Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

DUA HATI YANG TERHUBUNG

DUA HATI YANG TERHUBUNG

SAME KADE by SAME KADE
April 18, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 25 mins read
DUA HATI YANG TERHUBUNG

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
  • Bab 2: Jarak yang Memisahkan
  • Bab 3: Tuntutan Waktu dan Cinta
  • Bab 4: Kejutan dan Harapan
  • Bab 5: Memilih Cinta dan Karier
  • Bab 6: Menjaga Api Cinta
  • Bab 7: Membangun Masa Depan Bersama
  • Bab 8: Pengorbanan Cinta
  • Bab 9: Dua Hati yang Terhubung

Bab 1: Pertemuan Tak Terduga

Liana dan Aidan bertemu secara tidak sengaja di luar negeri saat Liana sedang berlibur dan Aidan bekerja.

Ada kecocokan yang tidak terduga antara mereka, meskipun berasal dari latar belakang berbeda.

Percakapan awal yang sederhana, namun menimbulkan rasa penasaran satu sama lain.

Langit sore di kota Paris mulai bergradasi, memadukan semburat oranye dengan birunya cakrawala. Jalanan dipenuhi turis yang menikmati suasana kota romantis itu. Di antara mereka, seorang wanita muda berjalan sendirian, menikmati hembusan angin musim semi yang sejuk.

Liana, gadis Indonesia yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Eropa, melangkah dengan penuh semangat. Paris adalah kota impiannya sejak lama, dan akhirnya, setelah menabung selama bertahun-tahun, ia bisa mewujudkan impian itu.

Di sudut jalan dekat kafe kecil yang berada tak jauh dari Menara Eiffel, Liana memutuskan untuk duduk sejenak. Ia melihat ponselnya, berniat mengambil beberapa foto untuk dikirim ke sahabatnya di Indonesia. Namun, saat ia hendak mengangkat kameranya, seseorang secara tak sengaja menabraknya dari samping.

“Oh! Maaf! Aku tidak melihatmu.”

Sebuah suara berat namun ramah terdengar. Liana mendongak dan melihat seorang pria berdiri di depannya.

“Tidak apa-apa,” jawabnya dalam bahasa Inggris, sedikit terkejut.

Pria itu memiliki rambut cokelat gelap yang sedikit berantakan, matanya biru kehijauan, dan rahangnya tegas. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung hingga siku, serta celana panjang yang membuatnya terlihat rapi meski santai.

“Aku benar-benar minta maaf. Aku sedang terburu-buru, dan sepertinya aku ceroboh,” lanjutnya.

Liana mengamati pria itu. Dari logat bicaranya, jelas ia bukan orang Prancis.

“Tidak masalah,” katanya lagi, kali ini dengan sedikit senyum.

Pria itu tampak lega. “Nama aku Aidan,” katanya, mengulurkan tangan.

Liana menyambut uluran tangannya. “Liana.”

Mereka berjabat tangan singkat, lalu suasana menjadi sedikit canggung. Liana berniat kembali melihat ponselnya, tetapi Aidan masih berdiri di sana, seolah ingin mengatakan sesuatu.

“Kau turis?” tanyanya akhirnya.

Liana mengangguk. “Ya, aku dari Indonesia.”

Mata Aidan berbinar. “Indonesia? Aku pernah ke Bali sekali, tempatnya luar biasa!”

Liana tersenyum. “Ya, Bali memang indah.”

“Apa kau sedang sendirian?” tanya Aidan.

Liana mengangguk lagi. “Ya, teman perjalananku ada urusan lain hari ini, jadi aku menjelajah sendiri.”

Aidan tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi karena aku juga sedang sendirian, bagaimana kalau kita minum kopi bersama? Aku tahu tempat yang bagus di sekitar sini.”

Liana sempat ragu. Bagaimanapun, ia baru saja mengenal pria ini. Tapi ada sesuatu dalam cara Aidan berbicara yang membuatnya merasa nyaman.

Akhirnya, ia berkata, “Baiklah. Aku juga ingin mencoba kafe lokal di sini.”

Mereka berjalan berdampingan menuju sebuah kafe kecil dengan desain klasik. Aroma kopi yang kuat menyambut mereka saat masuk.

Setelah memesan minuman masing-masing, mereka memilih duduk di dekat jendela yang menghadap ke jalan.

“Jadi, kau bekerja di sini?” tanya Liana, mencoba membuka percakapan.

Aidan menggeleng. “Aku tinggal di London, tapi aku sering ke Paris untuk urusan pekerjaan. Aku bekerja di bidang arsitektur.”

Liana mengangguk paham. “Keren. Aku selalu kagum dengan orang-orang yang bisa mendesain bangunan.”

Aidan tersenyum. “Lalu, bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan di Indonesia?”

“Aku bekerja di perusahaan media sebagai penulis,” jawab Liana. “Aku suka menulis cerita dan artikel tentang berbagai hal.”

“Menarik. Jadi kau seorang storyteller?” Aidan menatapnya dengan penuh minat.

Liana tertawa kecil. “Bisa dibilang begitu.”

Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Mereka berbicara tentang perjalanan, pekerjaan, makanan favorit, dan bahkan sedikit tentang keluarga mereka.

Liana merasa nyaman berbicara dengan Aidan. Ia tidak menyangka akan bertemu seseorang yang begitu menyenangkan di perjalanan ini.

Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Saat akhirnya mereka melihat jam, sudah hampir tiga jam mereka mengobrol.

“Aku tidak menyangka kita bisa mengobrol selama ini,” kata Aidan sambil tertawa.

Liana mengangguk. “Aku juga.”

Saat mereka keluar dari kafe, langit sudah mulai gelap.

“Aku harus kembali ke hotelku,” kata Liana.

Aidan tampak sedikit kecewa, tetapi ia mengangguk. “Aku juga harus kembali ke tempatku.”

Mereka berdiri di trotoar, saling berpandangan.

“Aku senang bertemu denganmu, Liana,” kata Aidan.

“Aku juga, Aidan.”

Ada jeda singkat sebelum Aidan akhirnya berkata, “Bolehkah aku meminta kontakmu? Mungkin kita bisa tetap berkomunikasi.”

Liana tersenyum dan menyerahkan ponselnya. Aidan mengetik nomor dan akun media sosialnya sebelum mengembalikannya.

“Terima kasih untuk hari ini,” kata Liana.

“Terima kasih juga. Mungkin ini bukan pertemuan terakhir kita.”

Liana hanya tersenyum sebelum berbalik dan berjalan pergi. Tapi di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah kata-kata Aidan benar.

Apakah ini benar-benar hanya sebuah pertemuan tak terduga, atau awal dari sesuatu yang lebih besar?

Bab 2: Jarak yang Memisahkan

Setelah pertemuan pertama, mereka harus kembali ke kehidupan masing-masing di dua negara berbeda.

Komunikasi mereka berlanjut melalui pesan dan panggilan video.

Mereka mulai menyadari bahwa perasaan mereka semakin berkembang, tetapi jarak menjadi tantangan besar.

Sejak pertemuan tak terduga di Paris, Liana dan Aidan semakin sering berkomunikasi. Mereka berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing, pekerjaan, dan impian mereka. Meski baru mengenal, ada sesuatu yang membuat percakapan mereka terasa begitu alami.

Namun, waktu terus berjalan. Liburan Liana berakhir, dan ia harus kembali ke Indonesia. Malam sebelum keberangkatannya, Aidan mengajaknya bertemu sekali lagi.

Mereka bertemu di jembatan Pont Alexandre III, di mana lampu-lampu kota Paris berkilauan di bawah langit malam.

“Aku merasa seperti baru saja mengenalmu, tapi sekarang kau harus pergi,” kata Aidan sambil menatap sungai Seine.

