Daftar Isi
BAB 1 AWAL YANG TAK TERLUPAKAN
Rina duduk di bangku taman yang terletak tidak jauh dari sekolahnya. Matanya terarah pada daun-daun yang berguguran, bergerak perlahan tertiup angin sore yang sejuk. Hari itu, seperti hari-hari lainnya, sepi. Namun, ada perasaan yang berbeda, sesuatu yang sulit diungkapkan. Ia merasa ada sesuatu yang akan berubah. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa ia lupakan.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar di belakangnya, membuat Rina sedikit terkejut. Ia berbalik dan melihat seorang pemuda dengan senyum lebar, mengenakan jaket hitam dan celana jeans, mendekat dengan langkah santai. Pemuda itu adalah Dimas—gadis yang baru saja ia temui beberapa minggu lalu di acara sekolah.
“Dimas?” Rina menyapa dengan sedikit kebingungan. Tak tahu mengapa, pertemuan mereka kali ini terasa berbeda, seperti ada sesuatu yang tak terucapkan di udara.
Dimas tersenyum lebar, memancarkan pesona yang membuat hati Rina sedikit berdebar. “Hai, Rina. Apa kabar?” Ia duduk di samping Rina tanpa rasa canggung, seolah sudah berteman lama. Meskipun baru mengenal satu sama lain, Dimas punya cara untuk membuat orang merasa nyaman di dekatnya.
“Baik,” jawab Rina singkat, mencoba menenangkan hatinya yang mulai berdegup kencang. “Kamu?” Ia bertanya, berusaha menunjukkan sikap santai meskipun sebenarnya ia mulai merasa gugup.
Dimas menoleh padanya, matanya yang tajam menunjukkan kehangatan yang jarang terlihat pada orang lain. “Aku juga baik. Sebenarnya, aku hanya ingin menghabiskan waktu sebentar di sini. Ada yang ingin kubicarakan.”
Rina sedikit terkejut. Ada sesuatu yang berbeda dengan cara Dimas berbicara kali ini. Biasanya, Dimas hanya bercanda atau berbicara santai, tetapi sekarang ada keseriusan dalam suaranya. Rina pun mulai merasakan keanehan dalam suasana itu.
“Ngomong-ngomong, aku senang kita bisa ngobrol lebih banyak sekarang. Aku merasa kita bisa jadi teman yang baik,” lanjut Dimas dengan nada lembut.
Rina tersenyum, merasa sedikit lega. “Aku juga merasa begitu. Tapi… kenapa tiba-tiba ingin ngobrol serius?” Ia bertanya, meski dalam hati ia merasa penasaran. Sesuatu dalam diri Dimas membuatnya ingin tahu lebih banyak.
Dimas tertawa kecil, namun kali ini terdengar lebih tulus. “Tidak ada yang serius-serius banget, kok. Cuma, aku merasa kita saling memahami lebih dari yang aku kira.”
Rina terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja Dimas katakan. Ada sesuatu di dalam hatinya yang mulai menggeliat, sesuatu yang membuatnya merasa sedikit cemas namun juga bahagia. Perasaan itu datang dengan perlahan, tidak bisa dihentikan, meski ia tidak sepenuhnya bisa mengungkapkannya.
“Begitu?” Rina berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai muncul di dalam hatinya. Ia tidak ingin terlihat terlalu jelas, takut jika Dimas bisa merasakannya.
Dimas menatap Rina dengan tatapan yang lembut namun penuh makna. “Ya, begitulah. Aku merasa ada koneksi antara kita, meskipun baru kenal beberapa waktu. Kita bisa jadi lebih dari teman, kalau kamu mau.”
Rina terkejut. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar langit yang tenang. Sebuah perasaan yang sudah lama ia pendam, yang sepertinya tumbuh begitu alami antara mereka berdua, kini mulai terasa nyata. Namun, ia tidak tahu harus bagaimana meresponsnya. Rina merasa dirinya terjebak dalam dilema antara rasa senang dan takut. Senang karena ada seseorang yang bisa memahami dirinya, tetapi takut karena ia tidak tahu apakah Dimas benar-benar serius atau hanya berbicara karena keadaan.
“Apakah kamu yakin?” Rina akhirnya bertanya dengan suara pelan, takut suaranya terbaca terlalu cemas. “Kita baru kenal, Dimas. Aku nggak tahu kalau… kamu merasa begitu.”
Dimas tersenyum lebih lebar, dan Rina bisa melihat ada ketulusan di balik senyuman itu. “Aku tidak pernah mengatakannya sebelumnya, tapi ya, aku merasa begitu. Aku ingin kita mengenal satu sama lain lebih jauh.”
Rina merasa hatinya berdegup kencang. Kalimat itu seolah menjadi titik balik dalam pikirannya. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang besar, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mungkin ini adalah cinta pertama yang ia cari, meskipun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan perasaan ini.
“Rina,” kata Dimas dengan lebih serius. “Aku tahu ini mungkin datang terlalu cepat, tapi aku hanya ingin kita mencoba untuk saling mengenal lebih dalam. Aku nggak mau buru-buru, tapi aku ingin kita sama-sama melihat ke mana arah ini bisa pergi.”
Rina terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terhenti begitu saja. Ada banyak hal yang berputar dalam pikirannya, tetapi yang paling dominan adalah satu hal: keinginan untuk melangkah maju. Mungkin ini adalah kesempatan yang tidak datang dua kali.
“Aku… Aku juga ingin itu, Dimas,” Rina akhirnya berkata, suara hatinya lebih jujur dari sebelumnya.
Dimas tersenyum lagi, kali ini senyuman yang penuh kebahagiaan. “Aku senang mendengarnya.”
