk membuka kedok bisnis gelap keluarganya.

Dia tahu bahwa langkah ini berbahaya. Keluarga Arman memiliki kekuasaan yang besar, dan satu langkah salah bisa menghancurkan dirinya sendiri. Tapi Nadia sudah tidak peduli. Segala yang dia miliki—cinta, kepercayaan, bahkan kebahagiaan—telah diambil darinya. Kini, dia tidak akan mundur.

—

Langkah Pertama: Menggali Kebenaran

Untuk menghancurkan Arman, Nadia harus memastikan dia memiliki bukti konkret. Setelah mendengar cerita dari Herman Santoso, Nadia memutuskan untuk menindaklanjuti informasi itu. Dia menghubungi seorang jurnalis independen bernama Rani, yang dikenal sering membongkar kasus-kasus besar.

Nadia dan Rani bertemu di sebuah kafe kecil yang sepi. Nadia menceritakan segala hal yang dia ketahui tentang Arman dan keluarganya, termasuk cerita Herman.

“Jika cerita ini benar, ini bisa menjadi skandal besar,” kata Rani sambil mencatat di buku kecilnya. “Tapi aku butuh lebih banyak bukti. Pengakuan Herman bagus, tapi tidak cukup untuk melawan orang seperti Arman. Kita perlu dokumen, transaksi, atau sesuatu yang bisa menunjukkan keterlibatannya.”

Nadia mengangguk. “Aku akan membantumu mencari bukti itu.”

“Berhati-hatilah,” kata Rani dengan nada serius. “Orang seperti Arman tidak akan tinggal diam jika tahu kamu sedang menggali rahasianya.”

—

Langkah Kedua: Menguji Kesetiaan Siska

Di sisi lain, Nadia tahu bahwa dia juga harus bermain cerdas dengan Siska. Meski hatinya penuh amarah, Nadia menyadari bahwa Siska adalah kunci penting dalam rencananya. Jika dia bisa memanfaatkan kedekatan Siska dengan Arman, dia mungkin bisa mendapatkan akses ke informasi yang lebih dalam.

Nadia mengundang Siska untuk makan malam di apartemennya. Malam itu, dia memasang wajah ramah, seolah-olah tidak ada yang salah di antara mereka.

“Aku sudah banyak berpikir, Sis,” kata Nadia sambil menuangkan teh untuk mereka berdua. “Mungkin aku terlalu keras pada kalian. Kalau Arman memang mencintaimu, aku tidak punya hak untuk menghalangi itu.”

Siska tampak terkejut, tetapi juga lega. “Terima kasih, Nadia. Aku tahu ini pasti sulit untukmu.”

Nadia tersenyum kecil, meski hatinya bergetar dengan kemarahan yang dia tahan. “Aku hanya ingin kita tetap berteman. Arman mungkin lebih cocok denganmu.”

Siska mulai merasa nyaman, dan Nadia memanfaatkan momen itu untuk menggali informasi. “Ngomong-ngomong, aku penasaran, apakah dia pernah cerita soal pekerjaannya padamu? Dia selalu terlihat sibuk, tapi aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dia lakukan.”

Siska tertawa kecil. “Dia memang tidak banyak bercerita, tapi aku tahu dia sedang menangani proyek besar di perusahaan keluarganya. Katanya ini penting untuk masa depan mereka.”

Nadia mencatat informasi itu dalam pikirannya. Dia tahu bahwa proyek besar itu mungkin berkaitan dengan skandal yang sedang dia selidiki.

—

Langkah Ketiga: Mendekati Orang Dalam

Dengan bantuan Rani, Nadia berhasil melacak salah satu mantan karyawan perusahaan keluarga Arman. Pria itu, yang bernama Agus, pernah bekerja di divisi keuangan sebelum dia dipecat secara tidak adil. Agus awalnya enggan berbicara, tetapi setelah Nadia dan Rani menunjukkan bahwa mereka memiliki informasi tentang skandal yang melibatkan perusahaan itu, Agus mulai terbuka.

“Aku tidak tahu banyak, tapi aku tahu mereka sering memalsukan laporan keuangan,” kata Agus dengan nada rendah. “Mereka menyembunyikan uang di rekening luar negeri. Aku punya beberapa dokumen lama yang mungkin bisa membantu.”

Dokumen itu adalah jackpot bagi Nadia. Dengan bukti itu, dia tahu bahwa dia memiliki sesuatu yang konkret untuk menjatuhkan Arman dan keluarganya.

—

Langkah Keempat: Memanfaatkan Publik

Dengan bukti di tangannya, Nadia dan Rani mulai menyusun strategi untuk mempublikasikan skandal ini. Namun, Nadia tidak ingin ini hanya menjadi berita besar. Dia ingin Arman merasa terpojok dan kehilangan segalanya, seperti yang dia rasakan ketika dikhianati.

Nadia memutuskan untuk membuat langkah berani: menghadiri salah satu acara sosial yang dihadiri oleh Arman dan keluarganya. Acara itu adalah pesta besar untuk merayakan ulang tahun ayah Arman, yang juga merupakan pemimpin perusahaan mereka. Nadia tahu bahwa ini adalah tempat yang sempurna untuk mengungkap semuanya.

