Daftar Isi
Bab 1: Perpisahan yang Tak Terhindarkan
Nayla dan Arga harus menghadapi kenyataan bahwa Arga akan pindah ke London untuk pekerjaannya.
Keduanya berjanji akan tetap bersama, meskipun jarak akan menjadi penghalang.
Perasaan takut kehilangan mulai muncul di hati Nayla.
Langit sore Jakarta terlihat mendung ketika Nayla duduk di kafe favoritnya, menunggu Arga yang berjanji akan menemuinya. Suasana di luar terasa sama seperti hari-hari sebelumnya, tetapi di dalam hatinya, ada kecemasan yang sulit ia jelaskan.
Arga datang dengan langkah tergesa, mengenakan kemeja biru yang selalu menjadi favorit Nayla. Namun, ada sesuatu di wajahnya yang membuat Nayla merasa tidak tenang—tatapan matanya seolah menyimpan sesuatu yang ingin disampaikan tetapi tertahan.
“Nay…” Arga menarik napas dalam sebelum melanjutkan, “Aku dapat tawaran kerja di London. Aku harus berangkat bulan depan.”
Dunia Nayla seolah berhenti berputar.
London?
“Sebulan lagi?” suaranya bergetar.
Arga mengangguk. “Iya… Aku tahu ini mendadak, tapi ini kesempatan yang sudah lama aku impikan.”
Nayla menunduk, berusaha mencerna semuanya. Selama ini, mereka selalu membayangkan masa depan bersama, tetapi tidak pernah dalam skenario di mana mereka harus dipisahkan oleh ribuan kilometer.
“Jadi… kita harus menjalani hubungan jarak jauh?” tanyanya lirih.
Arga menggenggam tangan Nayla. “Aku nggak mau kehilangan kamu, Nay. Kita pasti bisa melewati ini.”
Tapi, benarkah mereka bisa?
Malam itu, Nayla tidak bisa tidur. Kata-kata Arga terus berputar di pikirannya.
London bukan hanya perjalanan singkat. Itu berarti perbedaan waktu, jadwal yang semakin padat, dan komunikasi yang tidak akan lagi semudah dulu.
Ia mengingat semua kenangan mereka—makan malam di warung sate favorit, tertawa bersama di taman kota, berjalan bergandengan tangan di bawah hujan. Semua terasa begitu dekat, tetapi sebentar lagi akan berubah menjadi kenangan yang jauh.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Arga.
“Aku tahu ini berat. Tapi aku janji, kita akan baik-baik saja. Aku sayang kamu, Nay.”
Nayla ingin percaya.
Tapi mengapa hatinya terasa begitu berat?
Minggu-minggu berikutnya, mereka mencoba menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama.
Mereka mengunjungi tempat-tempat yang memiliki kenangan, seperti bioskop tempat mereka pertama kali berkencan dan restoran tempat Arga pertama kali menyatakan cintanya.
Namun, di balik setiap tawa, ada kesedihan yang tak terucapkan.
“Kamu janji bakal sering telepon aku, kan?” tanya Nayla sambil bersandar di bahu Arga.
“Tentu. Aku nggak akan pernah lupa.”
Nayla mengangguk, meskipun di dalam hatinya ada ketakutan yang tak bisa ia singkirkan.
Malam sebelum keberangkatan Arga, mereka duduk di balkon apartemen Nayla.
“Aku takut, Ga.” Nayla akhirnya mengaku.
Arga menatapnya lekat-lekat. “Takut apa?”
“Takut kita nggak akan sama lagi. Takut kamu berubah. Takut kita kehilangan apa yang kita punya sekarang.”
Arga meraih tangan Nayla dan mengecupnya lembut. “Aku nggak akan berubah. Aku janji, Nay.”
Tapi Nayla tahu, janji terkadang hanya kata-kata.
Hari keberangkatan akhirnya tiba.
Di bandara, Nayla mencoba menahan air matanya. Arga berdiri di hadapannya, siap memasuki gerbang keberangkatan.
“Kita akan baik-baik saja, kan?” Nayla bertanya untuk kesekian kalinya.
Arga tersenyum, meskipun matanya juga tampak berat. “Tentu. Aku pasti kembali untuk kamu.”
Nayla mengangguk, tetapi saat Arga melangkah pergi, dadanya terasa semakin sesak.
Dan saat punggung Arga menghilang di balik pintu keberangkatan, Nayla tahu—ini bukan sekadar perpisahan sementara.
