Daftar Isi
Bab 1 Pertemuan yang Tak Terduga
Malam itu, langit Jakarta tampak begitu cerah, meskipun hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur terus mengalun di sepanjang jalanan. Naya, yang baru saja selesai dengan pekerjaan kantor, melangkah keluar dari gedung perkantoran tempatnya bekerja. Wajahnya tampak lelah, matanya sedikit mengantuk, namun ada perasaan lega yang merayapi tubuhnya. Hari ini, dia menyelesaikan sebuah proyek besar yang sudah dia kerjakan selama berbulan-bulan. Rasa lelah itu tidak begitu mengganggu, karena dia tahu bahwa semua kerja kerasnya akhirnya terbayar.
Namun, ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya belakangan ini. Sebuah perasaan kosong yang tak bisa dia pahami sepenuhnya. Ya, Naya merasa seperti ada yang hilang dalam hidupnya. Sejak dua tahun lalu, dia menjalani hidupnya dengan rutinitas yang padat—kerja, pulang, tidur, dan bangun lagi untuk menjalani hari-hari yang hampir selalu sama. Hubungan percintaannya juga tidak berjalan dengan baik. Dia pernah bertemu beberapa orang yang menyenangkan, tapi tak ada yang bisa membuat hatinya merasa utuh. Setiap kali dia merasa mulai terbuka, dia justru menemukan alasan untuk menarik diri kembali.
Ketika dia memasuki kafe favoritnya untuk menikmati secangkir kopi, matanya tertuju pada satu meja di dekat jendela. Seorang pria sedang duduk sendirian, tenggelam dalam buku yang terbuka di depannya. Pakaian casual yang dia kenakan, dipadukan dengan kacamata yang sedikit miring, memberi kesan bahwa dia bukan orang yang suka terlalu mencolok. Namun ada sesuatu yang memikat di matanya—sesuatu yang membuat Naya, meskipun hanya sekilas, merasa tertarik.
Tanpa berpikir panjang, Naya memutuskan untuk mendekat. Dia tahu kafe ini cukup besar untuk memilih tempat yang lebih jauh, tapi entah kenapa langkahnya justru membawa dirinya ke meja pria tersebut. Ketika dia berdiri di sampingnya, dia terhenti. Pria itu mendongak dari bukunya dan tersenyum ramah.
“Maaf, apakah kursi ini kosong?” tanya Naya dengan suara yang sedikit ragu, tapi mencoba terdengar percaya diri.
“Ya, tentu,” jawab pria itu, suaranya terdengar tenang dan penuh perhatian. “Silakan duduk.”
Naya menarik kursi dan duduk. Dia tidak tahu mengapa, tapi perasaan yang aneh menjalar dalam dirinya. Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara, dalam senyumannya yang seolah sudah lama dikenalnya. Mungkin ini hanya perasaan sepele, pikirnya. Lagi pula, dia memang sedang dalam suasana hati yang agak melankolis belakangan ini.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Kafe itu dipenuhi oleh percakapan ringan dan suara mesin kopi yang berdengung. Naya memutuskan untuk memecah kebekuan.
“Saya belum pernah melihat Anda di sini sebelumnya,” kata Naya, berusaha membuka percakapan. “Apakah Anda baru pindah ke kota ini?”
Pria itu menutup bukunya perlahan, kemudian menatap Naya dengan tatapan yang agak serius namun penuh rasa ingin tahu. “Tidak juga. Saya sering ke sini, hanya saja mungkin kita tidak pernah bertemu sebelumnya.”
Nama pria itu adalah Ravin. Mereka berdua mulai berbicara lebih banyak, dan semakin lama percakapan mereka semakin mengalir begitu saja, seperti dua orang yang sudah saling mengenal bertahun-tahun. Naya tidak tahu mengapa, tapi setiap kata yang diucapkan Ravin terasa begitu akrab di telinganya. Suaranya menenangkan, dan dia bisa merasakan bahwa Ravin bukan sekadar pria biasa yang duduk di kafe. Ada kedalaman dalam dirinya yang membuat Naya ingin mengenalnya lebih jauh.
Percakapan mereka berjalan lancar, dari topik ringan tentang cuaca hingga pembicaraan lebih dalam mengenai pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ternyata, Ravin adalah seorang fotografer lepas yang sering bepergian ke berbagai tempat untuk mengambil gambar. Meskipun gaya hidupnya sangat berbeda dengan Naya, yang lebih banyak menghabiskan waktu di kantor, dia bisa merasakan bahwa ada kesamaan di antara mereka: sama-sama mencari sesuatu yang lebih dalam dalam hidup.
“Kadang-kadang saya merasa seperti dunia ini terlalu besar untuk dijelajahi sendirian,” kata Ravin, setelah menceritakan perjalanannya ke beberapa negara. “Tapi di sisi lain, saya juga merasa seperti dunia ini penuh dengan tempat yang bisa memberikan kedamaian jika kita mau mencarinya.”
Naya menatapnya dengan serius, merasa ada suatu ikatan yang tumbuh di antara mereka. Tidak ada kata-kata yang mengungkapkan perasaan itu, tapi entah mengapa, Naya bisa merasakannya. Seolah-olah mereka berdua berada di tempat yang sama, meski keduanya datang dari dunia yang berbeda.
“Tapi kadang, kita justru harus bertemu orang yang tepat di tempat yang tidak kita duga, bukan?” jawab Naya, sambil sedikit tersenyum.
Ravin menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Benar. Kadang hidup mengatur segalanya dengan cara yang tak terduga.”
Perbincangan mereka berlanjut hingga malam semakin larut. Tanpa disadari, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Naya menyadari bahwa dia belum pernah merasa sebebas ini dalam waktu yang lama. Dengan Ravin, segala kecemasan dan kegelisahannya seolah menguap begitu saja. Semua terasa begitu ringan.
Akhirnya, ketika Naya hendak berdiri untuk meninggalkan kafe, Ravin menatapnya dan berkata, “Saya rasa kita akan bertemu lagi.”
Naya hanya tersenyum, merasa bahwa kata-kata itu adalah sebuah janji yang tidak bisa dijelaskan. “Mungkin,” jawabnya, sebelum melangkah keluar dari kafe, meninggalkan Ravin yang masih duduk dengan tatapan kosong ke luar jendela.
Perasaan aneh itu muncul lagi di hatinya—perasaan bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan semata. Sesuatu yang besar akan terjadi, meskipun Naya tidak tahu apa itu.
Malam itu, setelah dia sampai di rumah, Naya duduk di tepi ranjang, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Hatinya masih bergemuruh, berpikir tentang Ravin. Dalam sekejap, dia tahu bahwa hidupnya akan berubah, entah bagaimana, entah kapan. Pertemuan yang tak terduga itu sudah cukup untuk membuatnya merasa bahwa kadang, kehidupan memang punya cara yang tak terduga untuk mempertemukan dua hati yang sebelumnya terpisah jauh.*
Bab 2 Awal Cinta yang Tumbuh
Minggu-minggu setelah pertemuan mereka di kafe itu berlalu dengan cepat. Naya merasa hidupnya sedikit lebih cerah. Meskipun dia masih menjalani rutinitas hariannya, ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya—sesuatu yang berdebar-debar, sesuatu yang sulit untuk dijelaskan. Ravin, dengan segala ketenangan dan cara bicaranya yang dalam, terus menghantui pikirannya.