—

Konfrontasi yang Dinanti

Pada malam pesta, Nadia muncul dengan penampilan yang anggun namun memancarkan kekuatan. Dia berjalan masuk dengan penuh percaya diri, meskipun hatinya berdegup kencang. Arman yang melihatnya tampak terkejut.

“Nadia, apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya sambil mendekat.

Nadia tersenyum dingin. “Aku hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada ayahmu.”

Namun, sebelum Arman sempat mengatakan apa-apa, Nadia mendekati Rani yang sudah menunggu di sudut ruangan. Di tengah-tengah pesta, Rani memulai presentasinya. Dengan proyektor kecil yang sudah dia siapkan, dia mulai menampilkan dokumen-dokumen yang menunjukkan penggelapan dana yang dilakukan perusahaan keluarga Arman.

Ruangan itu mendadak sunyi. Para tamu yang awalnya sibuk berbincang kini menatap layar dengan mata terbelalak. Wajah ayah Arman memerah karena marah, sementara Arman sendiri tampak kebingungan.

“Apa-apaan ini, Nadia?” seru Arman dengan nada tinggi.

Nadia menatapnya dengan dingin. “Ini hanya permulaan, Arman. Kamu pikir aku akan diam saja setelah semua yang kamu lakukan padaku?”

Arman mencoba membela diri, tetapi tamu-tamu sudah mulai berbisik-bisik. Media yang hadir di acara itu segera mengabadikan momen ini.

—

Malam itu, hidup Arman mulai runtuh. Citra sempurnanya hancur, dan reputasi keluarganya terancam. Tapi bagi Nadia, ini masih belum selesai. Dia tahu bahwa perang ini baru saja dimulai.*

Bab 6: Hujan Fitnah dan Serangan Balik

Setelah malam pesta yang mengejutkan itu, berita tentang skandal perusahaan keluarga Arman menyebar dengan cepat. Media sosial dipenuhi dengan artikel dan komentar dari publik yang mengutuk penggelapan dana yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Ayah Arman menjadi sorotan utama, sementara Arman sendiri disebut sebagai “penerus dinasti korup.” Dalam hitungan hari, reputasi keluarganya hancur.

Namun, Nadia tahu bahwa keluarga seperti Arman tidak akan tinggal diam. Dia sudah mempersiapkan dirinya untuk serangan balasan, tetapi dia tidak menyangka bahwa serangan itu datang begitu cepat.

—

Serangan Balasan Arman

Pagi itu, Nadia menerima panggilan telepon dari Lina.

“Nad, apa yang sedang terjadi? Aku baru saja membaca artikel tentang kamu,” suara Lina terdengar panik di seberang telepon.

Nadia mengernyit. “Artikel apa?”

“Kamu harus melihat ini sendiri. Cepat buka berita online!”

Dengan perasaan cemas, Nadia membuka laptopnya. Di salah satu portal berita besar, sebuah artikel berjudul “Sosok di Balik Penghancuran Reputasi Keluarga Setiawan” terpampang di halaman utama. Artikel itu menuduh Nadia sebagai mantan kekasih yang sakit hati dan memanfaatkan media untuk menjatuhkan Arman.

Artikel itu penuh dengan kebohongan. Ada foto-foto Nadia yang diambil tanpa sepengetahuannya, seolah-olah dia adalah seorang oportunis yang berusaha mencari perhatian. Bahkan disebutkan bahwa Nadia memiliki motif pribadi untuk menghancurkan keluarga Setiawan karena dendam lama.

Hati Nadia berdegup kencang. Dia tahu ini adalah serangan langsung dari Arman dan keluarganya. Mereka mencoba membalikkan keadaan dengan menjadikannya kambing hitam.

—

Kemarahan Publik

Tidak butuh waktu lama bagi artikel itu untuk menyulut kemarahan publik. Di media sosial, banyak orang yang mulai menyerang Nadia. Komentar-komentar pedas memenuhi akun-akun pribadinya:

“Kamu hanya mencari perhatian.”
“Tidak heran Arman meninggalkanmu. Kamu memang berbahaya.”
“Berhenti merusak hidup orang lain demi balas dendam!”

Membaca komentar-komentar itu membuat hati Nadia terluka. Meski dia tahu kebenaran ada di pihaknya, tidak mudah menghadapi gelombang kebencian yang datang dari segala arah.

Namun, di tengah badai itu, ada juga orang-orang yang mendukungnya. Rani, sang jurnalis, segera menghubunginya.

“Kamu baik-baik saja, Nadia?” tanya Rani dengan nada prihatin.

“Sejujurnya, tidak,” jawab Nadia pelan. “Tapi aku tidak akan membiarkan mereka menang.”

Rani mengangguk. “Kita harus melawan mereka dengan fakta. Artikel yang mereka sebarkan tidak memiliki dasar yang kuat. Kita bisa membongkar ini.”

—

Langkah Nadia untuk Membalas

Malam itu, Nadia duduk di meja kerjanya, mencoba mencari cara untuk melawan fitnah yang dilemparkan kepadanya. Dia tahu bahwa publik akan terus menyerangnya jika dia hanya diam.

