Daftar Isi
Bab 1: Awal yang Indah
Hari itu, Alia terbangun dengan perasaan yang ringan. Mentari pagi menyinari kamarnya yang penuh dengan nuansa warna pastel yang lembut, memberi semangat baru untuk memulai hari. Angin pagi yang sejuk menyusup melalui jendela yang terbuka, seolah membawakan kesegaran alam ke dalam ruangan. Alia menatap ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ada pesan dari Rian, kekasihnya yang sudah hampir tiga tahun bersamanya.
“Selamat pagi, sayang. Semoga harimu menyenangkan seperti senyum cantikmu.”
Alia tersenyum membaca pesan itu. Rian selalu tahu bagaimana membuatnya merasa istimewa dengan kata-katanya yang manis. Ia merasa beruntung memiliki pria seperti Rian di hidupnya. Mereka bertemu di sebuah acara kampus, saat Alia baru saja memasuki tahun kedua kuliah. Rian, dengan caranya yang pendiam namun penuh perhatian, langsung menarik hatinya. Di mata Alia, Rian adalah sosok yang sempurna—ramah, penyayang, dan selalu mendukung impian-impian kecilnya.
Pagi itu, setelah berbalas pesan dengan Rian, Alia memutuskan untuk pergi ke kafe kesukaan mereka untuk menikmati secangkir kopi sambil menyelesaikan tugas kuliah. Kafe itu terletak di sudut kota, jauh dari hiruk-pikuk jalan raya, dengan suasana yang tenang dan nyaman. Setiap sudut kafe dihiasi dengan tanaman hijau dan furnitur kayu yang memberi kesan hangat. Rian dan Alia sering menghabiskan waktu bersama di sana, berbincang tentang berbagai hal, mulai dari hal-hal kecil hingga rencana-rencana besar mereka untuk masa depan.
Di meja favorit mereka, Rian sudah duduk menunggu, mengenakan kemeja biru yang membuatnya terlihat lebih tampan dari biasanya. Senyum tipis menghiasi wajahnya ketika Alia masuk dan melangkah menuju meja. Ia selalu merasa nyaman berada di dekat Rian, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.
“Selamat pagi, cantik,” sapa Rian dengan suara lembut, yang selalu bisa menenangkan hati Alia.
“Selamat pagi, kamu sudah menunggu lama?” tanya Alia sambil duduk di seberang Rian.
“Enggak kok, baru sebentar,” jawab Rian sambil menyodorkan secangkir kopi panas untuknya.
Alia memandang Rian, merasa bersyukur bisa berbagi momen-momen kecil seperti ini. Mereka berbicara tentang berbagai hal; tugas kuliah, rencana liburan yang ingin mereka lakukan, dan bahkan membayangkan masa depan mereka bersama. Rian selalu memiliki cara untuk membuat Alia merasa dicintai dan dihargai, tidak ada yang terasa sulit atau rumit ketika mereka bersama.
Mereka seringkali membicarakan rencana-rencana mereka untuk masa depan—bagaimana mereka ingin membangun sebuah rumah kecil di pinggiran kota, dengan kebun yang luas dan anjing peliharaan. Alia selalu tersenyum mendengar impian-impian sederhana Rian, yang membuatnya semakin merasa yakin bahwa dia telah menemukan orang yang tepat.
Sore itu, setelah seharian menghabiskan waktu bersama Rian di kafe, Alia merasa hatinya penuh dengan kebahagiaan. Mereka berjalan berdua menyusuri trotoar kota, melewati gedung-gedung tinggi yang menara. Tidak ada yang bisa mengganggu perasaan indah yang mereka rasakan. Alia merasa begitu beruntung, karena meskipun hidupnya tidak selalu sempurna, dia tahu bahwa di sisi Rian, segala sesuatu terasa begitu lengkap.
Sesampainya di rumah, Alia duduk di meja kerja dengan secangkir teh hangat di tangan. Ia menatap ke luar jendela, melihat langit yang mulai berubah warna. Pemikirannya berkelana pada semua kenangan indah yang telah ia lalui bersama Rian. Setiap momen terasa berharga dan penuh makna. Ia merasa aman dalam pelukan cinta Rian, dan seolah segala sesuatu yang terjadi di dunia ini berjalan dengan sempurna.
Rian adalah sosok yang tidak pernah membuatnya merasa kesepian. Mereka berbagi tawa, cerita, dan impian. Rian selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah Alia, tanpa menghakimi. Tidak ada yang lebih membuat Alia merasa nyaman daripada berbicara dengan Rian.
Namun, seperti halnya hidup yang penuh dengan liku, Alia tidak pernah menyangka bahwa kebahagiaan yang ia rasakan hari itu akan segera diuji. Ia belum tahu, bahwa ada sesuatu yang tersembunyi, sebuah rahasia yang lambat laun akan mengubah jalannya cerita mereka.
Ketika malam tiba, Alia terbaring di tempat tidurnya, membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan damai yang mengalir dari hubungan mereka. Ia menutup matanya dengan senyum di bibir, merasakan cinta yang tulus dari Rian. Tidak ada yang lebih dia inginkan selain terus bersama Rian, berbagi hidup bersama, membangun impian bersama.
Namun, dalam kesunyian malam, sebuah pertanyaan terlintas di pikirannya, sesuatu yang ia coba untuk tidak terlalu dipikirkan. Apakah semua yang ia rasakan benar-benar sempurna? Apakah mungkin kebahagiaan ini bertahan lama? Tetapi, sejenak, Alia membuang jauh-jauh keraguan itu dan memilih untuk percaya bahwa cintanya dengan Rian adalah segala-galanya.
Namun, di luar jendela yang gelap, di dunia yang tak terlihat oleh Alia, sesuatu mulai bergerak dengan diam-diam, menyusun rencana yang akan mengguncang segalanya. Alia belum tahu bahwa keindahan yang dia rasakan hari itu hanyalah awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan luka, penyesalan, dan pengkhianatan. Sebuah perjalanan yang akan menguji kekuatan hatinya dan mengubahnya selamanya.