Pada awalnya, Naya mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Dia tahu, mungkin itu hanya perasaan sementara, sebuah kenangan singkat yang akan memudar seperti banyak kenangan lainnya. Namun, setiap kali dia membuka ponselnya, ada satu pesan dari Ravin yang muncul di layar. Pesan yang sederhana, tapi selalu membuat hatinya melompat.
“Hai, Naya! Apa kabar? Semoga harimu menyenankan.”
Itu bukan pesan yang berlebihan atau dramatis. Hanya sekadar kabar singkat, tapi entah kenapa, selalu membuat Naya merasa dihargai. Seperti ada seseorang yang benar-benar peduli tentang bagaimana hari-harinya berjalan. Dan meskipun mereka hanya saling bertukar pesan singkat setiap beberapa hari sekali, Naya mulai merasa ada kedekatan yang tak terungkapkan di antara mereka.
Satu sore, ketika Naya sedang duduk di balkon apartemennya, menikmati senja yang perlahan meredup, ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Ravin muncul, kali ini dengan pertanyaan yang sedikit lebih dalam.
“Apa kamu percaya dengan pertemuan yang terjadi karena takdir?” tanya Ravin.
Naya terdiam sejenak. Pesan itu terasa begitu mendalam, seperti mengundang Naya untuk membuka diri. Dia bukan tipe orang yang sering berbicara tentang takdir, atau tentang segala hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Namun, ada sesuatu dalam pesan itu yang membuatnya merasa ingin menjawab dengan jujur, bukan sekadar memberi jawaban yang biasa saja.
“Entahlah,” jawab Naya setelah beberapa detik berpikir. “Mungkin. Aku rasa aku lebih suka memercayai bahwa setiap pertemuan itu terjadi karena ada alasan, meskipun kadang kita tidak bisa langsung memahaminya.”
Pesan itu diikuti dengan ketikan lama dari Ravin. Naya menunggu, rasa penasaran semakin menggerogoti. Setelah beberapa detik, pesan berikutnya masuk.
“Sepertinya aku percaya padamu,” jawab Ravin singkat.
Sederhana, namun mengandung makna yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Naya tersenyum, meskipun hanya dalam hati. Pesan itu membuat hatinya hangat, dan dia merasa terhubung dengan Ravin lebih dari sebelumnya.
Beberapa hari kemudian, mereka sepakat untuk bertemu lagi. Kali ini, Naya mengajak Ravin untuk berjalan-jalan di sekitar taman kota. Tidak ada agenda khusus, hanya sekadar menghabiskan waktu bersama di tempat yang tenang. Mereka berjalan berdampingan, sesekali berbicara tentang hal-hal sepele—tentang cuaca, tentang kebiasaan buruk mereka, atau tentang musik yang mereka suka dengarkan. Tapi dalam kebersamaan itu, ada semacam rasa nyaman yang mengalir begitu saja, seperti aliran sungai yang tidak terganggu.
Di bawah pohon besar di tengah taman, mereka berhenti sejenak. Angin sore itu membawa kesejukan, dan langit semakin merona dengan warna jingga keemasan. Naya melihat ke arah Ravin yang sedang menatap langit dengan tatapan kosong, seolah-olah sedang merenung.
“Kenapa kamu suka bepergian begitu jauh?” tanya Naya tanpa sengaja. Mungkin itu terdengar seperti pertanyaan biasa, tapi baginya, ini adalah cara untuk mengetahui lebih dalam tentang diri Ravin. Mengapa dia memilih hidup yang penuh dengan perjalanan, meninggalkan rutinitas yang stabil?
Ravin tersenyum tipis, matanya tetap mengarah ke langit. “Aku ingin melihat dunia dengan cara yang berbeda. Ada banyak hal yang kita anggap biasa, padahal sebenarnya, dunia ini penuh dengan keajaiban yang tersembunyi. Aku ingin menemukannya. Dan kadang, aku merasa seperti aku perlu melakukannya sendirian, untuk benar-benar memahaminya.”
Naya mengangguk, meskipun sedikit merasa bingung. Ada sesuatu dalam cara Ravin berbicara yang terasa seperti suatu perjalanan batin, bukan hanya perjalanan fisik. Seperti ada ruang kosong yang ingin dia isi, atau mungkin, dia tengah mencari sesuatu yang belum dia temukan.
Mereka duduk diam dalam beberapa menit berikutnya, hanya mendengarkan suara angin yang berdesir di antara daun-daun, dan suara langkah kaki orang-orang yang berjalan di sekitar taman. Naya merasa nyaman, lebih nyaman daripada yang pernah dia rasakan dalam waktu yang lama. Bahkan tanpa kata-kata, dia merasa seolah-olah dia sudah mengenal Ravin jauh lebih lama daripada yang sebenarnya.
“Ravin,” panggil Naya pelan, dengan suara yang hampir terdengar ragu. “Apakah kamu pernah merasa bahwa ada seseorang di luar sana yang seharusnya kamu temui? Entah kapan, entah di mana.”
Ravin menoleh ke arahnya, mata mereka bertemu. Ada sesuatu dalam tatapan Ravin yang membuat Naya merasa seolah-olah dia baru saja mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam dalam dirinya. Ravin tidak menjawab langsung. Dia hanya menatapnya lebih lama, seolah memikirkan jawabannya.
“Aku rasa,” Ravin mulai berbicara dengan suara yang dalam, “Aku merasa aku baru saja bertemu orang itu.”
Seketika itu juga, Naya merasakan detak jantungnya meningkat. Ada kehangatan yang tiba-tiba memenuhi hatinya. Naya tidak tahu apakah itu cinta, atau sekadar perasaan yang datang begitu saja. Namun, satu hal yang pasti, dia merasa sangat terhubung dengan Ravin, lebih dari yang bisa dia jelaskan.
Malam semakin larut, dan mereka berdua melanjutkan percakapan mereka, kini lebih santai dan penuh tawa. Tanpa disadari, Naya merasa semakin dekat dengan Ravin. Terkadang, cinta tumbuh tanpa peringatan. Cinta yang datang dengan cara yang tak terduga, seperti dua hati yang bersatu tanpa perlu banyak alasan.
Naya tahu, perasaannya terhadap Ravin bukan hanya sekadar pertemuan biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang semakin tumbuh di dalam hatinya, sesuatu yang tidak bisa dia abaikan begitu saja. Dan saat itu, di bawah langit senja yang indah, dia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka berdua memang ditakdirkan untuk bertemu dan untuk menjelajahi dunia bersama, meski hanya dalam jejak-jejak hati yang tak terucapkan.*
Bab 3 Jarak yang Membuat Rindu
Hari-hari setelah pertemuan mereka di taman itu berlalu dengan cepat, namun rasa rindu yang mulai tumbuh di hati Naya terasa semakin kuat. Setiap kali melihat pesan dari Ravin, hatinya berdegup kencang. Setiap kata yang dituliskan, setiap tanda tanya yang mereka bagi, semuanya terasa begitu berarti. Tetapi, ada satu hal yang Naya tak bisa hindari: jarak. Jarak yang selalu menghantui mereka, seperti bayangan gelap yang datang menyusup ke dalam setiap percakapan yang mereka bagi.
