Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Singkat, Cinta yang Dalam
Mira duduk di sudut kafe, menikmati secangkir kopi panas yang mulai mendingin. Pagi itu, kota terasa tenang, dan angin sepoi-sepoi mengusap lembut rambutnya yang terurai. Ia sudah lama tidak merasakan ketenangan seperti ini, dan kedamaian ini terasa asing baginya. Sejak pertemuan itu, sejak pertemuan yang tidak pernah ia duga akan mengubah hidupnya, segala sesuatu tampak berbeda. Bahkan hari biasa pun terasa penuh dengan kemungkinan baru.
Hari itu dimulai seperti hari-hari lainnya. Mira diundang oleh sahabat lamanya, Winda, untuk datang ke acara pameran seni yang diadakan di galeri kota. “Ayo, Mira! Jangan hanya bekerja terus, ikut aku sejenak. Acara ini pasti seru, bisa buat kamu sedikit melupakan rutinitas,” ajak Winda lewat pesan singkat yang datang beberapa hari sebelum acara.
Mira, yang memang sudah lelah dengan kesibukannya, memutuskan untuk pergi. Galeri itu terletak di pinggiran kota, dan acara itu dijanjikan sebagai tempat untuk bersantai sambil menikmati karya seni. Meskipun ia tidak begitu tertarik pada seni, Mira tidak ingin menolak undangan Winda, yang sudah lama berusaha mengajaknya keluar dari zona nyaman.
Setibanya di galeri, suasana yang hangat dan penuh seni menyambutnya. Suara musik lembut mengalun, menggema di seluruh ruangan yang penuh dengan lukisan-lukisan indah. Mira berjalan perlahan di antara lukisan-lukisan tersebut, merasa seolah-olah berada dalam dunia yang berbeda. Namun, di tengah kesibukannya menikmati pameran seni itu, matanya tertarik pada sosok pria yang berdiri di dekat salah satu lukisan besar di sudut ruangan.
Pria itu tampak asyik mengamati karya seni tersebut, tetapi ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Ia memiliki aura yang tenang, namun penuh dengan kedalaman. Terkadang, Mira merasa bahwa ia bisa merasakan emosi yang terpancar dari tubuh pria itu. Winda, yang melihat arah pandang Mira, menggoda. “Pernah melihat pria yang seperti itu? Serius, ada sesuatu yang menarik tentang dirinya.”
Mira hanya tersenyum tipis, mencoba mengalihkan perhatian, namun entah kenapa, rasa ingin tahu itu membuatnya terus mencuri pandang ke arah pria tersebut. Sebuah perasaan yang tidak bisa dijelaskan mengalir begitu saja dalam dirinya. Tak lama, pria itu berbalik dan berpapasan dengan Mira di lorong galeri. Ketika mata mereka bertemu, detak jantung Mira seolah berhenti sejenak. Ada ketegangan yang tidak bisa ia ungkapkan, dan hanya ada kesunyian yang menghubungkan mereka.
“Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu,” ujar pria itu dengan suara rendah, tersenyum tipis.
“Tidak masalah,” jawab Mira dengan suara yang agak terbata. Ada perasaan aneh di dalam dirinya, meskipun ia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Pria itu memperkenalkan diri, “Nama saya Arvin. Saya baru pertama kali datang ke sini.”
Mira merasa sedikit canggung, namun tetap mencoba untuk tersenyum. “Saya Mira. Ini juga pertama kalinya saya datang ke acara seperti ini,” jawabnya dengan suara yang sedikit lebih tenang. Mereka berbicara sebentar tentang karya seni di sekitar mereka, berbagi pendapat tentang lukisan yang mereka lihat. Meskipun topik pembicaraan mereka sederhana, ada sebuah kedekatan yang tercipta begitu saja, seolah-olah mereka sudah saling mengenal cukup lama.
Setelah beberapa menit berbicara, Arvin mengajukan pertanyaan yang membuat Mira sedikit terkejut. “Apa kamu sering datang ke acara seperti ini? Atau ini hanya kebetulan?”
Mira berpikir sejenak sebelum menjawab, “Tidak terlalu sering. Sebenarnya saya lebih sering menghabiskan waktu dengan pekerjaan. Tapi kali ini, saya merasa butuh keluar dan melihat sesuatu yang berbeda.”
Arvin mengangguk, seperti memahami apa yang Mira rasakan. “Kadang, kita memang perlu melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Mengubah rutinitas bisa membawa kita pada perasaan yang lebih baik.”
Percakapan mereka berlanjut, dan Mira merasa nyaman meskipun baru pertama kali bertemu Arvin. Ada koneksi yang kuat, meskipun mereka berdua tidak mengungkapkannya secara langsung. Winda yang memperhatikan mereka dari jauh mulai mendekat, mengisyaratkan kepada Mira untuk segera meninggalkan galeri. Namun, Mira merasa seperti ada yang mengikatnya di sana. Ia tidak ingin pergi begitu saja.
“Aku rasa aku harus pergi, tapi senang bisa berbicara denganmu,” kata Mira dengan sedikit ragu, tidak ingin mengakhiri percakapan begitu cepat.
Arvin tersenyum dengan tulus. “Saya juga senang bisa berbicara denganmu, Mira. Mungkin kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti?”
Mira hanya mengangguk, sedikit terkejut dengan tawaran itu. “Tentu, mungkin kita bisa ngobrol lagi lain waktu.”
Saat Mira dan Winda meninggalkan galeri, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya. Perasaan yang campur aduk, antara kebingungan dan rasa penasaran yang mendalam. Ia tidak tahu apakah ini hanya perasaan sesaat atau sesuatu yang lebih dari itu. Namun, ia tidak bisa menepis kenyataan bahwa Arvin telah meninggalkan kesan yang mendalam dalam dirinya.
Di malam hari, saat ia berbaring di tempat tidurnya, wajah Arvin terus terbayang di benaknya. Ada sesuatu yang berbeda dari pria itu, dan Mira tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Meskipun mereka hanya bertemu sebentar, percakapan mereka terasa begitu berkesan, seolah sudah ada sebuah hubungan tak terucapkan di antara mereka.