Alia, yang sedang terbuai dalam keindahan dan ketenangan, tidak tahu bahwa dunia yang ia kenal akan segera berubah, dan ia akan dihadapkan pada kenyataan yang lebih pahit dari yang ia bayangkan.*
Bab 2: Bayang-bayang Ketidakpastian
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan meskipun kebahagiaan Alia bersama Rian masih terasa hangat, ada sesuatu yang tak bisa ia hilangkan dari pikirannya. Sebuah perasaan tidak nyaman yang mulai menghantuinya, bagaikan bayang-bayang yang selalu mengikuti langkahnya. Ia berusaha mengabaikannya, tapi bayang-bayang itu semakin nyata, semakin jelas.
Pagi itu, setelah mengirim pesan singkat pada Rian yang mengatakan akan tiba lebih awal di kampus, Alia berjalan sendirian menuju kelas. Meskipun ia biasa menikmati suasana pagi yang tenang, kali ini hatinya terasa lebih berat. Perasaan aneh yang sulit ia jelaskan itu semakin mengusik pikirannya. Alia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa Rian adalah orang yang tepat, dan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun, entah mengapa, ada sesuatu yang mengganggu setiap kali ia memandang ponselnya. Rian terkadang tidak membalas pesan dalam waktu yang lama, atau ia lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya tanpa memberi kabar. Alia tahu, tidak ada yang salah dengan itu. Semua orang membutuhkan ruang dan waktu untuk dirinya sendiri. Tetapi, ada kalanya ketidakhadiran Rian membuat Alia merasa ragu. Seolah-olah ia kehilangan sesuatu yang dulu begitu dekat, sesuatu yang kini terasa semakin jauh.
Siang itu, Alia berjalan menuju kantin untuk makan siang, berharap bisa menenangkan pikirannya. Saat ia duduk dengan teman-temannya, topik perbincangan mereka tidak lepas dari hubungan asmara yang sedang mereka jalani. Teman-temannya, Rika dan Maya, seringkali berbicara tentang betapa sempurnanya hubungan mereka dengan pasangan masing-masing. Alia hanya bisa tersenyum mendengar cerita mereka, meskipun hatinya sedikit teriris. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang ada di hatinya, selain perasaan cemas yang semakin membebani.
Alia sering merasa bahwa Rian mulai berubah, meski perubahan itu sangat kecil dan hampir tak terlihat oleh orang lain. Ia merasa ada jarak antara mereka yang tidak bisa dijelaskan. Kadang-kadang, Rian terlihat lebih tertutup, dan bahkan di saat-saat tertentu, ia tampak cemas dan terburu-buru. Alia sering berusaha menanyakan apa yang terjadi, tetapi Rian selalu menjawab dengan senyum dan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Tetapi, senyum itu terasa semakin hambar, semakin terpaksa.
Sehari setelah percakapan mereka di kafe, Alia memutuskan untuk menemui Rian di apartemennya. Ia berharap bisa merasakan kehangatan hubungan mereka lagi, untuk mencari kenyamanan di tempat yang sama di mana mereka dulu sering tertawa bersama. Namun, ketika Alia tiba, apartemen itu terasa sepi. Rian tidak ada di sana, dan pintu terkunci rapat. Alia mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan, bertanya apakah Rian sedang keluar atau ada sesuatu yang perlu ia ketahui. Beberapa menit berlalu tanpa jawaban.
Ketika Rian akhirnya menghubunginya, suaranya terdengar agak gelisah, sedikit canggung. “Maaf, aku sedang ada urusan penting. Aku akan segera pulang,” katanya singkat. Alia tidak tahu mengapa, tetapi kata-kata itu membuat perasaannya semakin tidak tenang. Ada sesuatu yang tidak ia mengerti, sebuah perubahan yang terasa seperti semburan angin yang datang tiba-tiba, namun cukup kuat untuk mengusik ketenangannya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, perasaan Alia semakin dipenuhi dengan keraguan. Ia mulai merasakan bahwa bayang-bayang ketidakpastian mulai meliputinya, dan ia tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Setiap kali ia bertemu dengan Rian, meskipun senyumnya tetap hangat dan kata-katanya tetap penuh kasih sayang, ada perasaan yang mengganggu di dalam hatinya. Sesuatu yang tidak bisa ia definisikan. Sesuatu yang membuatnya merasa cemas.
Suatu malam, saat mereka sedang berjalan pulang bersama, Alia memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya. Ia merasa sudah waktunya untuk berbicara, untuk mengetahui apakah ada yang salah. Mereka duduk di bangku taman, dikelilingi oleh lampu-lampu jalan yang redup. Alia menatap Rian dengan serius, mencoba mencari keberanian untuk bertanya.
“Rian,” katanya dengan suara pelan, “Ada sesuatu yang mengganggu aku belakangan ini. Aku merasa ada yang berubah antara kita, dan aku nggak tahu kenapa. Apa kamu merasa hal yang sama?”
Rian menundukkan kepala sejenak, seolah-olah ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. “Alia, aku… Aku minta maaf jika kamu merasa seperti itu. Sungguh, tidak ada yang berubah. Mungkin aku hanya butuh waktu sendiri untuk beberapa hal,” jawab Rian, terdengar agak ragu.
Alia terdiam. Kata-kata itu tidak benar-benar menghapus keraguan dalam hatinya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Rian? Apa yang sedang dia sembunyikan? Mengapa perasaan itu terus mengganggu?
Namun, Alia memilih untuk tidak mendesak lebih jauh. Ia ingin mempercayai Rian, untuk memberi ruang pada hubungan mereka agar bisa tumbuh. Meskipun hatinya dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab, ia memutuskan untuk menunggu, berharap bahwa jawabannya akan datang dengan sendirinya. Rian adalah orang yang ia percayai, dan ia tidak ingin kehilangan hubungan yang telah mereka bangun bersama.
Tetapi, semakin hari, bayang-bayang ketidakpastian itu semakin menggerogoti pikiran Alia. Rian menjadi lebih sulit dihubungi, lebih sering menghindar dari percakapan yang lebih mendalam. Alia merasa seperti terombang-ambing di lautan keraguan, tanpa arah yang jelas. Dalam hati, ia berharap bahwa semuanya akan kembali seperti dulu, tetapi semakin lama, semakin terasa bahwa ia sedang berdiri di tepi jurang ketidakpastian, menunggu jawaban yang mungkin tidak akan pernah datang.
