Daftar Isi
BAB 1 Kepercayaan yang Hancur
Maya duduk di kursi kayu di ruang tamu, menatap ke luar jendela. Hujan turun deras, membawa angin yang menggoyang pepohonan di halaman rumah. Tetapi cuaca tak bisa menghapus perasaan yang sedang bergolak dalam dadanya. Setiap detik terasa semakin berat. Pikirannya penuh dengan pertanyaan, kenapa? Kenapa semua yang telah ia bangun bersama Dimas bisa hancur begitu saja?
Sehari sebelumnya, Maya baru saja menerima sebuah pesan yang mengubah segalanya. Pesan itu datang dari teman terbaiknya, Rina. Sejak mereka kecil, Maya dan Rina selalu berbagi cerita tentang segala hal, termasuk masalah percintaan. Tetapi kali ini, Rina tak mengirim pesan biasa. Ada sesuatu yang sangat berbeda, sesuatu yang membuat Maya merasa seolah dunia runtuh di sekelilingnya.
“Maaf, Maya. Aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi Dimas… dia sedang bersama orang lain. Aku lihat dia di kafe tadi dengan perempuan itu.”
Maya membacanya berulang kali, berharap kata-kata itu hanya ilusi. Tetapi kenyataan tetap sama. Dimas, kekasih yang selama ini ia percayai, ternyata telah mengkhianatinya. Seolah tidak cukup dengan rasa sakit, kenyataan itu datang dengan cara yang sangat tidak terduga. Maya tidak percaya apa yang baru saja ia baca. Setiap kenangan indah bersama Dimas, setiap janji yang mereka buat, semuanya menjadi kabur dan tak berarti lagi.
Namun, perasaan terbesarnya saat itu bukan hanya rasa sakit atau marah, melainkan ketidakpercayaan. Ia merasa seperti berada di dunia yang sangat asing, di mana segala hal yang selama ini ia anggap nyata kini tampak palsu. Dimas, yang selama ini ia anggap sebagai sosok yang setia dan penuh cinta, ternyata menyimpan rahasia besar yang menghancurkan segala keyakinannya.
Dengan hati yang penuh kecurigaan dan rasa takut, Maya memutuskan untuk mengonfirmasi semuanya. Ia menghubungi Dimas, tetapi entah mengapa, hatinya sudah merasa tidak tenang sejak pertama kali ia mendengar kabar itu.
Dimas, di ujung telepon, terdengar bingung. “Maya, apa yang kamu maksud? Aku nggak ngerti. Kenapa kamu bilang begitu?”
Suara Dimas yang terdengar cemas dan terkejut hanya membuat Maya semakin bingung. Kenapa Dimas tidak bisa berkata jujur? Maya sudah tahu segalanya, meskipun Dimas berusaha menyangkalnya. Setiap kata yang keluar dari mulut Dimas terdengar seperti kebohongan belaka, semakin menambah keraguan dalam hati Maya.
Setelah beberapa saat, akhirnya Dimas mengaku. “Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana, Maya. Maaf, aku tahu aku telah melakukan hal yang salah. Aku nggak bermaksud menyakitimu, tapi… aku telah menjalin hubungan dengan orang lain.”
Maya merasa seperti ada yang menohok dadanya. Setiap kalimat yang diucapkan Dimas seperti duri yang menembus hatinya. Untuk pertama kalinya, Maya merasa benar-benar terhina. Selama ini, ia percaya bahwa cinta mereka tak tergoyahkan, bahwa Dimas adalah pria yang setia. Tetapi sekarang, semua itu hancur hanya dengan pengakuan singkat yang keluar dari mulutnya.
“Aku… aku nggak tahu harus bagaimana lagi, Dimas. Aku merasa seperti aku sudah tahu segalanya, tapi kenapa kamu nggak pernah bilang apa-apa?” Maya berusaha menahan tangis. Perasaan sakit itu seolah merembes keluar, meskipun ia berusaha kuat.
Dimas menghela napas panjang, “Aku… aku takut kehilangan kamu, Maya. Aku tahu ini salah, tapi aku nggak bisa menghentikan perasaanku.”
Maya merasa semakin bingung. “Perasaanmu? Kamu pikir itu alasan untuk menyakiti aku seperti ini?”
Dimas terdiam, dan Maya merasakan sesuatu yang lebih dalam lagi. Bukan hanya pengkhianatan, tetapi juga ketidakmampuan Dimas untuk menghargai perasaan dan pengorbanannya. Tidak ada penyesalan yang tulus, hanya alasan dan pembelaan yang tidak berarti.
Setelah percakapan itu, Maya merasa seperti seluruh dunianya runtuh. Ia tahu, meskipun Dimas mengungkapkan penyesalan, luka yang ditinggalkan terlalu dalam. Kepercayaan yang selama ini ia bangun dengan susah payah kini terobrak-abrik, tak bisa kembali seperti semula.
Maya duduk di sofa dengan air mata yang mengalir deras. Ia merasa kosong, kehilangan, dan tidak tahu harus berbuat apa. Segala kenangan manis yang pernah ia bagi bersama Dimas kini terasa seperti kenangan pahit. Ia teringat pada tawa mereka, pelukan yang terasa hangat, dan janji-janji masa depan yang mereka rajut bersama. Semua itu kini terasa seperti kebohongan besar. Semua rasa itu terasa sia-sia.
