Daftar Isi
Bab 1 Perpisahan yang Pahit
Aidan memandang keluar jendela mobil, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang tampak berlarian cepat. Kota ini, yang dulunya terasa begitu hidup, kini hanya sebuah bayangan yang kabur. Ia tak bisa menghindari perasaan hampa yang menggerogoti setiap detiknya. Dalam hati, Aidan tahu ini adalah perpisahan terakhirnya dengan Nadia. Dan perpisahan itu, meskipun sudah diprediksi, tetap saja terasa seperti sebuah pukulan keras.
Musim panas sudah berakhir, menggantikan kehangatannya dengan udara yang lebih sejuk. Aidan mengingat saat pertama kali bertemu Nadia di sebuah kafe kecil, tak jauh dari kampus. Mereka berdua adalah dua jiwa yang bertemu tanpa diduga, dan seakan tak ada yang bisa memisahkan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, takdir membawa mereka pada titik yang sulit diterima. Kesalahpahaman demi kesalahpahaman mengalir begitu cepat, seperti badai yang tak bisa dihentikan.
Aidan menoleh ke arah Nadia, yang duduk di sampingnya dengan wajah terbalut kesedihan. Keheningan yang mencekam mengisi ruang di antara mereka. Ia bisa melihat air mata yang mengintip di mata Nadia, namun ia tahu bahwa Nadia berusaha keras untuk tidak menangis. Mereka sudah sering melewati momen-momen sulit bersama, namun kali ini, semua terasa berbeda. Perpisahan ini bukan hanya tentang dua hati yang berpisah, tetapi juga tentang kenyataan bahwa apa yang mereka miliki sudah tak bisa dipertahankan lagi.
“Aidan,” suara Nadia terdengar pelan, hampir hilang tertelan angin. Aidan menoleh, namun tidak berbicara. Nadia menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi.”
Aidan menggerakkan bibirnya, namun kata-kata terasa seperti duri yang tak bisa ia keluarkan. Ia ingin menjelaskan, ingin memberitahunya bahwa ia juga tidak tahu bagaimana semuanya bisa berubah begitu cepat. Tetapi, setiap kali ia membuka mulut, ia merasa seolah-olah itu hanya akan memperburuk keadaan. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menjelaskan luka yang sudah tergores di hati mereka.
“Kenapa?” tanya Nadia, suaranya sedikit pecah. “Kenapa kita harus berakhir seperti ini?”
Aidan menundukkan kepala, meremas kemudi mobil dengan kuat. Ia merasa seolah-olah dunia ini tiba-tiba menjadi sangat sempit. “Aku… Aku tidak bisa lagi mempercayaimu, Nadia.”
Kata-kata itu keluar dengan cara yang begitu tajam, seolah-olah Aidan baru saja menebas sesuatu yang begitu berharga. Ia melihat Nadia terkejut, matanya melebar seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Apa?” Nadia berkata dengan nada gemetar, mencoba untuk mencerna kalimat yang keluar dari mulut Aidan. “Kau… Kau tidak percaya padaku lagi?”
Aidan terdiam, dan saat itu, hatinya terasa seperti pecah. Ia ingin berteriak, ingin menjelaskan bahwa ini bukan salah Nadia semata, bahwa ia sendiri juga tak bisa mengatasi perasaan ragu yang tumbuh dalam dirinya. Namun, seolah-olah kata-kata itu sudah tidak memiliki tempat lagi untuk disampaikan.
“Aku tidak bisa mengabaikan semua yang terjadi,” jawab Aidan dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Aku merasa terkhianati, Nadia.”
Nadia terdiam, wajahnya tampak semakin pucat. Aidan bisa melihat kilatan kebingungan di matanya, namun di balik itu, ada kesedihan yang mendalam. Nadia tidak pernah bermaksud untuk menyakiti Aidan, tetapi ia tahu, seiring berjalannya waktu, bahwa sesuatu telah retak di antara mereka. Mungkin bukan kesalahan satu pihak saja, tetapi keduanya. Masalah yang terpendam begitu lama akhirnya menjadi beban yang terlalu berat untuk dibawa.
“Kenapa sekarang?” Nadia bertanya, suaranya terdengar penuh keteguhan, meski hati kecilnya merasa hancur. “Kenapa tidak dari dulu? Kenapa kita harus sampai sejauh ini?”
Aidan menelan ludahnya, menahan diri untuk tidak menangis. “Aku tidak tahu,” jawabnya dengan suara serak. “Tapi aku sudah tidak bisa kembali. Aku sudah terlalu terluka.”
Keheningan kembali menguasai ruang di antara mereka. Aidan menoleh sekali lagi ke arah Nadia, tetapi kali ini, ia tidak menemukan lagi sosok yang dulu ia cintai sepenuh hati. Nadia tampak begitu rapuh, seperti kaca yang hampir pecah. Ia menyadari, meskipun ia ingin memperbaiki semuanya, terkadang cinta saja tidak cukup. Ada luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan.
“Kalau ini memang yang terbaik untuk kita,” Nadia berkata dengan suara hampir tak terdengar, “aku akan menerima, meski hati ini terasa berat.”
Aidan menoleh sekali lagi ke luar jendela, berusaha menahan air matanya yang hampir tumpah. Ia tahu ini adalah keputusan yang paling sulit dalam hidupnya, namun pada akhirnya, ia harus melangkah pergi. Ada bagian dari dirinya yang ingin memeluk Nadia dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, namun ia tahu itu hanya akan menambah penderitaan mereka berdua.
Mobil berhenti di depan rumah Nadia. Aidan menatap pintu rumah yang terbuka, tempat yang pernah menjadi saksi dari banyak kenangan indah mereka. Ia merasa seolah-olah segala sesuatu yang telah mereka bangun bersama kini runtuh begitu saja. Nadia membuka pintu mobil, dan dengan langkah berat, ia keluar. Aidan mengikuti, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Hanya ada keheningan, yang begitu pekat dan berat.
