Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

JALAN PAHIT PENGHIANATAN

JALAN PAHIT PENGHIANATAN

SAME KADE by SAME KADE
February 1, 2025
in Penghianatan Cinta
Reading Time: 13 mins read
JALAN PAHIT PENGHIANATAN

Daftar Isi

  •  Bab 1: Awal yang Indah
  • Bab 2: Ketegangan yang Terpendam
  • Bab 3: Pengkhianatan yang Tak Terduga
  • Bab 4: Patah Hati dan Dilema

 Bab 1: Awal yang Indah

Di sebuah kafe yang tenang, Nina duduk sambil menatap secangkir kopi yang masih mengepulkan uap. Sudah dua tahun sejak pertemuannya dengan Randi. Saat itu, kehidupan Nina terasa begitu sederhana, dan ia tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan itu akan mengubah jalannya hidupnya.

Pertemuan pertama mereka sangat biasa. Nina, seorang wanita muda yang baru saja melanjutkan kuliah di kota besar, bertemu Randi saat acara kampus. Randi adalah pria yang tampak seperti semua pria pada umumnya—menarik, humoris, dan mudah bergaul. Mereka mengenal satu sama lain melalui beberapa teman, dan entah bagaimana, percakapan mereka yang singkat berubah menjadi sebuah ikatan yang dalam.

Nina masih ingat bagaimana senyum pertama Randi mampu membuat hatinya berdebar-debar. Di malam itu, Randi membawa Nina berkeliling kota, berbicara tentang impian dan masa depan mereka. Waktu terasa begitu cepat, dan perasaan Nina semakin tumbuh tanpa ia sadari. Ketika Randi menggenggam tangannya dengan lembut, Nina merasa seperti menemukan bagian dari dirinya yang hilang.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Randi selalu ada di samping Nina, menemani setiap langkahnya. Mereka berbagi tawa, cerita, dan bahkan impian tentang masa depan bersama. Di mata Nina, Randi adalah segalanya. Dia merasa seperti menemukan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya, yang menerima semua kekurangannya. Semua yang mereka alami terasa sempurna.

Randi juga tampaknya mencintainya dengan tulus. Setiap kali Nina ragu atau merasa tidak percaya diri, Randi selalu ada untuk memberinya semangat. “Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan, Nina,” kata Randi, mengusap rambutnya dengan lembut. Itu adalah kata-kata yang selalu ia ingat, kata-kata yang membuatnya merasa bisa menghadapi dunia.

Nina merasa bahwa segala sesuatu berjalan lancar dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk percaya pada Randi, pada cinta mereka yang sudah terbentuk begitu kuat. Meskipun ada sedikit ketakutan dalam dirinya tentang masa depan, ia tahu bahwa selama mereka bersama, tidak ada yang tidak mungkin. Mereka berbicara tentang menikah suatu hari nanti, membangun keluarga bersama, dan menjalani hidup penuh kebahagiaan.

Namun, seperti halnya kehidupan yang penuh dengan kejutan, kadang-kadang kebahagiaan itu hanya bertahan sementara.

Suatu malam, setelah pulang dari acara kampus, Nina mendapati pesan singkat dari Randi. “Ada yang perlu aku bicarakan denganmu, Nina. Besok kita bertemu, ya?” Pesan itu datang dengan nada yang sedikit berbeda dari biasanya. Mungkin itu hanya perasaannya, tetapi ada sesuatu yang mengganggu hatinya.

Hari berikutnya, mereka bertemu di taman seperti yang biasa mereka lakukan. Namun, kali ini suasana terasa berbeda. Randi tampak cemas dan tidak seperti biasanya. Saat mereka duduk bersama di bangku taman, Randi menatap Nina dengan mata yang tampak penuh penyesalan. Ada sesuatu yang mengganjal di dada Nina, seolah-olah ia sudah bisa merasakan ada sesuatu yang akan mengubah segalanya.

“Ada apa, Randi?” Nina bertanya, mencoba mencari tahu.

Randi menghela napas panjang, matanya menunduk. “Aku… aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu, Nina. Tapi ada hal yang harus aku katakan. Sesuatu yang… mungkin akan merubah semuanya.”