Dia memutuskan untuk berbicara langsung kepada publik. Dengan bantuan Rani, Nadia membuat sebuah video pernyataan. Dalam video itu, dia menjelaskan semua fakta dengan tenang dan lugas.

“Apa yang saya lakukan bukan karena dendam pribadi, tetapi untuk mengungkap kebenaran,” kata Nadia dalam video itu. “Perusahaan keluarga Setiawan telah menghancurkan banyak kehidupan, dan saya hanya salah satu dari korban mereka. Bukti-bukti yang saya ungkapkan berbicara untuk dirinya sendiri.”

Dia juga menyebutkan nama-nama korban lain, seperti Herman Santoso, dan mendorong mereka untuk maju dan berbicara.

Video itu segera menjadi viral. Dalam waktu singkat, banyak orang yang mulai mempertanyakan kredibilitas artikel yang menyerangnya. Bahkan, beberapa korban lain dari keluarga Setiawan mulai muncul ke permukaan, menguatkan pernyataan Nadia.

—

Arman Mulai Terpojok

Di sisi lain, Arman mulai kehilangan kendali atas situasi. Apa yang awalnya dia kira sebagai langkah untuk membungkam Nadia justru berbalik menghancurkannya. Dukungan publik kepada Nadia semakin besar, dan tekanan terhadap keluarganya semakin kuat.

Di tengah kekacauan itu, Arman mencoba menghubungi Nadia.

“Nadia, kita perlu bicara,” katanya melalui telepon.

“Apa lagi yang ingin kamu katakan, Arman?” tanya Nadia dengan nada dingin.

“Kamu harus menghentikan ini. Kamu tidak tahu siapa yang sedang kamu hadapi.”

Nadia tertawa kecil. “Aku tahu persis siapa yang sedang aku hadapi. Seseorang yang tidak tahan melihat kekuasaannya runtuh.”

“Kamu akan menyesal,” ancam Arman sebelum menutup telepon.

Ancaman itu hanya membuat Nadia semakin yakin bahwa dia berada di jalur yang benar.

—

Kehilangan Sekutu

Namun, perjuangan Nadia tidak tanpa pengorbanan. Siska, yang awalnya terlihat seperti sahabat yang mulai mendekat kembali, tiba-tiba menghilang dari kehidupannya. Setelah berita tentang Nadia menyebar, Siska memutus semua komunikasi.

Nadia menyadari bahwa Siska mungkin telah memihak Arman. Meski kecewa, dia tidak terlalu terkejut. “Dia tidak pernah benar-benar ada di pihakku,” pikirnya.

—

Momentum Baru

Beberapa minggu kemudian, investigasi resmi terhadap perusahaan keluarga Setiawan dimulai. Berita itu menjadi pukulan telak bagi Arman dan keluarganya. Beberapa aset mereka mulai dibekukan, dan ayah Arman dipanggil untuk memberikan keterangan di hadapan pihak berwenang.

Bagi Nadia, ini adalah kemenangan kecil. Tapi dia tahu bahwa perang ini belum selesai. Arman masih memiliki kekuatan, dan Nadia harus tetap waspada.

Sambil menatap layar laptopnya yang penuh dengan artikel-artikel tentang skandal itu, Nadia tersenyum tipis.

“Ini baru permulaan,” gumamnya. “Aku akan pastikan mereka tidak punya tempat untuk bersembunyi.*

Bab 7: Sisi Gelap Pengorbanan

Setelah minggu-minggu penuh ketegangan, investigasi terhadap perusahaan keluarga Setiawan semakin mendalam. Berita tentang penggelapan dana, manipulasi keuangan, dan korupsi terus mendominasi headline media. Nama Arman menjadi sorotan negatif di mana-mana, dan tekanan terhadap keluarganya semakin berat. Namun, meskipun keadaan publik tampak berpihak pada Nadia, di balik layar, Arman mulai merancang strategi untuk melawan balik dengan cara yang lebih berbahaya.

Nadia, di sisi lain, mulai merasakan dampak dari keputusannya. Perjuangan untuk membongkar kebenaran telah mengubah hidupnya sepenuhnya, dan untuk pertama kalinya, dia merasakan kelelahan emosional yang begitu dalam.

—

Retaknya Hubungan dengan Lina

Pagi itu, Lina datang ke apartemen Nadia dengan wajah yang serius. Saat masuk, Lina langsung melemparkan koran ke meja. Di halaman depan, ada artikel baru yang menyebutkan bahwa Nadia telah menerima bantuan dari “pihak tertentu” untuk menghancurkan keluarga Setiawan.

“Apa ini, Nadia?” tanya Lina dengan nada tajam.

Nadia menatap artikel itu dengan tenang. “Itu hanya fitnah lain dari Arman. Mereka mencoba membalikkan opini publik.”

“Tapi ini mulai tidak masuk akal, Nad. Aku mengenalmu, tapi sekarang aku mulai ragu. Apa benar semua ini hanya tentang membongkar kebenaran? Atau ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?”

Nadia terdiam. Lina adalah sahabat yang selalu dia percaya, tetapi kali ini, dia tidak bisa sepenuhnya jujur.

“Lina, aku hanya ingin keadilan. Itu saja,” jawab Nadia akhirnya.