Ini adalah awal dari sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Perpisahan tidak selalu terjadi dengan perkelahian atau kata-kata kasar. Terkadang, perpisahan terjadi dengan janji yang terdengar manis, tetapi menyimpan ketidakpastian di dalamnya.
Dan Nayla hanya bisa berharap, bahwa janji yang diucapkan Arga akan tetap bertahan… seiring berjalannya waktu.
Bab 2: Janji di Antara Jarak
Awalnya, mereka masih sering berkomunikasi melalui video call dan pesan singkat.
Arga berusaha meyakinkan Nayla bahwa jarak tidak akan mengubah perasaannya.
Namun, perlahan kesibukan mulai mengubah segalanya.
Hari-hari pertama tanpa Arga terasa kosong bagi Nayla. Biasanya, setiap sore mereka akan bertemu, entah hanya sekadar minum kopi atau menghabiskan waktu bersama di taman kota. Kini, rutinitas itu hilang.
Namun, teknologi menjadi penyelamat mereka. Setiap pagi, Arga selalu mengirim pesan:
“Selamat pagi, Nay! Aku kangen.”
Pesan-pesan itu menjadi penghiburan bagi Nayla. Setidaknya, Arga masih mengingatnya, masih berusaha menjaga hubungan mereka.
Mereka membuat janji: setiap malam harus ada telepon atau video call, apa pun yang terjadi.
Namun, seiring berjalannya waktu, janji itu mulai terasa sulit untuk ditepati.
Dua minggu pertama masih terasa manis. Arga selalu menyempatkan diri untuk menelepon, bahkan di tengah kesibukannya. Mereka berbicara tentang aktivitas masing-masing, tentang rekan kerja Arga di London, dan tentang betapa Nayla merindukan kehadiran Arga di sisinya.
Namun, bulan pertama mulai memberikan ujian.
Suatu malam, Nayla menunggu telepon dari Arga. Ia sudah menyiapkan cerita tentang harinya, tentang pelanggan unik yang datang ke kafe tempatnya bekerja. Namun, hingga tengah malam, pesan dari Arga tidak juga masuk.
Pagi harinya, barulah ia mendapat pesan:
“Maaf, aku ketiduran. Kemarin kerjaan lagi banyak banget. Aku janji nanti malam kita telepon, ya.”
Nayla mencoba memahami, tetapi di hatinya, ada perasaan kecewa yang tak bisa ia tolak.
Dan kejadian itu terus berulang.
Dulu, mereka bisa bicara berjam-jam, tertawa bersama meskipun hanya lewat layar ponsel. Kini, obrolan mereka semakin singkat.
“Hari ini gimana?” Nayla bertanya saat Arga akhirnya menelepon setelah dua hari menghilang.
“Lelah banget, Nay. Aku baru selesai kerja.”
“Oh… Kamu mau cerita?”
“Nggak usah, nanti aja. Aku mau tidur dulu, ya.”
Panggilan itu selesai begitu saja. Nayla menatap layar ponselnya yang kembali gelap.
Dulu, Arga selalu punya waktu untuknya, selalu ingin mendengar ceritanya. Tapi sekarang, Nayla mulai merasa seperti seseorang yang sekadar ditenangkan dengan kata-kata, bukan lagi menjadi prioritas.
Di kafe tempatnya bekerja, Nayla duduk bersama sahabatnya, Rani.
“Dia masih sering telepon kamu?” Rani bertanya.
Nayla mengaduk kopinya pelan. “Kadang-kadang. Kalau dia nggak ketiduran.”
Rani mengernyit. “Itu berarti dia udah mulai nggak prioritaskan kamu, Nay.”
“Dia sibuk.”
“Kamu juga sibuk, tapi tetap punya waktu buat dia.”
Nayla terdiam. Kata-kata Rani menamparnya.
Benarkah Arga masih berusaha seperti dulu? Ataukah janji mereka perlahan mulai terkikis oleh waktu?
Malam itu, Nayla menunggu telepon dari Arga seperti biasa. Namun, hingga larut malam, ponselnya tetap sunyi.
Ia membuka Instagram, melihat story terbaru Arga—sebuah foto di sebuah kafe di London, bersama teman-teman kerjanya.
Nayla menelan ludah. Jadi, Arga sempat berkumpul dengan teman-temannya, tetapi tidak sempat menghubunginya?
Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi hatinya mulai dipenuhi pertanyaan.
Apakah ia masih menjadi bagian dari prioritas Arga?
Keesokan harinya, Arga akhirnya menelepon.
“Maaf, kemarin aku ketiduran lagi.”
