Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

JANJI CINTA DI TAMAN BUNGA

JANJI CINTA DI TAMAN BUNGA

SAME KADE by SAME KADE
February 18, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 25 mins read
JANJI CINTA DI TAMAN BUNGA

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
  • Bab 2: Bunga yang Menyimpan Cerita
  • Bab 3: Tumbuhnya Perasaan
  • Bab 4: Cinta yang Belum Terungkap
  • Bab 5: Janji Cinta di Taman Bunga
  • Bab 6: Rintangan yang Menguji Cinta
  • Bab 7: Cinta yang Abadi

Bab 1: Pertemuan Tak Terduga

Diva melangkah dengan pelan di sepanjang jalan setapak yang membelah taman bunga yang luas. Setiap langkahnya terasa ringan, namun hatinya seberat batu. Dia baru saja melewati hari-hari penuh kekhawatiran dan kebingungan, merasa seperti terperangkap dalam rutinitas hidup yang semakin mengikis semangatnya. Taman bunga ini adalah tempat pelariannya, tempat di mana ia bisa merasakan kedamaian dan sejenak melupakan masalah yang selalu mengikutinya.

Udara segar yang dihembuskan angin sore membuatnya sedikit lebih tenang, dan warna-warni bunga yang bermekaran seolah memberi harapan baru dalam hati yang lelah. Diva sering datang ke taman ini setiap kali ia merasa terhimpit oleh dunia. Di sini, ia bisa duduk sendiri, merenung, dan mencoba menenangkan pikiran yang selalu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan.

Hari itu, taman bunga terasa lebih sepi dari biasanya. Mungkin karena hujan yang baru saja reda, atau mungkin karena angin yang agak kencang, membuat banyak orang memilih untuk pulang lebih awal. Diva berjalan lebih jauh, menuju bagian taman yang lebih sunyi, tempat di mana hanya ada suara gemericik air dari kolam kecil dan kicauan burung yang sesekali terdengar.

Saat Diva sampai di sebuah bangku taman yang terletak di bawah pohon besar, ia berhenti. Ia duduk, meletakkan tas di sampingnya, dan menghela napas panjang. Matahari sore memancarkan sinar keemasan, memberikan sentuhan hangat pada wajahnya yang terasa lelah. Diva menutup matanya sejenak, menikmati keheningan yang langka itu, berharap sejenak bisa merasakan ketenangan yang ia butuhkan.

Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Diva membuka matanya dan melihat seorang pria yang sedang berjalan cepat menuju bangku taman tempatnya duduk. Pria itu mengenakan jaket biru gelap dan celana jeans yang sudah sedikit lusuh, tampak seperti orang yang terburu-buru. Dia melangkah tanpa memperhatikan siapa pun di sekitarnya, fokus pada tujuan yang ada di depan matanya.

Sebelum Diva sempat mengalihkan pandangan, pria itu sudah berdiri tepat di hadapannya. “Maaf, apakah saya boleh duduk di sini?” tanya pria itu dengan suara yang agak gugup, namun tidak terkesan mengganggu. Diva terkejut, karena tak ada tanda-tanda sebelumnya bahwa seseorang akan datang begitu dekat dengannya.

Diva mengangkat alis, sedikit bingung. “Tentu saja,” jawabnya, sambil memberi ruang agar pria itu bisa duduk di bangku yang sama. Meskipun taman itu luas dan ada banyak bangku kosong lainnya, pria itu memilih untuk duduk di samping Diva. Mungkin dia hanya butuh teman untuk berbicara, pikir Diva. Mungkin ini adalah takdir yang membawanya ke sini.

Pria itu duduk, menundukkan kepalanya sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. Diva merasa ada sesuatu yang berbeda pada pria ini. Ia bukan tipe orang yang suka berbicara dengan orang asing, namun entah kenapa, suasana di taman sore itu membuatnya merasa lebih terbuka.

“Terima kasih,” kata pria itu setelah beberapa detik keheningan, menatap Diva dengan mata yang agak lelah namun tulus. “Sepertinya saya sedang membutuhkan udara segar.”

Diva tersenyum samar, sedikit terkejut dengan kata-katanya yang begitu jujur. “Saya juga. Terkadang taman ini menjadi tempat yang tepat untuk menenangkan pikiran,” jawabnya, tidak tahu harus mulai dari mana.

Pria itu menoleh ke arah Diva dan mengangguk, wajahnya terlihat lebih rileks. “Sepertinya kita berdua sedang mencari ketenangan, ya?”

Diva hanya mengangguk, dan sesaat kemudian mereka berdua terdiam lagi, menikmati suasana yang tenang di sekitar mereka. Namun, Diva merasakan ada ketidaknyamanan yang aneh, seolah-olah pertemuan mereka bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuatnya merasa lebih hidup, meskipun mereka baru saja bertemu.

“Nama saya Raka,” pria itu berkata setelah beberapa saat, menatap Diva dengan senyum tipis. “Raka, dan kamu?”

Diva tersentak, sedikit terkejut karena pria itu mulai membuka percakapan. “Diva,” jawabnya singkat, merasa sedikit canggung. Biasanya, ia lebih suka berada sendiri, menikmati waktu sendirian, tetapi entah kenapa, ada rasa ingin mengenal pria ini lebih jauh.

“Senang bertemu denganmu, Diva,” kata Raka, masih dengan senyum tipis yang menawan. “Jadi, apa yang membuatmu datang ke sini?”

Diva terdiam sejenak, merenung. Apa yang membuatnya datang ke sini? Bukankah jawabannya sudah jelas? Namun, ketika ia mulai berbicara, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.

“Seperti yang kamu bilang tadi, aku datang untuk menenangkan diri. Kadang hidup ini terlalu berat untuk dipikul sendirian. Terkadang kita butuh tempat untuk sejenak melepaskan beban.”

Raka mendengarkan dengan seksama, matanya penuh perhatian. “Aku mengerti. Hidup memang tidak selalu mudah. Tapi kita tidak pernah tahu, terkadang jawaban atas masalah kita bisa datang dari tempat yang tidak kita duga, bahkan dari percakapan singkat dengan orang asing seperti sekarang ini.”

Diva terdiam sejenak, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Raka berbicara. Kata-katanya terasa dalam dan mengena. Mungkin ia benar, pikir Diva. Mungkin mereka memang bertemu untuk suatu alasan.

Percakapan mereka mengalir dengan lancar setelah itu, berputar dari topik ringan hingga topik yang lebih dalam. Diva merasa semakin nyaman berada di dekat Raka, meskipun ia tidak sepenuhnya mengenalnya. Ada ketulusan dalam diri pria ini yang membuatnya merasa dihargai, sesuatu yang jarang ia rasakan.

Saat matahari mulai terbenam, mereka berdiri dan bersiap untuk berpisah. “Aku senang bisa berbicara denganmu, Diva. Mungkin kita bisa bertemu lagi di sini,” kata Raka dengan senyum yang lebih lebar.

Diva tersenyum, merasa sedikit canggung namun senang. “Tentu, aku juga senang bisa berbicara denganmu, Raka.”