Liana mengangguk, mencoba menyembunyikan kesedihannya. “Aku juga merasa seperti itu. Waktu berjalan terlalu cepat.”

Aidan menoleh ke arahnya. “Apa kau percaya bahwa pertemuan ini bukan kebetulan?”

Liana tersenyum kecil. “Mungkin semesta punya cara sendiri untuk mempertemukan dua orang yang seharusnya bertemu.”

Mereka tertawa, tetapi di balik tawa itu, ada kesadaran bahwa setelah malam ini, mereka akan kembali ke kehidupan masing-masing yang terpisah ribuan kilometer.

Saat mengantar Liana kembali ke hotelnya, Aidan berkata, “Jangan lupa untuk tetap menghubungiku. Aku ingin tetap berbicara denganmu, meskipun kita jauh.”

Liana mengangguk. “Aku juga ingin tetap berhubungan denganmu.”

Mereka saling menatap sejenak, sebelum akhirnya berpisah dengan perasaan yang tak terucapkan.

Setelah kembali ke Indonesia, Liana kembali ke rutinitasnya. Namun, ada yang berbeda sekarang. Pagi harinya, ia menunggu pesan dari Aidan. Malam harinya, ia sering terjaga lebih lama hanya untuk melakukan panggilan video dengannya.

Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang pekerjaan Aidan di London, tentang proyek menulis Liana, tentang film yang baru mereka tonton, bahkan tentang makanan yang mereka makan hari itu.

Namun, komunikasi jarak jauh tidak selalu mudah. Dengan perbedaan waktu tujuh jam antara Jakarta dan London, mereka harus pintar-pintar menyesuaikan jadwal agar bisa berbicara.

Suatu malam, setelah bekerja seharian, Liana merasa sangat lelah, tetapi ia tetap membuka ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Aidan.

Aidan: “Kau sibuk hari ini?”
Liana: “Iya, maaf baru sempat membalas. Aku lelah sekali.”
Aidan: “Aku mengerti. Istirahatlah. Aku tidak ingin membuatmu semakin lelah.”
Liana: “Tidak, aku ingin berbicara denganmu. Bagaimana harimu?”

Percakapan terus berlanjut, tetapi Liana menyadari bahwa ada sesuatu yang mulai berubah.

Seiring berjalannya waktu, tantangan dalam hubungan mereka mulai terasa.

Aidan semakin sibuk dengan pekerjaannya. Ada malam-malam ketika Liana menunggu pesannya, tetapi tak kunjung datang. Ada hari-hari ketika panggilan mereka harus dipersingkat karena Aidan kelelahan setelah seharian bekerja.

Di sisi lain, Liana juga mulai merasa frustrasi. Ia ingin berbagi cerita dengan Aidan, tetapi sering kali ia harus menunggu berjam-jam sebelum mendapatkan balasan.

Suatu hari, ketika Liana mengirim pesan lebih awal, Aidan baru membalasnya beberapa jam kemudian.

Aidan: “Maaf, aku baru sempat membalas. Hari ini sangat sibuk di kantor.”
Liana: “Aku mengerti. Tapi akhir-akhir ini kita semakin jarang berbicara.”
Aidan: “Aku juga merasakan itu, tapi aku benar-benar tidak punya banyak waktu.”
Liana: “Apakah kita masih bisa mempertahankan ini?”

Aidan tidak langsung menjawab. Ada jeda panjang sebelum akhirnya ia membalas.

Aidan: “Aku ingin mencoba. Aku tidak ingin kehilanganmu.”

Liana tersenyum kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan.

Mereka sadar bahwa jika ingin hubungan ini bertahan, mereka harus menemukan cara untuk tetap terhubung.

Liana mulai mengirimkan pesan suara setiap pagi, sehingga Aidan bisa mendengarkannya saat bangun tidur. Aidan, di sisi lain, mengirimkan foto-foto tempat-tempat yang ia kunjungi, seolah ingin membawa Liana ke dalam dunianya.

Mereka juga berjanji untuk melakukan panggilan video setidaknya seminggu sekali, meskipun hanya sebentar.

Suatu malam, saat panggilan video, Aidan menunjukkan pemandangan London dari apartemennya.

“Suatu hari, kau harus datang ke sini,” katanya.

Liana tersenyum. “Aku ingin sekali. Tapi untuk saat ini, aku hanya bisa melihatnya lewat layar.”

Aidan menatapnya dengan lembut. “Aku tahu ini sulit, tapi aku ingin kita tetap mencoba. Aku tidak ingin jarak membuat kita menyerah.”

Liana mengangguk. “Aku juga tidak ingin menyerah.”

Meski mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, mereka memilih untuk tetap bertahan—setidaknya untuk saat ini.

Namun, mereka juga sadar bahwa akan ada lebih banyak ujian yang menunggu di depan.

Suatu malam, Liana duduk sendirian di balkon apartemennya, menatap langit yang dipenuhi bintang.

Ia berpikir tentang Aidan—tentang bagaimana satu pertemuan singkat di Paris telah mengubah hidupnya.

Di sisi lain dunia, Aidan juga memikirkan hal yang sama.

Mereka berada di dua benua yang berbeda, dengan kehidupan yang berbeda, tetapi hati mereka tetap terhubung.

Jarak memang memisahkan mereka, tetapi mereka percaya bahwa jika cinta itu nyata, maka tidak ada jarak yang benar-benar bisa memisahkan dua hati yang saling mencari.

Bab 3: Tuntutan Waktu dan Cinta

Kesibukan pekerjaan mulai menyulitkan komunikasi mereka.Perbedaan zona waktu membuat mereka sulit menemukan waktu yang tepat untuk berbicara.

Konflik mulai muncul ketika salah satu dari mereka merasa diabaikan.

Sudah tiga bulan sejak Liana dan Aidan mulai menjalani hubungan jarak jauh. Awalnya, semuanya terasa manis dan menyenangkan. Mereka selalu menyempatkan waktu untuk berbicara, berbagi cerita, dan saling mendukung meskipun terpisah ribuan kilometer.

Namun, perlahan semuanya mulai berubah. Rutinitas mereka semakin sibuk, dan perbedaan waktu antara Jakarta dan London membuat komunikasi mereka menjadi lebih sulit.

Liana merasa bahwa Aidan semakin sulit dihubungi. Jika dulu mereka selalu melakukan panggilan video setidaknya seminggu sekali, kini panggilan itu semakin jarang terjadi. Aidan sering menghilang dengan alasan pekerjaan yang menumpuk, sementara Liana mulai merasa diabaikan.

Suatu malam, Liana menunggu Aidan menghubunginya. Ia sudah mengirimkan pesan sejak siang, tetapi hingga tengah malam, belum ada balasan.

Liana: “Hei, kau sibuk?”

Beberapa jam kemudian, baru ada balasan dari Aidan.

Aidan: “Maaf, aku baru pulang. Hari ini sangat melelahkan.”

Liana: “Kita jadi video call?”

Aidan: “Aku sangat lelah, bisa kita tunda besok?”

Liana menatap layar ponselnya dengan perasaan kecewa. Ini bukan pertama kalinya Aidan menunda panggilan mereka.

Sementara itu, di London, Aidan benar-benar terjebak dalam kesibukannya. Pekerjaannya sebagai analis keuangan di sebuah perusahaan multinasional semakin menuntut banyak waktu dan energi. Ia sering pulang larut malam, menghadiri rapat yang tiada habisnya, dan harus menyelesaikan laporan-laporan penting.

Di sisi lain, Liana juga mulai disibukkan dengan proyeknya sendiri. Ia mulai menulis buku dan berkolaborasi dengan penerbit, yang membuatnya sering menghabiskan waktu berjam-jam di depan laptop.