Mereka duduk bersama dalam hening sejenak, masing-masing merenungkan kata-kata yang baru saja diucapkan. Walaupun keduanya tidak mengatakan apapun setelah itu, ada kesepakatan yang tercipta antara mereka, sebuah pemahaman yang tak terucapkan. Mereka mungkin belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi saat itu mereka tahu, ada sesuatu yang dimulai. Sebuah langkah pertama yang tidak bisa diulang, tetapi akan selalu dikenang sebagai awal dari kisah cinta pertama yang tak terlupakan.
Dalam hening sore itu, di bawah langit yang mulai meredup, Rina merasa bahwa mungkin ini adalah saat yang tepat untuk membuka hatinya. Meskipun jalan ke depan masih penuh ketidakpastian, satu hal yang pasti: hidupnya kini tidak akan pernah sama lagi setelah pertemuan ini.*
BAB 2 KETERTARIKAN YANG TERPENDAM
Hari pertama di kelas baru selalu menjadi momen yang mendebarkan, terutama bagi seseorang yang lebih suka menyendiri seperti Rina. Semua orang tampak begitu antusias dengan kehadiran teman-teman baru, sementara ia hanya duduk di sudut ruangan, mencoba menghindari tatapan yang mengarah ke dirinya. Selama bertahun-tahun, Rina telah terbiasa dengan dunia kecilnya sendiri. Ia merasa nyaman dalam kesendirian, dalam dunia yang tidak terlalu memperhatikan kehadirannya.
Namun, ada sesuatu yang berbeda pada hari itu. Ketika mata Rina melirik ke arah pintu, matanya bertemu dengan sosok yang sedang berjalan masuk ke dalam kelas. Dimas. Pemuda dengan rambut cokelat gelap yang sedikit acak-acakan, mengenakan jaket hitam yang tampak pas di tubuhnya. Senyum tipis yang tak pernah hilang dari wajahnya seolah menjadi magnet yang menarik perhatian semua orang di kelas. Ia berjalan dengan langkah yang penuh percaya diri, tampak seolah tak ada yang bisa mengganggu ketenangannya.
Rina, yang duduk di belakang meja dengan pandangan tak sengaja tertuju pada Dimas, merasakan sesuatu yang asing. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ada perasaan yang tiba-tiba muncul, perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Ketika Dimas melintas di depannya, bau parfum yang ringan tapi menyegarkan tercium begitu dekat, dan Rina tanpa sadar menarik napas dalam-dalam. Ia segera mengalihkan pandangannya, berusaha menenangkan diri. “Ini pasti hanya perasaan sesaat,” pikirnya.
Namun, perasaan itu tak mudah hilang. Selama beberapa hari setelah pertemuan pertama itu, Rina merasa semakin tidak nyaman saat Dimas berada di sekitar kelas. Setiap kali Dimas melangkah lebih dekat, entah kenapa, Rina merasakan detak jantungnya semakin kencang, seolah ada sesuatu yang menyelinap dalam dirinya yang membuatnya merasa canggung. Ia berusaha untuk fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya tak bisa lepas dari sosok itu.
Dimas, di sisi lain, tampaknya tidak terlalu memperhatikan Rina. Ia adalah sosok yang populer di sekolah, selalu dikelilingi teman-temannya yang enerjik dan ceria. Rina merasa dirinya begitu kecil dan tidak berarti di dunia Dimas yang penuh dengan tawa dan kegembiraan. Meski begitu, ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa di balik setiap tatapan yang diberikan Dimas, ada perasaan yang sulit dijelaskan.
Suatu hari, ketika jam istirahat tiba, Rina duduk sendirian di bangku dekat taman sekolah. Pikirannya dipenuhi dengan perasaan aneh yang semakin menguasainya. Ia berusaha untuk tidak memikirkannya lebih jauh, tetapi Dimas tiba-tiba muncul di depan matanya. Dengan langkah santainya, Dimas mendekati bangku tempat Rina duduk dan menyapanya dengan senyum yang mengundang hati. “Hei, Rina, kenapa duduk sendirian?” tanyanya.
Rina terkejut, hampir tak bisa mempercayai bahwa Dimas menyapanya. Namun, ia segera berusaha untuk tidak terkesan kaku. “Ah, tidak apa-apa. Aku hanya ingin menikmati udara segar,” jawab Rina sambil tersenyum, meskipun sebenarnya hatinya berdebar kencang.
Dimas mengangguk, lalu duduk di sebelah Rina tanpa diminta. “Sepertinya kamu tipe orang yang suka sendiri, ya? Sama seperti aku,” kata Dimas sambil memandang ke langit, tampak merenung.
Rina terdiam sejenak. “Aku? Mungkin, ya,” jawabnya pelan. Meski kata-katanya terdengar ringan, ada sesuatu yang lebih dalam yang dirasakannya. Suara Dimas yang lembut dan cara dia berbicara membuat hati Rina sedikit lebih tenang, tetapi ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya.
“Kenapa kamu merasa seperti itu?” tanya Dimas, tampak penasaran.
Rina merasa sedikit bingung, tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya. “Aku hanya… tidak terlalu suka keramaian. Lebih nyaman sendiri,” jawabnya, mencoba untuk terdengar biasa saja.
Dimas tersenyum kecil. “Aku juga. Tapi kadang kita butuh sedikit keramaian, kan?” katanya sambil menggulung lengan jaketnya.
Rina hanya mengangguk pelan, tidak tahu harus berkata apa lagi. Percakapan itu berakhir begitu saja, tetapi ada perasaan yang muncul dalam diri Rina—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa ingin tahu tentang Dimas. Mungkin itu adalah ketertarikan yang tak terungkap, atau mungkin itu hanya rasa kagum yang muncul begitu saja.
Hari-hari berlalu, dan meskipun Dimas sering kali melintas di hadapannya, Rina berusaha menekan perasaan itu. Namun, setiap kali ia melihat Dimas tertawa atau berbicara dengan teman-temannya, hatinya selalu merasa tergetar. Ada sesuatu dalam diri Dimas yang begitu memikat, meski Rina tak pernah benar-benar bisa menangkap dengan pasti apa yang membuatnya begitu menarik.