Saat Raka mulai berjalan menjauh, Diva berdiri di tempatnya, matanya mengikuti sosok Raka yang semakin jauh. Hatinya terasa lebih ringan, seolah pertemuan tak terduga ini telah membawa sesuatu yang baru dalam hidupnya. Mungkin inilah awal dari sesuatu yang lebih, pikir Diva. Mungkin takdir sudah menuntunnya ke taman bunga ini, bukan hanya untuk menenangkan diri, tetapi untuk bertemu dengan seseorang yang akan mengubah hidupnya.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Diva merasa ada harapan yang tumbuh dalam hatinya.*

Bab 2: Bunga yang Menyimpan Cerita

Sejak pertemuan tak terduga itu, Diva mulai mengunjungi taman bunga lebih sering, meskipun tanpa tujuan lain selain untuk merasakan ketenangan yang selalu ia dapatkan dari tempat itu. Hari demi hari, taman bunga itu seolah menjadi bagian dari rutinitasnya yang baru, tempat di mana ia merasa bisa melupakan semua beban dan kebingungannya. Namun, satu hal yang berbeda: Raka, pria yang pertama kali ia temui di bangku taman, seakan-akan menjadi alasan baginya untuk kembali.

Mereka tidak sering berjumpa, tetapi setiap kali bertemu, percakapan mereka selalu mengalir dengan begitu natural, seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Terkadang Raka datang pada sore hari, duduk di bangku taman yang sama dan berbicara tentang banyak hal, mulai dari hobi mereka, pekerjaan, hingga impian mereka di masa depan. Taman bunga yang indah dengan bunga-bunga berwarna cerah seakan menjadi saksi bisu dari setiap obrolan mereka.

Hari itu, langit terlihat mendung. Hujan rintik-rintik menyapu permukaan tanah, memberi kesan yang sedikit lebih sunyi dibandingkan biasanya. Diva sudah duduk di bangku taman, matanya menatap sebuah bunga mawar merah yang sedang mekar, seolah menyembunyikan cerita di balik kelopak-kelopaknya. Bunga-bunga yang ada di taman itu selalu menyimpan makna tersendiri baginya. Ada bunga mawar yang melambangkan cinta, bunga melati yang berarti kesetiaan, dan bunga lili yang selalu mengingatkannya pada kenangan indah yang pernah ada. Setiap bunga seolah menceritakan kisah yang berbeda, dan Diva merasa mereka seolah berbicara padanya dalam bahasa yang hanya bisa ia rasakan, bukan dimengerti dengan kata-kata.

Taman ini juga sering dipenuhi oleh beragam cerita—cerita yang terjalin antara orang-orang yang datang dan pergi, menyisakan kenangan dan perasaan yang tak pernah benar-benar pergi. Terkadang, Diva merasa bahwa dirinya adalah bagian dari kisah yang tak pernah selesai di taman ini. Ia sering merenung, apakah ia akan tetap bertahan di tempat ini atau akhirnya melangkah pergi dan mencari kisah baru yang lebih baik. Tapi satu hal yang pasti: ia merasa ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.

Hujan semakin deras, namun Diva tetap duduk, tidak beranjak dari tempatnya. Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Tanpa melihat, Diva sudah bisa menebak siapa yang datang. Suara langkah itu sangat familiar. Raka muncul dengan jaket hitam dan payung di tangannya. Dengan senyum lebar, dia membuka payung dan berjalan menuju Diva.

“Sepertinya kita sudah mulai akrab dengan hujan, ya?” kata Raka sambil tertawa kecil. “Aku pikir kali ini aku lebih siap menghadapi hujan, tapi ternyata aku datang terlambat.”

Diva tersenyum. “Tidak masalah. Justru hujan membuat suasana lebih sejuk.”

Raka duduk di bangku taman, menyelipkan payung di samping mereka. Keduanya terdiam sejenak, hanya mendengarkan rintik hujan yang berjatuhan di dedaunan. Diva merasa bahwa kehadiran Raka di sini memberi rasa hangat yang aneh, seakan semua kegelisahannya hilang begitu saja.

“Apa yang sedang kamu pikirkan, Diva?” tanya Raka, memecah keheningan dengan pertanyaan yang sederhana namun dalam. Diva menatap Raka sejenak, merasa bahwa ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuatnya merasa nyaman untuk berbicara lebih terbuka.

“Aku hanya… merasa bingung,” jawab Diva dengan suara lembut. “Sejak datang ke sini, banyak hal yang aku pikirkan. Banyak hal yang sepertinya ingin aku pahami, tetapi aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

Raka mengangguk, menyimak dengan seksama. “Kehidupan memang penuh dengan kebingungan, Diva. Terkadang kita hanya perlu berhenti sejenak dan merenung, baru kita bisa melihat jawabannya.”

Diva menunduk, seolah mencari sesuatu dalam pikirannya. “Aku sering datang ke taman ini untuk mencari ketenangan. Setiap kali melihat bunga-bunga ini, aku merasa seolah ada pesan yang ingin mereka sampaikan. Bunga-bunga ini, mereka seperti menyimpan cerita yang tidak pernah bisa diungkapkan dengan kata-kata.”

“Bunga-bunga itu memang memiliki makna masing-masing. Setiap bunga bisa menjadi simbol bagi perasaan atau kenangan yang kita miliki,” jawab Raka, menatap bunga-bunga di sekitar mereka. “Tapi apa yang kamu rasakan tentang bunga itu, Diva? Apa yang mereka sampaikan padamu?”

Diva terdiam sejenak, mencoba untuk mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. “Ada satu bunga yang selalu membuatku teringat pada seseorang. Bunga mawar ini, misalnya,” Diva berkata sambil menunjukkan bunga mawar merah yang ada di hadapannya. “Aku merasa seperti bunga ini mewakili perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Terkadang, kita menyimpan perasaan itu dalam hati, namun bunga ini… bunga ini berbicara lebih banyak daripada apa yang bisa aku katakan.”

Raka memandang mawar merah itu dengan penuh pengertian. “Mawar merah, ya? Itu simbol cinta, bukan? Cinta yang tak terucapkan, cinta yang tersembunyi dalam hati.”

Diva mengangguk. “Tapi cinta itu bisa sangat rumit, Raka. Aku sering kali merasa takut untuk mengungkapkan perasaan, karena aku tidak tahu apakah itu akan diterima atau tidak.”

Raka menatap Diva dengan tatapan yang lembut, seolah ingin memberi pengertian yang lebih dalam. “Cinta itu memang bisa rumit, Diva. Tapi terkadang, kita harus berani untuk mengungkapkannya, meskipun ada rasa takut. Karena jika kita terus menyimpannya, kita hanya akan menyiksa diri sendiri.”

Diva terdiam. Kata-kata Raka mengena di hatinya. Ia merasakan adanya ketulusan dalam ucapan itu. Dalam beberapa kali pertemuan mereka, Diva sudah mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa. Sesuatu yang sepertinya tumbuh perlahan, tanpa bisa ia kendalikan. Namun, ia belum bisa mengungkapkannya begitu saja.

“Aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu, Raka,” jawab Diva akhirnya, mengalihkan pandangannya ke bunga-bunga yang bermekaran di sekitar mereka. “Aku hanya merasa takut jika perasaanku tidak diterima. Tapi di sisi lain, aku juga merasa ada sesuatu yang kuat antara kita.”