Nina merasa hatinya terhenti sejenak. Kata-kata itu membuatnya tidak bisa bernapas. “Apa maksudmu, Randi?”

Randi menunduk, seolah tidak berani menatap Nina. “Aku… aku telah melakukan kesalahan besar. Aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya, tetapi… aku telah mengkhianatimu, Nina.”

Suasana itu tiba-tiba terasa hampa, dingin, dan sunyi. Nina merasa dunia di sekitarnya berputar. “Kamu… mengkhianatiku?” suaranya hampir tak terdengar.

Randi mengangguk pelan, tak sanggup menatap mata Nina lagi. “Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena ini, Nina. Aku… aku sudah bersama orang lain, dan aku sangat menyesal. Aku tahu aku telah menghancurkan kepercayaanmu, tapi aku… aku sangat mencintaimu. Ini bukan tentangmu, ini adalah salahku.”

Nina merasa dadanya sesak, seolah-olah ada beban berat yang terjatuh dalam hatinya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Rasa sakit itu datang begitu cepat, menghancurkan semua kenangan indah yang mereka ciptakan bersama.

Bagaimana bisa seseorang yang ia percayai begitu dalam, yang ia anggap sebagai bagian dari masa depannya, bisa melakukan hal sekejam itu? Pengkhianatan ini bukan hanya merusak hubungan mereka, tetapi juga menghancurkan sebagian dirinya yang begitu mempercayai cinta.

Dengan bibir gemetar dan hati yang hancur, Nina berkata, “Aku tidak tahu harus bagaimana, Randi. Aku tidak bisa begitu saja melupakan ini.”

Randi menunduk lebih dalam, matanya penuh dengan penyesalan. “Aku tahu. Aku minta maaf, Nina. Aku harap suatu hari nanti kamu bisa memaafkanku. Aku berharap kita bisa melalui ini bersama…”

Namun, tidak ada kata-kata yang bisa mengembalikan rasa sakit yang sudah ada di hati Nina. Cinta yang ia percayai, yang ia bangun dengan begitu tulus, telah dihancurkan oleh pengkhianatan yang tak termaafkan.

Note Anda bisa melanjutkan cerita dengan membangun ketegangan lebih lanjut antara Nina dan Randi, menggambarkan dampak emosional yang ditimbulkan, serta bagaimana Nina memilih untuk menghadapi jalan hidupnya setelah pengkhianatan tersebut.*

Bab 2: Ketegangan yang Terpendam

Setelah pertemuan yang mengubah segalanya, Nina merasa seperti hidupnya berantakan. Apa yang semula terasa begitu indah kini berubah menjadi sebuah bayangan gelap yang terus menghantui pikirannya. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan keraguan, dan meskipun ia berusaha untuk melanjutkan hidup, pengkhianatan yang dilakukan oleh Randi*seakan tidak bisa ia lepaskan begitu saja.

Nina duduk di tepi ranjang, tangan terlipat di depan dada, matanya menatap kosong pada ponselnya yang tergeletak di atas meja. Di layar, masih terlihat pesan terakhir dari Randi. “Aku minta maaf, Nina. Aku berharap kita bisa melalui ini bersama.” Kalimat itu terngiang-ngiang di telinganya, tapi semakin sering dibaca, semakin terasa kosong. Janji itu tak lagi berarti apa-apa.

Sudah dua minggu sejak percakapan itu, namun perasaan Nina masih sama, bahkan semakin dalam. Rasa sakitnya tidak hanya datang dari pengkhianatan itu sendiri, tetapi juga dari kenyataan bahwa ia masih mencintai Randi. Ia merasa terjebak di dalam perasaan yang saling bertentangan: cinta yang tulus dan luka yang dalam.

Hari itu, Nina kembali pergi ke kampus. Meski tubuhnya tampak berjalan seperti biasa, pikirannya sama sekali tidak fokus. Langkahnya terasa lambat, seolah-olah ada beban yang sangat berat menggantung di pundaknya. Ketika tiba di kantin, ia melihat sahabat terbaiknya, Maya, yang sudah menunggunya di meja favorit mereka. Maya adalah teman yang selalu ada untuk Nina, terutama saat ia merasa terjatuh.