Malam hari setelah sekolah, Rina duduk di kamarnya, menatap langit yang mulai gelap. Pikirannya melayang kembali pada Dimas, pada cara dia berbicara, pada tatapan mata yang sesekali menatapnya dengan intensitas yang membuatnya merasa canggung namun senang. Rina tidak tahu apakah perasaan ini hanya sekadar kekaguman atau sesuatu yang lebih. Ia takut mengakui apa yang dirasakannya, takut jika itu hanya sebuah angan-angan yang tidak akan pernah terwujud.
“Sungguh aneh,” pikirnya. “Kenapa aku merasa seperti ini? Aku bahkan belum pernah berbicara banyak dengan Dimas.”
Namun, meski demikian, perasaan itu terus tumbuh. Ada bagian dari dirinya yang ingin mendekat, berbicara lebih banyak, namun ada juga bagian dari dirinya yang merasa takut, takut jika perasaan itu hanya akan menyakitkan nantinya.
Ketertarikan yang terpendam ini menjadi sebuah misteri dalam hati Rina. Ia tidak tahu bagaimana perasaan ini akan berakhir, apakah ia akan mampu mengungkapkannya atau justru tetap tersembunyi dalam hatinya. Namun, satu hal yang pasti—perasaan ini telah mengubah sesuatu dalam dirinya, membuatnya merasa hidup dengan cara yang baru.*
BAB 3 PERPISAHAN YANG TAK TERDUGA
Hari-hari berlalu begitu cepat, dan seperti biasa, Rina dan Dimas menghabiskan waktu bersama. Mereka duduk berdua di taman sekolah, berbicara tentang segala hal yang membuat mereka tertawa, bahkan yang paling sepele sekalipun. Namun, hari itu berbeda. Ada sesuatu yang terasa asing, sesuatu yang berat di udara yang mereka hirup. Dimas terlihat cemas, matanya kadang menghindar dari pandangan Rina, dan Rina bisa merasakannya. Ada yang tidak beres.
“Rina, aku ingin bicara,” kata Dimas akhirnya, suara rendah dan terkesan ragu.
Rina menatapnya, merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba meningkat. Ada kekhawatiran yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya. “Ada apa, Dimas? Kenapa kamu terlihat seperti itu?” tanya Rina, sedikit cemas.
Dimas menarik napas dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. “Aku… aku dapat kesempatan untuk melanjutkan studi di luar kota. Itu keputusan yang tiba-tiba datang, dan aku harus pergi,” kata Dimas dengan suara yang sedikit gemetar.
Rina terdiam, tak bisa langsung mencerna kata-kata Dimas. Perasaan yang sebelumnya penuh dengan kebahagiaan kini berubah menjadi kekosongan yang tak terucapkan. “Luar kota? Kamu serius?” Rina bertanya, suaranya seperti terhimpit oleh sebuah batu besar.
Dimas mengangguk perlahan. “Aku tidak tahu harus bagaimana, Rina. Kesempatan ini datang begitu saja, dan aku merasa ini adalah langkah yang harus kuambil untuk masa depan. Aku… aku harus pergi, tidak ada pilihan lain.”
Perasaan campur aduk menghujam hati Rina. Ia merasa dunia seolah berhenti berputar seketika. Sambil berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di kelopak matanya, ia bertanya, “Jadi, kita… kita akan berpisah begitu saja?”
Dimas menunduk, tidak mampu menatap mata Rina. “Aku tidak ingin berpisah denganmu, Rina. Tapi ini adalah kesempatan yang tak bisa aku lewatkan. Aku… aku harus pergi untuk masa depan yang lebih baik,” jawabnya, suara penuh penyesalan.
Rina merasakan hatinya hancur. Bagaimana mungkin, setelah semua waktu yang mereka habiskan bersama, semua kenangan yang mereka buat, semuanya harus berakhir begitu saja? Dimas adalah bagian besar dari hidupnya, dan sekarang, ia harus menerima kenyataan bahwa mereka akan terpisah. “Kenapa tidak bilang sebelumnya?” tanya Rina dengan suara serak. “Kenapa kamu tidak memberi tahu aku lebih awal? Aku tidak siap untuk mendengar ini.”
Dimas menggigit bibirnya, merasa tak bisa menjelaskan perasaannya dengan baik. “Aku… aku juga tidak siap. Tapi kesempatan ini datang begitu saja, dan aku tidak bisa mengabaikannya. Aku tahu, ini akan sulit untuk kita berdua. Tapi aku yakin, ini adalah keputusan yang benar untuk masa depan.”
Rina menatap Dimas, mencoba memahami kata-katanya, tetapi hatinya tetap terasa begitu berat. “Masa depan? Bagaimana dengan kita? Apa yang akan terjadi dengan kita, Dimas?” tanya Rina, suaranya hampir tidak terdengar.
Dimas menghela napas lagi, dan kemudian berkata pelan, “Aku tidak tahu, Rina. Aku berharap kita bisa terus bersama, tetapi aku juga tidak bisa menahan impian dan tujuanku sendiri. Aku ingin mengejar masa depan, dan aku takut, jika kita terus bersama, aku mungkin tidak bisa mencapai apa yang aku inginkan.”
Kata-kata itu seperti sembilu yang menusuk hati Rina. “Jadi, kita berakhir begitu saja? Cuma karena kamu ingin mengejar masa depan?” tanyanya, merasa kesal dan kecewa.
Dimas menatap Rina dengan penuh penyesalan. “Aku tidak ingin mengakhirinya begitu saja. Tapi aku merasa, ini adalah jalan yang harus kutempuh. Aku berharap kamu mengerti, meskipun aku tahu ini sulit.”
Rina menunduk, mencoba menahan air matanya yang mulai mengalir. Rasanya seperti sebuah dunia yang baru saja hancur di depannya. “Aku tidak mengerti, Dimas. Aku tidak mengerti kenapa kamu memilih ini. Aku selalu mendukungmu, tapi kenapa sekarang harus seperti ini?”
