Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

GORESAN CINTA PERTAMA

GORESAN CINTA PERTAMA

SAME KADE by SAME KADE
March 17, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 21 mins read
GORESAN CINTA PERTAMA

Daftar Isi

  • BAB 1 PERTEMUAN  TAK  TERDUGA
  • BAB 2  KEDEKATAN YANG TUMBUH
  • BAB 3 TNDA -TANDA CINTA
  • BAB 4 MENGHADAPI  KERAGUAN
  • BAB 5  MENGUNGKAPKAN  PERASAAN
  • BAB 6  MOMEN  CINTA   YANG INDAH
  • BAB 7 UJIAN DALAM  CINTA

BAB 1 PERTEMUAN  TAK  TERDUGA

Pagi itu, Bella datang terlambat ke sekolah. Sepatu hitamnya yang sedikit usang berbunyi nyaring di lorong sekolah yang lengang. Biasanya, ia akan memilih duduk di kelas lebih awal, membuka buku, dan menyelami dunia yang ia buat sendiri melalui tulisan-tulisannya. Tapi hari ini, belakangan ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa mengusik pikirannya, seolah ada kekosongan yang sulit dijelaskan.

Awan di luar tampak lebih gelap dari biasanya, seolah ikut merasakan perasaan Bella yang hari ini sedikit cemas. Ia melangkah cepat, berusaha menghindari tatapan teman-temannya yang sering kali memperhatikannya karena sifatnya yang pendiam. Bella lebih suka menyendiri. Ia merasa lebih nyaman dengan dunia tulisannya—dengan kata-kata yang bisa ia kendalikan, dengan cerita yang hanya ia pahami.

Hari ini, kelas pertama adalah Bahasa Indonesia, dan seperti biasa, Bella duduk di pojok dekat jendela. Ia membuka buku catatannya dan mulai menulis puisi yang baru ia pikirkan beberapa detik yang lalu. Ia menulis dengan lancar, tanpa berpikir panjang, mengekspresikan segala perasaan yang mengendap di hatinya. Cinta, keindahan, kehilangan—semua perasaan itu ia tuangkan tanpa ragu, meski ia tahu tak ada orang yang benar-benar mengerti isi hatinya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mengalihkan perhatiannya. Bella mengangkat kepala dan mendapati seorang siswa yang belum pernah ia lihat sebelumnya berdiri di depan mejanya. Pemuda itu tampak sedikit kebingungan, seolah mencari sesuatu. Wajahnya baru, namun ada sesuatu dalam tatapan matanya yang terasa familiar, meski Bella tahu mereka belum pernah bertemu.

“Hei, maaf, apakah ini tempat duduk yang kosong?” tanya pemuda itu dengan suara rendah, namun jelas. Bella menatapnya beberapa detik, tak tahu harus menjawab apa. Ia sempat terdiam, mencoba mencerna situasi. Raka—begitu ia mendengar namanya—ternyata adalah siswa pindahan yang baru saja masuk. Ia membawa sedikit kehangatan dari luar, dan tanpa disadari, aura di sekitar Bella berubah.

“Oh, ya. Itu kosong,” jawab Bella pelan, sedikit canggung. Ia tak terbiasa berbicara dengan orang asing, apalagi yang sepertinya begitu percaya diri seperti pemuda ini.

Raka tersenyum tipis, senyum yang langsung mencuri perhatian Bella. Tanpa ragu, ia duduk di tempat yang ditunjukkan. Bella melanjutkan menulis di buku catatannya, meski pikirannya tak bisa fokus sepenuhnya. Ia merasa sedikit cemas, namun sekaligus penasaran dengan sosok yang baru saja duduk di dekatnya.

Seiring berjalannya waktu, Bella merasa kehadiran Raka semakin mengganggu fokusnya. Saat bel berbunyi, ia bangkit dan bergegas menuju pintu, berharap bisa melanjutkan tulisannya di luar kelas. Namun, tanpa disangka, Raka menahannya. “Hei, aku lihat kamu tadi sedang menulis, ya?” tanya Raka, matanya penuh rasa ingin tahu.

Bella menoleh dan menatapnya. “Iya,” jawabnya singkat, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu.

“Apakah itu puisi?” tanya Raka lagi, kali ini sedikit lebih santai. Raka tampak benar-benar tertarik pada apa yang Bella lakukan.

Bella merasa sedikit gugup, merasa tak nyaman harus membahas tulisan pribadi yang selama ini hanya ia simpan sendiri. “Hanya beberapa kata,” jawabnya pelan, berusaha untuk tidak terlalu terbuka.

Raka mengangguk, lalu tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Aku juga suka menulis,” katanya, menambah sedikit kejutan dalam percakapan mereka. “Mungkin suatu saat kita bisa saling bertukar tulisan.”

Bella merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Seseorang yang sama-sama menyukai menulis? Itu cukup langka, apalagi seseorang yang baru dikenalnya. Namun, ia tetap diam, hanya mengangguk, dan kemudian melanjutkan langkahnya keluar kelas. Namun, perasaan aneh itu mulai mengisi dadanya, seperti ada sesuatu yang berbeda tentang Raka. Sesuatu yang membuatnya merasa tak bisa mengabaikan sosok itu begitu saja.

Hari-hari berikutnya, Raka mulai lebih sering duduk di sebelah Bella di kelas. Mereka sering kali berbicara ringan setelah jam pelajaran selesai. Bella yang biasa sangat tertutup mulai merasa nyaman dengan Raka. Setiap kali mereka berbicara, ada perasaan hangat yang muncul dalam dirinya, yang sulit untuk ia jelaskan. Tidak seperti teman-temannya yang lain, Raka tidak pernah memaksanya untuk berbicara lebih dari yang ia inginkan. Ia menerima Bella apa adanya, dengan segala kekurangan dan keunikannya.

Suatu sore, setelah jam terakhir, Raka mengajak Bella untuk berjalan-jalan ke taman sekolah. Bella agak terkejut, tetapi akhirnya ia setuju. Mereka berjalan di antara pepohonan, suasana tenang, dengan langit sore yang berwarna oranye keemasan. Tanpa disadari, percakapan mereka mengalir begitu saja, dari topik buku yang mereka suka hingga cita-cita mereka di masa depan. Bella mulai merasa nyaman, merasa ada koneksi yang tumbuh perlahan di antara mereka.