Nayla menggigit bibirnya. “Bukan ketiduran, tapi kamu keluar sama teman-teman, kan?”
Sejenak, hanya ada keheningan di seberang sana.
“Aku butuh waktu buat bersosialisasi juga, Nay.”
“Aku tahu, Ga. Aku nggak masalah kamu bersenang-senang di sana. Aku cuma ingin tahu… aku masih jadi prioritas buat kamu, nggak?”
Arga menghela napas. “Nay, kamu nggak percaya sama aku?”
“Bukan soal percaya, Ga. Tapi aku takut… takut kita perlahan menjauh tanpa kita sadari.”
“Aku janji, Nay. Aku nggak akan ninggalin kamu.”
Lagi-lagi janji.
Tapi Nayla mulai bertanya-tanya, seberapa lama janji itu bisa bertahan?
Nayla memutuskan untuk tetap percaya.
Mereka mencoba kembali mengatur jadwal komunikasi, mencoba untuk lebih memahami satu sama lain.
Namun, Nayla tahu, ada sesuatu yang berubah.
Jarak bukan hanya sekadar angka. Jarak bisa menjadi dinding yang perlahan-lahan membatasi.
Dan di dalam hatinya, Nayla bertanya:
Seberapa lama mereka bisa bertahan sebelum salah satu dari mereka menyerah?
Hubungan jarak jauh selalu penuh dengan janji.
Tapi janji saja tidak cukup.
Nayla hanya bisa berharap, bahwa Arga benar-benar akan menepati kata-katanya.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia mulai takut… bahwa suatu hari nanti, janji itu akan tinggal kenangan.
Bab 3: Pesan yang Semakin Jauh
Waktu komunikasi mereka semakin berkurang.
Nayla mulai merasa ragu, sementara Arga semakin sulit dihubungi.
Apakah ini pertanda hubungan mereka mulai goyah?
Setiap pagi, Nayla selalu membuka ponselnya dengan harapan menemukan pesan dari Arga. Namun, semakin hari, notifikasi itu semakin jarang muncul.
Dulu, Arga selalu mengirim pesan sebelum berangkat kerja:
“Selamat pagi, Nay! Have a great day ❤️”
Kini, pesan itu hanya sesekali muncul. Bahkan, sering kali Nayla yang harus mengirim pesan lebih dulu.
“Pagi, Ga. Gimana harimu?”
Beberapa jam berlalu tanpa balasan.
Hingga akhirnya, malam tiba dan sebuah pesan baru masuk:
“Maaf, Nay. Aku sibuk banget hari ini. Nanti aku kabarin, ya.”
Nayla mendesah. Lagi-lagi jawaban yang sama.
Dulu, Arga selalu punya waktu. Sekarang, bahkan untuk sekadar membalas pesan pun terasa sulit.
Nayla mulai menyadari satu hal: komunikasi mereka tak lagi seperti dulu.
Dulu, chat mereka penuh dengan candaan, cerita, bahkan panggilan telepon yang bisa berlangsung berjam-jam. Sekarang, semuanya terasa singkat, sekadar formalitas.
Kadang, ketika Nayla mengirim chat panjang tentang harinya, balasan dari Arga hanya:
“Wah, seru ya. Semangat, Nay.”
Tidak ada lagi pertanyaan lanjutan, tidak ada rasa penasaran seperti dulu.
Seolah-olah Arga hanya membalas sekadar untuk membalas, bukan karena benar-benar ingin tahu.
Nayla mulai bertanya-tanya, apakah ia masih ada di dalam kehidupan Arga?
Suatu malam, Nayla mencoba menelepon Arga.
Satu dering. Dua dering. Tidak diangkat.
Ia mencoba lagi.
Setelah panggilan ketiga, akhirnya Arga mengangkatnya. Namun, suara pria itu terdengar lelah.
“Nay, aku lagi capek banget. Bisa nanti aja?”
“Aku cuma mau dengar suaramu sebentar.”
“Besok aja, ya?”
Klik.
Panggilan terputus.
Nayla menatap layar ponselnya. Dulu, Arga selalu punya waktu. Sekarang, ia bahkan tak mau meluangkan satu menit untuknya.
Di kafe tempatnya bekerja, Nayla duduk dengan Rani, sahabatnya.
“Arga masih sering telepon kamu?” tanya Rani sambil mengaduk kopinya.
Nayla tersenyum kecil. “Kadang-kadang. Tapi lebih sering aku yang telepon duluan.”
Rani menatapnya prihatin. “Kamu yakin dia masih seusaha dulu?”
