Daftar Isi
- Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
- Bab 2: Awal Sebuah Persahabatan
- Bab 3: Perasaan yang Mulai Berubah
- Bab 4: Masa Lalu yang Kembali
- Bab 5: Jarak yang Mulai Terbentuk
- Bab 6: Pengakuan yang Menyakitkan
- Bab 7: Melepaskan atau Memperjuangkan?
- Bab 8: Pengorbanan untuk Cinta
- Bab 9: Di Antara Harapan dan Kenyataan
- Pertemuan yang Tak Terduga
- Harus Memilih
- Pertemuan Terakhir atau Awal yang Baru?
- Antara Luka dan Cinta
Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Raka dan Nadia bertemu secara tak sengaja. Sebuah insiden kecil membuat mereka mulai mengenal satu sama lain. Raka, si pria cuek yang misterius, dan Nadia, gadis ceria yang selalu optimis.
Langit sore berwarna jingga keemasan saat Nadia memasuki sebuah kafe kecil di sudut kota. Aroma kopi yang khas menyambutnya, bercampur dengan suara dentingan gelas dan obrolan pelan para pelanggan. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan memutuskan untuk bersantai sejenak sebelum pulang.
Sambil membawa segelas caramel macchiato, ia mencari tempat duduk yang nyaman. Namun, nasib berkata lain. Saat hendak duduk, ia tak sengaja menabrak seorang pria yang baru saja berdiri dari kursinya.
Brak!
Kopi di tangan Nadia tumpah mengenai kemeja pria itu. Matanya membelalak kaget, sementara pria yang ditabraknya menatapnya dengan ekspresi datar.
“Astaga! Aku… aku minta maaf!” seru Nadia panik, buru-buru meraih tisu dari dalam tasnya.
Pria itu menghela napas, melihat noda kopi di kemejanya. “Habis sudah. Baru beli kemarin,” gumamnya pelan, tetapi cukup untuk didengar Nadia.
Nadia semakin merasa bersalah. “Tunggu sebentar! Aku akan beli tisu basah—atau, aku bisa bayar biaya dry cleaning-nya!” katanya cepat.
Pria itu, yang kemudian ia ketahui bernama Raka, hanya menggeleng pelan. “Sudahlah, nggak perlu. Aku bisa bersihkan sendiri.”
Namun, Nadia tetap merasa tidak enak. Dengan inisiatifnya, ia langsung memesan segelas kopi baru untuk Raka sebagai bentuk permintaan maaf. “Setidaknya biarkan aku menggantikan kopimu,” katanya sambil tersenyum.
Raka menatapnya sekilas sebelum akhirnya menerima kopi itu. “Baiklah. Kali ini aku terima.”
Dari sana, percakapan mereka pun mengalir. Awalnya, hanya sekadar basa-basi tentang pekerjaan dan kegemaran, tetapi semakin lama, Nadia menyadari bahwa pria di depannya ini menarik dengan caranya sendiri. Meski terlihat dingin dan sedikit tertutup, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatnya penasaran.
Tanpa sadar, sore itu menjadi awal dari cerita mereka. Pertemuan yang tak terduga, yang mungkin akan mengubah hidup keduanya selamanya.***
Bab 2: Awal Sebuah Persahabatan
Percakapan demi percakapan membuat keduanya semakin dekat. Namun, di balik tawa dan canda, ada rahasia yang masih disimpan masing-masing.
Sejak kejadian di kafe itu, Nadia dan Raka mulai sering bertemu. Awalnya, hanya kebetulan—atau setidaknya begitu yang mereka pikirkan.
“Nadia?”
Suara berat itu menghentikan langkahnya. Saat ia menoleh, Raka sudah berdiri di depan minimarket, membawa sekantong camilan dan sebotol air mineral.
“Kamu juga belanja di sini?” tanya Nadia, sedikit terkejut.
