Daftar Isi
Bab 1: Awal yang Manis
Matahari sore menyelinap di antara daun-daun rindang pohon yang berjajar di sepanjang trotoar. Di bawah langit yang berwarna jingga, Nadia melangkah perlahan, tas selempangnya bergoyang mengikuti irama langkahnya. Hatinya terasa hangat. Hari ini adalah hari istimewa. Ia baru saja mendapatkan buku langka yang selama ini ia cari di pasar buku bekas.
Di ujung jalan, toko buku kecil tempatnya bekerja sudah terlihat. Bangunan tua dengan cat yang mulai mengelupas itu bukan hanya tempat kerja, tapi juga pelariannya dari kehidupan yang seringkali terasa berat. Di dalam sana, ia merasa hidup, dikelilingi oleh buku-buku yang bercerita tentang dunia lain, tempat ia bisa melupakan sejenak realitas.
Namun, sebelum Nadia sempat mencapai pintu toko, sebuah suara berat memanggil dari belakang. “Maaf, Mbak, buku itu milik saya.”
Nadia berbalik. Seorang pria berdiri di hadapannya. Tinggi, tegap, dengan kemeja putih yang digulung hingga siku. Wajahnya bersih, dan matanya tajam, tapi ada senyum kecil yang menggantung di sudut bibirnya. Ia menunjuk buku di tangan Nadia, sebuah novel klasik dengan sampul lusuh.
“Maksud, Mas?” Nadia bertanya, bingung.
“Itu buku yang saya taruh di rak tadi. Saya sudah menawarnya duluan ke penjual, tapi tiba-tiba hilang begitu saja.”
Nadia mengerutkan kening. “Saya baru saja membelinya. Tidak ada yang bilang buku ini sudah ditawar.”
Pria itu tersenyum tipis. “Mungkin si penjual lupa memberi tahu. Tapi buku itu sangat penting untuk saya. Bisa kita bicarakan?”
Nadia menatap buku di tangannya. Novel itu memang langka. Namun, rasa tidak enaknya perlahan hilang ketika ia melihat wajah pria itu. Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Nadia luluh, meski ia tidak ingin mengakuinya.
“Baiklah,” katanya dengan nada datar. “Mas mau bicara di mana?”
—
Di dalam toko kopi kecil yang hanya beberapa langkah dari toko buku, mereka duduk berhadapan. Nadia meletakkan buku itu di atas meja. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Arga, seorang pengusaha yang kebetulan punya minat pada buku-buku klasik.
“Saya sedang mencari buku ini untuk ibu saya,” kata Arga sambil memandang novel itu. “Dia dulu pernah punya buku ini, tapi hilang saat kami pindah rumah. Sejak saat itu, dia selalu ingin memilikinya lagi.”
Nadia mengerjap. Ada sesuatu yang tulus dalam cara Arga bercerita, seolah-olah ia benar-benar melakukan ini untuk membahagiakan seseorang yang ia sayangi.
“Kenapa tidak mencarinya di toko buku online? Biasanya mereka punya stok buku langka seperti ini.”
Arga tertawa kecil. “Saya sudah coba. Tapi ibu saya bilang, buku itu harus ditemukan secara langsung, bukan dibeli dengan mudah. Katanya, buku itu spesial karena ada cerita di balik bagaimana kita menemukannya.”
Nadia tersenyum. Ia suka cara pria ini berpikir. Namun, ia juga merasa sedikit berat untuk menyerahkan buku itu begitu saja. Ia sudah mencari novel ini cukup lama.
“Mungkin kita bisa membuat kesepakatan,” ujar Arga, memecah keheningan.
Nadia menatapnya curiga. “Kesepakatan apa?”
“Bagaimana kalau saya mengganti buku ini dengan sesuatu yang sama berharganya untuk Anda?”
Nadia memiringkan kepalanya, tertarik. “Apa yang Mas bisa tawarkan?”
“Beri tahu saya apa yang Anda cari. Kalau itu masuk akal, saya akan berusaha menemukannya untuk Anda.”
Nadia tersenyum kecil. “Kedengarannya terlalu muluk.”
“Tapi Anda belum mencoba.” Arga menatapnya dengan serius. “Buku ini penting untuk ibu saya. Jika Anda mau membantu, saya berjanji akan melakukan apa pun untuk membalas kebaikan Anda.”
Setelah berpikir sejenak, Nadia mengangguk pelan. Ada sesuatu dalam suara Arga yang membuatnya percaya, meski mereka baru bertemu.
“Baiklah. Buku ini milik Mas.”
—
Percakapan itu tidak berhenti di situ. Setelah Arga membayar kopi mereka dan berterima kasih berkali-kali, ia bertanya tentang Nadia. Mereka berbincang tentang buku, pekerjaan, dan kehidupan sehari-hari.
“Apa yang membuat Anda bekerja di toko buku kecil seperti itu?” tanya Arga dengan nada ingin tahu.
Nadia tertawa. “Karena saya suka buku, tentunya. Tempat itu seperti rumah bagi saya.”
Arga mengangguk, seolah memahami apa yang Nadia maksud. “Anda tampak berbeda dari kebanyakan orang yang saya temui. Kebanyakan orang bekerja hanya demi uang.”
Nadia terdiam sesaat. Ada kehangatan dalam komentar itu, sesuatu yang membuatnya merasa dihargai.
“Bagaimana dengan Mas? Anda bilang Anda pengusaha. Apa yang membuat Anda menyukai buku?”
Arga tersenyum samar. “Buku adalah cara saya melarikan diri. Ketika dunia nyata terlalu rumit, saya bisa bersembunyi di balik cerita-cerita itu.”
Jawaban itu membuat Nadia merasa mereka memiliki kesamaan. Ia tidak pernah menyangka akan merasa nyaman berbicara dengan seseorang yang baru saja ia temui.
Waktu berjalan cepat, dan sebelum mereka sadar, langit sudah gelap. Arga menawarkan untuk mengantar Nadia pulang, tapi Nadia menolak.
“Tidak perlu, Mas. Saya bisa pulang sendiri.”
“Setidaknya izinkan saya menemani Anda sampai ke jalan besar,” kata Arga.
Akhirnya, mereka berjalan bersama, berbicara tentang hal-hal kecil. Nadia merasa seperti mengenal Arga lebih dari sekadar pertemuan pertama. Ada sesuatu dalam cara Arga memperlakukannya yang membuat Nadia merasa istimewa, meskipun ia tahu mereka berasal dari dunia yang berbeda.
Ketika akhirnya mereka berpisah, Arga memberikan kartu namanya. “Kalau suatu saat Anda membutuhkan sesuatu, jangan ragu menghubungi saya. Saya berutang budi pada Anda.”
Nadia menerima kartu itu dengan senyuman kecil. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi ia merasa pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang besar.
Di jalan pulang, ia menggenggam kartu nama itu erat-erat. Hatinya berdebar. Tanpa ia sadari, benih-benih cinta telah tumbuh, menyelinap di antara percakapan manis mereka.
Namun, di balik semua itu, takdir telah menyiapkan sesuatu yang jauh dari bayangannya—janji manis yang kelak berubah menjadi luka mendalam.*
Bab 2: Cinta yang Tumbuh
Seminggu berlalu sejak pertemuan pertama Nadia dan Arga di toko buku. Awalnya, Nadia mengira itu hanyalah pertemuan singkat yang tak berarti. Namun, Arga membuktikan bahwa dirinya berbeda. Pesan-pesan singkat mulai berdatangan di ponselnya, dimulai dengan ucapan terima kasih yang sederhana hingga obrolan ringan tentang buku.
Nadia tidak pernah menduga bahwa seorang pria seperti Arga—pengusaha muda yang tampak sempurna dari luar—akan tertarik untuk mengenalnya lebih dalam. Hubungan mereka berkembang secara perlahan. Arga mulai sering mengunjungi toko buku tempat Nadia bekerja. Ia tidak hanya datang untuk membeli buku, tetapi juga untuk mengobrol dengan Nadia, bertanya tentang kesehariannya, atau sekadar menyerahkan secangkir kopi hangat.
Suatu sore yang tenang, Arga kembali datang ke toko buku dengan senyuman khasnya. Kali ini, ia membawa sebuah kotak kecil yang dibungkus rapi.
“Apa ini?” tanya Nadia sambil menerima kotak itu dengan ekspresi bingung.
“Bukalah,” kata Arga sambil menyandarkan dirinya di rak buku.
Nadia membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya terdapat sebuah buku tua dengan sampul kulit yang sudah sedikit pudar. Matanya langsung membesar saat membaca judulnya.