Raka tersenyum lembut, mengerti betul apa yang dirasakan Diva. “Tidak ada yang salah dengan perasaan itu, Diva. Cinta itu bukan tentang apakah kita siap atau tidak, tapi tentang apakah kita mau mengambil langkah pertama. Kadang-kadang, kita harus berani untuk memberi kesempatan pada hati kita untuk merasakan kebahagiaan.”

Diva menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Dan apa yang kamu rasakan, Raka?”

Raka tidak menjawab langsung. Dia hanya menatapnya dalam diam, kemudian kembali memandang bunga mawar di depan mereka. “Aku… aku merasa bahwa hidup ini tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Tapi aku juga percaya bahwa kadang, kita harus membuat pilihan. Dan aku ingin memilih untuk menikmati setiap momen yang ada, terutama momen bersama seseorang yang membuatku merasa seperti ini.”

Diva merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Kata-kata Raka begitu tulus, begitu mengena. Ia tahu, bahwa perasaannya terhadap Raka bukanlah perasaan biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang seolah sudah tertulis dalam takdir mereka.

Raka memandang Diva dan tersenyum. “Bunga-bunga ini, Diva, mereka mungkin hanya tanaman biasa bagi sebagian orang. Tapi bagi kita, mereka bisa menjadi pengingat tentang perasaan yang kita simpan dalam hati. Tentang cinta yang mungkin belum terucapkan, namun ada di dalam setiap kelopak yang mekar.”

Diva hanya bisa tersenyum, merasakan sesuatu yang baru dan hangat dalam dirinya. Di taman ini, di tengah hujan yang masih turun perlahan, ia merasa bahwa perasaan yang ia simpan dalam hati mulai tumbuh seperti bunga-bunga yang mekar di sekitarnya. Bunga-bunga yang menyimpan cerita-cerita yang belum sepenuhnya terungkap, tetapi sudah mulai terlihat, perlahan namun pasti.

Dan mungkin, hanya mungkin, inilah awal dari sebuah kisah yang lebih indah dari yang ia bayangkan.*

Bab 3: Tumbuhnya Perasaan

Hari-hari berlalu begitu cepat, dan Diva merasa sesuatu yang aneh mulai tumbuh dalam dirinya. Perasaan itu datang perlahan, seperti bunga yang mekar di tengah taman bunga yang penuh warna. Semuanya dimulai sejak pertemuannya dengan Raka di taman bunga itu. Awalnya, ia hanya melihatnya sebagai seorang teman, seseorang yang bisa diajak berbicara saat ia merasa kesepian atau lelah dengan rutinitasnya. Namun, semakin sering mereka bertemu, semakin sering percakapan mereka mengalir, Diva mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka.

Setiap kali Raka datang ke taman, mereka selalu duduk bersama, berbicara tentang berbagai hal. Meskipun obrolan mereka terkadang ringan, tentang cuaca atau tentang film yang baru saja mereka tonton, ada momen-momen di mana mereka saling berbagi pemikiran dan perasaan yang lebih dalam. Raka selalu mampu membuat Diva merasa nyaman, seolah-olah dunia di sekelilingnya berhenti berputar ketika mereka berbicara. Bahkan dalam keheningan, kehadiran Raka membuat Diva merasa ada kedekatan yang sulit dijelaskan.

Suatu sore, ketika hujan mulai turun dengan derasnya, Diva datang lebih awal ke taman bunga. Ia duduk di bangku yang sama, menatap bunga-bunga yang semakin basah oleh air hujan, namun tetap terlihat cantik. Matanya mencari-cari sosok Raka, meskipun ia tahu pria itu mungkin sedang sibuk. Namun, entah mengapa, hatinya terasa gelisah. Ada rasa ingin bertemu, ingin melihat Raka. Diva mulai menyadari bahwa perasaan itu sudah mulai menguasainya.

Saat hujan semakin lebat, Diva mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Ia menoleh, dan melihat Raka datang dengan payung di tangannya. Raka tersenyum melihat Diva yang duduk sendirian, tampak sedikit terlambat mengenakan jaket untuk melindungi diri dari hujan.

“Sepertinya kamu menunggu, Diva,” kata Raka dengan senyum hangat, lalu duduk di bangku taman dengan cepat, membuka payung dan melindungi mereka berdua dari hujan.

Diva hanya tersenyum, meskipun hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. “Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya hujan ini lebih menyenangkan kalau ada yang menemani,” jawab Diva dengan suara yang agak malu, mencoba menyembunyikan perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya.

Raka menatap Diva dengan tatapan lembut, lalu berkata, “Kadang-kadang, hujan memang lebih indah saat kita bersama orang yang tepat.”

Diva merasa pipinya memerah, meskipun hujan menutupi sebagian besar wajahnya. Ada sesuatu dalam kata-kata Raka yang menggetarkan hatinya. Ia berusaha untuk tetap tenang, namun perasaan itu semakin kuat. Perasaan yang entah kenapa membuatnya merasa cemas dan bahagia dalam waktu yang bersamaan.

“Diva, kamu pernah merasa seperti ada sesuatu yang tumbuh dalam hatimu tanpa kamu sadari?” tanya Raka, memecah keheningan dengan pertanyaan yang cukup dalam.

Diva menatapnya, agak terkejut. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan suara lembut.

Raka terdiam sejenak, seolah memilih kata-kata yang tepat. “Aku merasa ada sesuatu yang berbeda di antara kita, Diva. Sesuatu yang perlahan tumbuh, meskipun kita berdua tidak pernah mengatakannya. Kadang-kadang, perasaan itu datang begitu saja, tanpa kita bisa mengontrolnya. Tapi aku merasa bahwa aku semakin dekat denganmu, dan aku tidak bisa mengabaikan perasaan itu.”

Diva terdiam, matanya menatap Raka dengan perasaan yang campur aduk. Ia merasakan bahwa kata-kata Raka mengungkapkan apa yang ia rasakan dalam hati, meskipun ia belum siap untuk mengakui perasaan itu secara langsung. Bagaimana mungkin? Mereka baru saja saling mengenal, dan Diva merasa takut jika ia terlalu cepat memberikan perasaan ini tanpa berpikir panjang.

“Raka…” suara Diva hampir berbisik, tapi ia tidak tahu harus melanjutkan kata-katanya. Hatinya berdebar hebat, perasaan yang datang begitu mendalam namun juga penuh keraguan.

Raka menoleh padanya, senyumnya tidak berubah. “Tidak perlu terburu-buru, Diva. Aku tahu kita baru mulai mengenal satu sama lain. Tapi terkadang, perasaan itu datang lebih cepat dari yang kita duga. Dan aku merasa bahwa perasaan ini sudah tumbuh perlahan, meskipun kita belum sepenuhnya siap untuk menghadapinya.”

Diva merasakan kehangatan yang aneh dalam hatinya. Mungkin ini yang disebut dengan cinta, pikirnya. Cinta yang tumbuh secara perlahan, tanpa disadari. Perasaan yang datang tanpa permisi, namun begitu kuat. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan itu, meskipun ada rasa takut yang mengikutinya.

“Raka, aku… aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan,” kata Diva dengan suara pelan, mencoba menjelaskan kebingungannya. “Aku tidak ingin terburu-buru, aku hanya merasa bingung dengan apa yang terjadi.”