Keduanya semakin sibuk dengan kehidupan masing-masing. Meskipun masih ada perasaan cinta di antara mereka, waktu seakan menjadi musuh terbesar dalam hubungan ini.

Liana mulai merasa bahwa hanya dirinya yang berusaha untuk tetap terhubung. Ia selalu mengirim pesan lebih dulu, menunggu panggilan dari Aidan, dan mencoba memahami kesibukan pria itu.

Namun, lama-kelamaan, ia mulai bertanya-tanya: Apakah ini masih layak diperjuangkan?

Suatu malam, setelah beberapa hari tanpa kabar dari Aidan, Liana akhirnya menghubunginya lebih dulu.

Saat panggilan tersambung, wajah Aidan tampak lelah. Matanya merah, dan ia tampak kurang tidur.

“Maaf, aku baru sempat mengangkat,” katanya.

“Aidan, kau bahkan tidak sempat membalas pesanku selama dua hari terakhir,” kata Liana dengan nada kesal.

“Aku sibuk, Liana. Aku tidak bisa setiap saat memeriksa ponselku.”

“Aku tahu kau sibuk, tapi apakah sesibuk itu sampai kau tidak bisa mengirim satu pesan pun? Aku hanya ingin tahu apakah kau baik-baik saja.”

Aidan menghela napas. “Aku tidak ingin bertengkar. Aku sudah cukup lelah dengan pekerjaanku.”

Liana terdiam. Kata-kata Aidan menusuk hatinya.

“Jadi, aku ini hanya beban tambahan bagimu?” tanyanya lirih.

Aidan terkejut. “Bukan begitu maksudku…”

“Lalu apa maksudmu, Aidan? Aku hanya ingin kita tetap berkomunikasi, tetap merasa dekat meskipun kita jauh. Tapi kalau kau terus seperti ini, aku tidak tahu apakah hubungan ini bisa bertahan.”

Aidan terdiam. Ia tahu Liana punya alasan untuk merasa kecewa, tetapi ia juga tidak bisa mengubah kenyataan bahwa pekerjaannya benar-benar menyita waktu dan pikirannya.

“Aku mencintaimu, Liana. Tapi aku benar-benar kelelahan.”

Liana menelan ludah. Ada perasaan sakit yang menggumpal di dadanya.

“Aku juga mencintaimu, Aidan. Tapi cinta saja tidak cukup jika kita tidak punya waktu untuk satu sama lain.”

Setelah itu, ada jeda panjang. Mereka hanya saling menatap melalui layar, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka mengakhiri panggilan tanpa mengucapkan “aku mencintaimu”.

Setelah pertengkaran itu, Liana dan Aidan mencoba untuk memperbaiki komunikasi mereka.

Liana berusaha untuk tidak terlalu menuntut waktu Aidan. Ia mencoba memahami bahwa pria itu memang benar-benar sibuk dan bukan sengaja mengabaikannya.

Di sisi lain, Aidan juga berusaha lebih perhatian. Ia mulai mengirim pesan lebih sering, meskipun hanya singkat.

Suatu hari, ia mengirim pesan suara yang berbunyi, “Aku merindukanmu. Maaf kalau aku sering tidak ada. Aku akan berusaha lebih baik.”

Liana tersenyum kecil saat mendengar pesan itu. Setidaknya, Aidan masih peduli.

Namun, di lubuk hatinya, ia tahu bahwa perjuangan ini belum berakhir.

Mereka masih harus menemukan cara agar hubungan ini tetap bisa berjalan, tanpa harus merasa seperti sedang bertarung melawan waktu.

Suatu malam, Liana duduk di balkon apartemennya, memandangi bintang-bintang di langit.

Ia berpikir tentang bagaimana hubungan ini telah berubah sejak pertama kali mereka bertemu.

Di sisi lain dunia, Aidan juga duduk di sofa apartemennya, menatap layar ponselnya. Ia ingin menelepon Liana, tetapi ia ragu.

Liana: “Apa kau sudah tidur?”
Aidan: “Belum. Aku sedang memikirkan banyak hal.”
Liana: “Apa kau juga memikirkan kita?”
Aidan: “Ya. Aku ingin kita bisa melewati semua ini.”
Liana: “Aku juga.”

Mereka masih berjuang.

Mereka masih percaya.

Namun, mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang.

Dan waktu akan menjadi ujian terbesar bagi cinta mereka.

Bab 4: Kejutan dan Harapan

Aidan merencanakan kejutan untuk mengunjungi Liana di Indonesia.

Liana merasa bahagia tetapi juga takut akan masa depan hubungan mereka.

Mereka menghabiskan waktu bersama dan menyadari bahwa cinta mereka nyata.

Sejak pertengkaran mereka terakhir kali, hubungan Liana dan Aidan berada di titik yang rapuh. Komunikasi mereka memang sedikit membaik, tetapi tetap saja, jarak dan kesibukan masih menjadi penghalang besar.

Liana mulai ragu. Apakah hubungan ini benar-benar bisa bertahan? Ia mencintai Aidan, tetapi ia juga tidak ingin berada dalam hubungan yang membuatnya merasa sendirian.

Di sisi lain, Aidan juga merasa bersalah. Ia tahu Liana hanya menginginkan perhatian dan kepastian darinya, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan tanggung jawabnya di kantor.

Sampai suatu hari, Liana menerima email dari perusahaannya.

“Selamat! Anda terpilih untuk menghadiri konferensi internasional di London selama seminggu.”

Matanya membelalak. London? Itu berarti ia bisa bertemu dengan Aidan!

Sekaligus, ia merasa ragu. Apakah ini waktu yang tepat? Apakah Aidan akan senang dengan kedatangannya, atau justru merasa tertekan?

Namun, hatinya berkata, ini adalah kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan.

Beberapa hari kemudian, Liana berada di dalam pesawat menuju London.

Perjalanan selama lebih dari 14 jam itu ia habiskan dengan berbagai pikiran. Ia membayangkan bagaimana reaksi Aidan saat mengetahui bahwa ia datang.

Sebenarnya, ia belum memberi tahu Aidan tentang perjalanannya. Ia ingin membuat kejutan.

“Apa dia akan senang?” pikirnya sambil memandangi awan dari jendela pesawat.

Setibanya di bandara Heathrow, Liana menarik napas dalam. Ini pertama kalinya ia kembali ke London sejak pertemuan pertama mereka. Ada rasa rindu, tetapi juga ada rasa cemas.

Tanpa pikir panjang, ia memesan taksi menuju hotel tempat ia akan menginap selama seminggu.

Sesampainya di hotel, ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Aidan.

Liana: “Hei, kau sedang sibuk?”

Beberapa menit kemudian, balasan datang.

Aidan: “Ya, aku baru selesai rapat. Ada apa?”

Liana tersenyum kecil. Ia ingin langsung menemuinya, tetapi ia ingin melihat reaksi Aidan terlebih dahulu.

Liana: “Aku hanya ingin berbicara sebentar. Aku kangen.”

Aidan butuh waktu cukup lama untuk membalas.

Aidan: “Aku juga kangen, Liana. Tapi aku benar-benar sibuk belakangan ini. Aku janji kita akan bicara lebih lama akhir pekan nanti, ya?”

Liana menghela napas. Jadi, bahkan tanpa mengetahui bahwa ia ada di London, Aidan masih tetap sulit meluangkan waktu untuknya?

Namun, ia menahan diri.

Liana: “Baiklah. Aku tunggu.”

Ia menutup ponselnya dan tersenyum kecil.

“Kita lihat saja nanti, Aidan.”

Keesokan harinya, setelah menghadiri sesi pertama konferensi, Liana memutuskan untuk pergi ke kantor Aidan.