“Ini… ini buku yang saya cari-cari selama ini!” serunya, hampir tidak percaya.
Arga tersenyum. “Saya ingat waktu itu kamu bilang sedang mencari buku ini. Jadi, saya mencarinya untukmu.”
Nadia menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu serius mencarinya? Buku ini sangat langka… dan pasti mahal.”
“Tidak ada yang terlalu mahal untuk seseorang yang sudah berbaik hati padaku,” jawab Arga santai. “Lagipula, aku ingin membalas kebaikanmu waktu itu.”
Hati Nadia menghangat. Dalam hidupnya yang sederhana, perhatian seperti ini adalah sesuatu yang jarang ia dapatkan. Arga tidak hanya hadir sebagai teman, tetapi juga sebagai seseorang yang benar-benar peduli terhadap apa yang penting baginya.
—
Hubungan mereka semakin erat setelah hari itu. Arga sering mengajak Nadia makan malam setelah ia selesai bekerja, atau sekadar berjalan-jalan di taman kota sambil membicarakan hal-hal kecil. Nadia merasa dunia di sekitarnya menjadi lebih cerah setiap kali bersama Arga.
Namun, meski ia mulai membuka hatinya, Nadia tetap menyimpan keraguan. Arga adalah pria yang berasal dari dunia yang jauh berbeda dengannya. Ia takut bahwa perasaan ini hanyalah sementara, seperti mimpi yang indah namun cepat berlalu.
Suatu malam, setelah makan malam bersama, Arga mengantar Nadia pulang ke rumahnya. Di depan pintu rumah kecil yang sederhana itu, Arga menghentikan langkahnya dan menatap Nadia dengan serius.
“Nadia, aku ingin mengatakan sesuatu,” ujarnya pelan.
Nadia merasakan jantungnya berdegup kencang. “Apa itu?” tanyanya sambil menatap mata Arga.
“Aku tahu mungkin ini terdengar cepat, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku serius denganmu.”
Nadia tertegun. “Serius?”
Arga mengangguk. “Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Setiap kali aku bersamamu, aku merasa… damai. Kamu berbeda dari siapa pun yang pernah kukenal.”
Hening sesaat. Angin malam berhembus lembut, menyapu rambut Nadia yang tergerai. Ia menunduk, berusaha menata pikirannya yang bercampur aduk.
“Aku juga merasa nyaman bersamamu, Arga,” kata Nadia akhirnya. “Tapi aku takut. Kita berasal dari dunia yang berbeda. Aku… hanya gadis biasa. Sementara kamu…”
Arga memotongnya dengan lembut. “Aku tidak peduli dari mana kita berasal. Yang aku pedulikan hanyalah kamu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh, Nadia. Beri aku kesempatan.”
Nadia menatapnya dalam-dalam. Ada ketulusan di mata Arga yang sulit ia abaikan. Perlahan, ia mengangguk. “Baiklah. Tapi janji, jangan pernah membuatku kecewa.”
Arga tersenyum lebar. “Aku janji.”
—
Hari-hari setelah itu terasa seperti mimpi bagi Nadia. Arga memperlakukannya dengan begitu istimewa, membuatnya merasa seperti wanita paling beruntung di dunia. Ia memperkenalkan Nadia pada teman-temannya, meskipun sebagian dari mereka memandang Nadia dengan tatapan aneh.
“Dia berbeda,” ujar Arga suatu hari ketika Nadia mengungkapkan kekhawatirannya tentang bagaimana orang-orang di sekitar Arga memandangnya. “Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan. Yang penting, aku tahu siapa kamu sebenarnya.”
Kata-kata itu menenangkan hati Nadia. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan perasaan kecil di dalam dirinya yang terus mengingatkan bahwa dunia Arga adalah dunia yang penuh dengan intrik dan ekspektasi.
—
Puncaknya, suatu sore, Arga mengajak Nadia ke rumah keluarganya. Nadia merasa gugup luar biasa. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan orang tua Arga, apalagi masuk ke dalam rumah megah yang terlihat seperti istana.
Ibu Arga, seorang wanita anggun dengan tatapan tajam, menyambut mereka di ruang tamu. Senyumnya hangat, tetapi nadanya mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Jadi, ini Nadia,” katanya sambil memandang Nadia dari atas ke bawah. “Kamu memang cantik, seperti yang Arga bilang.”
Nadia hanya bisa tersenyum canggung. Ia merasa seperti sedang dinilai, setiap gerak-geriknya diawasi.
Selama makan malam, percakapan berjalan lancar, meskipun sesekali Nadia menangkap tatapan dingin dari ibu Arga. Setelah mereka pulang, Nadia tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Arga, apa ibumu menyukaiku?”
Arga menggenggam tangannya erat. “Jangan khawatir. Aku mencintaimu, Nadia. Itu yang terpenting.”
Meskipun kata-kata Arga menenangkan, Nadia tidak bisa menghilangkan perasaan ganjil yang terus menghantuinya. Ia mulai menyadari bahwa mencintai Arga berarti masuk ke dalam dunia yang penuh tantangan.
Namun, pada saat itu, Nadia memutuskan untuk percaya pada Arga. Ia memilih untuk menikmati setiap momen indah bersama pria yang membuatnya merasa hidup, tanpa tahu bahwa badai besar sudah menunggu di depan.*
Bab 3: Pengkhianatan Terungkap
Hubungan Nadia dan Arga terus berkembang selama beberapa bulan. Bagi Nadia, setiap hari bersama Arga adalah momen yang tak terlupakan. Ia mulai percaya bahwa cinta seperti di dalam dongeng benar-benar ada. Arga, dengan caranya yang lembut dan perhatian, membuat Nadia merasa istimewa. Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada rahasia besar yang Arga sembunyikan.
Suatu hari, Arga mengajak Nadia menghadiri sebuah acara formal di sebuah hotel mewah. Acara tersebut adalah pertemuan bisnis penting, dan Arga ingin memperkenalkan Nadia sebagai seseorang yang istimewa dalam hidupnya. Nadia merasa gugup tapi juga bangga. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, yang membuatnya terlihat anggun namun tetap rendah hati.
Ketika mereka tiba di acara itu, Nadia langsung merasa tidak nyaman. Dunia ini terasa asing baginya—meja-meja bundar berlapis kain sutra, orang-orang berdandan glamor, dan percakapan yang terdengar seperti sandiwara. Namun, Arga tetap berada di sisinya, menggenggam tangannya erat seolah ingin meyakinkannya bahwa ia tidak perlu takut.
“Ini hanya acara biasa,” kata Arga sambil tersenyum. “Aku ingin kau mengenal dunia tempatku berada.”
Nadia berusaha menikmati malam itu. Ia memperhatikan Arga berbicara dengan para kolega, kagum dengan caranya yang karismatik. Namun, rasa nyaman itu tiba-tiba hancur ketika seorang wanita cantik dengan gaun merah anggun menghampiri mereka.
“Arga,” panggil wanita itu dengan nada ramah, namun matanya menatap Nadia dengan penuh tanda tanya.
“Oh, Kirana,” balas Arga, sedikit gugup. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Nadia.
Kirana melirik Nadia dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu kembali menatap Arga. “Siapa dia?” tanyanya dengan nada dingin.
“Dia… temanku,” jawab Arga cepat, senyumnya terlihat dipaksakan.
Nadia merasa dadanya berdegup kencang. Teman? Kenapa Arga tidak mengatakan yang sebenarnya? Sebelum Nadia sempat bertanya, Kirana melanjutkan.
“Aku mencarimu sepanjang malam,” ujar Kirana, kali ini tanpa memedulikan kehadiran Nadia. “Orang tuaku ingin kita menemui keluarga Pak Damar. Kau tahu ini penting.”
Nadia merasakan hawa dingin menyelimutinya. “Kita”? Apa maksud Kirana? Dengan perasaan tidak nyaman, ia memberanikan diri bertanya.
“Maaf,” Nadia memotong percakapan mereka. “Sebenarnya… apa hubungan kalian?”
Kirana tersenyum kecil, seolah menganggap Nadia tidak penting. “Aku tunangannya,” jawabnya santai.
Dunia Nadia terasa runtuh seketika. Kata-kata Kirana bergema di kepalanya. Tunangan? Bagaimana mungkin Arga, pria yang ia percaya, pria yang mengaku mencintainya, ternyata memiliki tunangan?
Ia beralih menatap Arga, berharap pria itu akan menyangkal. Namun, Arga hanya terdiam, wajahnya terlihat menyesal namun tidak berani membalas tatapan Nadia.