Nayla terdiam. Ia ingin percaya bahwa Arga masih memperjuangkan mereka.
Tapi hatinya mulai ragu.
Hari-hari berlalu, dan komunikasi mereka semakin menipis.
Dulu, Arga selalu memberi kabar meski hanya lewat pesan singkat. Sekarang, Nayla harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan satu balasan.
Puncaknya terjadi malam itu.
“Ga, kita telepon sebentar?” tulis Nayla.
Tak ada jawaban.
Satu jam. Dua jam. Tiga jam.
Akhirnya, sebuah pesan masuk:
“Maaf, Nay. Aku ketiduran.”
Namun, tepat saat itu, Nayla melihat story Instagram Arga—sebuah foto di bar bersama teman-temannya.
Jadi, dia sempat keluar, tapi tidak sempat membalas pesannya?
Nayla menggigit bibirnya. Ada yang berubah, dan ia tak bisa mengabaikannya lagi.
Keesokan harinya, Nayla mengumpulkan keberanian untuk menelepon Arga.
“Ga, aku cuma mau tahu… kenapa kamu makin jauh?” tanyanya langsung.
Arga terdiam di seberang sana. “Aku nggak jauh, Nay. Aku cuma sibuk.”
“Sibuk atau memang udah nggak mau komunikasi kayak dulu?”
Arga menghela napas. “Kenapa sih kamu selalu curiga? Aku masih sayang sama kamu, tapi aku juga punya kehidupan di sini.”
Nayla merasakan sesuatu mencubit hatinya. “Aku nggak minta kamu selalu ada, Ga. Aku cuma ingin tahu… masihkah aku jadi bagian dari hidupmu?”
Arga terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata:
“Aku nggak tahu, Nay…”
Dan pada saat itu, Nayla menyadari bahwa semuanya mungkin tak akan pernah sama lagi.
Malam itu, Nayla memandangi ponselnya. Ia ingin mengirim pesan, ingin memperbaiki semuanya.
Tapi, bagaimana jika hanya dirinya yang berjuang?
Bagaimana jika Arga sudah tak lagi ingin mempertahankan mereka?
Sambil menatap layar ponselnya, Nayla akhirnya sadar:
Kadang, pesan yang semakin jauh bukan sekadar soal jarak.
Kadang, pesan yang semakin jauh adalah tanda bahwa hati mereka juga mulai terpisah.
Nayla tahu, hubungan mereka masih belum berakhir.
Tapi untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya:
Seberapa lama lagi mereka bisa bertahan sebelum akhirnya menyerah?
Bab 4: Kehadiran yang Lain
Nayla bertemu dengan Rian, seorang pria yang diam-diam menyukainya.
Sementara itu, di London, Arga mulai sering menghabiskan waktu dengan Samantha, rekan kerjanya.
Keduanya mulai merasa nyaman dengan orang lain, tetapi tetap menyangkal perasaan mereka.
Nayla mulai merasa bahwa dirinya bukan lagi prioritas dalam hidup Arga.
Sejak percakapan terakhir mereka yang berakhir tanpa kepastian, komunikasi mereka semakin renggang. Nayla masih mencoba menghubungi Arga, tapi jawaban yang ia dapat selalu sama: singkat, datar, dan terasa jauh.
Suatu malam, ketika ia membuka Instagram, ia melihat sesuatu yang membuat dadanya sesak.
Sebuah foto.
Arga bersama seorang perempuan. Mereka sedang tertawa, terlihat begitu nyaman.
Perempuan itu bukan orang yang asing bagi Nayla—namanya Celine, rekan kerja Arga di Bandung.
Hatinya berdebar. Bukan karena cemburu semata, tapi karena ia tahu bahwa belakangan ini, Arga sering menyebut nama Celine.
Dulu, Arga selalu bercerita tentang betapa sibuknya ia bekerja. Tapi kini, setiap kali mereka berbicara, ada satu nama yang selalu muncul di sela-sela percakapan: Celine.
Nayla menggigit bibirnya. Apakah Celine adalah alasan mengapa Arga semakin jauh?
Di kafe tempatnya bekerja, Nayla duduk diam sambil menatap cangkir kopinya.
Rani, sahabatnya, memperhatikan ekspresi Nayla yang semakin murung.
“Kamu kepikiran Arga lagi?”
Nayla mengangguk pelan. “Aku rasa ada seseorang di hidupnya sekarang.”
Rani mengernyit. “Maksudmu?”
“Aku lihat dia sering menghabiskan waktu dengan teman kantornya, Celine. Bahkan lebih sering daripada dia menghubungi aku.”