“Nina, kamu oke?” Maya bertanya dengan khawatir, memandangi wajah Nina yang tampak kosong dan lelah. “Kamu belum kelihatan seperti biasanya. Ada apa?”

Nina tersenyum tipis, meskipun senyuman itu lebih terlihat seperti upaya untuk menutupi perasaan yang sesungguhnya. “Aku baik-baik saja, Maya. Cuma… sedikit lelah saja.”

Maya tidak begitu yakin dengan jawaban Nina, namun ia memilih untuk tidak memaksanya. Sebagai sahabat yang baik, ia tahu bahwa kadang-kadang Nina butuh waktu untuk membuka diri. Namun, di balik ketenangan itu, Maya bisa merasakan ada ketegangan yang terpendam, sebuah beban yang menghancurkan di dalam hati sahabatnya.

“Jadi, bagaimana dengan Randi?” Maya bertanya, berhati-hati. Ia tahu bahwa Nina dan Randi sedang menghadapi masalah besar, tetapi tidak tahu betapa dalamnya luka yang tertinggal.

Maya hanya bisa menunggu, sambil menatap sahabatnya yang tiba-tiba terdiam. Suasana itu terasa hening, hanya suara deru langkah kaki yang terdengar di sekitar mereka. Nina menunduk, menatap gelas air yang ada di depannya, seolah mencari jawaban dalam diri sendiri. Namun, ia tidak tahu harus mulai dari mana.

“Aku… Aku tidak tahu, Maya,” Nina akhirnya berkata dengan suara pelan. “Aku masih mencintainya. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara memaafkannya. Aku… Aku merasa seperti aku telah dikhianati oleh orang yang paling aku percayai.”

Maya meraih tangan Nina dan menggenggamnya erat. “Nina, aku tahu ini sangat sulit, dan aku bisa melihat betapa besar lukamu. Tapi kamu harus tahu, kamu tidak bisa terus hidup dengan rasa sakit ini. Kalau kamu masih mencintainya, kamu harus memutuskan apakah kamu bisa memaafkannya atau tidak. Tapi jika kamu merasa tidak bisa melanjutkan, itu pun sah-sah saja.”

Nina menatap sahabatnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Maya benar, tapi bagaimana mungkin ia bisa begitu saja melupakan semua kenangan indah yang mereka bangun bersama? Cinta mereka penuh dengan janji, penuh dengan kebahagiaan yang seakan tak terhingga. Namun kini, semua itu hancur hanya dalam sekejap.

Maya menyadari bahwa Nina sedang berjuang antara cinta dan pengkhianatan. “Apapun keputusanmu, aku akan ada di sini untukmu, Nina. Kamu tidak sendiri.”

Namun, meskipun Maya berkata begitu, Nina tahu bahwa ia harus membuat keputusan besar. Perasaannya begitu membingungkan—ia mencintai Randi dengan sepenuh hati, namun setiap kali ia memikirkan pengkhianatan itu, rasa sakitnya semakin dalam. Ia merasa bahwa kepercayaannya telah hancur, dan tidak ada yang bisa mengembalikan semua yang telah hilang.

Beberapa hari setelah pertemuan dengan Maya, Nina kembali menghadapi dilema yang semakin memperburuk keadaan. Ia menerima telepon dari Randi. Nada suaranya terdengar cemas, seolah-olah ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Nina, meskipun merasa hati dan pikirannya bergejolak, memilih untuk mengangkat telepon itu.

“Nina, aku ingin bertemu. Ada sesuatu yang harus aku jelaskan,” suara Randi terdengar tegas, namun ada kelembutan di baliknya.

Nina merasa ragu, tetapi ia tidak bisa menghindar. Bagaimana bisa ia terus menghindar dari orang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya? Perasaan itu terus menekan dadanya, memaksanya untuk mengambil langkah yang tak mudah.

Akhirnya, mereka bertemu di taman yang biasa mereka kunjungi. Suasana masih sama seperti dulu, namun rasanya begitu berbeda. Taman ini kini terasa seperti tempat yang penuh kenangan pahit, bukan lagi tempat yang penuh tawa dan canda. Mereka duduk di bangku yang sudah lama tidak mereka singgahi bersama.