Nadia menoleh sebelum melangkah masuk ke dalam rumahnya, matanya memandang Aidan dengan penuh perasaan. “Aku akan merindukanmu,” katanya pelan, dan sebelum Aidan bisa menjawab, ia sudah menghilang di balik pintu.
Aidan hanya bisa berdiri diam, menatap pintu yang tertutup rapat. Dalam hatinya, ia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya yang tak akan pernah bisa kembali. Ia menghela napas panjang, dan dengan langkah lelah, ia kembali ke dalam mobil, meninggalkan rumah yang dulunya penuh dengan tawa dan kebahagiaan.
Perpisahan itu memang pahit, namun terkadang, jarak adalah satu-satunya cara untuk mengatasi luka yang terlalu dalam.*
Bab 2 Luka yang Menghantui
Aidan berdiri di balik jendela kantornya, menatap jalanan yang ramai di luar, meskipun matanya kosong. Waktu berlalu begitu cepat, namun rasa sakit yang ditinggalkan Nadia seakan tidak pernah hilang. Pikirannya kembali ke masa itu—ke malam perpisahan mereka. Ke malam yang tak akan pernah bisa ia lupakan.
Dua tahun lalu, semuanya begitu sempurna. Mereka adalah dua jiwa yang tak terpisahkan, seperti dua keping puzzle yang saling melengkapi. Nadia dengan senyum cerianya, dan Aidan dengan keteguhannya. Mereka berbagi mimpi, tawa, dan rasa saling memiliki yang begitu mendalam. Namun, semuanya berubah hanya karena satu keputusan—keputusan yang mengubah segalanya.
Saat itu, Aidan mendapat tawaran pekerjaan yang menggiurkan di luar negeri. Sebuah kesempatan besar yang tidak bisa ia lewatkan. Namun, Nadia, yang lebih memilih untuk tinggal dan mengejar impiannya di kota ini, merasa terabaikan. Aidan yang dulu berjanji untuk selalu ada, kini harus membuat pilihan antara karier dan cinta. Ketika Aidan memutuskan untuk menerima tawaran tersebut, Nadia merasa dikhianati. Ia merasa seolah-olah Aidan lebih memilih ambisi daripada hubungan mereka.
“Aidan, kenapa kau harus pergi?” suara Nadia masih terngiang di telinganya. “Kau bilang kita akan selalu bersama, tapi kenapa aku merasa begitu sendiri?”
Aidan menunduk, menahan gelombang penyesalan yang hampir mematahkan hatinya. Ia tahu Nadia terluka, namun ia tidak bisa menolak kesempatan itu. Keduanya berusaha berkompromi, tapi rasa cemas dan ketidakpastian merasuki hubungan mereka. Mereka berdebat panjang malam itu—saling menyalahkan, saling menjauhkan diri—hingga akhirnya, kata-kata yang terlontar menjadi pisau yang menghancurkan semua yang mereka bangun bersama.
Aidan mengingat bagaimana Nadia menatapnya dengan mata yang penuh air mata, wajahnya memerah karena marah dan kecewa. Dan ketika ia mencoba memeluknya, Nadia menepisnya dengan keras, meninggalkan Aidan yang tercengang. “Pergilah, Aidan. Kau sudah memutuskan, bukan?”
Perpisahan itu bukan hanya tentang jarak fisik yang memisahkan mereka, tapi juga jarak emosional yang semakin lebar. Aidan merasa dirinya seperti seorang pengecut yang lari dari kenyataan, meninggalkan seorang wanita yang ia cintai dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh hatinya sendiri. Namun, di balik rasa bersalahnya, ada perasaan bahwa segala yang terjadi adalah takdir yang tak bisa dihindari.
Aidan menghela napas, mengalihkan pandangannya dari jalanan yang sibuk itu. Ia mencoba untuk terus maju, meskipun bayangan masa lalunya selalu membayangi langkahnya. Setiap kali ia melihat wanita lain, setiap kali ia merasakan kehangatan dalam pelukan orang lain, ia selalu teringat pada Nadia. Pada senyumnya, pada tawa mereka yang dulu begitu ceria. Ia bahkan merasa cemburu jika ada orang lain yang bisa menggantikan tempatnya di hati Nadia.
Namun, ia tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah kenyataan. Nadia telah memilih jalan hidupnya, dan Aidan pun harus melakukan hal yang sama. Mereka berdua terus berjalan, meskipun dengan luka yang semakin dalam. Waktu terus berlalu, dan perasaan itu tak pernah benar-benar hilang. Luka itu ada, tersembunyi di balik kehidupan yang tampak berjalan normal.
Sementara itu, Nadia juga tidak jauh berbeda. Meskipun ia mencoba untuk melanjutkan hidupnya, ia tidak bisa melupakan Aidan. Setiap sudut kota ini, setiap tempat yang dulu mereka kunjungi bersama, selalu mengingatkannya pada pria itu. Ia mencoba untuk mencintai orang lain, untuk menutupi kekosongan yang ditinggalkan Aidan, tetapi tidak ada yang berhasil. Setiap kali ia jatuh cinta, ia merasa seperti menipu diri sendiri. Perasaan terhadap Aidan terlalu besar untuk bisa digantikan begitu saja.
Di kantor tempatnya bekerja, Nadia berusaha keras untuk fokus. Pekerjaan yang dulu sangat ia nikmati kini terasa kosong. Di sela-sela rapat dan tugas-tugas yang menumpuk, ia tak bisa berhenti memikirkan Aidan. Ia sering kali teringat pada percakapan mereka tentang masa depan, tentang impian yang pernah mereka bagi bersama. Nadia merasa dikhianati, tetapi ia juga tahu bahwa Aidan hanya mengikuti jalannya sendiri—sebuah jalan yang akhirnya membawanya jauh dari dirinya.
