Daftar Isi
Bab 1 Awal Janji
Pagi itu, langit kota Jakarta begitu cerah. Hembusan angin pagi yang segar menyapa wajah *Alya*, membuatnya sedikit tersenyum meskipun matanya terasa berat. Hari ini adalah hari yang sangat penting bagi hidupnya, hari yang akan mengubah segalanya.
Di sisi lain, di luar gerbang sekolah, *Rizky* menunggu. Seorang pemuda dengan tubuh tinggi tegap dan wajah yang tampak serius, namun penuh dengan pesona. Dia adalah teman sekelas Alya sejak SMP, namun kedekatan mereka baru terasa semakin kuat saat mereka duduk di bangku SMA. Rizky adalah sosok yang selalu ada di sampingnya, memberikan tawa, dukungan, dan bahkan sedikit kebingungannya dalam beberapa hal. Meski begitu, bagi Alya, Rizky adalah sahabat terbaik yang pernah ia miliki. Tak ada yang bisa mengubah ikatan itu, begitu pikirnya.
Namun, hari ini berbeda.
Alya berjalan perlahan menuju tempat mereka biasa bertemu, sebuah bangku di bawah pohon besar di dekat lapangan sekolah. Suara langkah kakinya bergema di koridor yang hampir kosong, hanya ada beberapa siswa yang berlalu-lalang, tetapi Alya merasa seperti berada dalam dunia yang sunyi. Semuanya terasa begitu berat, seperti ada sesuatu yang menggantung di udara.
Rizky sudah menunggu di sana, berdiri dengan punggung menghadap Alya, seolah enggan untuk menatap matanya. Ada keheningan yang tak biasa di antara mereka berdua. Tidak seperti biasanya, di mana mereka selalu saling bercanda dan tertawa tanpa beban. Hari ini, mereka berdua tahu bahwa mereka akan berbicara tentang hal yang akan mengubah segalanya.
Alya menghampiri Rizky dan duduk di sebelahnya, mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa kosong. “Riz, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Alya pelan, suaranya serak. Dia sudah menduga ini akan datang, tetapi tetap saja perasaan itu datang begitu tiba-tiba, begitu berat.
Rizky menunduk, matanya tertuju pada tangan yang terlipat di atas pahanya. Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, Rizky akhirnya berbicara, “Alya… aku mendapat kesempatan untuk bekerja di luar kota. Mungkin bahkan di luar negeri.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar langit cerah pagi itu. Alya merasa seperti ada sesuatu yang terjatuh di dalam dirinya. Ia menatap Rizky dengan mata yang tak bisa menyembunyikan rasa terkejut. “Apa? Luar negeri? Tapi, bagaimana dengan kita?”
Rizky menggigit bibirnya, jelas terlihat bahwa ini bukan keputusan yang mudah baginya. “Aku… aku harus pergi, Alya. Ini kesempatan yang tidak bisa aku lewatkan. Aku tahu kita sudah merencanakan banyak hal, tapi ini untuk masa depan. Kamu tahu, kan?”
Alya tidak bisa menjawab langsung. Kata-kata Rizky bergema di kepalanya, tetapi hatinya seakan terhenti. Selama ini, mereka selalu berbicara tentang masa depan bersama, tentang impian yang mereka bangun berdua. Tetapi sekarang, masa depan itu terasa jauh, sangat jauh, seperti takdir yang sudah ditentukan oleh sesuatu yang tak bisa mereka ubah.
“Alya,” Rizky melanjutkan, “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku janji. Jarak dan waktu tidak akan mengubah apa yang aku rasakan padamu.”
Alya menatap Rizky dalam-dalam, mencoba mencari ketulusan dalam matanya. Ada sedikit kegelisahan di sana, tapi juga ada keyakinan yang sangat kuat. Janji itu, meskipun terasa seperti ikatan yang tak terlihat, membuat hatinya sedikit tenang. Rizky, yang selama ini selalu ada untuknya, kini berjanji untuk tetap berada di sisinya, meskipun jarak akan memisahkan mereka. Janji itu terdengar sangat nyata, sangat meyakinkan.
Namun, di dalam hatinya, Alya merasa ragu. Akankah janji itu benar-benar bertahan? Apakah hubungan mereka bisa tetap utuh meskipun terpisah oleh jarak yang begitu jauh? Tetapi, dia tidak bisa menolak janji yang sudah terucap. Janji itu adalah bagian dari mereka, bagian dari perjalanan hidup yang sudah mereka jalani bersama.
“Aku percaya padamu, Riz,” Alya akhirnya berkata dengan suara yang lebih rendah, hampir seperti bisikan. “Aku percaya kamu akan tetap ada, meskipun kita terpisah.”
Rizky tersenyum, lalu meraih tangan Alya. “Aku janji, Alya. Kita akan selalu bersama, bahkan jika fisik kita terpisah. Cinta kita akan tetap ada, seperti bintang di langit yang tak pernah padam.”