Ravin tinggal di luar kota, jauh dari Jakarta. Meskipun mereka sering berkomunikasi melalui pesan singkat, panggilan video, atau obrolan santai, kenyataan bahwa mereka terpisah jarak begitu jauh membuat Naya merasa ada sesuatu yang tak lengkap. Ada rasa kehilangan yang mengganjal setiap kali mereka menutup percakapan.
Suatu malam, ketika Naya duduk di sofa apartemennya, menatap layar ponselnya yang menampilkan wajah Ravin melalui panggilan video, dia merasa begitu rindu. Rindu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rindu yang tak bisa diatasi hanya dengan teknologi yang mereka miliki. Mereka berdua tersenyum saat melihat satu sama lain, tetapi di balik senyum itu, ada kesepian yang tak bisa mereka tutupi.
“Ravin…” suara Naya terdengar lirih, hampir tak terdengar. “Kenapa rasanya seperti ada yang hilang setiap kali kita tidak bertemu?”
Ravin menghela napas panjang, matanya menatap Naya dengan penuh pengertian. “Aku tahu apa yang kamu rasakan,” jawabnya perlahan, “Aku juga merasakannya. Jarak ini… kadang terasa begitu besar, kan?”
Naya mengangguk, matanya menatap jauh ke layar, berharap bisa merasa lebih dekat dengan pria di seberang sana. “Tapi kadang, aku merasa seperti… kita semakin terpisah, meskipun kita sudah berusaha menjaga komunikasi.”
Ravin terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. Dia tahu apa yang Naya rasakan. Rasanya seperti ada tembok yang menghalangi setiap detik yang mereka habiskan bersama. Mereka bisa berbicara, bisa tertawa, bisa saling berbagi cerita, tetapi rasa rindu yang tak tertahankan itu tetap menguar. Mereka hanya bisa saling menatap tanpa bisa saling menyentuh.
“Jarak memang bisa membuat rindu menjadi lebih kuat,” kata Ravin akhirnya, suaranya penuh dengan perasaan. “Tapi aku juga percaya bahwa rindu ini akan membuat kita semakin menghargai setiap momen yang kita miliki bersama. Kita mungkin terpisah oleh ribuan kilometer, tapi hati kita tetap saling terhubung. Aku yakin itu.”
Naya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih terasa perih. Rasa rindu itu seperti beban yang semakin berat setiap harinya. “Tapi bagaimana dengan waktu? Waktu yang terus berjalan, yang membuat kita merasa semakin jauh meskipun kita tetap menjaga komunikasi.”
Ravin terdiam, menatap layar dengan sorot mata yang penuh makna. “Mungkin waktu itu tidak bisa kita kontrol. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita menjalani waktu ini. Apakah kita akan membiarkan jarak menghalangi kita, ataukah kita akan terus berjuang, meskipun hanya lewat pesan dan telepon? Aku memilih untuk berjuang, Naya. Aku percaya, semua ini akan ada akhirnya. Kita akan bertemu. Kita akan melewati jarak ini bersama.”
Mendengar kata-kata itu, Naya merasa sedikit lebih tenang, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa rindu yang mendalam. “Aku juga ingin bertemu, Ravin. Aku ingin melihatmu tanpa layar yang memisahkan kita, ingin mendengar suaramu tanpa jarak yang memisahkan.”
Ravin tersenyum, dan meskipun mereka hanya bisa saling melihat melalui layar, Naya merasa seolah-olah dia bisa merasakan kehadirannya yang nyata. “Suatu hari nanti, Naya. Kita akan bertemu. Aku akan menunggu hari itu tiba, dan aku harap kamu juga begitu.”
Sebelum mereka menutup panggilan malam itu, mereka berbicara lebih banyak tentang kehidupan masing-masing. Namun, ada keheningan di antara mereka yang terasa lebih dalam dari sebelumnya. Meskipun mereka sedang berjauhan, mereka tahu bahwa cinta mereka sedang tumbuh, meski dalam bentuk yang berbeda. Mereka saling percaya, meskipun mereka tidak tahu pasti kapan mereka akan bertemu secara langsung.
Setelah panggilan itu selesai, Naya kembali terbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit yang gelap. Suasana malam yang sunyi menambah kesunyian di dalam hatinya. Dia merasa seperti ada sesuatu yang kurang, ada bagian yang hilang yang hanya bisa dia temukan ketika mereka benar-benar bertemu.
Namun, dia juga tahu satu hal perasaan rindu ini adalah bukti bahwa hatinya terhubung dengan Ravin, meskipun dunia memisahkan mereka dengan jarak yang begitu jauh. Rindu itu mejadi pengingat bahwa cinta mereka masih tumbuh, meskipun lambat, meskipun penuh tantangan.
Di balik rasa sakit yang ditimbulkan oleh jarak, ada harapan. Harapan bahwa suatu hari, rindu ini akan terobati. Harapan bahwa mereka akan melewati waktu dan jarak ini bersama-sama, dan bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka.
Pagi berikutnya, Naya bangun dengan perasaan yang campur aduk. Rindu itu masih terasa, tetapi dia bertekad untuk terus berjalan, untuk tidak membiarkan jarak mematahkan semangatnya. Dia tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil menuju pertemuan, akan menguatkan hubungan mereka. Setiap detik yang mereka habiskan untuk menjaga cinta ini, akan semakin mengeratkan ikatan yang mereka miliki.
Di tengah rutinitas yang kembali berjalan, Naya memegang teguh janji yang diucapkan Ravin. Mereka akan bertemu. Mereka akan melewati jarak ini. Mereka akan bersama.
Untuk saat ini, itu sudah cukup.*
Bab 4 Cinta yang Tersisa di Layar
Setelah malam itu, malam-malam Naya semakin dipenuhi oleh panggilan dan pesan dari Ravin. Meskipun mereka terpisah oleh ribuan kilometer, mereka merasa seolah-olah dunia mereka menyatu setiap kali layar ponsel mereka menyala. Setiap kali Naya melihat nama Ravin muncul di layar, ada kehangatan yang mengalir ke dalam hatinya. Tapi di balik itu semua, ada perasaan kosong yang terus menghantui. Cinta mereka, meskipun terjalin dengan baik melalui komunikasi virtual, masih terasa begitu jauh dari kenyataan.
Hanya sebuah layar ponsel yang memisahkan mereka. Tanpa sentuhan fisik, tanpa kedekatan fisik, hanya ada kata-kata yang tertulis dan suara yang terdengar melalui telepon. Dan Naya mulai merasakan kenyataan yang menyakitkan—sebuah cinta yang terasa begitu nyata, namun terhalang oleh dunia maya. Setiap pesan, setiap video call, hanya bisa memenuhi sedikit dari rasa rindu yang terus membesar.