Malam itu, setelah pulang kerja, Nadia duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang gelap. Angin malam berhembus lembut, membawa kenangan-kenangan yang hampir terlupakan. Ia merindukan Aidan, merindukan kehangatan yang dulu ada di dalam pelukannya. Namun, ia juga marah. Marah pada dirinya sendiri karena masih mencintainya meskipun tahu bahwa Aidan tidak akan pernah kembali. Ia tahu bahwa rasa sakit yang ia rasakan adalah hasil dari keputusan-keputusan yang telah mereka buat.
Aidan dan Nadia tidak pernah benar-benar menyelesaikan apa yang telah terjadi di antara mereka. Mereka saling menyimpan dendam, tidak ingin mengakui bahwa cinta yang dulu mereka miliki masih ada, tersembunyi di balik luka yang mereka coba sembunyikan. Luka itu terus menghinggapi mereka, menyiksa mereka dengan kenangan yang tak pernah benar-benar pudar.
Aidan dan Nadia hidup dalam bayang-bayang perasaan yang belum selesai, dan meskipun jarak memisahkan mereka, perasaan itu tetap terjaga. Hati mereka yang pernah dipenuhi dengan cinta kini dipenuhi dengan penyesalan, namun satu hal yang pasti: luka itu tak akan pernah sembuh sampai mereka benar-benar berhadapan dengan masa lalu mereka.*
Bab 3 Jarak yang Memisahkan
Waktu telah berlalu, dan dengan itu, Aidan dan Nadia menjalani kehidupan mereka masing-masing. Dunia mereka terasa berbeda, terpisah oleh kenyataan yang tak terelakkan—perpisahan yang membawa luka mendalam dan kenyataan yang harus diterima. Jarak, yang dulunya menjadi penghalang kecil dalam hubungan mereka, kini menjadi jurang yang tak terjembatani.
Aidan, yang dulu dikenal sebagai pria yang penuh gairah dalam mencintai, kini hidup dalam rutinitas yang monoton. Pagi-pagi sekali, ia sudah berada di kantor, mengurusi proyek-proyek besar yang membuatnya sibuk sepanjang hari. Pekerjaan adalah pelarian baginya, sesuatu yang bisa membuatnya lupa pada masa lalu yang kelam. Meski demikian, hatinya tetap terasa kosong. Setiap malam setelah pulang kerja, ia hanya menghabiskan waktu di apartemennya yang sunyi, duduk di depan jendela yang menghadap ke jalan kota, dan bertanya-tanya bagaimana nasib Nadia. Apakah dia bahagia? Apakah dia masih mengenangnya? Namun, rasa penasaran itu hanya tertahan dalam pikirannya, tidak pernah sampai keluar untuk mencari jawaban. Ia merasa seakan tidak ada yang tersisa untuk dicari lagi.
Nadia, di sisi lain, telah mengubah hidupnya sepenuhnya. Setelah perpisahan yang begitu menyakitkan, ia memutuskan untuk fokus pada kariernya. Ia bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang desain grafis, sebuah industri yang membuatnya menemukan kembali gairah hidup yang sempat hilang. Di tempat kerja, ia dikelilingi oleh rekan-rekan yang mendukung, tetapi di malam hari, ketika kembali ke apartemennya yang sepi, bayangan Aidan selalu mengintainya. Tidak ada yang pernah bisa menggantikan perasaan yang ia miliki untuknya, meskipun ia mencoba untuk membuang semuanya dan melanjutkan hidup. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa perpisahan itu adalah yang terbaik, meskipun ada rasa sakit yang terus mengganggu, sebuah rasa yang menuntut untuk diperhatikan.
Setiap langkah yang diambil Nadia terasa sepi, meski di luar, dunia terus bergerak. Ia pergi ke kafe untuk bekerja, bertemu dengan teman-temannya, bahkan menikmati perjalanan singkat ke luar kota. Namun, meskipun ia berusaha melupakan masa lalu, ada perasaan kosong yang selalu mengikutinya, seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Ia tahu bahwa Aidan adalah bagian besar dari dirinya, dan meskipun ia mencoba membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya, tembok itu selalu terasa rapuh.
Jarak fisik antara mereka mungkin sudah cukup jauh, tetapi jarak emosional yang lebih dalam terasa semakin tak terjembatani. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkan, tidak ada lagi tatapan penuh cinta seperti dulu. Mereka berdua terjebak dalam dunia mereka masing-masing, masing-masing mengingat kenangan indah yang pernah ada, namun tak mampu mengubah kenyataan. Mereka berusaha untuk move on, tapi hati mereka seakan terus dibelenggu oleh kenangan yang terlalu kuat untuk dilupakan.
Aidan kadang-kadang berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit yang gelap, dan memikirkan segala hal yang tidak pernah ia katakan pada Nadia. Jika ia bisa kembali ke masa lalu, apakah ia akan melakukannya dengan cara yang berbeda? Apakah ia akan lebih sabar dan lebih terbuka? Ataukah ia akan tetap terjebak dalam amarah dan kebingungannya sendiri, seperti yang terjadi saat itu? Banyak pertanyaan yang tak terjawab, banyak penyesalan yang tak bisa dikembalikan.