Rina, sahabat yang selama ini selalu mendukungnya, menelepon untuk menanyakan keadaan Maya. Tetapi Maya tidak bisa berkata banyak. Hanya air mata yang mengalir, tanda bahwa hatinya hancur. Ia tak tahu harus mulai dari mana untuk menyembuhkan luka ini. Dimas, yang pernah menjadi segalanya, kini menjadi orang yang paling ia benci.
Namun, meskipun hatinya penuh dengan rasa sakit, Maya merasa ada sesuatu yang lebih dalam. Sebuah perasaan yang memberinya kekuatan untuk melangkah maju. Ia tahu bahwa ia harus bangkit. Kepercayaan yang hancur bukan berarti hidupnya juga harus hancur. Maya tidak akan membiarkan pengkhianatan itu menghancurkan masa depannya.
Dengan tangan yang gemetar, Maya mematikan telepon. Ia memutuskan untuk tidak lagi menghubungi Dimas, untuk tidak lagi mencari jawaban atas pengkhianatannya. Karena bagaimanapun, apa yang terjadi sudah terjadi. Satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang adalah belajar untuk memaafkan dirinya sendiri dan mencoba menemukan cara untuk melanjutkan hidup.
Dunia mungkin tidak bisa mengembalikan kepercayaannya, tetapi Maya tahu bahwa ia memiliki kekuatan untuk memperbaiki dirinya sendiri, untuk menyembuhkan hatinya yang terluka.*
BAB 2 Patah Hati yang Menghancurkan
Maya duduk di sudut ruang tamu yang terasa asing, meskipun ini adalah rumah yang telah lama ia tinggali. Hari itu, rumah yang biasa terasa penuh dengan tawa dan canda, kini sepi, sunyi, hanya diisi oleh suara detak jam dinding yang terus berputar. Tidak ada lagi suara tawa ceria yang biasanya terdengar dari ruang makan, tidak ada lagi langkah kaki Dimas yang selalu membuat hatinya merasa hangat. Semua itu hilang begitu saja.
Semalam, Maya mendapatkan kenyataan yang tak pernah ia duga sebelumnya. Dimas, kekasih yang selama ini ia percayai dengan sepenuh hati, telah mengkhianatinya. Maya menemukan pesan-pesan di ponsel Dimas, pesan yang menunjukkan betapa dekatnya Dimas dengan wanita lain, wanita yang tidak pernah ia kenal. Semua yang selama ini Maya anggap sebagai hubungan yang tulus, ternyata hanya kebohongan belaka.
Kepercayaan yang selama ini ia berikan dengan sepenuh hati hancur dalam sekejap. Maya menatap layar ponselnya, membaca pesan-pesan itu berulang kali. Setiap kata yang tertera dalam percakapan itu semakin menyakitkan, seperti pisau yang terus menghujam ke dalam hatinya. “Aku mencintaimu, Dimas,” tulis Maya di dalam hati, tapi tidak ada jawaban, hanya kesunyian yang membekas.
Maya merasakan seluruh tubuhnya kaku. Matanya mulai terasa berat, namun air mata tidak bisa jatuh. Ia merasa seolah-olah ia sedang berada dalam mimpi buruk yang tak bisa ia bangun. Bagaimana mungkin Dimas, yang ia anggap sebagai segala-galanya, bisa melakukan hal ini padanya? Apakah semua yang mereka lalui hanya kebohongan? Semua kenangan indah yang mereka buat bersama, semua janji yang mereka ucapkan, semuanya terasa begitu kosong dan palsu.
Setelah menghabiskan waktu berjam-jam memandangi ponselnya, Maya akhirnya merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dada. Ia merasakan sesak yang begitu mendalam, seolah-olah seluruh dunia tiba-tiba runtuh. Maya mencoba untuk menghubungi Dimas, tetapi ponselnya terus berdering tanpa ada balasan. Hatinya semakin tertekan. Apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia katakan pada Dimas? Apakah ini semua salahnya?
Di tengah keheningan yang mencekam, Maya akhirnya berdiri dan berjalan menuju pintu. Ia membuka pintu rumah mereka, keluar, dan berjalan tanpa tujuan. Langkahnya terasa berat, seperti ada beban yang mengikat kakinya. Ia tidak tahu harus pergi ke mana, hanya ingin melarikan diri dari perasaan sakit yang menghimpit hatinya.
Maya pergi menuju taman kota, tempat yang biasa ia kunjungi untuk menenangkan diri. Ia duduk di bangku taman yang sepi, menatap ke langit yang tampak kelabu. Angin berhembus pelan, seolah-olah mencoba memberikan sedikit kenyamanan pada hatinya yang hancur. Namun, tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit itu. Setiap detik yang berlalu, Maya merasakan perasaan kehilangan yang semakin dalam. Ia merasa ditinggalkan, dihancurkan oleh seseorang yang selama ini ia percayai.