Malam itu, Naya duduk di meja kerjanya, menatap layar ponsel yang menampilkan wajah Ravin di panggilan video. Mereka sedang berbicara seperti biasa, tetapi Naya merasakan ketegangan yang mulai menggelayuti percakapan mereka. Mereka berbicara tentang segala hal—kerjaan, rutinitas sehari-hari, bahkan sekadar menertawakan lelucon kecil yang mereka bagi—namun ada sesuatu yang terasa kurang. Ada jarak yang tak hanya terletak pada kilometer, tetapi juga di antara kata-kata yang mereka ucapkan.
Naya menatap Ravin dengan tatapan kosong. Wajahnya tampak serius, tetapi matanya tetap penuh dengan senyuman. Hanya saja, Naya bisa merasakan bahwa meskipun mereka tertawa, ada kesedihan yang tersembunyi. Di dunia maya, mereka bisa saling melihat dan berbicara, tapi di dunia nyata, mereka terpisah begitu jauh.
“Ravin,” Naya memecah keheningan, suaranya lembut namun penuh dengan rasa yang tak tertahankan. “Kadang aku merasa… kita hanya berbicara melalui layar, dan itu semua terasa begitu kosong. Seperti ada sesuatu yang hilang. Aku ingin merasakannya lebih nyata.”
Ravin berhenti sejenak. Matanya sedikit terkejut mendengar kata-kata Naya, tapi kemudian dia menghela napas panjang. “Aku mengerti, Naya. Aku juga merasakannya. Sejujurnya, aku rindu… merasakan kamu di sini. Merasakan keberadaanmu di sampingku. Tetapi kita harus menerima kenyataan bahwa untuk saat ini, layar ini adalah satu-satunya cara untuk tetap terhubung.”
Naya menggigit bibirnya, menatap layar ponselnya. Dia tahu Ravin benar. Mereka hanya memiliki layar ini untuk menjaga hubungan mereka tetap hidup. Namun, semakin lama, semakin berat rasanya. Cinta yang dulu terasa hidup, kini terasa begitu jauh. Hanya ada gambar dan suara yang datang dari layar. Tidak ada sentuhan, tidak ada pelukan, tidak ada kehadiran yang benar-benar bisa dirasakan.
“Aku tahu,” jawab Naya pelan, suaranya hampir berbisik. “Tapi kadang aku merasa seperti kita hanya berbicara di ruang kosong. Seperti kita tidak benar-benar bisa saling merasakan satu sama lain. Aku tahu kamu ada di sana, tapi aku tetap merasa jauh.”
Ravin menunduk, tampaknya berpikir sejenak. Ketika dia menatapnya lagi, ada kerutan di dahinya, tanda bahwa dia sedang mencari kata-kata yang tepat. “Naya, aku tidak bisa menjanjikan kita akan selalu bersama di sini. Jarak ini, komunikasi yang terbatas ini—aku tahu itu sangat sulit. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan menyerah pada perasaan ini. Meskipun hanya lewat layar, kita masih bisa saling berbagi dan merasakan sesuatu.”
“Tapi aku ingin lebih dari itu,” kata Naya, dengan suara yang sedikit gemetar. “Aku ingin merasakan kehadiranmu. Aku ingin berada di sana denganmu, bukan hanya di layar ini.”
Ada keheningan lama di antara mereka. Naya bisa merasakan beban dalam setiap kata yang diucapkan. Ini bukan hanya tentang rindu, tapi tentang harapan yang tidak tahu kapan akan terwujud. Mereka berdua tahu bahwa mereka hanya bisa berbicara tentang masa depan tanpa bisa benar-benar merasakannya saat itu juga.
“Aku juga ingin begitu, Naya,” jawab Ravin akhirnya, matanya penuh dengan kejujuran. “Tapi kita harus berjuang untuk itu. Kita harus terus berusaha, meskipun hanya bisa berbicara lewat layar. Karena aku percaya, kita akan sampai pada titik di mana kita bisa berada di dunia yang sama.”
Naya menghela napas dan memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. Rasa rindu yang mendera begitu berat, seperti ada sesuatu yang terus mengikat hatinya, namun tidak bisa dia sentuh. Hanya ada gambar dan suara, sebuah hubungan yang terjaga melalui teknologi. Namun, di balik layar itu, cinta mereka terus tumbuh, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Namun, meskipun jarak itu nyata, meskipun mereka hanya berbicara melalui layar ponsel, Naya merasa ada sesuatu yang menahan dia untuk mundur. Ada kekuatan yang lebih besar dari hanya sebuah layar, yang membuatnya bertahan.
“Aku percaya padamu, Ravin,” kata Naya akhirnya, dengan suara yang lebih tenang. “Aku akan menunggu. Aku tahu kita sedang menunggu waktu yang tepat, dan aku siap untuk itu.”
Ravin tersenyum, meskipun senyumnya sedikit melankolis. “Aku juga percaya padamu, Naya. Aku yakin kita bisa melewati ini. Meskipun hanya layar yang memisahkan kita sekarang, aku tahu suatu hari nanti kita akan menemukan cara untuk bersama, dengan cara yang lebih nyata.”
Mereka mengakhiri percakapan itu dengan senyum yang terasa manis namun penuh dengan kesedihan. Tidak ada kepastian kapan mereka akan bertemu, tetapi mereka berdua tahu bahwa di balik setiap pesan dan panggilan video, cinta mereka tetap ada. Cinta yang hanya bisa mereka rasakan melalui layar. Cinta yang, meskipun terhalang oleh jarak, tetap ada di dalam hati mereka.
Setelah panggilan itu berakhir, Naya menatap layar ponselnya yang kini kosong, tanpa wajah Ravin. Di sana, hanya ada ruang kosong yang menunggu untuk diisi dengan kenangan dan harapan. Meskipun cinta mereka terasa terbatas oleh teknologi, dia tahu satu hal—di hati mereka, cinta itu tetap tumbuh, meskipun hanya tersisa di layar.
Dan meskipun itu hanya sementara, Naya siap menunggu. Karena dia tahu, suatu hari nanti, layar itu akan hilang, dan mereka akan saling berhadapan dalam dunia nyata. Cinta yang tumbuh di antara mereka bukan hanya tentang kata-kata di layar, tetapi tentang hati yang saling terhubung, meskipun terhalang oleh jarak.*
Bab 5 Keraguan dan Keputusan Besar
Hari-hari yang berjalan sejak percakapan terakhir itu terasa semakin berat bagi Naya. Di satu sisi, dia merasa bersyukur bisa berbicara dengan Ravin setiap hari, mengetahui bahwa mereka saling mengingat, menjaga, dan berjuang. Namun, di sisi lain, dia tak bisa menepis perasaan cemas dan keraguan yang semakin menghantuinya. Meskipun cinta mereka tumbuh meski jarak memisahkan, semakin lama Naya merasa bahwa hubungan itu mulai diuji dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab.