Raka mengangkat bahu. “Kebetulan. Kantorku nggak jauh dari sini.”
Nadia tersenyum. “Aku juga sering mampir kalau butuh camilan.”
Itu bukan terakhir kalinya mereka bertemu secara tak terduga. Entah itu di kafe tempat mereka pertama bertemu, di halte bus, atau bahkan di toko buku kecil di dekat kantor Nadia. Seakan-akan semesta punya rencana untuk terus mempertemukan mereka.
Namun, momen yang benar-benar membuat hubungan mereka lebih dekat terjadi pada suatu malam.
Hujan turun deras ketika Nadia keluar dari kantor. Sialnya, ia lupa membawa payung. Ia baru saja berpikir untuk berlari menembus hujan ketika sebuah payung hitam terbuka di atas kepalanya.
“Nggak bawa payung?”
Suara itu familiar. Nadia menoleh dan mendapati Raka berdiri di sampingnya, satu tangannya memegang payung, sementara tangan lainnya dimasukkan ke dalam saku jaket.
“Kebiasaan lupa,” Nadia terkekeh. “Kamu sendiri mau ke mana?”
“Pulang. Tapi kalau kamu nggak keberatan, aku bisa antar sampai halte.”
Nadia ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Boleh juga.”
Mereka berjalan berdampingan di bawah payung yang sama. Hujan menari di atas aspal, suara gemericiknya mengisi keheningan di antara mereka.
“Kamu tipe yang nggak suka basa-basi, ya?” tanya Nadia, mencoba mencairkan suasana.
Raka meliriknya sebentar. “Kenapa?”
“Entahlah. Kamu kelihatan selalu serius.”
Raka tersenyum tipis. “Mungkin aku memang nggak terlalu pandai bicara.”
Nadia tertawa pelan. “Tapi kalau sama aku, kamu lumayan banyak ngomong.”
Mata Raka menatap lurus ke depan, seolah memikirkan sesuatu. “Mungkin karena kamu nyaman diajak ngobrol.”
Jawaban itu membuat Nadia terdiam. Ada sesuatu dalam cara Raka mengatakannya yang membuatnya merasakan kehangatan.
Sejak malam itu, hubungan mereka berubah. Mereka bukan lagi sekadar dua orang asing yang kebetulan bertemu, tetapi dua orang yang mulai memahami satu sama lain.
Persahabatan itu tumbuh perlahan, membawa mereka ke arah yang belum mereka sadari—menuju sesuatu yang lebih dari sekadar teman.
Bab 3: Perasaan yang Mulai Berubah
Nadia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Tatapan Raka, perhatian kecilnya, dan kebersamaan mereka membuat hatinya bergetar. Tapi, mungkinkah Raka merasakan hal yang sama?
Seiring waktu, hubungan antara Nadia dan Raka semakin erat. Mereka sering bertukar cerita, berbagi mimpi, bahkan saling mengeluh tentang pekerjaan masing-masing. Setiap pertemuan terasa nyaman, seolah mereka sudah saling mengenal bertahun-tahun.
Namun, tanpa mereka sadari, ada sesuatu yang mulai berubah di hati mereka. Sesuatu yang awalnya hanya persahabatan kini perlahan berkembang menjadi perasaan yang lebih dalam.
Suatu malam, Nadia sedang duduk di balkon apartemennya, menyesap teh hangat sembari menikmati angin malam. Ponselnya bergetar—sebuah pesan dari Raka.
Raka: Lagi apa?
Nadia: Lagi menikmati malam. Kamu?
Raka: Baru pulang. Hari ini capek banget.
Nadia: Udah makan?
Raka: Belum. Lagi nggak nafsu makan.
Nadia tersenyum kecil. Raka memang bukan tipe orang yang mudah mengeluh, jadi kalau dia sampai bilang capek, pasti harinya benar-benar berat.
Nadia: Jangan gitu. Harus tetap makan. Kalau nggak, aku marah!