Tak lama kemudian, Maya merasakan ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Dimas. Dengan tangan yang gemetar, ia membuka pesan itu. “Maya, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku cinta kamu, tapi aku tidak tahu kenapa aku melakukan itu. Aku berharap kamu bisa memaafkanku.” Maya membaca pesan itu berulang kali, tetapi rasanya tidak ada yang bisa mengurangi rasa sakit di hatinya.
“Apa yang harus aku lakukan dengan kata-kata ini?” pikir Maya. “Apakah aku harus memaafkan Dimas begitu saja? Apa yang membuatnya berpikir aku bisa melupakan semuanya hanya dengan permintaan maaf?”
Maya menghapus pesan itu tanpa menjawab. Ia tidak tahu apakah ia bisa memaafkan Dimas. Bagaimana mungkin ia bisa begitu mudah memaafkan seseorang yang telah menghancurkan hatinya? Apa yang lebih menyakitkan selain pengkhianatan dari orang yang paling kita cintai?
Setelah beberapa lama, Maya memutuskan untuk pulang. Saat tiba di rumah, ia merasa kosong. Segalanya terasa kabur dan tak berarti. Segala kenangan indah bersama Dimas seolah berubah menjadi bayang-bayang yang mengganggu. Ia memutuskan untuk duduk di meja makan, memandangi kursi kosong di seberang meja yang biasa ditempati Dimas. Rasanya, setiap sudut rumah ini begitu asing, begitu sepi. Semua yang dulu penuh dengan kebahagiaan kini terasa seperti kenangan pahit yang tak bisa dihapuskan.
Maya ingin berteriak, ingin melepaskan seluruh rasa sakit yang ada, tetapi ia tahu bahwa itu tidak akan mengubah apapun. Rasa sakit itu tetap ada, terpendam dalam hatinya, membuatnya merasa terperangkap dalam kesedihan yang tak kunjung usai.
Waktu berlalu begitu lambat. Maya merasa seolah-olah ia sedang hidup dalam ruang yang penuh dengan kebingungan dan kesedihan. Meski orang-orang di sekitarnya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Maya merasakan dunia telah berubah begitu cepat. Rasa marah, kecewa, dan kesepian meliputi setiap sudut pikirannya.
Ketika malam tiba, Maya berbaring di tempat tidurnya, tetapi ia tidak bisa tidur. Matanya terjaga, menatap langit-langit kamar yang gelap. Pikiran tentang Dimas terus mengalir tanpa henti. Setiap kenangan, setiap kata-kata manis, semuanya sekarang terasa seperti ilusi. Ia merasa terperangkap dalam pikirannya sendiri, terjerat dalam kebingungan yang tak ada ujungnya.
Akhirnya, setelah berjam-jam terjaga, Maya tahu satu hal yang pasti: Hatinya hancur, dan untuk saat ini, ia tidak bisa memaafkan Dimas. Cinta yang dulu mengisi hidupnya kini berubah menjadi luka yang dalam. Tetapi satu hal yang ia tahu pasti—luka ini harus disembuhkan, dan itu akan memakan waktu. Ia tidak bisa melanjutkan hidupnya dengan beban rasa sakit yang terus menghantui. Maka, ia memutuskan untuk bergerak maju, meskipun perasaan itu sangat berat.*
BAB 3 Cinta yang Membekas
Maya duduk di tepi jendela kamar, menatap hujan yang turun dengan deras. Setiap tetes air yang membasahi kaca jendela seperti menenangkan pikirannya yang kacau. Namun, rasa sakit di hatinya tidak bisa terhapus begitu saja. Bayangan Dimas, dengan senyuman yang dulu selalu membuatnya merasa aman, kini justru menjadi sumber perasaan yang tak menentu. Kenangan indah bersama pria itu telah tercemar oleh pengkhianatan yang sangat dalam, dan kini hanya menyisakan rasa cemas dan bingung.
Hari itu, Dimas mengirimkan pesan singkat yang mengingatkannya pada banyak hal. Pesan itu hanya berisi kata-kata sederhana: *“Aku ingin bicara.”* Maya tahu apa maksudnya. Setelah beberapa minggu berlalu sejak pertemuan terakhir mereka, Dimas akhirnya menghubunginya lagi. Maya merasa bingung—apakah ia harus bertemu dengannya atau membiarkan semuanya berakhir di sini?
Selama berhari-hari, Maya berusaha menghindar dari segala sesuatu yang mengingatkannya pada Dimas. Teman-temannya sering mengajaknya pergi, dan dia selalu berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa mengalihkan pikirannya. Namun, saat malam tiba, kenangan itu datang lagi. Maya ingat betul bagaimana Dimas memeluknya dengan erat, mengucapkan janji-janji manis, dan mengatakan bahwa ia akan selalu ada untuknya. Janji-janji itu kini terasa kosong, seperti debu yang terbawa angin.
Maya menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus bisa melanjutkan hidup tanpa Dimas. Tapi, rasa sakit itu begitu dalam, hampir seperti bagian dari dirinya yang tak bisa ia lepaskan. Cinta yang pernah tumbuh begitu kuat kini terasa seperti luka yang terus berdarah. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan semuanya? Bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan perasaan yang pernah begitu tulus dan membekas di hatinya?