Rani terdiam sejenak. “Kamu sudah tanya langsung ke Arga?”
Nayla menggeleng. “Aku takut dia menganggap aku terlalu curiga atau menuduh tanpa bukti.”
Rani menghela napas. “Nay, kalau kamu merasa ada yang salah, kamu berhak untuk bertanya. Jangan biarkan perasaanmu semakin tersiksa.”
Beberapa hari kemudian, Nayla akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
Malam itu, ia menghubungi Arga. Setelah beberapa kali nada sambung, akhirnya pria itu mengangkatnya.
“Halo, Nay…”
“Hai, Ga. Kamu sibuk?”
“Lumayan. Ada apa?”
Nayla terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya dengan hati-hati. “Aku lihat kamu sering bareng Celine belakangan ini.”
Arga terdiam beberapa detik sebelum menjawab. “Oh… iya. Dia rekan kerja aku. Kenapa?”
“Nggak apa-apa, cuma penasaran. Aku lihat kalian kelihatan dekat.”
Arga menghela napas. “Nay, dia cuma teman. Aku nggak ngerti kenapa kamu membahas ini.”
Nayla menggigit bibirnya. “Aku cuma merasa… kamu lebih banyak menghabiskan waktu dengannya daripada denganku.”
Suasana hening.
“Kamu tahu, Nay? Kadang aku merasa lebih nyaman ngobrol sama dia… karena dia selalu ada di sini.”
Jantung Nayla seakan berhenti berdetak.
“Maksud kamu?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
“Aku nggak bilang aku ada perasaan sama dia. Tapi… aku nggak bisa bohong kalau kehadirannya membantu aku melewati hari-hari berat.”
Air mata mulai menggenang di mata Nayla.
Jadi… kehadiran Celine memang sudah menggantikan perannya?
Setelah percakapan itu, Nayla mencoba berpikir positif. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa Arga hanya menganggap Celine sebagai teman.
Namun, kenyataan seakan terus menamparnya.
Malam itu, saat ia membuka media sosial, ia kembali melihat foto Arga dan Celine. Kali ini, foto mereka berdua di sebuah kafe, tertawa bersama.
Bukan foto biasa.
Di dalamnya, ada kedekatan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Hatinya sakit.
Ia ingin mengabaikannya, tapi pikiran tentang kemungkinan Arga telah menemukan seseorang yang lain tak bisa ia hapus begitu saja.
khirnya, Nayla tak bisa menahan lagi perasaannya.
Ia menghubungi Arga dan langsung berkata tanpa basa-basi.
“Ga, aku mau jujur. Aku merasa kamu sudah berubah.”
Arga terdiam. “Maksudmu?”
“Aku merasa kamu lebih dekat dengan Celine daripada denganku.”
Arga menghela napas panjang. “Nay, aku sudah bilang, dia cuma teman.”
“Tapi kamu lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Kamu lebih banyak berbagi cerita dengannya daripada denganku.”
Suasana hening.
Lalu, Arga berkata dengan nada rendah.
“Mungkin karena dia ada di sini, Nay.”
Air mata Nayla akhirnya jatuh.
“Jadi, kamu memilih dia?”
“Aku nggak bilang begitu. Aku cuma… nggak tahu harus gimana.”
Nayla merasa hatinya remuk.
Ternyata, yang ia takutkan selama ini benar-benar terjadi.
Setelah percakapan itu, Nayla merasa ada sesuatu yang patah di dalam dirinya.
Ia ingin percaya bahwa Arga masih mencintainya, tapi bagaimana caranya ketika Arga sendiri sudah mulai menggantungkan kenyamanannya pada orang lain?
Ia menatap layar ponselnya, membaca kembali pesan-pesan lama yang dulu terasa penuh cinta.
Kini, pesan itu hanya menyisakan luka.
Hatinya bertanya:
Seberapa lama lagi aku bisa bertahan?
Cinta jarak jauh selalu penuh dengan ujian.
Tapi kadang, ujian terbesar bukanlah jarak itu sendiri… melainkan kehadiran orang lain yang perlahan mengambil tempat di hati yang seharusnya tetap setia.
Dan Nayla kini harus menghadapi ketakutan terbesarnya: kehilangan Arga, bukan karena jarak, tetapi karena hati yang mulai berpaling.
Bab 5: Antara Setia dan Mengikhlaskan
Nayla mulai mempertanyakan, apakah hubungan ini masih layak diperjuangkan?