Dan begitu saja, bayang-bayang ketidakpastian itu semakin tebal, semakin menguasai setiap langkah Alia, membawa serta rasa takut yang tidak bisa ia hindari.*
Bab 3: Rahasia yang Terungkap
Malam itu, hujan turun dengan deras, menyiram seluruh kota dengan kesunyian yang mendalam. Alia duduk di ruang tamunya, memandangi jendela yang tertutup kabut. Pikiran dan perasaannya berperang dalam ketidakpastian yang semakin melanda. Bayang-bayang keraguan yang mulai ia rasakan kini semakin membebani hatinya. Setiap kali ia mencoba untuk menghubungi Rian, ada jawaban yang selalu terlambat, atau bahkan tidak ada sama sekali.
Malam itu, ponsel Alia bergetar. Sebuah pesan dari Rian masuk ke layar ponselnya, membuat jantungnya sedikit berdebar. Pesan itu singkat, seperti biasanya: “Aku akan keluar sebentar malam ini, kita bicara besok.” Namun, kali ini, ada sesuatu yang terasa berbeda. Nada yang tidak biasa. Seolah ada jarak yang memisahkan mereka lebih jauh daripada sebelumnya.
Alia merasa bingung. Apa yang terjadi dengan Rian? Kenapa ia tampak semakin menjauh? Sudah beberapa minggu terakhir ini, ia mulai merasakan perubahan pada sikap Rian, tapi ia enggan untuk mencari tahu lebih dalam. Namun malam itu, sesuatu dalam dirinya memberontak. Ia merasa tak bisa lagi hanya diam dan menunggu.
Tanpa pikir panjang, Alia memutuskan untuk pergi ke tempat yang biasa Rian kunjungi jika ia ingin berpikir atau menyendiri—sebuah kafe kecil di ujung jalan. Alia tahu Rian sering menghabiskan waktu di sana saat ia merasa tertekan. Ia mengenal tempat itu dengan baik, bahkan pernah mengunjunginya bersama Rian beberapa kali, menikmati secangkir kopi sambil berbincang ringan tentang banyak hal.
Dengan langkah cepat, Alia menyusuri trotoar yang basah, hatinya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Kafe itu terletak di sudut yang sepi, dengan cahaya temaram dari lampu-lampu jalan yang mengelilinginya. Begitu ia sampai di sana, Alia melihat sebuah mobil parkir di depan kafe. Mobil Rian. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menahan diri untuk tidak terburu-buru masuk.
Ia berdiri di luar, mengamati kafe itu melalui jendela. Di dalam, ia melihat Rian sedang duduk di sebuah meja dengan seorang wanita yang tidak ia kenal. Wanita itu duduk terlalu dekat dengan Rian, berbicara dengan santai sambil tertawa ringan. Alia merasakan sesuatu yang tajam di dadanya—sesuatu yang membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Semua perasaan yang ia coba sembunyikan selama ini, akhirnya terungkap dalam satu pemandangan yang mengejutkan.
Rian tidak melihat Alia di luar, dan ia terus bercakap-cakap dengan wanita itu. Alia berusaha mengendalikan diri, menahan emosi yang mulai menguasai dirinya. Ia merasa seperti ada ribuan pisau yang menancap di hatinya, perasaan terluka yang tak terucapkan. Apa yang sedang terjadi? Mengapa Rian bisa begitu santai dengan orang lain, sementara ia menghindari Alia selama beberapa minggu terakhir?
Keputusan untuk masuk akhirnya datang juga. Dengan langkah ragu, Alia membuka pintu kafe dan berjalan ke arah meja tempat Rian dan wanita itu duduk. Begitu ia tiba di meja mereka, Rian dan wanita itu terdiam. Wanita itu tersenyum pada Alia, tetapi senyum itu terasa sangat asing. Rian menatap Alia dengan wajah yang terkejut, namun tak ada penyesalan di matanya.
“Alia, kamu… Kenapa di sini?” kata Rian, mencoba memberikan penjelasan yang sepertinya sudah dipersiapkan sebelumnya.
Alia tidak bisa lagi menahan rasa kecewanya. “Aku melihatmu di sini, Rian,” kata Alia, suaranya bergetar. “Aku melihat kalian berdua, dan aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang kau sembunyikan dariku?”
Wanita di hadapan mereka, yang sebelumnya hanya diam, akhirnya membuka mulut. “Aku Linda,” katanya dengan senyum ramah. “Rian dan aku sudah lama berteman. Kami bekerja bersama-sama.”
Alia hanya mengangguk, tetapi rasa sakit yang dirasakannya semakin menjadi. Kenapa Rian tidak pernah memberitahunya tentang Linda? Mengapa ia merasa perlu menjaga jarak begitu lama, dan kemudian bersembunyi di balik kebohongan?
“Rian, apa ini?” tanya Alia, suaranya dipenuhi kebingungan. “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku tentang Linda? Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian?”
Rian terdiam sejenak, seolah ragu untuk memberi jawaban. “Alia, aku… Aku tidak bermaksud menyakitimu,” jawabnya dengan suara pelan. “Linda dan aku hanya teman. Tidak lebih dari itu.”
Namun, kata-kata Rian terasa seperti pisau yang menorehkan luka baru di hati Alia. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan antara Rian dan Linda. Tertunduk, Alia mencoba untuk menahan air matanya. Kenapa Rian harus berbohong padanya? Kenapa ia tidak bisa jujur?
Linda tampaknya melihat kesedihan yang terpancar dari wajah Alia. Ia pun mengangkat tangannya dan berkata, “Alia, aku tahu ini mungkin sulit untuk dipahami. Aku hanya teman Rian, dan aku tidak ada hubungan apa-apa dengan dia. Jika kau merasa cemas, aku minta maaf.”
Alia mengangguk pelan, berusaha menguasai dirinya. Namun, hatinya tak bisa menipu. Perasaan hancur itu semakin mendalam. “Aku tidak tahu harus apa lagi,” kata Alia, mencoba menahan isaknya.