Randi memulai percakapan dengan nada yang lebih serius dari biasanya. “Aku tahu kamu marah, Nina. Aku tahu aku telah mengecewakanmu, dan aku tak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal. Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu.”

Nina memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Kata-kata itu terdengar familiar, tapi kini terasa sangat kosong. Pengkhianatan itu sudah terjadi, dan kata-kata Randi seakan tidak mampu menghapus luka yang ada. “Randi… aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu.”

Randi mendekat, berharap bahwa ada sedikit kesempatan untuk memperbaiki semuanya. “Aku akan melakukan apapun, Nina. Aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar mencintaimu.”

Namun, Nina merasa bahwa perkataan itu tidak lagi memiliki makna. “Kamu tidak bisa mencintai seseorang sambil mengkhianatinya, Randi.”

Randi terdiam. Perasaan Nina begitu berat, namun ia merasa terjebak antara cinta yang belum sepenuhnya hilang dan rasa sakit yang teramat dalam.

“Nina, aku tidak tahu bagaimana kita bisa memperbaikinya. Aku… aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih berharap kita bisa melewati ini bersama.”

Tetapi Nina tidak bisa. Hatinya sudah terluka begitu dalam. Setiap kali ia mencoba untuk percaya kembali, kenangan buruk itu datang menghantui. Ia ingin melepaskan, namun tak bisa. Ia ingin memaafkan, namun pengkhianatan itu terlalu besar untuk dimaafkan.

Malam itu, Nina kembali ke apartemennya, tetapi perasaannya semakin terpuruk. Ketegangan yang terpendam begitu nyata. Ia mencintai Randi, tetapi pengkhianatan itu membuatnya tidak tahu harus berbuat apa. Ia terjebak dalam dilema, antara cinta yang masih ada di dalam dirinya dan pengkhianatan yang menghancurkan segala sesuatu yang telah mereka bangun bersama.

Rasa sakit itu terus mengalir, dan semakin ia mencoba untuk melupakan, semakin besar ketegangan yang ia rasakan di dalam hati. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, antara memilih untuk memaafkan atau meninggalkan semuanya, dan jalan mana yang harus dipilih seakan tidak ada yang benar*

Bab 3: Pengkhianatan yang Tak Terduga

Sinar matahari pagi menyelinap melalui tirai jendela, namun suasana di kamar Nina terasa jauh dari hangat. Matanya menatap kosong pada ponselnya yang tergeletak di atas meja, layar yang menampilkan pesan suara dari Randi. Pesan yang dikirim beberapa menit lalu masih terngiang di telinganya.

“Nina, aku perlu berbicara denganmu. Ada hal penting yang harus kamu tahu.”

Kalimat itu begitu sederhana, namun penuh dengan kecemasan yang sulit disembunyikan. Randi belum pernah berbicara seperti ini sebelumnya. Biasanya, mereka selalu berbicara dengan tawa, ceria, dan penuh semangat. Tapi hari ini, ada sesuatu yang sangat berbeda. Sesuatu yang Nina sudah rasakan sejak pertemuan terakhir mereka.

Randi, pria yang dulu menjadi pusat dunia Nina, kini berubah menjadi sosok yang begitu asing. Bagaimana bisa seseorang yang begitu ia percayai, yang begitu ia cintai, mendekati sebuah pengkhianatan yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya?

Nina memutuskan untuk tidak membuka pesan itu lebih dulu. Hatinya ragu. Apakah ia siap mendengar apa yang akan dikatakan Randi? Tapi saat ia menatap foto-foto mereka yang tergeletak di meja, semua kenangan indah itu mengingatkannya betapa dalamnya perasaan yang pernah mereka miliki. Ia tahu, ia harus tahu. Ia tidak bisa terus terjebak dalam ketidakpastian ini.

Dengan tangan yang gemetar, Nina membuka pesan suara itu. Suara Randi terdengar tegang, cemas.

“Nina, aku—aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku tahu ini akan sangat menyakitkan, tapi aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Aku telah… aku telah selingkuh.”