Siang itu, Dimas datang menemui Maya di kedai kopi yang mereka sering kunjungi dulu. Maya sudah menunggu di meja pojok, menatap ke luar jendela dengan mata yang sayu. Ketika Dimas masuk, matanya langsung tertuju pada Maya. Ada rasa canggung yang menyelimuti pertemuan mereka kali ini. Dimas tidak membawa senyum seperti dulu, dan Maya pun tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya.
“Aku tahu kamu benci aku, Maya,” ujar Dimas pelan saat duduk di hadapannya. “Aku hanya ingin meminta maaf. Aku ingin kamu tahu, bahwa aku sangat menyesal.”
Maya mengangkat wajahnya dan menatap Dimas tajam. Meski kata-katanya terdengar tulus, Maya merasa hatinya semakin keras. “Kenapa sekarang? Kenapa setelah semuanya terlambat, kamu datang dan minta maaf?” tanyanya, suaranya bergetar.
Dimas menarik napas dalam-dalam. “Aku tahu aku salah. Aku tahu aku membuatmu merasa tak berharga. Tapi aku… aku sangat menyesal, Maya. Aku ingin memperbaiki semuanya, jika kamu memberiku kesempatan.”
Maya menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. “Perbaiki? Setelah kamu mengkhianati aku? Setelah semuanya hancur begitu saja? Kamu tahu betapa sakitnya aku, Dimas?” Maya berusaha menjaga emosinya. Ia tahu bahwa ia harus tetap tegar di depan Dimas, meskipun hatinya ingin berteriak dan melepaskan semua rasa sakit itu.
Dimas menghela napas, mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku nggak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Aku tahu itu. Tapi Maya, aku ingin kamu tahu, aku benar-benar mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, lebih dari apa pun.”
Maya menatap Dimas dengan mata yang penuh kebingungan. Cinta? Bagaimana mungkin ia bisa mempercayai kata-kata itu setelah apa yang Dimas lakukan? Rasa sakit yang ia rasakan bukan hanya karena pengkhianatan itu, tapi juga karena dirinya sendiri yang merasa telah mempercayai seseorang yang tak layak mendapatkannya.
“Kamu masih tidak mengerti, Dimas,” ujar Maya dengan suara yang serak. “Cinta itu bukan hanya kata-kata, bukan hanya janji-janji manis. Cinta itu tentang kepercayaan, tentang tindakan yang membuktikan bahwa kamu benar-benar peduli. Kamu sudah merusaknya. Dan aku… aku nggak tahu bagaimana cara memperbaikinya.”
Dimas terdiam, tak bisa berkata apa-apa lagi. Maya merasa sedikit lega setelah meluapkan perasaannya. Meski ia tahu bahwa kata-kata itu tak akan mengubah apapun, setidaknya ia merasa sedikit lebih bebas. Tetapi, di dalam hatinya, Maya tahu bahwa pengkhianatan itu akan tetap membekas selamanya. Tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit itu, bahkan jika Dimas memohon untuk kembali bersama.
Setelah pertemuan itu, Maya kembali ke rumah dengan perasaan yang semakin kacau. Malam itu, ia berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang lelah. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang, sesuatu yang tak akan pernah kembali lagi. Cinta yang ia rasakan begitu dalam, begitu murni, kini telah ternoda oleh kebohongan dan pengkhianatan.
Maya merasa tidak tahu siapa dirinya lagi. Apakah ia masih bisa mempercayai cinta? Apakah ia masih bisa membuka hatinya untuk seseorang tanpa rasa takut akan dikhianati lagi? Semua pertanyaan itu berputar-putar dalam pikirannya, menambah beban di hatinya.
Ia tahu bahwa memaafkan Dimas bukanlah hal yang mudah. Bahkan, saat ini, ia merasa bahwa memaafkan mungkin adalah hal yang mustahil. Namun, apakah dendam ini akan membuatnya lebih bahagia? Apakah kebencian yang ia pelihara akan membawa kedamaian bagi jiwanya?
Maya terdiam sejenak. Apa yang bisa ia lakukan? Cinta yang membekas begitu dalam, namun begitu banyak luka yang harus ia sembuhkan. Perasaan itu tidak bisa lenyap begitu saja, dan meskipun ia mencoba untuk terus maju, bayangan Dimas akan selalu ada dalam dirinya. Akan ada saat-saat ketika kenangan itu datang kembali, menyusup tanpa izin. Namun, mungkin, pada akhirnya, Maya akan belajar untuk merelakan, dan menemukan kekuatan untuk melepaskan dendam yang telah menguasainya.
Dalam keheningan malam, Maya menyadari satu hal: meskipun cinta itu membekas, ia tidak bisa terus terjebak dalam masa lalu. Ia harus belajar untuk menerima kenyataan, meskipun perasaan itu tak akan pernah sama lagi.*
BAB 4 Bayangan Masa Lalu
Maya berjalan sendirian di trotoar yang lengang, menatap jalanan kota yang sibuk. Namun, meskipun hiruk-pikuk di sekitarnya, hatinya terasa begitu sepi. Matanya kosong, seolah tak melihat dunia di sekitarnya. Pikirannya melayang kembali pada masa lalu yang kelam, saat cinta dan kepercayaan itu masih utuh. Setiap langkah yang ia ambil seakan mengingatkannya pada kenangan yang dulu begitu indah, kini berubah menjadi luka yang sulit disembuhkan.