Raka menatap Diva dengan lembut, lalu menjawab dengan bijak, “Tidak ada yang perlu dibingungkan, Diva. Cinta itu tidak harus langsung dijelaskan dengan kata-kata. Cinta datang dalam berbagai bentuk dan cara. Terkadang, kita hanya perlu membiarkannya tumbuh dengan sendirinya. Kita tidak bisa memaksakan perasaan ini, tapi kita bisa membiarkannya berkembang dengan alami.”

Diva menunduk, mencoba mencerna setiap kata-kata Raka. Terkadang, ia merasa seperti terperangkap dalam perasaan yang begitu dalam namun juga penuh ketidakpastian. Namun, ada ketulusan dalam diri Raka yang membuatnya merasa aman untuk membiarkan perasaan itu tumbuh.

“Aku tidak ingin terburu-buru, Raka. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan apa yang aku rasakan,” kata Diva dengan hati-hati. “Aku merasa nyaman berada di dekatmu, merasa seperti ada sesuatu yang membuatku ingin terus mengenalmu lebih dalam.”

Raka tersenyum, senyum yang penuh pengertian dan kedamaian. “Aku juga merasa seperti itu, Diva. Kita tidak perlu terburu-buru. Kita bisa membiarkan perasaan ini tumbuh, langkah demi langkah. Seiring berjalannya waktu, kita akan tahu ke mana arah perasaan ini membawa kita.”

Diva mengangguk perlahan. Ia merasa ada kedamaian yang aneh, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kebingungan dan keraguan. Namun, ada satu hal yang pasti: ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya, perasaan yang sepertinya semakin kuat setiap kali ia bersama Raka.

Mereka berdua terdiam sejenak, hanya mendengarkan suara hujan yang semakin deras. Di bawah payung yang mereka bagikan, Diva merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa. Ada sebuah ikatan yang mulai terbentuk, ikatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dan di saat itu, Diva tahu bahwa perasaannya untuk Raka bukanlah sesuatu yang bisa ia abaikan begitu saja.

Di bawah hujan yang turun dengan lembut, perasaan itu tumbuh—perlahan, namun pasti. Perasaan yang membuat hati Diva berdebar lebih cepat, perasaan yang membawa kedamaian namun juga penuh dengan ketidakpastian. Tapi satu hal yang ia yakini: perasaan itu akan membawanya pada sesuatu yang lebih indah, sesuatu yang sudah tumbuh di taman hatinya.*

Bab 4: Cinta yang Belum Terungkap

Seiring berjalannya waktu, perasaan Diva semakin tumbuh di dalam dirinya. Perasaan itu datang seperti angin yang tak terlihat namun mampu merubah segalanya. Setiap kali bertemu dengan Raka, setiap percakapan yang mereka jalani, semakin kuat pula perasaan yang tersembunyi dalam hati Diva. Namun, meskipun ia merasa begitu dekat dengan Raka, ada satu hal yang selalu mengganjal di pikirannya—cinta yang belum terungkap.

Diva mulai merasa bingung, apakah perasaannya ini benar-benar cinta ataukah hanya sebuah rasa ketertarikan biasa? Semua yang terjadi begitu cepat, tetapi terasa sangat nyata. Ia merasakan ada sesuatu yang kuat di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Namun, rasa takut selalu menghampiri hatinya setiap kali ia berusaha untuk mengungkapkan perasaan itu.

Pagi itu, Diva datang lebih awal ke taman bunga, seperti biasanya. Ia merasa ada keheningan yang menggelayuti hatinya, mungkin karena hujan semalam yang belum sepenuhnya reda. Angin pagi yang sejuk berhembus pelan, membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Ia duduk di bangku taman yang biasa mereka gunakan, dengan mata yang menatap bunga-bunga yang bermekaran. Setiap kelopak bunga yang jatuh ke tanah seolah membawa perasaan yang terpendam dalam dirinya—perasaan yang ia tak tahu harus disampaikan dengan cara apa.

Ketika matanya beralih ke sekeliling, ia melihat Raka sudah mendekat. Pria itu datang dengan senyum khas yang selalu membuatnya merasa sedikit lebih baik. Raka memegang payung dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya membawa secangkir kopi panas. Ia duduk di samping Diva, memberikan secangkir kopi yang sudah disiapkan untuknya.

“Apa kabar, Diva?” tanya Raka dengan suara lembut. “Aku lihat kamu lagi berpikir keras.”

Diva tersenyum, namun senyum itu tidak sepenuhnya tulus. Ia merasa cemas, seolah ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati. “Aku baik-baik saja,” jawab Diva, berusaha menjaga keseimbangan. “Hanya saja, aku merasa seperti ada banyak hal yang belum aku ungkapkan.”

Raka menatap Diva dengan tatapan penuh perhatian. “Apa yang belum kamu ungkapkan?”

Diva terdiam. Rasa takut mulai menguasai dirinya. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana ia bisa mengungkapkan perasaan yang sudah lama tumbuh di dalam hatinya? Raka sudah begitu baik kepadanya, tetapi apakah ia siap untuk menerima perasaan yang selama ini Diva pendam?

“Aku…” Diva mulai membuka mulutnya, namun kata-kata itu seperti terkunci. Ia merasa perasaan itu begitu kuat, namun tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. “Aku merasa ada yang berbeda antara kita, Raka. Aku merasa kita semakin dekat, tetapi aku juga merasa bingung dengan perasaanku sendiri.”

Raka mendengarkan dengan seksama, tidak tergesa-gesa untuk menginterupsi. Ia tahu Diva sedang berjuang dengan pikirannya, mencoba mencari cara untuk menyampaikan apa yang ada di hatinya. Raka tersenyum, bukan senyum yang biasa ia tunjukkan, tetapi senyum yang penuh pengertian, seolah ia sudah tahu apa yang sedang Diva rasakan.

“Diva, terkadang perasaan itu memang datang begitu tiba-tiba dan membuat kita bingung. Tapi percayalah, tidak ada yang salah dengan perasaan yang kamu miliki,” kata Raka dengan lembut. “Kadang kita merasa ragu untuk mengungkapkan sesuatu yang sangat penting, karena kita takut jika itu akan merusak segalanya. Tapi perasaan itu sendiri tidak bisa disembunyikan selamanya.”

Diva menunduk, menggigit bibirnya. Rasa takut itu datang kembali, menyelimuti pikirannya. Ia tahu Raka mencoba memberinya pengertian, namun tetap saja ia merasa terjebak dalam kebingungannya sendiri. Cinta yang belum terungkap itu membuatnya terhimpit antara keinginan untuk jujur dan rasa takut kehilangan semuanya.

“Apa yang harus aku lakukan, Raka?” Diva akhirnya bertanya, suaranya penuh keraguan. “Aku merasa begitu takut untuk mengungkapkan semuanya. Takut jika perasaan ini tidak diterima, atau bahkan merusak hubungan kita yang sudah terjalin dengan begitu baik.”

Raka menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap Diva dengan pandangan yang lebih dalam, lebih serius. “Diva, kamu tidak perlu takut. Perasaan itu adalah bagian dari diri kita, bagian yang paling manusiawi. Kamu tidak perlu menyembunyikan perasaanmu hanya karena takut apa yang kamu rasakan tidak diterima. Kita tidak akan pernah tahu jawabannya jika kita tidak berani untuk mengungkapkannya.”