“Tapi caramu… kamu tidak lagi seperti Nadia yang aku kenal. Kamu berubah,” kata Lina dengan nada sedih sebelum pergi meninggalkan apartemen.

Kata-kata Lina menghantui Nadia sepanjang hari. Dia tahu bahwa perjuangannya telah mengubahnya, tetapi dia tidak yakin apakah perubahan itu untuk kebaikan atau malah membawanya ke sisi gelap dirinya.

—

Ancaman Baru dari Arman

Malam itu, Nadia menerima sebuah paket tanpa pengirim. Saat dia membuka kotak itu, dia menemukan tumpukan foto dirinya yang diambil secara diam-diam—di rumah, di jalan, bahkan saat dia bersama Lina. Di dalam kotak itu juga ada catatan kecil yang bertuliskan:

“Kamu pikir kamu menang? Ini baru awal dari kehancuranmu.”

Jantung Nadia berdegup kencang. Dia langsung tahu bahwa ini adalah langkah baru dari Arman untuk membuatnya takut. Tetapi alih-alih gentar, ancaman itu hanya membuat tekad Nadia semakin kuat.

Namun, dia juga sadar bahwa Arman tidak main-main. Dia mulai menyadari bahwa perjuangannya bukan hanya tentang membongkar kebenaran, tetapi juga tentang bertahan hidup.

—

Kehadiran Siska yang Misterius

Di tengah tekanan yang semakin besar, Siska tiba-tiba muncul kembali. Dia mengirim pesan singkat kepada Nadia, meminta untuk bertemu. Meski ragu, Nadia memutuskan untuk menemui Siska di sebuah kafe kecil di pinggiran kota.

Ketika Nadia tiba, Siska sudah menunggu dengan wajah yang terlihat gugup.

“Nadia, aku tahu aku menghilang, dan aku minta maaf,” kata Siska dengan suara pelan.

“Kenapa kamu kembali sekarang?” tanya Nadia dingin.

“Aku tahu kamu sedang menghadapi banyak hal. Dan aku… aku ingin membantumu,” jawab Siska.

Nadia memandang Siska dengan curiga. “Kenapa aku harus percaya padamu? Kamu memilih berpihak pada Arman ketika aku membutuhkanmu.”

Siska menundukkan kepala. “Aku tidak berpihak padanya. Aku hanya bingung, Nad. Tapi sekarang aku sadar bahwa Arman bukan orang yang aku pikirkan. Aku menemukan sesuatu…”

Siska mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan menyerahkannya kepada Nadia. Di dalam amplop itu ada salinan email-email antara Arman dan seorang eksekutif tinggi di perusahaannya. Dalam email itu, ada percakapan tentang bagaimana mereka menyembunyikan aset di luar negeri dan melibatkan nama beberapa pejabat penting.

“Dari mana kamu mendapatkan ini?” tanya Nadia, terkejut.

“Arman ceroboh. Dia meninggalkan laptopnya di rumahku, dan aku… aku ingin tahu apa yang dia sembunyikan,” jawab Siska.

Meski masih ada keraguan dalam hatinya, Nadia tahu bahwa informasi ini sangat berharga. Ini bisa menjadi bukti tambahan untuk menghancurkan Arman dan keluarganya.

—

Persiapan untuk Langkah Terakhir

Dengan bukti baru di tangannya, Nadia kembali menemui Rani. Bersama-sama, mereka mulai menyusun strategi untuk membawa kasus ini ke tingkat yang lebih tinggi.

“Kita harus memastikan bahwa ini tidak hanya berhenti di media,” kata Rani. “Kita perlu melibatkan pihak berwenang secara langsung.”

Nadia setuju. Mereka memutuskan untuk memberikan salinan bukti-bukti itu kepada lembaga anti-korupsi, memastikan bahwa penyelidikan terhadap keluarga Setiawan semakin kuat.

Namun, Nadia juga tahu bahwa langkah ini akan membuat Arman semakin terpojok, dan dia tidak akan tinggal diam.

—

Pertemuan Rahasia dengan Herman

Di tengah persiapan mereka, Nadia menerima panggilan tak terduga dari Herman Santoso. Pria itu meminta untuk bertemu di tempat yang dirahasiakan, mengatakan bahwa dia memiliki informasi penting yang bisa mengubah segalanya.

Ketika mereka bertemu, Herman terlihat gelisah.

“Ada sesuatu yang perlu kamu tahu, Nadia,” katanya dengan nada serius. “Keluarga Setiawan tidak hanya bermain di penggelapan dana. Mereka juga terlibat dalam kejahatan yang lebih besar—perdagangan ilegal dan pencucian uang. Mereka memiliki jaringan yang luas, dan aku takut mereka akan melakukan apa saja untuk melindungi itu.”

Kata-kata Herman membuat Nadia semakin waspada. Jika apa yang dia katakan benar, maka ini bukan lagi tentang balas dendam pribadi. Ini adalah perang melawan sistem yang korup.

—

Kegelapan Mulai Mendekat

Malam itu, Nadia kembali ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa dia semakin dekat dengan kebenaran, tetapi dia juga sadar bahwa taruhannya semakin tinggi.

Saat dia menatap keluar jendela, dia melihat sebuah mobil hitam yang parkir di depan apartemennya. Mobil itu tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan penghuninya tampak mencurigakan.