“Arga,” Nadia berbisik, suaranya bergetar. “Apa ini benar?”
Arga mencoba meraih tangannya, tapi Nadia mundur. “Nadia, aku bisa jelaskan…”
Namun, sebelum Arga sempat melanjutkan, Nadia sudah melangkah mundur, matanya mulai berkaca-kaca. “Tidak perlu,” katanya dengan suara parau. “Aku sudah mengerti.”
Ia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu. Arga mencoba mengejarnya, tapi dihentikan oleh Kirana. “Kau tidak ke mana-mana, Arga. Kita punya urusan penting malam ini,” kata Kirana tegas.
—
Nadia keluar dari hotel dengan napas tersengal. Hatinya hancur, seperti kaca yang pecah menjadi ribuan serpihan tajam. Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—fakta bahwa Arga sudah bertunangan, atau kenyataan bahwa selama ini ia telah dibohongi.
Di perjalanan pulang, air matanya mengalir tanpa henti. Kenangan manis bersama Arga kini terasa seperti mimpi buruk. Janji-janjinya, perhatiannya, semua itu kini terasa palsu.
Setibanya di rumah, Nadia langsung mengunci diri di kamar. Ia menatap kartu nama Arga yang masih disimpannya, lalu melemparkannya ke sudut ruangan.
“Mengapa?” ia berbisik pada dirinya sendiri. “Mengapa aku begitu bodoh percaya padanya?”
Namun, meski hatinya dipenuhi amarah, ada bagian kecil dalam dirinya yang masih ingin tahu alasan di balik semua ini. Apakah Arga benar-benar mencintainya, atau apakah semuanya hanya permainan?
—
Keesokan harinya, Arga mencoba menghubungi Nadia berkali-kali, tapi Nadia tidak menjawab. Ia juga mengirim pesan, meminta maaf dan memohon untuk diberi kesempatan menjelaskan.
Akhirnya, Nadia memutuskan untuk bertemu dengannya, bukan karena ia memaafkan Arga, tetapi karena ia ingin mendengar kebenarannya. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang sepi.
“Kenapa kau melakukan ini padaku?” tanya Nadia tanpa basa-basi, suaranya penuh emosi.
Arga menghela napas panjang. “Aku tidak pernah berniat menyakitimu, Nadia. Aku benar-benar mencintaimu.”
Nadia tertawa kecil, sarkastik. “Cinta? Kau menyebut ini cinta? Lalu bagaimana dengan Kirana? Apa dia tahu kau bermain-main di belakangnya?”
Arga menundukkan kepalanya. “Pertunangan itu diatur oleh keluarga kami. Aku tidak pernah mencintai Kirana. Aku hanya… aku terjebak dalam keadaan ini.”
“Terjebak?” Nadia mengulang kata itu dengan nada penuh kemarahan. “Dan kau pikir kau bisa membodohiku untuk melupakan semuanya?”
Arga tidak bisa berkata-kata. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah, tetapi itu tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang dirasakan Nadia.
“Kau tidak pernah memikirkan bagaimana perasaanku, kan?” kata Nadia, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku percaya padamu. Aku mencintaimu, Arga. Tapi kau… kau menghancurkan semuanya.”
Nadia bangkit dari kursinya, hatinya terasa hampa. “Aku tidak ingin melihatmu lagi,” katanya pelan, namun tegas.
Ia meninggalkan kafe itu tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Arga yang hanya bisa terdiam dalam penyesalannya.
—
Malam itu, Nadia berbaring di tempat tidurnya, memandangi langit-langit kamar. Ia merasa kehilangan sesuatu yang tak tergantikan, tetapi di saat yang sama, ia tahu bahwa ini bukan akhir. Luka di hatinya mulai berubah menjadi sesuatu yang lain—amarah.
Dalam diam, Nadia berjanji pada dirinya sendiri. Jika Arga berpikir ia bisa menghancurkannya tanpa konsekuensi, maka ia salah besar. Ini bukan akhir dari cerita mereka. Ini baru permulaan.*
Bab 4: Luka yang Mendalam
Hari-hari berlalu dalam kesunyian yang mencekam bagi Nadia. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Arga, ia merasa dirinya seperti bayangan. Ia bangun pagi, pergi bekerja di toko buku, dan pulang ke rumah tanpa semangat. Hidupnya yang dulu penuh warna kini berubah menjadi kelabu.
Setiap malam, ia sering terjaga hingga larut, memikirkan semua yang telah terjadi. Kata-kata Arga terus terngiang di kepalanya. “Aku mencintaimu.” Bagaimana mungkin seseorang yang mengatakan cinta bisa sekaligus menyakiti seperti ini?
Nadia mencoba melanjutkan hidupnya, tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa luka itu begitu dalam. Ia merasa bodoh karena telah percaya pada Arga. Semua kenangan mereka, dari kopi yang dibawa Arga ke toko buku hingga momen-momen kecil yang membuatnya merasa istimewa, kini terasa seperti kebohongan belaka.
Sahabatnya, Lisa, adalah satu-satunya tempat Nadia mencurahkan isi hatinya. Lisa sering datang ke rumah untuk menghiburnya, membawa makanan, atau hanya duduk mendengarkan Nadia menangis.
“Kamu harus berhenti memikirkan dia, Nad,” kata Lisa suatu malam saat mereka duduk di ruang tamu. “Dia tidak pantas mendapatkan air matamu.”
Nadia menggeleng lemah. “Tapi aku tidak bisa, Lis. Dia membuatku percaya bahwa kami punya masa depan bersama. Dia membuatku merasa… dicintai.”
Lisa menggenggam tangan Nadia. “Apa yang dia lakukan itu salah. Tapi kamu tidak bisa terus-menerus menyiksa dirimu sendiri seperti ini. Kalau kamu terus membiarkan luka ini menguasaimu, dia yang menang.”
Nadia tahu Lisa benar, tapi hatinya masih terlalu berat untuk melepaskan semua rasa sakit itu.
—
Suatu sore, di toko buku tempat Nadia bekerja, ia menemukan sebuah surat kecil yang terselip di antara halaman sebuah buku. Surat itu berasal dari Arga.
“Nadia,
Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku tahu permintaan maafku tidak cukup untuk memperbaiki segalanya, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku benar-benar mencintaimu. Pertunangan itu bukan pilihanku, dan jika aku bisa memilih, aku akan memilihmu. Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan segalanya.
-Arga.”
Nadia merasakan dadanya sesak membaca surat itu. Ia meremas kertas itu dengan marah. “Kesempatan untuk menjelaskan?” pikirnya. Semua yang perlu dijelaskan sudah cukup jelas. Arga memilih untuk menyembunyikan kebenaran darinya, dan itu adalah keputusan yang tidak bisa ia terima.
Namun, meski amarahnya membara, ada bagian kecil dalam hatinya yang merindukan Arga. Perasaan itu seperti duri yang terus menusuk, mengingatkan Nadia bahwa cinta dan kebencian sering kali berjalan berdampingan.
—
Seminggu setelah surat itu ditemukan, Arga kembali muncul di depan toko buku. Nadia yang sedang merapikan rak-rak buku terkejut melihat sosok pria itu berdiri di pintu, menatapnya dengan mata penuh penyesalan.
“Aku hanya butuh lima menit, Nad,” kata Arga dengan suara rendah. “Setelah itu, jika kamu masih ingin aku pergi, aku tidak akan mengganggumu lagi.”
Nadia ingin mengusirnya, tetapi kata-kata itu membuatnya terdiam. Ia tahu ia harus mendengar penjelasan Arga, jika hanya untuk memastikan bahwa tidak ada lagi yang tersisa di antara mereka.
Mereka duduk di salah satu meja di sudut toko. Arga menghela napas panjang sebelum mulai berbicara.
“Nadia, aku tidak pernah berniat menyakitimu,” katanya. “Pertunangan dengan Kirana itu bukan sesuatu yang aku inginkan. Itu keputusan keluargaku. Kami menjalin hubungan bisnis dengan keluarganya, dan aku tidak punya pilihan.”
“Tidak punya pilihan?” potong Nadia tajam. “Kamu selalu punya pilihan, Arga. Kamu memilih untuk membohongiku. Kamu memilih untuk membuatku percaya bahwa aku berarti sesuatu bagimu, sementara kamu tahu ada orang lain dalam hidupmu.”
Arga menundukkan kepala, menatap tangannya yang saling menggenggam di atas meja. “Aku tahu aku salah, Nad. Aku hanya… aku takut kehilanganmu.”