Di sisi lain, Nadia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Meskipun ia telah mencoba untuk melanjutkan hidup, ada rasa kesepian yang mendalam yang tak bisa ia sembunyikan. Ia bertemu dengan orang-orang baru, tetapi tidak ada yang bisa menggantikannya. Tidak ada yang bisa membuat hatinya berdebar seperti Aidan. Kenangan tentang mereka, tentang cinta yang dulu mereka bagi, terus menghantuinya. Namun, ia berusaha menekan perasaan itu, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah pilihan terbaik, meskipun hatinya selalu bertanya-tanya apakah ia telah membuat keputusan yang salah.
Suatu malam, saat Nadia sedang duduk di balkon apartemennya, ia memandang bintang-bintang yang bersinar di langit. Seperti ada sesuatu yang mengingatkannya pada Aidan. Bintang-bintang itu seakan menggambarkan segala perasaan yang ia pendam. Ada banyak kenangan indah yang terkubur dalam dirinya, kenangan tentang canda tawa mereka, tentang janji yang pernah mereka buat. Tetapi, apa gunanya semua itu sekarang? Ia merasakan ada jarak yang semakin membesar antara dirinya dan Aidan, bahkan meskipun fisiknya terpisah ribuan kilometer. Apakah mereka benar-benar bisa kembali seperti dulu?
Malam itu, Aidan pun merasakan hal yang sama. Di kamarnya yang sepi, ia duduk di depan jendela, memandang keluar dengan tatapan kosong. Ia tahu bahwa mereka berdua sudah berbeda. Waktu dan jarak telah mengubah segalanya. Namun, di dalam hatinya, ada sesuatu yang terus mengingatkannya pada Nadia—suara tawa, sentuhan tangan yang dulu begitu hangat, dan perasaan yang begitu kuat yang pernah mereka miliki bersama. Ia merasa, mungkin, waktu yang mereka habiskan bersama itu tidak bisa begitu saja dilupakan.
Tetapi, keduanya terjebak dalam pemikiran yang sama: bagaimana mereka bisa kembali setelah semua yang telah terjadi? Jarak yang dulu menjadi pemisah yang sederhana kini menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih sulit untuk diatasi. Keduanya tahu, meskipun mereka masih saling memikirkan, jalan untuk kembali bersama tidaklah mudah.
Jarak telah memisahkan mereka, tetapi perasaan yang tidak bisa dilupakan tetap ada—sebuah luka yang harus dihadapi dengan keberanian untuk menyembuhkannya.*
Bab 4 Pertemuan Tak Terduga
Aidan berjalan cepat menyusuri jalanan yang mulai sepi, langkahnya terdengar lantang di tengah senja yang mengalun lembut. Ia baru saja keluar dari kantor, dan setelah seharian penuh tenggelam dalam rutinitas kerja yang melelahkan, pikirannya masih terguncang oleh obrolan terakhir dengan klien. Namun, meski fisiknya tampak sibuk, hatinya tidak bisa lepas dari satu nama—Nadia.
Sudah bertahun-tahun sejak perpisahan itu. Aidan sering mencoba untuk menepis bayangannya, untuk membiarkan kenangan itu mereda, namun kenyataannya, tak ada hari yang berlalu tanpa ada yang mengingatkannya pada Nadia. Hari-hari terasa kosong tanpa tawa ceria yang dulu selalu mewarnai setiap obrolan mereka. Tetapi hari ini, perasaan itu seakan menggerayangi lebih kuat dari biasanya, membuat langkahnya terasa lebih berat.
Di sisi lain kota, Nadia berdiri di depan etalase toko buku tua yang baru saja dibuka kembali setelah direnovasi. Tangannya memegang secangkir kopi panas yang mengeluarkan asap tipis. Ia menatap buku-buku yang terjajar rapi, mencoba menyelami dunia yang jauh dari dunia nyata yang tengah ia jalani. Tetapi, meski dunia buku itu memberikan ketenangan sementara, ada rasa kosong yang terus mengisi ruang dalam dirinya. Entah apa yang hilang, namun ada perasaan seperti ada sebuah bagian dari hidupnya yang belum terselesaikan.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nadia melihat notifikasi dari teman-temannya yang mengundangnya untuk bertemu malam ini. Namun, ia menahan niatnya untuk segera membalas. Pikirannya terhanyut kembali ke kenangan lama—kenangan tentang Aidan. Saat itu, mereka berdua masih muda, penuh impian dan janji. Namun, semua itu berubah begitu saja. Satu kesalahan besar, satu kata yang tak terucapkan, dan hubungan yang seharusnya abadi pun runtuh.
Tanpa sadar, ia melangkah ke arah kafe di sebelah toko buku, ingin menenangkan pikirannya lebih jauh. Dingin malam menjalari kulitnya, namun hatinya lebih dingin lagi. Ketika ia membuka pintu kafe, aroma kopi hangat menyambutnya, namun ada sesuatu yang lebih menonjol di antara keramaian—seorang pria yang duduk di sudut dengan tampak serius memandang laptop di depannya. Nadia tidak membutuhkan waktu lama untuk mengenalinya.
Aidan.
Jantung Nadia berdegup kencang. Selama bertahun-tahun, ia berusaha melupakan wajah itu, mengubur semua kenangan yang berputar di sekeliling pria itu. Namun, kali ini, pertemuan itu begitu nyata, dan rasanya begitu berbeda dari apa yang ia bayangkan.
Ia berdiri diam, terperangkap dalam antara keinginan untuk mundur dan dorongan untuk mendekat. Aidan tidak melihatnya. Mata pria itu fokus pada layar laptop, wajahnya yang biasanya tampan kini terlihat lebih lelah dan penuh pertanyaan. Tetapi, sesuatu dalam diri Nadia berkata bahwa ini bukan kebetulan. Tidak mungkin. Setelah bertahun-tahun, dunia ini tidak begitu besar untuk membuat mereka bertemu secara tidak sengaja.