Namun, Mira juga sadar bahwa perasaan itu mungkin hanya sementara. Mereka berdua berasal dari dunia yang berbeda, dan mungkin tak ada jalan untuk mereka berdua menjalin hubungan lebih jauh. Tapi satu hal yang pasti, pertemuan itu mengubah pandangannya tentang banyak hal.
Pertemuan yang singkat, namun menyisakan rasa yang dalam. Dan meskipun tak tahu bagaimana perasaan itu akan berkembang, Mira merasa bahwa hari itu adalah awal dari sebuah kisah yang tak akan mudah terlupakan.*
Bab 2: Jarak yang Membentang
Minggu pertama setelah pertemuan itu berlalu begitu cepat. Mira tidak pernah menyangka bahwa sebuah percakapan singkat di galeri seni dapat meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Setiap kali ia memikirkan Arvin, perasaan yang sulit dijelaskan kembali muncul dalam dirinya—sebuah perasaan yang seperti sudah ada sejak lama, meski mereka baru saja bertemu. Namun, perasaan itu juga disertai dengan kenyataan bahwa mereka berdua terpisah oleh jarak yang cukup jauh. Arvin tinggal di kota lain, bekerja di sebuah perusahaan besar yang mengharuskannya untuk sering bepergian. Sedangkan Mira, meskipun sering merasa terjebak dalam rutinitas kerja, tidak dapat membayangkan untuk pindah ke tempat yang jauh dari kehidupannya yang sudah terstruktur dengan baik.
Setelah pertemuan mereka, Arvin menghubungi Mira beberapa kali. Awalnya, hanya melalui pesan singkat yang ringan, menanyakan kabar atau bertanya apakah Mira sudah sempat mengunjungi pameran seni lainnya. Pesan-pesan itu datang dengan interval yang cukup jauh, tetapi selalu meninggalkan jejak hangat dalam hati Mira. Arvin ternyata bukan hanya orang yang ramah, tetapi juga cukup menarik perhatian dengan cara berbicaranya yang tulus dan tidak terburu-buru. Ia memberi ruang bagi Mira untuk berbicara, tidak memaksakan topik pembicaraan, dan selalu membuat Mira merasa nyaman.
Namun, semakin lama, semakin jelas bahwa hubungan ini tidak akan mudah. Jarak yang membentang di antara mereka bukan hanya soal fisik—jarak yang lebih dalam dan lebih sulit dipahami pun mulai muncul. Meskipun mereka berdua merasa nyaman berbicara satu sama lain, mereka sadar bahwa kenyataan dunia nyata tidak akan membiarkan hubungan ini berkembang begitu saja.
Mira melanjutkan hari-harinya dengan rutinitas seperti biasa—pekerjaan yang menumpuk, pertemuan dengan teman-teman, dan sesekali menghadiri acara yang menarik. Namun, hatinya terasa kosong setiap kali ia menyadari bahwa ia belum menerima pesan dari Arvin dalam beberapa hari. Mereka pernah berbicara tentang banyak hal, namun selalu ada hal yang mengganjal. Mereka hanya bisa berbicara melalui pesan teks atau video call, dan meskipun mereka berusaha saling terbuka, tetap saja ada banyak hal yang tidak bisa disampaikan dengan baik hanya lewat layar ponsel.
Setiap malam, sebelum tidur, Mira merasa cemas. Apakah perasaan yang ia rasakan ini hanya ada di kepalanya? Apakah Arvin juga merasakannya? Ia tidak tahu. Terkadang, ia merasa seperti sedang menunggu sesuatu yang tak pasti, namun ia juga takut untuk berharap terlalu banyak. Berharap terlalu banyak hanya akan membuatnya semakin terluka jika kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Pada suatu malam, setelah seharian bekerja keras di kantor, Mira menerima pesan dari Arvin. Pesan yang datangnya tiba-tiba membuat hatinya berdebar. Arvin menulis:
“Mira, aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa ada sesuatu yang berbeda setiap kali kita berbicara. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Aku tahu kita terpisah oleh jarak, dan aku tidak ingin terburu-buru, tapi apakah kamu merasa hal yang sama?”
Mira memandangi layar ponselnya dengan hati yang berdebar. Inilah pertanyaan yang selama ini ia hindari. Apakah ia merasa hal yang sama? Apakah perasaan itu benar-benar ada, ataukah itu hanya ilusi semata? Ia merasa bingung, terjebak antara keinginan untuk menjawab dengan jujur dan ketakutan akan konsekuensi dari jawabannya.
Setelah beberapa detik, Mira akhirnya mengetik balasan:
“Aku juga merasa ada sesuatu yang berbeda, Arvin. Tapi kita tahu bahwa jarak yang membentang di antara kita tidaklah mudah. Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaan sementara atau ada sesuatu yang lebih, tapi aku ingin lebih banyak mengenalmu.”
Mira menekan tombol kirim dan meletakkan ponselnya di meja. Ia merasa cemas menunggu balasan dari Arvin. Namun, saat itu, ia juga merasa lega karena akhirnya ia bisa mengungkapkan perasaannya dengan jujur, meskipun hanya melalui pesan. Perasaan ini, yang sejak pertama kali mereka bertemu tumbuh begitu cepat, tidak bisa ia abaikan begitu saja. Meskipun jarak yang membentang di antara mereka terlalu besar, perasaan itu tetap ada, seperti bayangan yang selalu mengikutinya.
Tak lama setelah itu, pesan balasan dari Arvin masuk:
“Aku juga merasa hal yang sama. Meskipun kita terpisah oleh jarak, aku merasa seperti ada koneksi yang kuat antara kita. Tapi aku tahu, kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa jarak ini akan menguji segalanya. Aku tidak ingin memberi harapan yang terlalu tinggi jika akhirnya kita tidak bisa bertemu.”