Beberapa detik kemudian, pesan balasan masuk.
Raka: Hehe… Baik, Bu Guru. Kalau aku makan, kamu juga harus istirahat cukup, ya?
Nadia menatap layar ponselnya, hatinya menghangat tanpa alasan yang jelas.
Kenapa sekarang dia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Raka? Kenapa dia merasa ingin selalu memastikan Raka baik-baik saja?
Keesokan harinya, mereka bertemu di kafe tempat mereka pertama kali bertemu. Raka baru saja meneguk kopinya saat Nadia tiba-tiba berkata, “Rasanya aneh, ya?”
Raka mengangkat alis. “Apa yang aneh?”
“Kita.”
Raka terdiam, menatap Nadia seolah menunggu penjelasan.
“Aku nggak tahu sejak kapan, tapi aku merasa nyaman banget sama kamu. Kayak…” Nadia menggigit bibirnya, ragu untuk melanjutkan.
“Kayak apa?”
“Kayak aku nggak bisa ngelewatin hari tanpa ngobrol sama kamu.”
Raka menatapnya dalam. Seakan mencari sesuatu dalam mata Nadia, sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan perasaan yang selama ini ia coba abaikan.
“Kamu nggak sendirian,” jawab Raka akhirnya.
Deg.
Nadia menahan napas.
“Aku juga merasakan hal yang sama,” lanjut Raka pelan, tapi tegas.
Suasana di antara mereka mendadak berubah. Tidak ada lagi batasan yang jelas antara pertemanan dan sesuatu yang lebih. Perasaan itu nyata, tidak lagi bisa diabaikan.
Tapi apakah mereka siap untuk melangkah lebih jauh? Atau justru perasaan ini akan mengubah segalanya?
Bab 4: Masa Lalu yang Kembali
Di saat semuanya mulai indah, masa lalu Raka muncul kembali. Tania, mantan kekasihnya, datang dengan membawa cerita yang belum selesai. Nadia mulai merasa ragu.
Hari-hari berlalu dengan kebersamaan yang semakin erat antara Nadia dan Raka. Mereka semakin sering bertemu, berbagi cerita, dan menikmati waktu bersama. Namun, seperti halnya langit yang tak selalu cerah, ada awan gelap yang perlahan menghampiri hubungan mereka.
Semuanya dimulai ketika Raka tiba-tiba berubah. Ia mulai sering menghilang tanpa kabar, pesannya singkat dan dingin, dan setiap kali Nadia bertanya, ia hanya menjawab, “Aku lagi banyak kerjaan.”
Awalnya, Nadia mencoba memahami. Tapi semakin lama, hatinya mulai gelisah.
Suatu sore, Nadia sedang duduk di kafe tempat mereka biasa bertemu. Sambil menyesap kopi, matanya menatap kosong ke luar jendela. Tiba-tiba, suara bel pintu berbunyi. Ia menoleh, berharap melihat Raka.
Tapi yang masuk bukan Raka.
Seorang wanita tinggi dengan rambut sebahu, mengenakan dress elegan berwarna krem. Wajahnya cantik, dengan sorot mata yang tajam. Nadia memperhatikan wanita itu berjalan ke arah meja dekat jendela dan duduk sendirian.
Entah kenapa, perasaan Nadia tidak enak.
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Dina.
Dina: Nad, aku baru aja liat Raka… Dia bareng cewek di restoran dekat kantornya.
Dunia Nadia seakan berhenti sejenak.
Jari-jarinya gemetar saat ia mengetik balasan.
Nadia: Cewek siapa?
Dina: Nggak tahu, tapi mereka kelihatan dekat.
Nadia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Mungkin itu hanya teman kerja. Mungkin ada penjelasan lain.
Tapi firasatnya berkata lain.
Beberapa hari kemudian, Raka akhirnya menemui Nadia. Mereka duduk berhadapan di taman, di bawah pohon rindang.