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di hatinya. Selingkuh? Nina merasa dunia seakan runtuh di sekitarnya. Tidak, ini tidak mungkin. Randi, lelaki yang selalu ia anggap tulus, yang telah bersama dengannya selama ini, telah melakukan hal yang paling ia takuti.

Randi melanjutkan, suaranya penuh penyesalan, namun juga mengandung keputusasaan yang jelas.

“Aku sangat menyesal, Nina. Aku tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Aku sangat mencintaimu, dan aku tahu aku telah menghancurkan segalanya. Tolong, beri aku kesempatan untuk menjelaskan.”

Nina mematikan ponselnya dengan tangan yang gemetar. Hatinya berdebar begitu kencang. Perasaan campur aduk antara marah, sakit, dan kebingungannya yang mendalam. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Bagaimana mungkin seseorang yang begitu ia percayai bisa melakukan hal seperti ini?

Dengan langkah terhuyung-huyung, Nina berdiri dan berjalan ke jendela. Ia menatap keluar, namun pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang. Kenangan indah bersama Randi muncul satu per satu dalam benaknya. Randi, yang selama ini selalu menyemangatinya, yang selalu ada saat ia membutuhkan. Namun kini, ia harus menerima kenyataan bahwa pria yang sangat ia cintai telah mengkhianatinya.

Nina memegang dadanya, mencoba menenangkan diri. Sebuah pertanyaan yang sama terus terngiang di pikirannya: Kenapa? Kenapa Randi melakukannya?

Sementara itu, di luar sana, Randi menunggu di taman seperti yang sudah mereka rencanakan. Ia sudah mengirimkan pesan, mencoba meminta kesempatan untuk berbicara. Tapi ia tahu, ini akan sangat sulit. Ia tahu bahwa apa yang telah ia lakukan adalah kesalahan besar yang tak akan mudah dimaafkan. Namun, ia juga tidak ingin kehilangan Nina.

Randi mengenang hari pertama mereka bertemu. Nina adalah gadis yang penuh semangat, yang selalu membawa kebahagiaan dalam hidupnya. Mereka saling melengkapi, seperti dua potongan puzzle yang tak terpisahkan. Tapi sebuah pertemuan yang tidak terduga mengubah segalanya. Lia, seorang teman lama yang kembali hadir dalam hidupnya, datang membawa kecanggihan dan pesona yang berbeda. Tanpa ia sadari, mereka mulai terlibat dalam hubungan yang tidak sehat. Randi terjebak dalam tarik ulur antara perasaannya kepada Nina yang begitu dalam, dan godaan yang datang begitu kuat.

Lia bukan hanya sekadar teman. Dia tahu betul bagaimana cara memainkan hati seseorang. Ketika Randi merasa ada jarak antara dirinya dan Nina, Lia datang dengan perhatian dan kehangatannya. Mungkin itu semua dimulai begitu saja, tanpa perencanaan. Namun, dalam waktu yang singkat, Randi terperangkap dalam perasaan yang membuatnya bingung.

Namun, di saat yang sama, ada rasa bersalah yang terus menghantuinya. Setiap malam, ia terjaga memikirkan Nina, yang selalu tulus mencintainya. Setiap kali ia melihat wajah Nina, rasa bersalah itu semakin menggerogoti hatinya. Ia tahu bahwa apa yang ia lakukan adalah kesalahan besar, tetapi entah kenapa ia merasa tidak bisa keluar dari jerat yang telah ia buat.

Pada akhirnya, setelah beberapa waktu terpendam dalam kebohongan, Randi tahu bahwa ia harus mengungkapkan semuanya. Tidak peduli seberapa besar rasa sakit yang akan ditimbulkan, ia tidak bisa terus hidup dengan kebohongan ini. Nina berhak tahu kebenarannya.

Di sisi lain, Nina merasakan bahwa pengkhianatan ini lebih dari sekadar kehilangan seorang kekasih. Ini adalah kehilangan kepercayaan yang sudah ia bangun selama bertahun-tahun. Selama ini, ia merasa aman dan dicintai, namun kini semua itu runtuh begitu saja. Randi yang ia kenal kini hanyalah bayang-bayang dari orang yang telah meninggalkannya dengan luka yang mendalam.