“Kenapa kamu tidak pernah banyak bicara dengan orang lain?” tanya Raka dengan lembut, seperti sudah memahami sisi-sisi yang tidak terlihat dari Bella.

Bella menatapnya, agak terkejut dengan pertanyaan itu. “Aku hanya tidak terlalu suka bergaul dengan banyak orang,” jawabnya pelan, merasa sedikit canggung.

Raka tersenyum, seolah mengerti. “Kamu hanya butuh seseorang yang bisa mengerti, kan?”

Bella tidak tahu bagaimana menjawabnya, tetapi ia merasakan sesuatu yang hangat di dadanya. Sesuatu yang membuatnya merasa tak ingin berpisah dari Raka.

Pada akhirnya, percakapan itu tidak hanya mengungkapkan ketertarikan mereka terhadap satu sama lain, tetapi juga membuka hati Bella untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemanan. Cinta pertama seringkali datang tanpa diduga, melalui pertemuan yang tidak direncanakan. Begitu pula dengan Bella dan Raka, yang tanpa disadari mulai menulis cerita baru bersama, cerita yang penuh dengan potensi, kebingungannya sendiri, dan juga harapan.

Begitulah, pertemuan tak terduga itu akhirnya menjadi awal dari kisah cinta pertama yang akan mengubah hidup Bella selamanya.*

BAB 2  KEDEKATAN YANG TUMBUH

Setelah pertemuan pertama yang tak terduga itu, Bella merasa seolah dunia seketika berubah. Meskipun ia dikenal sebagai sosok yang pendiam dan lebih suka menyendiri, sesuatu tentang Raka membuatnya merasa nyaman dan, entah mengapa, juga sedikit gugup. Setiap kali matanya bertemu dengan Raka, ada sesuatu yang berkilau di dalam dirinya, perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seolah-olah hati Bella berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri.

Hari demi hari berlalu, dan kedekatan mereka mulai tumbuh begitu alami, tanpa ada yang merasa terpaksa. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, Raka selalu memiliki cara untuk membuat Bella merasa istimewa. Entah itu dengan menyapa dengan senyum lebar atau sekadar bertanya tentang tugas sekolah yang harus mereka selesaikan. Tak jarang mereka duduk berdampingan di ruang kelas atau di bangku taman, berbicara tentang hal-hal kecil yang tidak terlalu penting, namun bagi Bella, itu adalah saat-saat yang sangat berarti.

Salah satu momen yang paling berkesan adalah ketika mereka duduk di taman sekolah, setelah jam pelajaran berakhir. Bella biasanya menghabiskan waktu istirahatnya di sana, duduk sendiri dengan buku di tangannya, namun Raka sering datang untuk menemani. Mereka tidak langsung berbicara tentang hal-hal besar atau serius. Sebaliknya, percakapan mereka terasa ringan, namun penuh dengan kehangatan yang tumbuh di antara keduanya.

“Alya, bagaimana menurutmu tentang buku ini?” tanya Raka, menunjuk buku yang tengah dibaca Bella.

Bella tersenyum kecil dan menjawab, “Ini salah satu buku favoritku. Aku suka bagaimana penulisnya menggambarkan kehidupan melalui karakter-karakter yang kompleks. Tapi, aku rasa kamu lebih suka buku petualangan, ya?”

Raka tertawa. “Kamu benar. Aku suka cerita-cerita yang penuh dengan aksi dan petualangan. Tapi aku selalu penasaran dengan apa yang orang lain suka baca. Aku pikir buku ini menarik, mungkin aku akan coba baca setelah ini.”

Obrolan mereka berlanjut seperti itu, seolah-olah waktu berhenti hanya untuk keduanya. Bella merasa nyaman, namun di sisi lain, ada rasa gugup yang tak bisa ia hilangkan. Apakah Raka juga merasakan hal yang sama? Apakah ia hanya menganggapnya sebagai teman atau lebih dari itu?

Tak lama setelah itu, Raka mulai sering mengajak Bella untuk mengerjakan tugas sekolah bersama. Pada awalnya, Bella merasa ragu untuk menerima ajakan itu. Ia tidak terbiasa bekerja dalam kelompok, apalagi dengan seseorang yang begitu menarik seperti Raka. Namun, Raka berhasil meyakinkan Bella bahwa bekerja bersama akan membuat pekerjaan mereka lebih mudah dan menyenangkan. Setiap kali mereka bekerja bersama, Bella merasa terhubung dengan Raka dalam cara yang berbeda. Raka tidak hanya cerdas, tetapi juga sangat sabar dan selalu memberikan dukungan ketika Bella merasa kesulitan.

Suatu hari, saat mereka sedang mengerjakan tugas sejarah di perpustakaan, Raka menatap Bella dengan penuh perhatian. “Bella, aku tahu kamu tipe orang yang suka mengerjakan semuanya sendiri, tapi aku ingin kamu tahu kalau aku di sini untuk membantu kamu. Tidak ada salahnya berbagi tugas, kan?”

Mendengar kata-kata itu, hati Bella berdegup kencang. Ia tersenyum malu, lalu mengangguk. “Terima kasih, Raka. Aku rasa, aku perlu belajar untuk lebih terbuka dengan orang lain.”

“Begitu juga aku,” jawab Raka dengan senyum penuh arti.

Kedekatan mereka terus berkembang seiring berjalannya waktu. Bella mulai merasa lebih mudah untuk berbagi cerita tentang dirinya, bahkan hal-hal kecil yang biasanya ia simpan sendiri. Raka menjadi pendengar yang baik, selalu mendukung setiap cerita yang ia bagikan. Ada perasaan yang tumbuh dalam diri Bella, perasaan yang semakin jelas bahwa ia mulai jatuh cinta pada Raka, meskipun ia masih ragu untuk mengakui perasaannya.

Pada suatu sore yang cerah, mereka duduk di taman lagi, kali ini tanpa buku atau tugas yang mengganggu percakapan mereka. Hanya ada suara angin yang berhembus lembut dan cahaya matahari yang perlahan meredup. Raka mendongak ke langit, lalu berkata, “Pernahkah kamu merasa bahwa kita bisa berbicara begitu banyak, tetapi pada akhirnya, kita merasa belum sepenuhnya mengungkapkan apa yang kita rasakan?”