Nadia menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu takut kehilangan aku, tapi kamu tetap memilih jalan yang membuatku terluka. Apa itu adil, Arga? Apa kamu pikir permintaan maafmu cukup untuk menghapus semuanya?”
Arga terdiam. Ia tahu tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit yang telah ia sebabkan.
“Aku mencintaimu, Nadia,” lanjut Arga akhirnya. “Itu satu-satunya kebenaran yang aku punya.”
Nadia menggeleng, air mata mulai mengalir di pipinya. “Kalau kau mencintaiku, kau tidak akan pernah membuatku merasa seperti ini.”
Ia bangkit dari kursinya, mengambil tasnya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Arga. Tapi satu hal yang aku tahu, aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kebohonganmu.”
Tanpa menunggu jawaban, Nadia meninggalkan toko itu, meninggalkan Arga yang hanya bisa menatap kepergiannya dengan penuh penyesalan.
—
Malam itu, Nadia menangis hingga tertidur. Hatinya terasa kosong, tetapi ia tahu ia telah mengambil langkah yang benar. Luka di hatinya masih terasa perih, tetapi ia mulai menyadari bahwa dirinya lebih kuat daripada yang ia pikirkan.
Dalam diam, Nadia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan rasa sakit ini menguasai hidupnya. Ia akan bangkit, meski itu berarti harus meninggalkan semua kenangan manis bersama Arga.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Nadia tahu bahwa perjalanan untuk melupakan Arga tidak akan mudah. Luka ini tidak hanya meninggalkan bekas, tetapi juga mengubah cara Nadia memandang cinta.
Dan di bawah langit malam yang gelap, Nadia menatap bintang-bintang dengan satu tekad: jika ada kesempatan untuk bangkit, ia akan menemukannya. Bukan untuk Arga, bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri.*
Bab 5: Kebangkitan Nadia
Waktu terus berjalan, membawa Nadia perlahan keluar dari kegelapan yang selama ini menyelimutinya. Meski luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh, Nadia sadar bahwa ia tidak bisa terus terpuruk. Ada hidup yang harus ia jalani, mimpi-mimpi yang harus ia wujudkan, dan kebahagiaan yang harus ia ciptakan sendiri.
Langkah pertama yang Nadia ambil adalah berhenti bekerja di toko buku. Tempat itu menyimpan terlalu banyak kenangan tentang Arga. Setiap sudut, setiap rak, seolah mengingatkan Nadia pada tawa dan perhatian yang pernah ia terima. Jadi, dengan berat hati, ia mengundurkan diri.
Keputusan itu tidak mudah, tetapi Lisa mendukung penuh langkahnya. “Kamu butuh awal yang baru, Nad,” kata Lisa saat mereka berbicara di kafe favorit mereka. “Kamu punya banyak potensi. Jangan biarkan seseorang seperti Arga menghalangi masa depanmu.”
Nadia mengangguk. Ia tahu Lisa benar. Selama ini, ia selalu menempatkan orang lain di atas kebutuhannya sendiri, dan sekarang saatnya ia belajar mencintai dirinya sendiri.
—
Dengan dukungan Lisa, Nadia mulai mencari pekerjaan baru. Ia melamar ke berbagai tempat hingga akhirnya diterima di sebuah penerbit kecil yang sedang berkembang. Nadia ditugaskan sebagai editor junior, pekerjaan yang tidak hanya sesuai dengan passion-nya pada buku tetapi juga memberinya tantangan baru.
Hari-hari di penerbitan membawa angin segar dalam hidup Nadia. Ia bertemu dengan orang-orang baru yang inspiratif dan mulai menemukan kembali rasa percaya dirinya. Meskipun awalnya ia merasa canggung, perlahan Nadia belajar menikmati pekerjaannya. Ia merasa produktif dan, yang terpenting, ia merasa hidup.
Salah satu rekan kerjanya, Fadil, adalah seorang penulis muda yang karyanya sedang naik daun. Fadil adalah pria yang humoris, penuh semangat, dan selalu bisa membuat Nadia tertawa. Mereka sering bekerja bersama untuk mengedit naskah, dan dalam waktu singkat, Fadil menjadi teman yang baik bagi Nadia.
“Jadi, kamu benar-benar suka buku-buku klasik, ya?” tanya Fadil suatu hari saat mereka sedang mengedit naskah di ruang kerja.
Nadia tersenyum tipis. “Iya, aku suka. Buku-buku klasik punya cara unik untuk menyampaikan emosi. Rasanya seperti berbicara langsung dengan jiwa penulisnya.”
Fadil mengangguk. “Aku setuju. Tapi aku lebih suka menulis hal-hal yang sederhana. Kadang, terlalu banyak metafora malah bikin pusing pembaca.”
Mereka berdua tertawa, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Nadia merasa benar-benar nyaman. Tidak ada tekanan, tidak ada kebohongan—hanya percakapan ringan yang membuatnya lupa akan luka di masa lalu.
—
Di luar pekerjaan, Nadia juga mulai meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Ia mencoba hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah ia pikirkan. Nadia bergabung dengan kelas melukis di akhir pekan, mencoba yoga, dan bahkan mulai menulis blog tentang pengalamannya.
Blog itu menjadi tempat Nadia mencurahkan perasaannya, baik tentang cinta, kehilangan, maupun perjalanan menemukan dirinya kembali. Ia menulis tanpa menyebut nama, tetapi tulisannya berhasil menarik perhatian pembaca. Banyak orang yang merasa terinspirasi oleh kisahnya, dan komentar-komentar positif dari pembaca membuat Nadia merasa bahwa ia tidak sendirian.
Salah satu tulisannya yang paling populer adalah tentang belajar mencintai diri sendiri. Dalam tulisan itu, Nadia berbagi tentang bagaimana ia menemukan kekuatan dari rasa sakit yang pernah ia alami. Ia menulis:
“Kadang, hidup memberi kita luka yang terasa mustahil untuk sembuh. Tetapi luka itu, jika kita izinkan, bisa menjadi pintu menuju versi terbaik dari diri kita. Bangkit bukan berarti melupakan, tetapi menerima bahwa kita lebih dari sekadar rasa sakit yang kita alami.”
Tulisannya menjadi viral, dan banyak orang mengirim pesan pribadi untuk mengucapkan terima kasih karena telah berbagi. Bagi Nadia, itu adalah momen yang menguatkan. Ia merasa bahwa rasa sakitnya tidak sia-sia—bahwa melalui kata-katanya, ia bisa membantu orang lain.
—
Sementara itu, Arga mencoba kembali masuk ke dalam hidup Nadia. Pesan-pesan dari Arga masih sesekali muncul di ponselnya, tetapi Nadia tidak pernah membalas. Ia tahu bahwa membiarkan Arga kembali hanya akan membuka luka lamanya.
Lisa, yang selalu berada di sisi Nadia, bangga melihat sahabatnya mulai bangkit. “Aku tahu kamu kuat, Nad,” kata Lisa suatu malam. “Kamu lebih baik tanpa dia.”
Nadia tersenyum. Meski rasa sakit itu masih ada, ia merasa lebih ringan. Ia tahu bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari orang lain, tetapi dari dirinya sendiri.
—
Puncaknya, suatu hari di kantor, Fadil mengundang Nadia untuk menghadiri peluncuran bukunya yang baru. Nadia awalnya ragu, tetapi Fadil meyakinkannya. “Ini hanya acara kecil, Nad. Aku ingin kamu datang karena kamu bagian dari proses ini. Kamu yang membantuku membuat buku ini jadi lebih baik.”
Nadia akhirnya setuju. Malam peluncuran buku itu berlangsung di sebuah kafe kecil yang hangat dan nyaman. Saat Fadil berdiri di depan untuk memberikan pidato, ia menyebut nama Nadia sebagai salah satu orang yang paling berjasa dalam proses penulisan bukunya.
Nadia merasa terharu. Ia tidak pernah berpikir bahwa usahanya dihargai sebesar itu. Dalam momen itu, ia menyadari bahwa ia telah melangkah jauh dari luka yang pernah ia alami.
Saat Fadil mendekatinya setelah acara, ia berkata dengan nada bercanda, “Jadi, bagaimana? Bukunya sudah cukup bagus untuk editor sehebat kamu?”
Nadia tertawa kecil. “Kau melakukan pekerjaan yang luar biasa, Fadil. Aku bangga padamu.”
Fadil tersenyum, menatap Nadia dengan lembut. “Aku juga bangga padamu, Nad. Kau lebih kuat dari yang kau kira.”
—
Malam itu, Nadia pulang dengan hati yang lebih ringan. Di bawah langit malam, ia menatap bintang-bintang dan tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa damai dengan dirinya sendiri.