Mira membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. Jarak yang mereka hadapi memang nyata, dan kenyataan itu mulai terasa lebih berat setiap kali mereka berbicara. Mereka berdua menyadari bahwa hubungan ini tidak bisa hanya mengandalkan kata-kata di layar ponsel. Mereka butuh lebih dari sekadar pesan dan video call. Mereka butuh waktu dan ruang untuk saling mengenal lebih dalam, untuk merasakan keberadaan satu sama lain
Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan itu mulai menguji keduanya. Mereka berdua memiliki kehidupan yang berbeda. Arvin dengan pekerjaannya yang sering berpindah tempat, dan Mira yang terikat dengan kehidupan kota yang nyaman dan stabil. Keduanya harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak bisa saling menemani setiap saat. Meskipun mereka mencoba untuk berbicara setiap hari, perasaan sepi mulai mengintai, menyusup ke dalam hubungan mereka.
Mira mulai merasa takut. Apakah perasaan ini akan bertahan lama? Akankah hubungan ini mampu bertahan melawan jarak yang begitu besar? Ia tidak tahu jawabannya. Semua yang ia tahu adalah, ia merasa ada sesuatu yang penting, sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Tetapi, apakah itu cukup untuk menghadapi semua kesulitan yang akan datang?
Pada akhirnya, Mira sadar bahwa meskipun jarak yang membentang di antara mereka terasa begitu berat, perasaan itu, yang telah tumbuh dalam diri mereka, tidak bisa begitu saja diabaikan. Mereka berdua berada di persimpangan jalan yang sama—di antara rasa rindu yang mendalam dan kenyataan bahwa jarak adalah halangan besar yang sulit diatasi. Tetapi di tengah kebingungan dan ketidakpastian itu, satu hal tetap jelas bagi Mira: ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk merasakan cinta ini lebih jauh lagi.*
Bab 3: Harapan dan Keraguan
Hari-hari setelah pesan terakhir itu terasa seperti perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian. Mira merasa hatinya berada di dua tempat yang berbeda—di satu sisi, ada harapan yang terus tumbuh seiring dengan setiap pesan dan percakapan singkat dengan Arvin. Di sisi lain, keraguan mulai menghampiri, seperti bayangan gelap yang mengiringi setiap langkahnya. Meskipun ia tidak ingin mengakui, keraguan itu selalu muncul setiap kali ia memikirkan masa depan mereka.
Seperti yang sering terjadi dalam hubungan jarak jauh, keinginan untuk bersama selalu bertemu dengan kenyataan yang lebih rumit. Mira dan Arvin tahu bahwa mereka terpisah oleh jarak fisik yang besar, dan meskipun keduanya berusaha untuk tetap terhubung melalui pesan teks, video call, dan beberapa pertemuan singkat yang kadang terjadi, mereka tahu bahwa itu tidak akan cukup untuk membangun sesuatu yang lebih kuat dan lebih tahan lama.
Mira merasakan keraguan itu setiap kali Arvin mengirimkan pesan atau ketika mereka berbicara melalui telepon. Meskipun kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu terdengar penuh semangat, ada bagian dari hatinya yang mulai bertanya-tanya. Apakah mereka benar-benar bisa bertahan dengan cara seperti ini? Bisakah hubungan mereka tumbuh menjadi sesuatu yang lebih berarti meskipun jarak dan waktu selalu menjadi penghalang?
Pada suatu malam, setelah pertemuan singkat yang berlangsung beberapa minggu lalu, Mira duduk sendiri di kamarnya. Ia menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja, ragu-ragu untuk mengirim pesan kepada Arvin. Mereka telah berbicara beberapa hari yang lalu, tetapi setelah itu, semuanya terasa sepi. Tidak ada kabar baru, tidak ada pembicaraan yang mengalir dengan lancar seperti sebelumnya. Rasanya, seperti ada jarak yang lebih besar daripada sekadar fisik di antara mereka.
Dengan hati yang gelisah, Mira akhirnya memutuskan untuk menghubungi Arvin. Pesan yang ia ketik terkesan hati-hati, mencerminkan perasaan yang campur aduk.
“Arvin, aku merasa kita sudah mulai jauh belakangan ini. Apakah kamu merasa hal yang sama?”
Setelah beberapa detik menunggu, pesan itu akhirnya terkirim. Mira meletakkan ponselnya dan menunggu. Suara detak jantungnya semakin kencang, dan setiap menit yang berlalu terasa seperti berjam-jam. Apakah Arvin akan merespons? Apakah ia akan mengerti apa yang Mira rasakan, atau justru merasa heran dengan pertanyaan yang tiba-tiba muncul itu?
Tidak lama kemudian, pesan balasan dari Arvin masuk. Mira segera membuka dan membacanya, berharap jawaban yang menenangkan.
“Mira, aku juga merasa ada yang berubah, tapi aku tidak ingin kamu merasa khawatir. Aku tahu kita terpisah oleh jarak, dan aku tidak ingin memberikan harapan yang salah. Tetapi, aku juga tidak ingin berhenti berkomunikasi denganmu. Aku berharap kita bisa menemukan cara untuk melewati semua ini.”
Mira merasa lega membaca kata-kata Arvin. Setidaknya ia tidak sendirian dalam perasaan ini. Namun, di sisi lain, jawaban itu juga membawanya ke dalam pusaran kebingungannya sendiri. “Tidak ingin memberikan harapan yang salah.” Kata-kata itu terus terngiang dalam benaknya. Apakah Arvin juga mulai meragukan mereka? Ataukah itu hanya cara untuk menjaga perasaan Mira agar tidak terluka lebih dalam?
Mira menatap layar ponselnya, berpikir sejenak sebelum membalas pesan Arvin.
“Aku mengerti, Arvin. Aku juga tidak ingin memberikan harapan yang tidak realistis. Tapi terkadang aku merasa kita berusaha keras untuk tetap terhubung, meskipun ada jarak yang tidak bisa kita abaikan begitu saja.”