Keputusan Nina untuk bertemu dengan Randi bukanlah hal yang mudah. Hatinya penuh dengan kebimbangan. Ia ingin menuntut jawaban, namun di sisi lain, ia merasa takut. Takut bahwa pertemuan ini akan menghancurkan semua harapan yang masih ada. Namun, ia tahu ia harus bertemu dengan Randi untuk mendengar penjelasannya.

Saat Nina tiba di taman yang mereka pilih, ia melihat Randi berdiri di bawah pohon besar, menunggu dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wajahnya terlihat lelah, seolah-olah beban berat menghimpit pundaknya. Saat mereka bertemu pandang, keduanya terdiam. Tidak ada kata-kata yang keluar, hanya tatapan penuh dengan emosi yang saling beradu.

“Nina…” Randi akhirnya membuka suara. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku… aku sangat menyesal. Aku tidak ingin kau tahu seperti ini, tapi aku tidak bisa terus berbohong padamu.”

Nina menatapnya dengan tatapan kosong, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. “Kau mengkhianatiku, Randi. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan lagi. Aku… aku sudah memberi segalanya padamu.”

Air mata mulai menetes di pipi Nina, namun ia berusaha keras untuk menahan tangisnya. “Kenapa, Randi? Kenapa kau melakukan ini? Apa yang salah dengan kita?”

Randi menghela napas berat. “Aku salah, Nina. Aku terlalu bodoh untuk menyadari betapa berharganya kamu bagiku. Aku terjebak dalam godaan dan perasaan yang tidak seharusnya ada. Aku tidak tahu kenapa bisa terjadi seperti ini. Aku sangat menyesal.”

Nina merasakan hatinya semakin sakit. Ia tahu, di dalam hatinya masih ada cinta untuk Randi, namun pengkhianatan ini terlalu besar untuk dimaafkan. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melupakan ini, Randi. Pengkhianatanmu sudah terlalu dalam.”

Randi mendekat, namun Nina mundur. “Aku tidak ingin melukai hatimu lebih dalam lagi, Nina. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu dan aku siap melakukan apa saja untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali.”

Namun, untuk pertama kalinya dalam hubungan mereka, Nina merasa bahwa cinta itu tidak cukup. Rasa sakit yang terpendam sudah terlalu dalam, dan mungkin kali ini, perasaan cinta itu tidak akan bisa menghapus semuanya.

“Randi, aku harus pergi,” kata Nina dengan suara tercekat. “Aku… aku tidak bisa lagi berada di sini.”

Dengan langkah terburu-buru, Nina meninggalkan Randi yang terdiam, mencoba menahan segala perasaan yang melanda hatinya. Pengkhianatan itu sudah terjadi, dan mungkin, untuk kali ini, tidak ada jalan kembali.*

Bab 4: Patah Hati dan Dilema

Nina duduk di tepi ranjangnya, tubuhnya terasa lemas dan hatinya hancur berkeping-keping. Setelah pertemuan dengan Randi yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi, ia kembali merasa seperti dirinya yang dulu, yang terjebak dalam perasaan yang saling bertentangan. Cinta dan rasa sakit yang begitu dalam membuatnya tidak tahu harus berbuat apa.

Beberapa hari berlalu setelah pertemuan itu, dan meskipun Nina berusaha menjalani hari-harinya dengan seakan-akan segalanya baik-baik saja, kenyataannya jauh berbeda. Ia masih terjaga sepanjang malam, memikirkan percakapan terakhirnya dengan Randi. Kata-kata Randi masih terus bergema di telinganya. *”Aku sangat menyesal, Nina. Aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali.”* Namun meskipun Randi berkata begitu, perasaan Nina tidak bisa begitu saja sembuh. Perasaan yang dulu hangat dan penuh kasih kini berubah menjadi keraguan yang menyesakkan.

Saat ia melihat kembali pesan-pesan yang pernah mereka kirimkan, ia merasa seperti berada di dunia yang berbeda. Dulu, setiap kata dari Randi terasa penuh dengan kebahagiaan, namun sekarang semuanya terasa kosong, seolah-olah Randi yang ia kenal sudah menghilang, digantikan oleh seorang pria yang berbeda—pria yang bisa mengkhianatinya dengan cara yang sangat menyakitkan.