Bella menatap Raka, sedikit bingung. “Apa maksudmu?”

Raka tersenyum lembut. “Aku merasa seperti kita sudah dekat, tapi aku juga merasa ada banyak hal yang belum aku ungkapkan. Tidak hanya tentang tugas sekolah atau hal-hal biasa, tapi tentang perasaan kita yang mungkin kita tak pernah tahu benar-benar ada.”

Bella terdiam, merasakan hati yang berdebar. Apakah Raka berbicara tentang perasaan yang sama yang ia rasakan? Ia tidak tahu harus berkata apa, takut jika mengungkapkan perasaannya terlalu cepat, atau malah membuat semuanya canggung.

Namun, Raka melihat kebingungannya dan tertawa kecil. “Mungkin aku bicara terlalu banyak. Tapi yang aku coba katakan adalah, aku senang bisa dekat denganmu, Bella. Aku merasa nyaman denganmu. Itu saja.”

Bella merasa ada kehangatan dalam kata-kata itu. Ia merasa seolah beban yang selama ini mengganjal di hatinya sedikit terangkat. Mungkin perasaan itu memang ada, dan mungkin juga Raka merasakannya.

Sejak saat itu, kedekatan mereka semakin terasa. Mereka mulai berbicara lebih banyak tentang kehidupan pribadi masing-masing, saling berbagi mimpi dan harapan. Bella belajar untuk lebih terbuka dan tidak lagi merasa canggung di hadapan Raka. Di sisi lain, Raka juga mulai menunjukkan sisi lembut dan perhatian yang sebelumnya tidak ia tunjukkan kepada siapapun.

Namun, meskipun kedekatan mereka semakin kuat, ada satu hal yang masih mengganjal di hati Bella: perasaan takut akan perubahan. Apakah kedekatan ini akan terus bertahan, atau justru mengarah pada perasaan yang lebih dalam, yang bisa saja menyakitkan jika tidak terbalaskan? Bella tidak tahu jawabannya. Semua itu masih terlalu rumit untuk ia pahami. Namun, satu hal yang pasti—kehadiran Raka dalam hidupnya membawa warna baru yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan.

Kedekatan mereka terus tumbuh, dan di hati Bella, perasaan cinta pertama mulai mekar perlahan. Namun, apakah ia siap untuk menghadapinya? Itu masih menjadi misteri, yang akan terungkap seiring berjalannya waktu.*

BAB 3 TNDA -TANDA CINTA

Bella duduk di meja belajar di kamar, tangan kanannya menggenggam pena dengan erat. Di depannya, buku-buku terbuka dan catatan-catatan penuh dengan kalimat-kalimat yang belum selesai. Namun, pikirannya justru melayang jauh, jauh dari segala tugas sekolah yang harus ia selesaikan. Semuanya tentang Raka. Tanda-tanda cinta yang semakin jelas terasa, meski ia masih belum berani mengakuinya.

Setiap hari, setelah bertemu dengan Raka, Bella merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Perasaannya begitu membingungkan, seperti petir yang menyambar hati namun dengan lembut. Ia tak pernah merasakan hal yang sama sebelumnya, tidak pernah ada perasaan yang begitu menyentuh hatinya, membangkitkan rasa yang sulit dijelaskan. Rasanya seperti dunia seketika berubah menjadi lebih cerah ketika ia melihat Raka, bahkan ketika mereka hanya berbicara sepatah dua patah kata.

Pagi itu, seperti biasa, Bella berjalan menuju sekolah dengan langkah yang sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia tak bisa menghilangkan perasaan gugup yang terus menggelora di dadanya. Setiap langkah seolah menjadi penantian untuk bertemu dengan Raka. Meskipun mereka hanya bertemu di lorong sekolah, Bella merasa seperti ada energi yang mengalir begitu saja antara mereka.

Saat Bella memasuki kelas, ia melihat Raka sedang duduk di bangkunya, tampak serius memeriksa buku catatannya. Hati Bella berdebar lebih cepat. Raka mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Bella, seketika senyumnya mengembang, menyambut kedatangannya. Senyum itu, senyum yang selalu membuat perasaan Bella bergetar. Ia tak bisa mengabaikan bahwa setiap kali melihat Raka, hatinya merasa hangat, bahkan ketika hanya bertukar pandang.

“Alya, kamu terlihat sedikit terburu-buru hari ini. Ada yang terjadi?” tanya Raka sambil mengernyitkan dahi, menunjukkan perhatian yang tidak bisa disembunyikan.

Bella terkejut, mendengar namanya disebut dengan begitu lembut. Ia berusaha menahan gelisah dalam hatinya, tapi tetap saja suaranya terdengar sedikit bergetar. “Ah, tidak, hanya merasa sedikit cemas tentang ujian hari ini. Itu saja.”

Raka tertawa kecil, lalu dengan tulus berkata, “Jangan khawatir. Kamu pasti bisa, Alya. Kita bisa belajar bersama jika kamu mau.”

Itu adalah tawaran yang sederhana, namun bagi Bella, itu lebih dari sekadar bantuan belajar. Itu adalah perhatian yang begitu tulus. Raka tidak hanya peduli dengan pelajaran, tetapi dengan dirinya. Perasaan itu mulai semakin nyata, dan Bella semakin merasa bingung. Apa ini hanya perasaan biasa? Atau apakah ini adalah tanda-tanda cinta yang mulai tumbuh?

Sepanjang pelajaran berlangsung, Bella merasa seperti terbangun dalam dunia yang berbeda. Setiap kali ia mendengarkan suara Raka yang memberikan semangat dan candaan ringan di sampingnya, ia merasa seolah dunia hanya milik mereka berdua. Setiap tatapan, setiap senyuman, semuanya seolah mengirimkan pesan yang tak terucapkan. Bella tak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka.

Namun, ketakutan kembali menghampiri hati Bella. Apa yang sedang ia rasakan? Apakah ini benar-benar cinta? Ia telah mendengar banyak cerita tentang cinta pertama, tapi rasanya terlalu cepat untuk mengakuinya. Apakah Raka juga merasakan hal yang sama? Atau mungkinkah ia hanya bersikap baik karena mereka teman? Bella terus bertanya-tanya, dan semakin hari, semakin sulit baginya untuk membedakan antara cinta dan sekadar perasaan suka biasa.