Alya menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Sebuah janji, sebuah harapan yang terasa begitu besar dan tak terhingga. Namun, Alya juga tahu, janji itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipertahankan. Mungkin mereka bisa tetap berhubungan lewat pesan atau telepon, tetapi bagaimana jika jarak itu mulai mengikis perasaan mereka? Bagaimana jika waktu membuat semuanya berubah?
Mereka berdua duduk dalam keheningan yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawab. Janji itu telah terucap, namun apakah janji itu akan bertahan melawan waktu dan keadaan?
Alya memandang Rizky dengan tatapan penuh keyakinan yang terbalut keraguan. Janji itu sekarang ada di antara mereka, dan Alya tidak tahu apakah itu akan menjadi beban atau menjadi kenyataan yang indah di masa depan.
Hari itu, sebuah janji dibuat. Sebuah janji yang akan mengubah segala hal. Tetapi, seperti setiap janji lainnya, apakah ia akan bertahan atau menghilang seperti kenangan yang terlupakan? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Bab 2 Perpisahan yang Tidak Terduga
Matahari sore menyinari ruang tamu rumah Alya dengan cahaya keemasan. Pemandangan itu seakan memberikan kedamaian yang begitu kontras dengan perasaan yang mengguncang hatinya. Di luar jendela, angin berhembus pelan, namun di dalam hatinya, angin itu terasa begitu kencang, memporak-porandakan setiap perasaan yang telah lama ia pendam.
“Alya, ada yang ingin aku bicarakan,” suara Rizky, sahabat sekaligus lelaki yang telah lama ia cintai, terdengar begitu serius. Alya yang sedang duduk di sofa hanya mengangguk pelan, merasakan sesuatu yang tak biasa dari nada bicara Rizky.
“Kenapa? Ada yang salah?” Alya bertanya, berusaha untuk tetap tenang, meski rasa cemas perlahan merayap. Rizky duduk di hadapannya, wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Ia menatap Alya dengan pandangan yang penuh arti, seakan-akan kata-kata yang akan keluar dari mulutnya bisa mengubah segalanya.
“Alya, aku… aku dapat tawaran kerja di luar negeri. Ini kesempatan yang sangat besar bagiku,” kata Rizky, suara lelaki itu terdengar bergetar, seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah keputusan yang tepat.
Alya terdiam. Jantungnya seolah berhenti berdetak mendengar perkataan itu. Rizky, lelaki yang selama ini selalu ada di sisinya, yang selalu mendampinginya melalui suka dan duka, kini akan pergi jauh. Ke luar negeri, jauh sekali dari kehidupannya yang sudah terbiasa dengan kehadiran Rizky. Namun, ia tidak ingin menunjukkan betapa hancurnya hatinya.
“Tapi… Kenapa sekarang?” Alya berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di matanya. Mereka telah lama berbicara tentang masa depan bersama, tentang mimpi yang mereka rajut berdua. Tapi kali ini, rasanya semua itu hanya tinggal angan-angan. “Kamu baru saja pulang dari perjalanan dinas kemarin. Kenapa sekarang kamu harus pergi lagi?” tanyanya, suaranya hampir tak terdengar.
“Alya, ini kesempatan yang tidak datang dua kali. Aku sudah lama menunggu peluang seperti ini. Kamu tahu betapa sulitnya mencapai posisi ini,” Rizky menjelaskan, mencoba meyakinkan Alya, tapi semakin banyak kata-kata itu keluar, semakin terasa jarak di antara mereka.
Alya merasakan sebuah kekosongan yang perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia tahu betul bagaimana Rizky menginginkan kesuksesan. Sejak dulu, Rizky selalu memiliki ambisi besar untuk maju dalam kariernya. Namun, ia tidak pernah membayangkan bahwa ambisi itu akan membawa Rizky sejauh ini, meninggalkannya begitu saja.
“Lalu, bagaimana dengan kita? Apa yang terjadi dengan semua janji yang kita buat?” tanya Alya dengan suara tercekat. Ia mengingat semua janji yang pernah mereka ucapkan, janji yang penuh harapan, janji yang membuatnya merasa bahwa tak ada yang bisa memisahkan mereka.
“Alya, aku… aku akan selalu ingat janji kita. Tapi, ini bukan berarti aku meninggalkanmu. Aku tetap akan mengusahakan komunikasi kita. Kamu tahu kan, aku akan selalu ada untukmu, walaupun jarak memisahkan kita,” jawab Rizky, mencoba menenangkan hati Alya. Namun, meskipun kata-katanya terdengar penuh harapan, Alya merasakan sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang berubah dalam diri Rizky, sesuatu yang tak bisa ia definisikan.
“Jarak bukan masalah, Rizky. Masalahnya adalah kita tidak bisa lagi seperti dulu. Kamu akan sibuk dengan dunia barumu, dan aku akan semakin merasa kesepian. Bagaimana dengan kita kalau semuanya berubah seperti ini?” Alya berkata dengan suara serak. Air matanya tak dapat dibendung lagi. Ia tidak bisa menahan perasaan sakit yang tiba-tiba datang begitu saja.