Ia mencari alamat kantor pria itu di peta dan naik taksi ke sana. Jantungnya berdebar-debar saat memasuki gedung megah tempat Aidan bekerja.

Saat mencapai resepsionis, ia mencoba bersikap tenang.

“Halo, saya ingin bertemu dengan Aidan Carter.”

Resepsionis menatapnya sebentar sebelum bertanya, “Apakah Anda sudah memiliki janji?”

Liana tersenyum. “Tidak, tapi saya yakin dia akan senang melihat saya.”

Resepsionis mengangguk dan menghubungi bagian dalam. Beberapa saat kemudian, seorang pria muncul di lobi. Namun, itu bukan Aidan.

Melainkan rekan kerja Aidan, Thomas.

“Liana?” Thomas tampak terkejut melihatnya.

“Hai, Thomas! Lama tidak bertemu,” kata Liana.

“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya dengan heran.

“Aku ingin mengejutkan Aidan,” jawab Liana sambil tersenyum.

Namun, ekspresi Thomas berubah canggung. “Liana, Aidan sedang tidak di kantor sekarang.”

Liana mengernyit. “Oh? Dia sedang keluar untuk urusan kerja?”

Thomas terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata, “Dia… sedang makan siang. Dengan seseorang.”

Ada sesuatu dalam nada suara Thomas yang membuat perasaan Liana tidak nyaman.

“Dengan siapa?” tanyanya pelan.

Thomas tampak ragu sebelum menjawab, “Dengan seorang wanita. Klien pentingnya.”

Jantung Liana mencelos. Tentu saja, Aidan bisa saja makan siang dengan klien wanita, itu wajar dalam dunia kerja.

Tapi mengapa Thomas tampak begitu canggung saat mengatakan itu?

“Di mana mereka makan siang?” tanyanya dengan nada yang lebih tegas.

Thomas menghela napas. Ia tahu Liana tidak akan menyerah begitu saja.

“Aku tidak tahu apakah ini ide yang bagus, Liana.”

“Aku hanya ingin melihatnya. Itu saja.”

Akhirnya, Thomas menyerah dan memberi tahu nama restoran tempat Aidan berada.

Tanpa pikir panjang, Liana segera bergegas ke sana.

Saat tiba di restoran, Liana berdiri di luar kaca besar yang memperlihatkan bagian dalam restoran dengan jelas.

Matanya langsung tertuju pada sosok Aidan yang duduk di salah satu meja sudut.

Dan di depannya, duduk seorang wanita cantik dengan rambut panjang yang tergerai rapi.

Mereka tampak begitu akrab. Wanita itu tertawa, dan Aidan ikut tersenyum.

Liana mengepalkan tangannya.

Ia tidak ingin langsung berprasangka buruk.

Tapi, ketika wanita itu menyentuh tangan Aidan di atas meja, sesuatu dalam dirinya hancur.

Aidan tidak menarik tangannya.

Liana merasakan matanya mulai panas.

Tanpa sadar, ia melangkah mundur.

Pikiran-pikiran memenuhi kepalanya. Apakah ini alasan Aidan selalu sibuk? Apakah ini alasan ia sering tidak ada waktu untuknya?

Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.

Namun, hatinya berkata lain.

Kejutan yang ia rencanakan ternyata berbalik menjadi kejutan yang menghancurkan harapannya.

Liana menelan ludah, berbalik, dan berjalan pergi.

Tanpa menoleh lagi.

Malam itu, Liana duduk di balkon hotelnya, menatap kota London dengan mata kosong.

Ponselnya bergetar. Pesan dari Aidan.

Aidan: “Maaf aku belum bisa menghubungimu hari ini. Aku benar-benar sibuk. Aku janji akan menelponmu besok.”

Liana tersenyum miris.

Ia tidak tahu apakah Aidan benar-benar sibuk… atau sedang bersama wanita itu lagi.

Ia ingin bertanya langsung. Ia ingin marah.

Tapi di sisi lain, ia takut.

Takut akan jawaban yang mungkin akan ia dapatkan.

Haruskah ia mempertanyakan semuanya?

Ataukah ia harus membiarkan waktu yang menjawabnya?

Satu hal yang pasti:

London tidak lagi terasa seindah dulu.

Dan untuk pertama kalinya, Liana meragukan apakah cinta ini masih layak diperjuangkan.

Bab 5: Memilih Cinta dan Karier

Liana dan Aidan mulai mempertimbangkan pilihan hidup mereka.

Apakah mereka harus berkorban demi cinta, atau tetap fokus pada impian masing-masing?

Diskusi serius tentang masa depan mereka bersama.

Malam itu, Liana tidak bisa tidur. Ia berbaring di tempat tidur hotelnya, menatap langit-langit dengan berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya.

Sejak melihat Aidan dengan wanita itu di restoran, hatinya tidak bisa tenang.

Haruskah ia bertanya langsung pada Aidan?

Ataukah lebih baik ia menyimpannya sendiri dan menunggu apakah Aidan akan memberinya penjelasan tanpa diminta?

Di tengah kegelisahannya, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, panggilan dari Aidan.

Liana menatap layar itu cukup lama sebelum akhirnya mengangkatnya.

“Hei,” suara Aidan terdengar di ujung telepon. “Aku tahu aku belum banyak bicara denganmu sejak kemarin. Maaf, aku benar-benar sibuk.”

Kata-kata itu menusuk hati Liana.

Sibuk? Apakah ia harus berpura-pura tidak tahu?

Liana menarik napas dalam, mencoba menahan emosinya. “Aku mengerti.”

Ada jeda di antara mereka sebelum Aidan kembali berbicara.

“Liana, aku ingin menanyakan sesuatu.”

Liana mengerutkan kening. “Apa?”

Aidan terdengar ragu sebelum akhirnya berkata, “Aku dapat tawaran promosi besar di kantor. Tapi itu berarti aku akan lebih sering bepergian dan mungkin akan lebih sulit meluangkan waktu.”

Liana terdiam.

Jadi, ini yang membuat Aidan meneleponnya malam ini? Ia mengira Aidan akan bicara tentang mereka, tentang apa yang terjadi di antara mereka.

Tetapi ternyata, Aidan sedang memikirkan pekerjaannya.

“Menurutmu, aku harus menerimanya?” tanya Aidan.

Liana menelan ludah. Di satu sisi, ia ingin mendukung karier Aidan. Ia tahu betapa keras pria itu bekerja untuk mencapai posisi yang lebih baik.

Tapi di sisi lain… apakah ini berarti ia harus semakin terbiasa ditinggalkan?

Ia ingin bertanya, “Di mana aku dalam semua keputusan ini?”

Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.

Keesokan harinya, Liana berusaha menenggelamkan pikirannya dengan menghadiri konferensi. Tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia harus berbicara langsung dengan Aidan.

Setelah konferensi selesai, ia mengirim pesan pada Aidan.

Liana: “Bisa bertemu sebentar? Aku ingin bicara.”

Aidan membalas beberapa menit kemudian.

Aidan: “Tentu. Temui aku di kantorku jam 5 sore.”

Liana menarik napas lega. Setidaknya, ia tidak menghindarinya.

Pukul 5 sore, ia tiba di kantor Aidan. Kali ini, tanpa rasa canggung.

Saat ia masuk ke dalam ruangan Aidan, pria itu sedang duduk di belakang meja dengan kemeja putih yang digulung hingga siku. Ia tampak lelah, tetapi tetap tersenyum saat melihat Liana.

“Kau datang,” katanya.

Liana mengangguk. “Aku ingin bicara tentang kita.”

Aidan tampak sedikit terkejut, tetapi kemudian ia mengangguk. “Baiklah. Aku mendengarkan.”

