Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

“KARENA AKU CINTA MATI”

SAME KADE by SAME KADE
April 15, 2025
in Bucin
Reading Time: 12 mins read
“KARENA AKU CINTA MATI”

Bab 1: Pertemuan yang Mengikat Takdir
Takdir mempertemukan mereka dalam situasi yang tak terduga. Awal pertemuan yang sederhana, tapi meninggalkan jejak di hati.

Hujan turun dengan derasnya, mengguyur kota seakan tak memberi kesempatan bagi siapa pun untuk berlindung. Di antara rintik yang tak kunjung reda, Nayla berlari kecil menuju halte bus, berharap menemukan tempat berteduh. Roknya sedikit basah, dan rambutnya mulai berantakan karena angin yang berembus kencang.

Saat ia mengatur napas, matanya menangkap sosok pria yang duduk di sudut halte, tampak tenang di tengah hiruk-pikuk hujan. Mata mereka bertemu sesaat, hanya beberapa detik, namun cukup untuk membuat jantung Nayla berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Apa kau baik-baik saja?” suara pria itu terdengar di tengah suara hujan yang jatuh menghantam aspal.

Nayla mengangguk kikuk. “Iya, hanya basah sedikit.”

Pria itu tersenyum tipis, kemudian tanpa banyak bicara, ia melepas jaketnya dan menyerahkannya pada Nayla. “Pakailah, kau pasti kedinginan.”

Nayla ragu sejenak, tapi melihat tatapan pria itu yang tulus, ia akhirnya menerima jaket tersebut. Kehangatan jaketnya menyusup ke kulitnya, menghadirkan rasa nyaman yang sulit dijelaskan.

Hujan masih terus turun, waktu berlalu begitu lambat di antara mereka. Entah kenapa, dalam kebisuan itu, ada sesuatu yang terasa berbeda—seolah semesta sedang mempertemukan dua hati yang tak pernah direncanakan untuk bertemu.

Setelah beberapa menit, pria itu berdiri dan tersenyum kecil. “Aku Adrian.”

Nayla menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Nayla.”

Mereka tidak menyadari bahwa pertemuan sederhana di halte itu akan mengubah takdir mereka selamanya.

Bab 2: Pesona yang Tak Bisa Diabaikan
Semakin mengenal, semakin tumbuh rasa di dalam hati. Namun, cinta yang mulai bersemi ini diiringi dengan rahasia yang belum terungkap.

Sejak pertemuan di halte itu, sosok Adrian terus berputar dalam benak Nayla. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya sulit diabaikan—tatapan matanya yang dalam, senyumnya yang sekilas namun begitu hangat, atau mungkin caranya memperlakukannya dengan penuh ketulusan. Nayla mencoba mengabaikan semua itu, berpikir bahwa pertemuan mereka hanyalah kebetulan yang tak perlu dibesar-besarkan.

Namun, takdir sepertinya punya rencana lain.

Hari itu, Nayla duduk di kafe favoritnya, sibuk membaca buku sembari menikmati kopi panas. Suara pintu kafe yang terbuka menarik perhatiannya. Saat ia mendongak, matanya membelalak kaget—Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih santai dengan senyum khasnya yang langsung membuat jantung Nayla berdetak lebih cepat.

Seakan ditarik oleh magnet yang tak terlihat, Adrian berjalan mendekati meja Nayla. “Kita bertemu lagi,” katanya dengan nada santai.

Nayla berusaha terlihat biasa saja. “Sepertinya dunia ini terlalu kecil.”

Adrian tertawa kecil, lalu menatap buku yang ada di hadapan Nayla. “Kamu suka membaca?”

Nayla mengangguk. “Iya, ini salah satu caraku menikmati waktu sendiri.”

“Sendiri tidak selalu buruk,” ujar Adrian. “Tapi, kadang ada hal-hal yang lebih menyenangkan jika dilakukan berdua.”

Ada sesuatu dalam cara Adrian berbicara yang membuat Nayla merasakan sesuatu yang asing—campuran antara rasa penasaran dan kekaguman. Ia bukan tipe orang yang mudah jatuh hati, tapi Adrian punya pesona yang sulit diabaikan.