Rizky terdiam, seolah tak tahu harus berkata apa. Ia ingin mengatakan sesuatu yang bisa meyakinkan Alya, bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa hubungan mereka tidak akan berubah. Namun, semakin ia mencoba berbicara, semakin ia merasa bahwa kata-kata itu kosong.
“Alya, aku… aku tidak tahu apa yang terjadi nanti. Aku hanya tahu, aku butuh kesempatan ini. Aku butuh waktu untuk mengejar mimpiku,” ujar Rizky pelan. Kali ini, suara Rizky tidak lagi penuh keyakinan, melainkan penuh keraguan.
Alya menatapnya lama, berusaha menyembunyikan rasa sakit di dalam hatinya. Ia tahu, keputusan Rizky bukanlah keputusan yang mudah baginya. Tapi, perasaan yang tumbuh dalam hatinya tidak bisa dibohongi. Rasa kehilangan, rasa ditinggalkan, itu semua mulai menggerogoti setiap inci ruang hatinya.
“Kalau itu yang kamu pilih, Rizky, aku tidak bisa menahanmu. Tapi, aku harap kamu ingat, janji kita dulu. Aku harap kamu ingat, bahwa meskipun kita berjauhan, aku akan selalu ada untukmu,” kata Alya, suara itu seakan mengalir seperti sungai yang tenang, namun dalam, menyimpan luka yang tak terucapkan.
Rizky hanya bisa menundukkan kepala, merasa bersalah. “Alya, aku janji… aku akan kembali. Aku akan menjaga janji kita.”
Tapi Alya tahu, janji itu kini menjadi sesuatu yang semakin jauh, semakin kabur. Seiring berjalannya waktu, janji itu mungkin hanya akan menjadi kenangan yang hilang, terhapus oleh jarak dan waktu.
Alya berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju jendela. Ia menatap langit yang mulai gelap, merasakan perasaan sepi yang tiba-tiba memenuhi ruang hatinya. Rizky, lelaki yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidupnya, akan pergi, dan ia harus belajar untuk merelakan.
Keputusan Rizky memang membawa kebahagiaan baginya, namun bagi Alya, perpisahan itu adalah awal dari sebuah kenangan pahit yang akan selalu menghantui.
Sejak saat itu, janji mereka yang pernah kuat kini terpecah, dan Alya hanya bisa menyaksikan Rizky pergi dengan sejuta harapan yang tak terucapkan.
Bab 3 Cinta yang Tertunda
Alya melangkah keluar dari gedung tempat dia bekerja, menatap langit yang mulai gelap. Udara malam menyentuh kulitnya yang lembut, tetapi hatinya terasa lebih dingin dari apapun yang ada di luar sana. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali dia mendengar suara Rizky. Pesan-pesan singkat yang dulu saling mereka kirimkan kini hanya menjadi kenangan yang tak lagi berarti. Mereka berdua, yang dulunya tak bisa dipisahkan, kini terpisah oleh jarak yang semakin jauh.
Alya mengeluarkan ponselnya, membuka layar, dan menatap gambar profil Rizky yang masih terpasang di aplikasi pesan mereka. Gambar itu diambil saat mereka berlibur bersama di pantai, dengan senyum lebar yang tidak pernah bisa dia lupakan. Namun, sekarang senyum itu terasa seperti bayangan yang hilang. Tidak ada lagi pesan, tidak ada lagi tanya kabar yang biasa Rizky kirimkan setiap malam.
Apakah dia masih ingat aku pikir Alya, sambil menatap ke layar ponselnya, merasakan gelombang kesedihan yang semakin besar. Beberapa bulan yang lalu, saat mereka masih sering berbicara, Alya bisa merasakan ikatan yang kuat antara mereka berdua. Rizky berjanji bahwa mereka akan tetap saling mendukung meski jarak memisahkan mereka. Namun, semakin lama, janjinya mulai terasa kosong. Sementara dia masih bertahan dalam kesepian, Rizky tampaknya sibuk dengan kehidupannya yang baru.
Hari itu, Alya menerima kabar yang membuat hatinya semakin kecewa. Seorang teman lama mengirimkan pesan tentang Rizky, menyebutkan bahwa dia sekarang telah menjalin hubungan dengan seseorang. Teman itu tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada Alya, tetapi dia merasa perlu memberi tahu. “Maaf, Alya. Aku tahu ini pasti akan menyakitkan, tapi aku rasa kamu harus tahu. Rizky… dia bersama seseorang sekarang.”
Alya merasa seluruh dunia tiba-tiba runtuh. Hati yang selama ini bertahan dengan harapan bahwa mereka masih punya kesempatan untuk bersama, kini hancur berkeping-keping. **Kenapa dia tidak pernah memberitahuku?** Kenapa dia memilih untuk diam, sementara aku terus menunggu?**
Beberapa malam setelah mendengar kabar itu, Alya memutuskan untuk pergi ke tempat yang selalu menjadi tempat pelarian mereka berdua. Pantai. Pantai itu adalah tempat di mana mereka pertama kali mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain, di bawah langit malam yang penuh bintang. Di tempat itu, mereka saling berjanji bahwa tak ada jarak yang bisa memisahkan cinta mereka.