Saat istirahat siang, Bella keluar menuju halaman sekolah, mencoba menenangkan pikirannya. Raka mengejarnya dan bergabung dengan Bella di bangku taman. Matahari yang terik tak membuat mereka merasa panas; suasana menjadi begitu nyaman dan damai. Raka duduk di samping Bella, memberi ruang bagi Bella untuk merasakan ketenangan meskipun perasaan dalam hatinya sedang bercampur aduk.

“Alya, aku senang kita bisa bicara lebih banyak akhir-akhir ini. Kamu tahu, kamu itu sangat berbeda. Ada sesuatu dalam dirimu yang selalu membuat aku ingin lebih dekat denganmu,” kata Raka dengan suara pelan, seperti ada sesuatu yang lebih dalam yang ingin ia ungkapkan.

Bella merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Kalimat sederhana itu seolah menorehkan goresan di hati, menggugah perasaan yang sudah lama terpendam. “Aku… aku juga merasa hal yang sama. Rasanya aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Raka. Setiap kali kita berbicara, aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam,” jawab Bella, mencoba mengungkapkan perasaan yang sudah lama ia pendam, meski kata-katanya masih terasa ragu.

Raka menatap Bella dengan tatapan lembut, seolah sedang mencari sesuatu dalam diri Bella yang mungkin tak pernah ia ungkapkan sebelumnya. “Aku tidak tahu, Alya. Tapi aku merasa kita sudah sangat dekat. Rasanya kita lebih dari sekadar teman, bukan?”

Bella hanya bisa menatap Raka dengan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan lebih lanjut. Perasaan yang begitu kuat, namun terlalu rumit untuk dipahami. “Aku juga merasa begitu, Raka,” jawabnya perlahan.

Momen itu menjadi titik balik bagi mereka berdua. Tanda-tanda cinta yang selama ini terasa samar, kini semakin jelas di hadapan mereka. Ada perasaan saling tertarik yang tak bisa lagi disembunyikan, meskipun keduanya merasa takut untuk mengakuinya secara langsung. Namun, dengan setiap percakapan, setiap tatapan, mereka tahu bahwa cinta itu sudah mulai tumbuh, bahkan jika mereka belum siap untuk mengungkapkannya.

Ketika bel sekolah berbunyi, menandakan bahwa waktu istirahat sudah berakhir, Bella dan Raka terpaksa berpisah, namun hati mereka terasa lebih dekat dari sebelumnya. Perasaan yang semula tidak jelas kini mulai menemukan bentuknya. Tanda-tanda cinta pertama itu tak lagi bisa disangkal. Bella tahu bahwa apapun yang terjadi, ia dan Raka sudah memasuki jalan yang baru, sebuah perjalanan cinta yang penuh dengan tanda-tanda yang tak terucapkan, namun begitu nyata di hati mereka.

Cinta pertama mereka mungkin masih dalam bentuk tanda-tanda kecil, tetapi setiap momen, setiap detik yang dihabiskan bersama, mulai menggambarkan betapa kuatnya perasaan itu. Dan di dalam hati Bella, ada keyakinan bahwa ini baru permulaan dari sesuatu yang indah, meskipun ia belum sepenuhnya siap untuk menghadapinya.*

BAB 4 MENGHADAPI  KERAGUAN

Bella duduk di bangku taman sekolah, tangan menggenggam erat buku catatannya, meskipun matanya tidak benar-benar melihat kata-kata yang tertulis di dalamnya. Pikirannya melayang jauh, mengembara pada perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya. Raka. Cinta pertama yang membuat dunia Bella terasa berbeda. Setiap kali ia memikirkan Raka, hatinya berdebar lebih kencang, seolah detak jantungnya tak mampu mengikuti ritme perasaan yang berkembang pesat.

Namun, ada satu hal yang mengganggu pikirannya—keraguan. Bella merasa seolah ada dua sisi dalam dirinya yang berperang. Di satu sisi, ia merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia alami sebelumnya, sebuah perasaan yang penuh harapan dan kehangatan. Di sisi lain, ia merasa takut. Takut bahwa perasaan ini tidak akan bertahan. Takut bahwa cinta pertama mereka hanya sebuah ilusi yang akan hilang seiring berjalannya waktu.

“Kenapa aku harus merasa seperti ini?” Bella bergumam pada dirinya sendiri, mengusap wajahnya dengan tangan. “Apa yang membuatku merasa ragu, padahal aku sangat bahagia saat bersamanya?”

Raka memang berbeda. Ia bukanlah tipe pria yang biasa. Raka memiliki cara berbicara yang tenang namun penuh makna, selalu tahu bagaimana membuat Bella merasa istimewa. Senyumnya bisa mencairkan kegelisahan Bella, dan cara Raka melihat dunia selalu mengingatkan Bella pada impian-impian yang pernah ia simpan jauh dalam hatinya. Semua itu terasa sempurna. Namun, perasaan takut yang mendalam tak pernah benar-benar menghilang.

“Apa yang aku takutkan?” Bella bertanya lagi, lebih keras kali ini, mencoba menenangkan dirinya. “Aku seharusnya bahagia, bukan malah berpikir yang buruk.”

Tapi di saat yang sama, setiap kali ia melihat Raka, ada pertanyaan yang terus berputar di benaknya. *Apakah ini benar? Apakah cinta pertama ini akan bertahan? Ataukah nanti kita akan terpisah, seperti banyak kisah yang ku dengar?*

Bella merasa dirinya seperti berdiri di persimpangan jalan, bingung harus melangkah ke arah mana. Salah satu jalan mengarah ke keberanian untuk menjalani hubungan ini, untuk menerima perasaan yang tumbuh di dalam hatinya dan merasakan cinta pertama tanpa rasa takut. Namun, jalan lainnya mengarah pada keraguan yang membelenggu, menunggu untuk dihancurkan oleh kenyataan bahwa mereka mungkin tidak bisa bersama selamanya. Cinta pertama seringkali tampak indah, namun ada banyak kisah yang mengisahkan akhir yang pahit.

“Mungkin aku tidak cukup baik untuknya,” Bella berbisik pelan. “Mungkin dia akan menemukan seseorang yang lebih baik. Aku takut jika hubungan ini hanya akan menyakitkan di akhirnya.”