Liana menatap matanya. “Aidan, aku ingin tahu… di mana aku dalam semua keputusan yang kau buat?”

Aidan terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Promosi itu. Semua perjalanan kerja yang kau lakukan. Aku tahu kau berusaha membangun kariermu, dan aku bangga padamu. Tapi… apakah kau pernah berpikir bagaimana aku dalam semua ini?”

Aidan tampak terkejut dengan pertanyaan itu.

“Liana… aku melakukan semua ini untuk masa depan kita.”

“Tapi apa gunanya masa depan jika kau bahkan tidak ada untukku sekarang?” suara Liana mulai bergetar.

Aidan mengusap wajahnya. “Aku tahu ini sulit, tapi aku juga tidak bisa mengorbankan karierku begitu saja, Liana.”

“Jadi aku yang harus berkorban?”

Kata-kata itu membuat ruangan menjadi sunyi.

Liana menghela napas. “Aidan, aku hanya ingin tahu apakah kau benar-benar melihat aku dalam rencana hidupmu. Karena jika kau terus berjalan sendiri, aku tidak tahu apakah aku masih bisa mengejarmu.”

Aidan menatapnya, terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar.

Dan bagi Liana, itu adalah jawaban yang paling menyakitkan.

Malam itu, Liana duduk sendirian di kafe dekat hotelnya.

Ia berpikir tentang semua yang telah ia lalui bersama Aidan.

Hubungan jarak jauh memang tidak mudah.

Tapi ketika hanya satu pihak yang terus berusaha, apakah itu masih bisa disebut sebagai hubungan?

Ia menyesap kopinya dengan tatapan kosong ke luar jendela.

Saat itulah ponselnya berbunyi.

Aidan menelepon.

Liana ragu-ragu sebelum akhirnya mengangkatnya.

“Liana… aku tidak ingin kehilanganmu.”

Suara Aidan terdengar lelah, tetapi penuh ketulusan.

“Aku juga tidak ingin kehilanganmu, Aidan. Tapi aku juga tidak bisa terus merasa sendirian dalam hubungan ini.”

Ada keheningan.

“Apa yang bisa kita lakukan?” suara Aidan terdengar putus asa.

Liana menatap langit malam di luar jendela. “Aku tidak tahu, Aidan. Aku benar-benar tidak tahu.”

Dan untuk pertama kalinya dalam hubungan mereka, masa depan terasa lebih kabur dari sebelumnya.

Keesokan harinya, Liana menerima email dari perusahaannya.

Mereka menawarinya kesempatan untuk bekerja di cabang Eropa selama satu tahun.

Jika ia menerimanya, itu berarti ia bisa lebih dekat dengan Aidan.

Tapi… apakah ia ingin mengambil kesempatan ini demi Aidan, atau demi dirinya sendiri?

Ia menutup laptopnya dan menatap kosong ke depan.

Memilih cinta atau karier.

Ataukah ada cara lain untuk mempertahankan keduanya?

Namun, satu hal yang ia tahu dengan pasti—

Hubungan ini akan berubah.

Entah menjadi lebih baik, atau sebaliknya.

Dan ia harus segera memutuskan sebelum terlambat.

Bab 6: Menjaga Api Cinta

Mereka mencoba menyeimbangkan karier dan hubungan.

Meskipun terpisah secara fisik, mereka mulai menemukan cara untuk tetap terhubung secara emosional.

Kepercayaan diuji ketika muncul godaan dan rasa cemburu.

Liana menatap layar ponselnya dengan ekspresi ragu. Sudah tiga hari sejak terakhir kali ia dan Aidan berbicara lewat panggilan video. Biasanya, Aidan selalu menyempatkan diri meskipun hanya sebentar. Tapi belakangan ini, panggilannya semakin jarang, pesan-pesan pun hanya dibalas dengan singkat.

Ia tahu Aidan sibuk, terutama setelah mendapatkan promosi itu. Tapi, apakah ini tanda bahwa hubungan mereka mulai berubah?

Dengan perasaan gelisah, ia mencoba menelepon Aidan. Beberapa kali nada sambung terdengar sebelum akhirnya panggilan itu dialihkan ke pesan suara.

“Hei, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Aku rindu berbicara denganmu.”

Liana mengakhiri panggilan dan mendesah pelan.

Di luar, hujan turun perlahan. Dinginnya malam semakin mempertegas kesepiannya.

Apakah ini harga yang harus ia bayar untuk mencintai seseorang dari kejauhan?

Beberapa hari kemudian, Liana akhirnya menerima pesan dari Aidan.

Aidan: “Liana, aku minta maaf. Aku tidak bisa datang bulan ini seperti yang kita rencanakan. Ada proyek besar yang harus kuselesaikan.”

Liana membaca pesan itu berulang kali. Jantungnya terasa nyeri, seolah ada sesuatu yang perlahan-lahan retak di dalam hatinya.

Ia menatap tiket pesawat yang sudah ia beli untuk menyambut kedatangan Aidan. Sudah berapa kali mereka menunda pertemuan?

Dengan jari yang gemetar, ia mengetik balasan.

Liana: “Aku mengerti. Semoga proyeknya berjalan lancar.”

Ia ingin mengatakan lebih banyak—tentang bagaimana ia merindukan Aidan, tentang betapa ia berharap bisa melihatnya. Tapi ia tahu, Aidan tidak membutuhkan tambahan beban.

Setelah mengirim pesan itu, Liana meletakkan ponselnya dan menatap langit malam.

Kepercayaan, kesabaran, dan cinta. Itu semua yang ia miliki saat ini.

Tapi… sampai kapan ia bisa bertahan?

Malam itu, Aidan akhirnya menelepon.

“Liana, aku minta maaf. Aku tahu ini tidak mudah untukmu.”

Liana menghela napas. “Aku hanya ingin tahu satu hal, Aidan. Apa kau masih menginginkan hubungan ini?”

Aidan terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Tentu saja aku menginginkannya. Aku mencintaimu, Liana.”

“Tapi cinta saja tidak cukup, kan?” suara Liana bergetar.

Aidan menarik napas panjang. “Aku sedang berusaha, Liana. Aku benar-benar ingin kita berhasil.”

“Aku tahu, Aidan. Tapi kita butuh lebih dari sekadar keinginan. Kita butuh usaha dari kedua belah pihak.”

Aidan terdiam.

Liana menutup matanya sejenak, mencoba mengendalikan emosinya.

“Aidan, kita harus menemukan cara untuk menjaga hubungan ini tetap hidup. Aku tidak ingin kita berakhir karena kita terlalu sibuk untuk satu sama lain.”

Aidan mengangguk, meskipun ia tahu Liana tidak bisa melihatnya. “Aku mengerti. Aku janji, kita akan menemukan jalan.”

Tapi bisakah mereka benar-benar melakukannya?

Liana tidak ingin terus tenggelam dalam kesedihan. Ia memutuskan untuk mencari cara agar hubungan mereka tetap terasa dekat meskipun terpisah oleh ribuan kilometer.

Ia mengusulkan beberapa hal pada Aidan

Mereka berjanji untuk setidaknya menghabiskan waktu bersama melalui panggilan video atau telepon, meskipun hanya 15 menit sehari.

Liana mulai mengirimkan paket kecil untuk Aidan—kopi favoritnya, surat tulisan tangan, bahkan kadang-kadang lagu yang ia rekam sendiri.Daripada menunggu Aidan datang ke Indonesia, Liana mulai mempertimbangkan untuk mengunjunginya di tempat ia bekerja.

Aidan terkejut dengan usaha yang dilakukan Liana. “Aku tidak menyangka kau akan melakukan semua ini.”

