Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

Dosa yang Kucinta

FASA KEDJA by FASA KEDJA
April 6, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 31 mins read
Dosa yang Kucinta

 

Daftar Isi

  • Bab 1: Perkenalan Tak Terduga
  • Bab 2: Awal Ketertarikan
  • Bab 3: Penghalang Pertama
  • Bab 4: Persimpangan Jalan.
  • Bab 5: Cinta yang Terlarang
  • Bab 6: Kebenaran yang Terungkap
  • Bab 7: Pengorbanan
  • Bab 8: Kehilangan dan Penyesalan
  • Bab 9: Pertemuan Kembali
  • Bab 10: Dosa yang Kucinta

Bab 1: Perkenalan Tak Terduga

Nina menatap jam tangannya dengan resah, pikirannya berlarian mencari jawaban atas pertanyaan yang mengusik. Sudah hampir tengah malam, tetapi langkah kaki sang ayah terdengar semakin dekat dari luar kamar. Ia tahu, sebentar lagi pasti ada perintah untuk menuruti kebiasaan yang tak bisa ia hindari. Kejutan malam ini bukan hanya soal acara makan malam yang terlambat, tetapi juga tentang seseorang yang baru saja memasuki hidupnya. Seseorang yang akan mengubah segala hal.

“Nina,” suara sang ayah menggema di pintu kamar, menyadarkannya dari lamunannya. Nina menghela napas, menyembunyikan kecemasannya di balik senyum yang dipaksakan.

“Ya, Ayah?” jawab Nina, mencoba terdengar biasa.

“Rifqi sudah datang. Kami akan duduk di ruang tamu. Ayo, ikut bergabung.”

Nina terdiam sejenak, kata-kata ayahnya mengingatkan dirinya pada sesuatu yang selalu ia dengar namun tidak pernah benar-benar ia pahami. Rifqi—nama itu cukup asing, meskipun ia tahu bahwa Rifqi adalah teman baik ayahnya. Sejak ia kecil, sering mendengar cerita tentang Rifqi yang selalu disampaikan ayahnya dengan senyum penuh penghargaan. Ayahnya selalu mengatakan bahwa Rifqi adalah contoh pria dewasa yang sukses, yang memiliki prinsip hidup yang sangat mengagumkan.

Namun, Nina tidak pernah bertemu langsung dengan Rifqi. Ayahnya sering berkata bahwa dia sudah seperti saudara bagi keluarga mereka, meskipun ia tak pernah benar-benar merasakan kedekatan itu. Mungkin, kedekatan mereka hanya sekedar cerita dalam percakapan santai ayahnya saat di meja makan. Saat itu, Rifqi adalah nama yang mengambang di udara, sebuah kenangan tanpa wajah yang nyata.

Dengan langkah perlahan, Nina menuruni tangga menuju ruang tamu, merasa cemas dan sedikit tidak nyaman. Ada ketegangan yang terasa di dadanya, sesuatu yang membuatnya tidak sabar untuk bertemu orang yang selama ini hanya ia dengar namanya. Bagaimana dia? Seperti apa penampilannya? Apakah dia sebaik yang diceritakan ayahnya?

Ketika memasuki ruang tamu, matanya bertemu dengan sosok yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita. Rifqi duduk dengan santai di salah satu kursi panjang, tersenyum tipis dengan wajah yang sangat tampan. Senyumnya mengandung ketenangan yang begitu kuat, seolah ia sudah begitu lama mengenal Nina. Sepertinya, senyuman itu adalah senyuman yang mengundang rasa nyaman, tetapi sekaligus menyiratkan sesuatu yang tersembunyi. Sesuatu yang belum bisa Nina pahami.

Rifqi berdiri dengan gesit saat melihat Nina masuk. “Selamat malam, Nina,” sapanya dengan suara dalam dan tenang, seperti sudah mengenalnya lama, meskipun mereka baru bertemu.

Nina hanya mengangguk, mencoba untuk tersenyum walaupun hatinya terasa cemas. “Selamat malam, Pak Rifqi.”

“Panggil saja Rifqi. Kita tidak perlu terlalu formal,” jawab Rifqi sambil melangkah maju dan menawarkan kursi di sebelahnya. Nina merasa canggung, tetapi ia merasa tak enak menolak.

“Silakan duduk,” katanya lembut.

Nina duduk perlahan, memperhatikan wajah Rifqi yang tidak bisa ia pungkiri, sangat menarik. Ada kedewasaan yang memancar dari wajahnya, terutama dari bola matanya yang tajam namun penuh kebijaksanaan. Usianya sekitar lima puluh, mungkin sedikit lebih tua dari ayah Nina, namun karisma yang dimilikinya terasa lebih kuat daripada yang bisa ia bayangkan. Pakaian yang dikenakan Rifqi sederhana, namun tetap terkesan elegan, seolah setiap detailnya terjaga dengan sempurna.