“Aku mau jujur sama kamu,” ucap Raka akhirnya, suaranya terdengar berat.
Nadia menatapnya dengan campuran perasaan cemas dan penasaran.
“Ada sesuatu yang belum pernah aku ceritakan ke kamu. Tentang masa lalu aku.”
Nadia menelan ludah. “Tentang siapa? Tentang cewek itu?”
Raka menundukkan kepala. “Namanya Sasha. Dia mantan tunanganku.”
Deg.
Jantung Nadia mencelos.
“Kami dulu hampir menikah,” lanjut Raka, suaranya terdengar lebih pelan. “Tapi dia pergi. Tanpa penjelasan. Aku berusaha melupakan, tapi tiba-tiba dia kembali dan ingin bicara.”
Nadia terdiam. Perasaan asing mulai menyelimuti dadanya—rasa takut kehilangan.
“Apa kamu masih mencintai dia?” tanya Nadia akhirnya, suaranya hampir berbisik.
Raka menatapnya dalam, lalu menggeleng. “Aku nggak tahu… Yang jelas, aku nggak mau kehilangan kamu, Nad.”
Nadia ingin percaya, tapi hatinya masih penuh dengan pertanyaan. Jika memang Raka sudah move on, kenapa dia masih bertemu dengan Sasha?
Masa lalu yang kembali ini bisa saja menghancurkan semua yang sudah mereka bangun.
Dan untuk pertama kalinya, Nadia merasa ragu—apakah mereka benar-benar bisa bersama?
Bab 5: Jarak yang Mulai Terbentuk
Raka yang biasanya perhatian mulai menjaga jarak. Nadia bingung dengan perubahan sikapnya. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan?
Hari-hari setelah pengakuan Raka terasa berbeda. Tidak ada lagi obrolan panjang sebelum tidur, tidak ada lagi ajakan spontan untuk bertemu, dan yang paling terasa—tidak ada lagi Raka yang dulu selalu hadir untuk Nadia.
Nadia mencoba mengabaikan perasaan ini, mencoba berpikir positif. Mungkin Raka hanya butuh waktu untuk menyelesaikan urusan masa lalunya. Tapi semakin ia mencoba memahami, semakin ia merasa kehilangan.
Jarak di antara mereka semakin terasa.
Suatu malam, Nadia memutuskan untuk menelepon Raka. Setelah beberapa dering, akhirnya suara Raka terdengar di seberang.
“Halo?”
“Hey… Kamu sibuk?” tanya Nadia, mencoba terdengar santai.
“Hm, sedikit. Ada apa?”
Nadia terdiam sejenak. Dulu, Raka tidak akan pernah bertanya “ada apa?” karena ia tahu Nadia hanya ingin ngobrol. Tapi sekarang semuanya terasa lebih formal, lebih jauh.
“Enggak, aku cuma kangen ngobrol sama kamu.”
Hening.
Raka menarik napas panjang. “Maaf, Nad… Aku lagi banyak yang harus aku pikirkan.”
Kalimat itu seperti pukulan di dada Nadia.
Banyak yang harus dipikirkan? Termasuk Sasha?
“Raka…” suara Nadia melemah. “Aku harus tahu… Aku masih ada di prioritas kamu atau nggak?”
Raka tidak langsung menjawab. Seolah ada ragu dalam dirinya.
“Aku nggak mau bohong, Nad. Aku lagi bingung.”
Jawaban itu seperti mengonfirmasi segalanya.
Malam itu, Nadia menangis untuk pertama kalinya sejak mengenal Raka. Ia sadar, bukan hanya jarak yang terbentuk di antara mereka, tapi juga ketidakpastian.
Raka mungkin masih ada di sisinya, tapi hatinya?
Mungkin sudah tidak sepenuhnya untuk Nadia lagi.
Dan itu lebih menyakitkan dari sekadar kehilangan.