Arga juga mulai merasa bersalah karena mulai merasa nyaman dengan Samantha.
Keduanya dihadapkan pada dilema: bertahan atau melepaskan?
Sejak percakapannya dengan Arga, Nayla merasa dunianya tak lagi sama.
Ada sesuatu yang terus mengganjal di hatinya—sebuah ketakutan yang perlahan berubah menjadi kepastian.
Arga tak lagi sama.
Dulu, ia selalu menjadi tempat pertama bagi Arga berbagi cerita, tawa, dan kesedihan. Sekarang, ada orang lain yang hadir dalam kehidupan pria itu.
Namun, meski hatinya sakit, Nayla masih mencoba bertahan.
Ia masih mencintai Arga.
Ia masih berharap bahwa semua ini hanyalah fase yang akan mereka lalui bersama.
Tapi, di lubuk hatinya yang paling dalam, ia bertanya: Apakah aku bertahan karena cinta… atau karena aku takut kehilangan?
Hari itu, Nayla bertemu dengan Rani di sebuah kafe kecil di dekat tempat kerjanya.
Setelah beberapa menit berbasa-basi, Rani akhirnya bertanya dengan nada hati-hati.
“Nay, kamu kelihatan nggak bahagia.”
Nayla menunduk, mengaduk-aduk kopinya tanpa tujuan.
“Aku nggak tahu, Ran. Aku masih cinta sama Arga, tapi aku merasa aku sedang berjuang sendirian.”
Rani menggenggam tangan sahabatnya. “Nay, cinta itu harusnya saling. Kalau kamu merasa hanya kamu yang mempertahankan, mungkin ada yang salah.”
Nayla menghela napas. “Aku takut, Ran. Aku takut kalau aku melepaskan dia, aku akan menyesal. Aku takut kalau aku pergi, ternyata dia masih butuh aku.”
Rani menatapnya dengan mata lembut. “Tapi, Nay… kalau dia benar-benar butuh kamu, dia nggak akan membiarkan kamu merasa sendirian seperti ini.”
Beberapa hari kemudian, Nayla memutuskan untuk menelepon Arga.
Namun, panggilannya tak pernah dijawab.
Pesan yang ia kirim hanya dibaca, tanpa balasan.
Hingga suatu malam, ketika ia mencoba menelepon lagi, seseorang akhirnya mengangkatnya.
Tapi bukan Arga.
“Halo?” Suara seorang perempuan terdengar di seberang sana.
Jantung Nayla berdegup kencang. “Siapa ini?”
Ada jeda sebelum suara itu kembali terdengar. “Ini Celine.”
Dunia Nayla seakan runtuh.
Celine.
Perempuan yang selama ini ia curigai, yang namanya selalu disebut oleh Arga.
Kenapa dia yang mengangkat ponsel Arga?
Nayla menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan emosinya. “Mana Arga?”
Ada keheningan sejenak sebelum Celine menjawab. “Dia lagi mandi. Aku bisa sampaikan sesuatu?”
Sejenak, Nayla merasa ingin menutup telepon itu. Tapi ia tahu, jika ia tak bertanya sekarang, ia mungkin akan terus dihantui oleh pertanyaan ini.
“Kalian lagi di mana?” tanyanya akhirnya.
“Di apartemen Arga.”
Nafas Nayla tercekat.
Seakan ada sesuatu yang remuk di dalam dirinya.
Ia tak perlu mendengar penjelasan lebih lanjut.
Jawaban itu sudah cukup untuk membuatnya mengerti.
Arga telah memilih.
Dan sayangnya… pilihannya bukan dirinya.
Setelah telepon itu, Nayla menangis sepanjang malam.
Bukan hanya karena sakit hati, tetapi juga karena rasa kecewa yang begitu mendalam.
Ia ingin marah, ingin menuntut penjelasan dari Arga.
Tapi di saat yang sama, ia sadar—tak ada gunanya lagi bertanya ketika jawabannya sudah begitu jelas.
Arga telah berpaling.
Dan kini, yang tersisa hanyalah keputusannya sendiri: apakah ia akan tetap bertahan dalam hubungan yang sudah tak lagi sama, atau mulai belajar mengikhlaskan?
Malam berikutnya, Arga akhirnya menghubungi Nayla.
Dengan tangan gemetar, Nayla mengangkatnya.
“Nay…” suara Arga terdengar pelan.
Nayla menutup matanya, mencoba menenangkan dirinya. “Aku nggak butuh penjelasan lagi, Ga.”
“Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Celine, Nay.”