Liana tersenyum kecil. “Aku hanya ingin kita tetap merasa dekat, Aidan.”

Aidan terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Terima kasih, Liana. Aku akan berusaha lebih keras untuk kita.”

Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, Liana merasa sedikit lebih lega.

Suatu malam, Liana menerima pesan dari Aidan.

Aidan: “Lihat langit malam ini.”

Liana keluar ke balkon apartemennya. Langit malam bertabur bintang, indah seperti lukisan.

Aidan mengirimkan foto langit dari tempatnya berada.

Aidan: “Meskipun kita jauh, kita masih bisa melihat langit yang sama.”

Liana tersenyum. Ia tahu jarak tetap ada, tantangan masih menunggu di depan. Tapi setidaknya, mereka masih memiliki satu sama lain.

Dan selama mereka masih berusaha, api cinta itu akan tetap menyala.

Bab 7: Membangun Masa Depan Bersama

Mereka mulai membicarakan kemungkinan tinggal di satu tempat.

Tantangan keluarga dan budaya muncul, menguji komitmen mereka.

Aidan berusaha memahami kehidupan Liana, sementara Liana mencoba menyesuaikan diri dengan dunia Aidan.

Liana duduk di depan laptopnya, menatap layar dengan tatapan kosong. Ia baru saja menerima email dari perusahaan tempatnya bekerja—tawaran promosi ke posisi yang lebih tinggi, tetapi dengan konsekuensi besar: ia harus pindah ke cabang perusahaan di Singapura.

Di satu sisi, ini adalah impian yang selama ini ia kejar. Tapi di sisi lain, Aidan masih berada di London. Jika ia menerima tawaran ini, apakah mereka akan semakin jauh?

Ia meraih ponselnya dan menelepon Aidan.

“Aidan, aku punya kabar.”

Suara Aidan terdengar ceria di seberang telepon. “Apa itu? Kabar baik, aku harap?”

Liana menarik napas dalam. “Aku mendapat tawaran promosi, tapi aku harus pindah ke Singapura.”

Hening.

Beberapa detik kemudian, Aidan menjawab dengan suara pelan, “Wow. Itu luar biasa, Liana. Aku bangga padamu.”

“Tapi itu berarti kita semakin jauh.”

Aidan terdiam lagi. “Aku tahu. Tapi aku tidak ingin kau menolak kesempatan ini hanya karena aku.”

Liana menghela napas. “Aku tidak ingin kita semakin sulit bertemu, Aidan. Selama ini, kita sudah cukup kesulitan menjaga hubungan ini tetap berjalan.”

“Mungkin ini saatnya kita berbicara tentang masa depan kita, Liana,” ujar Aidan, suaranya penuh ketegasan.

Liana tersenyum kecil. “Ya, aku rasa sudah waktunya.”

Beberapa hari kemudian, mereka melakukan panggilan video untuk membahas hal ini lebih serius.

“Aku bisa mencoba mengajukan transfer ke kantor cabang perusahaanku di Asia,” kata Aidan. “Mungkin itu bisa membuat kita lebih dekat.”

Liana tersenyum. “Kau benar-benar akan melakukan itu?”

“Jika itu berarti kita bisa lebih sering bersama, tentu saja,” jawab Aidan tanpa ragu.

Tetapi rencana itu tidak semudah yang mereka kira. Setelah menghubungi atasannya, Aidan diberi tahu bahwa peluang untuk pindah ke Asia sangat kecil dalam waktu dekat.

“Liana, untuk saat ini, sepertinya aku belum bisa pindah.”

Kekecewaan melintas di wajah Liana, tetapi ia tetap berusaha tersenyum. “Aku mengerti, Aidan. Aku tidak ingin kau mengorbankan kariermu juga.”

“Tapi aku tetap ingin kita punya rencana yang jelas, Liana. Aku tidak ingin hubungan ini berjalan tanpa arah.”

Liana mengangguk. “Aku juga, Aidan. Aku ingin kita membangun masa depan bersama.”

Tapi bagaimana caranya?

Setelah banyak diskusi dan pertimbangan, Liana dan Aidan mulai mempertimbangkan kemungkinan lain: apakah salah satu dari mereka harus mengambil keputusan lebih besar?

Suatu malam, dalam percakapan mereka, Aidan berkata, “Liana, bagaimana kalau aku yang datang ke Singapura? Aku mungkin tidak bisa pindah sekarang, tapi aku bisa mencari peluang baru di sana.”

Liana terkejut. “Kau yakin? Itu berarti kau harus meninggalkan pekerjaanmu sekarang.”

Aidan tersenyum. “Aku ingin masa depan kita lebih pasti, Liana. Jika aku tetap di London sementara kau di Singapura, hubungan ini akan semakin sulit.”

Liana menatap Aidan melalui layar ponselnya, hatinya dipenuhi emosi yang bercampur aduk.

“Aku tidak ingin kau melakukan ini hanya demi aku, Aidan.”

“Aku tidak mengorbankan apa pun, Liana. Aku hanya memilih jalanku bersama orang yang kucintai.”

Liana terdiam. Ia tahu keputusan ini besar, tapi jika Aidan benar-benar ingin melakukannya, apakah ia harus menolaknya?

Setelah keputusan itu dibuat, Liana dan Aidan mulai merencanakan kehidupan mereka di Singapura. Mereka mulai mencari apartemen yang bisa mereka tinggali bersama ketika Aidan sudah tiba di sana.

“Aku tidak percaya kita akhirnya merencanakan hal ini,” kata Liana saat mereka melihat-lihat apartemen secara virtual.

Aidan tersenyum. “Aku juga tidak percaya aku akan meninggalkan London.”

Tetapi sebelum semuanya berjalan lancar, tantangan baru datang.

Visa dan izin kerja Aidan tidak semudah yang mereka kira.

“Aku mungkin harus menunggu beberapa bulan sebelum bisa benar-benar pindah,” kata Aidan dengan nada kecewa.

Liana menenangkannya. “Kita sudah sejauh ini, Aidan. Kita bisa melewati ini bersama.”

Mereka berjanji untuk terus berusaha. Liana akan mulai bekerja di Singapura lebih dulu, sementara Aidan akan menyelesaikan semua proses yang dibutuhkan untuk pindah.

Mereka percaya bahwa selama mereka tetap bersatu, masa depan itu akan tetap mereka bangun bersama.

Beberapa bulan kemudian, setelah semua tantangan terlewati, Aidan akhirnya tiba di Singapura.

Saat Liana menjemputnya di bandara, air mata menetes di pipinya. Ia tidak percaya akhirnya mereka bisa berada di tempat yang sama setelah sekian lama menjalani hubungan jarak jauh.

Aidan memeluknya erat. “Aku di sini, Liana. Aku tidak akan ke mana-mana lagi.”

Liana tersenyum, hatinya penuh kebahagiaan. “Selamat datang di rumah, Aidan.”

Bagi mereka, ini bukan sekadar akhir dari perjalanan jarak jauh mereka. Ini adalah awal dari kehidupan yang benar-benar mereka bangun bersama.

Bab 8: Pengorbanan Cinta

Salah satu dari mereka harus membuat keputusan besar demi hubungan ini.

Apakah mereka siap mengorbankan sesuatu yang berarti demi satu sama lain?

Momen emosional yang menentukan apakah mereka akan tetap bersama atau berpisah.

Hari-hari pertama setelah Aidan pindah ke Singapura terasa seperti mimpi bagi Liana. Mereka akhirnya bisa menikmati kebersamaan tanpa harus memikirkan perbedaan zona waktu atau jadwal penerbangan. Mereka mulai menetap di apartemen kecil yang nyaman, mengisi waktu dengan berjalan-jalan di sekitar kota, mencoba makanan baru, dan merencanakan masa depan bersama.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.