Namun, kini, Alya datang sendirian. Tidak ada Rizky yang menemaninya. Dia berdiri di sana, di tepi pantai, merasakan angin laut yang membawa kenangan indah yang kini terasa seperti mimpi. Alya duduk di pasir, memandangi laut yang tak henti-hentinya bergulung. Suara ombak seakan mengingatkannya pada semua janji yang dulu mereka buat. Seiring waktu, semuanya berubah. Dan, seperti ombak itu, kenangan mereka terhempas, meninggalkan jejak yang perlahan hilang.
“Apa yang terjadi, Rizky?” bisik Alya, suaranya hampir tenggelam oleh deburan ombak. “Kenapa kamu meninggalkan aku begitu saja? Kenapa kamu memilih orang lain?”
Perasaan marah dan kecewa mulai meluap. Di tengah kesunyian itu, Alya merasa dirinya seperti orang bodoh yang terus berharap pada janji-janji kosong. Kenapa selama ini dia tetap menunggu, padahal orang yang dia tunggu sudah memilih jalan lain? Perasaan ini begitu menyakitkan, membuatnya merasa ditinggalkan dan dihianati. Bagaimana bisa Rizky begitu saja pergi tanpa penjelasan, tanpa memberikan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka?
“Apa aku tidak cukup baik untukmu?” tanya Alya pada dirinya sendiri. “Apa kita sudah cukup lama bersama untuk kamu berpaling begitu saja?”
Perasaan itu tak bisa dibendung lagi. Cinta yang dulu terasa begitu indah, kini berubah menjadi luka yang dalam. Alya tahu bahwa Rizky sudah berhak memilih jalan hidupnya, tetapi apa yang membuatnya lebih sakit adalah kenyataan bahwa dia tak pernah memberitahunya secara langsung. Mereka berdua telah berbagi banyak hal, namun kini Alya merasa dirinya seperti orang yang tak berarti apa-apa dalam hidup Rizky.
Pulang ke rumah, Alya berusaha untuk tetap tenang. Namun, hatinya terus merasa kosong. Di kamar tidurnya, dia duduk di tepi tempat tidur, memandang foto-foto lama mereka berdua. Semua itu terasa seperti kenangan yang sangat jauh. Kenangan indah yang tak bisa kembali.
Alya tahu, sudah waktunya untuk move on. Tetapi bagaimana bisa dia melepaskan seseorang yang telah begitu lama menjadi bagian dari hidupnya? Cinta mereka telah tertunda oleh waktu dan jarak, dan kini menjadi sesuatu yang tidak bisa digapai lagi. Janji yang dulu mereka buat kini tinggal kenangan yang semakin kabur.
Namun, meskipun hatinya terluka, Alya tahu satu hal: dia harus kuat. Cinta yang tertunda bukan berarti tak ada kesempatan lagi untuk mencintai. Mungkin, saat ini, dia harus memulai perjalanan baru tanpa Rizky. Namun, luka ini akan selalu menjadi bagian dari hidupnya, mengingatkan bahwa tak semua janji bisa dipenuhi, dan tak semua cinta bisa berakhir bahagia.
Alya menatap langit malam dari jendela kamarnya, merenung. Kadang, hidup memang memberi jalan yang berbeda dari yang kita inginkan. Tapi, mungkin itulah yang terbaik.
Bab 4 Dendam yang Tumbuh
Alya duduk di sudut kafe, memandangi cangkir kopi yang sudah hampir habis. Pikirannya masih terjebak pada pertemuan beberapa hari yang lalu dengan Rizky. Suara ramai kafe di sekitarnya tidak mampu mengusir sunyi yang menyelubungi hati Alya. Semua terasa hampa, seolah dunia ini berputar tanpa meninggalkan jejak apapun untuknya.
Pertemuan itu, yang seharusnya menjadi momen yang penuh kebahagiaan setelah berbulan-bulan tak bertemu, malah berakhir dengan perasaan yang jauh lebih gelap. Rizky datang dengan senyum manisnya, seperti dulu. Namun, sesuatu di matanya, yang dulu penuh dengan cinta, kini hanya menyisakan keraguan. Alya tahu, ada yang berubah. Ada yang hilang dalam diri Rizky.
“Alya, aku…” Rizky memulai, suara lembutnya memecah keheningan. Namun, sebelum kata-kata itu sempat keluar sepenuhnya, Alya sudah tahu apa yang akan dia katakan. “Aku sudah bertemu dengan seseorang.” Kata-kata itu terucap begitu ringan, namun bagi Alya, itu bagaikan pukulan keras yang langsung menghantam hatinya.
Rizky, lelaki yang pernah berjanji untuk tidak pernah meninggalkannya, ternyata telah menemukan pengganti. Mungkin tidak ada yang salah dengan hal itu. Cinta memang bisa datang dan pergi. Namun, bagi Alya, ini adalah sebuah pengkhianatan besar. Tidak hanya karena Rizky telah menjalin hubungan dengan orang lain, tetapi juga karena dia merasa dikhianati oleh sebuah janji yang dulu begitu sakral di mata mereka.