Diva terdiam, kata-kata Raka seolah menembus dinding-dinding ketakutannya. Ia merasa ada ketulusan dalam suara Raka, dan entah mengapa, hatinya merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, inilah saatnya untuk menghadapi perasaannya. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia simpan.

“Tapi aku… aku takut, Raka. Takut jika perasaan ini hanya akan membuat semuanya menjadi rumit. Takut jika aku akhirnya kehilangan kamu,” Diva mengungkapkan isi hatinya, suara gemetar karena perasaan yang begitu dalam.

Raka menghela napas panjang, lalu menaruh payung di samping mereka dan memegang tangan Diva dengan lembut. “Diva, aku juga merasa sesuatu yang sama. Sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku juga merasakan kedekatan itu. Aku tidak ingin kehilangan kamu, Diva.”

Diva menatap Raka dengan mata yang berkaca-kaca. Kata-kata itu begitu tulus, begitu sederhana namun penuh makna. Untuk pertama kalinya, Diva merasa ada seseorang yang benar-benar memahami apa yang ia rasakan. Raka tidak hanya memberi pengertian, tetapi juga memberinya keberanian untuk menghadapi perasaannya sendiri.

“Apa yang akan terjadi jika kita mengungkapkan perasaan ini?” Diva bertanya, meskipun di dalam hatinya sudah ada jawaban yang samar.

“Diva,” Raka memanggil namanya dengan lembut, “Aku tidak bisa menjanjikan apapun. Tetapi aku tahu satu hal: jika kita tidak mengungkapkan perasaan kita, kita tidak akan pernah tahu bagaimana kisah kita akan berlanjut. Cinta itu bukan tentang memiliki segalanya dengan sempurna, tetapi tentang berani untuk mengambil langkah pertama, meskipun ada ketakutan.”

Diva mengangguk perlahan. Kata-kata Raka memberi penerangan dalam kegelapan yang selama ini menghalangi dirinya. Ia tahu, perasaan itu sudah tumbuh terlalu kuat untuk dibiarkan tanpa pengakuan. Cinta yang belum terungkap ini harus diungkapkan, apapun yang akan terjadi selanjutnya.

“Aku… aku juga merasakan hal yang sama, Raka,” kata Diva dengan suara yang lebih tegas. “Aku merasa ada sesuatu yang lebih antara kita, sesuatu yang tumbuh begitu alami. Aku tidak ingin menyembunyikan perasaan ini lagi.”

Raka tersenyum, senyum yang penuh harapan. “Aku senang mendengarnya, Diva. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan aku yakin kita bisa menghadapinya bersama. Perasaan ini, kita akan jalani bersama.”

Diva merasa seperti beban besar yang selama ini ia bawa di dalam hatinya, kini mulai terangkat. Cinta yang selama ini ia simpan dalam hati akhirnya bisa terungkap, dan ia merasa lebih bebas, lebih hidup. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Di tengah taman bunga yang penuh dengan warna, di bawah langit yang semakin cerah, Diva dan Raka duduk berdua, merasa bahwa perasaan yang tumbuh di antara mereka adalah awal dari sesuatu yang lebih indah. Sebuah cinta yang tidak lagi terungkap dalam diam, tetapi kini bisa mereka nikmati bersama, melangkah ke masa depan yang penuh dengan kemungkinan.*

Bab 5: Janji Cinta di Taman Bunga

Pagi itu, taman bunga terlihat berbeda. Matahari yang mulai naik perlahan menghangatkan udara pagi yang masih segar. Setiap helai daun yang basah karena embun semalam berkilau di bawah sinar matahari. Bunga-bunga yang mekar seolah memberikan sinyal bahwa musim baru telah datang, membawa harapan dan cerita baru bagi siapa saja yang datang untuk merasakannya. Diva duduk di bangku taman yang biasa mereka gunakan, sambil sesekali memandangi bunga-bunga yang ada di sekelilingnya. Hatinya terasa ringan, tetapi ada satu perasaan yang terus menggelayuti pikirannya: janji yang belum diucapkan, janji yang begitu berarti.

Ia menatap ke arah jalan setapak di taman yang penuh dengan bunga warna-warni. Tak lama, langkah kaki yang dikenal terdengar mendekat. Diva menoleh dan melihat Raka datang dengan senyum khasnya yang selalu membuatnya merasa lebih tenang. Raka membawa sebuah bunga mawar putih, bunga yang selama ini Diva sangat sukai. Bunga itu, bagai lambang dari perasaan yang telah tumbuh di antara mereka—sederhana, namun penuh makna.

“Ini untukmu,” kata Raka, sambil menyerahkan bunga mawar putih itu pada Diva.

Diva tersenyum, sedikit terkejut, tapi sangat bahagia. Ia menerima bunga itu dengan tangan yang gemetar, tidak tahu harus berkata apa. “Terima kasih, Raka. Bunga ini… indah sekali,” jawab Diva dengan suara yang penuh kehangatan.

Raka duduk di sampingnya, membiarkan beberapa saat berlalu tanpa kata-kata. Hanya suara angin yang berdesir melalui dedaunan dan suara riang burung yang saling bersahutan. Diva merasa nyaman dalam keheningan itu, seperti ada kedamaian yang datang bersama setiap detik yang mereka habiskan bersama. Tetapi, ada sesuatu yang membuat perasaannya tidak bisa tenang. Perasaan yang telah lama terpendam, yang kini tidak bisa lagi ia tahan.

“Ada sesuatu yang ingin aku katakan,” Diva memulai, akhirnya mengalahkan keraguannya yang sudah cukup lama. Suaranya agak gemetar, namun penuh ketulusan.

Raka menoleh padanya, memandang dengan tatapan yang dalam dan penuh pengertian. “Apa itu, Diva? Apa pun itu, kamu bisa mengatakannya. Aku akan mendengarkan.”

Diva menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang mulai berdegup cepat. Perasaan ini begitu kuat, begitu dalam, dan kini sudah waktunya untuk mengungkapkannya. Ia menatap Raka dengan tatapan yang penuh arti, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Raka, aku sudah lama merasa ada yang berbeda di antara kita. Rasanya, semakin hari aku semakin yakin bahwa perasaan ini bukan sekadar rasa suka biasa. Aku merasa ada ikatan yang kuat, sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Aku merasa nyaman berada di dekatmu, merasa seperti aku bisa menjadi diriku sendiri ketika aku bersamamu.”

Raka tersenyum mendengar pengakuan Diva. Namun, senyumnya kali ini berbeda. Ada rasa haru dan kebahagiaan yang tidak bisa ia sembunyikan. “Diva, aku juga merasakan hal yang sama. Aku merasa ada sesuatu yang tumbuh di antara kita, sesuatu yang membuatku ingin terus berada di sini, di dekatmu. Aku tidak tahu sejak kapan perasaan ini mulai tumbuh, tapi aku merasa bahwa kita sudah melewati banyak hal bersama, dan aku ingin melangkah lebih jauh lagi denganmu.”