Bab 6: Pengakuan yang Menyakitkan
Nadia menggenggam ponselnya erat. Tangannya gemetar saat membaca pesan singkat dari seorang teman:
“Nad, kamu tahu nggak kalau Raka sering jalan sama Sasha belakangan ini?”
Dunia Nadia seakan berhenti berputar. Hatinya berdesir dengan perasaan tak menentu—antara takut, cemas, dan sakit.
Ia ingin mengabaikannya, ingin percaya bahwa Raka tidak akan menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, merobek semua keyakinan yang selama ini ia pertahankan.
Dia harus tahu kebenarannya.
Konfrontasi yang Tak Terhindarkan
Malam itu, Nadia akhirnya memberanikan diri untuk bertemu Raka. Mereka duduk di sebuah kedai kopi yang dulu selalu jadi tempat favorit mereka, tapi kali ini suasananya terasa berbeda—lebih dingin, lebih canggung.
“Aku cuma mau nanya satu hal, dan aku harap kamu jujur.” Suara Nadia bergetar, namun nadanya tegas.
Raka menatapnya, ragu-ragu. “Tanya apa?”
Nadia menarik napas dalam-dalam. “Kamu sama Sasha… ada sesuatu, kan?”
Mata Raka melebar. Ia tidak menyangka Nadia akan bertanya seblak-belakan seperti itu. Ia ingin langsung menyangkal, tapi sesuatu dalam dirinya menahannya. Nadia pantas mendapatkan kebenaran.
Akhirnya, setelah keheningan yang terasa begitu lama, Raka menjawab, “Iya, aku sering ketemu Sasha belakangan ini.”
Dada Nadia seketika terasa sesak.
“Kenapa kamu nggak pernah bilang?”
Raka menunduk. “Aku nggak mau nyakitin kamu, Nad…”
Nadia tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena ironis. “Jadi kamu pikir dengan bohong, aku nggak akan sakit hati?”
Raka terdiam. Ia tahu ia salah.
“Apa kamu suka sama dia?” tanya Nadia, suaranya hampir tak terdengar.
Raka kembali terdiam.
Jawaban itu lebih menyakitkan daripada seribu kata.
Cinta yang Retak
Air mata Nadia akhirnya jatuh. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin menuntut penjelasan. Tapi di sisi lain, ia terlalu lelah untuk bertahan dalam hubungan yang penuh ketidakpastian.
“Kalau kamu ragu, kalau hatimu sudah mulai berpaling… mungkin aku harus belajar merelakan.”
Raka menatapnya, matanya juga berkaca-kaca. “Aku nggak mau kehilangan kamu, Nad.”
“Tapi kamu juga nggak bisa bohong sama perasaan kamu sendiri, kan?”
Raka tidak bisa menjawab.
Dan di momen itu, Nadia tahu—cinta yang mereka jaga selama ini mungkin sudah tidak sama lagi.
Bab ini meninggalkan pertanyaan besar:
Apakah Nadia akan memilih pergi dan mengakhiri semuanya? Atau masih ada harapan bagi mereka untuk memperbaiki hubungan ini?
Bagaimana menurutmu? 💔🥀
Bab 7: Melepaskan atau Memperjuangkan?
Nadia dihadapkan pada pilihan sulit. Haruskah ia tetap bertahan atau pergi? Raka pun mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Nadia bukan sekadar teman biasa.
Nadia duduk di balkon kamarnya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Di tangannya, ponselnya terus bergetar. Nama Raka terpampang di layar. Tapi entah kenapa, kali ini Nadia ragu untuk mengangkatnya.
Sudah berminggu-minggu ia berusaha memahami perubahan dalam hubungan mereka. Awalnya ia mengira semuanya hanya butuh waktu, bahwa perasaan mereka masih bisa kembali seperti dulu. Tapi semakin ia mencoba, semakin ia merasa terasing.
Haruskah aku tetap bertahan? Atau… lebih baik aku melepaskan?