Percakapan mereka mengalir begitu saja, seakan mereka bukan dua orang yang baru mengenal satu sama lain. Dari hobi hingga impian, semuanya terasa menyatu dalam obrolan yang ringan namun bermakna. Nayla mulai menyadari bahwa Adrian bukan hanya pria yang ramah, tapi juga seseorang yang mampu membuatnya merasa nyaman dengan cara yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.

Saat matahari mulai tenggelam, Adrian menatap Nayla dan tersenyum. “Aku rasa, ini bukan terakhir kalinya kita bertemu.”

Nayla hanya tersenyum tipis, tapi dalam hatinya, ia tahu—pria ini akan sulit untuk diabaikan.

Bab 3: Rasa yang Tak Tersampaikan
Ketakutan dan keraguan menghalangi pengakuan. Keduanya menyadari perasaan masing-masing, tapi terlalu takut untuk mengungkapkannya.

Hari-hari berlalu sejak pertemuan itu, tetapi setiap detik yang Nayla habiskan bersama Adrian terus berputar dalam pikirannya. Ia tak pernah menyangka bahwa seseorang bisa masuk ke dalam hidupnya begitu cepat, begitu dalam, tanpa peringatan.

Setiap pertemuan dengan Adrian terasa alami, seolah mereka memang ditakdirkan untuk berada di dunia yang sama. Mereka sering menghabiskan waktu di kafe tempat pertama kali mereka bertemu kembali—berbincang tentang banyak hal, dari buku, musik, hingga kehidupan. Tapi ada satu hal yang Nayla belum berani ungkapkan: perasaannya yang semakin tumbuh terhadap Adrian.

Ia takut.

Takut bahwa perasaannya hanya sepihak. Takut bahwa semua perhatian Adrian hanyalah sebatas persahabatan. Takut bahwa jika ia mengungkapkan isi hatinya, maka kebersamaan mereka akan berubah menjadi canggung, atau lebih buruk—hilang begitu saja.

Nayla mulai menyadari bahwa semakin ia menahan perasaannya, semakin menyakitkan rasanya melihat Adrian tersenyum padanya tanpa mengetahui apa yang ada di hatinya. Ada momen-momen kecil yang membuatnya ingin berkata jujur—seperti ketika Adrian dengan santai menyelipkan rambut Nayla ke belakang telinganya saat tertiup angin, atau ketika tatapan mereka bertemu lebih lama dari seharusnya, namun tak ada yang berani memulai pembicaraan tentang apa yang mereka rasakan.

Suatu sore, mereka duduk di bangku taman, menikmati langit senja yang perlahan berubah warna. Adrian menatap ke depan, sementara Nayla mencuri pandang ke arahnya, mencoba menghafal setiap detail wajahnya.

“Pernah nggak sih, kamu merasa ingin bilang sesuatu, tapi nggak bisa?” tanya Nayla tiba-tiba.

Adrian menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. “Sering.”

“Kenapa nggak bilang aja?”

Adrian tersenyum tipis, tapi ada kesedihan di matanya. “Karena kadang, nggak semua hal harus diungkapkan.”

Jawaban itu membuat hati Nayla berdebar lebih kencang. Ia ingin percaya bahwa Adrian sedang berbicara tentang hal yang sama—tentang rasa yang diam-diam tumbuh di antara mereka. Tapi Nayla terlalu takut untuk berharap.

Jadi, untuk sementara, ia memilih diam.

Menyimpan perasaan itu di dalam hatinya.

Tanpa tahu sampai kapan.

Bab 4: Luka yang Tertinggal
Masa lalu yang menyakitkan mulai menghantui. Kenangan yang seharusnya dilupakan justru kembali, mengancam kebahagiaan yang sedang tumbuh.

Hati Nayla terus berperang dengan dirinya sendiri. Semakin lama ia memendam perasaannya, semakin sesak rasanya. Tapi lebih dari itu, ia juga takut menghadapi kenyataan—kenyataan bahwa mungkin Adrian tidak merasakan hal yang sama.

Namun, tanpa Nayla sadari, ada sesuatu yang juga disembunyikan oleh Adrian. Luka lama yang masih menggores hatinya, yang membuatnya enggan membuka lembaran baru dalam hidup.

Hari itu, hujan turun deras. Adrian dan Nayla berteduh di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota. Mereka duduk di dekat jendela, memperhatikan rintik hujan yang menari di atas aspal. Suasana terasa sendu, seolah cuaca memahami perasaan mereka berdua.