Perjalanan untuk melupakan Arga mungkin masih panjang, tetapi Nadia tahu ia telah mengambil langkah besar menuju kebahagiaan. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai korban, tetapi sebagai seorang pejuang yang mampu bangkit dari luka terdalam.
Di dalam hati, Nadia berbisik pada dirinya sendiri, “Aku tidak membutuhkan janji manis siapa pun untuk bahagia. Aku cukup dengan diriku sendiri.*
Bab 6: Pertemuan Tak Terduga
Langit sore itu tampak mendung, tetapi Nadia tidak terlalu memikirkannya. Ia baru saja selesai menghadiri rapat bersama tim pemasaran di kantor penerbitan, dan pikirannya dipenuhi ide-ide baru untuk kampanye buku yang akan segera dirilis. Ia merasa hidupnya perlahan kembali terarah, meski sesekali kenangan tentang masa lalu masih berusaha mencuat.
Saat melangkah keluar dari gedung kantor, langkahnya terhenti sejenak di trotoar. Gerimis mulai turun, dan Nadia dengan cepat membuka payung kecil yang selalu ia bawa di dalam tasnya. Ia berjalan menuju halte bus terdekat, berharap bisa sampai di rumah sebelum hujan semakin deras.
Namun, ketika ia sampai di halte, matanya tertuju pada sosok pria yang berdiri sendirian di sana. Sosok itu memunggunginya, tetapi Nadia tidak mungkin salah mengenalinya. Cara pria itu berdiri, lekukan pundaknya, hingga jaket kulit hitam yang dikenakannya—semua itu terlalu akrab.
Arga.
Nadia merasakan dadanya berdegup kencang. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu pria itu lagi, apalagi di tempat yang begitu biasa seperti ini. Sudah berbulan-bulan berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di kafe, dan sejak saat itu, Nadia dengan tegas menutup semua pintu komunikasi. Namun kini, tanpa rencana atau peringatan, pria itu muncul di hadapannya.
Ia berpikir untuk berbalik dan pergi, tetapi langkahnya terasa kaku. Sebelum ia sempat membuat keputusan, Arga berbalik, seolah merasakan kehadirannya.
Wajah Arga tampak terkejut, tetapi hanya sesaat. Kemudian, senyum kecil muncul di bibirnya. “Nadia?”
Nadia terdiam, menggenggam erat gagang payungnya. Ada begitu banyak emosi yang berkecamuk di hatinya—amarah, kebingungan, dan sedikit rasa rindu yang berusaha ia abaikan.
“Arga,” jawabnya singkat, suaranya terdengar lebih dingin dari yang ia maksudkan.
Arga melangkah mendekat, tetapi masih menjaga jarak. “Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Apa kabar?”
Pertanyaan sederhana itu terasa begitu asing. Nadia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Baik,” jawabnya singkat, berusaha tetap tenang.
Hujan mulai turun lebih deras, dan Arga melihat payung kecil yang dipegang Nadia. “Boleh aku berteduh di bawah payungmu? Aku tidak membawa apa-apa.”
Nadia ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Ia membuka payungnya lebih lebar, dan Arga melangkah masuk di sampingnya. Jarak di antara mereka begitu dekat, membuat Nadia bisa mencium aroma khas yang selalu mengingatkannya pada pria itu.
Mereka berjalan bersama tanpa kata-kata, hanya suara hujan yang mengisi keheningan. Nadia merasa canggung, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa.
Akhirnya, Arga yang memecah kesunyian. “Aku mendengar tentang blogmu,” katanya pelan.
Nadia menoleh dengan kaget. “Blogku?”
Arga mengangguk. “Aku membacanya beberapa kali. Tulisanmu… luar biasa, Nadia. Aku bisa merasakan perasaanmu di setiap kata. Kau benar-benar berbakat.”
Nadia tidak tahu harus merasa senang atau marah. Fakta bahwa Arga membaca blognya membuatnya merasa seolah bagian dari dirinya yang paling pribadi telah diintip tanpa izin. “Itu bukan untukmu,” jawabnya tajam.
Arga mengangguk pelan, menatap jalan di depan mereka. “Aku tahu. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku bangga padamu. Kau telah melakukan hal-hal hebat, meski aku tahu aku adalah bagian dari rasa sakit itu.”
Kata-kata itu membuat Nadia terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi ia tahu bahwa ada kebenaran dalam ucapan Arga. Luka yang diberikan Arga telah membawanya ke tempat di mana ia menemukan dirinya sendiri.
Mereka tiba di sebuah kafe kecil di tepi jalan. Arga berhenti dan menunjuk ke dalam. “Mungkin kita bisa berteduh di sini sebentar?” tanyanya.
Nadia ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Ia tidak ingin berjalan lebih jauh bersama Arga dalam keheningan yang aneh ini.
—
Di dalam kafe, mereka duduk di meja kecil dekat jendela. Arga memesan dua cangkir kopi tanpa bertanya apa yang diinginkan Nadia, tetapi ia mengingat bahwa kopi hitam adalah kesukaannya.
“Kenapa kau ada di sini, Arga?” tanya Nadia akhirnya, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Arga menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku sedang bertemu dengan seseorang untuk urusan bisnis. Tapi bertemu denganmu… aku rasa ini lebih dari sekadar kebetulan.”
Nadia mendengus pelan. “Kebetulan atau tidak, aku tidak yakin ada yang perlu dibahas di antara kita.”
Arga menatapnya, matanya penuh penyesalan. “Aku tahu aku telah menyakitimu, Nad. Dan aku tidak berharap kau memaafkanku. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu.”
Nadia terdiam. Kata-kata itu terdengar tulus, tetapi ia tidak tahu apakah ia siap untuk menerimanya.
“Aku sudah melanjutkan hidupku, Arga,” katanya akhirnya. “Dan aku harap kau juga bisa melanjutkan hidupmu.”
Arga tersenyum tipis, meski ada kesedihan yang terlihat di wajahnya. “Aku senang mendengarnya. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan, Nadia. Aku hanya berharap suatu hari nanti, kau bisa memaafkanku.”
Nadia tidak menjawab. Ia menatap keluar jendela, melihat hujan yang mulai mereda.
Saat mereka keluar dari kafe, Arga menatapnya sekali lagi. “Terima kasih karena mau berbicara denganku. Aku harap ini bukan pertemuan terakhir kita.”
Nadia hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia berjalan pergi, meninggalkan Arga di belakangnya.
—
Malam itu, Nadia merenungkan pertemuan mereka. Ada bagian dari dirinya yang merasa lega, tetapi ada juga bagian yang masih terluka. Namun, ia tahu bahwa ia telah berubah. Pertemuan dengan Arga tidak lagi membuatnya goyah seperti dulu.
Dengan hati yang lebih kuat, Nadia berbisik pada dirinya sendiri, “Aku telah bangkit. Dan aku tidak akan membiarkan masa lalu menahanku lagi.*
Bab 6: Pertemuan Tak Terduga
Langit sore itu tampak mendung, tetapi Nadia tidak terlalu memikirkannya. Ia baru saja selesai menghadiri rapat bersama tim pemasaran di kantor penerbitan, dan pikirannya dipenuhi ide-ide baru untuk kampanye buku yang akan segera dirilis. Ia merasa hidupnya perlahan kembali terarah, meski sesekali kenangan tentang masa lalu masih berusaha mencuat.
Saat melangkah keluar dari gedung kantor, langkahnya terhenti sejenak di trotoar. Gerimis mulai turun, dan Nadia dengan cepat membuka payung kecil yang selalu ia bawa di dalam tasnya. Ia berjalan menuju halte bus terdekat, berharap bisa sampai di rumah sebelum hujan semakin deras.
Namun, ketika ia sampai di halte, matanya tertuju pada sosok pria yang berdiri sendirian di sana. Sosok itu memunggunginya, tetapi Nadia tidak mungkin salah mengenalinya. Cara pria itu berdiri, lekukan pundaknya, hingga jaket kulit hitam yang dikenakannya—semua itu terlalu akrab.
Arga.
Nadia merasakan dadanya berdegup kencang. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu pria itu lagi, apalagi di tempat yang begitu biasa seperti ini. Sudah berbulan-bulan berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di kafe, dan sejak saat itu, Nadia dengan tegas menutup semua pintu komunikasi. Namun kini, tanpa rencana atau peringatan, pria itu muncul di hadapannya.
Ia berpikir untuk berbalik dan pergi, tetapi langkahnya terasa kaku. Sebelum ia sempat membuat keputusan, Arga berbalik, seolah merasakan kehadirannya.