Nadia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian yang rasanya sudah lama hilang. Ia melangkah maju, dengan suara langkah kaki yang terdengar lebih keras dari yang diinginkan. Aidan mendengar suara itu, menoleh, dan ketika mata mereka bertemu, waktu seolah berhenti.
“Aidan…” Suara Nadia terhenti, seperti terjebak dalam mulutnya sendiri. Ia hampir tidak percaya bisa mengucapkan nama itu lagi setelah sekian lama.
Aidan terkejut, seketika berdiri dari kursinya. Senyum yang dulu familiar di wajahnya kini tergantikan oleh kebingungannya. “Nadia? Kamu…”
Ada kekakuan di antara mereka, seakan masing-masing tidak tahu harus berkata apa. Mereka berdiri begitu saja, tak ada kata yang keluar sejenak, hanya saling memandang. Seperti dua orang asing yang berusaha menemukan familiaritas dalam ketidaktahuan.
“Sudah lama sekali, ya,” Nadia akhirnya memecah keheningan itu. Suaranya sedikit bergetar, namun ia mencoba untuk tetap tenang.
Aidan mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari Nadia. Ia merasa campuran antara senang dan cemas, seperti dua perasaan yang saling bertarung di dalam dirinya. “Iya… aku tak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”
“Aku juga,” Nadia menjawab singkat, merasakan jantungnya yang berdebar cepat. Di luar, angin malam berdesir, berusaha mencairkan ketegangan yang mulai mengisi ruang di antara mereka.
Mereka duduk. Aidan mempersilakan Nadia untuk mengambil kursi di depannya. Suasana hening kembali mengisi antara mereka, dan Nadia merasa seolah kata-kata tak lagi cukup untuk mengungkapkan segala yang ingin ia sampaikan. Ia ingin bertanya bagaimana kabar Aidan, namun takut hal itu justru membawa kembali semua kenangan pahit mereka.
“Bagaimana kamu?” tanya Aidan, akhirnya. Suaranya agak rendah, seolah ia tak yakin dengan apa yang ingin ia ungkapkan.
“Baik,” Nadia menjawab singkat. “Aku… aku sudah lebih baik.” Ia mengamati wajah Aidan, mencari tahu apakah ada perubahan dalam dirinya, atau apakah ia masih orang yang sama. Namun, wajah Aidan kini lebih tegas, lebih matang, seolah ia telah menanggung beban yang sama sekali berbeda.
“Aku juga,” jawab Aidan setelah beberapa detik diam, matanya tidak bisa menghindari tatapan Nadia. “Aku ingin… aku ingin mengatakan banyak hal, Nadia.”
Namun, sebelum Aidan bisa melanjutkan, Nadia sudah lebih dulu mengalihkan topik, tidak ingin melibatkan perasaan yang terlalu dalam saat ini. “Aku pikir, kita berdua sudah cukup lama menjalani hidup tanpa perasaan itu. Tanpa mengingat masa lalu.”
Aidan terdiam. Ada sesuatu dalam suara Nadia yang membuatnya merasa bahwa pertemuan ini lebih dari sekadar kebetulan. Mungkin ini adalah kesempatan kedua yang tidak bisa mereka sia-siakan. Tapi, ia juga tahu bahwa perasaan lama tidak bisa begitu saja hilang.
“Nadia,” Aidan akhirnya berkata pelan, “jangan lari dari ini.”
Dan di situlah, di sebuah kafe yang sederhana, di tengah kota yang ramai, kisah mereka yang tertunda mulai menemukan jalan baru, meskipun penuh keraguan dan ketakutan.*
Bab 5 Menghadapi Masa Lalu
Aidan duduk di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota, menatap cangkir kopi yang kini sudah dingin. Di luar jendela, hujan gerimis turun perlahan, seolah menyelimuti suasana hatinya yang penuh dengan kebingungan dan kekhawatiran. Sejak pertemuan tak terduga beberapa hari yang lalu, perasaan yang telah terkubur dalam-dalam mulai merayap kembali. Aidan merasa seolah-olah waktu telah mundur dan membawa mereka kembali ke titik yang sama, saat segala sesuatu masih baik-baik saja sebelum perpisahan itu terjadi.
Dia memandang sekeliling, mencari ketenangan dalam keramaian yang tidak bisa dia rasakan. Matanya tertuju pada kursi kosong di seberang meja, tempat Nadia duduk beberapa saat lalu, berbicara dengan nada hati-hati. Nadia, yang kini tampak berbeda, tapi tetap seperti Nadia yang dikenalnya. Mungkin sedikit lebih dewasa, sedikit lebih hati-hati, tetapi senyum yang sama masih terpancar darinya. Senyum yang dulunya selalu mampu membuat Aidan merasa tenang, meskipun dunia di sekitar mereka penuh dengan keributan.
Saat mereka bertemu lagi, Aidan merasa seolah-olah ada dinding tak terlihat yang membatasi keduanya. Ada jarak emosional yang lebih besar daripada jarak fisik yang memisahkan mereka bertahun-tahun ini. Begitu banyak hal yang ingin dia katakan, tetapi semuanya terhenti oleh kenyataan bahwa ada banyak luka yang belum sembuh, dan kata-kata yang harus mereka ucapkan bukanlah hal yang mudah.
Aidan menarik napas dalam-dalam, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Perpisahan mereka dulu bukanlah keputusan yang mudah. Tidak ada pertengkaran besar atau kata-kata kasar yang diucapkan. Semua berawal dari kesalahpahaman kecil yang kemudian membesar, berubah menjadi benteng emosi yang sulit ditembus. Nadia merasa dikhianati, merasa bahwa Aidan mengabaikan perasaan dan keputusannya. Sementara Aidan merasa bahwa Nadia telah memilih untuk mengorbankan hubungan mereka demi sesuatu yang tidak jelas. Mereka saling menuduh tanpa pernah benar-benar mencoba untuk mendengarkan satu sama lain. Dendam dan kebencian pun tumbuh, dan mereka memilih untuk berpisah, dengan hati yang terbelah dan luka yang tak kunjung sembuh.