Alya tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa marah. Marah pada dirinya sendiri karena terlalu berharap, dan marah pada Rizky yang telah mengabaikan janji yang pernah mereka buat bersama. Dulu, ketika mereka masih remaja, mereka pernah berjanji untuk saling menjaga, tidak peduli apa yang terjadi. Tapi kini, janji itu terasa seperti angin yang sudah berlalu begitu saja.
Hari-hari setelah pertemuan itu semakin membuatnya tenggelam dalam kemarahan.
Alya mencoba untuk mengalihkan perasaan itu, namun bayangan Rizky dan kebohongannya terus menghantuinya. Setiap kali dia mengingat senyum Rizky yang dulu begitu tulus, kini hanya ada rasa sakit yang semakin dalam. Alya berusaha keras untuk tetap tegar, untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya hatinya. Tetapi, bagaimana bisa dia melupakan semua kenangan indah mereka yang kini berubah menjadi kenangan pahit?
Dia merasakan api dendam mulai menyala dalam dirinya. Tidak hanya dendam karena perasaan terkhianati, tetapi juga karena dia merasa Rizky telah memainkannya. Bagaimana bisa seseorang yang begitu dekat denganmu, yang pernah berjanji untuk selalu ada, berubah begitu cepat? Alya merasa marah karena dia merasa telah dijadikan pilihan terakhir setelah segala sesuatu yang ada dalam hidup Rizky.
Di tengah kemarahannya, Alya mulai merencanakan sesuatu.
Rencana balas dendam. Mungkin ini terdengar berlebihan, tetapi rasa sakit yang ia rasakan begitu mendalam, hingga membuatnya berpikir untuk membuat Rizky merasakan apa yang ia rasakan. Dia ingin Rizky tahu bahwa dia tidak bisa begitu saja pergi tanpa konsekuensi. Bukan hanya untuk membuat Rizky menyesal, tetapi juga untuk mendapatkan kembali sedikit kendali atas hidupnya yang terasa hancur.
“Aku akan menunjukkan padanya, aku bisa hidup tanpa dia,” pikir Alya dalam hati.
Setiap kali mengenang pertemuannya dengan Rizky, kebencian itu semakin tumbuh. Alya merasa bahwa dia tidak bisa lagi memaafkan Rizky begitu saja. Dalam pikirannya, dia terus bertanya, *Apa yang membuat Rizky begitu mudahnya meninggalkan semua yang pernah mereka miliki?* Apa yang membuatnya begitu percaya diri untuk mengabaikan perasaan Alya, yang selama ini begitu tulus?
Namun, di balik semua kemarahan dan dendam yang tumbuh, ada perasaan yang lebih dalam lagi. Alya sadar, meskipun dia begitu marah pada Rizky, dia masih belum bisa sepenuhnya membencinya. Ada perasaan cinta yang masih tersisa, meski jauh di dalam hatinya yang terluka. Tetapi, perasaan itu seolah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia merindukan Rizky, ingin segala sesuatunya kembali seperti dulu, namun di sisi lain, ia merasa terperangkap dalam rasa sakit yang tak bisa ia ubah.
Setiap langkah yang Alya ambil setelah itu, terasa penuh dengan kekosongan.
Dia mulai menarik diri dari teman-temannya. Tidak ada lagi tawa dan kebahagiaan yang dulu bisa ia rasakan saat berada di sekitar orang-orang terdekatnya. Semua terasa hampa, seolah hidupnya berhenti di titik pertemuan itu, saat dia mendengar kata-kata Rizky yang mengubah segalanya. Alya tidak tahu apakah ini adalah bentuk perlindungannya dari rasa sakit, atau apakah dia hanya sedang memupuk rasa dendam yang semakin membesar.
Tapi satu hal yang pasti, dendamnya tidak akan bisa hilang dengan mudah. Meskipun ia berusaha keras untuk melupakan Rizky, wajahnya tetap terbayang di setiap langkah yang ia ambil. Setiap kali malam datang, Alya merasakan kesepian yang lebih dalam dari sebelumnya. Semua kenangan manis yang dulu mereka bagi kini berubah menjadi beban yang semakin sulit untuk dibawa.
Dendam ini bukan hanya tentang balas dendam pada Rizky, tetapi juga tentang dirinya sendiri.
Alya merasa telah dikhianati oleh orang yang paling dia percayai. Tetapi, yang lebih menyakitkan lagi adalah kenyataan bahwa dia sendiri yang membiarkan dirinya terluka. Dendam yang tumbuh dalam dirinya bukan hanya untuk Rizky, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Untuk setiap keputusan yang ia buat, untuk setiap harapan yang ia tanamkan, dan untuk setiap rasa sakit yang ia sembunyikan dalam hati.
Alya tahu, dendam ini mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang. Mungkin itu akan menjadi bagian dari dirinya selamanya. Namun, satu hal yang pasti, dia tidak akan lagi menjadi perempuan yang mudah dikhianati.