“Aku sering datang ke sini dulu,” gumam Adrian tiba-tiba, matanya menerawang jauh.

Nayla menoleh, menunggu kelanjutan kata-katanya.

“Dulu, sebelum semuanya berubah,” lanjutnya.

Nayla diam, membiarkan Adrian berbicara tanpa interupsi.

“Ada seseorang yang pernah aku cintai di tempat ini,” katanya, suaranya nyaris tenggelam dalam suara hujan. “Kami sering duduk di meja ini, berbicara tentang masa depan, bermimpi tentang hidup yang akan kami jalani bersama.”

Jantung Nayla mencelos. Ia tak pernah mendengar Adrian berbicara tentang seseorang di masa lalunya.

“Tapi suatu hari, dia pergi,” lanjutnya dengan suara berat. “Bukan karena aku. Bukan karena kami tak saling mencintai. Tapi karena keadaan.”

Tatapan Nayla melembut. Ia tahu, luka semacam ini bukan sesuatu yang mudah untuk dilupakan.

“Sejak saat itu, aku nggak pernah benar-benar bisa membuka hati lagi,” lanjut Adrian. “Aku takut, Nay. Takut kalau aku jatuh cinta lagi, aku harus kehilangan untuk kedua kalinya.”

Nayla terdiam. Seketika, ia merasa semua yang selama ini ia rasakan menjadi lebih rumit.

Bagaimana bisa ia berharap Adrian membalas perasaannya, jika hatinya masih tertinggal di masa lalu?

Tapi yang lebih menyakitkan adalah menyadari bahwa mungkin, selama ini ia hanya berjalan di tempat. Berharap pada seseorang yang bahkan belum sepenuhnya lepas dari luka lamanya.

Nayla tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa nyeri.

“Mungkin… kamu nggak perlu buru-buru,” katanya pelan. “Kadang, beberapa luka butuh waktu lebih lama untuk sembuh.”

Adrian menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya yang tak bisa Nayla artikan.

Tapi yang jelas, sejak hari itu, ada jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka.

Bab 5: Dilema di Persimpangan Jalan
Ketika kenyataan mulai berbicara, pilihan harus dibuat. Bertahan dengan perasaan ini atau melepaskan demi kebahagiaan orang lain?

Sejak percakapan mereka di kedai kopi itu, sesuatu berubah di antara Nayla dan Adrian. Mereka masih sering bertemu, masih berbicara seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda—sebuah jarak yang tak kasat mata namun begitu nyata.

Nayla mulai menyadari bahwa semakin dalam ia melibatkan perasaannya, semakin sulit pula untuk keluar dari lingkaran ini. Adrian masih terjebak di masa lalu, dan ia tak yakin apakah dirinya bisa menjadi alasan bagi lelaki itu untuk melangkah maju.

Namun, di saat ia mulai berpikir untuk perlahan menjauh, Adrian justru semakin sering mencarinya. Pesan-pesan singkat datang lebih sering, ajakan bertemu terasa lebih mendesak. Seolah ada sesuatu yang Adrian takutkan jika mereka berjarak terlalu jauh.

Hingga pada suatu malam, di tengah keheningan kota, Adrian mengajak Nayla bertemu di taman yang biasa mereka kunjungi. Udara dingin membelai lembut, aroma tanah yang baru diguyur hujan memenuhi udara.

“Aku nggak bisa kehilangan kamu, Nay,” ujar Adrian tiba-tiba, matanya menatap lurus ke arah Nayla.

Jantung Nayla mencelos. Kata-kata itu terasa manis sekaligus menyakitkan.

“Tapi aku juga nggak bisa memaksakan hati ini untuk sepenuhnya melupakan masa lalu,” lanjutnya dengan suara bergetar.

Dan di situlah letak dilemanya.

Nayla sadar bahwa ia berada di persimpangan jalan. Jika ia memilih untuk bertahan, ia harus menerima bahwa Adrian belum sepenuhnya siap mencintainya seperti ia mencintai lelaki itu. Tapi jika ia pergi, ia mungkin akan selamanya bertanya-tanya: bagaimana jika Adrian akhirnya menyadari bahwa Nayla adalah orang yang selama ini ia butuhkan?