Setelah itu, Mira menunggu balasan Arvin. Malam itu, rasa rindu semakin membebani dadanya. Ia merindukan Arvin—cara ia berbicara, cara ia tertawa, bahkan cara ia mendengarkan tanpa menghakimi. Tapi ia juga merasa ragu, tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Hari-hari berlalu tanpa adanya perubahan yang signifikan. Mereka tetap berkomunikasi, meskipun semakin jarang. Percakapan mereka lebih sering terhenti pada pesan singkat yang terkadang terasa hampa, tidak seperti percakapan mereka yang pertama kali penuh dengan kegembiraan dan rasa ingin tahu. Jarak dan kehidupan yang semakin sibuk membuat segalanya terasa lebih sulit. Mira mulai merasa seolah-olah mereka hanya berusaha bertahan dalam hubungan yang tidak lagi berkembang.
Suatu sore, ketika Mira sedang duduk di kafe sambil menatap pemandangan kota yang sibuk, ia kembali berpikir tentang Arvin. Ia merindukan sosoknya, namun dalam hati, ia juga tahu bahwa ini bukanlah hal yang mudah. Meskipun mereka sudah berusaha untuk tetap terhubung, mereka berdua semakin jarang berbicara tentang masa depan, dan itu membuat Mira merasa cemas.
“Apakah ini yang terbaik untuk kita berdua?” pikir Mira dalam hati. “Apakah cinta ini akan cukup kuat untuk melewati segala halangan ini?”
Namun, di sisi lain, Mira juga tahu bahwa ia tidak bisa menepis perasaan yang tumbuh dalam dirinya. Meskipun ada keraguan, ada pula harapan yang terus menguatkan dirinya. Arvin telah memberi Mira banyak kebahagiaan melalui percakapan mereka, dan ia tidak bisa begitu saja mengabaikan semuanya.
Keputusan itu tidak mudah. Mira tidak bisa mengabaikan rasa yang ada di hatinya, tetapi ia juga tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa hubungan mereka penuh dengan ketidakpastian. Jarak yang membentang semakin terasa nyata, dan setiap kali mereka berbicara, Mira merasakan adanya jarak emosional yang semakin besar.
Namun, meskipun penuh dengan keraguan, harapan itu tetap ada. Harapan untuk bisa bersama, harapan untuk mengatasi semua rintangan, dan harapan bahwa mereka bisa menemukan cara untuk saling mengerti meskipun dunia mereka terpisah begitu jauh. Dalam kebingungannya, Mira tahu satu hal pasti—ia tidak bisa begitu saja menyerah pada perasaan ini.
Setiap hubungan jarak jauh selalu penuh dengan ketidakpastian, dan Mira pun tidak tahu apakah mereka akan berhasil menghadapinya. Namun, satu hal yang jelas: ia tidak akan bisa berhenti berharap, meskipun keraguan terus menghampiri.*
Bab 4: Momen Indah yang Menjadi Kenangan
Setiap hubungan, terutama yang terjalin dalam jarak jauh, selalu menyisakan kenangan-kenangan indah yang menjadi penyemangat di tengah hari-hari yang penuh keraguan. Meskipun jarak membentang di antara Mira dan Arvin, ada momen-momen kecil yang membuat mereka merasa dekat satu sama lain, meskipun hanya dalam imajinasi dan percakapan singkat. Bagi Mira, momen-momen itu adalah satu-satunya alasan ia masih bertahan, percaya bahwa di balik keraguan, ada kemungkinan untuk masa depan yang lebih cerah.
Suatu malam, setelah beberapa minggu pertemuan singkat mereka, Mira merasa sangat rindu kepada Arvin. Terkadang, hanya mendengar suaranya lewat telepon bisa membuatnya merasa sedikit lebih dekat, meskipun jarak antara mereka terasa semakin besar. Malam itu, saat angin sejuk menyelimuti kamar, Mira memutuskan untuk menghubungi Arvin. Ia ingin berbicara dengan Arvin, meskipun tahu bahwa mereka mungkin tidak bisa bertatap muka dalam waktu dekat.
Ketika ponselnya berdering, Mira hampir tidak percaya melihat nama Arvin di layar. Suara Arvin yang familiar segera terdengar di ujung sana, dan seakan-akan, dunia di sekitar Mira tiba-tiba menjadi lebih hangat.
“Halo, Mira,” sapa Arvin dengan suara yang santai, namun ada kehangatan di baliknya yang selalu membuat Mira merasa nyaman.
“Halo, Arvin,” jawab Mira, senyum merekah di wajahnya meski hanya melalui suara. “Aku senang akhirnya kita bisa bicara.”
“Kamu sibuk?” tanya Arvin. “Aku ingin memastikan kamu tidak sedang ada kegiatan penting.”
Mira tertawa pelan. “Aku baru selesai kerja. Kebetulan, malam ini aku tidak ada rencana.”
Mereka berbicara ringan, seperti biasanya. Tertawa bersama mengenai hal-hal kecil yang terjadi sepanjang hari, berbicara tentang pekerjaan, tentang teman-teman mereka, dan segala sesuatu yang membuat mereka merasa dekat, meskipun terpisah jarak yang jauh. Namun, setelah beberapa saat, percakapan itu mulai berubah lebih dalam. Mira mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan biasa.
“Mira,” kata Arvin, suaranya sedikit lebih serius. “Aku tahu hubungan kita tidak mudah. Kita terpisah oleh jarak, dan kadang-kadang aku merasa itu membuat semuanya semakin rumit. Tapi, aku ingin kamu tahu, aku selalu merasa bahwa setiap momen kita bersama, meskipun singkat, itu sangat berarti bagi aku.”
Mira terdiam sesaat. Kata-kata Arvin begitu dalam, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sebuah kedalaman emosi yang berbeda dari sebelumnya. Sebuah perasaan yang datang begitu alami, meskipun mereka hanya berinteraksi lewat telepon dan pesan singkat. Namun, di saat itu, Mira merasa bahwa Arvin benar-benar mengerti perasaannya.