Selama ini, komunikasi mereka terasa indah. Pesan-pesan manis, panggilan video yang penuh tawa, dan cerita-cerita ringan tentang aktivitas sehari-hari memberi mereka kebahagiaan tersendiri. Tapi setiap kali percakapan itu berakhir, Naya merasakan kekosongan yang lebih dalam. Dia merasa terperangkap di antara harapan dan kenyataan. Cinta yang mereka rasakan seolah terbungkus dalam kata-kata tanpa bentuk, seperti bayangan yang terus bergerak tanpa bisa disentuh.
Satu hal yang tak bisa disangkal adalah keraguan yang semakin besar. Naya mulai bertanya-tanya, apakah benar mereka bisa melewati ini semua? Jarak yang tidak hanya memisahkan mereka dalam ruang, tapi juga waktu. Di luar percakapan manis dan janji-janji, ada dunia nyata yang menunggu, penuh dengan tantangan yang harus mereka hadapi. Dunia yang tidak selalu ramah terhadap hubungan jarak jauh. Dunia yang seringkali membuat mereka merasa seolah-olah berjuang sendirian, tanpa bisa merasakan dukungan nyata dari orang yang mereka cintai.
Suatu pagi yang cerah, Naya duduk di balkon apartemennya, memandangi langit biru yang seolah tak berujung. Di layar ponselnya, ada pesan dari Ravin. Mereka sering berbicara setiap pagi, saling mengirim kabar tentang apa yang mereka alami. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di dalam hati Naya. Ketika dia membaca pesan itu, seolah-olah ada sebuah pertanyaan besar yang menggelayuti pikirannya.
“Pagi, Naya! Semoga harimu menyenankan. Aku rindu banget bisa ketemu kamu. Gimana, sudah siap untuk hari yang penuh tantangan?”
Pesan itu terdengar biasa, tetapi entah kenapa Naya merasa perasaan itu menyentuh lebih dalam. Dia membalas dengan cepat, mencoba menjaga suasana hati tetap ringan.
“Pagi, Ravin! Semoga kamu juga punya hari yang baik. Aku juga rindu. Kadang, rasanya ingin sekali bisa langsung melihat kamu, tidak hanya lewat layar ini.”
Namun, di balik pesan-pesan yang penuh dengan perasaan itu, Naya merasa keraguan semakin menguasai dirinya. Setiap kata yang dia tulis, setiap janji yang mereka buat, terasa seperti kebohongan kecil. Seperti ada batasan yang tidak bisa mereka lewati, meskipun mereka ingin sekali melangkah lebih jauh. Cinta mereka seolah terhambat oleh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Tidak ada sentuhan nyata, tidak ada kedekatan fisik yang membuat mereka merasa lebih dekat.
Sehari kemudian, Naya memutuskan untuk berbicara dengan sahabatnya, Mira. Mira adalah orang yang selalu mendukung hubungan mereka, namun Naya tahu bahwa Mira juga selalu mengingatkan akan batasan-batasan yang mereka hadapi. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di tengah kota, dan Naya langsung membuka pembicaraan begitu mereka duduk.
“Mira, aku nggak tahu lagi harus bagaimana,” ujar Naya, suaranya penuh dengan kebingungannya. “Aku rasa aku mulai ragu dengan hubungan ini. Meskipun aku tahu aku mencintai Ravin, aku merasa seperti ada yang hilang. Semua terasa hanya sekadar janji yang tak pernah benar-benar terwujud.”
Mira mendengarkan dengan penuh perhatian, menatap sahabatnya yang tampak kelelahan. “Aku mengerti perasaanmu, Nay. Kamu merasa terjebak antara dua dunia, kan? Dunia nyata yang penuh dengan tantangan, dan dunia virtual yang kalian buat bersama.”
“Ya,” jawab Naya pelan. “Kadang aku merasa seperti… aku hidup di dua dunia yang berbeda. Dunia yang aku jalani di sini, dan dunia yang kita buat lewat telepon dan pesan. Tapi, itu semua terasa seperti mimpi. Semakin lama, aku merasa semakin jauh.”
Mira menatap Naya dengan tatapan penuh pengertian. “Jarak itu memang menguji banyak hal, Nay. Tidak hanya cinta, tetapi juga kesabaran dan pengertian. Tapi yang lebih penting, kamu harus jujur pada dirimu sendiri. Apa yang kamu inginkan? Apa yang kamu butuhkan dari hubungan ini?”
Itu adalah pertanyaan yang sulit dijawab. Naya tak tahu apakah dia siap untuk terus menunggu, terus berjuang dalam hubungan yang terhalang oleh jarak. Di satu sisi, dia ingin terus bertahan, karena dia mencintai Ravin. Namun, di sisi lain, dia mulai merasa bahwa hidupnya berjalan di tempat, sementara waktu terus berjalan tanpa henti.
Setelah berbicara panjang lebar dengan Mira, Naya kembali ke rumah dengan pikiran yang penuh keraguan. Dia menatap layar ponselnya, berpikir sejenak, sebelum akhirnya membuka aplikasi pesan dan menulis pesan untuk Ravin.
“Hai, Ravin. Aku perlu bicara. Aku merasa kita perlu jujur dengan perasaan kita. Jarak ini semakin berat, dan aku mulai meragukan apakah kita bisa terus bertahan seperti ini.”
Tangan Naya gemetar saat mengetik pesan itu. Dia tahu pesan itu akan mengubah banyak hal, tapi dia juga tahu bahwa dia harus jujur pada dirinya sendiri. Setelah pesan itu terkirim, dia hanya bisa menatap layar, menunggu jawaban dari Ravin dengan perasaan yang tak menentu.
Tidak lama setelah itu, pesan dari Ravin muncul. Hatinya berdebar-debar saat membaca kata-kata yang tertera di layar.
“Naya, aku juga merasa hal yang sama. Aku tahu ini berat, tapi aku nggak mau kita menyerah begitu saja. Aku ingin kita tetap bersama, walaupun jarak ini terus menguji kita. Kalau kita memilih untuk berjuang, kita harus sepakat untuk menghadapi semua rintangan bersama.”
Naya terdiam membaca pesan itu, terhanyut dalam kata-kata Ravin yang penuh kejujuran. Ada sesuatu yang membuat hatinya terasa lega, tetapi juga terikat. Dia tahu keputusan yang dia buat akan sangat menentukan. Apakah dia akan terus berjuang meskipun banyak keraguan? Apakah dia siap untuk melanjutkan hubungan ini, atau apakah sudah waktunya melepaskan?
Dengan napas yang dalam, Naya membalas pesan itu.
“Ravin, aku juga ingin berjuang. Tapi aku butuh waktu untuk berpikir. Aku takut keputusan ini akan menentukan masa depan kita.”
Seketika itu juga, dia merasa sebuah kelegaan. Mungkin ini adalah keputusan besar yang harus diambil—untuk tetap bersama atau pergi—tetapi dia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus mereka ambil dengan hati terbuka.*
Bab 6 Keputusan Menunggu dan Mempertahankan Harapan
Hari-hari berjalan begitu lambat setelah percakapan terakhir dengan Ravin. Naya merasa seperti hidup dalam sebuah kebingungannya sendiri, di mana setiap detik terasa membingungkan dan penuh keraguan. Ada bagian dalam dirinya yang ingin menyerah dan meninggalkan semuanya, merasa bahwa cinta mereka, meskipun kuat, tak akan bisa bertahan dalam waktu yang tak terhingga dan dalam jarak yang begitu jauh. Namun, ada juga bagian dari dirinya yang tak ingin kehilangan Ravin. Cinta itu terlalu berharga untuk dilepaskan begitu saja.