Dimas ingin mengatakan lebih banyak, tetapi kata-kata itu terasa terjebak di tenggorokannya. Ia ingin meyakinkan Rina bahwa ia tidak ingin pergi, bahwa ia ingin mereka tetap bersama, tetapi realita itu terlalu keras untuk diterima. “Aku… aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku juga bingung. Tapi aku harus pergi, Rina.”
Beberapa detik berlalu, dan suasana menjadi hening. Rina merasa tak ada lagi yang bisa dikatakan. Semua kata-kata terasa hampa. “Jika kamu harus pergi, maka pergilah. Aku tidak bisa memaksamu untuk tetap di sini. Tapi, aku tidak tahu bagaimana aku bisa terus seperti ini tanpa kamu,” ujar Rina, suaranya hampir tak terdengar.
Dimas merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Rina, tetapi ia tahu, keputusan ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan. “Aku akan selalu ingat kamu, Rina. Kita mungkin akan terpisah, tapi aku akan selalu membawa kenangan kita bersamaku. Aku berharap kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti.”
Rina hanya mengangguk pelan, mencoba menahan isak tangis yang semakin sulit dibendung. “Aku juga berharap begitu, Dimas. Tapi aku takut, kita akan berubah. Aku takut kalau kita tidak akan sama lagi setelah ini.”
Dimas menggapai tangan Rina, menggenggamnya erat, seolah ingin memberikan kekuatan terakhir. “Kita tidak akan berubah, Rina. Mungkin jarak akan memisahkan kita, tapi perasaan kita tidak akan pernah hilang.”
Saat itu, Rina merasa begitu banyak hal yang ingin ia katakan, namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Ia hanya bisa merasakan kepedihan yang mendalam, yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Ketika Dimas akhirnya berpamitan, Rina merasa seolah semua harapan dan impian yang ia bangun bersama Dimas telah hancur begitu saja. Namun, ia tahu, meskipun perpisahan ini terasa begitu menyakitkan, ia harus menerimanya.
Hari-hari setelah perpisahan itu berlalu dengan perlahan. Rina mencoba mengisi kekosongan dalam hidupnya, meskipun hati kecilnya terus merindukan Dimas. Mereka memang terpisah, tetapi kenangan tentang mereka tetap hidup dalam setiap langkah Rina, dan meskipun mereka tidak bersama lagi, cinta yang pernah ada tetap berbekas.
Rina tahu, suatu hari nanti, mungkin mereka akan menemukan jalan masing-masing. Tapi untuk saat ini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa perpisahan ini adalah bagian dari perjalanan hidupnya—perpisahan yang tak terduga, namun mengubah segalanya.*
BAB 4 JARAK YANG MEMBUAT RINDU
Setelah Dimas pergi ke luar kota untuk melanjutkan studinya, Rina merasa kesepian. Taman tempat mereka dulu sering bertemu terasa lebih kosong tanpa kehadiran Dimas di sampingnya. Setiap sudut kota yang pernah mereka jelajahi bersama kini hanya menyisakan kenangan yang terus mengganggu pikirannya. Walaupun mereka masih berhubungan melalui pesan singkat dan telepon, namun ada perasaan kosong yang tak bisa digantikan dengan kata-kata. Rina mulai merasa bahwa hubungan mereka kini hanya berbentuk bayangan, tertahan oleh jarak yang memisahkan mereka.
Malam-malam di tempat tidurnya terasa lebih panjang, dengan hanya suara detakan jam yang mengisi keheningan. Rina sering terjaga, teringat akan pertemuan-pertemuan singkat mereka, tawa-tawa yang dulu sering menghiasi percakapan mereka. Setiap kali ponselnya berdering, hatinya selalu berdegup kencang, berharap itu adalah pesan dari Dimas. Tetapi, meskipun mereka berkomunikasi setiap hari, ada rasa yang berbeda. Pesan-pesan mereka kini terasa formal, seperti ada tembok tak terlihat yang terbentuk antara mereka.
Dimas juga merasakan hal yang sama. Meski ia menikmati kehidupan barunya, suasana baru di kota yang jauh, ia tidak bisa menahan perasaan rindu yang terus menghantui. Meskipun sibuk dengan kegiatan akademisnya, ia merasa ada kekosongan yang tidak bisa diisi dengan apapun. Setiap kali ia mengingat Rina, hatinya teraduk-aduk. Ia merindukan tawa cerianya, cara Rina berbicara dengan penuh semangat tentang hal-hal kecil, dan bahkan cara Rina mendengarkan dengan penuh perhatian ketika ia menceritakan perasaannya.
Rindu itu semakin mendalam ketika malam tiba. Dimas sering mengirimkan pesan kepada Rina, kadang hanya untuk menanyakan kabar, atau sekadar berbicara tentang hal-hal ringan yang terjadi di hari itu. Meski mereka tetap berkomunikasi, ia merasa ada jarak yang semakin besar antara mereka. Terkadang, ia merasa bingung, apakah komunikasi yang mereka jalani ini benar-benar menjaga hubungan mereka tetap hidup, atau justru semakin membuatnya merasa terasing.
Pada suatu sore, Rina duduk di balkon kamarnya, memandang langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. Angin yang bertiup lembut membawa aroma bunga yang mekar di sekitar rumahnya. Rina teringat kembali akan saat-saat indah yang mereka habiskan bersama, saat-saat yang kini hanya menjadi kenangan yang menghantui pikirannya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan perasaan yang mulai gelisah.
Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Dimas mengirimkan pesan, seperti biasa, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam kalimatnya.
“Rina, aku tahu jarak ini mulai membuat kita merasa jauh. Tapi aku ingin kau tahu, setiap hari aku merindukanmu lebih dari yang bisa aku katakan. Aku tahu kita tidak bisa terus seperti ini, tapi aku hanya ingin kau tahu, kamu selalu ada di pikiranku.”