Bab 5 Jejak Kenangan
Alya duduk di tepi jendela kamar tidurnya, menatap luar tanpa melihat apa pun secara jelas. Hujan deras mengguyur kota, suara rintiknya mengiringi kebisuan yang menutupi hatinya. Cawan teh hangat yang sudah hampir dingin di tangannya tidak menarik perhatiannya. Pikiran Alya terseret kembali pada masa-masa ketika semuanya terasa lebih mudah. Ketika janji itu masih kuat, ketika Rizky ada di sana, dan dunia seakan hanya berputar di sekitar mereka.
Tapi itu semua hanya kenangan. Kenangan yang semakin kabur dengan waktu.
Sudah beberapa kali dia mencoba mengabaikan perasaan ini, mencoba untuk tidak memikirkan Rizky, mencoba untuk tidak mengingat setiap detail yang dulu mereka bagi bersama. Tapi setiap kali dia menutup mata, gambar wajah Rizky muncul dengan jelas—senyuman hangatnya, suara tawa khasnya, dan bagaimana dia selalu ada ketika Alya merasa dunia ini terlalu berat. Namun, kenangan itu kini terasa seperti bayangan, kabur dan penuh dengan kepahitan.
Kenangan yang paling membekas di ingatannya adalah saat-saat terakhir mereka bersama. Ketika Rizky memutuskan untuk meninggalkan kota ini, meninggalkan Alya dengan segala harapan dan janji yang tak terucapkan. Janji yang telah mereka buat sejak lama, bahwa mereka tidak akan pernah terpisah, tidak peduli seberapa jauh pun jarak memisahkan. Tetapi apa yang terjadi setelah itu? Justru yang ada adalah kekosongan. Jarak yang dulu mereka anggap sebagai tantangan kini menjadi jurang yang dalam, memisahkan mereka lebih jauh dari yang mereka bayangkan.
Setelah kepergian Rizky, komunikasi mereka menjadi semakin jarang. Pesan-pesan singkat yang dulunya begitu berarti, kini hanya menjadi ritual kosong. Tidak ada lagi kata-kata hangat, tidak ada lagi obrolan ringan tentang mimpi-mimpi yang mereka miliki. Yang ada hanya hampa. Alya merasakan perubahan yang tidak bisa dia jelaskan, perubahan yang semakin jauh membuatnya terpuruk dalam kesendirian.
Alya menghela napas panjang. Bagaimana bisa dia begitu bodoh untuk menganggap semuanya akan baik-baik saja? Kenapa dia begitu percaya pada janji itu, pada kata-kata Rizky yang terdengar begitu meyakinkan? Mungkin karena cinta membuatnya buta. Cinta yang tulus dan tanpa syarat, yang membuatnya rela menunggu, menahan segala kerinduan dan kesedihan hanya untuk menjaga janji itu tetap hidup.
Namun kenyataan berbicara lain. Pada suatu sore, tanpa pemberitahuan lebih dahulu, Alya mengetahui bahwa Rizky telah menjalin hubungan dengan seseorang di kota tempatnya tinggal. Tak ada penjelasan, tak ada alasan yang bisa membenarkan perasaan yang kini melanda hatinya. Apa yang terjadi dengan janji itu? Apa yang terjadi dengan semua yang mereka bangun bersama? Alya merasa seperti sebuah patah hati yang dihantam oleh badai yang datang begitu tiba-tiba.
Di saat-saat itulah, perasaan dendam mulai tumbuh dalam dirinya. Dendam yang pertama kali hanya berupa sedikit kekecewaan, tetapi lambat laun, itu menjadi sebuah kebencian yang membara. Mengapa Rizky bisa begitu mudahnya melupakan mereka, melupakan janji yang telah dibuat? Mengapa dia bisa menjalin hubungan dengan orang lain tanpa merasa bersalah? Alya merasa dipermainkan, dan dendam itu mulai berakar kuat di hatinya.
Alya tidak bisa lagi melihat Rizky sebagai sosok yang pernah dia cintai. Yang ada hanyalah bayangan dari seseorang yang telah mengkhianatinya. Dia menghindari pertemuan dengannya, berusaha untuk tidak menunjukkan bahwa dia masih peduli. Setiap kali mereka berpapasan, Alya hanya bisa berpura-pura bahwa dia baik-baik saja. Tapi sebenarnya, hatinya hancur. Kenangan itu terus menghantuinya, mengingatkan pada setiap momen kebersamaan yang dulu begitu indah, yang kini terasa begitu jauh.
Pada malam-malam tertentu, Alya terbangun dengan perasaan sesak di dadanya. Begitu banyak kenangan yang datang dengan tiba-tiba, mengingatkannya pada janji yang telah berubah menjadi kenangan. Kenangan itu kini menyakitkan. Setiap kata, setiap detil tentang Rizky, berputar dalam pikirannya tanpa bisa dihentikan. Alya merasa terjebak dalam labirin kenangan yang tak kunjung berakhir. Dia ingin melupakan, tapi kenangan itu selalu kembali, seolah-olah menari-nari di hadapannya, membuatnya tak bisa berpaling.