Wajah Arga tampak terkejut, tetapi hanya sesaat. Kemudian, senyum kecil muncul di bibirnya. “Nadia?”
Nadia terdiam, menggenggam erat gagang payungnya. Ada begitu banyak emosi yang berkecamuk di hatinya—amarah, kebingungan, dan sedikit rasa rindu yang berusaha ia abaikan.
“Arga,” jawabnya singkat, suaranya terdengar lebih dingin dari yang ia maksudkan.
Arga melangkah mendekat, tetapi masih menjaga jarak. “Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Apa kabar?”
Pertanyaan sederhana itu terasa begitu asing. Nadia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Baik,” jawabnya singkat, berusaha tetap tenang.
Hujan mulai turun lebih deras, dan Arga melihat payung kecil yang dipegang Nadia. “Boleh aku berteduh di bawah payungmu? Aku tidak membawa apa-apa.”
Nadia ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Ia membuka payungnya lebih lebar, dan Arga melangkah masuk di sampingnya. Jarak di antara mereka begitu dekat, membuat Nadia bisa mencium aroma khas yang selalu mengingatkannya pada pria itu.
Mereka berjalan bersama tanpa kata-kata, hanya suara hujan yang mengisi keheningan. Nadia merasa canggung, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa.
Akhirnya, Arga yang memecah kesunyian. “Aku mendengar tentang blogmu,” katanya pelan.
Nadia menoleh dengan kaget. “Blogku?”
Arga mengangguk. “Aku membacanya beberapa kali. Tulisanmu… luar biasa, Nadia. Aku bisa merasakan perasaanmu di setiap kata. Kau benar-benar berbakat.”
Nadia tidak tahu harus merasa senang atau marah. Fakta bahwa Arga membaca blognya membuatnya merasa seolah bagian dari dirinya yang paling pribadi telah diintip tanpa izin. “Itu bukan untukmu,” jawabnya tajam.
Arga mengangguk pelan, menatap jalan di depan mereka. “Aku tahu. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku bangga padamu. Kau telah melakukan hal-hal hebat, meski aku tahu aku adalah bagian dari rasa sakit itu.”
Kata-kata itu membuat Nadia terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi ia tahu bahwa ada kebenaran dalam ucapan Arga. Luka yang diberikan Arga telah membawanya ke tempat di mana ia menemukan dirinya sendiri.
Mereka tiba di sebuah kafe kecil di tepi jalan. Arga berhenti dan menunjuk ke dalam. “Mungkin kita bisa berteduh di sini sebentar?” tanyanya.
Nadia ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Ia tidak ingin berjalan lebih jauh bersama Arga dalam keheningan yang aneh ini.
—
Di dalam kafe, mereka duduk di meja kecil dekat jendela. Arga memesan dua cangkir kopi tanpa bertanya apa yang diinginkan Nadia, tetapi ia mengingat bahwa kopi hitam adalah kesukaannya.
“Kenapa kau ada di sini, Arga?” tanya Nadia akhirnya, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Arga menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku sedang bertemu dengan seseorang untuk urusan bisnis. Tapi bertemu denganmu… aku rasa ini lebih dari sekadar kebetulan.”
Nadia mendengus pelan. “Kebetulan atau tidak, aku tidak yakin ada yang perlu dibahas di antara kita.”
Arga menatapnya, matanya penuh penyesalan. “Aku tahu aku telah menyakitimu, Nad. Dan aku tidak berharap kau memaafkanku. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu.”
Nadia terdiam. Kata-kata itu terdengar tulus, tetapi ia tidak tahu apakah ia siap untuk menerimanya.
“Aku sudah melanjutkan hidupku, Arga,” katanya akhirnya. “Dan aku harap kau juga bisa melanjutkan hidupmu.”
Arga tersenyum tipis, meski ada kesedihan yang terlihat di wajahnya. “Aku senang mendengarnya. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan, Nadia. Aku hanya berharap suatu hari nanti, kau bisa memaafkanku.”
Nadia tidak menjawab. Ia menatap keluar jendela, melihat hujan yang mulai mereda.
Saat mereka keluar dari kafe, Arga menatapnya sekali lagi. “Terima kasih karena mau berbicara denganku. Aku harap ini bukan pertemuan terakhir kita.”
Nadia hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia berjalan pergi, meninggalkan Arga di belakangnya.
—
Malam itu, Nadia merenungkan pertemuan mereka. Ada bagian dari dirinya yang merasa lega, tetapi ada juga bagian yang masih terluka. Namun, ia tahu bahwa ia telah berubah. Pertemuan dengan Arga tidak lagi membuatnya goyah seperti dulu.
Dengan hati yang lebih kuat, Nadia berbisik pada dirinya sendiri, “Aku telah bangkit. Dan aku tidak akan membiarkan masa lalu menahanku lagi.*
Bab 8: Menghancurkan Arga
Setelah pertemuan di gala amal itu, Nadia merasa semakin yakin bahwa Arga tidak pantas hidup dengan damai. Amarahnya terhadap pria itu terus berkobar, menggerogoti dirinya. Ia telah lama memendam rasa sakitnya, tetapi kini ia ingin Arga merasakannya.
Namun, Nadia tahu bahwa untuk melukai Arga, ia harus menggunakan sesuatu yang benar-benar berharga bagi pria itu. Dan dari yang ia lihat malam itu, Kirana jelas merupakan titik lemah Arga. Hubungan mereka tampak sempurna di permukaan, tetapi Nadia yakin di balik semua itu, ada sesuatu yang bisa ia temukan—sebuah celah untuk masuk dan menghancurkan hidup pria itu.
—
Nadia mulai menyusun rencananya dengan hati-hati. Ia menggunakan setiap sumber daya yang ia miliki untuk mencari informasi tentang Arga dan Kirana. Media sosial menjadi senjata utamanya. Dari unggahan Kirana, ia menemukan bahwa wanita itu sangat aktif berbagi momen-momen kebersamaannya dengan Arga, termasuk acara-acara sosial yang mereka hadiri dan rencana masa depan mereka.
Suatu hari, Nadia menemukan sesuatu yang menarik. Kirana sering mengunggah foto dirinya bersama seorang pria lain, seorang pengusaha muda bernama Adrian yang tampaknya cukup dekat dengannya. Meskipun Kirana selalu menyebut Adrian sebagai “teman lama,” Nadia merasa ada sesuatu yang lebih dari itu.
Nadia pun mulai menggali lebih dalam. Ia menemukan bahwa Adrian sering berkomentar di setiap unggahan Kirana, dengan nada yang terasa lebih dari sekadar seorang teman. Nadia tersenyum tipis. Jika ada satu hal yang ia pelajari dari masa lalunya bersama Arga, itu adalah bahwa hubungan yang tampak sempurna sekalipun bisa memiliki rahasia gelap di dalamnya.
—
Langkah selanjutnya adalah mendekati Adrian. Nadia menyusun strategi, memastikan bahwa pertemuan mereka terlihat alami. Ia tahu bahwa Adrian sering menghadiri seminar bisnis di kota, dan Nadia memanfaatkan informasi itu untuk “kebetulan” bertemu dengannya.
Ketika akhirnya mereka bertemu di sebuah seminar, Nadia tampil dengan percaya diri. Ia mengenakan pakaian formal yang anggun dan berbicara dengan cerdas, membuat dirinya terlihat menarik di mata Adrian.
“Adrian, kan?” tanya Nadia dengan senyum ramah ketika mereka sama-sama sedang mengambil minuman di meja katering.
Pria itu menoleh dan tersenyum. “Ya, betul. Dan kamu?”
“Nadia. Aku sering mendengar namamu dari teman-temanku di dunia bisnis,” jawabnya, meskipun itu adalah kebohongan.
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Adrian, yang jelas tertarik pada Nadia, mulai terbuka. Dalam waktu singkat, Nadia berhasil mendapatkan nomor teleponnya dan menjalin hubungan yang lebih dekat.
—
Dalam beberapa minggu, Nadia dan Adrian semakin akrab. Adrian, yang tidak menyadari niat tersembunyi Nadia, mulai menceritakan banyak hal tentang dirinya. Termasuk hubungan dekatnya dengan Kirana.
“Kirana dan aku sudah berteman sejak kecil,” kata Adrian suatu malam saat mereka bertemu di sebuah kafe. “Kami sangat dekat, bahkan dulu keluarga kami sempat bercanda bahwa kami akan menikah.”
Nadia tertawa kecil, meskipun dalam hati ia merasa puas. “Dan sekarang? Kau masih menyimpan perasaan untuknya?” tanyanya dengan nada yang sengaja dibuat ringan.