Namun hari ini, di kafe ini, mereka berada dalam keadaan yang berbeda. Setelah bertahun-tahun berusaha mengabaikan kenangan satu sama lain, mereka kini saling bertatap muka, dengan kesedihan yang tidak bisa mereka sembunyikan. Tidak ada lagi kata-kata penuh kebencian, tidak ada lagi tuduhan. Hanya ada keheningan yang menggantung, menguji apakah mereka bisa melewati masa lalu mereka yang kelam dan menerima kenyataan bahwa banyak yang telah berubah.
Nadia yang duduk di seberangnya akhirnya memecah keheningan itu. “Aidan,” katanya pelan, suaranya lembut namun penuh dengan perasaan. “Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana.” Ada ketegangan dalam suaranya, seperti seseorang yang ragu untuk membuka pintu yang telah terkunci selama bertahun-tahun.
Aidan mengangguk pelan, mengerti perasaan Nadia. “Kita mungkin sudah terlalu lama saling menghindar. Aku… aku tahu aku juga tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Tapi, mungkin kita bisa mencoba untuk bicara tentang itu. Tentang apa yang sebenarnya terjadi.”
Nadia menarik napas panjang, matanya menatap kosong ke meja. “Aku merasa dikhianati, Aidan. Aku merasa kamu lebih memilih… segala sesuatu selain aku. Dan itu menyakitkan. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Tidak dengan cara kamu menghilang tanpa penjelasan, tanpa memberikan aku kesempatan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.”
Aidan merasakan hati yang semakin berat mendengar kata-kata itu. Dia tahu bahwa dia telah salah. Dia tahu bahwa dia telah membuat Nadia merasa seperti itu. Tetapi di sisi lain, dia juga merasa bahwa dirinya juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Ada banyak hal yang dia simpan dalam dirinya, terlalu takut untuk mengungkapkan perasaannya karena takut menyakiti Nadia lebih jauh lagi. Aidan meraih tangannya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku minta maaf, Nadia. Aku tahu aku tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi, tapi aku ingin kamu tahu, aku juga terluka. Aku merasa kehilangan, tetapi aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Aku merasa terjebak dalam kebingunganku sendiri.”
Suasana di meja itu menjadi lebih berat. Semua kata-kata yang tidak terucapkan selama bertahun-tahun seperti mulai keluar perlahan. Mereka tidak bisa menghapus luka lama, tetapi mungkin, hanya mungkin, mereka bisa mulai memahami satu sama lain dengan cara yang lebih baik.
“Aidan, aku juga ingin minta maaf,” Nadia melanjutkan, suaranya semakin rapuh. “Aku terlalu keras pada diriku sendiri. Aku berpikir aku bisa bertahan tanpa harus mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku terlalu egois dengan pikiranku sendiri.”
Aidan menatap Nadia, merasa ada angin segar yang mulai mereda di antara mereka. “Kita berdua sudah terluka. Dan mungkin itu yang membuat kita tidak bisa saling memahami dulu. Tapi aku ingin kita mencoba untuk menyembuhkan luka itu, tidak hanya untuk kita, tetapi juga untuk masa depan kita.”
Perlahan, mereka mulai saling membuka diri, berbicara tentang perasaan yang telah mereka simpan begitu lama. Tidak ada lagi dendam, tidak ada lagi kebencian. Yang ada hanya kesadaran bahwa masa lalu mereka memang penuh dengan luka, tetapi itu tidak berarti bahwa mereka tidak bisa belajar untuk memaafkan diri mereka sendiri, dan satu sama lain. Mereka menyadari bahwa cinta yang dulu ada tidak pernah benar-benar hilang, hanya tertutup oleh kabut rasa sakit yang mereka ciptakan sendiri.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Aidan,” kata Nadia dengan suara rendah. “Tapi aku ingin kita memulai dari awal lagi. Mungkin kita tidak bisa langsung kembali seperti dulu, tapi kita bisa mencoba untuk menemukan jalan baru bersama.”
Aidan mengangguk, matanya penuh harap. “Aku siap, Nadia. Aku ingin mencoba.”
Mereka duduk di sana, dalam keheningan yang jauh lebih damai daripada sebelumnya. Keduanya tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi kali ini, mereka tidak akan menghadapi masa lalu sendirian.*
Bab 6 Memaafkan Diri Sendiri
Aidan berdiri di depan cermin besar di ruang tamunya. Cahaya rembulan menyinari wajahnya yang letih. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari yang penuh dengan tawa, cinta, dan juga luka. Ia teringat saat pertama kali bertemu Nadia—senyum cerahnya yang tulus, mata yang penuh harapan, dan bagaimana setiap detik bersamanya terasa seperti keajaiban. Namun, semuanya berubah. Cinta yang dulunya begitu murni, sekarang tercabik-cabik oleh kebohongan dan penyesalan.
Saat perpisahan mereka terjadi, Aidan merasa seperti dunia runtuh di sekitarnya. Nadia, yang dulu menjadi bagian penting dalam hidupnya, kini menjadi orang asing yang tidak bisa ia kenali. Namun, meski sakit, perasaan itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dendam, marah, dan perasaan tak terungkapkan tumbuh dalam dirinya, membangun dinding yang semakin tinggi antara dia dan perasaan aslinya.