Di sisi lain, Raka juga dilanda kebingungan.
Ia sadar Nadia mulai menjaga jarak. Percakapan mereka tak lagi sehangat dulu. Setiap kata terasa penuh kehati-hatian, seolah mereka takut menyakiti satu sama lain.
“Kenapa kamu nggak angkat telepon aku, Nad?” Raka mengirim pesan.
Beberapa menit kemudian, tanda centang biru muncul. Tapi tak ada balasan.
Hati Raka semakin gelisah. Ia tak ingin kehilangan Nadia, tapi ia juga tak bisa membohongi dirinya sendiri. Perasaannya bercampur aduk—tentang Nadia, tentang Sasha, tentang apa yang sebenarnya ia inginkan.
Sampai akhirnya, mereka bertemu.
Nadia tak bisa lagi menghindari Raka selamanya. Mereka duduk di sebuah kafe, suasananya canggung. Tak ada lagi tawa lepas atau cerita panjang seperti dulu.
“Aku nggak mau ini berakhir kayak gini.” Raka akhirnya membuka suara.
Nadia menghela napas. “Aku juga nggak mau, Rak. Tapi aku capek.”
Tatapan Raka berubah. “Capek?”
“Iya. Aku capek terus menebak apa yang ada di pikiran kamu. Aku capek pura-pura nggak peduli padahal aku takut kehilangan kamu.”
Keheningan menyelimuti mereka. Raka menatap Nadia dalam-dalam, berusaha menemukan jawaban di matanya.
“Kamu mau aku gimana, Nad?” suara Raka melembut.
Nadia tersenyum pahit. “Aku cuma mau kepastian. Kalau aku memang masih berarti buat kamu, ayo kita perjuangkan ini sama-sama. Tapi kalau kamu ragu…” ia menarik napas, mencoba menguatkan diri. “Mungkin aku harus belajar melepaskan.”
Hati Raka mencelos. Ia tak pernah membayangkan akan berada di titik ini—memilih antara seseorang yang selalu ada untuknya, atau perasaannya yang kini terasa tak pasti.
Haruskah ia memperjuangkan Nadia? Atau… lebih baik membiarkannya pergi?
Bab 8: Pengorbanan untuk Cinta
Raka berusaha memperbaiki kesalahannya. Ia mulai mencari cara untuk meyakinkan Nadia bahwa hatinya hanya untuknya. Namun, sebuah kejadian tak terduga menguji segalanya.
Malam itu, Raka duduk sendirian di dalam kamarnya, pikirannya kalut. Kata-kata Nadia terus terngiang di kepalanya. “Kalau aku memang masih berarti buat kamu, ayo kita perjuangkan ini sama-sama. Tapi kalau kamu ragu… mungkin aku harus belajar melepaskan.”
Sejak pertemuan mereka di kafe, Raka tahu dia tidak bisa terus menggantungkan perasaan Nadia. Ia harus memilih—memperjuangkan hubungan ini atau membiarkan Nadia pergi.
Tapi bagaimana jika memperjuangkan Nadia berarti mengorbankan sesuatu yang lain?
Sementara itu, Nadia juga dihadapkan pada dilema besar.
Ia mencintai Raka, itu jelas. Tapi ia juga tahu cinta saja tidak cukup jika tidak diperjuangkan oleh kedua belah pihak. Berulang kali ia mencoba menguatkan hatinya untuk pergi, tapi setiap kali ia membayangkan hidup tanpa Raka, hatinya terasa sakit.
Saat itu, Nadia mendapat tawaran beasiswa ke luar negeri. Kesempatan yang sudah lama ia impikan. Tapi bagaimana dengan Raka? Haruskah ia tetap pergi, atau menunggu kepastian yang tak kunjung datang?
Pertemuan yang Menentukan
Di sebuah taman yang biasa mereka datangi dulu, Raka akhirnya meminta Nadia bertemu. Ia sudah mengambil keputusan.