Adrian terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu. “Kirana adalah wanita yang luar biasa. Tentu saja aku masih peduli padanya. Tapi dia sudah bersama Arga sekarang.”
Mendengar nama itu, Nadia merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Ia mencoba tetap tenang. “Arga? Bagaimana menurutmu tentang dia?”
Adrian mengerutkan kening. “Dia pria yang baik, aku rasa. Tapi kadang aku merasa dia tidak cukup untuk Kirana. Dia terlalu fokus pada kariernya, seolah-olah Kirana hanyalah pelengkap hidupnya.”
Nadia mencatat setiap kata dalam benaknya. Ia tahu ia bisa menggunakan ini untuk memicu keretakan antara Arga dan Kirana.
—
Langkah terakhir Nadia adalah memastikan bahwa Kirana mengetahui kedekatan Adrian dengannya. Ia dengan sengaja mengunggah foto-foto dirinya bersama Adrian di media sosial, dengan keterangan ambigu yang memancing rasa penasaran. Dalam salah satu unggahan, ia menulis:
“Ketika hidup mempertemukanmu dengan seseorang yang memahami dirimu lebih dari siapa pun.”
Tidak butuh waktu lama sebelum Kirana melihat unggahan itu. Seperti yang Nadia duga, Kirana mulai merasa curiga. Ia menghubungi Adrian, menanyakan tentang hubungan mereka. Adrian, yang tidak tahu apa-apa, mencoba meyakinkan Kirana bahwa tidak ada yang terjadi. Tetapi keraguan sudah tertanam di benak Kirana.
Sementara itu, Nadia semakin memperkeruh suasana dengan mengirim pesan anonim kepada Kirana. Pesan itu berisi foto-foto Adrian dan Kirana yang diambil dari media sosial, disertai dengan kalimat:
“Apakah pria ini benar-benar hanya teman? Kadang, yang paling dekat dengan kita adalah yang paling berbahaya.”
Pesan itu berhasil. Kirana mulai mempertanyakan kesetiaan Adrian, dan hubungan mereka menjadi renggang.
—
Di sisi lain, Arga mulai merasa ada sesuatu yang salah. Kirana menjadi lebih dingin terhadapnya, sering kali memulai argumen tanpa alasan jelas. Nadia tersenyum puas setiap kali ia mendengar kabar tentang keretakan kecil itu melalui media sosial atau dari mulut Adrian sendiri.
Namun, Nadia tahu bahwa ini belum cukup. Ia ingin menghancurkan Arga sepenuhnya, membuat pria itu merasakan kehilangan yang pernah ia alami.
Ia mengatur pertemuan terakhir dengan Adrian, memastikan bahwa pertemuan itu terlihat oleh Kirana. Di sebuah restoran mewah, Nadia sengaja menunjukkan sikap mesra dengan Adrian. Dan seperti yang ia harapkan, Kirana datang tanpa diduga.
Kirana berdiri di depan meja mereka, wajahnya penuh amarah dan luka. “Adrian, apa ini?” tanyanya dengan suara bergetar.
Adrian, yang bingung dengan situasi itu, mencoba menjelaskan, tetapi Kirana tidak mendengarkan. Nadia hanya duduk diam, menikmati kekacauan yang ia ciptakan.
Ketika Kirana akhirnya pergi dengan air mata di matanya, Adrian menatap Nadia dengan penuh kekecewaan. “Kau sengaja melakukan ini, bukan?”
Nadia tersenyum tipis. “Aku hanya menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi.”
Adrian pergi, meninggalkan Nadia sendirian di meja. Tetapi ia tidak peduli. Ia tahu bahwa benih kehancuran telah ditanam, dan hanya tinggal menunggu waktu sebelum semuanya runtuh untuk Arga.
—
Malam itu, Nadia pulang dengan perasaan campur aduk. Ada rasa puas, tetapi juga kehampaan yang sulit dijelaskan. Namun, ia menepis perasaan itu. Ia telah memutuskan untuk tidak lagi menjadi korban, dan ini adalah langkah terakhirnya untuk benar-benar membebaskan dirinya dari bayang-bayang Arga.
Namun, di balik kemenangan kecilnya, Nadia mulai bertanya-tanya: apakah balas dendam ini benar-benar membuatnya bahagia? Ataukah ia justru terperangkap dalam lingkaran gelap yang ia ciptakan sendiri.*
Bab 9: Kebenaran Tersembunyi
Pagi itu, udara terasa dingin meski matahari sudah muncul di ufuk timur. Nadia duduk di sofa ruang tamunya, memandangi secangkir teh yang mengepul di atas meja. Ada rasa puas yang samar setelah rencananya berhasil memicu keretakan antara Arga dan Kirana. Namun, kepuasan itu mulai tergantikan oleh rasa gelisah yang tak bisa ia jelaskan.
Di dalam dirinya, ada bisikan kecil yang bertanya: apakah ini semua cukup? Apakah menghancurkan Arga benar-benar menghapus luka di hatinya?
Pikirannya terusik ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Nadia mengernyit, membaca isi pesan itu:
“Kau pikir kau tahu semuanya, Nadia? Temui aku di kafe di Jalan Melati sore ini. Ada sesuatu yang perlu kau dengar.”
Nadia merasa jantungnya berdegup kencang. Siapa pengirim pesan ini? Dan apa maksud dari “kau pikir kau tahu semuanya”? Ia mencoba membalas pesan itu, tetapi tidak ada respons.
Rasa penasaran dan sedikit ketakutan menyelimuti dirinya sepanjang hari. Akhirnya, ketika sore tiba, Nadia memutuskan untuk pergi ke kafe itu. Ada sesuatu dalam pesan itu yang membuatnya merasa ini penting—seperti sebuah jawaban yang telah lama ia cari.
—
Saat Nadia tiba di kafe kecil di Jalan Melati, tempat itu hampir kosong. Hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan laptop mereka. Ia memilih duduk di sudut ruangan, matanya terus mengamati setiap orang yang masuk.
Tak lama kemudian, seorang wanita berjalan masuk. Nadia mengenalinya dari foto-foto di media sosial Kirana. Itu adalah Melati, salah satu sahabat terdekat Kirana. Wanita itu melihat Nadia, lalu berjalan mendekat dengan langkah tenang.
“Nadia, ya?” tanya Melati sambil tersenyum tipis.
Nadia mengangguk, meskipun merasa bingung. “Kau yang mengirim pesan itu?”
Melati duduk di depannya, meletakkan tas di kursi sebelah. “Ya. Aku tahu ini mendadak, tapi aku pikir kau harus tahu sesuatu.”
Nadia menatap wanita itu dengan penuh rasa ingin tahu. “Tahu apa?”
Melati menghela napas panjang, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat. “Tentang Arga. Dan tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian.”
Sekali lagi, nama itu membuat hati Nadia berdebar. “Kalau ini tentang masa lalu, aku rasa aku tidak butuh penjelasan apa-apa lagi.”
“Tapi kau salah,” kata Melati tegas. “Kau hanya tahu sebagian dari kebenaran, Nadia. Kau berhak tahu semuanya.”
—
Melati mulai bercerita, suaranya tenang tetapi penuh emosi. Ia mengungkapkan sesuatu yang Nadia sama sekali tidak duga.
“Tahukah kau, sebelum Arga menjalin hubungan dengan Kirana, dia sebenarnya sudah merencanakan masa depan bersamamu? Arga mencintaimu, Nadia. Dia benar-benar mencintaimu. Tapi ada sesuatu yang terjadi—sesuatu yang memaksanya mengambil keputusan yang salah.”
Nadia terdiam. Perkataannya seperti menusuk langsung ke dalam hatinya. “Apa maksudmu? Dia mengkhianatiku. Dia meninggalkanku untuk Kirana.”
Melati menggeleng. “Itu tidak sesederhana itu. Kirana… dia memanipulasi situasi. Dia tahu tentangmu dan Arga. Dia tahu betapa besar cinta Arga padamu. Tapi Kirana adalah seseorang yang selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, apa pun caranya.”
Nadia mencoba mencerna kata-kata itu. “Jadi kau bilang, Kirana… merebut Arga dariku?”
“Lebih dari itu,” jawab Melati. “Kirana membuat Arga percaya bahwa kau tidak lagi mencintainya. Dia menyebar kebohongan, membuat Arga merasa bahwa kau sudah memiliki orang lain. Dia bahkan menciptakan situasi di mana kau dan Arga tidak bisa lagi saling berbicara. Dan saat Arga rapuh, Kirana ada di sana untuk mengisi kekosongan itu.”