“Jadi, kamu mau aku tetap di sini?” tanya Nayla pelan, menahan sesak di dadanya.

Adrian mengangguk. “Aku butuh kamu, Nay.”

Tapi apakah ‘membutuhkan’ sama dengan ‘mencintai’?

Nayla tersenyum kecil, menyembunyikan perasaannya yang berantakan. Ia tahu bahwa apapun yang ia pilih, semuanya memiliki konsekuensinya sendiri.

Namun yang belum ia sadari adalah, takdir masih menyimpan kejutan lain untuk mereka. Sesuatu yang akan membuatnya semakin sulit menentukan arah. Sesuatu yang bisa membuatnya benar-benar kehilangan Adrian… atau justru sebaliknya.

Bab 6: Rahasia yang Menghancurkan
Sebuah pengakuan yang tak pernah diduga muncul ke permukaan. Rasa percaya yang perlahan dibangun justru hancur dalam hitungan detik.

Sejak pertemuan terakhir mereka di taman, Nayla merasa ada sesuatu yang semakin mengganjal di hatinya. Adrian memintanya untuk tetap di sisi, tetapi tanpa janji, tanpa kepastian. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa cinta bisa bertahan dengan kesabaran. Namun, semakin ia menunggu, semakin ia merasa hancur oleh ketidakpastian.

Malam itu, Nayla menatap layar ponselnya. Jemarinya ragu-ragu mengetik pesan untuk Adrian, tapi akhirnya ia hanya bisa menghela napas panjang. Di dalam hatinya, ada kegelisahan yang sulit ia pahami.

Namun, ketakutannya akhirnya menjadi nyata.

Keesokan harinya, Nayla menerima sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal.

“Kamu yakin Adrian benar-benar sendiri? Jangan sampai kamu hanya jadi pelarian.”

Pesan itu menghantamnya seperti petir di siang bolong. Dadanya berdebar kencang saat ia mencoba mencari tahu siapa pengirimnya. Tetapi sebelum ia sempat membalas, sebuah foto masuk.

Sebuah foto Adrian—bersama seorang wanita.

Hati Nayla mencelos. Foto itu diambil di sebuah restoran, jelas terlihat bahwa Adrian sedang menggenggam tangan wanita itu. Tatapan matanya penuh kehangatan. Tatapan yang sama seperti saat ia menatap Nayla.

Tangannya gemetar saat ia menekan nomor Adrian, tapi panggilannya tak diangkat.

Tak butuh waktu lama sebelum ia akhirnya mengetahui kebenarannya.

Adrian memang belum bisa melupakan masa lalunya—karena masa lalu itu belum benar-benar pergi. Wanita dalam foto itu adalah Anya, mantan kekasih yang selama ini ia anggap sudah menjadi bagian dari kenangan. Tapi kenyataannya, Adrian masih bertemu dengannya. Masih menyimpan perasaan yang Nayla tak pernah tahu.

Seluruh dunia Nayla seakan runtuh dalam sekejap.

Saat ia akhirnya berhadapan dengan Adrian, hanya ada satu pertanyaan yang ia butuhkan jawabannya.

“Kenapa kamu nggak pernah bilang yang sebenarnya?”

Adrian terdiam. Tak ada jawaban yang bisa membenarkan kebohongan ini.

Air mata Nayla jatuh tanpa bisa ia tahan.

Selama ini, ia berusaha bertahan. Berusaha menerima semua luka yang Adrian bawa dari masa lalunya. Tapi ia tak pernah menyangka, luka itu bukan hanya tentang kenangan—melainkan tentang seseorang yang masih ada di kehidupan lelaki itu.

“Aku harusnya tahu… Aku cuma pilihan kedua, kan?” suara Nayla bergetar, penuh kepedihan.

Dan di saat itu juga, ia tahu—ada hal-hal yang tak bisa dipertahankan, sekeras apapun perasaan yang ia miliki.

Bab 7: Pergi untuk Menyelamatkan Hati
Jarak menjadi satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka. Tapi apakah pergi benar-benar bisa menghapus perasaan ini?

Nayla menatap koper kecil yang sudah tertata rapi di sudut kamar. Beberapa helai pakaian, dokumen penting, dan secarik tiket pesawat tergeletak di atas meja. Tangannya gemetar saat meraih tiket itu, membaca ulang namanya yang tertera di sana.