Nadia merasakan desakan ketakutan yang tiba-tiba. Dia tahu bahwa Arman mungkin sudah mulai mengincarnya secara langsung.

Namun, dia tidak akan mundur. Dengan atau tanpa dukungan, dia akan terus maju.

“Jika ini harga yang harus aku bayar, aku akan menerimanya,” gumamnya pelan.*

Bab 8: Pertaruhan Nyawa

Nadia bangun di pagi yang suram dengan perasaan tidak tenang. Semalaman dia tidak bisa tidur, memikirkan ancaman yang semakin nyata di sekitarnya. Mobil hitam misterius yang terparkir di depan apartemennya belum terlihat lagi sejak tadi malam, tetapi firasat buruk terus mengganggunya. Dia tahu Arman semakin terpojok, dan itu membuatnya menjadi lebih berbahaya.

Namun, Nadia memutuskan untuk tetap melangkah maju. Dia tidak akan membiarkan rasa takut menguasainya. Hari itu, dia bertemu dengan Rani untuk menyusun langkah berikutnya.

—

Rencana Publikasi Besar

“Bukti yang kamu miliki sekarang sudah cukup untuk mengguncang sistem,” kata Rani sambil menunjukkan salinan dokumen yang mereka kumpulkan. “Jika kita publikasikan ini bersamaan dengan pernyataan resmi dari korban lain, keluarga Setiawan tidak akan punya ruang untuk bersembunyi.”

Nadia mengangguk, tetapi pikirannya masih gelisah. “Apa menurutmu mereka akan membiarkan ini terjadi tanpa perlawanan?”

Rani menatapnya dengan serius. “Tidak. Tapi kita harus tetap melangkah. Semakin lama kita menunda, semakin besar risiko mereka menghancurkan bukti atau melawan balik dengan cara yang lebih kejam.”

Mereka sepakat untuk mengadakan konferensi pers dengan menghadirkan beberapa korban lain, termasuk Herman Santoso. Rani juga menghubungi lembaga anti-korupsi untuk memastikan bukti itu tidak hanya beredar di media, tetapi juga sampai ke pihak berwenang.

—

Peringatan dari Siska

Sore itu, Siska tiba-tiba menelepon Nadia. Suaranya terdengar panik.

“Nadia, kamu harus berhati-hati. Aku dengar Arman sedang merencanakan sesuatu,” katanya terburu-buru.

“Apa maksudmu?” tanya Nadia dengan nada tegang.

“Aku tidak tahu pasti, tapi dia marah besar sejak bukti-bukti itu keluar. Dia bilang dia tidak peduli lagi dengan apa yang harus dilakukan untuk menghentikanmu,” jawab Siska.

Nadia menghela napas panjang. “Terima kasih, Siska. Aku sudah tahu risikonya.”

“Tolong, Nad, jaga dirimu. Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” pinta Siska sebelum menutup telepon.

Meskipun dia menghargai peringatan Siska, Nadia tahu bahwa tidak ada jalan untuk mundur sekarang. Dia telah memulai perang ini, dan dia harus menyelesaikannya.

—

Serangan di Tengah Malam

Malam itu, Nadia sedang memeriksa dokumen-dokumen di ruang kerjanya ketika dia mendengar suara langkah kaki di luar pintunya. Dia membeku, telinganya menangkap suara samar seseorang yang mencoba membuka pintu apartemennya.

Dengan cepat, Nadia mengambil ponselnya dan menghubungi polisi, tetapi sebelum dia sempat berbicara, pintu depan berhasil dibuka dengan paksa. Dua pria bertopeng masuk dengan cepat, membawa tongkat besi di tangan mereka.

Nadia mencoba melawan, tetapi kekuatan mereka jauh di atasnya. Salah satu dari mereka menarik lengannya, sementara yang lain merobek tasnya dan mengambil laptop serta dokumen-dokumen di meja.

“Kamu seharusnya berhenti bermain-main dengan api,” kata salah satu pria itu dengan nada mengancam sebelum mereka pergi.

Setelah mereka menghilang, Nadia terjatuh di lantai, tubuhnya gemetar. Rasa sakit dari serangan fisik itu tidak seberapa dibandingkan dengan ketakutannya. Semua bukti penting yang dia kumpulkan selama ini telah dicuri.

—

Bantuan yang Tak Terduga

Pagi harinya, Nadia melaporkan insiden itu kepada polisi, tetapi dia tahu bahwa mereka tidak akan banyak membantu. Pihak keluarga Setiawan memiliki koneksi yang kuat, bahkan dalam penegakan hukum.

Ketika Nadia sedang mencoba memulihkan diri, Herman Santoso tiba-tiba muncul di apartemennya.

“Aku dengar apa yang terjadi,” katanya sambil membawa map besar di tangannya.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Herman?” tanya Nadia, masih terlihat lelah.

“Aku tidak bisa membiarkan mereka menang. Ini,” kata Herman sambil menyerahkan map itu, “adalah salinan dari dokumen yang kamu butuhkan. Aku sudah mempersiapkan ini sebelumnya, untuk berjaga-jaga.”

Nadia membuka map itu dan melihat bahwa isinya adalah salinan email, laporan keuangan, dan bukti lainnya. Air mata hampir mengalir di wajahnya.