Nadia merasa tubuhnya melemas. Semua yang ia pikir ia ketahui tentang masa lalunya terasa seperti runtuh. “Kenapa Arga tidak pernah mencoba memastikan kebenarannya? Kenapa dia tidak bertanya padaku?”
Melati menundukkan kepala. “Karena Kirana membuatnya percaya bahwa kau tidak akan mau berbicara dengannya. Dia memanipulasi semuanya, Nadia. Dan aku tahu ini karena aku ada di sana. Aku melihat bagaimana dia bermain dengan perasaan Arga. Aku menyesal tidak mengatakan ini lebih awal, tapi aku tahu Kirana akan menghancurkan hidupku jika aku buka suara.”
Nadia menggenggam meja, matanya penuh emosi. “Dan sekarang? Kenapa kau memutuskan untuk memberitahuku sekarang?”
Melati menatapnya dengan mata penuh penyesalan. “Karena aku melihat apa yang kau lakukan. Aku melihat bagaimana kau mencoba menghancurkan hidup Arga. Tapi kau salah menempatkan amarahmu, Nadia. Arga mungkin.*
Bab 10: Akhir yang Tak Terduga
Malam itu, Nadia duduk di meja kerjanya, menatap kosong layar laptop di depannya. Pikirannya terus berkecamuk sejak pertemuan dengan Melati. Ia ingin menolak mempercayai cerita itu, tetapi setiap kata yang Melati ucapkan terasa masuk akal. Semua potongan puzzle yang selama ini tidak pernah cocok tiba-tiba mulai membentuk gambar yang jelas.
Arga tidak sepenuhnya bersalah. Dialah yang selama ini salah memahami semuanya. Nadia merasa dadanya sesak. Ia telah menghabiskan berbulan-bulan menyusun rencana balas dendam, menciptakan luka baru, tanpa benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan tangan gemetar, Nadia membuka ponselnya. Ia mencari kontak Arga, nama itu masih tersimpan di sana meski sudah bertahun-tahun tidak ia hubungi. Beberapa kali ia mengetik pesan, tetapi kemudian menghapusnya lagi. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya?
Akhirnya, ia hanya menulis:
“Kita perlu bicara. Besok pukul 7 malam di kafe tempat kita biasa bertemu dulu. Ini penting.”
—
Keesokan harinya, Nadia tiba lebih awal di kafe itu. Tempat itu masih sama seperti yang ia ingat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara dan lampu-lampu hangat yang menciptakan suasana nyaman. Ia memilih duduk di meja di sudut, tempat favoritnya dulu saat ia dan Arga masih bersama.
Tidak butuh waktu lama sebelum Arga tiba. Pria itu melangkah masuk dengan raut wajah yang sulit dibaca. Ia tampak sedikit gugup, tetapi tetap tenang seperti biasa. Nadia merasa dadanya bergetar saat melihatnya lagi.
Arga berjalan mendekat, lalu duduk di depannya. “Nadia,” katanya pelan. “Apa yang ingin kau bicarakan?”
Nadia menatapnya, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku bertemu Melati kemarin. Dia memberitahuku segalanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara kita.”
Wajah Arga berubah. Ada keterkejutan, tetapi juga kelegaan yang samar. “Jadi… kau tahu sekarang.”
“Ya,” jawab Nadia dengan suara serak. “Tentang Kirana. Tentang bagaimana dia memanipulasimu. Tentang semua kebohongan yang membuat kita terpisah.”
Arga menghela napas panjang, menatap meja di depannya. “Aku ingin menjelaskan semuanya sejak dulu, Nadia. Tapi aku pikir kau tidak ingin mendengar apa pun dariku. Aku merasa seperti semua pintu sudah tertutup.”
“Aku yang salah,” kata Nadia, suaranya bergetar. “Aku terlalu sibuk dengan rasa sakitku, terlalu sibuk menyalahkanmu, hingga aku tidak pernah mencoba mencari tahu kebenarannya. Dan sekarang aku sadar, aku telah menyakiti banyak orang dalam proses ini.”
Arga menatapnya dalam, seolah mencoba membaca isi hatinya. “Apa yang kau lakukan, Nadia?”
Nadia menggigit bibirnya, merasa malu. “Aku mencoba menghancurkanmu, Arga. Aku mendekati Adrian, memanipulasi Kirana, membuat kalian berdua saling curiga. Aku pikir dengan melakukannya, aku akan merasa puas. Tapi kenyataannya… aku justru merasa lebih kosong.”
Ada keheningan yang panjang di antara mereka. Arga tidak langsung menjawab, tetapi Nadia bisa melihat rasa sakit di matanya.
“Kirana,” kata Arga akhirnya, “adalah orang yang membuat kita terpisah. Tapi aku juga salah. Aku tidak cukup kuat untuk melawan kebohongannya. Aku menyerah pada keadaan. Dan untuk itu, aku minta maaf.”
Nadia menunduk, air mata mulai menggenang di matanya. “Aku juga minta maaf, Arga. Aku minta maaf karena membiarkan amarahku menguasai diriku. Aku minta maaf karena melibatkan orang lain dalam rasa sakitku. Dan aku minta maaf karena mencoba menghancurkanmu tanpa benar-benar tahu apa yang terjadi.”
Arga mengangguk pelan. “Aku mengerti, Nadia. Aku juga punya banyak hal yang harus aku perbaiki. Tapi sekarang, aku hanya ingin tahu satu hal.”
Nadia mengangkat kepalanya, menatap Arga dengan mata yang basah. “Apa itu?”
“Apakah kau masih mencintaiku?” tanyanya, suaranya begitu lembut hingga hampir seperti bisikan.
Pertanyaan itu membuat Nadia terdiam. Ia mencoba mencari jawaban di hatinya, tetapi tidak mudah. Perasaan cinta dan amarahnya telah bercampur begitu lama hingga sulit untuk memisahkannya. Namun, saat ia menatap pria di depannya, ia tahu jawabannya.
“Aku tidak tahu,” jawab Nadia jujur. “Bagian dari diriku masih mencintaimu, Arga. Tapi bagian lain… takut untuk percaya lagi.”
Arga mengangguk, menerima jawaban itu tanpa memaksanya. “Aku mengerti. Aku tidak akan memintamu untuk langsung memaafkanku atau mencintaiku lagi. Tapi aku ingin kita memulai kembali, meski hanya sebagai teman. Kita bisa memperbaiki segalanya perlahan, tanpa tekanan.”
Nadia terdiam, mempertimbangkan tawaran itu. Lalu, ia mengangguk pelan. “Baiklah. Kita bisa mencoba.”
—
Beberapa minggu berlalu, dan hubungan mereka perlahan mulai membaik. Arga memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Kirana, setelah mengetahui kebenaran dari Melati. Ia tidak ingin lagi hidup dalam kebohongan. Kirana marah, tetapi ia tidak punya pilihan selain menerima kenyataan.
Nadia, di sisi lain, mulai merasakan beban di hatinya berkurang. Ia belajar memaafkan—bukan hanya Arga, tetapi juga dirinya sendiri. Balas dendam tidak lagi menjadi fokus hidupnya. Ia memilih untuk melanjutkan hidup dengan cara yang lebih damai.
Namun, di tengah proses itu, Arga membuat sebuah pengakuan yang mengejutkan.
“Ada satu hal yang belum kukatakan padamu, Nadia,” katanya suatu malam saat mereka berjalan di taman.
“Apa itu?” tanya Nadia, penasaran.
Arga berhenti, menatapnya dengan serius. “Aku tahu tentang apa yang kau lakukan pada Adrian dan Kirana. Bahkan sebelum kau mengakuinya. Aku tahu sejak awal, tapi aku tidak mengatakan apa-apa karena aku ingin melihat sejauh mana kau akan melangkah.”
Nadia tertegun. “Kau… tahu?”
Arga mengangguk. “Ya. Dan aku membiarkannya, karena aku pikir itu adalah cara bagimu untuk melampiaskan rasa sakitmu. Tapi aku juga ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah membencimu, bahkan saat itu. Aku hanya ingin kau menemukan kedamaian.”
Nadia tidak tahu harus berkata apa. Perasaan malu, marah, dan lega bercampur jadi satu. Tapi akhirnya, ia tersenyum kecil. “Terima kasih, Arga. Untuk segalanya.”
Mereka melanjutkan berjalan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Nadia merasa bahwa ia akhirnya bebas—bebas dari rasa sakit, bebas dari dendam, dan bebas untuk memulai kembali.***
———the and———