“Arvin,” jawab Mira dengan suara yang sedikit gemetar, “Aku juga merasa begitu. Meskipun kita terpisah jauh, aku merasa setiap kali kita berbicara, ada sesuatu yang membuatku merasa lebih kuat. Rasanya seperti… aku bisa mengandalkanmu, bahkan jika kita tidak saling bertemu setiap hari.”
Percakapan mereka semakin dalam, semakin mengarah pada perasaan yang sulit diungkapkan. Mira bisa merasakan bahwa Arvin juga merasakan hal yang sama. Ada kenyamanan yang luar biasa meskipun mereka tidak bisa berada di tempat yang sama. Percakapan itu terus mengalir, penuh dengan pengertian yang tak perlu diucapkan.
Namun, di tengah percakapan yang begitu indah itu, Mira merasa ada perasaan lain yang mulai muncul. Tidak hanya rasa rindu, tetapi juga perasaan takut. Takut jika mereka terjebak dalam hubungan yang penuh dengan ketidakpastian. Takut jika cinta mereka hanya akan menjadi kenangan semata, kenangan yang tak pernah bisa terwujud dalam bentuk nyata.
“Arvin, apakah kamu yakin kita bisa terus seperti ini?” tanya Mira, suaranya sedikit ragu.
Arvin terdiam sejenak, seolah berpikir. “Aku tidak tahu, Mira. Tapi aku ingin mencoba. Aku tidak ingin hubungan ini menjadi kenangan yang terpendam tanpa arti. Aku ingin kita tetap memiliki sesuatu yang berarti, bahkan jika itu hanya berupa kenangan.”
Mira merasa jantungnya berdebar mendengar kata-kata Arvin. Meskipun ada keraguan, namun ada juga keyakinan yang muncul di hati Mira. Cinta ini mungkin sulit, penuh dengan jarak dan perbedaan, tetapi mereka masih berusaha untuk mempertahankan ikatan yang terjalin di antara mereka.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Mira dan Arvin merencanakan sebuah pertemuan singkat. Mereka tidak dapat bertemu dalam waktu lama, namun mereka berusaha mencari kesempatan untuk saling bertatap muka. Akhirnya, kesempatan itu datang. Arvin akan berada di kota tempat Mira tinggal selama beberapa hari untuk urusan pekerjaan, dan mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe yang tenang.
Pada hari yang telah mereka janjikan, Mira tiba lebih awal di kafe tersebut. Ia merasa cemas, campuran antara kegembiraan dan ketakutan menyelimuti hatinya. Namun, ketika Arvin masuk ke dalam kafe dan matanya bertemu dengan mata Mira, semua kekhawatiran itu lenyap begitu saja. Mereka tersenyum satu sama lain, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang.
Mereka duduk berdua, berbicara dengan penuh kegembiraan, seakan setiap detik yang mereka habiskan bersama adalah sesuatu yang sangat berharga. Meskipun waktu mereka terbatas, pertemuan itu terasa sangat berarti. Mira dan Arvin tidak hanya berbicara tentang masa depan, tetapi juga mengenang momen-momen indah yang telah mereka lewati, meskipun sebagian besar dari mereka hanya dalam bentuk pesan dan panggilan telepon.
Itulah momen yang akan selalu menjadi kenangan bagi Mira. Momen di mana ia merasakan bahwa, meskipun jarak dan waktu menjadi penghalang, cinta mereka tetap kuat. Arvin adalah sosok yang membuatnya merasa bahwa cinta itu tidak harus selalu terwujud dalam bentuk yang sempurna. Cinta bisa menjadi kenangan yang indah, kenangan yang akan selalu ada, bahkan jika keduanya harus terpisah.
Mereka menyadari bahwa meskipun momen indah itu hanya bisa mereka nikmati sebentar, kenangan yang tercipta akan selalu menguatkan mereka. Dan meskipun jarak kembali membentang di antara mereka setelah pertemuan itu, Mira tahu bahwa cinta mereka akan selalu hidup dalam setiap kenangan yang mereka bagi.*
Bab 5: Menghadapi Realita Cinta Jarak Jauh
Setiap hubungan jarak jauh pasti memiliki tantangan tersendiri. Meskipun cinta bisa tumbuh dengan kuat, kenyataan bahwa dua orang yang saling mencintai berada di tempat yang berbeda selalu menghadirkan rintangan yang sulit untuk dihadapi. Mira dan Arvin, yang sebelumnya hanya merasakan keindahan momen-momen singkat bersama, kini harus menghadapi kenyataan yang lebih keras—jarak yang memisahkan mereka semakin terasa, dan mereka mulai merasakan betapa sulitnya menjaga cinta itu tetap hidup.
Setelah pertemuan yang singkat di kafe, Mira kembali menjalani hari-harinya yang penuh dengan rutinitas kerja dan waktu yang panjang tanpa bertemu Arvin. Meskipun mereka tetap berkomunikasi lewat pesan dan telepon, ada perasaan yang tak terelakkan muncul—perasaan sepi yang tak bisa ditutupi dengan kata-kata manis atau tawa di telepon. Jarak itu semakin terasa, dan Mira mulai merasakan betapa sulitnya menjalani hubungan yang hanya bisa dipertahankan lewat teknologi.
Malam itu, saat Mira duduk di depan layar ponselnya, sebuah pesan dari Arvin muncul. Meski hanya satu kalimat, namun isi pesan itu cukup membuat hatinya berdebar.
“Aku rindu kamu.”
Mira menghela napas panjang. Meskipun kata-kata itu sering mereka ucapkan satu sama lain, hari itu kata-kata itu terasa begitu berat. Bagaimana mungkin cinta bisa bertahan di antara dua dunia yang begitu berbeda? Bagaimana bisa mereka terus menjalani hubungan yang hanya bisa mereka nikmati dalam hitungan detik dan menit di layar ponsel? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai memenuhi kepala Mira, dan meskipun ia berusaha keras untuk mengabaikannya, kenyataan tetap tidak bisa disembunyikan.