“Herman, kamu tidak tahu betapa pentingnya ini,” katanya dengan suara bergetar.

“Aku tahu, Nadia. Tapi kamu harus bergerak cepat. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka menghancurkanmu,” jawab Herman.

—

Konferensi Pers yang Menentukan

Meski tubuhnya masih terasa sakit akibat serangan itu, Nadia memutuskan untuk melanjutkan rencana konferensi pers. Bersama Rani dan Herman, dia mengatur acara itu di sebuah gedung kecil yang jauh dari pusat kota, untuk menghindari gangguan dari pihak keluarga Setiawan.

Hari itu, puluhan jurnalis hadir. Nadia, dengan wajah yang penuh tekad meski ada luka di sudut bibirnya, melangkah maju ke podium.

“Saya berdiri di sini bukan hanya untuk diri saya sendiri, tetapi untuk semua orang yang telah dirugikan oleh keluarga Setiawan,” katanya dengan suara tegas. “Ini bukan lagi tentang balas dendam pribadi. Ini tentang keadilan.”

Dia memaparkan semua bukti yang mereka miliki, didukung oleh pernyataan langsung dari Herman dan beberapa korban lain. Presentasi itu diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari para jurnalis yang hadir.

Namun, di dalam hati Nadia, dia tahu bahwa ini belum selesai. Dia telah membuat langkah besar, tetapi perang ini masih jauh dari usai.

—

Arman yang Semakin Terpojok

Di tempat lain, Arman menyaksikan siaran langsung konferensi pers itu dengan wajah yang penuh amarah. Untuk pertama kalinya, dia merasa kehilangan kendali sepenuhnya.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya salah satu eksekutifnya dengan gugup.

“Kita harus membuat dia berhenti. Dengan cara apa pun,” jawab Arman dengan nada dingin.

Keputusan itu mengarah pada rencana baru yang jauh lebih berbahaya bagi Nadia.*

Bab 9: Jejak Darah di Tengah Pertempuran

Konferensi pers besar yang digelar Nadia menjadi pukulan telak bagi keluarga Setiawan. Berita tentang kejahatan mereka menyebar dengan cepat, menyulut kemarahan publik. Bukti-bukti yang Nadia ungkapkan berhasil mendorong pihak berwenang untuk mempercepat investigasi, bahkan ada desas-desus bahwa keluarga Setiawan akan menghadapi tuntutan resmi dalam waktu dekat.

Namun, meski berada di ambang kekalahan, Arman tidak berniat menyerah. Dia tahu bahwa Nadia adalah ancaman terbesar baginya, dan jika dia tidak segera menghentikannya, semua yang dia miliki akan runtuh. Arman memutuskan untuk mengambil langkah terakhir—langkah yang penuh risiko dan bahaya.

—

Pesan Misterius di Malam Hari

Malam itu, Nadia sedang duduk di apartemennya, mencoba mencerna semua yang telah terjadi. Pikirannya dipenuhi dengan rasa puas karena akhirnya kebenaran mulai terungkap, tetapi dia tidak bisa menghilangkan rasa was-was yang terus mengikutinya.

Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Sebuah pesan anonim masuk, hanya berisi satu kalimat:

“Apakah semua ini sepadan dengan nyawamu?”

Nadia menatap pesan itu dengan tangan gemetar. Ancaman ini lebih dari sekadar peringatan; ini adalah tanda bahwa Arman akan mengambil langkah yang lebih ekstrem. Dia langsung menelepon Rani.

“Aku baru saja menerima ancaman lagi,” kata Nadia tanpa basa-basi.

“Ancaman apa?” tanya Rani dengan nada serius.

“Pesan singkat. Mereka tahu bahwa aku tidak akan berhenti, jadi sekarang mereka mencoba menakutiku dengan cara lain.”

“Kita harus melapor ke polisi,” kata Rani tegas.

“Tapi mereka tidak akan membantu. Polisi mungkin saja sudah disuap oleh keluarga Setiawan,” jawab Nadia, frustrasi.

Rani terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kalau begitu, kamu tidak boleh sendirian. Aku akan datang ke apartemenmu malam ini.”

—

Sebuah Ledakan di Tengah Malam

Ketika Rani tiba di apartemen Nadia, suasana sudah mulai tenang. Mereka duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri sambil menyusun langkah berikutnya. Namun, tidak lama setelah itu, suara dentuman keras terdengar dari luar.

“Ledakan?” Rani berbisik, terkejut.

Mereka berlari ke jendela dan melihat api menjalar di sebuah mobil yang terparkir di depan apartemen Nadia. Itu adalah mobil milik Rani.

“Astaga, mereka benar-benar ingin menghancurkan kita,” kata Nadia dengan napas memburu.

Sementara sirene polisi terdengar di kejauhan, Nadia menyadari bahwa ancaman ini bukan lagi sekadar intimidasi. Arman dan orang-orangnya benar-benar siap melakukan apa saja untuk membungkamnya.

—

Tawaran dari Herman

Keesokan harinya, Herman menghubungi Nadia dan memintanya untuk bertemu di tempat rahasia. Ketika mereka bertemu, Herman tampak lebih tegang dari biasanya.