Diva terdiam, hatinya berdebar hebat. Kata-kata Raka begitu tulus, dan itu membuatnya merasa lebih yakin dengan perasaan yang kini ia rasakan. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya. “Aku takut, Raka. Takut jika aku terlalu berharap, takut jika perasaan ini justru akan mengubah segalanya.”

Raka memegang tangan Diva dengan lembut, seolah ingin memberikan kehangatan pada ketakutan yang tengah menyelimuti hatinya. “Diva, aku mengerti perasaanmu. Aku tahu kita tidak bisa memaksakan perasaan ini untuk berjalan dengan sempurna, tapi aku percaya pada kita. Aku percaya pada kita berdua, dan pada apa yang kita rasakan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku ingin menjalaninya denganmu.”

Diva merasakan ada kedamaian dalam kata-kata Raka. Rasa takut yang tadinya menghantui mulai menghilang, digantikan oleh keyakinan bahwa inilah waktu yang tepat untuk melangkah lebih jauh. Ia merasa semakin dekat dengan Raka, semakin merasa bahwa perasaan ini adalah sesuatu yang harus dijaga. Ia ingin memberi kesempatan pada dirinya sendiri, pada mereka berdua, untuk merasakan cinta yang sebenarnya.

“Aku… aku ingin bersama denganmu, Raka. Aku ingin menjalani perjalanan ini bersamamu, meskipun aku tahu kita tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi. Aku ingin janji itu, janji untuk selalu ada satu sama lain, untuk saling mendukung, dan untuk tetap berjalan bersama, apapun yang terjadi,” kata Diva dengan suara yang penuh harapan.

Raka memandang Diva dengan tatapan yang penuh keyakinan. Matanya berkilau dengan kebahagiaan. “Aku juga ingin itu, Diva. Aku berjanji padamu, di sini, di taman bunga yang penuh dengan kenangan ini, bahwa aku akan selalu ada untukmu. Aku akan berjalan bersamamu, tidak peduli apapun yang akan datang, karena aku tahu kita bisa menghadapinya bersama.”

Kata-kata itu seolah mengikat mereka berdua dalam sebuah janji yang suci, sebuah janji yang bukan hanya diucapkan dengan kata-kata, tetapi juga dengan hati yang penuh kasih. Diva merasa hatinya berdegup lebih kencang. Momen itu terasa begitu sempurna, di tengah taman bunga yang menjadi saksi bisu dari perjalanan cinta mereka.

Raka kemudian berdiri dan menarik Diva berdiri bersamanya. Ia menggenggam tangan Diva dengan erat, seolah ingin memastikan bahwa ini bukan hanya sekadar janji di mulut, tetapi janji yang akan ia tepati sepanjang hidup mereka.

“Aku janji, Diva. Aku akan selalu berusaha menjadi yang terbaik untukmu, dan kita akan bersama-sama menjalani perjalanan ini. Kita akan menghadapinya, apa pun yang terjadi, karena aku percaya pada cinta kita,” kata Raka dengan suara yang penuh keyakinan.

Diva merasakan ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya, sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Cinta itu bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi sebuah komitmen yang mengikat hati mereka berdua. Ia merasa yakin, bahwa meskipun perjalanan mereka mungkin tidak selalu mudah, mereka akan selalu menemukan cara untuk tetap bersama.

“Terima kasih, Raka,” kata Diva dengan suara yang penuh haru. “Aku percaya pada kita. Aku percaya pada janji kita.”

Mereka berdiri di tengah taman bunga itu, di bawah langit yang semakin cerah, dan di sekitar mereka terdapat bunga-bunga yang bermekaran, simbol dari cinta yang baru saja mereka ucapkan. Saat itu, Diva merasa bahwa ia tidak perlu lagi takut. Raka ada di sampingnya, dan mereka berdua sudah berjanji untuk selalu ada satu sama lain.

Janji itu adalah sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan mudah, tetapi mereka tahu bahwa janji itu akan membimbing mereka melalui segala rintangan yang mungkin datang. Di taman bunga yang indah ini, mereka telah mengikatkan hati mereka dalam sebuah komitmen, sebuah janji cinta yang akan selalu mereka pegang, apapun yang terjadi.*

Bab 6: Rintangan yang Menguji Cinta

Musim berubah dengan cepat, dan begitu pula perasaan yang tumbuh di antara Diva dan Raka. Hari-hari mereka terasa lebih indah, lebih bermakna, namun kehidupan tidak pernah berjalan mulus tanpa adanya rintangan. Cinta mereka yang baru saja tumbuh dengan penuh harapan, kini harus diuji oleh berbagai tantangan yang datang tanpa diduga.

Diva dan Raka sudah menjalin hubungan yang semakin erat. Mereka selalu berbagi cerita, tertawa bersama, dan saling mendukung dalam setiap langkah hidup mereka. Setiap pertemuan terasa seperti hadiah berharga, setiap senyum dari Raka mampu mengusir segala kelelahan yang ada. Namun, seiring waktu, berbagai masalah mulai muncul yang tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam diri mereka sendiri.

Pada suatu sore yang mendung, saat mereka sedang duduk di taman bunga tempat pertama kali mereka mengikat janji, Raka terlihat lebih pendiam dari biasanya. Diva yang merasa cemas, memandangnya dengan perhatian. “Ada apa, Raka? Kenapa kamu terlihat seperti ada yang mengganggu pikiranmu?”

Raka menghela napas panjang. Ia menunduk, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaan yang sudah cukup lama menghantui hatinya. “Diva, ada hal yang perlu aku bicarakan. Hal yang sudah lama aku pikirkan, tapi aku takut membuatmu kecewa,” jawab Raka dengan suara yang serak, seperti menahan sesuatu yang berat.

Diva merasakan ada yang tidak beres. Hatinya mulai gelisah, dan ia merasa ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. “Apa itu, Raka? Kamu bisa bicara dengan aku. Aku ingin tahu apa yang membuatmu begitu khawatir.”

Raka memandang Diva dengan mata yang penuh penyesalan. “Aku tahu kita sudah berjanji untuk selalu ada untuk satu sama lain, tapi ada sesuatu yang aku rasa harus aku katakan. Ada masalah besar dalam keluargaku yang membuatku merasa tertekan. Pekerjaan yang tidak berjalan lancar, dan ada masalah finansial yang membuat aku tidak bisa fokus sepenuhnya pada hubungan kita. Aku merasa seperti aku membawa beban yang sangat berat, dan itu membuatku sulit untuk memberikan perhatian yang kamu butuhkan.”

Diva terdiam, menatap Raka dengan tatapan penuh pengertian. Ia bisa merasakan betapa berat beban yang sedang Raka tanggung. Namun, di sisi lain, hatinya juga terluka. Rintangan yang datang itu seperti badai yang tiba-tiba datang menghampiri mereka. Ia tahu bahwa hubungan mereka akan diuji, tetapi tidak pernah membayangkan akan ada tantangan sebesar ini.

“Raka, aku mengerti kalau kamu sedang menghadapi banyak hal. Aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Aku ada di sini untukmu, dan aku tidak akan pergi. Kita bisa menghadapinya bersama,” jawab Diva dengan suara lembut, berusaha menenangkan hati Raka yang sedang dilanda kekhawatiran.