Arvin juga merasa hal yang sama. Beberapa hari setelah mereka bertemu, ia merasakan kekosongan yang besar setelah kembali ke kotanya. Meskipun ia tahu bahwa Mira ada di sana, ia merasa terpisah oleh jarak yang begitu nyata. Setiap kali ia mencoba menghubungi Mira, rasanya seperti ada tembok yang menghalangi mereka—bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Mereka berdua terjebak dalam dunia masing-masing, berusaha untuk tetap terhubung, tetapi sering kali perasaan rindu itu hanya bisa mereka tuangkan dalam pesan yang singkat, yang tak pernah cukup untuk menyembuhkan kerinduan yang mendalam.
“Arvin, bagaimana kalau kita berhenti?” Mira akhirnya mengungkapkan pikirannya melalui pesan panjang yang ia kirimkan pada suatu malam.
Pesan itu sangat singkat, namun bagi Arvin, itu seperti tamparan keras yang memecah kebisuan yang selama ini mereka jaga. Hatinya terasa seperti terhimpit batu besar. Ia tidak ingin hubungan ini berakhir, tetapi ia tahu Mira benar-benar merasa tertekan dengan situasi ini.
“Mira, jangan seperti ini. Kita sudah jauh datangnya. Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita bisa terus berusaha. Aku tidak mau menyerah,” jawab Arvin dengan cepat, mencoba memberi keyakinan.
Namun, Mira tidak langsung membalas pesan itu. Dalam keheningan malam, Arvin merenung, memikirkan apa yang seharusnya ia katakan agar hubungan mereka tetap bertahan. Mereka berdua tahu bahwa cinta saja tidak cukup untuk menghadapi kenyataan bahwa hubungan jarak jauh ini membutuhkan lebih dari sekadar komunikasi rutin dan janji-janji indah.
Keesokan harinya, Mira memutuskan untuk mengajak Arvin berbicara langsung. Mereka memutuskan untuk melakukan video call, sesuatu yang sudah lama tidak mereka lakukan. Mira merasa cemas, namun ia tahu bahwa mereka harus berbicara tentang perasaan yang selama ini tertahan.
“Arvin, aku… aku rasa aku sudah tidak bisa lagi menjalani ini,” kata Mira, suaranya terdengar lembut namun penuh dengan kepedihan. “Aku merasa kita semakin jauh meskipun kita terus berusaha dekat. Aku rindu kamu, tapi rasanya aku mulai kehabisan tenaga.”
Arvin menatap layar ponsel, mencoba memahami apa yang Mira katakan. Ia tahu bahwa ini bukanlah pembicaraan yang mudah, tetapi ia juga tahu bahwa mereka tidak bisa terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
“Aku juga merasa seperti itu, Mira,” jawab Arvin dengan suara yang penuh kejujuran. “Tapi aku masih ingin mencoba. Aku tidak bisa melepaskan kamu begitu saja. Kamu begitu berarti bagiku.”
Mira terdiam. Ia melihat mata Arvin yang penuh dengan perasaan, namun ia merasa bingung dan terjebak. Cinta mereka seolah menjadi sebuah persimpangan, dan Mira merasa seperti harus memilih antara terus bertahan atau melepaskan semuanya.
“Aku takut, Arvin. Takut kalau kita terus seperti ini, kita akan semakin terjebak dalam sebuah hubungan yang penuh dengan keraguan. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Aku butuh lebih dari sekadar kata-kata,” ujar Mira, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku butuh lebih dari apa yang kita miliki sekarang.”
Arvin menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu Mira sedang menghadapi pergulatan batin yang besar, dan ia tidak bisa memaksakan perasaannya pada Mira. Namun, hatinya tetap berpihak pada usaha untuk tetap bertahan.
“Mira,” kata Arvin lembut, “aku tahu ini tidak mudah, dan aku mengerti perasaanmu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku akan berusaha untuk membuat kita bertahan. Mungkin ini tidak akan mudah, tapi aku percaya kita bisa menemukan jalan.”
Mira menundukkan kepalanya, merenung sejenak. Ia tahu bahwa Arvin mencintainya dengan tulus, namun ia juga tahu bahwa cinta itu tidak bisa mengalahkan kenyataan yang ada. Cinta mereka mungkin sekuat apa pun, tetapi jarak yang memisahkan mereka selalu membawa tantangan yang tak terhindarkan. Ia mulai merasa bingung, ragu, dan takut.
Pada akhirnya, percakapan itu berakhir dengan keheningan yang berat. Mereka tidak tahu apakah mereka harus terus berjuang atau melepaskan diri dari hubungan ini yang semakin terasa penuh dengan ketidakpastian.
Namun, satu hal yang mereka sadari adalah bahwa meskipun mereka saling mencintai, realita cinta jarak jauh tetaplah sulit. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa terkadang, meskipun cinta ada, tidak semua hubungan bisa bertahan dengan mudah. Mereka berdua terjebak dalam dilema yang sama—apakah mereka akan terus berjuang, atau apakah mereka akan menyerah pada kenyataan bahwa cinta tidak selalu cukup untuk mengatasi jarak yang memisahkan mereka?*
Bab 6: Kasih yang Terkadang
Waktu berjalan begitu cepat. Satu bulan telah berlalu sejak percakapan berat yang membuat Mira dan Arvin berpikir lebih dalam tentang hubungan mereka. Meski komunikasi masih terus terjalin, mereka berdua mulai merasakan bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan kata-kata. Kasih yang mereka rasakan mulai dipertanyakan, karena realitas cinta jarak jauh yang mereka jalani seolah menguji sejauh mana cinta itu mampu bertahan.
Mira merasakan sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya. Sebelumnya, ia merasa begitu yakin akan Arvin dan cintanya. Namun, kini segala perasaan itu mulai terkikis oleh kenyataan. Setiap kali ia melihat ponselnya, setiap kali ia mendengar pesan dari Arvin, ada perasaan cemas yang muncul. Ia tak lagi merasa sepertinya dulu—penuh harapan dan keyakinan.