“Aku nggak bisa bayangin hidup aku tanpa kamu, Nad.” Mata Raka menatapnya dalam.
“Tapi?” Nadia bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Raka.
“Tapi aku nggak mau egois. Aku tahu kamu dapet beasiswa itu. Aku tahu ini kesempatan besar buat kamu. Dan kalau aku minta kamu tetap di sini, itu sama aja aku menahan kamu dari impianmu.”
Nadia terdiam. Ia tidak menyangka Raka sudah tahu.
“Aku mau kamu tetap pergi, Nad.” Suara Raka bergetar. “Karena aku cinta kamu.”
Air mata Nadia menggenang.
“Jadi kamu memilih melepaskan aku?” suaranya nyaris berbisik.
Raka menggeleng. “Aku nggak pernah melepas kamu. Aku cuma… mau kamu bahagia.”
Malam itu, mereka berdua menangis dalam diam. Cinta yang mereka perjuangkan ternyata menuntut pengorbanan besar—membiarkan satu sama lain pergi demi masa depan masing-masing.
Tapi apakah ini benar-benar akhir kisah mereka? Atau justru awal dari sesuatu yang lebih besar?
Bab ini menggambarkan pengorbanan dalam cinta—melepaskan bukan berarti berhenti mencintai.
Menurutmu, apa yang akan terjadi selanjutnya? Haruskah Nadia pergi, atau ada keajaiban yang membuat mereka tetap bersama? 😢💔
Bab 9: Di Antara Harapan dan Kenyataan
Nadia dihadapkan pada ujian berat. Raka mengalami kecelakaan, dan di saat itulah ia sadar betapa besar perasaannya untuk pria itu. Apakah ini pertanda bahwa mereka memang ditakdirkan bersama?
Nadia duduk di bangku taman yang basah oleh embun pagi. Matahari baru saja muncul di ufuk timur, tapi hatinya masih terasa gelap. Udara pagi yang seharusnya menyegarkan justru membuatnya semakin sadar akan realitas yang sedang ia hadapi—realitas yang jauh dari harapannya.
Sudah dua minggu sejak perbincangan menyakitkan dengan Raka. Sejak saat itu, komunikasi mereka semakin renggang. Tidak ada lagi pesan singkat sebelum tidur, tidak ada lagi candaan ringan yang selalu membuat harinya lebih berwarna. Yang ada hanya kesunyian—dan kesunyian itu lebih menyakitkan daripada pertengkaran apa pun.
Tapi Nadia masih berharap.
Harapan itu yang membuatnya terus bertahan.
Pertemuan yang Tak Terduga
Siang itu, Nadia memutuskan untuk pergi ke kafe favoritnya—tempat yang penuh dengan kenangan bersama Raka. Ia ingin menghapus jejak masa lalu atau mungkin… hanya ingin merasakan keberadaan Raka walau tanpa dirinya di sana.
Saat ia melangkah masuk, jantungnya mendadak berdegup lebih cepat.
Di salah satu sudut kafe, duduk seseorang yang tidak asing baginya.
Raka.
Dan dia tidak sendirian.
Di hadapannya, Sasha duduk sambil tertawa kecil. Mata mereka bertemu sebentar sebelum Raka buru-buru mengalihkan pandangannya.
Nadia merasakan sesuatu dalam dirinya hancur. Ia tidak tahu apakah ini kecemburuan, kesedihan, atau sekadar bukti bahwa kenyataan tidak selalu berpihak pada harapan.
Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan keluar dari kafe itu sebelum air matanya jatuh di tempat yang salah.
Harus Memilih
Malam itu, Nadia termenung di kamarnya. Haruskah ia tetap berharap, meski segala tanda menunjukkan bahwa Raka telah berubah? Atau inilah saatnya ia menerima kenyataan, bahwa tidak semua cerita berakhir dengan bahagia?