Nina menarik napas panjang. Ia merasa bingung, terombang-ambing antara dua perasaan yang saling bertentangan. Di satu sisi, ia masih mencintai Randi, dan mungkin, jika keadaan berbeda, mereka bisa kembali bersama. Namun di sisi lain, ia merasa bahwa kepercayaan yang telah dibangun selama ini telah hancur berkeping-keping, dan tidak ada yang bisa mengembalikannya lagi.

Ketika ia keluar dari kamarnya untuk menghirup udara segar, matanya menangkap sosok **Maya**, sahabat terbaiknya, yang sudah menunggunya di ruang tamu. Maya duduk di sofa dengan wajah penuh kekhawatiran, dan ketika melihat Nina, ekspresi itu semakin terlihat jelas.

“Nina,” suara Maya lembut, “bagaimana perasaanmu? Kamu terlihat tidak baik-baik saja.”

Nina memaksakan senyum, meskipun senyuman itu tidak berhasil menyembunyikan ketegangan yang ada di wajahnya. “Aku baik-baik saja, Maya. Hanya… sedikit lelah saja,” jawab Nina, berusaha menyembunyikan kepedihan yang sedang ia rasakan.

Maya menatapnya dengan tatapan tajam, mengetahui bahwa Nina tidak sedang baik-baik saja. “Nina,” kata Maya dengan lembut, “kamu tidak bisa terus menyembunyikan perasaanmu. Aku tahu kamu sedang menderita. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Nina menghela napas berat dan duduk di samping sahabatnya. “Randi… dia mengkhianatiku, Maya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku mencintainya, tapi aku juga merasa sangat dikhianati. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkannya, atau apakah aku harus melupakan semuanya dan pergi.”

Maya memegang tangan Nina dengan erat, mencoba menenangkan sahabatnya. “Aku tahu ini berat untukmu, Nina. Kamu sudah memberikan segalanya untuk hubungan kalian, dan sekarang kamu dihadapkan pada kenyataan yang sangat sulit. Tapi kamu harus mendengarkan hatimu. Jangan biarkan rasa sakit ini mengendalikan hidupmu. Cinta itu memang bisa bertahan, tapi kepercayaan itu harus dibangun dengan usaha, dan bukan hanya dengan kata-kata.”

Nina menunduk, merasakan beratnya dilema yang kini menghantui pikirannya. “Tapi Maya, aku masih mencintainya. Setiap kali aku berpikir tentang semua kenangan indah yang kami miliki, aku merasa seperti aku kehilangan bagian dari diriku sendiri. Tapi aku juga tahu, rasa sakit ini terlalu dalam. Aku merasa tidak bisa memaafkannya begitu saja.”

Maya menggenggam tangan Nina lebih kuat, memandangnya dengan serius. “Cinta itu memang tidak mudah, Nina. Tapi bukan hanya perasaan cinta yang harus dipertimbangkan. Kamu juga harus memikirkan diri kamu sendiri. Apa yang kamu butuhkan? Apa yang membuat kamu bahagia? Terkadang, kita harus membuat keputusan yang sulit untuk bisa melangkah maju. Jika Randi benar-benar mencintaimu, dia harus membuktikan itu dengan lebih dari sekadar kata-kata.”

Nina menatap sahabatnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Tapi bagaimana kalau aku salah? Bagaimana jika aku memilih untuk pergi, dan suatu hari aku menyesal karena tidak memberikan kesempatan kedua?”

Maya tersenyum dengan lembut, mencoba menenangkan Nina. “Kamu tidak akan tahu jawabannya sampai kamu membuat keputusan itu. Tapi yang pasti, kamu tidak sendirian. Aku di sini untukmu, apapun keputusan yang kamu buat. Jangan biarkan rasa takutmu menghalangi kebahagiaanmu, Nina.”