Rian menatap Alia dengan tatapan penuh penyesalan. “Alia, maafkan aku,” katanya dengan suara serak. “Aku tidak ingin menyakiti perasaanmu, tapi ada sesuatu yang aku harus jelaskan. Aku merasa bingung, aku merasa terjebak.”
“Tapi kenapa tidak ada kejujuran, Rian?” tanya Alia, suaranya hampir hilang. “Kenapa kamu tidak memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?”
Rian menghela napas, kemudian menundukkan kepala. “Aku takut kehilanganmu, Alia. Aku tahu aku telah membuatmu merasa tidak dihargai, dan itu salah. Tapi Linda… dia adalah orang yang bisa aku ajak berbicara saat aku bingung. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa terabaikan.”
Alia merasa seperti dunia berputar begitu cepat, dan ia merasa kehilangan arah. Selama ini, ia telah mengira semuanya berjalan dengan baik, tetapi kenyataannya adalah bahwa Rian sudah jauh lebih dekat dengan wanita lain. Semua kepercayaan yang telah ia berikan kini terasa hancur seketika.
“Rian, aku butuh waktu,” kata Alia, suaranya tersekat-sekat. “Aku butuh waktu untuk berpikir.”
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Alia berbalik dan berjalan keluar dari kafe. Langkahnya berat, dan hatinya penuh dengan kebingungan. Mungkin ini adalah awal dari akhir, atau mungkin ini adalah awal dari perjalanan yang lebih panjang lagi. Yang pasti, satu hal yang jelas—kepercayaan yang pernah ia miliki kini hancur, dan rahasia yang terungkap telah mengubah segalanya.
Langkah Alia semakin menjauh, meninggalkan kafe, meninggalkan Rian, dan meninggalkan kebahagiaan yang ia kira akan bertahan selamanya.*
Bab 4: Pengkhianatan yang Menghancurkan
Pagi itu, udara terasa dingin, seakan menggambarkan ketegangan yang mengisi hati Alia. Ia terbangun dengan perasaan berat, dan rasa sakit yang menyerang lebih dalam daripada sebelumnya. Meskipun ia mencoba untuk tetap tegar, kenyataan bahwa hubungan yang ia bangun selama ini dengan Rian telah berubah drastis, menggerogoti hatinya. Setelah pertemuan kemarin malam di kafe, banyak pertanyaan yang belum terjawab, dan semuanya terasa semakin mengabur.
Alia memutuskan untuk tidak menghubungi Rian terlebih dahulu. Ia merasa cemas dengan apa yang akan terjadi jika ia kembali berusaha mendekat. Mengingat apa yang baru saja terungkap, ia merasa seolah terjebak dalam pusaran kebingungan dan sakit hati. Ia mencoba mencari kedamaian dengan menyibukkan diri, berusaha untuk tidak memikirkan Rian. Tetapi bayang-bayang pria itu terus menghantui pikirannya, setiap detik, setiap menit.
Sore itu, saat Alia sedang duduk di balkon apartemennya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Rian muncul di layar, membuat hati Alia berdebar. “Alia, kita perlu bicara. Aku menunggu di tempat yang kita biasa pergi.”
Mata Alia membelalak. Rian ingin bertemu lagi? Apa lagi yang bisa ia katakan? Apa lagi yang bisa ia dengar? Setelah malam yang penuh dengan kebohongan dan penjelasan yang terbata-bata, ia merasa ragu. Namun, sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ia harus menemui Rian. Mungkin ini adalah kesempatan untuk mendapatkan penjelasan yang lebih jujur, meskipun ia sudah mulai ragu apakah Rian bisa memberi kejujuran lagi.
Dengan langkah yang berat, Alia meninggalkan apartemennya. Ia tidak ingin berlarut-larut dalam kebingungan, tetapi hatinya dipenuhi dengan keraguan. Setiap langkah terasa semakin berat. Ia tahu bahwa apa yang ia lakukan kali ini mungkin akan menentukan arah hubungan mereka ke depan. Apakah ini akan menjadi titik terang, atau malah akhir dari segalanya?
Saat Alia tiba di tempat yang mereka pilih untuk bertemu, sebuah kafe kecil di tepi kota, ia melihat Rian duduk di pojok, tampak gelisah. Wajahnya tampak lelah, dan Alia bisa melihat ada penyesalan di matanya, meskipun ada juga keraguan yang sama besar. Rian berdiri ketika melihat Alia, dan matanya berbinar sejenak, tetapi senyumnya terasa dipaksakan.
“Alia, terima kasih sudah datang,” katanya dengan suara pelan.
Alia hanya mengangguk, duduk di seberangnya. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi hatinya tidak bisa berhenti berdebar. “Apa yang ingin kamu bicarakan, Rian?” tanyanya, suaranya terasa serak, seperti ada beban yang begitu berat di dada.
Rian menarik napas panjang, tampak mencari-cari kata yang tepat. “Aku tahu aku telah menyakitimu. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal, Alia. Apa yang terjadi antara aku dan Linda, itu bukan seperti yang kamu pikirkan.”
Alia memandang Rian dengan tatapan tajam. “Lalu, bagaimana menurutmu aku memikirkan ini, Rian? Apakah aku harus percaya bahwa semua yang terjadi itu hanyalah salah paham? Aku sudah melihat sendiri dengan mata kepala, Rian. Aku melihat betapa dekatnya kalian. Aku merasa seperti tidak ada lagi tempat untuk aku di hidupmu.”
Rian terdiam sejenak, tampak tersentak oleh kata-kata Alia. Ia menundukkan kepala, seakan tak mampu menatap wajah Alia. “Aku tahu aku bersalah,” katanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku… Aku tidak ingin menyakitimu, Alia. Tapi aku juga merasa terjebak. Linda… dia lebih dekat denganku. Aku mulai merasa ada sesuatu yang lebih antara kami.”
“Lebih?” Alia melanjutkan dengan nada dingin, matanya mulai berkaca-kaca. “Jadi, selama ini kau berpura-pura mencintaiku, sementara hatimu sudah berpaling ke orang lain? Apa yang sebenarnya terjadi, Rian?”