Nayla tertawa miris. “Kamu serius bilang begitu setelah aku tahu dia ada di apartemen kamu?”
Suasana hening.
Arga akhirnya menghela napas. “Aku nggak bermaksud menyakitimu.”
“Tapi kamu sudah melakukannya.” Suara Nayla bergetar. “Dan kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Kamu bahkan nggak sadar kalau kamu sudah melukai aku.”
Air mata menggenang di mata Nayla.
“Arga, aku mencintaimu.”
“Aku tahu.”
“Tapi aku nggak bisa terus mencintai seseorang yang hatinya sudah bukan milikku lagi.”
Di ujung sana, Arga terdiam.
Nayla menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Aku memilih untuk mengikhlaskan.”
Dan dengan itu, ia menutup telepon.
Tangan dan hatinya gemetar, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa lega.
Ia telah membuat keputusan.
Hari-hari berikutnya terasa sulit.
Ada banyak momen di mana Nayla ingin kembali menghubungi Arga. Ada saat-saat di mana ia rindu suaranya, tawa dan perhatiannya.
Tapi setiap kali ia tergoda untuk kembali, ia mengingat kembali rasa sakit yang ia rasakan saat mendengar suara Celine di telepon.
Cinta memang tak selalu tentang bertahan.
Terkadang, cinta juga tentang melepaskan—bahkan ketika hati masih ingin tetap menggenggam.
Dan Nayla tahu, kini saatnya ia mulai mencintai dirinya sendiri lebih dari perasaannya kepada Arga.
Setia adalah pilihan.
Mengikhlaskan juga adalah pilihan.
Tapi ketika setia hanya membuat hati semakin terluka, bukankah mengikhlaskan adalah jalan terbaik?
Dan malam itu, di bawah langit yang sama, Nayla akhirnya belajar satu hal penting:
Cinta sejati tak akan membuat seseorang merasa sendirian.
Dan jika ia harus memilih, ia lebih memilih kehilangan Arga… daripada kehilangan dirinya sendiri.
Bab 6: Cinta yang Kembali Diuji
Ketika Arga akhirnya pulang ke Indonesia, Nayla merasa ada yang berbeda.
Ia mulai menyadari bahwa Arga tidak lagi seperti dulu.
Arga pun menyadari bahwa hatinya mulai bimbang.
Hari-hari setelah perpisahan itu terasa panjang bagi Nayla.
Setiap sudut kota ini mengingatkannya pada Arga.
Kafe tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu, taman tempat mereka berbincang tentang impian, bahkan lagu-lagu di playlist-nya terasa seperti luka yang belum sembuh.
Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras, menghabiskan waktu dengan teman-temannya, bahkan mulai menulis di jurnalnya—sesuatu yang sudah lama ia tinggalkan.
Namun, di sela-sela semua itu, hatinya masih rapuh.
Ia masih berharap, meski ia tahu harapan itu sia-sia.
Suatu sore, ketika Nayla sedang duduk di kafe sendirian, ponselnya bergetar.
Jari-jarinya gemetar saat ia mencoba memutuskan—haruskah ia mengangkatnya?
Atau membiarkannya begitu saja?
Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, ia menekan tombol hijau.
“Halo…” suaranya hampir berbisik.
Di seberang sana, ada keheningan sejenak sebelum Arga menjawab, “Hai, Nay…”
Nayla menutup matanya, berusaha mengendalikan emosinya. “Kenapa kamu telepon?”
Arga menghela napas. “Aku… Aku kangen.”
Hati Nayla mencelos.
Kangen?
Setelah semua yang terjadi?
Ia ingin marah, ingin menuntut jawaban. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah satu kalimat: “Aku nggak tahu harus bilang apa.”
Arga tertawa kecil—tawa yang dulu selalu membuat Nayla merasa hangat, tapi kini justru menyakitkan. “Aku cuma mau tahu kabarmu. Aku tahu aku nggak pantas, tapi…”
“Kamu benar, kamu memang nggak pantas.” Nada suara Nayla berubah, lebih tegas. “Kalau kamu hanya ingin mengganggu ketenanganku, lebih baik jangan hubungi aku lagi.”
Ia langsung menutup telepon sebelum Arga sempat berkata lebih banyak.
Tangannya gemetar.
Hatinya berantakan lagi.
Kenapa setelah semua yang ia lalui, Arga masih bisa mengguncang hatinya seperti ini?
Beberapa hari setelahnya, Nayla akhirnya menerima ajakan Rani untuk pergi ke sebuah acara pameran seni.