Setiap kali Naya menatap ponselnya, dia selalu berharap melihat pesan darinya. Dan ketika itu terjadi, perasaan rindu yang begitu besar muncul, seolah-olah dunia mereka hanya ada dalam ruang percakapan di layar ponsel. Namun, dia tahu bahwa tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran fisik yang seharusnya mereka rasakan. Meskipun begitu, setiap kata, setiap pesan yang mereka kirimkan, tetap membuat Naya merasa bahwa hubungan mereka belum benar-benar berakhir. Mereka masih terhubung meskipun terpisah oleh ribuan kilometer.
Pagi itu, Naya duduk di ruang tamunya, menatap layar ponsel yang terletak di meja kopi. Pesan Ravin baru saja masuk. Sekali lagi, hatinya berdebar-debar setiap kali melihat nama Ravin muncul di layar. Setiap kata yang tertulis terasa begitu berharga, seolah-olah itulah satu-satunya hal yang menghubungkan mereka. Namun, di balik itu semua, ada pertanyaan yang terus mengganggu pikirannya: Apakah ini cukup? Apakah menunggu tanpa kepastian ini bisa bertahan?
Dengan perasaan campur aduk, Naya membuka pesan tersebut.
“Hai, Naya. Aku tahu kita sudah banyak berbicara tentang masa depan kita, tentang hubungan ini. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku tetap ingin berjuang. Aku ingin kita tetap bersama, meskipun semua ini terasa sulit. Aku ingin kita bisa menunggu dan mempertahankan harapan kita, sampai akhirnya kita bisa saling bertemu di dunia yang nyata.”
Naya membaca pesan itu berulang kali, mencoba menyelami setiap kata yang Ravin tuliskan. Terkadang, kata-kata terasa indah, tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Naya tahu bahwa dia tidak bisa terus-menerus hidup dengan janji-janji yang tak tahu kapan akan terwujud. Namun, ketika dia memikirkan Ravin, hatinya tak bisa mengingkari bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang membuatnya ingin terus berjuang cinta itu.
Dia meletakkan ponsel di atas meja dan menghela napas panjang. Sesuatu dalam dirinya mengatakan untuk berhenti meragu, untuk tidak terus terjebak dalam ketakutan akan masa depan yang tidak pasti. Dia harus memutuskan—apakah dia akan terus menunggu, atau apakah sudah saatnya melepaskan semuanya dan mencari kebahagiaan tanpa Ravin?
Berpikir tentang itu membuat Naya merasa seperti berada di persimpangan jalan yang gelap. Di satu sisi, dia ingin menyerah pada kenyataan—bahwa cinta mereka mungkin tidak akan bertahan, bahwa jarak ini terlalu besar untuk diatasi. Namun, di sisi lain, ada perasaan yang kuat dalam dirinya yang mengatakan bahwa dia tidak bisa melepaskan Ravin begitu saja. Cinta itu belum selesai. Tidak, mereka belum selesai.
Beberapa hari kemudian, Naya memutuskan untuk bertemu dengan sahabatnya, Mira. Mereka duduk di kafe yang sama seperti sebelumnya, dan kali ini, Naya merasakan kebutuhan untuk membicarakan segala hal yang mengganggu pikirannya. Saat Mira menyapanya dengan senyum lebar, Naya langsung mengeluarkan semua yang ada dalam pikirannya.
“Mira, aku nggak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya aku sudah terlalu lama meragu, tapi aku juga takut jika aku melewatkan kesempatan ini. Aku mencintai Ravin, tapi… apakah cinta ini cukup untuk mempertahankan kita? Apakah menunggu saja cukup?”
Mira menatapnya dengan penuh perhatian, kemudian mengambil cangkir kopi dan menyesapnya perlahan. “Kamu harus jujur pada dirimu sendiri, Nay. Kamu tahu apa yang kamu rasakan. Menunggu bukanlah hal yang mudah, tapi jika kamu merasa bahwa hubungan ini masih memiliki harapan, kenapa kamu harus berhenti? Terkadang, berjuang untuk sesuatu yang kita cintai itu sulit, tapi itu juga bisa menjadi keputusan yang paling berharga dalam hidup.”
Naya terdiam, merenungkan kata-kata sahabatnya. Mira benar, memang. Menunggu itu tidak mudah, terutama ketika tidak ada kepastian yang jelas. Tetapi, cinta itu juga tidak selalu berhubungan dengan kepastian. Cinta, terkadang, berhubungan dengan kesediaan untuk berjuang meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi di akhir perjalanan.
“Aku sudah mencoba membayangkan hidup tanpa Ravin,” kata Naya, matanya menerawang jauh. “Tapi rasanya hampa. Aku takut jika aku berhenti menunggu, aku akan kehilangan bagian terbesar dari diriku. Tapi di sisi lain, aku takut jika aku terus menunggu, aku hanya akan semakin tersiksa dengan keraguan.”
Mira meletakkan cangkir kopinya dan memandang sahabatnya dengan serius. “Nay, kadang-kadang kita harus mempercayai perasaan kita, meskipun itu menakutkan. Cinta itu bukan hanya tentang memiliki jawaban pasti, tetapi tentang terus percaya bahwa hal baik akan datang jika kita tetap berusaha. Kamu harus membuat keputusan, dan jika itu berarti menunggu, maka itu adalah keputusan yang kamu buat dengan sepenuh hati.”
Setelah percakapan panjang itu, Naya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ada sesuatu yang tetap menggantung dalam pikirannya. Apa yang dia harapkan? Apa yang sebenarnya dia inginkan dalam hubungan ini? Dia tidak bisa terus hidup dalam keraguan. Jika dia ingin melanjutkan hubungan ini, dia harus siap untuk membuat keputusan yang berani menunggu dan mempertahankan harapan.
Malam itu, setelah kembali ke rumah, Naya membuka ponselnya dan menatap pesan dari Ravin sekali lagi. Dia merasa perasaan yang kuat untuk memberikan jawabannya. Tidak ada lagi keraguan, hanya keputusan yang harus diambil.
Dengan tekad yang bulat, Naya mengetik pesan balasan untuk Ravin.
“Ravin, aku sudah berpikir panjang, dan aku memutuskan untuk menunggu. Aku ingin berjuang bersama kamu. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku yakin, kalau kita tetap mempertahankan harapan kita, kita akan menemukan jalan menuju satu sama lain. Aku akan menunggu, dengan penuh cinta.”