Aidan mulai menghadapi kesulitan dalam pekerjaannya. Setelah pindah, ia masih berusaha mendapatkan pekerjaan yang stabil, tetapi persaingan di Singapura sangat ketat.

“Aku sudah mengirim lebih dari dua puluh lamaran, tapi belum ada yang menanggapi,” ujar Aidan frustasi suatu malam.

Liana meremas tangannya, mencoba memberikan dukungan. “Kau pasti mendapatkannya, Aidan. Kau hanya butuh waktu.”

Namun, semakin lama, situasi ini mulai memengaruhi hubungan mereka. Aidan merasa rendah diri karena masih bergantung pada Liana secara finansial, sementara Liana mulai kelelahan menyeimbangkan pekerjaan dan mendukung Aidan secara emosional.

Ketegangan mulai muncul.

Beberapa minggu kemudian, Aidan mendapat kabar baik. Ia menerima tawaran pekerjaan di London dari mantan bosnya dengan gaji lebih tinggi dan posisi yang lebih baik.

“Ini kesempatan yang bagus, Liana,” kata Aidan dengan mata berbinar. “Tapi aku tidak tahu harus bagaimana… Aku tidak ingin meninggalkanmu.”

Liana terdiam. Ia tahu betapa pentingnya pekerjaan ini bagi Aidan. Tetapi jika Aidan kembali ke London, apakah mereka harus menjalani hubungan jarak jauh lagi?

“Apa yang harus kita lakukan, Liana?” suara Aidan terdengar ragu.

Liana menatapnya, hatinya terasa berat. “Aku ingin kau bahagia, Aidan. Aku tahu betapa kau menginginkan pekerjaan ini.”

Aidan menghela napas. “Tapi aku juga ingin bersamamu. Aku baru saja pindah ke sini… Aku tidak ingin kita kembali ke awal lagi.”

Mereka dihadapkan pada dilema besar.

Malam itu, Liana tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab.

Di satu sisi, ia ingin mempertahankan kebersamaan mereka di Singapura. Tetapi di sisi lain, ia tidak ingin Aidan menyesal karena menolak peluang besar.

Cinta seharusnya tidak menghalangi seseorang untuk mengejar impiannya, bukan?

Saat sarapan keesokan paginya, Liana akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

“Aidan, aku ingin kau menerima pekerjaan itu.”

Aidan menatapnya dengan kaget. “Apa? Liana, kau serius?”

Liana mengangguk, meski hatinya terasa berat. “Aku tidak ingin kau menyesal. Aku tahu ini kesempatan yang sudah lama kau tunggu.”

Aidan menggeleng. “Tapi bagaimana dengan kita?”

Liana mencoba tersenyum, meski air matanya hampir jatuh. “Kita akan menemukan jalan. Jika cinta kita cukup kuat, jarak tidak akan bisa menghancurkannya.”

Aidan terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk. “Aku tidak ingin kehilanganmu, Liana.”

Liana menggenggam tangannya erat. “Aku juga tidak ingin kehilanganmu. Tapi kadang, cinta juga berarti membiarkan seseorang mengejar apa yang membuatnya bahagia.”

Keputusan pun dibuat. Aidan akan kembali ke London.

Hari keberangkatan Aidan tiba lebih cepat dari yang mereka bayangkan. Saat mereka berdiri di bandara, Liana merasa hatinya remuk.

“Aku tidak percaya kita harus berpisah lagi,” kata Liana dengan suara bergetar.

Aidan menariknya ke dalam pelukan erat. “Ini bukan akhir, Liana. Ini hanya fase lain dalam hubungan kita.”

Liana menutup matanya, merasakan setiap detik kebersamaan mereka. “Janjikan satu hal padaku, Aidan.”

“Apa?”

“Jangan biarkan jarak membuat kita menyerah.”

Aidan tersenyum kecil, meski matanya juga berkaca-kaca. “Aku janji.”

Saat Aidan melangkah menuju gerbang keberangkatan, Liana merasakan hatinya ikut pergi bersama pria yang dicintainya.

Hari-hari tanpa Aidan terasa berat bagi Liana. Mereka kembali ke rutinitas lama: panggilan video setiap malam, pesan teks yang tak selalu sempat dibalas tepat waktu, dan perasaan rindu yang tidak bisa terobati dengan pelukan.

Tetapi sesuatu terasa berbeda kali ini.

Liana mulai merasa ada jarak emosional di antara mereka. Aidan sering sibuk dengan pekerjaannya, sementara Liana juga tenggelam dalam kesibukannya sendiri.

Suatu malam, saat mereka melakukan panggilan video, Liana akhirnya mengungkapkan perasaannya.

“Aidan, apakah kau merasa hubungan kita mulai berubah?”

Aidan terdiam sesaat sebelum menghela napas. “Aku juga merasakannya, Liana. Aku tidak ingin ini terjadi.”

“Lalu bagaimana kita bisa memperbaikinya?”

Aidan menatapnya dalam layar. “Aku tidak tahu. Tapi aku ingin kita tetap berjuang.”

Mereka tahu hubungan ini masih berharga. Tetapi pertanyaannya, apakah mereka bisa bertahan menghadapi ujian ini?

Beberapa bulan berlalu, dan hubungan mereka masih berada dalam situasi yang sulit.

Liana mulai mempertimbangkan pilihan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: apakah ia yang harus pergi ke London?

Tetapi itu berarti ia harus meninggalkan pekerjaannya yang sudah stabil di Singapura.

Saat ia menyampaikan pemikirannya kepada Aidan, pria itu terkejut.

“Liana, aku tidak ingin kau mengorbankan kariermu demi aku.”

Liana menggeleng. “Aku tidak ingin kita terus seperti ini, Aidan. Aku ingin kita bisa bersama.”

Aidan menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Aku tidak bisa membiarkanmu melakukan ini sendirian, Liana.”

Mereka pun kembali berdiskusi, mencari jalan terbaik untuk mereka berdua. Dan akhirnya, keputusan besar pun dibuat: Liana akan mencoba mencari pekerjaan di London, sementara Aidan juga mencari opsi agar bisa lebih fleksibel.

Ini bukan hanya tentang satu orang yang berkorban, tetapi tentang mereka berdua yang sama-sama memperjuangkan cinta mereka.

Beberapa bulan kemudian, dengan usaha keras, Liana akhirnya mendapatkan pekerjaan di London.

Saat ia turun dari pesawat dan melihat Aidan menunggunya di bandara, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya.

Aidan menariknya ke dalam pelukan erat. “Kau benar-benar datang.”

Liana tersenyum. “Aku bilang aku akan datang, bukan?”

Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini tidak mudah. Ada banyak pengorbanan yang telah mereka lakukan, tetapi satu hal yang pasti—cinta mereka lebih kuat dari semua rintangan yang menghadang.

Kini, mereka tidak lagi terpisahkan oleh jarak. Mereka akhirnya bisa membangun hidup bersama, dan semua pengorbanan yang telah mereka lalui terasa sepadan.

Bab 9: Dua Hati yang Terhubung

Akhir cerita yang menggambarkan keputusan mereka: apakah mereka berhasil bersatu atau harus berpisah?

Jika berakhir bahagia, mereka menemukan cara untuk tetap bersama meski tantangan besar.

Jika berakhir menyedihkan, mereka menyadari bahwa cinta bisa tetap ada meskipun tak selalu harus bersatu.

Pesan mendalam tentang cinta yang sejati tidak selalu mudah, tetapi selalu berharga untuk diperjuangkan.