Rian tampak kesulitan untuk mengucapkan kata-kata yang tepat. “Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya. Ketika aku bersama Linda, aku merasa lebih dipahami. Aku merasa ada ketenangan yang aku cari-cari selama ini. Sedangkan kamu, Alia… kita semakin jauh. Aku merasa seperti tidak bisa memenuhi harapanmu, dan itu membuatku semakin menjauh.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menorehkan luka baru di hati Alia. Ia tidak pernah membayangkan bahwa Rian akan begitu jujur tentang perasaannya, meskipun itu sangat menyakitkan. Cinta yang ia rasakan begitu kuat, dan sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa Rian tidak lagi mencintainya seperti dulu.
“Jadi, ini semua salahku?” Alia bertanya, suaranya penuh dengan ironi. “Aku yang membuatmu merasa jauh? Aku yang tidak bisa membuatmu merasa dihargai?”
“Alia, aku tidak bermaksud begitu,” jawab Rian cepat, tetapi suara itu terdengar begitu lemah. “Aku hanya… Aku hanya merasa ada yang hilang dalam hubungan kita.”
“Dan kau memutuskan untuk mencari yang hilang di tempat lain?” Alia menatapnya dengan tajam, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Kau tidak pernah berusaha memberitahuku, Rian. Kau hanya meninggalkan aku dengan bayang-bayang kebingungan.”
Rian menghela napas dalam-dalam, dan matanya terlihat penuh penyesalan. “Aku tahu, dan aku sangat menyesal. Tapi aku sudah melakukan kesalahan yang sangat besar. Aku tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Aku tahu aku tidak pantas memintamu untuk memaafkanku.”
Alia menundukkan kepalanya, mencoba menahan tangis yang ingin pecah. Suasana hening di antara mereka, hanya suara gemericik air hujan yang terdengar di luar. Semuanya terasa begitu tidak nyata, seperti mimpi buruk yang tidak bisa ia bangunkan.
“Aku tidak tahu harus apa lagi, Rian,” katanya pelan. “Aku sudah terlalu terluka. Mungkin ini saatnya kita berhenti. Mungkin kita sudah tidak bisa kembali seperti dulu lagi.”
Rian terdiam, tak mampu mengungkapkan apa pun. Ia tahu bahwa kata-kata Alia mengandung kebenaran yang sulit diterima. Namun, perasaan cintanya yang dulu ada untuk Alia kini sudah terpecah oleh kebingungannya sendiri.
Alia berdiri perlahan, menatap Rian untuk terakhir kalinya. “Aku tidak tahu apakah ini akan menyembuhkan hatiku, tapi aku yakin aku butuh waktu jauh darimu. Kita tidak bisa terus berputar dalam kebohongan ini.”
Dengan langkah yang berat, Alia berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Rian dan semua kenangan yang pernah mereka bagi. Hati Alia terasa hancur, tetapi di dalam dirinya juga ada secercah kekuatan baru. Mungkin pengkhianatan yang begitu menyakitkan ini adalah awal dari perjalanan hidup yang baru—perjalanan untuk menemukan kembali siapa dirinya tanpa bergantung pada cinta yang telah hancur.*
Bab 5: Pergulatan Hati
Beberapa hari setelah pertemuan yang menghancurkan itu, Alia masih terjaga di malam hari, berbaring di ranjangnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Bayang-bayang Rian masih menghantui pikirannya. Meskipun ia berusaha untuk melupakan, kenangan indah yang mereka bagi terasa begitu kuat, seolah mengikat hatinya dalam simpul yang semakin rapat. Setiap malam, ia terjaga, matanya terbuka lebar, memikirkan semua kata-kata yang keluar dari mulut Rian dan kebohongan yang terungkap.
Alia tahu bahwa pengkhianatan itu bukan sesuatu yang mudah untuk diterima, tetapi hati kecilnya masih berjuang untuk menemukan alasan, mencari penjelasan yang mungkin bisa memberikan kejelasan. Apakah benar-benar salahnya? Apakah dirinya yang tidak bisa memenuhi harapan Rian? Semua pertanyaan itu terus berputar dalam pikirannya, menambah kebingungannya.
Suatu pagi yang mendung, Alia berjalan ke kantor dengan langkah gontai, perasaannya cemas. Ia mencoba untuk menjalani rutinitas seperti biasa, tetapi pikirannya selalu melayang kepada Rian. Bahkan saat berada di kantor, ia merasa kosong. Tidak ada kebahagiaan yang bisa ia rasakan seperti dulu. Ia merasa kehilangan arah, seperti sebuah kapal yang terombang-ambing tanpa nakhoda.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, sebuah pesan dari Rian muncul di layar. Hatinya berdebar cepat, jari-jarinya ragu-ragu untuk membuka pesan itu. Pesan yang begitu sederhana, namun penuh dengan berat. “Alia, aku ingin berbicara lagi. Aku tahu aku telah menyakitimu, tetapi aku ingin menjelaskan semuanya. Bisakah kita bertemu?”
Mata Alia terasa panas, emosinya naik ke permukaan. Apa lagi yang bisa dia dengar dari Rian? Bukankah semuanya sudah jelas? Namun, entah mengapa, perasaan yang terpendam membuat hatinya tak mampu menahan diri. Ada sesuatu yang dalam dirinya yang merasa perlu mendengar apa yang akan dikatakan Rian kali ini, meskipun rasa sakit itu terasa begitu dalam.
Setelah berpikir panjang, Alia akhirnya membalas pesan itu dengan kata-kata singkat. “Kita bisa bertemu. Tapi aku perlu waktu untuk memutuskan apa yang harus kulakukan.”
Rian segera membalas dengan cepat, “Terima kasih, Alia. Aku janji ini akan menjadi pembicaraan yang penting.”
Hari itu berlalu dengan lambat. Setiap detik terasa seakan memanjang, dan perasaan gelisah menguasai Alia. Di satu sisi, ia ingin melupakan Rian dan melanjutkan hidupnya. Tetapi di sisi lain, hatinya masih terikat dengan kenangan yang manis, dengan harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, Rian bisa menjelaskan segalanya dan meminta maaf.
Ketika waktu yang dijanjikan untuk bertemu tiba, Alia berjalan menuju kafe yang sudah mereka pilih sebelumnya. Kafe itu adalah tempat yang penuh kenangan, tempat mereka sering datang bersama untuk berbicara, tertawa, dan berbagi mimpi. Kini, tempat itu terasa seperti sebuah saksi bisu dari hubungan yang telah runtuh.