Keputusan ini bukan sesuatu yang ia buat dalam semalam. Ini adalah hasil dari luka-luka yang ia kumpulkan selama berbulan-bulan—mungkin bahkan bertahun-tahun.

Adrian telah menghancurkan kepercayaannya. Setelah mengetahui bahwa pria itu masih berhubungan dengan mantan kekasihnya, dunia Nayla tak lagi sama. Bukan hanya rasa sakit yang ia rasakan, tapi juga penghinaan karena selama ini ia begitu percaya.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.

“Nay?”

Itu suara Vina, sahabatnya. Dengan cepat Nayla menyeka air matanya dan membuka pintu. Vina masuk dengan ekspresi khawatir, lalu menatap koper di sudut ruangan.

“Kamu benar-benar mau pergi?” tanya Vina lirih.

Nayla mengangguk. “Aku butuh ini, Vin. Aku nggak bisa terus berada di sini dan pura-pura baik-baik saja.”

Vina menatapnya dalam diam, lalu menariknya ke dalam pelukan erat. “Aku ngerti. Tapi apa kamu yakin ini yang terbaik?”

Nayla menarik napas dalam. “Aku nggak tahu apa ini yang terbaik. Yang aku tahu, aku butuh pergi untuk menyelamatkan diriku sendiri.”

Vina terdiam sesaat, lalu melepaskan pelukan itu. “Kamu udah bilang ke Adrian?”

Nayla tertawa kecil, getir. “Buat apa? Dia sudah memilih jalannya. Aku juga harus memilih jalanku sendiri.”

Sebenarnya, ada bagian dari hatinya yang masih ingin mendengar penjelasan Adrian. Tapi untuk apa? Apapun yang dikatakan pria itu, kenyataannya tetap sama: kepercayaannya sudah hancur.

Malam itu, sebelum keberangkatannya ke luar kota, ponselnya berdering berkali-kali. Nama Adrian terus muncul di layar, tapi Nayla tak punya kekuatan untuk menjawab. Ia tak mau mendengar alasan atau permintaan maaf.

Lalu, sebuah pesan masuk.

_”Aku di depan rumahmu. Kumohon, beri aku kesempatan untuk menjelaskan.” _

Nayla menatap pesan itu lama. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia tahu ini bukan lagi tentang perasaan. Ini tentang dirinya sendiri.

Tanpa membalas, Nayla meraih kopernya dan melangkah keluar dari kamar. Tak peduli apakah Adrian menunggu di luar sana atau tidak. Untuk pertama kalinya, ia memilih dirinya sendiri.

Dan kali ini, ia benar-benar pergi.

Bab 8: Cinta yang Tak Bisa Dihindari
Sejauh apapun berlari, perasaan itu tetap ada. Takdir kembali mempertemukan mereka dengan kondisi yang jauh berbeda.

Hujan turun deras malam itu, seakan menggambarkan kekacauan di hati Nayla. Ia duduk di sudut kafe kecil di Bandung, tempat ia memilih untuk bersembunyi dari kenyataan. Sudah dua bulan berlalu sejak ia pergi dari Jakarta, meninggalkan Adrian dan semua luka yang pernah menyertainya.

Tapi ada satu hal yang tidak bisa ia tinggalkan: perasaannya.

Setiap pagi, bayangan Adrian masih memenuhi pikirannya. Setiap malam, kenangan tentang pria itu berputar tanpa henti. Ia telah berusaha sekuat tenaga untuk melupakannya, untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan dan kehidupan barunya di kota ini. Tapi tetap saja, hatinya tetap terikat pada satu nama.

Dan malam itu, takdir kembali mempermainkannya.

“Nayla?”

Suara yang begitu dikenalnya itu membuat napasnya tercekat. Ia menoleh perlahan, dan di sana, di tengah guyuran hujan, berdiri seseorang yang paling ingin ia lupakan—dan sekaligus yang paling ingin ia temui.

Adrian.

Pria itu basah kuyup, rambutnya berantakan, wajahnya terlihat lelah, tapi tatapan matanya tetap sama: penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” suara Nayla bergetar.

Adrian menghela napas, lalu berjalan mendekat. “Mencari kamu.”