Dia menekan tombol kirim, dan seketika hatinya terasa lebih ringan. Apa pun yang terjadi, Naya tahu bahwa keputusan ini adalah miliknya—keputusan untuk menunggu dan mempertahankan cinta, meskipun jarak tetap memisahkan mereka. Namun, di dalam hatinya, ada harapan yang tak akan pernah padam.*
Bab 7 Rintangan Terbesar yang Menguji Cinta
Sudah lebih dari satu tahun sejak Naya dan Ravin memutuskan untuk berjuang dalam hubungan jarak jauh mereka. Sejak saat itu, banyak hal telah berubah dalam hidup mereka. Meski rasa cinta mereka tetap tumbuh, ada kenyataan yang tidak bisa dihindari: setiap hari, mereka semakin merasakan betapa besar tantangan yang harus mereka hadapi. Jarak yang semula hanya tampak sebagai angka di peta, kini menjadi dinding tebal yang membuat mereka merasa semakin jauh, meskipun hati mereka tetap saling terhubung.
Hari itu, Naya duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan sekumpulan tugas yang belum selesai. Namun, pikirannya tidak fokus pada pekerjaan. Hatinya masih terikat pada pesan terakhir yang dia terima dari Ravin. Ada sebuah ketegangan yang menyelimuti hubungan mereka, dan Naya tahu bahwa ini adalah salah satu ujian terbesar yang harus mereka hadapi.
Beberapa hari yang lalu, Ravin memberitahunya bahwa dia harus pindah ke luar negeri untuk pekerjaan yang lebih baik—kesempatan yang tidak bisa ditolak. Pada awalnya, Naya merasa bahagia untuknya, tahu bahwa ini adalah kesempatan besar yang bisa mengubah hidupnya. Namun, seiring berjalannya waktu, kebahagiaan itu mulai berubah menjadi kekhawatiran yang mendalam. Pindah ke luar negeri berarti jarak antara mereka akan semakin jauh, bahkan lebih jauh dari yang mereka bayangkan.
Pesan-pesan dan panggilan video tak lagi cukup untuk mengobati kerinduan yang semakin memuncak. Setiap kali Naya membayangkan dirinya tanpa Ravin di dekatnya, hatinya terasa hampa. Namun, dia mencoba bertahan, mencoba memahami bahwa cinta tidak selalu datang dengan kemudahan. Setiap hubungan membutuhkan perjuangan, terutama ketika dua hati yang saling mencintai dipisahkan oleh jarak yang semakin besar.
Di luar sana, dunia terus berputar, dan Naya tahu bahwa waktu tidak akan berhenti hanya karena mereka ingin bersama. Namun, ada satu hal yang masih membuatnya bertahan: janji yang mereka buat untuk tidak menyerah. Mereka telah berjanji untuk terus berjuang, untuk menjaga harapan, dan untuk tetap mencintai meski dunia mereka semakin terpisah.
Suatu malam, setelah makan malam sendiri di apartemennya, Naya membuka pesan dari Ravin. Pesan itu terasa berbeda dari biasanya—lebih formal, lebih jauh, dan seperti ada jarak di antara kata-kata yang seharusnya penuh kehangatan.
“Naya, aku tahu ini berat, dan aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargai segala yang telah kamu lakukan selama ini untuk kita. Aku berterima kasih atas kesabaranmu, atas dukunganmu, dan atas cintamu. Tapi aku merasa kita harus bicara tentang arah hubungan ini ke depan. Aku akan pergi ke luar negeri, dan aku tahu itu akan sangat sulit untuk kita.”
Naya membaca pesan itu beberapa kali. Jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang terasa tidak benar, sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Apakah Ravin sedang meragukan hubungan mereka? Apakah dia sudah mulai merasa bahwa hubungan ini terlalu sulit untuk dipertahankan?
Naya tidak bisa menahan perasaan campur aduk yang mulai muncul. Rasa takut, cemas, dan khawatir mulai memenuhi pikirannya. Apakah ini berarti hubungan mereka akan berakhir? Apakah cinta mereka tidak cukup kuat untuk bertahan?
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Naya membalas pesan itu. “Ravin, aku tahu ini sulit. Aku juga merasa berat, tapi aku masih ingin kita bersama. Aku tahu ini akan menjadi ujian terbesar untuk kita, tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja. Aku percaya kita bisa melewati ini, seperti yang kita selalu lakukan.”
Setelah mengirimkan pesan itu, Naya merasa sedikit lebih lega. Tapi saat itu juga, dia merasa semakin ragu. Perasaan yang sama seperti yang dia rasakan beberapa bulan yang lalu apakah menunggu dan berjuang ini masih sepadan?
Beberapa hari kemudian, Ravin menelepon. Naya bisa mendengar suara ragu-ragu di ujung sana, dan itu membuatnya semakin bingung.
“Naya, aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Pekerjaan ini sangat penting, dan aku merasa ini adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Tapi, aku juga tahu, semakin lama aku di sini, semakin sulit bagi kita untuk mempertahankan hubungan ini. Aku takut jarak ini akan membuat kita saling melupakan.”
Mendengar kata-kata itu, hati Naya seakan terhenti. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Ravin akan mengungkapkan rasa takut yang sama. Ketakutan bahwa hubungan ini, meski penuh cinta, akan runtuh di tengah jarak yang semakin jauh. Naya pun menghela napas panjang.
“Ravin, aku juga takut. Aku takut kita akan saling melupakan, aku takut kita akan berubah, dan aku takut jika kita terus begini, kita akan kehilangan semuanya. Tapi aku percaya kalau kita tetap berjuang, kita bisa melalui semuanya. Aku percaya pada kita. Aku percaya kita masih bisa bertahan.”
“Dan jika kita gagal, Naya? Apa yang akan kita lakukan?” tanya Ravin dengan suara yang berat.
Naya terdiam sejenak, tak tahu apa yang harus dijawab. Tidak ada jawaban pasti dalam hubungan jarak jauh. Tidak ada yang bisa memastikan bahwa mereka akan berhasil melewati semua rintangan ini. Tetapi, satu hal yang pasti adalah cinta mereka. Cinta yang tulus, meskipun terhalang oleh banyak hal.
“Kita tidak akan gagal, Ravin. Aku yakin kita tidak akan gagal. Karena kita sudah saling berjanji untuk berjuang, dan aku tidak akan mengkhianati janji itu,” jawab Naya dengan tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya.
Keputusan itu tidak mudah. Naya tahu bahwa jarak, pekerjaan, dan waktu akan terus menjadi rintangan terbesar dalam hubungan mereka. Namun, dia juga tahu bahwa jika mereka ingin mempertahankan cinta ini, mereka harus siap untuk melewati setiap ujian, seberat apa pun itu.
Setelah percakapan itu, Naya merasa sedikit lebih tenang. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi satu hal yang dia yakini adalah bahwa dia tidak akan menyerah. Mereka harus berjuang. Cinta mereka layak untuk dipertahankan.