Hari itu, ketika ia sedang duduk di meja kerjanya, sebuah pesan dari Arvin muncul di layar ponselnya. Tentu saja, Mira sudah terbiasa dengan pesan-pesan singkat yang penuh perhatian, namun kali ini, sesuatu terasa berbeda.
“Mira, aku tahu ini mungkin terasa aneh, tapi aku merasa kita harus jujur satu sama lain. Aku mulai merasa semakin jauh darimu, meskipun kita tetap berkomunikasi. Rasanya seperti kita terjebak dalam rutinitas, dan aku tidak ingin kita hanya bertahan demi bertahan.”
Mira terdiam. Kalimat itu seperti pisau yang menembus hatinya. Arvin sedang berbicara tentang apa yang sudah lama ia rasakan—bahwa mereka berada dalam hubungan yang penuh dengan keraguan dan ketidakpastian. Mungkin perasaan yang mereka miliki belum cukup untuk mengatasi jarak yang ada.
Perasaan cemas yang sebelumnya menggelayuti Mira kini berubah menjadi kesedihan yang mendalam. Ia tidak tahu harus bagaimana, karena di satu sisi, ia mencintai Arvin. Tetapi di sisi lain, ia merasa terperangkap dalam hubungan yang terasa semakin terasingkan. Cinta yang dulu terasa membara kini mulai meredup, dan ia merasa seperti terombang-ambing antara harapan dan kenyataan.
Mira pun membalas pesan itu dengan hati yang penuh keraguan. “Aku merasa hal yang sama, Arvin. Kita sudah berbicara banyak tentang ini, tapi aku rasa aku mulai kehabisan energi untuk terus bertahan dalam ketidakpastian. Aku rindu kamu, tapi setiap kali aku membayangkan kita bertahan, ada perasaan yang mengatakan bahwa kita harus berhenti.”
Mereka berdua tahu bahwa perasaan ini tidak mudah diungkapkan. Mereka saling mencintai, tetapi kenyataan yang ada begitu sulit untuk dihadapi. Kasih mereka yang dulu penuh dengan keindahan kini terasa terhimpit oleh jarak yang tak terhingga.
Arvin membaca pesan itu dengan perasaan yang sangat berat. Ia merasa seperti sebuah titik balik telah tercapai dalam hubungan mereka—titik yang tidak bisa mereka abaikan begitu saja. Mereka berada di persimpangan, dan tidak ada jalan yang terlihat jelas. Kasih yang mereka miliki kini terasa seperti sebuah angan-angan yang sulit diraih, meskipun mereka berdua berusaha keras untuk membuatnya bertahan.
“Mira, aku tidak tahu lagi apa yang harus kita lakukan,” tulis Arvin, suaranya penuh dengan keputusasaan. “Aku mencintaimu, tetapi aku tidak bisa memaksakan kita tetap bertahan jika kita merasa semakin jauh. Kasih yang kita punya, sepertinya hanya bisa bertahan dalam kenangan. Mungkin ini saatnya kita mengakhiri semuanya.”
Pesan itu seakan menghancurkan segala sesuatu yang telah mereka bangun bersama. Mira membaca kalimat itu berulang kali, mencoba memahami apa yang sebenarnya mereka rasakan. Ia tahu bahwa ini bukanlah akhir yang mereka inginkan, tetapi terkadang, meskipun cinta hadir, kenyataan tetap mengalahkan harapan.
Pada malam itu, Mira berjalan keluar rumah, menuju taman yang sepi. Suasana malam yang tenang hanya ditemani suara angin dan gemerisik dedaunan membuat hatinya semakin sunyi. Dia berhenti sejenak di bangku taman, menatap langit malam yang gelap. Pikirannya dipenuhi dengan kenangan indah bersama Arvin—momen-momen singkat yang selalu mereka habiskan bersama, tawa mereka yang terdengar seperti lagu, dan percakapan hangat yang selalu membuat Mira merasa dekat dengannya.
Tetapi kini, perasaan itu terasa begitu jauh. Apakah benar cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi semua ini? Apakah mereka hanya terjebak dalam kisah yang indah, tetapi sebenarnya tak bisa bertahan dengan kerasnya kenyataan?
Mira merasa terombang-ambing. Di satu sisi, ia masih mencintai Arvin dan tidak ingin kehilangan pria yang telah banyak memberi warna dalam hidupnya. Namun, di sisi lain, ia mulai merasakan bahwa kasih yang mereka punya terkadang terasa rapuh. Seiring berjalannya waktu, setiap percakapan dengan Arvin semakin terasa seperti sebuah rutinitas. Kasih mereka yang dulu begitu hidup kini terasa seperti kenangan yang perlahan memudar.
Namun, meskipun begitu, Mira tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan. Cinta mereka mungkin tidak cukup kuat untuk bertahan dalam jarak yang memisahkan mereka. Mungkin ini adalah waktu untuk melepaskan, untuk memberi ruang bagi keduanya agar bisa menemukan jalan masing-masing, meskipun itu terasa sangat menyakitkan.
Keputusan itu, meskipun sulit, harus diambil. Kasih mereka mungkin terkadang terasa ada, tetapi dalam jarak yang terlalu jauh, itu mulai terasa seperti sebuah kenangan yang tersisa. Kasih yang mereka bagi sekarang seolah menjadi bagian dari masa lalu, terbungkus dalam kenangan yang indah, namun tetap memudar seiring waktu. Tapi Mira tahu bahwa cinta sejati tidak selalu harus berakhir dengan kebersamaan. Terkadang, kasih yang terkadang adalah yang terbaik, meskipun itu tidak selalu mudah.*
Bab 7: Mengakhiri, namun Tidak Melupakan
Setelah berbulan-bulan berjuang dengan perasaan yang semakin kabur, Mira akhirnya tahu apa yang harus ia lakukan. Arvin dan dirinya telah mencapai titik di mana semua harapan yang mereka bangun hanya menyisakan keraguan dan keletihan batin. Namun, meskipun sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, Mira merasa tidak ada yang bisa benar-benar menghapus kenangan yang ada antara mereka.