Taman tempat mereka pertama kali bertemu masih ada di ujung jalan itu. Di situlah Maya pertama kali merasakan getaran cinta yang luar biasa. Dengan Dimas di sampingnya, dunia terasa begitu sempurna. Dimas selalu tahu bagaimana membuatnya tersenyum, bagaimana mencairkan ketegangan dengan candaannya, dan bagaimana ia membuat Maya merasa spesial setiap saat. Namun, semua itu hancur dalam sekejap ketika Maya mengetahui kenyataan pahit tentang perselingkuhan Dimas.
Setiap kali melewati taman itu, bayangan masa lalu akan muncul begitu jelas dalam pikirannya. Bayangan dirinya yang tertawa bahagia di samping Dimas, menikmati kebersamaan tanpa beban. Bahkan angin yang sepoi-sepoi itu seakan mengingatkannya pada saat-saat mereka duduk di bangku taman, berbicara tentang masa depan mereka, tanpa pernah menduga bahwa masa depan itu akan menjadi begitu penuh dengan pengkhianatan dan rasa sakit.
Maya mempercepat langkahnya, berusaha menghindari tempat itu. Namun, semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat kenangan itu menghantui. Setiap sudut kota, setiap tempat yang pernah mereka kunjungi bersama, menjadi saksi bisu dari kebahagiaan yang kini terasa begitu jauh. Maya tahu, ia harus melanjutkan hidup, tetapi perasaan itu seperti belenggu yang mengikat erat di dalam dirinya.
Di rumah, Maya duduk di meja makan dengan secangkir teh hangat di hadapannya. Namun, teh itu tidak dapat menghangatkan hatinya yang terasa beku. Tangan Maya gemetar saat ia memegang gelas itu, bayangan Dimas kembali muncul dalam pikirannya. Keputusan untuk berpisah, meskipun menyakitkan, adalah yang terbaik untuk mereka. Namun, kenapa ia merasa bahwa tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit itu?
Ponsel di meja bergetar. Maya menatapnya sejenak, ragu untuk mengangkatnya. Itu adalah pesan dari Dimas. Ia tahu bahwa Dimas masih berusaha untuk menjangkau dirinya, tetapi Maya merasa terlalu terluka untuk merespon. Pesan itu hanya mengingatkan Maya pada segala pengkhianatan yang telah terjadi, sesuatu yang tak bisa ia lupakan begitu saja.
Dengan tangan yang masih gemetar, Maya membuka pesan itu. Dimas menulis, *”Aku tahu aku telah menyakitimu, Maya. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku benar-benar menyesal. Jika ada kesempatan, aku ingin kita berbicara. Aku ingin memperbaiki semuanya.”*
Maya menatap pesan itu lama. Setiap kata yang ditulis Dimas seperti pisau yang menusuk ke dalam hatinya. Seharusnya, ia merasa lega bahwa Dimas mengakui kesalahannya, tetapi yang ada justru rasa sakit yang semakin mendalam. Apakah ada yang bisa mengubah kenyataan ini? Apakah kata-kata Dimas dapat menghapus luka yang ia rasakan?
Maya menunduk, meremas ponselnya. Bayangan masa lalu terus menggelayuti pikirannya. Masa lalu yang indah, penuh dengan janji dan harapan, kini berubah menjadi kenangan yang sulit untuk diterima. Rasa cinta itu masih ada, tetapi bagaimana mungkin ia bisa memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kepercayaannya begitu dalam?
Tak lama kemudian, Maya memutuskan untuk keluar. Ia merasa terperangkap dalam bayangan masa lalu yang tak bisa ia lupakan. Ia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri, untuk mencari kedamaian dan mengurangi kegelisahan yang menghantuinya. Dengan langkah yang mantap, ia berjalan menuju pantai, tempat yang dulu sering ia kunjungi untuk menenangkan diri.
Angin pantai yang sejuk menyapa kulitnya, dan suara deburan ombak membawa ketenangan di tengah kekacauan hatinya. Maya duduk di atas pasir, menatap horizon yang luas. Laut yang tak bertepi itu mengingatkannya pada kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Seperti laut, perasaan Maya juga bergelora, tak pernah bisa tenang, selalu terombang-ambing antara cinta dan kebencian.
Maya memejamkan matanya, mencoba untuk meresapi ketenangan sekitar. Namun, bayangan Dimas kembali datang. Suaranya, tawa mereka, hingga kata-kata manis yang dulu sering diucapkannya—semua itu datang dengan kekuatan yang tak bisa ia hentikan. Maya berusaha keras untuk menghapusnya, tetapi semakin ia berusaha, semakin jelas bayangan itu muncul.
“Kenapa ini terjadi, Dimas?” pikir Maya. “Kenapa aku harus merasakan ini? Kenapa aku tidak bisa melupakanmu?”
Waktu seolah berhenti saat Maya merenung. Ia merasa cemas jika rasa sakit ini tidak akan pernah hilang. Cinta itu terlalu kuat, terlalu dalam, dan membekas begitu lama. Namun, di sisi lain, ada rasa marah yang begitu membara. Marah karena Dimas telah mengkhianatinya, marah karena ia merasa dipermainkan.