Ponselnya bergetar.
Pesan dari Raka.
“Kita bisa ketemu besok? Aku pengen ngomong.”
Untuk pertama kalinya, Nadia ragu.
Apakah ia masih ingin mendengar kata-kata Raka? Atau sebenarnya ia sudah tahu jawabannya?
Harapan dan kenyataan bertarung dalam kepalanya.
Mampukah ia menerima kebenaran, meski itu bukan yang ia inginkan?
Bab 10: Hanya Kamu di Hatiku
Saat semua rintangan akhirnya bisa dilewati, Raka dan Nadia menemukan makna cinta sejati. Tak ada lagi keraguan, tak ada lagi bayang-bayang masa lalu. Hanya ada mereka, bersama, selamanya.
Malam itu, langit terlihat begitu cerah. Bintang-bintang bertebaran, seakan ikut menyaksikan pergulatan batin yang dialami Nadia. Di tangannya, ponselnya masih menampilkan pesan dari Raka yang meminta bertemu.
“Kita bisa ketemu besok? Aku pengen ngomong.”
Biasanya, tanpa pikir panjang, Nadia pasti akan langsung membalas. Tapi kali ini, ada sesuatu yang menahannya. Luka-luka yang selama ini ia coba sembuhkan kembali menganga.
Apa yang sebenarnya masih ia harapkan?
Pertemuan Terakhir atau Awal yang Baru?
Pagi harinya, Nadia akhirnya memutuskan untuk bertemu Raka di taman yang dulu sering mereka datangi. Saat ia tiba, Raka sudah duduk di bangku kayu di bawah pohon besar, terlihat gelisah.
Saat Nadia mendekat, mata mereka bertemu. Ada kerinduan di sana—dan juga kesedihan.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” kata Raka akhirnya, suaranya sedikit bergetar.
Nadia menghela napas, mencoba menenangkan hatinya. “Mulai dari yang paling jujur aja.”
Raka menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Aku bodoh. Aku pikir, kalau aku menjauh, semuanya akan lebih mudah. Aku pikir perasaanku ke kamu akan menghilang kalau aku mencari seseorang yang lain. Tapi ternyata… semakin aku mencoba pergi, semakin aku sadar kalau cuma kamu yang ada di hatiku.”
Nadia menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang mulai memenuhi dadanya. “Lalu, kenapa kamu pergi? Kenapa kamu nggak pernah berusaha mempertahankan kita?”
Raka mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Karena aku takut. Takut kalau kita terus bertahan, tapi akhirnya malah menyakiti satu sama lain lebih dalam.”
Air mata yang selama ini Nadia tahan akhirnya jatuh. “Jadi, sekarang kamu mau apa, Raka? Mau aku berpura-pura nggak sakit? Mau aku pura-pura nggak kecewa?”
“Aku nggak mau kamu pura-pura apa pun,” suara Raka nyaris berbisik. “Aku cuma mau kamu tahu satu hal… bahwa dari dulu sampai sekarang, cuma kamu yang ada di hatiku.”
Antara Luka dan Cinta
Nadia terdiam. Ia ingin marah, ingin berteriak bahwa Raka terlambat menyadari semuanya. Tapi di sisi lain, hatinya juga tak bisa membohongi perasaannya sendiri.
“Aku butuh waktu,” ucap Nadia akhirnya.
Raka mengangguk pelan, seolah sudah menduga jawaban itu. “Aku akan tunggu. Berapa lama pun yang kamu butuhkan.”
Hening. Angin bertiup lembut, membawa pergi sisa-sisa keegoisan dan ketakutan yang selama ini menyelimuti mereka.
Mungkin luka ini tidak bisa sembuh dalam semalam. Tapi satu hal yang pasti…
Cinta itu masih ada.
Bagaimana? Mau ada tambahan konflik atau twist yang lebih menegangkan? 😊.***
—— THE END ——