Namun di sisi lain, ada keraguan yang datang bersama dendam ini. Alya tahu, di dalam hatinya, ada bagian dari dirinya yang masih mencintai Rizky. Bagian itu mencoba untuk mengabaikan semua rasa sakit dan membiarkan dirinya kembali membuka hati. Tetapi ego dan rasa terluka menghalangi semua kemungkinan itu. Dia tidak bisa membiarkan dirinya jatuh ke dalam perangkap yang sama lagi. Dia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi lemah hanya karena kenangan yang telah dibangun bersama Rizky.
“Kenapa harus begitu?” Alya bertanya pada dirinya sendiri, meski tidak ada yang bisa menjawab. “Kenapa janji yang begitu indah bisa berubah jadi kenangan yang menyakitkan?”
Dia tahu, jawaban itu tidak akan pernah ada. Janji itu telah hancur, dan kenangan itu kini menjadi beban yang harus dia pikul. Alya memilih untuk melangkah maju, walaupun setiap langkah terasa berat. Kenangan bersama Rizky akan tetap ada, tetapi dia harus belajar untuk tidak terjebak di dalamnya. Karena kadang, dalam hidup, kita harus belajar untuk melepaskan apa yang telah hilang, meski itu adalah sesuatu yang sangat berharga.
Seiring berjalannya waktu, Alya mulai menerima kenyataan bahwa cinta dan dendam adalah dua sisi yang tak terpisahkan. Dan meski kenangan itu masih membekas dalam hatinya, dia tahu bahwa hidup harus terus berjalan.
Bab 6 Pencarian Maaf
Hujan turun dengan derasnya, menyapu jalanan kota yang kosong. Dalam keheningan malam itu, suara rintik air yang jatuh dari atap gedung-gedung tinggi terdengar seperti alunan melankolis yang menyentuh relung hati. Di tengah kota yang ramai namun terasa sepi, Alya duduk di sudut kafe, menatap keluar dengan tatapan kosong. Hujan seolah mencerminkan perasaannya—sebuah perasaan yang terus dihantui oleh kenangan lama.
Sejak pertemuannya dengan Rizky beberapa minggu yang lalu, Alya merasa hidupnya seperti dipenuhi oleh keraguan. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan, atau apakah ia masih bisa menginginkannya. Dendam dan cinta seakan menjadi dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Kenangan tentang Rizky—tentang janji mereka yang dulu terasa begitu nyata, begitu kuat—kini terasa seperti bayangan yang perlahan memudar.
“Alya…” Suara itu, lembut namun penuh harap, menggetarkan hatinya. Alya menoleh, dan di sana berdiri Rizky, basah kuyup dengan jaket yang kini menempel di tubuhnya. Tidak ada lagi senyum hangat yang dulu selalu menghiasi wajahnya. Wajahnya kini tampak lebih tua, lebih lelah, seolah seiring berjalannya waktu, dirinya juga kehilangan sesuatu yang berharga.
“Kenapa kamu datang?” Alya bertanya, suaranya terdengar kaku, tak sehangat dulu. Ia ingin mengucapkan kata-kata yang lebih tajam, yang lebih keras, tetapi sesuatu menahannya. Perasaan yang aneh, antara dendam dan kerinduan, berperang di dalam dadanya.
Rizky menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum melangkah mendekat. “Aku tahu kamu marah, dan aku juga tahu aku tidak pantas meminta maaf. Tapi, Alya, aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku ingin mengakui semua yang telah kulakukan, dan aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal.”
Alya menatapnya, matanya yang lelah penuh dengan tanda tanya. “Menyesal? Setelah semua yang kamu lakukan? Setelah kamu pergi tanpa sepatah kata pun, setelah kamu mengkhianati janji yang telah kita buat bersama? Kamu merasa menyesal?”
Rizky terdiam, kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang ia bayangkan. Ia tahu bahwa permintaan maafnya tidak akan mudah diterima, dan bahwa rasa sakit yang telah ditimbulkan tidak bisa begitu saja hilang dengan kata-kata. Namun, dia tidak bisa terus menghindar dari kenyataan ini. “Aku tahu, Alya. Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku meninggalkanmu tanpa penjelasan yang pantas, dan aku tidak memberi tahu kamu apa yang sebenarnya terjadi. Aku berpikir bahwa aku bisa melarikan diri dari semuanya, tapi aku tak bisa. Aku selalu berpikir tentangmu, tentang kita. Aku selalu merasa kesepian, bahkan ketika aku mencoba membangun kehidupan baru. Aku hanya… tidak tahu harus bagaimana.”
Alya merasa dadanya sesak. Ia ingin menangis, tetapi air mata itu sudah lama terkunci. Apa yang ada di hadapannya sekarang adalah pria yang dulu ia cintai, tetapi yang juga telah mengkhianati dan meninggalkannya begitu saja. Perasaan itu, yang dulu begitu hidup, kini terasa seperti kenangan yang sudah mulai pudar. “Lalu, kenapa sekarang? Kenapa baru sekarang kamu ingin meminta maaf?” Suara Alya hampir pecah, dan ia berusaha untuk menahan emosi yang ingin meledak. “Kenapa setelah semuanya terlambat? Setelah aku belajar untuk hidup tanpa kamu?”