Namun, di dalam hatinya, ada satu suara yang lebih lembut, yang berusaha meyakinkan dirinya. *Tidak semua cinta berakhir dengan perpisahan, Bella. Tidak semua cinta pertama berakhir buruk. Kadang-kadang, cinta pertama itu bertahan.*

Suara itu seperti sebuah harapan yang berusaha menembus keraguan yang melingkupi hatinya. Bella memejamkan mata, mencoba mendengarkan suara hatinya yang paling dalam. Ada satu bagian dari dirinya yang merasa yakin, bahwa cinta yang ia rasakan tidak bisa hanya dilihat dari ketakutan yang ada. Mungkin memang ada ketidakpastian, tapi bukankah itulah bagian dari setiap perjalanan cinta? Jika mereka tidak berani untuk melangkah, maka bagaimana mereka bisa tahu apa yang bisa terjadi?

“Aku harus berbicara dengannya,” Bella akhirnya memutuskan. “Aku harus mengungkapkan apa yang ada di hati, bahkan jika itu menakutkan.”

Keputusan itu memberi Bella sedikit ketenangan. Rasa takutnya tidak akan pernah hilang dengan sendirinya, tetapi ia bisa menghadapinya. Jika Raka benar-benar mencintainya, mereka akan menghadapinya bersama. Dan jika tidak, setidaknya ia tidak akan pernah menyesal karena tidak pernah berani mengungkapkan perasaan.

Hari itu, sepulang sekolah, Bella memutuskan untuk menemui Raka. Mereka biasanya akan bertemu di taman dekat sekolah, tempat di mana mereka pertama kali berbicara lebih lama. Langkah-langkahnya terasa berat, tetapi hatinya juga berdebar-debar penuh harap. Saat tiba di taman, ia melihat Raka sedang duduk di bangku yang biasa mereka duduki bersama. Senyumnya langsung menghiasi wajahnya begitu melihat Bella mendekat.

“Bella,” kata Raka, suaranya hangat dan lembut, seperti biasa.

Bella tersenyum ragu, mencoba menenangkan diri. Ia duduk di samping Raka, mengambil napas panjang sebelum mulai berbicara. “Raka, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

Raka menatapnya dengan penuh perhatian, seolah sudah tahu bahwa Bella ingin mengungkapkan sesuatu yang penting. “Apa itu?”

“Aku… Aku merasa sangat bahagia saat bersamamu,” kata Bella, suaranya sedikit bergetar. “Tapi, aku juga merasa takut. Takut bahwa semua ini hanya akan berakhir dengan kesedihan. Takut bahwa kita tidak bisa bertahan bersama.”

Raka terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Bella. Kemudian ia mengangguk, wajahnya serius namun penuh pengertian. “Aku mengerti, Bella. Aku pun merasakan hal yang sama. Aku juga merasa takut, tapi aku tidak ingin kita hidup dalam keraguan. Kita tidak bisa menebak apa yang akan terjadi, tapi kita bisa memilih untuk berani menghadapi apapun yang datang.”

Bella menatapnya, merasa lega. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kata-kata Raka. Mereka memang tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi mereka memiliki satu hal yang pasti—keinginan untuk menghadapi perjalanan ini bersama, dengan hati yang penuh keberanian.

“Jadi, kita akan menjalani ini bersama?” tanya Bella dengan mata yang mulai bersinar.

Raka tersenyum dan menggenggam tangan Bella. “Ya, kita akan menjalani ini bersama, meskipun ada keraguan. Tapi selama kita berdua ingin melangkah, kita akan melakukannya.”

Bella merasa berat yang menghimpit hatinya sedikit terangkat. Mungkin perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dia tidak akan melangkah sendirian. Bersama Raka, ia bisa menghadapi ketakutannya, dan mulai membuka hati untuk cinta pertama yang tulus ini.

Dengan senyuman, keduanya duduk bersebelahan, saling menggenggam tangan, siap untuk menghadapinya bersama—keraguan yang mulai memudar, dan cinta yang mulai tumbuh lebih kuat.*

BAB 5  MENGUNGKAPKAN  PERASAAN

Hari itu terasa seperti hari-hari biasa di sekolah, namun bagi Bella, segala sesuatunya terasa berbeda. Setiap langkah yang ia ambil menuju kelas terasa lebih berat, setiap detik seakan mengalir dengan lambat, dan hatinya terus berdebar-debar. Di sepanjang pagi, pikirannya terisi dengan satu hal: Raka. Ia tak bisa menahan diri lagi. Perasaan yang selama ini ia sembunyikan, yang tumbuh perlahan-lahan sejak pertemuan pertama mereka, kini mulai terasa begitu kuat dan tak terkendali. Sudah terlalu lama ia menahan semuanya, dan kini, Bella tahu ia harus melangkah lebih jauh. Ia harus mengungkapkan perasaannya kepada Raka.

Keputusan itu datang dengan cepat, tapi juga penuh pertimbangan. Bella tahu bahwa mengungkapkan perasaan adalah langkah besar, langkah yang bisa mengubah segala sesuatu. Ia juga tak bisa menepis rasa takutnya—takut ditolak, takut kehilangan persahabatan mereka, atau bahkan takut jika perasaan ini hanyalah perasaan sesaat. Tapi satu hal yang Bella tahu, ia tak ingin menyesal karena menyimpan perasaan ini lebih lama lagi.

Bel pulang dengan langkah berat, menuju taman yang biasa mereka kunjungi setelah sekolah. Tempat itu selalu menjadi tempat pelarian bagi keduanya—tempat di mana mereka bisa berbicara tentang segala hal tanpa khawatir tentang apa pun. Tempat itu juga menjadi saksi bisu hubungan yang mulai tumbuh di antara mereka, walau Bella tak pernah benar-benar mengungkapkan apa yang ia rasakan.

Sesampainya di taman, Bella melihat Raka sedang duduk di bangku kayu yang biasa mereka duduki bersama. Raka tampak seperti sedang menunggu sesuatu, atau mungkin seseorang. Matanya tertuju pada buku yang dibawanya, namun Bella tahu betul bahwa Raka sebenarnya sedang menunggu dirinya.

Rasa cemas menguasai diri Bella. Ia berdiri di sana sejenak, mengamati Raka yang tampak tenang, tanpa mengetahui apa yang sedang berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya, Bella mengumpulkan keberanian dan berjalan mendekat. Raka melihatnya dan tersenyum lebar, senyuman yang selalu berhasil membuat hatinya berdegup kencang.