Hari-hari selanjutnya terasa penuh ketegangan. Namun, Naya terus meyakinkan dirinya bahwa meskipun tantangan mereka semakin besar, cinta yang mereka miliki lebih besar dari segala rintangan yang ada. Mereka masih punya waktu untuk mencari jalan menuju satu sama lain. Mereka hanya perlu mempercayai satu hal: cinta yang kuat, akan menemukan jalan.*
Bab 8 Titik Temu dan Perubahan
Hari itu, Naya merasa sesuatu yang berbeda. Meskipun langit cerah dan udara terasa sejuk, hatinya dipenuhi dengan keraguan yang sama seperti yang dirasakannya beberapa waktu lalu. Namun, kali ini ada perasaan yang lebih kuat dalam dirinya, sebuah keyakinan yang tumbuh dari dalam—bahwa perubahan itu akhirnya akan datang, dan titik temu yang telah mereka nanti-nantikan akan segera terwujud. Meskipun perasaan rindu dan ketakutan masih mengganggu pikirannya, dia tahu bahwa segala perjuangan dan pengorbanan yang telah dilaluinya bersama Ravin akan membuahkan hasil.
Selama berbulan-bulan, mereka berdua telah berusaha untuk bertahan. Cinta mereka telah diuji, bukan hanya oleh jarak, tetapi juga oleh waktu yang terus berjalan, mengikis sedikit demi sedikit rasa percaya diri mereka. Ada saat-saat penuh kebingungan dan keraguan, saat-saat di mana Naya merasa seolah-olah mereka sudah terlalu jauh terpisah. Namun, pada akhirnya, cinta yang mereka miliki, meskipun diselimuti oleh banyak rintangan, selalu menemukan cara untuk bertahan.
Hari itu, setelah beberapa bulan berjuang dengan segala macam keraguan, Naya akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Ravin. Mereka telah merencanakan pertemuan ini selama berbulan-bulan, dan meskipun perasaan takut dan cemas menggerogoti hati Naya, dia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Tidak ada lagi alasan untuk menunda, tidak ada lagi keraguan yang bisa menahannya.
Setelah penerbangan panjang dan perjalanan yang memakan waktu, Naya akhirnya tiba di kota tempat Ravin tinggal. Semua rasa takut yang sempat membebani pikirannya mulai luntur, digantikan oleh rasa harap dan perasaan yang sulit dijelaskan. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa pertemuan ini bukan hanya tentang melihat satu sama lain setelah sekian lama, tetapi juga tentang menguji apakah mereka berdua masih bisa melanjutkan apa yang telah mereka bangun bersama, meski waktu dan jarak telah menguji mereka begitu keras.
Naya berdiri di terminal kedatangan bandara, menatap sekeliling dengan gugup. Beberapa saat kemudian, dia melihat Ravin berjalan menuju tempatnya berdiri. Matanya langsung menangkap sosok pria itu, yang sudah sangat lama dirindukannya. Wajahnya tampak lelah, namun senyum yang tercetak di bibirnya menyiratkan kebahagiaan yang sama dengan yang dirasakan Naya.
Ravin berjalan dengan langkah mantap, dan Naya bisa merasakan detak jantungnya semakin kencang. Semua perasaan yang sempat terkubur dalam keraguan kini kembali muncul, namun kali ini, mereka lebih kuat dan lebih jelas. Mereka saling berhadapan, dan dalam keheningan sejenak, waktu terasa berhenti. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan mereka saat itu. Mereka hanya saling menatap, seolah-olah dunia mereka hanyalah mereka berdua, dan semuanya akan baik-baik saja.
“Akhirnya…” kata Ravin pelan, suara penuh kelegaan, saat tangannya meraih tangan Naya dengan lembut. “Kita sampai di titik ini.”
Naya hanya bisa tersenyum. Matanya berkaca-kaca, dan rasa haru tiba-tiba datang begitu saja. “Iya, kita sampai di sini, Ravin. Aku tidak tahu harus berkata apa. Rasanya seperti mimpi.”
“Mungkin ini memang mimpi,” jawab Ravin, sambil tersenyum lebih lebar. “Tapi aku ingin membuatnya menjadi kenyataan. Aku ingin kita melanjutkan apa yang telah kita mulai, bersama-sama.”
Mereka berjalan keluar dari bandara, berdua, bersama. Saat mereka keluar ke area parkir, Ravin memeluk Naya dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi. Tidak ada kata-kata yang lebih tepat untuk menggambarkan perasaan mereka selain pelukan itu. Pelukan yang terasa begitu lama mereka nantikan, pelukan yang mengandung ribuan rasa yang sulit diungkapkan. Semua keraguan, ketakutan, dan rasa kehilangan yang mereka rasakan selama ini akhirnya menghilang begitu saja, digantikan oleh kenyataan bahwa mereka akhirnya bertemu.
Namun, meskipun pertemuan ini terasa indah, Naya tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Ini hanyalah awal dari sebuah perubahan besar. Mereka berdua tahu bahwa hubungan ini tidak akan menjadi lebih mudah hanya karena mereka sudah bertemu. Mereka harus terus berjuang, bahkan setelah titik temu ini tercapai. Cinta tidak hanya ditemukan dalam pelukan pertama, tetapi juga dalam setiap keputusan yang diambil setelahnya, dalam setiap langkah yang diambil bersama.
Di sebuah kafe kecil di pinggir jalan, mereka duduk berdua, menikmati kopi hangat yang disajikan. Sambil berbicara, mereka menyadari betapa banyak hal yang telah berubah. Mereka berbicara tentang impian-impian mereka, tentang masa depan yang ingin mereka capai, dan tentang bagaimana mereka akan menghadapi semua tantangan bersama.
“Aku tahu ini tidak mudah,” kata Naya, memulai percakapan. “Aku tahu bahwa meskipun kita sudah bertemu, kita masih harus menghadapi banyak hal yang tak terduga. Tetapi, aku ingin bertahan, Ravin. Aku ingin berjuang bersama kamu.”
Ravin mengangguk, wajahnya serius. “Aku juga merasa seperti itu. Meskipun kita sudah sampai di titik ini, aku tahu jalan kita masih panjang. Tapi aku percaya kita bisa melaluinya. Aku ingin kita tetap berjalan bersama.”
Naya menatapnya dengan penuh keyakinan. “Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Kita akan merancang masa depan kita bersama. Kita akan memilih untuk tetap bersama, apa pun yang terjadi,” jawab Ravin dengan penuh keyakinan.
Mereka berbicara tentang langkah-langkah selanjutnya, tentang bagaimana mereka akan membangun kehidupan bersama. Naya merasa lebih tenang sekarang, seolah-olah semua keraguan dan ketakutan yang menggerogotinya akhirnya menemukan jawabannya. Mereka berdua memiliki visi yang sama, dan meskipun ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, mereka tahu bahwa mereka akan menghadapinya bersama.
Ketika malam tiba dan mereka berjalan pulang, tangan mereka saling menggenggam erat, seolah tak ingin melepaskan. Naya merasa bahwa titik temu ini bukan hanya soal mereka bertemu setelah sekian lama, tetapi juga soal bagaimana mereka bisa berubah bersama, menghadapi segala hal yang akan datang, dan membuktikan bahwa cinta mereka lebih besar daripada segala rintangan.
Dengan hati yang penuh harapan, Naya tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Cinta yang mereka miliki akan terus tumbuh, berubah, dan berkembang, karena mereka berdua memilih untuk bersama, memilih untuk berjuang, dan memilih untuk mencintai terlepas dari segala hal yang pernah menghalangi mereka.***
—————-THE END————-