Rizky menunduk, merasa malu. “Aku tidak bisa menjelaskan semuanya dengan kata-kata, Alya. Aku salah, dan aku tahu tidak ada kata-kata yang bisa mengubah semuanya. Aku hanya ingin kamu tahu, aku menyesal… sangat menyesal.”
Alya terdiam, menatap Rizky dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada banyak perasaan yang bergejolak di dalam dirinya—marah, kecewa, rindu, dan juga sebuah keinginan untuk melepaskan semua beban itu. Namun, janji yang pernah mereka buat bersama, sebuah janji yang kini hanya tersisa dalam kenangan, terus menghantuinya. Dendam itu begitu besar, tetapi rasa cinta yang pernah ada juga tidak bisa begitu saja dihapus.
“Kenapa kamu datang, Rizky?” akhirnya Alya bertanya, suaranya lebih lembut, namun penuh makna. “Apakah kamu benar-benar ingin memaafkan dirimu sendiri? Atau kamu hanya ingin aku yang menghapuskan semuanya? Menyapu bersih semua kenangan itu agar kamu bisa melanjutkan hidupmu tanpa merasa bersalah?”
Rizky terdiam, tak bisa menjawab dengan tegas. Semua kata-kata yang pernah ia pelajari tentang bagaimana meminta maaf terasa tidak cukup untuk menjelaskan apa yang dia rasakan. “Aku tidak tahu, Alya. Aku hanya tahu bahwa aku tidak bisa hidup dengan perasaan ini. Aku ingin kamu tahu bahwa aku bersalah, dan aku ingin mencoba memperbaikinya. Jika kamu tidak bisa memaafkanku, aku mengerti. Tapi aku tidak bisa terus menjalani hidup ini dengan rasa bersalah yang terus menghantuiku.”
Alya menatapnya lama, mencari jawaban dalam matanya. Dalam hening yang panjang itu, ia merasa dirinya terombang-ambing. Rasa sakit yang telah lama tertahan, rasa cinta yang tak pernah benar-benar hilang, dan rasa dendam yang tak mudah dihapus. “Rizky, aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali seperti dulu. Janji yang pernah kita buat itu… sudah berubah menjadi kenangan, dan kenangan itu terlalu sulit untuk dilupakan.”
Rizky merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu. Namun, dia tahu bahwa dia tidak bisa memaksa Alya untuk segera memaafkannya. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu—menunggu untuk melihat apakah waktu bisa memperbaiki semuanya. “Aku tidak berharap kita bisa kembali seperti dulu, Alya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Itu saja.”
Alya menunduk, dan dalam diamnya, dia merasa ada sesuatu yang mulai mengalir dalam hatinya. Sebuah perasaan yang halus, namun nyata. Mungkin, maaf tidak bisa datang dalam waktu singkat. Mungkin, ia tidak bisa langsung melupakan semua yang telah terjadi. Namun, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa sedikit lebih ringan. Tidak karena dia memaafkan Rizky, tetapi karena dia akhirnya bisa berbicara tentang rasa sakit itu dengan jujur.
Dengan perlahan, Alya mengangkat kepalanya dan menatap Rizky. “Aku akan mencoba, Rizky. Tidak tahu kapan, tapi aku akan mencoba untuk melepaskan semuanya. Tidak untuk kamu, tapi untuk diriku sendiri.”
Rizky tersenyum, meskipun hatinya masih penuh penyesalan. “Terima kasih, Alya.”
Dan malam itu, di tengah hujan yang masih terus mengguyur, mereka berdua duduk dalam keheningan, masing-masing berjuang dengan perasaan mereka, menunggu waktu yang akan menentukan apakah mereka bisa menemukan kedamaian di tengah kenangan yang telah lama terlupakan.
Alya menunduk, memandangi cangkir kopi yang telah lama dingin di hadapannya. Setiap tetes hujan yang jatuh di jendela seperti mengingatkan pada setiap detik yang telah berlalu—setiap harapan yang dulu ada kini perlahan terkubur. “Aku bukan tanpa rasa,” lanjut Alya, suaranya kini lebih lembut, namun tetap penuh ketegasan. “Aku hanya butuh waktu. Aku butuh waktu untuk benar-benar memahami diriku, untuk melihat apakah aku bisa menerima semuanya yang sudah terjadi.”
Rizky mengangguk, meskipun hatinya terasa seperti dipenuhi batu berat. Ia tahu bahwa memaafkan bukanlah hal yang mudah, bahkan mungkin tidak akan pernah terjadi, tapi setidaknya ada secercah harapan. “Aku akan menunggumu, Alya,” ujarnya, dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku tidak akan pergi lagi.”
Alya menatapnya untuk beberapa detik, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja diucapkannya. Mungkin, hanya mungkin, ada harapan bagi keduanya untuk berdamai dengan masa lalu mereka. Namun untuk saat ini, ia hanya bisa duduk di sini, dengan kenangan yang terus menghantui, menunggu untuk melepaskan semuanya.