Maya menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk meredakan gejolak di hatinya. Ia tahu, untuk bisa melangkah maju, ia harus belajar untuk melepaskan masa lalu. Tetapi, apakah itu mungkin? Apakah ada cara untuk melupakan kenangan yang terlalu berharga namun begitu menyakitkan?
Saat itu, di tepi pantai yang sunyi, Maya menyadari satu hal: Bayangan masa lalu mungkin tak akan pernah benar-benar hilang. Kenangan itu akan selalu ada, tetap hidup di dalam dirinya. Namun, ia juga sadar bahwa ia tidak bisa terus terjebak dalam bayangan itu selamanya. Untuk bisa melanjutkan hidup, ia harus menerima kenyataan dan belajar berdamai dengan masa lalu.
Maya bangkit dari tempat duduknya, menatap laut yang luas, dan menyadari bahwa meskipun masa lalu tak bisa diubah, masa depan masih terbuka lebar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia tahu bahwa ia harus melangkah, melepaskan masa lalu, dan memulai perjalanan baru dalam hidupnya.*
BAB 5 Pertemuan Tak Terduga
Maya menatap jam tangannya yang berdetik pelan. Ia berada di kafe favoritnya, duduk di sudut ruangan dekat jendela, sambil memandang orang-orang yang berlalu-lalang. Pikirannya masih jauh, terlarut dalam kenangan yang tak bisa ia lupakan. Sebulan berlalu sejak perpisahan itu, namun luka di hatinya masih terasa seolah baru terjadi kemarin. Pengkhianatan Dimas, pria yang pernah ia percayai sepenuh hati, masih membekas. Meskipun ia berusaha untuk melanjutkan hidup, bayangannya selalu muncul, menuntut perhatian yang ia tidak ingin beri.
Hari itu, Maya memutuskan untuk keluar dari rutinitasnya yang menjemukan. Ia ingin sejenak melupakan semua perasaan yang mengikatnya. Tetapi takdir sepertinya punya rencana lain. Ketika ia sedang menikmati secangkir kopi hangat, pintu kafe terbuka dan suara deringan bel menyadarkannya. Seorang pria masuk, dan matanya langsung tertuju pada sosok itu.
Dimas.
Maya terkejut, dan seketika itu pula hatinya berdebar kencang. Dimas berdiri beberapa langkah dari meja Maya, tampak bingung mencari tempat duduk. Untuk beberapa detik, dunia seakan terhenti berputar. Semua kenangan, rasa sakit, dan emosi yang pernah ia coba sembunyikan, kini muncul begitu saja. Namun, tak lama, Dimas menangkap pandangannya.
“Ma… Maya?” suara Dimas terdengar gemetar. Maya merasa seperti disambar petir, hatinya bergetar hebat. Ia mencoba mengendalikan diri, meskipun dalam dadanya, perasaan yang kompleks berkecamuk.
Maya menunduk, berusaha menahan air mata yang ingin keluar. Ia berusaha tetap tenang dan tidak melupakan dirinya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Maya bertanya dengan suara yang serak. Ada rasa marah yang tidak bisa ia sembunyikan.
Dimas terdiam sejenak, tampaknya ragu untuk mendekat. Namun akhirnya, ia mengatur langkahnya menuju meja Maya, meminta izin untuk duduk. “Boleh aku duduk?” tanyanya pelan.
Maya hanya mengangguk pelan, meskipun hatinya tidak sepenuhnya setuju. Dimas duduk di hadapannya, dan ada kesunyian yang terasa tebal di antara mereka. Seakan ada banyak hal yang ingin dibicarakan, tetapi kedua hati itu tidak tahu harus mulai dari mana.
Beberapa detik berlalu tanpa kata. Maya menatap Dimas, mencoba mencerna wajahnya yang sudah lama ia rindukan, meskipun sekarang hanya ada rasa sakit yang tertinggal. “Kenapa kamu datang? Setelah semua yang terjadi, setelah apa yang kamu lakukan?” Maya memulai percakapan, suaranya menggetar.
Dimas menunduk, menarik napas panjang. “Aku… aku tahu aku sudah melukai kamu, Maya. Aku tahu aku sudah membuat semuanya rusak, dan aku nggak bisa menebus semuanya dengan kata-kata.” Ia menghentikan kalimatnya dan menatap mata Maya dengan penuh penyesalan. “Aku hanya ingin minta maaf. Benar-benar minta maaf.”
Maya merasa hatinya semakin sesak mendengar penyesalan itu. Sungguh, ia tak tahu harus merasa apa. Di satu sisi, ia ingin mengungkapkan semua amarah dan sakit hatinya. Namun, di sisi lain, ia merasa ada sedikit harapan dalam setiap kata yang diucapkan Dimas. Harapan yang mungkin hanya ada dalam kenangan, namun entah mengapa masih saja terasa begitu kuat.
“Tapi kenapa sekarang, Dimas? Kenapa baru sekarang kamu datang? Setelah kamu tahu aku sudah melangkah jauh, setelah kamu tahu aku mencoba untuk melupakan semuanya?” Maya berkata, suaranya mulai bergetar. Ia menahan diri agar tidak menangis di hadapan Dimas, meskipun air mata itu begitu ingin keluar.