Namun, Raka menggelengkan kepalanya pelan. “Aku tidak ingin kamu terjebak dalam masalahku, Diva. Aku tidak ingin kamu merasa terbebani dengan semua hal yang sedang aku alami. Aku merasa seperti aku tidak bisa memberi yang terbaik untukmu saat ini.”

Diva merasa tertekan oleh kata-kata Raka. Ia tidak bisa membayangkan jika harus kehilangan pria yang telah memberikan begitu banyak kebahagiaan dalam hidupnya. Namun, ia juga tahu bahwa cinta bukan hanya tentang kebahagiaan, tetapi tentang bersama-sama menghadapi setiap tantangan yang datang.

“Apa kamu ingin aku pergi? Apa kamu ingin kita berhenti sejenak?” tanya Diva dengan hati yang berat. Meskipun ia tidak ingin mendengar jawaban itu, ia merasa seolah-olah Raka sedang mencoba menghindar dari tanggung jawab dalam hubungan mereka.

Raka menatap Diva dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Aku tidak ingin itu, Diva. Aku tidak ingin kita berhenti, tapi aku merasa seperti aku tidak bisa memberi kamu perhatian yang kamu butuhkan. Aku merasa ragu, apakah aku bisa menjadi orang yang tepat untukmu ketika aku sedang begitu tertekan dengan keadaan ini.”

Diva merasakan dadanya sesak. Ia merasa ada jarak yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Rintangan yang datang tidak hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam hati mereka. Raka tampaknya merasa tidak cukup baik untuk Diva, dan itu membuat Diva merasa kesepian meskipun mereka duduk berdampingan. Namun, ia tidak ingin menyerah begitu saja.

“Raka, hubungan kita bukan hanya tentang apa yang bisa kita berikan satu sama lain, tapi juga tentang bagaimana kita bisa saling mendukung dalam setiap kesulitan. Aku tidak ingin lari dari masalah kita. Aku ingin kita berdua saling berbagi dan saling membantu untuk melewati semuanya,” kata Diva dengan penuh keyakinan.

Raka terdiam sejenak, kemudian mengangguk perlahan. “Aku tahu. Aku sangat beruntung memiliki kamu di hidupku, Diva. Aku hanya merasa takut jika aku tidak bisa memberikan yang terbaik untukmu.”

Diva menggenggam tangan Raka dengan lembut. “Kita bisa melalui ini bersama. Aku percaya pada kita.”

Namun, meskipun Diva berusaha untuk tetap tegar, hatinya tidak bisa sepenuhnya merasa tenang. Ia tahu bahwa masalah dalam kehidupan Raka belum selesai, dan rintangan yang datang tidak akan berhenti begitu saja. Mereka harus melewati banyak ujian lagi. Di samping itu, ada hal lain yang semakin mengganggu pikiran Diva—perasaan cemburu yang perlahan mulai tumbuh.

Dalam beberapa minggu terakhir, Diva mulai merasakan kehadiran seseorang yang tampaknya ingin mendekati Raka. Seorang wanita muda yang sering terlihat berinteraksi dengan Raka di tempat kerja. Diva mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tetapi setiap kali melihat mereka berbicara, ia merasakan gelombang kecemburuan yang sulit ditahan. Meskipun Raka selalu meyakinkannya bahwa ia hanya fokus pada hubungan mereka, perasaan Diva tetap terganggu.

Suatu hari, saat Diva datang untuk menemui Raka di taman bunga, ia melihat Raka sedang duduk bersama wanita itu. Mereka tampak akrab, tertawa bersama, dan itu membuat hati Diva tersentak. Ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Raka yang membuat Diva merasa terasing. Ia merasa seolah-olah ada yang berubah dalam hubungan mereka.

Diva menghampiri mereka, dan Raka segera berdiri ketika melihat Diva mendekat. “Diva, ini Maya, teman kerja aku. Maya, ini Diva, pacarku,” kata Raka dengan senyum yang tidak sepenuhnya meyakinkan.

Maya tersenyum ramah, tetapi Diva merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dalam pertemuan itu. Ia merasa cemas dan ragu. “Senang bertemu denganmu, Maya,” kata Diva dengan sedikit tegang.

Maya hanya mengangguk, lalu berkata, “Raka sering bercerita tentang kamu. Kalian terlihat sangat bahagia bersama.”

Diva tersenyum lemah. “Ya, kami memang senang bersama,” jawabnya, meskipun hatinya terasa berat. Maya tersenyum lagi, tetapi Diva bisa merasakan bahwa senyum itu bukan hanya sekadar keramahan biasa.

Setelah Maya pergi, Diva memandang Raka dengan mata yang penuh tanda tanya. “Raka, siapa sebenarnya Maya bagi kamu?” tanya Diva, mencoba menahan kecemburuannya.

Raka terlihat terkejut, tetapi segera menjawab, “Maya hanya teman kerja, Diva. Tidak lebih dari itu. Aku janji, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.”

Namun, perasaan cemburu yang tumbuh dalam hati Diva semakin menguat. Ia merasa ada jarak yang mulai terbentuk, meskipun Raka meyakinkannya dengan kata-kata manisnya. Rintangan yang mereka hadapi kini datang dalam bentuk keraguan dan kecemburuan, dan Diva merasa bingung bagaimana cara menghadapinya.

Apakah ini benar-benar ujian cinta mereka? Ataukah mungkin ini adalah akhir dari perjalanan indah yang mereka mulai bersama? Diva tidak tahu pasti, tetapi satu hal yang ia yakini—setiap hubungan pasti menghadapi rintangan, dan cinta yang sejati akan teruji ketika mereka mampu melewati semua itu bersama.*

Bab 7: Cinta yang Abadi

Beberapa bulan berlalu sejak pertemuan yang menguji cinta mereka di taman bunga. Rintangan demi rintangan datang menghalangi, dan perasaan cemburu, ketakutan, serta keraguan sempat merasuk ke dalam hubungan Diva dan Raka. Namun, meskipun menghadapi begitu banyak tantangan, mereka berdua tahu bahwa cinta yang mereka rasakan tak dapat dipadamkan begitu saja. Mereka harus berjuang, dan berjuang bersama, untuk menjaga api cinta itu tetap menyala.

Pagi itu, udara di luar terasa segar dan cerah. Diva berjalan perlahan menuju taman bunga yang menjadi saksi bisu dari semua kisah cinta mereka. Di sana, ia melihat Raka duduk menunggu dengan senyum yang lembut, matanya yang hangat menyambut kedatangannya. Ada sesuatu yang berbeda pada Raka pagi itu. Mungkin, ketegangan yang selama ini membebani pikirannya sudah mulai berkurang. Ia tampak lebih tenang, lebih siap menghadapi segala kemungkinan.

Diva menghampirinya dan duduk di sampingnya. Mereka berdua tidak berkata apa-apa, tetapi ada kedamaian dalam kehadiran satu sama lain. Raka menatap Diva dengan penuh perhatian, seolah ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja.

“Apa kabar, Diva?” tanya Raka, memecah keheningan.

Diva tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja. Dan kamu? Rasanya kita sudah cukup lama tidak berbicara tentang perasaan kita secara langsung.”

Raka mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku juga merasakan hal yang sama. Terkadang, kita terjebak dalam rutinitas dan masalah-masalah lain, hingga lupa untuk benar-benar saling mendengarkan. Tapi, aku ingin kita lebih terbuka sekarang.”