Rina menatap pesan itu dengan hati yang berdebar. Ia merasakan kehangatan yang tiba-tiba muncul di dadanya, tetapi juga ada rasa cemas. Apakah ini artinya Dimas merasa seperti yang ia rasakan? Rina merasa perasaannya semakin campur aduk. Ia ingin sekali melompat ke dalam pelukan Dimas dan mengatakan bahwa ia merindukannya lebih dari apapun. Namun, ada ketakutan yang menahan setiap kata yang ingin ia ucapkan. Apakah Dimas masih merasa hal yang sama? Apakah mereka akan bisa bertahan menghadapi jarak ini?
Dengan tangan gemetar, Rina membalas pesan itu.
“Aku juga merindukanmu, Dimas. Rasanya sangat sulit menjalani hari-hari tanpa kehadiranmu. Setiap tempat yang pernah kita kunjungi bersama, sekarang terasa kosong. Tapi aku juga takut, takut jika jarak ini akan membuat kita semakin jauh.”
Dimas membalas pesan itu dengan cepat, dan kali ini ada sedikit ketegangan dalam kata-katanya.
“Aku tahu kita sulit, Rina. Aku juga merasa seperti itu. Tapi aku tidak ingin kita menyerah hanya karena jarak. Aku percaya kita bisa menghadapinya, kita hanya perlu lebih kuat.”
Rina membaca pesan itu berulang kali, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa sedikit lebih tenang. Dimas, meskipun jauh, masih berusaha untuk membuatnya merasa dekat. Rina tahu bahwa perasaan mereka masih sama, meski terhalang oleh jarak dan waktu. Ia merasa bahwa perasaan rindu ini adalah sesuatu yang alami, yang datang dengan cinta yang sejati. Mereka berdua sedang diuji oleh waktu dan jarak, tetapi itu tidak mengurangi cinta yang ada.
Beberapa minggu kemudian, Rina memutuskan untuk mengunjungi Dimas. Ia ingin melihatnya, berbicara dengannya secara langsung, dan menghilangkan keraguan yang masih ada. Dimas juga merindukannya, dan mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang mereka berdua suka, tempat yang penuh kenangan.
Saat Rina tiba di kafe itu, Dimas sudah duduk di meja yang mereka pilih beberapa bulan lalu, di pojok dekat jendela. Dimas tersenyum ketika melihat Rina datang, senyum yang sudah sangat ia rindukan. Rina merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Dimas, seperti ada kekuatan yang lebih besar dalam matanya, sebuah keyakinan bahwa meskipun mereka terpisah, cinta mereka tidak akan pernah luntur.
Mereka duduk bersama, berbicara tentang banyak hal, tertawa, dan sesekali terdiam dalam keheningan yang nyaman. Rina merasa seperti tidak ada jarak yang memisahkan mereka, seperti waktu dan ruang tidak lagi menjadi penghalang. Rindu itu kini terasa terbalaskan, meskipun mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang.
Pada akhirnya, meskipun jarak masih memisahkan mereka, Rina dan Dimas mulai menyadari bahwa perasaan mereka tidak bisa dihentikan oleh apapun. Jarak, meskipun menyakitkan, justru menguatkan cinta mereka. Mereka belajar untuk lebih menghargai setiap momen yang mereka miliki bersama, menyadari bahwa cinta yang sejati akan selalu menemukan jalan, meskipun terhalang oleh waktu dan ruang.*
BAB 5 KEMBALI KE KENANGAN
Rina berjalan pelan di sepanjang jalan setapak yang menuju taman kecil yang dulu sering dia kunjungi bersama Dimas. Setiap langkahnya membawa kembali ingatan-ingatan yang terpendam, kenangan indah yang kini terasa begitu jauh. Udara sore itu terasa sejuk, dan matahari yang mulai terbenam menciptakan langit berwarna oranye yang hangat. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar, sebelum melanjutkan langkahnya menuju tempat yang begitu banyak menyimpan cerita.
Beberapa bulan telah berlalu sejak Dimas pergi. Rina masih ingat jelas hari terakhir mereka berbicara sebelum Dimas meninggalkan kota. Mereka berdiri di depan rumah Rina, saling berpandangan tanpa tahu apa yang harus dikatakan. Perpisahan itu terasa begitu mendalam, lebih dalam daripada yang ia duga. Meskipun Dimas berjanji akan tetap menjaga hubungan mereka, kenyataannya jarak dan waktu sering kali memisahkan hati, meski perasaan itu tetap ada.
Hari ini, Rina tahu Dimas akan kembali ke kota untuk sementara waktu. Berita itu datang tiba-tiba, dan Rina merasa campur aduk. Ada kegembiraan yang berbaur dengan kecemasan, karena ia tahu pertemuan kali ini bisa mengubah banyak hal. Meskipun mereka berdua sudah berusaha untuk move on, kenangan tentang mereka berdua tetap menghantui. Rina belum sepenuhnya siap bertemu dengan Dimas, namun ia tahu ia harus melakukannya. Itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kejelasan tentang perasaan yang selama ini terpendam.
Setelah beberapa saat, Rina akhirnya sampai di taman yang sudah lama tidak ia kunjungi. Tempat itu masih sama seperti yang ia ingat. Bangku-bangku kayu yang ada di bawah pohon besar, dan bunga-bunga kecil yang bermekaran di sekitar danau mini. Di sanalah dulu mereka sering duduk, berbicara tentang segala hal—tentang mimpi, masa depan, dan bahkan tentang ketakutan mereka akan perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka. Kenangan-kenangan itu seperti menyambutnya kembali, membuat hati Rina teraduk-aduk antara rindu dan keraguan.