Ia butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya, dan pameran ini terdengar seperti ide yang bagus.
Namun, saat ia baru saja masuk ke dalam galeri, langkahnya terhenti.
Di tengah ruangan, di antara banyaknya orang, ia melihat Arga.
Bersama Celine.
Mereka terlihat berbicara akrab, bahkan sesekali tertawa.
Dada Nayla terasa sesak, tapi ia memaksakan dirinya untuk tetap tegar.
Rani yang melihat perubahan ekspresi Nayla segera menatap ke arah yang sama.
“Nay… kita keluar aja, yuk?”
Nayla menggeleng. “Nggak, aku nggak akan lari lagi.”
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah maju.
Saat langkahnya semakin mendekat, Arga akhirnya menyadari kehadirannya.
Mata mereka bertemu.
Untuk beberapa detik, dunia seakan berhenti.
“Nayla…” suara Arga terdengar kaget.
Celine ikut menoleh, dan ekspresi wajahnya seketika berubah tak nyaman.
“Hai.” Nayla berusaha tersenyum.
Arga tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi sebelum ia sempat berbicara, Nayla sudah lebih dulu berkata, “Senang lihat kalian. Semoga kalian bahagia.”
Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi.
Dadanya bergetar hebat, tapi ia menolak untuk menangis.
Tidak di depan mereka.
Tidak lagi.
Setelah kejadian di pameran seni, Nayla berusaha keras untuk tidak memikirkan Arga lagi.
Namun, satu pesan di ponselnya kembali mengacaukan hatinya.
Arga: Boleh kita bicara?
Nayla menatap layar ponselnya cukup lama.
Bagian dari dirinya ingin mengabaikan pesan itu.
Namun, bagian lainnya… masih ingin tahu apa yang ingin dikatakan Arga.
Setelah menimbang-nimbang, ia akhirnya mengetik balasan.
Nayla: Besok sore di taman dekat kampus. Satu jam saja.
Saat pertemuan itu tiba, Nayla datang lebih awal.
Ia duduk di bangku taman, mencoba mengatur pikirannya.
Tak lama kemudian, Arga datang.
Ia tampak sedikit gugup. “Hai.”
Nayla menatapnya dingin. “Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?”
Arga menatapnya lekat-lekat, seakan ingin menghafal setiap detail wajahnya. “Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu, Nay.”
Hati Nayla berdebar, tapi ia menutupinya dengan tawa kecil. “Lucu, ya? Dulu, aku yang selalu menunggu pesan darimu. Tapi sekarang, setelah aku berusaha move on, kamu malah datang lagi.”
Arga menunduk. “Aku tahu aku salah. Aku tahu aku nggak pantas…”
“Lalu kenapa kamu ada di sini, Arga?” suara Nayla bergetar. “Kenapa kamu datang saat aku sudah mencoba berdamai dengan perasaanku?”
Arga menghela napas panjang. “Karena aku sadar… aku masih mencintaimu.”
Mata Nayla membesar.
Ia ingin percaya.
Tapi, ia juga takut.
“Jangan bilang hal yang kamu sendiri nggak yakin.”
“Aku yakin, Nay.”
“Lalu, bagaimana dengan Celine?”
Arga terdiam.
Dan itu sudah cukup bagi Nayla untuk tahu jawabannya.
Hatinya kembali hancur.
Dengan suara bergetar, ia berkata, “Aku mencintaimu, Arga. Tapi aku nggak bisa terus berada dalam hubungan yang nggak pasti.”
Ia berdiri, menahan air matanya.
“Kali ini, aku yang memilih pergi.”
Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan Arga yang hanya bisa terdiam.
Malam itu, Nayla menangis.
Bukan karena ia masih mencintai Arga, tapi karena ia tahu ia telah membuat keputusan yang benar.
Cinta seharusnya saling.
Bukan hanya satu pihak yang terus memperjuangkan.
Dan jika Arga hanya kembali saat ia merasa kehilangan, itu bukan cinta. Itu hanya ketakutan akan kesepian.
Kini, Nayla siap untuk benar-benar melangkah maju.
Tanpa ragu.
Tanpa menoleh ke belakang lagi.
Penutup Bab 6
Cinta sejati bukanlah tentang seseorang yang datang dan pergi sesuka hati.
Cinta sejati adalah tentang seseorang yang memilih untuk tetap tinggal, bahkan ketika segalanya sulit.
Dan Nayla akhirnya belajar bahwa ia pantas mendapatkan cinta seperti itu.
Bukan yang datang hanya untuk menguji hatinya lagi dan lagi.***