“Ada apa, Bella? Kamu kelihatan sedikit berbeda hari ini,” ujar Raka dengan nada bercanda, namun matanya penuh perhatian.

Bella menahan napas sejenak, mencoba meredakan kegelisahannya. Ia duduk di samping Raka, menarik napas dalam-dalam, dan menatapnya dengan penuh kesungguhan. Raka yang merasa ada yang berbeda dari sikap Bella, langsung menutup bukunya dan memfokuskan perhatian sepenuhnya pada gadis di sampingnya.

“Aku… ada sesuatu yang ingin aku katakan, Raka,” ujar Bella dengan suara pelan, namun cukup jelas untuk didengar oleh Raka. Kata-kata itu terasa berat, seperti bebannya yang sudah terlalu lama terpendam.

Raka menoleh ke arahnya, matanya tajam memperhatikan setiap gerakan Bella. “Apa itu? Kamu terlihat sangat serius,” ujarnya, sedikit cemas.

Bella menggigit bibir bawahnya. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk ragu, dan ia tidak boleh menunda lagi. “Aku… aku sudah lama merasakan sesuatu, Raka,” kata Bella, suaranya sedikit bergetar, tapi ia berusaha keras untuk tetap tenang. “Dan aku tidak bisa lagi menyimpannya. Aku rasa aku mulai jatuh cinta padamu.”

Raka terdiam sejenak, seperti terkejut mendengar pengakuan itu. Senyum di wajahnya sedikit memudar, namun tak lama kemudian, matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Bella merasa cemas, menunggu reaksi Raka, takut jika ia akan ditolak atau dijauhkan.

“Apa… apa kamu yakin, Bella?” tanya Raka pelan, matanya tak lepas dari wajah Bella yang penuh harapan. “Kamu tahu, ini bukan hal yang bisa dianggap enteng.”

Bella mengangguk, meskipun hatinya berdebar semakin cepat. “Aku tahu. Aku sudah berpikir panjang, dan aku tidak ingin menyembunyikan perasaan ini lagi. Aku jatuh cinta padamu, Raka. Tapi, aku juga takut jika perasaan ini akan merusak hubungan kita, merusak persahabatan kita.”

Raka terdiam, sejenak. Waktu seakan berhenti, dan Bella merasa seolah detik-detik itu berlalu dengan lambat. Tak ada suara kecuali desir angin yang berhembus dan suara detakan jantung mereka yang saling bersahutan.

Akhirnya, Raka menarik napas panjang dan memandang Bella dengan serius. “Bella…” Suaranya lembut namun penuh keyakinan. “Aku juga merasa hal yang sama. Aku hanya takut jika aku mengungkapkan perasaan ini, kamu akan merasa canggung atau bahkan menjauh dariku. Aku juga tidak ingin merusak apa yang kita miliki sekarang.”

Mendengar kata-kata itu, hati Bella terasa seperti terlepas dari beban yang begitu berat. Ia merasa seolah beban yang sudah lama terpendam kini akhirnya terbuka, dan semua kecemasan yang selama ini menghantui pikirannya mulai menghilang.

“Jadi, kamu juga…” Bella tidak bisa melanjutkan kata-katanya, namun tatapan mata mereka saling berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang keluar dari mulut mereka.

Raka tersenyum, senyum yang penuh ketulusan. “Ya, aku juga jatuh cinta padamu, Bella. Aku hanya tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya sebelumnya. Tapi sekarang, aku merasa lega bisa mengatakan ini padamu.”

Bella merasa dunia seperti berubah seketika. Semua kecemasannya, semua keraguan yang pernah ada, menghilang begitu saja. Ia merasa seperti sebuah pintu baru terbuka di hadapannya, sebuah perjalanan baru yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan.

“Aku senang mendengarnya, Raka,” ujar Bella, suaranya kini lebih percaya diri. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku siap untuk menghadapinya bersama kamu.”

Raka menggenggam tangan Bella dengan lembut. “Kita akan menghadapinya bersama, Bella. Aku yakin, kita bisa.”

Mereka duduk bersama dalam keheningan yang nyaman, hanya ditemani oleh suara alam sekitar dan detak jantung mereka yang semakin tenang. Bella tahu bahwa mengungkapkan perasaan ini adalah langkah besar, tetapi ia merasa siap untuk melangkah ke babak baru dalam hidupnya. Sebuah babak di mana cinta pertama mereka akan tumbuh dan berkembang, mengukir kenangan yang tak akan terlupakan.

Di saat itu, Bella merasakan ketenangan dalam hatinya. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang indah, sesuatu yang akan menjadi goresan cinta pertama yang akan selalu mereka kenang selamanya.*

BAB 6  MOMEN  CINTA   YANG INDAH

Hari itu, matahari terbenam dengan warna oranye yang lembut, memantulkan sinarnya yang mempesona ke permukaan danau di belakang sekolah. Bella dan Raka duduk berdampingan di bangku kayu yang terletak di pinggir danau, menikmati keindahan alam yang menenangkan hati. Rasanya, inilah saat yang paling sempurna yang pernah mereka jalani bersama. Tangan mereka saling menggenggam dengan erat, seperti saling memastikan bahwa mereka ada di tempat yang sama, merasakan kebahagiaan yang sama.

“Lihat, itu seperti lukisan,” ujar Raka sambil menunjuk ke langit yang mulai gelap. “Aku suka momen seperti ini, saat kita bisa menikmati kebersamaan tanpa harus berkata-kata.”

Bella mengangguk, matanya tak lepas dari pemandangan indah yang ada di depan mereka. “Aku juga,” jawabnya pelan. “Aku merasa tenang di sini, seolah semua masalah dan kebingungan yang aku rasakan hilang begitu saja.”

Raka tersenyum mendengar jawaban Bella. “Aku tahu, itu karena kita bisa berbagi momen ini. Kadang, momen seperti ini lebih berharga daripada kata-kata yang tak terucapkan.”