Rian sudah menunggu di meja yang sama, dengan ekspresi yang penuh penyesalan. Wajahnya terlihat lebih muram dari biasanya. Ketika Alia duduk di hadapannya, mereka saling menatap, tidak tahu harus memulai dari mana. Suasana di sekitar mereka terasa sunyi, seolah dunia di sekitar mereka berhenti berputar.
“Apa yang ingin kamu katakan, Rian?” Alia memulai dengan suara pelan, mencoba mengendalikan perasaannya. “Aku sudah terlalu banyak berpikir, dan aku rasa aku tidak bisa melanjutkan hidupku seperti ini. Aku butuh kejelasan.”
Rian menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berbicara dengan suara serak. “Aku tahu, Alia. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar, dan aku tak bisa lagi menyangkalnya. Aku berselingkuh dengan Linda, itu benar. Tetapi aku juga tahu bahwa apa yang aku lakukan itu sangat salah. Aku… aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.”
Alia mendengarkan dengan cermat, meskipun hatinya terasa perih. Setiap kata Rian adalah luka yang baru. “Lalu, apa yang kamu inginkan dariku, Rian? Kamu ingin aku memaafkanmu begitu saja? Kamu ingin kita kembali seperti dulu, padahal semua yang telah terjadi tak bisa dihapus begitu saja?”
Rian terdiam sejenak, tampaknya berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak berharap kita bisa kembali seperti dulu, Alia. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal, dan aku tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Aku ingin kamu tahu bahwa aku masih peduli padamu. Aku masih mencintaimu, meskipun aku tahu aku telah kehilanganmu.”
Kata-kata itu mengoyak hati Alia lebih dalam lagi. Ia memandang Rian dengan tatapan yang sulit dibaca, seakan berusaha mencari kebenaran dari segala perkataan yang keluar dari mulut pria itu. “Kau masih mencintaiku? Lalu kenapa kau bisa begitu mudah berpaling, Rian? Apa aku tidak cukup berarti untukmu?”
Rian menundukkan kepala, wajahnya penuh penyesalan. “Aku tidak tahu. Aku merasa tertekan, bingung dengan perasaanku sendiri. Linda datang saat aku merasa jauh dari kamu, dan aku mengira aku bisa menemukan jawaban di sana. Tapi sekarang, setelah semuanya terungkap, aku menyadari bahwa aku telah menghancurkan apa yang paling berharga bagiku.”
Air mata mulai mengalir di pipi Alia. Ia berusaha menahan tangis, tetapi setiap kata Rian adalah kenangan yang begitu menyakitkan. Ia merasa bingung, terluka, dan bahkan marah. Rasa cintanya yang dulu begitu besar kini terperangkap dalam kebingungannya.
“Rian, aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu,” kata Alia, suaranya bergetar. “Mungkin aku tidak bisa. Mungkin kita sudah tidak bisa kembali lagi. Aku butuh waktu, dan aku butuh jarak.”
Rian menatapnya dengan mata penuh penyesalan. “Aku mengerti, Alia. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu menyesal. Jika ada kesempatan untuk memperbaikinya, aku akan berusaha sebaik mungkin.”
Alia mengangguk, meskipun hatinya hancur. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, Rian. Tetapi sekarang, aku hanya bisa fokus untuk menyembuhkan diriku sendiri.”
Ketika Alia berdiri dan berjalan pergi dari kafe itu, ia merasakan seberkas rasa lega meskipun hatinya masih penuh dengan luka. Ia tahu bahwa proses ini tidak akan mudah, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia sedang mengambil langkah menuju kebebasan—kebebasan dari pengkhianatan, kebebasan dari rasa sakit, dan kebebasan untuk menemukan kembali dirinya sendiri.*
Bab 6: Pilihan yang Sulit
Alia duduk termenung di balkon apartemennya, memandang jalanan kota yang sibuk dengan lampu-lampu jalan yang berkilau di kejauhan. Angin malam yang sejuk menerpa wajahnya, tetapi hati dan pikirannya terasa berat. Seminggu telah berlalu sejak pertemuan dengan Rian, dan meskipun ia berusaha sekuat tenaga untuk melupakan segala yang telah terjadi, kenyataan tetap saja menghantui.
Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia memberi kesempatan kepada Rian untuk memperbaiki kesalahannya? Atau apakah lebih baik baginya untuk melanjutkan hidup tanpa beban, meninggalkan masa lalu yang pahit? Pilihan ini terasa semakin sulit ketika setiap keputusan yang ia buat akan membentuk jalan hidupnya ke depan.
Di satu sisi, ia merindukan pria yang dulu sangat ia cintai. Rian adalah bagian dari hidupnya yang begitu berarti. Mereka telah menghabiskan begitu banyak waktu bersama, berbagi tawa, cerita, dan bahkan mimpi. Tidak mudah bagi Alia untuk menerima kenyataan bahwa semua itu telah hancur hanya karena pengkhianatan yang begitu mendalam. Namun, meskipun hatinya terluka, ia juga tahu bahwa rasa cintanya kepada Rian tidak bisa begitu saja lenyap dalam semalam.
Di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang merasa sangat kecewa dan terluka. Pengkhianatan yang dilakukan Rian begitu mendalam, dan Alia merasa sulit untuk memercayai kata-kata penyesalannya. Setiap kali ia memikirkan kembali pertemuan mereka di kafe itu, perasaan campur aduk antara marah, bingung, dan kecewa muncul kembali. Bagaimana mungkin Rian bisa begitu tega menghancurkan hubungan mereka setelah semua yang telah mereka lewati bersama?
Alia menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang terasa lelah. Semua ini terasa seperti badai yang datang begitu cepat dan mengubah segala-galanya. Kini ia harus berdiri di tengah hujan pilihan yang sulit, di mana setiap langkahnya bisa menentukan arah hidupnya ke depan.
Ponsel di meja sampingnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rian, membuat Alia terkejut. Hatinya berdegup kencang saat membuka pesan itu.