Aidan menyandarkan tubuhnya pada meja, menatap kosong ke arah langit malam yang gelap. Ia pernah menyalahkan Nadia, menganggapnya sebagai penyebab utama kerusakan hubungan mereka. Namun, kini setelah bertahun-tahun berlalu, ia mulai melihat sesuatu yang berbeda. Dendam yang ia pelihara tidak hanya merusak hubungan mereka, tetapi juga dirinya sendiri. Ia merasa kosong, terjebak dalam bayangan masa lalu yang tak kunjung hilang.
Di sisi lain kota, Nadia duduk di balkon apartemennya, memandangi lampu-lampu kota yang gemerlap. Angin malam mengusap wajahnya, namun hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Wajah Aidan masih membayang di pikirannya, meskipun sudah bertahun-tahun sejak mereka berpisah. Waktu tidak benar-benar menyembuhkan luka itu. Setiap kali ia mencoba untuk melupakan, kenangan-kenangan indah bersama Aidan datang begitu saja, menghantui dalam diam.
Nadia sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia benar-benar telah memaafkan dirinya atas kesalahan yang ia buat? Apakah ia bisa melepaskan rasa bersalah yang terus menggigit hatinya? Ia tahu bahwa ia juga berperan dalam kehancuran hubungan mereka. Kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, kebohongan-kebohongan kecil yang ia sembunyikan dari Aidan, semuanya membentuk jarak yang semakin lebar antara mereka.
Pada suatu malam yang sunyi, ketika tidak ada lagi yang mengganggu pikirannya, Nadia duduk di sofa, menulis di jurnalnya. Kata-kata itu mengalir begitu saja, seolah-olah pena adalah satu-satunya cara untuk melepaskan beban yang ia tanggung selama ini.
_”Aku telah memaafkanmu, Aidan. Aku harap kamu tahu itu. Tapi yang lebih sulit adalah memaafkan diriku sendiri. Mengapa aku membiarkan diriku terjebak dalam kebohongan? Mengapa aku tidak lebih jujur padamu? Aku masih merasa sakit, tapi aku tahu aku harus melepaskan rasa ini agar bisa melangkah ke depan.”_
Nadia menutup jurnalnya dan meletakkannya di meja. Matahari mulai terbit, dan ia merasa seolah-olah ia baru saja membuka pintu untuk langkah baru dalam hidupnya. Memaafkan diri sendiri bukanlah hal yang mudah, tetapi ia tahu bahwa itu adalah bagian dari proses untuk sembuh.
Pada saat yang sama, Aidan juga memikirkan langkah selanjutnya. Ia merasa ada yang hilang dalam dirinya, seperti ada lubang yang tak bisa ia isi dengan apapun. Ia mulai menyadari bahwa perasaan dendam yang ia pelihara tidak membawa kedamaian. Sebaliknya, itu hanya memperburuk keadaan. Ia memandang kembali ke masa lalu, tidak lagi dengan kebencian, tetapi dengan pengertian. Ia tahu ia juga memiliki bagian dalam kehancuran hubungan mereka.
Aidan mengambil keputusan untuk mencari kedamaian dalam dirinya. Ia mulai menjalani kehidupan dengan lebih terbuka, berusaha untuk menerima kesalahan-kesalahan yang telah ia buat. Ia mulai memahami bahwa manusia tidak sempurna, dan kadang-kadang, kesalahan adalah bagian dari perjalanan hidup.
Pernah ada saat di mana Aidan merasa sangat ingin menyalahkan Nadia atas semua yang terjadi. Namun, semakin ia merenung, semakin ia merasa bahwa kebencian tidak akan menyelesaikan apapun. Bahkan, itu hanya memperburuk rasa sakitnya sendiri. Dalam diam, ia berkata pada dirinya sendiri, _”Aku memaafkanmu, Nadia. Dan aku memaafkan diriku sendiri.”_
Suatu hari, ketika mereka berdua kembali bertemu di sebuah kafe yang sederhana, suasana itu terasa berbeda. Tidak ada lagi perasaan canggung yang dulu mereka rasakan. Mereka berbicara, tertawa, dan mengenang masa lalu tanpa ada lagi beban yang menghimpit. Memaafkan diri sendiri adalah proses yang panjang, dan meskipun mereka tidak tahu apakah mereka akan kembali bersama, mereka tahu bahwa kedamaian yang mereka rasakan adalah langkah pertama menuju penyembuhan.
Perjalanan untuk memaafkan diri sendiri bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Itu adalah sesuatu yang datang secara perlahan, seiring waktu. Dan dalam perjalanan itu, Aidan dan Nadia mulai memahami bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, perasaan mereka satu sama lain tetap ada. Kini, mereka bisa melangkah dengan lebih ringan, bebas dari beban masa lalu yang selama ini membelenggu hati mereka.
Dengan langkah yang lebih mantap, Aidan dan Nadia menyadari bahwa terkadang, untuk mencintai kembali, kita harus belajar memaafkan—terutama diri kita sendiri.*
Bab 7 Jarak yang Menyatukan
Waktu berlalu begitu cepat. Tiga tahun sejak pertemuan mereka yang tak terduga di kafe itu. Nadia dan Aidan masih saling berpandangan, namun ada ketegangan yang sulit dijelaskan di udara. Mereka duduk di meja yang sama, di tempat yang sama, namun semuanya terasa berbeda. Jarak yang pernah memisahkan mereka kini terasa seperti penghalang yang harus dilalui kembali. Namun, entah kenapa, kali ini tidak ada kebencian, tidak ada amarah yang menggerogoti hati mereka.
Nadia mengamati tangan Aidan yang memegang secangkir kopi. Jemarinya yang dulu pernah menggenggam tangannya dengan penuh cinta, kini tampak tegang. Seolah ada sesuatu yang berat yang mengganjal di dalam diri pria itu. Nadia merasakan hal yang sama. Jarak yang begitu lama, yang telah membentuk luka-luka lama di dalam hati, seakan kembali hidup ketika mereka duduk berhadapan.