“Nadia, ini sudah tidak aman lagi untukmu,” kata Herman.

“Aku tahu. Tapi aku tidak akan berhenti,” jawab Nadia dengan tegas.

“Aku mengerti, tapi aku punya cara lain untuk membantu. Aku tahu tempat di mana kamu bisa bersembunyi sementara. Biarkan aku menangani sisanya,” kata Herman.

Namun, Nadia menggeleng. “Aku tidak akan bersembunyi, Herman. Ini adalah perjuanganku, dan aku harus berada di garis depan.”

“Tapi nyawamu terancam!” Herman membalas dengan nada tinggi.

Nadia menatapnya dengan mata penuh tekad. “Jika aku menyerah sekarang, mereka akan menang. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

—

Arman yang Kehilangan Kendali

Di tempat lain, Arman semakin terpojok. Investigasi resmi telah dimulai, dan beberapa aset keluarganya sudah dibekukan. Bahkan beberapa rekan bisnisnya mulai menarik diri, tidak ingin terlibat dalam skandal besar ini.

“Kita tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut,” kata salah satu penasihatnya.

“Aku tahu,” jawab Arman dengan nada dingin. “Tapi Nadia harus dihentikan. Jika kita tidak bisa membungkamnya, kita harus… menghilangkannya.”

“Apakah kamu yakin?” tanya penasihat itu, tampak ragu.

Arman menatapnya dengan tajam. “Aku tidak punya pilihan lain. Dia sudah menghancurkan segalanya.”

Keputusan Arman ini membuka babak baru yang lebih berbahaya. Dia menyewa orang untuk mengawasi gerak-gerik Nadia, bahkan merencanakan sesuatu yang jauh lebih kejam.

—

Pengkhianatan yang Menyakitkan

Di tengah situasi yang semakin memanas, Nadia menerima kunjungan tak terduga dari Siska. Namun, kali ini Siska datang dengan sikap yang berbeda.

“Aku harus memberitahumu sesuatu,” kata Siska dengan nada pelan.

“Apa itu?” tanya Nadia, mencoba membaca ekspresi sahabat lamanya itu.

“Aku… aku telah melakukan sesuatu yang salah. Arman membayarku untuk memata-mataimu,” jawab Siska akhirnya, suaranya gemetar.

Nadia terkejut, tetapi dia berusaha tetap tenang. “Kenapa kamu melakukan itu, Siska?”

“Aku tidak punya pilihan, Nad. Dia mengancamku. Tapi aku tidak bisa melanjutkan ini lagi. Aku ingin membantumu sekarang, sungguh,” kata Siska, air mata mengalir di wajahnya.

Meskipun merasa dikhianati, Nadia tahu bahwa Siska mungkin bisa menjadi sekutu yang berharga. Dia memutuskan untuk memberinya kesempatan kedua, tetapi tetap waspada.

—

Langkah Terakhir Arman

Malam itu, Nadia menerima informasi dari Siska bahwa Arman telah memerintahkan serangan langsung terhadapnya. Nadia segera menghubungi Rani dan Herman untuk meminta bantuan.

“Kita harus segera memindahkan semua bukti ke tempat yang lebih aman,” kata Rani.

Mereka bekerja sepanjang malam untuk menyusun langkah terakhir mereka, memastikan bahwa bukti-bukti itu akan tetap aman meski sesuatu terjadi pada Nadia.

Namun, saat fajar mulai menyingsing, Nadia merasa bahwa perang ini semakin mendekati klimaksnya.

“Ini mungkin akhir dari segalanya, tapi aku tidak akan mundur,” gumamnya pada dirinya sendiri.*

Bab 10: Kebenaran yang Membebaskan

Matahari pagi menyinari kota yang masih tenang, tetapi di hati Nadia, badai terus berkecamuk. Dia tahu hari ini akan menjadi hari penentuan, hari di mana semuanya akan berakhir—baik untuk dirinya atau untuk Arman. Setelah malam yang panjang mempersiapkan langkah terakhir bersama Rani dan Herman, Nadia merasa yakin bahwa waktunya untuk melawan habis-habisan telah tiba.

—

Pertemuan di Lokasi Rahasia

Rani, Herman, dan Nadia bertemu di sebuah gudang tua di pinggir kota untuk memastikan semua bukti yang mereka miliki telah siap dipublikasikan. Mereka telah mengatur jaringan media, aktivis, dan pihak-pihak yang dapat membantu agar kebenaran ini menyebar lebih luas, meskipun keluarga Setiawan berusaha membungkam mereka.

“Semua sudah siap,” kata Herman sambil menutup map terakhir. “Aku sudah menghubungi beberapa media internasional juga. Jika sesuatu terjadi pada kita, mereka akan memastikan bukti ini tetap tersebar.”

Nadia mengangguk. “Terima kasih, Herman. Tapi aku tidak ingin ada yang terluka. Jika Arman benar-benar datang, kalian semua harus pergi. Biarkan aku yang menghadapinya.”

“Jangan bodoh, Nadia,” kata Rani dengan nada tegas. “Kita bersama dalam hal ini.”

Namun, jauh di dalam hatinya, Nadia merasa bahwa pertarungan ini adalah tanggung jawabnya sendiri.