Diva menatap Raka, matanya penuh kebijaksanaan. Mereka sudah melewati banyak hal bersama—kebahagiaan, keraguan, cemburu, dan kesedihan. Tetapi satu hal yang pasti, cinta mereka tidak pernah padam. Hanya saja, mereka perlu waktu untuk kembali menemukan diri mereka, untuk saling memahami kembali dan belajar untuk lebih mencintai.

“Raka, aku tahu kita sudah melalui banyak ujian, dan ada kalanya aku merasa takut… takut kehilanganmu. Tetapi, aku percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Cinta kita lebih kuat dari semua rintangan itu,” kata Diva dengan suara penuh keyakinan.

Raka memegang tangan Diva dengan lembut, merasakan kehangatan yang ada di antara mereka. “Aku juga merasa hal yang sama, Diva. Tidak ada yang bisa menghancurkan cinta kita, karena kita sudah membangunnya dengan begitu banyak pengorbanan dan kepercayaan.”

Diva tersenyum dan meletakkan kepalanya di bahu Raka. Mereka duduk bersama, menikmati kebersamaan mereka yang penuh ketenangan. Meskipun dunia di luar terus berputar, mereka merasa seolah-olah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua. Tidak ada yang perlu mereka khawatirkan. Tidak ada yang perlu mereka buktikan. Mereka hanya ingin menikmati momen ini, dan merasakan kebahagiaan yang tulus.

Namun, meskipun mereka merasa begitu dekat, masih ada satu hal yang belum dibicarakan secara terbuka—apa yang terjadi di masa lalu mereka yang sempat menguji cinta ini. Diva merasakan ada beban yang masih ada di antara mereka, sesuatu yang harus dibicarakan jika mereka ingin terus melangkah maju bersama.

“Raka,” Diva mulai, suara lembutnya kembali mengisi keheningan. “Aku ingin tahu, bagaimana dengan Maya? Aku tidak bisa menyangkal bahwa aku merasa cemburu melihat kedekatan kalian beberapa waktu lalu. Aku tahu aku seharusnya tidak berpikir terlalu banyak, tapi itu tetap mengganggu pikiranku.”

Raka terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan bagaimana menjelaskan perasaannya tanpa menyakiti Diva. “Diva, Maya memang teman dekatku di kantor. Tapi aku ingin kamu tahu, tidak ada yang lebih penting bagiku selain kamu. Maya hanya seorang teman, tidak lebih. Aku tahu itu mungkin terlihat membingungkan untukmu, tapi aku janji bahwa tidak ada apa-apa di antara kami.”

Diva mendengarkan setiap kata Raka dengan hati yang penuh pengertian. Meskipun ada sedikit rasa sakit yang menyelinap, ia mencoba untuk tetap tegar. “Aku percaya padamu, Raka. Mungkin aku memang terlalu mudah cemas, tapi itu karena aku takut kehilanganmu.”

Raka mengangguk, merasakan betapa tulusnya perasaan Diva. “Aku mengerti, Diva. Aku ingin kamu tahu, aku hanya memiliki satu hati, dan hati itu adalah milikmu. Tidak ada yang bisa menggantikannya. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”

Diva merasa ada beban yang mulai terangkat dari hatinya. Kata-kata Raka menguatkan keyakinannya bahwa mereka bisa melewati semua tantangan yang ada. Cinta mereka bukanlah cinta yang sempurna, tetapi cinta mereka adalah cinta yang tulus, yang dibangun atas dasar kepercayaan dan pengertian.

Sore itu, mereka berjalan bersama di taman bunga, tangan mereka saling menggenggam erat. Langit yang mulai memerah memberi nuansa romantis pada momen mereka. Mereka tidak perlu lagi banyak bicara, karena dalam kebersamaan mereka, segala kata yang tidak terucapkan pun sudah dipahami. Cinta mereka sudah cukup kuat untuk mengatasi segala keraguan.

Beberapa minggu kemudian, Raka akhirnya berhasil menyelesaikan masalah finansial yang menghambatnya. Pekerjaannya mulai stabil, dan ia bisa kembali fokus pada hubungan mereka. Diva juga semakin dewasa dalam menerima segala ketidakpastian dalam hidup, dan mereka mulai merencanakan masa depan bersama. Segala rintangan yang pernah ada kini hanya menjadi kenangan yang menguatkan mereka.

Pada suatu malam yang tenang, Raka mengajak Diva ke taman bunga tempat mereka pertama kali berjanji untuk saling setia. Di bawah cahaya bulan yang lembut, Raka berlutut di depan Diva, memegang tangan Diva dengan penuh cinta.

“Diva,” kata Raka dengan suara lembut, “aku tahu kita sudah melewati banyak hal, dan aku ingin memastikan bahwa kita akan terus berjalan bersama. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu. Tidak ada yang lebih aku inginkan selain menjadi bagian dari hidupmu, selamanya.”

Diva menatap Raka dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa seolah-olah segala kegelisahan, ketakutan, dan rintangan yang pernah ada telah sirna begitu saja. Kini hanya ada mereka berdua, di bawah langit yang penuh bintang, saling memandang dengan penuh cinta.

“Raka,” Diva menjawab dengan suara yang bergetar, “Aku juga ingin itu. Aku ingin menghabiskan hidupku bersamamu. Aku percaya bahwa cinta kita adalah cinta yang abadi, yang tidak akan tergerus oleh waktu atau apapun.”

Raka tersenyum bahagia dan dengan lembut memasangkan cincin di jari Diva. “Ini untukmu, Diva. Sebagai tanda janji kita, janji cinta yang tak akan pernah pudar. Aku akan selalu ada untukmu, di setiap langkah hidup kita.”

Diva menatap cincin itu, lalu menatap Raka dengan penuh rasa terima kasih. “Aku akan selalu mencintaimu, Raka. Terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku.”

Di bawah langit yang penuh bintang, di tengah taman bunga yang penuh kenangan, mereka berdua berjanji untuk selalu bersama. Cinta mereka bukan hanya sebuah janji kosong, melainkan janji yang dibuktikan dengan segala tindakan, pengorbanan, dan ketulusan hati. Cinta yang mereka miliki adalah cinta yang abadi, yang akan terus tumbuh dan berkembang, seiring berjalannya waktu. Karena mereka tahu, bahwa sejauh apapun rintangan datang, mereka akan selalu bersama, saling mendukung, dan saling mencintai, selamanya.***

————–THE END————

Source: DELA SAYFA
Tags: #CintaTakTerungkap #JanjiCinta #Kehilangan #CintaSejati #PatahHati
Previous Post

JARAK INI, TAK MENGHALANGI RINDU

Next Post

BINTANG YANG SAMA , JARAK YANG BERBEDA

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
BINTANG YANG SAMA , JARAK YANG BERBEDA

BINTANG YANG SAMA , JARAK YANG BERBEDA

CINTA YANG TUMBUH DI MUSIM HUJAN

CINTA YANG TUMBUH DI MUSIM HUJAN

DIANTARA LAUTAN,AKU MENUNGGUMU

DIANTARA LAUTAN,AKU MENUNGGUMU

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id