Dimas menghela napas panjang, merasakan beratnya beban yang ada di hatinya. “Aku bodoh, Maya. Aku tidak sadar betapa berharganya kamu sampai aku kehilanganmu. Waktu itu, aku terbawa arus dan melakukan hal-hal bodoh yang membuatmu terluka. Aku tahu aku nggak bisa memutar waktu, tapi aku ingin kita bisa berbicara… setidaknya.”
Maya menatapnya dengan tatapan tajam, mencermati setiap kata yang keluar dari mulut Dimas. Ia ingin menanyakan segala sesuatu, tetapi ia merasa seolah suara hatinya terhenti. Ia merasa bingung, bahkan merasa seolah segala yang terjadi sebelumnya bukanlah kenyataan.
“Sampai saat ini, aku masih nggak bisa menghapus rasa sakit itu. Kamu mengkhianatiku, Dimas. Kamu menghancurkan kepercayaan yang selama ini aku beri kepadamu. Kamu tahu betapa beratnya itu, dan kamu masih berharap aku bisa memaafkanmu?” Maya berkata dengan suara yang semakin lembut, meskipun ada rasa sakit yang mengalir deras.
Dimas tidak bisa menjawab apa-apa. Ia tahu bahwa apa yang ia lakukan tidak bisa dimaafkan begitu saja. Ia tahu bahwa ia telah merusak segalanya, dan bahwa tidak ada kata-kata yang cukup untuk menebus semua kesalahannya. Hanya penyesalan yang bisa ia tawarkan.
“Maaf kalau itu membuatmu merasa kesal,” Dimas melanjutkan, “Tapi aku perlu tahu, apakah ada sedikit saja ruang dalam hatimu untuk memaafkanku? Mungkin kita tidak bisa kembali seperti dulu, tapi setidaknya aku ingin kita bisa berdamai.”
Maya terdiam, memandang ke luar jendela. Hatinya terasa begitu berat, terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Ia tahu, meskipun perasaan cinta itu masih ada, dendam yang terpendam jauh lebih kuat. Namun, ia juga tahu bahwa hidup tidak bisa terus-menerus dipenuhi dengan rasa benci dan sakit. Apakah ini waktunya untuk melepaskan semua perasaan itu? Apakah ia bisa memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk sembuh?
Maya menarik napas dalam-dalam dan akhirnya menatap Dimas. “Aku tidak tahu, Dimas. Aku benar-benar tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu. Tapi, aku tahu satu hal: aku tidak akan pernah melupakan apa yang kamu lakukan. Kamu telah menghancurkan hatiku, dan itu bukan sesuatu yang mudah untuk dimaafkan.”
Dimas mengangguk pelan, menerima kenyataan bahwa ia harus menghadapi konsekuensi dari perbuatannya. Namun, ada secercah harapan dalam hatinya bahwa, suatu hari nanti, Maya bisa memaafkannya. Mereka berdua tahu, perjalanan ini masih panjang, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka duduk bersama tanpa kata-kata kebohongan atau pengkhianatan yang melingkupi.
Dan mungkin, hanya mungkin, itu adalah langkah pertama menuju penyembuhan.*
BAB 6 Keterbukaan yang Terlambat
Maya duduk di sebuah kafe kecil yang sudah mereka datangi bersama beberapa kali dulu. Meja yang terletak di pojok itu, tepat di bawah jendela besar yang menghadap ke jalan, seakan menjadi saksi bisu dari hubungan yang sudah hancur. Hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia tahu bahwa hari ini adalah hari yang menentukan, hari yang penuh ketegangan, hari yang tidak bisa ia hindari lagi.
Dimas sudah duduk di depan Maya. Wajahnya terlihat lelah, matanya sayu, seolah mencerminkan penyesalan yang mendalam. Maya memandangnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Seiring dengan detik yang terus berjalan, suasana di antara mereka menjadi semakin tegang, seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka, meskipun keduanya berada dalam jarak yang begitu dekat.
Dimas menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Maya,” kata Dimas dengan suara rendah, “Aku tahu aku sudah menghancurkan segalanya. Tapi izinkan aku untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.”
Maya hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa, hatinya penuh dengan pertanyaan dan kemarahan yang terpendam. Ia merasa seolah-olah waktu sudah begitu lama berlalu sejak peristiwa pengkhianatan itu terjadi, dan sekarang Dimas datang dengan penyesalan yang terlambat. Namun, meskipun hatinya berat, Maya memutuskan untuk mendengarkan. Ia tidak tahu apa lagi yang bisa ia lakukan—apakah ini akan memberinya kejelasan atau justru semakin menguras emosi yang sudah hampir ia tutup rapat.
Dimas menggigit bibir bawahnya, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk membuka pintu yang sudah ia tutup rapat-rapat selama ini. “Aku… aku ingin kamu tahu, Maya. Aku bukan pria yang sempurna. Aku sudah banyak melakukan kesalahan, dan ini adalah kesalahan terbesar dalam hidupku.”