Tak lama setelah itu, Rina melihat sosok yang sudah lama tidak ia lihat. Dimas berdiri di ujung jalan setapak, mengenakan jaket biru yang dulu sering ia pakai. Wajahnya terlihat lebih dewasa, dengan rambut yang sedikit lebih panjang dan ekspresi yang berbeda—seperti seseorang yang telah melewati banyak hal. Dimas memandang Rina sejenak, lalu tersenyum tipis. Senyum itu terasa familiar, namun ada sesuatu yang berbeda. Rina merasa seolah ada jarak yang terbentuk antara mereka, meskipun mereka hanya berpisah beberapa bulan.
“Rina,” Dimas menyapa dengan suara yang sedikit canggung.
Rina tersenyum, meskipun hatinya berdebar. “Dimas,” jawabnya pelan. Ada perasaan aneh yang muncul, seperti kembali ke masa lalu yang tidak bisa ia hindari. Mereka berdua saling diam sejenak, menatap satu sama lain, sebelum Dimas berjalan mendekat dan duduk di bangku yang sama tempat mereka dulu sering duduk.
“Sungguh aneh, ya?” Dimas memulai percakapan. “Taman ini… Aku masih ingat betul, kita sering duduk di sini, berbicara tentang hal-hal yang tidak pernah kita ceritakan kepada orang lain.”
Rina mengangguk perlahan. “Iya, aku juga ingat. Rasanya seperti baru kemarin kita masih tertawa bersama di sini.”
Suasana menjadi hening sejenak, hanya terdengar suara angin yang berdesir di antara dedaunan. Rina merasa cemas, seperti ada sesuatu yang belum selesai antara mereka. Ia menatap Dimas, mencari sesuatu dalam matanya yang bisa memberi petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang ia rasakan sekarang? Apakah perasaan itu masih ada, atau hanya sekadar kenangan yang tidak bisa mereka gapai lagi?
Dimas akhirnya membuka pembicaraan. “Aku… Aku ingin meminta maaf, Rina,” katanya dengan suara yang lebih dalam. “Aku tahu aku pergi begitu saja, tanpa memberi penjelasan yang cukup. Aku membuatmu bingung, dan aku menyesal atas itu.”
Rina terdiam. Kata-kata itu mengusik hatinya. Apakah ia benar-benar merasa kecewa? Atau justru ia merindukan Dimas dan menginginkan kesempatan untuk memperbaiki semuanya? “Tidak apa-apa, Dimas,” jawabnya, berusaha terdengar tenang meski ada perasaan yang bergolak di dadanya. “Aku juga tidak tahu apa yang harus kulakukan waktu itu. Aku hanya merasa… terluka. Tapi aku juga mengerti kamu punya alasan.”
Dimas menghela napas panjang, seakan beban yang lama terkendali mulai terlepaskan. “Aku pergi karena aku takut. Aku takut perasaan ini akan mengikat kita, dan aku takut tidak bisa memberikan yang terbaik untukmu.”
Rina menunduk, mencoba mencerna kata-kata Dimas. Terkadang, seseorang yang kita cintai merasa bahwa mereka tidak cukup baik untuk kita, dan itu adalah salah satu alasan mengapa hubungan sering kali berhenti sebelum waktunya. “Aku juga takut, Dimas. Takut jika kita tidak bisa bertahan dengan semua perubahan ini.”
“Aku tahu, Rina. Tapi aku di sini sekarang, dan aku ingin berbicara denganmu tentang kita. Tentang apa yang terjadi, dan tentang perasaan yang selama ini aku pendam,” Dimas berkata, tatapannya penuh dengan harapan.
Rina merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari pertemuan ini? Apakah ia siap untuk membuka kembali perasaan yang dulu sempat tertutup? Atau akankah ia terjebak dalam kenangan yang sulit untuk dilepaskan?
“Rina, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku ingin kita memberi kesempatan pada diri kita untuk mencoba lagi. Jika perasaan kita masih ada, mari kita perjuangkan bersama-sama. Tapi kalau tidak, mungkin inilah saatnya untuk mengikhlaskan,” lanjut Dimas dengan suara yang penuh kejujuran.
Rina menatap Dimas lama, mencoba membaca hatinya sendiri. Akhirnya, ia berkata dengan lembut, “Aku juga tidak tahu, Dimas. Tapi mungkin, kita bisa melangkah sedikit lebih dekat, tanpa terburu-buru. Kita lihat ke mana perasaan ini membawa kita.”
Dengan kata-kata itu, Rina merasa sebuah harapan kecil kembali tumbuh dalam dirinya. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi, tetapi satu hal yang pasti: kenangan ini belum selesai. Dan mungkin, mereka bisa memberi kesempatan pada cinta pertama mereka untuk kembali berkembang, meskipun jalan yang mereka tempuh tidak mudah.
Malam itu, ketika mereka berdua berjalan pulang dari taman, Rina merasakan ada kedamaian yang mengalir dalam hatinya. Cinta pertama mereka, yang sempat terhenti, kini memberi mereka kesempatan untuk mulai lagi, perlahan-lahan, dengan langkah yang lebih hati-hati.*
BAB 6 PERASAAN YANG BELUM TERUNGKAP
Di bawah langit yang kelabu, Rina duduk di pinggir jendela kamar kosnya, menatap hujan yang turun perlahan. Setiap tetes yang jatuh dari langit seolah membawa kembali kenangan yang terkubur dalam hati. Kenangan tentang Dimas, tentang cinta pertama yang tidak pernah selesai. Rina mengingat betul bagaimana mereka dulu saling berbicara, tertawa, dan berbagi impian. Tapi sekarang, semua itu terasa begitu jauh. Bahkan perasaan yang semula hangat kini terasa dingin dan tidak menentu.
Hujan ini seolah menjadi saksi bisu bagi perasaan yang belum terungkap antara mereka. Rina merasa ada sesuatu yang belum tuntas dalam hubungan mereka, suatu percakapan yang tak pernah selesai, kata-kata yang tertahan di ujung lidah, dan perasaan yang tertimbun dalam diri masing-masing. Meskipun mereka pernah berbicara tentang perasaan mereka, rasanya masih ada yang tersisa, sesuatu yang belum bisa mereka ungkapkan dengan sepenuh hati.