Jantung Nayla berdegup semakin cepat. “Kamu nggak perlu repot-repot. Aku pergi karena ingin menjauh dari semuanya, termasuk kamu.”

“Aku tahu,” suara Adrian terdengar lebih pelan, lebih tenang. “Tapi semakin kamu jauh, semakin aku sadar kalau aku nggak bisa tanpamu.”

Nayla ingin marah, ingin menertawakan betapa ironisnya semua ini. Tapi ketika ia menatap mata Adrian, ia hanya melihat kejujuran di sana.

“Aku nggak tahu harus percaya atau nggak, Adrian,” suaranya hampir seperti bisikan. “Aku capek. Aku lelah dengan semua ini. Aku ingin hidup tanpa harus terus merasa takut dikecewakan.”

Adrian menatapnya dalam-dalam. “Aku nggak akan memaksa kamu buat percaya lagi sama aku. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal: aku mencintaimu. Aku sudah mencintaimu sejak lama, dan perasaan itu nggak akan berubah.”

Nayla menggigit bibirnya, menahan emosi yang hampir meledak. Ia ingin menyangkal. Ia ingin mengatakan bahwa cinta saja tidak cukup untuk menyembuhkan luka. Tapi hatinya berkata lain.

Karena sejak awal, ia tahu, cinta ini memang tak bisa dihindari.

Bab 9: Bertahan atau Melepaskan?
Saat semuanya terasa terlalu berat, satu pertanyaan muncul: apakah cinta ini masih layak diperjuangkan atau sudah saatnya menyerah?

Nayla duduk di tepi ranjangnya, menatap ponsel yang sejak tadi terus bergetar. Nama Adrian berkali-kali muncul di layar, tapi ia tak berani mengangkatnya. Ia belum siap. Hatinya masih dipenuhi kebingungan.

Setelah pertemuan mereka di kafe malam itu, Adrian tak berhenti menghubunginya. Kata-kata pria itu masih terus terngiang di kepalanya: “Aku mencintaimu. Aku sudah mencintaimu sejak lama, dan perasaan itu nggak akan berubah.”

Tapi apakah itu cukup?

Di satu sisi, ia tahu bahwa ia mencintai Adrian. Ia selalu mencintainya, meskipun berulang kali ia mencoba menyangkalnya. Namun, cinta bukan hanya tentang perasaan—ada kepercayaan yang harus dijaga, ada luka yang harus disembuhkan.

“Kenapa kamu masih diam?” suara Dinda, sahabatnya, mengusik keheningan.

Nayla menghela napas panjang. “Aku nggak tahu, Din. Aku masih bingung.”

Dinda duduk di sebelahnya. “Apa yang bikin kamu ragu? Kamu masih cinta sama dia, kan?”

Nayla menatap sahabatnya dengan mata berkabut. “Iya, aku masih cinta. Tapi cinta aja nggak cukup. Aku takut, Din. Takut kalau akhirnya aku hanya akan terluka lagi.”

Dinda tersenyum kecil. “Aku ngerti ketakutanmu. Tapi Nay, kalau kamu terus-terusan takut, kamu nggak akan pernah tahu apakah dia benar-benar pantas buat diperjuangkan atau tidak.”

Kata-kata itu menusuk hati Nayla. Benarkah ia hanya takut? Apakah selama ini ia hanya berusaha melarikan diri karena khawatir semua akan berakhir dengan luka yang sama?

Ponselnya kembali bergetar. Kali ini ia mengambilnya dan menatap layar.

Adrian Calling…

Nayla menarik napas dalam, lalu menekan tombol jawab.

“Halo?” suaranya terdengar lebih pelan dari yang ia kira.

“Nayla.” Suara Adrian di seberang sana terdengar lega. “Aku tahu kamu masih ragu. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal—aku di sini, dan aku akan selalu di sini. Aku nggak akan pergi kalau kamu masih menginginkanku.”

Air mata menggenang di mata Nayla. “Aku nggak tahu harus bagaimana, Adrian…”

“Kalau kamu masih butuh waktu, aku akan menunggu,” kata Adrian dengan lembut. “Tapi kalau kamu masih mencintaiku, tolong, jangan menjauh lagi.”

Keheningan menyelimuti mereka. Nayla memejamkan mata, hatinya berkecamuk.