—

Serangan yang Tak Terduga

Sementara mereka masih berdiskusi, suara deru mobil mendekati gudang. Nadia segera merasakan firasat buruk.

“Siapa itu?” tanya Rani, matanya waspada.

Herman mengintip dari celah pintu dan melihat tiga mobil hitam berhenti di luar gudang. Dari mobil-mobil itu keluar beberapa pria bersenjata.

“Mereka di sini,” bisik Herman.

Nadia tahu ini adalah orang-orang Arman. Mereka datang untuk menyelesaikan segalanya.

“Cepat, bawa dokumen-dokumen itu dan keluar dari pintu belakang,” kata Nadia.

“Apa? Bagaimana denganmu?” tanya Rani.

“Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Jangan khawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri,” jawab Nadia dengan senyum samar.

Meski enggan, Rani dan Herman akhirnya setuju. Mereka mengambil dokumen-dokumen penting dan keluar melalui pintu belakang, meninggalkan Nadia di gudang.

—

Konfrontasi dengan Arman

Tak lama kemudian, pintu gudang didobrak. Arman masuk dengan langkah penuh percaya diri, diiringi oleh beberapa pria bersenjata.

“Nadia,” katanya dengan nada penuh kemarahan. “Kamu benar-benar berani mengacaukan hidupku.”

“Dan kamu benar-benar berpikir aku akan berhenti hanya karena kamu mencoba menakut-nakutiku?” balas Nadia dengan tegas.

Arman mendekat, matanya memancarkan kebencian. “Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi. Aku sudah kehilangan segalanya karena kamu!”

“Yang kamu kehilangan adalah karena keserakahanmu sendiri, Arman. Aku hanya menunjukkan pada dunia siapa kamu sebenarnya,” jawab Nadia.

Arman tertawa sinis. “Kamu pikir ini akan berakhir baik untukmu? Kamu tidak akan keluar dari sini hidup-hidup.”

Namun, sebelum Arman bisa melangkah lebih jauh, suara sirene polisi terdengar di luar gudang. Nadia tersenyum tipis.

“Kamu terlalu meremehkanku, Arman. Aku tahu kamu akan datang, jadi aku sudah memanggil polisi,” katanya.

Arman tertegun, dan para pria bersenjatanya mulai panik. Mereka mencoba melarikan diri, tetapi polisi telah mengepung area tersebut.

—

Kejatuhan Arman

Dalam kekacauan yang terjadi, Arman mencoba melawan, tetapi akhirnya dia ditangkap oleh polisi bersama anak buahnya. Saat dia dibawa keluar, dia menatap Nadia dengan penuh kebencian.

“Kamu mungkin menang sekarang, tapi ini belum selesai,” katanya dengan nada mengancam.

Nadia hanya diam, tetapi dalam hatinya, dia merasa lega. Dia tahu bahwa ancaman Arman hanyalah upaya terakhir dari seorang pria yang sudah kalah.

—

Penutup Perjuangan

Beberapa hari setelah penangkapan Arman, berita tentang kejahatan keluarga Setiawan menyebar ke seluruh negeri. Investigasi resmi membawa lebih banyak bukti ke permukaan, dan keluarga Setiawan akhirnya harus menghadapi hukum.

Nadia duduk di balkon apartemennya, menatap langit senja dengan perasaan campur aduk. Perjuangannya selama ini telah membuahkan hasil, tetapi dia kehilangan banyak hal dalam prosesnya—kepercayaan, hubungan, dan sebagian dari dirinya sendiri.

Rani datang membawa dua gelas kopi. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanyanya.

“Lega, tapi juga kosong,” jawab Nadia jujur. “Aku mendapatkan keadilan, tapi aku kehilangan begitu banyak.”

“Kadang, perjuangan memang seperti itu. Tapi lihat sisi baiknya. Kamu telah memberikan harapan pada banyak orang,” kata Rani sambil tersenyum.

Nadia mengangguk perlahan. Dia tahu bahwa perjuangannya tidak sia-sia. Dia telah membuktikan bahwa kebenaran bisa menjadi senjata paling kuat, meski harus melalui banyak pengorbanan.

—

Epilog: Awal Baru

Beberapa bulan kemudian, Nadia memulai hidup baru. Dia memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi yang membantu korban kejahatan korupsi, memastikan bahwa tidak ada lagi yang harus mengalami apa yang dia alami.

Saat dia melangkah ke kantor barunya, Nadia merasa bahwa ini adalah babak baru dalam hidupnya. Perjuangan lama mungkin telah berakhir, tetapi dia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang.

Namun, kali ini, dia tidak merasa takut. Dia telah menemukan kekuatan di dalam dirinya—kekuatan yang tidak hanya untuk membalas dendam, tetapi untuk membawa perubahan.

“Ketika cinta berubah menjadi senjata, aku memilih untuk menjadikan senjata itu alat untuk kebenaran.***

———the and———

Source: SYAHIBAL
Tags: dendam ciintakebenaran terungkapkonflik keluarganovel romansapejuangan keadilan
Previous Post

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

Next Post

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
CINTA YG TAK TERBALAS

CINTA YG TAK TERBALAS

May 11, 2025
Next Post
LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id