Mereka terdiam sejenak, hanya mendengarkan suara angin yang berbisik lembut melalui pepohonan di sekitar mereka. Bella merasa nyaman di samping Raka, lebih dari sekadar teman. Perasaan itu sudah melebihi rasa kagum yang dulu ia rasakan. Sekarang, ia bisa merasakan sesuatu yang lebih mendalam—perasaan yang membuat hatinya berdebar setiap kali Raka tersenyum, setiap kali tangannya menyentuh tangannya dengan lembut. Cinta pertama, yang mungkin selama ini hanya sebuah angan-angan baginya, kini terasa begitu nyata dan penuh makna.

“Raka,” Bella akhirnya memecah keheningan. “Aku senang kita bisa bersama di sini, dalam momen ini. Rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan.”

Raka menoleh ke arahnya, matanya yang teduh menatap dalam mata Bella. “Aku juga, Bella. Sejujurnya, aku merasa ini adalah waktu yang tepat untuk kita—untuk berbagi semuanya bersama. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi aku tahu, saat ini kita ada di tempat yang tepat.”

Bella merasakan hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Tidak ada yang lebih indah daripada saat-saat seperti ini—saat di mana keduanya merasa seperti dunia milik mereka berdua. Cinta pertama memang selalu datang dengan perasaan yang begitu tulus dan murni. Tidak ada kebohongan, tidak ada keraguan, hanya dua hati yang saling memahami dan berbagi kebahagiaan yang sederhana.

Raka kemudian meraih tas ranselnya dan mengeluarkan sebuah buku kecil. “Ini untukmu,” katanya sambil tersenyum. Bella terkejut dan menatap buku itu dengan penuh tanya. “Kenapa?” tanyanya, sedikit bingung.

Raka membuka buku itu, memperlihatkan tulisan tangan di dalamnya. “Aku menulis ini untukmu. Mungkin aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku dengan kata-kata yang sempurna, jadi aku menulis semuanya di sini. Tentang perasaanku, tentang kamu, dan tentang kita.”

Bella terharu. Buku itu bukan hanya sebuah hadiah, tetapi juga sebuah bukti dari perasaan Raka yang begitu tulus. Ia merasa bahagia, namun juga sedikit cemas. Apakah ia bisa memberi Raka kembali perasaan yang sama, seperti yang ada dalam tulisan itu? Apakah ia bisa menjadi seseorang yang layak menerima cinta Raka?

“Terima kasih, Raka. Aku sangat menghargainya,” ujar Bella dengan suara lembut, suaranya hampir tenggelam dalam emosi yang ia rasakan.

“Tidak perlu berterima kasih,” jawab Raka, wajahnya cerah. “Aku hanya ingin kamu tahu betapa berharganya kamu bagi aku.”

Bella membuka buku itu dengan hati-hati, dan mulai membaca tulisan yang terukir di setiap halaman. Setiap kalimat yang ditulis Raka seperti mengalir langsung ke dalam hatinya, menghangatkan setiap sudut jiwanya. Dia bisa merasakan bagaimana Raka menulis dengan sepenuh hati, tanpa ada rasa ragu atau ketakutan. Cinta pertama memang datang dengan begitu banyak ketulusan, dan itu yang ia rasakan sekarang. Cinta ini bukan hanya tentang kebahagiaan bersama, tetapi juga tentang bagaimana mereka saling memahami tanpa perlu banyak kata.

“Raka,” Bella akhirnya berkata setelah selesai membaca, “Aku merasa sangat istimewa sekarang. Terima kasih sudah memberikan aku kesempatan untuk menjadi bagian dari hidupmu.”

Raka menggenggam tangan Bella dengan lebih erat. “Aku berjanji, Bella, aku akan selalu ada untukmu. Tidak peduli apapun yang terjadi, aku akan menjaga perasaan ini—perasaan yang sudah tumbuh begitu dalam di hatiku.”

Mereka terdiam lagi, menikmati momen itu tanpa perlu banyak kata. Semua yang mereka butuhkan adalah kebersamaan dan saling memahami. Bella merasa bahwa ini adalah momen cinta yang paling indah dalam hidupnya—cinta yang datang dengan segala kejujuran, segala kebahagiaan, dan segala ketulusan. Cinta pertama, yang meskipun sederhana, terasa begitu sempurna di matanya.

Akhirnya, saat malam mulai menyelimuti mereka, Bella dan Raka bangkit dari bangku kayu dan berjalan perlahan menuju gerbang sekolah. Tidak ada yang lebih mereka butuhkan selain satu sama lain, bersama-sama melewati setiap langkah yang ada. Di bawah sinar bulan yang terang, mereka berjalan berdua, hati mereka terpaut dalam cinta yang indah. Kenangan tentang momen ini akan selalu terukir dalam hati mereka, sebuah goresan cinta pertama yang tak akan pernah pudar, meskipun waktu terus berjalan.

Dan saat itulah, mereka tahu bahwa cinta pertama mereka akan selalu menjadi bagian dari perjalanan hidup mereka, kenangan yang tak akan terlupakan, momen cinta yang indah yang akan terus dikenang dalam setiap langkah kehidupan mereka.*

BAB 7 UJIAN DALAM  CINTA

Hari itu cuaca mendung, langit gelap dengan awan yang mengambang berat seolah menyimpan badai yang akan datang. Bella duduk di sudut taman sekolah, matanya menatap layar ponsel, namun pikirannya melayang jauh. Raka, kekasihnya, baru saja menghubunginya dan memberitahukan bahwa ia mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan sekolah di luar kota, sebuah peluang besar yang tak bisa ia tolak. Bella merasa cemas, hati kecilnya berdebar keras. Ia tak tahu bagaimana harus merespons. Kehilangan Raka, meskipun untuk sementara, adalah sebuah ujian besar bagi hubungan mereka.

Tentu saja, Bella bangga dengan pencapaian Raka, tetapi perasaan takut mulai muncul. Apakah hubungan mereka yang baru tumbuh ini akan bertahan dengan jarak yang memisahkan mereka? Apakah cinta pertama mereka mampu menghadapi ujian yang datang begitu mendalam? Semua perasaan ini membanjiri pikiran Bella, membuatnya terjebak dalam kebingungannya sendiri.

Pagi itu, mereka berdua bertemu di tempat biasa, di bangku taman yang menjadi saksi pertama kali perasaan mereka tumbuh. Raka datang dengan senyum lebar di wajahnya, tetapi Bella bisa melihat ada sesuatu yang berbeda dalam matanya—sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan.