Pada suatu pagi yang cerah, Mira duduk di balkon apartemennya, menatap matahari yang mulai naik perlahan, menerangi kota yang sibuk di bawahnya. Pikirannya penuh dengan kebingungan dan perasaan campur aduk. Ketika hubungan mereka mulai, segalanya terasa indah dan mudah. Cinta mereka begitu murni, begitu kuat, dan begitu penuh gairah. Tetapi, jarak yang memisahkan mereka telah mengubah segalanya.
Mira meraih ponselnya dan melihat pesan terakhir dari Arvin. Setiap kata yang tertulis di sana seolah menggema dalam hatinya. “Aku akan selalu mengingatmu, Mira. Meskipun kita tidak bisa bersama, aku takkan pernah bisa melupakanmu.” Kalimat itu seakan menjadi penutup yang sempurna untuk kisah mereka—kisah cinta yang begitu dalam, namun tak dapat bertahan karena dunia yang tidak mendukung mereka.
“Bagaimana bisa kita begitu dekat, tetapi pada akhirnya harus berjauhan?” Mira bergumam pelan, bertanya pada dirinya sendiri. Terkadang, ia merasa seolah-olah tak ada yang bisa mengalahkan jarak dan waktu yang memisahkan mereka. Tetapi pada saat yang sama, ada rasa yang tidak bisa ia hilangkan. Sebuah perasaan yang terus tinggal dalam hatinya, meskipun mereka tidak lagi bersama.
Kehidupan berjalan terus, seperti biasa. Mira mencoba untuk kembali menjalani hari-harinya seperti sebelum bertemu dengan Arvin. Ia mulai fokus pada pekerjaannya, bertemu teman-teman, dan mencoba meresapi hidup tanpa kehadiran Arvin di sana. Tetapi, semakin ia mencoba melupakan, semakin perasaan itu muncul kembali. Cinta mereka bukanlah cinta yang mudah dilupakan, karena ia tahu bahwa hubungan mereka telah memberikan begitu banyak kenangan berharga.
Satu minggu setelah keputusan itu, Mira bertemu dengan teman lamanya, Rani, di sebuah kafe. Rani adalah salah satu orang yang selalu ada di samping Mira, mendukungnya dalam setiap keputusan besar yang ia buat. Rani segera melihat bahwa Mira sedang tidak dalam keadaan baik.
“Jadi, bagaimana dengan Arvin?” tanya Rani, sambil menyeruput kopi hangatnya.
Mira menarik napas panjang. “Kami sudah mengakhiri semuanya. Itu keputusan yang sulit, tapi aku rasa kami berdua tahu itu yang terbaik.”
Rani mengangguk pelan. “Terkadang, kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai, bukan karena kita tidak ingin itu lagi, tetapi karena itu adalah cara terbaik untuk kita berdua.”
Mira tersenyum tipis, merasa lega meskipun hatinya masih terasa sakit. “Aku tahu. Tapi rasanya seperti aku kehilangan bagian dari diriku sendiri. Aku merasa kosong.”
Rani menatap Mira dengan penuh pengertian. “Itu normal. Kamu telah mencintainya dengan begitu dalam, dan sekarang kamu harus belajar hidup tanpa dia. Tetapi ingat, Mira, meskipun kalian tidak bersama lagi, itu tidak menghapus kenangan indah yang telah kalian bagi.”
Mira menatap ke luar jendela, memandangi orang-orang yang sibuk berlalu-lalang. “Aku tidak tahu bagaimana bisa melupakan semua kenangan itu. Bagaimana bisa aku menghapus begitu saja seseorang yang begitu berarti bagiku?”
Rani tersenyum lembut. “Kamu tidak perlu menghapus kenangan itu, Mira. Kamu hanya perlu menerima bahwa terkadang kita harus melepaskan seseorang untuk bisa lebih berkembang. Cinta kalian mungkin tidak berakhir dengan cara yang kalian inginkan, tetapi kenangan itu akan selalu ada, dan itu akan membentuk siapa dirimu.”
Mira mengangguk pelan. Rani benar. Ia tidak perlu menghapus kenangan tentang Arvin, tetapi ia harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa meskipun cinta itu besar dan tulus, terkadang takdir membawa mereka ke jalan yang berbeda. Hati Mira masih mencintai Arvin, namun ia tahu bahwa untuk bisa maju, ia harus melepaskan. Cinta yang pernah ada antara mereka akan selalu menjadi bagian dari masa lalunya—sebuah kenangan yang tak akan pernah hilang sepenuhnya.
Mira menghabiskan waktu berhari-hari merenung, mencoba menyusun kembali hidupnya setelah perpisahan itu. Ia mulai menyadari bahwa meskipun Arvin bukan bagian dari kehidupannya lagi, perasaan yang ia miliki tidak bisa diabaikan. Kasih yang mereka bagikan adalah sesuatu yang indah, dan meskipun berakhir dengan perpisahan, itu adalah bagian dari perjalanan hidupnya.
Pada malam yang sunyi, ketika Mira duduk sendirian di balkon apartemennya, ia menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit malam. Hatinya terasa lebih ringan. Ia tahu bahwa meskipun mereka tidak bersama, Arvin akan selalu ada di dalam hatinya. Kenangan indah bersama Arvin akan terus hidup, bahkan jika mereka tidak lagi berjalan bersama di masa depan.
Perlahan, Mira tersenyum. Ia tidak perlu melupakan Arvin untuk bisa melangkah maju. Ia hanya perlu menerima bahwa kasih yang terkadang hadir dalam hidupnya, meskipun tidak selalu bertahan, tetap menjadi bagian dari dirinya yang tidak bisa dilupakan. Cinta mereka mungkin telah berakhir, namun kenangan itu akan selalu ada—abadi, tak tergantikan, dan penuh makna.***
—————-THE END—————