Liana akhirnya menginjakkan kaki di London, kota yang kini akan menjadi tempat ia dan Aidan memulai kehidupan baru mereka bersama. Setelah bertahun-tahun menjalani hubungan jarak jauh, menyeimbangkan cinta dan karier, serta menghadapi berbagai rintangan, mereka akhirnya berada di tempat yang sama.

Aidan menunggu di bandara dengan wajah penuh kebahagiaan. Saat melihat Liana berjalan ke arahnya, ia segera menariknya ke dalam pelukan erat.

“Akhirnya,” bisiknya di telinga Liana. “Kita tidak perlu lagi berpisah.”

Liana tersenyum lebar. “Aku masih tidak percaya kita benar-benar di sini, bersama.”

Setelah perjalanan panjang yang penuh pengorbanan dan tantangan, mereka kini siap untuk membangun hidup yang lebih stabil. Tapi meskipun jarak fisik tak lagi menjadi penghalang, mereka tahu bahwa perjalanan ini masih jauh dari kata selesai.

Hari-hari pertama di London penuh dengan kejutan bagi Liana. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru, ritme kehidupan yang berbeda, serta kebiasaan-kebiasaan kecil Aidan yang selama ini hanya bisa ia tebak melalui panggilan video.

Di satu sisi, ia merasa lega karena akhirnya bisa melihat Aidan setiap hari. Namun, di sisi lain, mereka harus mulai membiasakan diri untuk hidup bersama secara langsung.

“Aku tidak tahu kalau kau suka meninggalkan cangkir kopi di meja begitu saja,” ujar Liana suatu pagi, mengangkat alis sambil menunjuk cangkir yang ditinggalkan Aidan di meja kerja.

Aidan tertawa kecil. “Dan aku juga baru tahu kalau kau suka menyetel alarm lima kali sebelum benar-benar bangun.”

Mereka tertawa bersama. Momen-momen kecil ini, yang dulu terasa sepele, kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.

Namun, tidak semua adaptasi berjalan mulus. Liana merasa sedikit kewalahan dengan tekanan pekerjaannya, sementara Aidan yang sudah lebih dulu menetap di London merasa bertanggung jawab untuk membantu Liana menyesuaikan diri.

Suatu malam, setelah pulang kerja, Liana tampak lelah dan frustrasi.

“Aku merasa seperti orang asing di sini,” katanya pelan. “Aku ingin bahagia bersamamu, tapi semuanya terasa begitu sulit.”

Aidan menggenggam tangannya erat. “Aku tahu ini tidak mudah, Liana. Tapi kita akan melewati ini bersama.”

Mereka tahu bahwa kebersamaan tidak hanya tentang berbagi momen bahagia, tetapi juga saling mendukung di saat-saat sulit.

Setiap pasangan pasti memiliki perbedaan, dan Liana serta Aidan tidak terkecuali.

Liana adalah seseorang yang selalu berpikir jauh ke depan. Ia suka merencanakan segala sesuatu, mulai dari pekerjaan hingga keuangan mereka. Sebaliknya, Aidan lebih spontan dan percaya bahwa segalanya akan berjalan dengan sendirinya.

Suatu hari, saat mereka membahas masa depan mereka, perbedaan ini mulai terlihat jelas.

“Aku pikir kita harus mulai merencanakan tabungan untuk membeli rumah,” ujar Liana sambil membuka laptopnya.

Aidan menghela napas. “Liana, kita baru saja mulai hidup bersama. Kenapa harus terburu-buru?”

“Bukan terburu-buru, tapi bersiap. Aku ingin kita punya rencana yang jelas untuk masa depan.”

Aidan mengusap wajahnya. “Kadang aku merasa kau terlalu khawatir akan masa depan, sementara aku hanya ingin menikmati momen kita sekarang.”

Mereka terdiam sejenak. Ini adalah salah satu perbedaan terbesar di antara mereka, dan jika tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi penyebab konflik dalam hubungan mereka.

Setelah berpikir lama, Liana akhirnya berkata, “Mungkin kita bisa mencari jalan tengah. Aku belajar untuk lebih menikmati momen, dan kau juga belajar untuk lebih memikirkan masa depan kita.”

Aidan tersenyum dan mengangguk. “Itu terdengar adil.”

Mereka sadar bahwa cinta bukan hanya tentang memiliki perasaan yang sama, tetapi juga tentang memahami dan menyesuaikan diri satu sama lain.

Ironisnya, meskipun mereka kini tinggal di kota yang sama, ada tantangan baru yang muncul. Saat menjalani hubungan jarak jauh, mereka selalu menghargai setiap detik kebersamaan. Namun, sekarang, dengan jadwal kerja yang sibuk dan kehidupan yang semakin penuh tuntutan, mereka terkadang merasa seperti kehilangan keintiman yang dulu begitu kuat.

Ada malam-malam ketika Aidan pulang terlambat karena pekerjaannya, sementara Liana sudah tertidur lebih dulu. Ada akhir pekan di mana salah satu dari mereka terlalu lelah untuk melakukan hal-hal yang dulu mereka impikan.

Suatu hari, Liana mulai merasa insecure.

“Aidan, apakah kau masih merasa seperti dulu?” tanyanya tiba-tiba.

Aidan menatapnya dengan bingung. “Maksudmu?”

“Saat kita masih berjauhan, kita selalu berusaha meluangkan waktu untuk satu sama lain. Tapi sekarang, kadang aku merasa seperti kita semakin jauh, meskipun secara fisik kita dekat.”

Aidan terdiam sejenak sebelum menggenggam tangan Liana. “Aku mengerti apa yang kau rasakan. Mungkin karena kita tahu bahwa kita selalu ada di sini, kita mulai lupa untuk benar-benar menghargai waktu bersama.”

Sejak percakapan itu, mereka mulai lebih sadar akan pentingnya menjaga keintiman dalam hubungan mereka. Mereka merencanakan waktu khusus untuk satu sama lain, seperti makan malam tanpa ponsel atau perjalanan singkat di akhir pekan.

Mereka sadar bahwa cinta membutuhkan usaha, bahkan ketika jarak tak lagi menjadi penghalang.

Setelah berbulan-bulan menyesuaikan diri, menghadapi perbedaan, dan menemukan keseimbangan dalam hubungan mereka, Liana dan Aidan akhirnya merasa lebih kuat dari sebelumnya.

Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen, memandangi langit London yang diterangi lampu kota, Aidan menarik napas dalam-dalam.

“Aku ingin mengatakan sesuatu.”

Liana menoleh dengan penasaran. “Apa itu?”

Aidan menatapnya dalam-dalam sebelum tersenyum. “Aku ingin kita menghabiskan sisa hidup kita bersama. Aku tahu perjalanan kita tidak mudah, tapi aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu.”

Liana merasakan hatinya bergetar. Air mata menggenang di matanya saat ia tersenyum.

“Aku juga tidak bisa membayangkan hidup tanpamu, Aidan.”

Mereka saling menggenggam tangan, menyadari bahwa meskipun perjalanan mereka penuh dengan tantangan, mereka telah membuktikan bahwa cinta sejati mampu bertahan melawan segala rintangan.

Kini, mereka tidak lagi dua hati yang terpisah oleh jarak. Mereka adalah dua hati yang terhubung, selamanya.***

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #HubunganSerius#JarakBukanHalangan#kisahcinta#Komitmen#PengorbananCinta
Previous Post

“HANYA KAMU YANG PERTAMA DI HATIKU”

Next Post

SELAMNYA MILIKMU

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
SELAMNYA MILIKMU

SELAMNYA MILIKMU

BENCI DALAM BALUTAN RINDU

BENCI DALAM BALUTAN RINDU

Sang Guru, Sang Murid, dan Cinta yang Mustahil

Sang Guru, Sang Murid, dan Cinta yang Mustahil

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id