“Aidan,” Nadia membuka percakapan dengan suara yang lembut, hampir seperti ragu-ragu. “Aku… aku ingin bicara tentang masa lalu kita.”
Aidan menatap Nadia dengan tatapan yang penuh arti. Ada kebingungan, ada kekhawatiran, namun juga keinginan yang tidak bisa disembunyikan. “Aku juga ingin itu, Nadia,” jawabnya pelan, seolah berbicara dengan hati-hati, takut melukai sesuatu yang tak tampak, sesuatu yang tak terucapkan.
Mereka terdiam sesaat, hanya ada suara dentingan sendok yang jatuh ke dalam cangkir kopi. Mereka berdua merasakan detik-detik yang panjang, seolah waktu berhenti begitu saja di antara mereka. Namun, di balik kesunyian itu, ada ketegangan yang semakin mencengkeram hati mereka, menyadarkan bahwa perasaan yang dulu ada antara mereka, tidak pernah benar-benar hilang.
“Aidan, aku ingin tahu… apa yang terjadi selama ini? Kenapa kamu memilih untuk pergi begitu saja? Aku tahu kita berdua terluka, tapi kenapa kamu tidak pernah berusaha untuk mencari aku? Menanyakan kabarku?” Nadia mengeluarkan semua pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya. Suaranya bergetar, meskipun ia berusaha tetap tenang.
Aidan menundukkan kepala, seolah tak sanggup untuk menatap mata Nadia. “Aku… aku merasa seperti kita sudah berada di titik yang tidak bisa diperbaiki lagi,” jawabnya, suaranya serak. “Aku merasa sangat dikhianati, Nadia. Aku merasa seperti aku tidak pernah cukup untukmu. Dan aku takut, jika aku mendekat lagi, aku akan membuat semuanya semakin buruk.”
Nadia merasakan sakit di dalam hatinya mendengar kata-kata itu. “Aku tidak pernah berniat membuatmu merasa seperti itu. Aidan, aku juga terluka, aku juga merasa kesepian. Tapi, aku tidak pernah ingin kita berpisah. Aku hanya… aku hanya ingin kita bisa saling memahami,” jawab Nadia, suara hatinya mulai pecah.
Aidan mengangkat wajahnya, menatap Nadia dengan tatapan yang penuh keraguan. “Tapi apakah kita bisa kembali seperti dulu, Nadia? Apakah kita bisa melupakan semua yang sudah terjadi dan memulai lagi dari awal?”
Nadia menelan ludah. Pertanyaan itu mengguncang dirinya. Jujur, ia tidak tahu jawabannya. Ada bagian dari dirinya yang ingin sekali mengulang waktu, kembali ke masa-masa indah bersama Aidan. Namun, ada juga rasa takut yang membekas dalam dirinya, takut jika mereka kembali bersama, luka lama akan terulang, dan semuanya akan hancur lagi.
Namun, saat matanya bertemu dengan mata Aidan, sesuatu yang dalam muncul. Ada harapan di sana, meski sangat kecil, dan ada sebuah perasaan yang tidak bisa dibendung lagi. Nadia menyadari bahwa meskipun banyak waktu yang telah hilang, perasaan itu tidak pernah benar-benar mati. Mungkin itu adalah bagian dari apa yang membuat mereka bertahan selama ini.
“Aidan, aku tahu kita tidak bisa memutar balik waktu. Aku tahu kita berdua pernah membuat kesalahan besar,” Nadia menghela napas, “tapi aku percaya, meskipun kita terluka, kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku tidak ingin hidup dengan rasa penyesalan karena kita tidak mencoba.”
Aidan terdiam sejenak. Ada keraguan yang jelas terlihat di wajahnya, namun ada juga sesuatu yang lebih dalam yang menggerakkan dirinya. Dia tahu, ini adalah kesempatan terakhir mereka. Jika mereka tidak mencoba, mereka akan terjebak dalam perasaan yang tak pernah selesai.
“Jadi, apa yang kamu ingin kita lakukan sekarang, Nadia?” tanya Aidan, suaranya rendah namun penuh harap.
Nadia menggenggam tangan Aidan, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun. “Aku tidak ingin kita kembali ke masa lalu, Aidan. Aku tidak ingin kita mengulang semuanya. Tapi aku ingin kita memberi kesempatan untuk masa depan. Aku ingin kita memperbaiki diri, dan jika memang takdir membawa kita kembali bersama, kita akan tahu bahwa kita berdua sudah siap.”
Aidan menatap tangan Nadia yang menggenggamnya, dan perlahan senyum tipis mulai terbentuk di bibirnya. “Aku akan berusaha, Nadia. Aku janji, aku akan berusaha untuk memperbaiki semuanya. Mungkin tidak mudah, tapi aku akan berusaha. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”
Mereka duduk diam sejenak, saling menggenggam tangan, merasakan kehangatan yang sudah lama hilang. Jarak yang dulunya memisahkan mereka kini menjadi pengingat bahwa cinta mereka tidak pernah hilang. Mereka masih memiliki harapan, mereka masih memiliki waktu. Dan meskipun perjalanan ke depan tidak akan mudah, mereka siap menghadapinya bersama, perlahan, dengan hati yang lebih matang dan penuh pengertian.
Perlahan, Aidan dan Nadia mulai menata kembali potongan-potongan masa lalu mereka yang hancur. Mereka tahu, ini bukanlah akhir, tapi awal dari perjalanan yang baru. Dengan setiap langkah kecil, mereka mulai membangun kembali jembatan yang dulunya runtuh, dan mungkin, untuk pertama kalinya, mereka merasa bahwa jarak yang pernah memisahkan mereka justru memberi mereka kesempatan untuk menyatukan hati mereka kembali.***
————THE END————