Setelah percakapan itu, Nina merasa sedikit lebih ringan. Setidaknya, sahabatnya memberi perspektif yang berbeda, dan itu membantunya untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang lebih objektif. Namun, meskipun ia merasa sedikit lebih tenang, dilema itu tetap ada dalam hatinya. Cinta yang ia rasakan untuk Randi sangat kuat, tetapi di sisi lain, pengkhianatan itu menyakitkan begitu dalam.

Hari demi hari, Nina semakin bingung. Rasa sayang yang ia miliki untuk Randi selalu datang dengan rasa takut dan cemas. Setiap kali mereka bertemu, meskipun hanya sekadar lewat pesan atau telepon, ada ketegangan yang terasa di antara mereka. Randi selalu berusaha menunjukkan penyesalannya, tetapi Nina merasa bahwa ia masih belum bisa sepenuhnya membuka hatinya. Pengkhianatan itu mengintai setiap pertemuan mereka, membuatnya merasa tidak aman.

Nina memutuskan untuk memberi dirinya waktu untuk berpikir. Ia tidak ingin terburu-buru membuat keputusan yang akan memengaruhi sisa hidupnya. Namun, semakin lama ia merenung, semakin besar keraguannya. Ada saat-saat di mana ia merasa bahwa cinta itu cukup kuat untuk menutupi semuanya, tetapi ada juga saat-saat di mana ia merasa bahwa jika ia tetap bersama Randi, ia akan terus hidup dalam bayang-bayang pengkhianatan itu.

Suatu malam, Nina duduk di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang yang bersinar di langit. Di satu sisi, ia ingin percaya bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa waktu akan menyembuhkan luka ini. Tetapi di sisi lain, ia merasa bahwa jika ia terus hidup dalam ketidakpastian, ia akan semakin kehilangan dirinya.

Akhirnya, Nina tahu bahwa ia harus membuat keputusan. Keputusan yang akan menentukan arah hidupnya ke depan. Apakah ia akan memilih untuk tetap bertahan dengan Randi, berusaha memaafkan pengkhianatannya, ataukah ia akan melepaskannya dan mencoba untuk melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu?

Namun, apa pun keputusan itu, Nina sadar bahwa ia tidak bisa terus hidup di antara perasaan cinta yang tak kunjung selesai dan luka yang terus membekas. Ia harus memilih jalan yang terbaik untuk dirinya, bahkan jika itu berarti harus melepaskan seseorang yang pernah menjadi segalanya bagi dirinya.

Keputusan itu harus segera diambil, karena dilema yang terpendam ini sudah terlalu lama menggerogoti hatinya.***

—————THE END————

Source: DELA SAYFA
Tags: #Pengkhianatan #CintaYangSakit #PatahHati #DilemaCinta #KepercayaanYangHancur
Previous Post

MENUNGGU YANG TAK PASTI

Next Post

Kamu Prioritasku, Aku Hanya Pilihanmu

Related Posts

” KETIKA CINTA MENJADI SEBUAH ILUSI “

” KETIKA CINTA MENJADI SEBUAH ILUSI “

April 30, 2025
MATA YANG PURA – PURA BUTA, HATI YANG MENIKAM DIAM – DIAM

MATA YANG PURA – PURA BUTA, HATI YANG MENIKAM DIAM – DIAM

April 29, 2025
SEMENTARA AKU BERJUANG, KAU MENOREHKAN PISAU

SEMENTARA AKU BERJUANG, KAU MENOREHKAN PISAU

April 28, 2025
DIBALIK SENYUM, ADA LUKA YANG TAK TERLIHAT

DIBALIK SENYUM, ADA LUKA YANG TAK TERLIHAT

April 27, 2025
” CINTA YANG TERKHIANATI DI ANTARA JANJI DAN REALITA “

” CINTA YANG TERKHIANATI DI ANTARA JANJI DAN REALITA “

April 26, 2025
JEJAK PENGHIANATAN

JEJAK PENGHIANATAN

February 6, 2025
Next Post
Kamu Prioritasku, Aku Hanya Pilihanmu

Kamu Prioritasku, Aku Hanya Pilihanmu

CINTA YANG KEBAKAR OLEH KE BOHONGAN

CINTA YANG KEBAKAR OLEH KE BOHONGAN

ANTARA DUA DUNIA

ANTARA DUA DUNIA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id