Bertahan atau melepaskan?

Dua pilihan itu kini ada di tangannya.

Bab 10: Karena Aku Cinta Mati
Cinta sejati tak pernah pergi. Setelah melewati segala rintangan, kini hanya ada satu kepastian: cinta ini tak akan pernah mati.

Hujan turun dengan derasnya, mengiringi langkah Nayla yang tergesa-gesa berjalan menuju rumah Adrian. Langkahnya terasa berat, namun hatinya sudah mantap. Tidak ada lagi keraguan yang menghalangi, tidak ada lagi luka yang bisa menghentikan langkahnya kali ini.

Tadi malam, setelah percakapan panjang dengan Dinda, ia akhirnya sadar. Cinta itu memang bisa menyakitkan, bisa membawa luka yang dalam, namun itu juga yang membuat hidup terasa lebih berarti. Nayla tahu, ia tidak bisa terus-menerus bersembunyi dari perasaan yang sudah ada dalam hatinya selama ini.

“Kalau aku terus lari, aku hanya akan kehilangan dia untuk selamanya.”

Itulah kata-kata yang terus berputar dalam pikirannya. Adrian, pria yang selama ini ia cintai, tidak hanya menawarkan cinta, tetapi juga kesempatan kedua. Sebuah kesempatan untuk memperbaiki apa yang pernah rusak. Dan dia siap mengambilnya.

Pintu rumah Adrian terbuka saat Nayla mengetuknya dengan cemas. Adrian berdiri di sana, masih dengan wajah yang penuh harap dan penuh kelegaan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Nayla. Tanpa disadari, air mata sudah mulai mengalir di pipinya.

“Aku datang untukmu, Adrian. Aku datang karena aku cinta mati,” kata Nayla, suaranya bergetar, namun tegas.

Adrian tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi hanya meraih tubuh Nayla ke dalam pelukannya. Begitu erat, seolah takut ia akan pergi lagi. Mereka berdiri di sana, di bawah hujan yang tak kunjung reda, dalam diam yang mengungkapkan lebih banyak perasaan daripada seribu kata.

Nayla memejamkan mata, meresapi setiap detik kebersamaan itu. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa tenang. Cinta yang ia rasakan bukan lagi sekadar kata-kata kosong. Ia telah memilih untuk kembali, memilih untuk memperjuangkan kebersamaan mereka meskipun banyak hal yang harus mereka perbaiki.

“Aku tidak akan pergi lagi, Adrian,” katanya perlahan, seakan mengikat janji dalam hatinya. “Karena aku cinta mati.”

Adrian menggenggam tangan Nayla lebih erat. “Aku tahu, Nayla. Aku tahu. Dan aku akan selalu mencintaimu, apapun yang terjadi.”

Mereka saling memandang dalam diam. Tidak perlu lagi kata-kata. Cinta mereka sudah cukup menjelaskan semuanya. Hari ini, mereka memulai perjalanan baru—tanpa ragu, tanpa penyesalan. Cinta yang tak terhalang oleh waktu atau keadaan.

Di bawah hujan yang masih terus turun, Nayla dan Adrian berdiri, bersatu dalam janji yang mereka buat—janji untuk mencintai, bertahan, dan melewati segala rintangan bersama.

Karena mereka tahu, cinta yang sejati tak hanya dilihat dari momen indah, tetapi juga dari keberanian untuk tetap bertahan, meskipun dunia seakan berusaha memisahkan mereka.***

—– THE END ——

Source: MELDA
Tags: CintaMatiEmotionalJourneyHeartfeltStoryLoveAndSacrificeRomanceNovel
Previous Post

MENITI CINTA DARI KEJAUHAN

Next Post

rahasia diantara kita

Related Posts

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

May 13, 2025
JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

May 4, 2025
AKU CINTA, KAMU CUEK

AKU CINTA, KAMU CUEK

May 1, 2025
BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

April 30, 2025
PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

April 29, 2025
CINTA ATAU MIE INSTAN?

CINTA ATAU MIE INSTAN?

April 28, 2025
Next Post
rahasia diantara kita

rahasia diantara kita

ROMANSHA YANG BERAHKIR DUKA

ROMANSHA YANG BERAHKIR DUKA

DILEMA CINTA SEGITIGA

DILEMA CINTA SEGITIGA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id