Hari itu, ketika Dimas kembali ke kota untuk sementara waktu, Rina merasakan sesuatu yang aneh. Mereka bertemu di kafe yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Suasana canggung menyelimuti pertemuan mereka, meskipun keduanya saling menyapa dengan senyuman. Dimas yang dulu penuh dengan percaya diri kini tampak lebih pendiam. Rina, yang selalu merasa nyaman berbicara dengannya, kini merasakan ada jarak di antara mereka. Sebuah jarak yang tidak terlihat, tetapi sangat nyata. Jarak yang terbentuk akibat waktu dan perubahan yang terjadi pada keduanya.
“Mira, aku… aku mau bicara,” kata Dimas tiba-tiba, mengalihkan pandangannya dari secangkir kopi ke wajah Rina. “Ada sesuatu yang harus aku ungkapkan.”
Rina menatapnya dengan ragu. “Apa itu, Dim?” tanyanya pelan.
Dimas menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku merasa ada banyak hal yang belum aku katakan padamu. Selama ini, aku selalu berpikir bahwa kita bisa bersama, tapi kenyataannya aku… aku takut kehilanganmu.”
Rina terdiam. Kata-kata itu menamparnya, membuat perasaan yang selama ini ia simpan dalam hati semakin sulit untuk disembunyikan. Dimas takut kehilangan dirinya? Bukankah itu yang selalu ia rasakan juga? Rina menatap Dimas, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Seolah ada banyak kata yang ingin mereka sampaikan, namun tak bisa diucapkan.
“Aku takut juga, Dim,” kata Rina akhirnya, suaranya hampir terdengar seperti bisikan. “Aku takut kalau kita tidak bisa seperti dulu lagi. Kalau kita terlalu jauh, kalau perasaan kita berubah. Aku… aku takut hubungan ini tidak akan bertahan.”
Dimas terdiam, matanya menatap kosong ke luar jendela, menatap hujan yang masih turun tanpa henti. “Aku tahu, Mira,” jawabnya pelan. “Aku juga merasa seperti itu. Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Setiap kali aku pergi, setiap kali kita terpisah, aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang.”
Rina menundukkan kepala, merasakan berat di dadanya. “Kita terlalu banyak berubah, Dim. Terlalu banyak hal yang tidak bisa kita kontrol. Jarak, waktu, semuanya terasa semakin membebani.”
Dimas mengulurkan tangan, menyentuh tangan Rina dengan lembut. “Tapi apa kita harus menyerah begitu saja? Apa kita harus berhenti berjuang hanya karena kita takut? Kita sudah melalui banyak hal bersama. Apakah kita akan membiarkan semuanya sia-sia?”
Rina menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku tidak tahu, Dim. Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Aku rasa kita tidak bisa kembali seperti dulu lagi. Kita sudah berbeda, dan aku tidak tahu apakah cinta kita bisa bertahan.”
Dimas menggenggam tangan Rina lebih erat. “Aku tidak tahu juga, Mira. Tapi satu hal yang aku tahu adalah aku tidak ingin kehilanganmu. Aku ingin kita mencoba lagi, mencoba untuk memulai kembali, meskipun kita sudah berubah.”
Rina mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata Dimas yang penuh dengan harapan. Untuk sesaat, dunia di sekitar mereka terasa berhenti. Mereka hanya saling menatap, dan dalam tatapan itu, Rina bisa merasakan kejujuran yang mendalam dari Dimas. Tapi meskipun begitu, perasaan yang tertahan dalam dirinya masih terlalu kuat. Rina tahu, mereka berdua belum siap sepenuhnya untuk membuka hati satu sama lain. Ada banyak hal yang belum mereka ungkapkan, dan rasa takut masih menghalangi mereka untuk melangkah lebih jauh.
“Aku ingin itu juga, Dim,” kata Rina akhirnya, suaranya bergetar. “Tapi kita harus jujur pada diri kita sendiri. Kita harus tahu apa yang kita inginkan, dan kita harus siap menerima kenyataan, apapun itu.”
Dimas mengangguk, meskipun ada keraguan di matanya. “Aku siap, Mira. Aku siap untuk berjuang, tapi aku juga ingin kita sama-sama memahami apa yang kita inginkan. Aku tidak mau kita hanya bertahan karena kenangan.”
Rina menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. “Aku juga tidak ingin itu, Dim. Aku ingin kita memilih untuk bersama, bukan karena kita takut kehilangan, tetapi karena kita yakin dengan pilihan kita.”
Dimas tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kesedihan di matanya. “Aku akan menunggu, Mira. Aku akan menunggu sampai kamu siap untuk melangkah lebih jauh. Aku tidak akan pergi, aku akan tetap ada untukmu.”
Rina mengangguk pelan, merasakan kehangatan dalam hati meskipun perasaan mereka masih penuh dengan keraguan. Namun, dia tahu satu hal: meskipun perasaan mereka belum sepenuhnya terungkap, ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkan mereka—sesuatu yang lebih kuat dari sekadar kata-kata.
Di bawah hujan yang terus mengguyur, mereka berdua duduk dalam diam, menikmati kebersamaan yang sederhana namun penuh makna. Meski perasaan mereka masih terpendam, mereka tahu bahwa cinta yang belum terungkap ini bukanlah akhir dari segalanya, tetapi hanya awal dari perjalanan mereka menuju pemahaman yang lebih dalam tentang satu sama lain.
Perasaan yang belum terungkap antara Dimas dan Rina menggambarkan betapa sulitnya menghadapi cinta pertama yang terhalang oleh waktu dan ketakutan. Mereka belum siap untuk menyelesaikan perasaan itu, namun mereka tahu, bahwa meskipun ada ketidakpastian, mereka harus berusaha bersama-sama.*
BAB 7 CINTA YANG TERTUNDA
Hari itu, langit tampak mendung, seolah ikut merasakan kebingunganku. Dimas kembali ke kota tempat ia kuliah setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama. Rasanya, seiring dengan langkahnya yang semakin menjauh, perasaan ini pun semakin sulit untuk kubendung. Kenangan tentang pertemuan kami, kata-kata yang tidak pernah diungkapkan, dan perasaan yang terus bertahan meskipun jarak memisahkan kami, semuanya berputar di pikiranku.