“Hei, Bella,” sapanya, duduk di sampingnya. “Aku sudah bicara dengan orang tuaku. Mereka mendukungku untuk mengambil kesempatan ini. Aku tahu ini mungkin akan sulit, tapi aku yakin ini adalah langkah terbaik untuk masa depan.”

Bella tersenyum pahit. “Aku tahu kamu harus mengambil peluang itu, Raka. Aku bangga padamu. Tapi… aku juga takut, Raka. Takut kalau ini akan mengubah semuanya. Aku tak tahu bagaimana aku bisa bertahan tanpamu.”

Raka memegang tangan Bella dengan lembut, mencoba memberikan kenyamanan meskipun ia sendiri merasa bingung. “Aku juga merasa berat, Bella. Aku ingin kita tetap bersama, meskipun jarak memisahkan kita. Tapi aku tahu, ini adalah ujian yang harus kita hadapi bersama. Jika kita benar-benar saling mencintai, kita pasti bisa melewati ini.”

Namun, kata-kata itu tidak cukup meredakan kecemasan Bella. Ia bisa merasakan bahwa hubungan mereka akan diuji dengan cara yang lebih besar. Apakah mereka cukup kuat untuk bertahan melalui ujian ini, atau apakah cinta mereka akan pudar dengan waktu dan jarak yang semakin besar?

Hari-hari berikutnya berjalan dengan penuh ketegangan. Bella merasa cemas setiap kali Raka mengirimkan pesan singkat atau meneleponnya. Mereka mulai lebih sering bertengkar, meskipun hanya tentang hal-hal kecil. Raka merasa tertekan dengan perasaan Bella yang selalu khawatir dan cemas, sementara Bella merasa bahwa Raka mulai berubah, mulai menjadi lebih sibuk dengan persiapannya untuk pindah. Ada saat-saat di mana mereka merasa jauh, meskipun fisik mereka tetap dekat. Raka semakin sering berbicara tentang rencananya di luar kota, sementara Bella merasa terlupakan dalam pembicaraan itu. Kepercayaan diri Bella mulai runtuh, dan ia merasa tidak cukup kuat untuk menghadapi kenyataan bahwa ia harus melepaskan Raka, bahkan jika hanya sementara.

Suatu sore, Bella memutuskan untuk mengunjungi Raka di rumahnya. Ia ingin berbicara lebih lanjut, mencari jalan keluar dari perasaan yang semakin rumit. Namun, begitu ia sampai, suasana di rumah Raka terasa tegang. Raka tampak tidak biasa, wajahnya terlihat lelah dan cemas.

“Raka, ada apa?” tanya Bella dengan suara pelan, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Raka menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Aku… aku harus pergi besok, Bella. Ini bukan lagi tentang kesempatan yang aku dapatkan, tetapi tentang apa yang aku harus lakukan untuk masa depan kita. Tapi aku merasa bingung, Bella. Aku tahu aku akan kehilangan banyak hal, termasuk kamu.”

Bella merasa hatinya terhimpit, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Aku tahu, Raka. Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi kita harus saling percaya, kan? Kita sudah berjuang begitu lama untuk sampai di titik ini. Jangan biarkan satu ujian menghalangi kita. Aku… aku ingin kita tetap berusaha, meskipun itu akan sangat sulit.”

Raka menatap Bella dengan mata yang penuh keraguan. “Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa menghadapinya? Bagaimana kalau kita berubah? Aku tak ingin kehilanganmu, Bella, tetapi aku juga takut kita akan terpisah oleh waktu dan jarak.”

Bella merasa air matanya mulai menggenang, namun ia berusaha menahannya. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, Raka. Tapi aku percaya, cinta kita cukup kuat untuk mengatasi semuanya. Mungkin kita akan terpisah, mungkin ada saat-saat sulit, tetapi selama kita saling mencintai dan berusaha, kita akan tetap bertahan.”

Setelah percakapan itu, Raka terlihat lebih tenang, tetapi Bella tahu bahwa ujian yang mereka hadapi belum selesai. Mereka harus berjuang untuk menjaga hubungan ini tetap hidup meskipun ada jarak yang memisahkan mereka. Raka akhirnya berangkat ke luar kota dengan rasa berat di hati, sementara Bella tetap di kota, merasakan kekosongan yang tidak bisa diisi dengan apa pun.

Mereka mulai menjalani hubungan jarak jauh, saling bertukar pesan setiap hari, tetapi ada saat-saat di mana rasa rindu itu begitu berat. Bella merasa kesepian, dan Raka mulai merasa terisolasi dengan kehidupan barunya. Mereka berdua belajar untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, belajar untuk tetap saling memberi dukungan meskipun tidak berada di tempat yang sama. Terkadang, ada perasaan cemas yang mengganggu, apakah hubungan mereka akan tetap bertahan atau apakah ujian ini akan menghancurkannya.

Namun, meskipun banyak rintangan yang mereka hadapi, Bella dan Raka berusaha untuk tetap bersama. Mereka belajar bahwa cinta pertama bukan hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang bagaimana mereka menghadapi setiap ujian bersama. Hubungan mereka diuji dengan jarak, tetapi mereka tetap berusaha untuk menjaga hubungan itu tetap hidup, berharap bahwa ujian ini akan membuat cinta mereka semakin kuat.

Pada akhirnya, ujian dalam cinta pertama bukanlah hal yang mudah, tetapi melalui kesabaran, kepercayaan, dan komitmen, Bella dan Raka mulai memahami bahwa cinta mereka lebih kuat dari apapun yang dapat menghalanginya. Cinta pertama mereka tidak hanya tentang kebahagiaan yang instan, tetapi tentang bagaimana mereka berjuang untuk tetap bersama, meskipun jarak memisahkan. ***

—————–THE END—————–

Source: DELA SAYFA
Tags: #CintaPertama #HubunganJarakJauh #Kepercayaan #UjianCinta #CintaDanJarakan
Previous Post

CINTA TANPA HENTI

Next Post

CINTA MELALUI JARAK

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
CINTA MELALUI JARAK

CINTA MELALUI JARAK

KISAH CINTA PERTAMA YANG ABADI

KISAH CINTA PERTAMA YANG ABADI

RINDU YANG TAK TERUKUR

RINDU YANG TAK TERUKUR

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id