“Alia, aku tidak akan berhenti meminta maaf. Aku tahu aku telah membuat kesalahan besar, dan aku tahu itu tak akan mudah untuk dimaafkan. Tapi aku ingin memberimu waktu. Aku hanya ingin kamu tahu, aku akan menunggu. Apapun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu.”
Alia membaca pesan itu berulang kali. Kata-kata Rian terasa begitu tulus, tetapi tetap saja, ada keraguan yang menyelimuti hatinya. Apakah ia bisa memaafkan Rian begitu saja setelah semua yang terjadi? Apakah ia bisa kembali mempercayainya?
Sementara itu, di tempat yang berbeda, Rian merasa gelisah. Ia tahu bahwa setiap kata yang ia tuliskan dalam pesan itu tidak cukup untuk mengungkapkan penyesalannya. Ia sadar bahwa Alia butuh waktu, dan ia juga tahu bahwa keputusannya untuk berhubungan dengan Linda telah merusak segalanya. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan itu, namun Rian merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menunggu dan berharap bahwa Alia suatu saat akan membuka hatinya kembali.
Waktu berlalu, dan Alia masih terjebak dalam dilema yang tak kunjung selesai. Pagi itu, ia memutuskan untuk mengunjungi ibunya, berharap mendapatkan sedikit pencerahan dari perbincangan mereka. Ibunya adalah orang yang bijaksana, dan Alia merasa bahwa hanya dengan berbicara dengannya, ia bisa menemukan sedikit kelegaan di tengah kebingungannya.
Setelah menikmati secangkir teh hangat bersama ibunya, Alia akhirnya membuka suara. “Ibu, aku bingung. Aku merasa terjebak antara dua pilihan yang sulit. Aku tahu aku harus memilih, tapi entah kenapa, hatiku masih terombang-ambing.”
Ibunya menatapnya dengan lembut, memperhatikan raut wajah anaknya yang penuh kebingungan. “Apa yang kamu rasakan, Alia?”
“Aku merasa sakit, Ibu,” kata Alia dengan suara parau. “Aku merasa dikhianati oleh orang yang sangat kucintai. Tetapi, di sisi lain, aku masih mencintainya. Aku masih ingin mempercayainya, meskipun aku tahu itu akan sangat sulit. Aku takut jika aku memberi kesempatan padanya, aku hanya akan terluka lagi. Tapi jika aku pergi begitu saja, aku merasa seperti melepaskan semua kenangan indah yang kami miliki.”
Ibunya tersenyum dengan lembut, seolah memahami perasaan putrinya. “Alia, cinta itu memang bukan sesuatu yang mudah. Tetapi kamu harus tahu, pilihan yang kamu buat harus datang dari hati, bukan dari rasa takut atau rasa bersalah. Jika kamu merasa bahwa memaafkan Rian dan memberinya kesempatan adalah hal yang benar, maka lakukanlah. Tetapi jika kamu merasa bahwa melanjutkan hidup tanpa dia adalah yang terbaik, maka pilihlah itu. Ingatlah bahwa kebahagiaanmu adalah yang paling penting.”
Alia terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Sejak kecil, ibunya selalu mengajarkan untuk mendengarkan suara hati dan mengikuti apa yang dirasakan benar. Kini, kata-kata itu semakin bergema dalam pikirannya. Ia tahu bahwa tidak ada jawaban yang mudah, dan apapun yang ia pilih, ia harus siap menghadapi konsekuensinya.
Setelah berpikir lama, Alia akhirnya memutuskan untuk pergi menemui Rian sekali lagi. Namun kali ini, ia ingin menghadapinya dengan pikiran yang jernih, tanpa dipengaruhi oleh perasaan atau kenangan masa lalu. Alia ingin tahu apakah Rian benar-benar menyesal dan apakah ia bisa membangun kembali kepercayaan yang telah hancur.
Ketika Alia tiba di tempat yang sudah mereka sepakati, Rian sudah menunggunya di sebuah kafe kecil yang tenang. Tatapan mata mereka bertemu, dan sejenak tidak ada yang berkata-kata. Namun, di dalam hati mereka, kedua jiwa itu sama-sama merasa cemas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Aku datang bukan karena aku belum memaafkanmu, Rian,” kata Alia dengan suara pelan. “Aku datang karena aku ingin memastikan bahwa aku membuat keputusan yang benar. Aku ingin tahu, apakah kamu benar-benar menyesal, atau apakah ini hanya penyesalan karena kamu kehilangan aku.”
Rian menatapnya dalam-dalam, matanya penuh penyesalan. “Aku benar-benar menyesal, Alia. Aku tak bisa mengubah apa yang telah aku lakukan, tapi aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berubah. Aku ingin memperbaikinya. Aku ingin kembali menjadi orang yang bisa kamu percayai.”
Alia mengangguk pelan, menatapnya dengan tatapan penuh keraguan. “Aku perlu waktu, Rian. Waktu untuk memutuskan apakah aku bisa menerima semua ini atau tidak.”
Rian mengangguk dengan penuh pengertian. “Aku akan menunggu, Alia. Aku tidak akan memaksamu, tetapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki segala sesuatu yang telah rusak.”
Setelah percakapan itu, Alia merasa sedikit lebih tenang. Pilihan yang sulit ini memang belum ada jawabannya, tetapi setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam perjalanannya. Kini, ia hanya bisa berharap bahwa waktu akan memberikan jawaban yang tepat—jawaban yang bisa menyembuhkan hatinya dan menunjukkan jalan yang benar.*
Bab 7: Meninggalkan Jejak
Matahari terbenam perlahan di balik cakrawala, memancarkan cahaya oranye yang menenangkan. Alia duduk di pinggir jendela apartemennya, menatap kota yang tampak semakin redup. Hatinya merasa berat, penuh dengan perasaan yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Sudah beberapa minggu sejak pertemuan terakhirnya dengan Rian, namun perasaan di dalam dirinya masih sulit untuk dijelaskan.
Setiap langkah yang diambil oleh Alia kini terasa penuh dengan pertimbangan. Meninggalkan masa lalu dan berusaha melangkah maju bukanlah hal yang mudah. Meski ia sudah berusaha untuk move on, bayangan Rian selalu hadir dalam setiap momen sepi, dalam setiap detik yang berlalu. Meskipun ia tahu, pengkhianatan yang terjadi tidak bisa begitu saja dimaafkan, namun ada sisi dalam dirinya yang ingin memberi kesempatan kedua.