Rina melangkah keluar dari rumah dengan hati yang penuh tanya. Hujan rintik-rintik menambah kesedihan yang sudah mengendap di dadanya. Ia menatap ke arah tempat di mana Dimas terakhir kali mengucapkan kata-kata yang membuka perasaan mereka yang terpendam sekian lama.
“Dimas, kenapa kita harus terpisah seperti ini? Kenapa kita baru saling mengungkapkan perasaan sekarang, saat semuanya sudah terlambat?” pikirnya sambil berjalan, menundukkan kepala, membiarkan air mata yang hampir tidak terlihat oleh orang lain mengalir.
Sementara itu, di sisi lain kota, Dimas tengah duduk di kamarnya, merenung tentang apa yang terjadi beberapa hari terakhir. Dia merasa ada banyak hal yang harus diselesaikan, namun ada satu yang sangat mengganggunya—Rina. Keputusannya untuk kembali ke luar kota dan meninggalkan Rina bukanlah hal yang mudah. Meski sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk fokus pada pendidikan dan karir, perasaan terhadap Rina tetap mengganggu pikirannya. Keberanian untuk mengungkapkan perasaan beberapa hari lalu hanya membuatnya semakin merasa bingung dan ragu.
“Mira, kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Tapi, kenapa hati ini terus merindukanmu?” gumamnya, berusaha mencari jawaban untuk perasaan yang tak kunjung hilang.
Rina dan Dimas tahu bahwa cinta pertama mereka selalu hadir dalam berbagai bentuk, walau mereka harus menghadapinya dengan cara yang tidak mudah. Seperti dua orang yang telah terpisah waktu, mereka berdua masih terjebak dalam kenangan dan perasaan yang belum selesai. Mereka mencoba menjalani hidup mereka dengan sebaik mungkin, tetapi hati mereka tetap kosong, seperti ada sesuatu yang hilang.
Setelah beberapa hari berpisah, Rina memutuskan untuk menulis surat kepada Dimas. Ia tahu, ini mungkin akan menjadi hal yang paling sulit untuk dilakukan, tetapi ia merasa tak ada pilihan lain. Dalam surat itu, Rina menulis dengan hati-hati, mencoba menyusun kata-kata yang bisa menggambarkan perasaannya yang rumit.
_”Dimas,”_
_”Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Kita sudah melewati begitu banyak hal bersama, dan aku merasa seperti kita baru saja mulai menyadari perasaan kita yang sebenarnya. Namun, sekarang kita berada di titik di mana semuanya terasa terlambat. Kita terpisah oleh jarak, waktu, dan keputusan yang kita buat, tetapi hatiku masih bergetar setiap kali aku memikirkanmu.”_
_”Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali bersama. Aku hanya tahu bahwa aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu, meski kita tidak bisa melanjutkannya. Aku berharap kita bisa belajar untuk menerima kenyataan ini, meskipun berat, karena aku tidak bisa terus hidup dengan rasa takut yang belum selesai.”_
_”Dengan cinta, Rina.”_
Rina menghela napas setelah menulis surat itu, merasakan beban yang sedikit lebih ringan. Ia tahu bahwa apa yang ia tulis mungkin akan menjadi titik akhir dari kisah mereka. Tetapi, di sisi lain, ia juga berharap bisa memberikan penutupan yang tepat untuk perasaan yang selama ini terpendam.
Dimas menerima surat itu pada suatu malam yang sepi. Ketika ia membuka amplop dan membaca kata-kata Rina, dadanya terasa sesak. Air matanya hampir tumpah saat membaca kalimat-kalimat itu. Rasanya, surat itu seperti menyentuh bagian terdalam dari hatinya, yang selama ini ia coba tutupi dengan kesibukannya.
_”Rina, aku juga merasakan hal yang sama,”_ tulis Dimas dalam balasan suratnya. _”Cinta kita memang belum selesai. Tapi, aku tidak tahu bagaimana melanjutkannya. Aku berjanji akan mencoba untuk menjalani hidupku dengan baik di sini, meskipun kenyataannya, hatiku masih tetap berada di sana—bersamamu.”_
Mereka berdua menulis surat itu dengan perasaan yang sama—berat, tetapi penuh dengan harapan yang belum padam. Meskipun jarak dan waktu memisahkan mereka, cinta mereka tetap hidup dalam kenangan, meskipun tak bisa mereka lanjutkan saat itu. Dimas tahu bahwa cinta ini masih tertunda, dan mungkin tak ada kesempatan kedua untuk mereka.
Namun, meskipun cinta itu tertunda, keduanya menyadari satu hal—perasaan itu tidak akan pernah hilang. Meskipun mereka tidak bisa bersama sekarang, mereka tetap membawa satu sama lain dalam hati mereka. Dimas, dengan segala kebingungannya, dan Rina, dengan segala kerinduannya, merasa bahwa cinta pertama mereka adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa dilupakan. Mereka mungkin tidak bisa memiliki masa depan bersama sekarang, tetapi cinta itu akan selalu menjadi bagian dari diri mereka, selalu hadir dalam kenangan yang tak pernah pudar.
Cinta mereka mungkin belum selesai, tetapi mereka belajar untuk menerima kenyataan bahwa terkadang, cinta itu memang harus tertunda. Mungkin suatu hari nanti, mereka akan bertemu lagi, di waktu yang tepat. Namun untuk saat ini, mereka harus melanjutkan hidup mereka, membawa perasaan itu sebagai kenangan yang indah—sebuah cerita tentang cinta pertama yang tidak pernah selesai, tetapi selalu ada.***
————–THE END—‐———