Maya menunduk, menatap kopi hitam yang sudah hampir habis di cangkirnya. Rasa pahit dari kopi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa pahit yang sudah tertanam dalam hatinya. Ia merasa seperti telah diberikan kesempatan yang tak terhitung jumlahnya untuk mendengar penjelasan Dimas, tapi sekarang, penjelasan itu datang terlambat.
Dimas melanjutkan, “Aku merasa terjebak, Maya. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku, dan aku mencoba mencari pengisi kekosongan itu di tempat yang salah. Aku sadar, itu adalah keputusan yang bodoh, dan aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Aku menghancurkan kita, menghancurkan kepercayaanmu padaku. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal, aku menyesal. Sangat menyesal.”
Maya merasakan amarah yang memuncak di dadanya, tapi ia tetap berusaha untuk tetap tenang. “Menyesal? Jadi kamu merasa menyesal sekarang? Setelah semua yang telah terjadi? Setelah kamu menghancurkan hati dan kepercayaanku?” Maya berusaha menahan tangisnya. “Kamu tahu, Dimas, yang paling aku benci bukan pengkhianatan itu. Yang aku benci adalah kenyataan bahwa kamu baru datang sekarang, saat semua sudah hancur. Saat aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk melupakanmu dan melanjutkan hidupku. Dan kamu hanya datang dengan penyesalan yang tak berarti ini.”
Dimas terlihat terkejut dengan kata-kata Maya. Ia menundukkan wajahnya, menyesali setiap detik yang ia lewatkan tanpa bisa memperbaiki keadaan. “Aku tahu aku tidak bisa memperbaiki semuanya, Maya. Aku tahu, aku tidak bisa menarik kembali pengkhianatanku, tapi aku ingin mencoba menjelaskan kenapa aku melakukan itu. Tidak ada alasan yang cukup untuk membenarkan perbuatanku, tapi aku merasa perlu untuk kamu tahu.”
Maya terdiam sejenak, menunggu penjelasan Dimas. Meskipun ia merasa dendam dan amarah yang membara dalam dirinya, ada bagian dari dirinya yang ingin mendengar jawaban, meskipun itu tidak akan mengubah apapun.
“Aku merasa kehilangan arah, Maya,” lanjut Dimas. “Hubungan kita sudah berjalan lama, dan aku merasa seperti kita sudah berjalan di jalur yang sama begitu lama, tetapi aku tidak merasa puas. Aku merasa seperti aku butuh sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda. Itu bukan tentang cinta, bukan tentang kamu. Itu tentang diriku yang merasa hampa. Tapi aku sadar, sekarang aku tahu betapa salahnya aku. Cinta itu bukan sesuatu yang bisa kita abaikan atau kita ganti begitu saja.”
Maya menutup matanya sejenak, berusaha menenangkan diri. Kata-kata Dimas itu bukanlah hal yang baru baginya. Ia sudah mendengar banyak penjelasan serupa sebelumnya, tetapi tidak pernah ada penjelasan yang cukup untuk menyembuhkan lukanya. “Kamu bilang merasa hampa?” Maya bertanya dengan suara pelan. “Tapi kamu tahu, Dimas, kamu tidak hanya mengkhianatiku, kamu juga menghancurkan perasaan dan kepercayaan diri aku. Kamu membuat aku merasa tidak cukup, merasa bahwa cintaku tidak pernah cukup untukmu. Itu yang paling menyakitkan.”
Dimas mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tahu, dan aku tidak akan bisa membenarkan apa yang sudah aku lakukan. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa ini adalah kesalahan terbesar dalam hidupku, Maya. Aku akan hidup dengan penyesalan ini selamanya, dan aku tahu aku tidak akan pernah bisa mengganti rasa sakit yang sudah aku timbulkan.”
Maya menggigit bibirnya, mencoba menahan air matanya. Ia merasa seperti terperangkap dalam perasaan yang campur aduk. Cinta yang masih ada, rasa marah yang begitu kuat, dan penyesalan yang datang terlambat semuanya bercampur menjadi satu. Ia ingin memaafkan, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa bahwa pengkhianatan ini terlalu dalam untuk bisa dimaafkan begitu saja.
“Aku tidak bisa begitu saja memaafkanmu, Dimas,” kata Maya pelan. “Bukan karena aku tidak ingin, tapi karena aku merasa bahwa hati ini sudah terlalu terluka. Mungkin kita tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu, karena ada terlalu banyak luka yang harus sembuh.”
Dimas menatap Maya dengan wajah penuh penyesalan, tetapi kali ini ia tidak memaksa. Ia tahu bahwa ia harus menerima apapun keputusan Maya. “Aku mengerti, Maya. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku sangat menyesal. Aku berharap suatu hari nanti, kamu bisa menemukan kedamaian dalam hatimu.”
Maya menatapnya untuk terakhir kalinya. Ada kesedihan di matanya, tetapi juga ada keinginan untuk melangkah maju, meskipun perasaan itu sulit. “Aku akan mencoba untuk itu, Dimas. Tapi aku tidak tahu apakah itu akan terjadi.”
Dengan kata-kata itu, Maya berdiri dari tempat duduknya, meninggalkan Dimas yang kini terdiam, menatapnya pergi. Penyesalan Dimas datang terlambat, tetapi bagi Maya, waktunya untuk melangkah maju akhirnya tiba.***
————–THE END————