Di luar apartemen, hiruk pikuk kehidupan kota terus berlanjut, namun bagi Alia, waktu seakan melambat. Ia merasa terjebak dalam siklus yang sama—di antara masa lalu yang penuh kenangan manis dan kenyataan yang pahit. Namun, satu hal yang ia sadari adalah bahwa keputusan ini, apapun yang ia pilih, akan meninggalkan jejak yang akan dikenang selamanya.
Alia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan yang akan mengubah jalan hidupnya. Rian telah meminta kesempatan untuk memperbaiki semuanya, dan meskipun hatinya masih ragu, ia merasa ada keinginan untuk memberi jalan bagi kemungkinan itu. Namun, bagaimana jika kesempatan itu malah membawa luka yang lebih dalam lagi? Bagaimana jika ia terlalu cepat percaya, hanya untuk akhirnya disakiti sekali lagi?
Dengan langkah berat, Alia menuruni tangga apartemennya dan keluar ke halaman. Di luar, udara malam yang sejuk menyapa wajahnya, membuatnya merasa sedikit lebih ringan. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya membiarkan langkahnya membawa dirinya ke tempat yang ia rasa bisa memberi ketenangan. Pikiran-pikirannya berputar, dan ia tahu bahwa ia harus mengambil keputusan, tetapi keputusan itu harus datang dari dalam dirinya sendiri. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi penundaan. Alia tahu, ia harus menemukan jawaban yang tepat untuk dirinya.
Di tengah perjalanan, Alia tiba di taman kecil yang biasa ia kunjungi. Di sana, di bawah pohon besar yang rindang, Alia berhenti sejenak. Ia duduk di bangku kayu yang sudah usang, merasakan ketenangan yang tiba-tiba menyelimutinya. Dalam keheningan malam, ia membiarkan pikirannya melayang pada semua yang telah terjadi.
Kenangan tentang Rian datang begitu kuat. Senyumnya, cara dia memperlakukan Alia dengan penuh perhatian, semua hal itu terasa begitu jelas dalam ingatannya. Tetapi, di sisi lain, pengkhianatan itu juga menghantui. Betapa rasa kepercayaan yang ia berikan begitu mudah dihancurkan. Betapa sulitnya menerima kenyataan bahwa orang yang ia cintai telah menyakiti hatinya begitu dalam. Namun, ada satu hal yang membuatnya ragu untuk melepaskan Rian sepenuhnya—Rian sendiri. Pria itu tampaknya benar-benar menyesali apa yang telah dilakukannya. Kata-kata penyesalannya seakan tidak pernah berhenti terngiang di telinganya, dan ia tahu bahwa mungkin, hanya mungkin, ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya.
Namun, apakah memperbaiki itu berarti kembali bersama? Alia menatap langit malam yang luas, bintang-bintang yang bertaburan di sana memberi ketenangan, meskipun dalam hatinya masih bergelora perasaan yang tak terjawab. Meninggalkan jejak dalam hidup orang lain adalah hal yang tak bisa dihindari. Setiap langkah yang kita ambil, setiap pilihan yang kita buat, akan meninggalkan jejak yang akan dikenang. Begitu pun dengan Rian. Tidak peduli apakah mereka kembali bersama atau berpisah, Rian telah meninggalkan jejak dalam hidup Alia. Dan Alia pun telah meninggalkan jejak dalam hidup Rian, entah itu jejak kenangan manis atau luka yang masih membekas.
Seiring berjalannya waktu, Alia mulai menyadari bahwa ia harus melangkah maju. Rian memang memiliki tempat khusus dalam hatinya, namun bukan berarti ia harus mengorbankan kebahagiaannya demi mempertahankan kenangan itu. Alia menyadari bahwa dia tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Meskipun pengkhianatan itu menyakitkan, hidupnya harus terus berlanjut. Ia harus belajar untuk memaafkan, bukan hanya Rian, tetapi juga dirinya sendiri, agar bisa menemukan kebahagiaan yang sejati.
Keesokan harinya, Alia memutuskan untuk menemui Rian di sebuah kafe yang mereka sering kunjungi bersama. Ia tahu bahwa percakapan ini mungkin akan sulit, tetapi ia sudah mempersiapkan dirinya untuk apa pun yang akan terjadi. Rian sudah menunggunya di meja sudut, terlihat cemas namun berharap.
Saat Alia duduk di hadapannya, Rian langsung mengeluarkan kata-kata yang sudah lama ingin ia ucapkan. “Alia, aku tahu aku telah mengkhianatimu. Aku tak akan pernah bisa membenarkan apa yang telah aku lakukan, dan aku tahu aku tak pantas mendapatkan kesempatan darimu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku benar-benar menyesal, dan aku akan terus berjuang untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi lebih baik.”
Alia menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari kejujuran dalam setiap kata yang diucapkan Rian. “Aku tahu kamu menyesal, Rian. Dan aku juga tahu, kita berdua sudah meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus begitu saja. Tapi aku harus memutuskan apa yang terbaik untukku sekarang. Aku tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketidakpastian, dan aku tidak bisa membiarkan perasaan ini menghancurkan hidupku.”
Rian menunduk, merasa berat hati. “Aku mengerti. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan menunggu, jika kamu memilih untuk memberiku kesempatan lagi.”
Alia tersenyum pahit. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Rian. Tapi aku harus melanjutkan hidupku. Mungkin kita akan bertemu lagi, tapi untuk sekarang, aku harus meninggalkan jejak ini di masa lalu.”
Dengan kata-kata itu, Alia berdiri dan meninggalkan Rian di kafe. Setiap langkahnya terasa berat, namun ia tahu bahwa ia sudah mengambil keputusan yang tepat. Meninggalkan jejak tidak selalu berarti kembali ke titik yang sama. Kadang, jejak yang kita tinggalkan adalah tanda bahwa kita sudah tumbuh, bahwa kita sudah memaafkan, dan bahwa kita siap untuk melangkah maju.***
—————THE END————