“Apa kabar, Nina?” tanya Rifqi dengan senyum ramah, meskipun ia tampak seperti orang yang sudah biasa bergaul dengan orang-orang dari kalangan atas. Namun, yang membuat Nina terkejut, bukan hanya karena sikapnya yang sangat baik dan berbobot, tetapi juga karena mata itu, mata yang begitu dalam, seolah bisa menembus jiwanya.

Nina merasa bingung, dan untuk beberapa saat, ia hanya bisa tersenyum canggung. “Baik, Pak. Terima kasih sudah datang malam ini.”

Rifqi tertawa pelan, “Rifqi, Nina. Panggil saja Rifqi. Aku sudah lama mendengar tentang kamu dari Ayahmu.”

Seketika, Nina merasa ada yang aneh. Ayahnya tak pernah bercerita tentangnya kepada orang lain, terutama bukan tentang dirinya yang baru saja memasuki usia dewasa. Jika ada yang lebih menarik, itu adalah pembicaraan tentang pekerjaan ayahnya. Nina merasa, ada sesuatu yang lebih dalam antara ayahnya dan Rifqi, yang seolah tidak hanya sekadar hubungan teman biasa. Mungkin mereka sudah saling mengenal lama, mungkin lebih dari sekadar sekadar teman.

Suasana pun semakin cair dengan percakapan ringan, namun Nina merasa ada ketegangan di antara mereka berdua yang belum bisa ia definisikan. Terkadang, percakapan ringan itu membuatnya merasa lebih dekat dengan Rifqi, tapi di lain waktu, perasaan itu terasa asing, seolah ada jarak yang sulit dijangkau. Mungkin inilah yang disebut dengan “perkenalan tak terduga,” di mana suatu hubungan tiba-tiba terasa begitu dekat, meskipun baru dimulai.

Saat Rifqi berbicara lebih banyak tentang pekerjaannya yang luar biasa, Nina mulai merasa tertarik. Meski tidak ada yang khusus, ada daya tarik yang membuatnya ingin lebih mengenal pria ini. Namun, apa yang membuat perkenalan ini terasa begitu berbeda, adalah perasaan tidak bisa ia hindari—perasaan yang sulit dijelaskan.

“Rifqi…” gumam Nina dalam hati, “mengapa semua terasa begitu berat?”

Nina menyadari, ia baru saja memasuki sebuah dunia baru yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dunia yang bisa jadi mengubah seluruh jalan hidupnya. Dan Rifqi—sosok pria yang penuh misteri ini—ternyata menjadi bagian dari jalan itu.*

Bab 2: Awal Ketertarikan

Beberapa minggu setelah pertemuan pertama mereka, Nina merasa dunia seakan berubah dalam sekejap. Setiap kali ia bertemu dengan Rifqi, ada perasaan aneh yang datang menghampiri—perasaan yang tidak bisa ia kontrol. Dalam tiap obrolan ringan yang mereka lakukan, senyum dan tatapan mata Rifqi seolah menumbuhkan benih rasa yang semakin hari semakin sulit untuk disembunyikan.

Awalnya, Nina merasa tidak ada yang spesial dari pertemuan mereka. Rifqi hanya seorang teman lama ayahnya, seorang pria yang sangat dihormati dalam lingkup sosial mereka. Tetapi semakin sering mereka bertemu, semakin ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Tak bisa dipungkiri, ada pesona tertentu dalam diri Rifqi yang membuatnya ingin lebih dekat, ingin tahu lebih banyak.

Suatu sore, saat Nina sedang duduk di ruang tamu, Rifqi datang lagi ke rumah mereka. Kali ini, ia datang sendirian tanpa kehadiran ayah Nina. Ada sedikit perubahan dalam sikap Nina, seolah ada perasaan baru yang ia rasakan saat melihatnya. Ketika Rifqi melangkah masuk, Nina hampir bisa merasakan getaran aneh di udara. Pria itu memakai jas cokelat tua yang terlihat sempurna, dengan rambutnya yang tertata rapi dan mata yang selalu penuh dengan ketenangan. Rasanya, tak ada yang bisa menghalangi pesona yang dimilikinya.

Rifqi menyapa dengan suara yang dalam dan menenangkan. “Selamat sore, Nina,” katanya, dan senyumnya membuat Nina merasa seolah dunia menjadi lebih cerah.

“Selamat sore, Pak Rifqi,” jawab Nina, meskipun kali ini ia bisa merasakan sedikit kegugupan dalam suaranya. Sesuatu yang tak biasa, yang bahkan ia sendiri tidak mengerti.

“Kamu sedang apa?” tanya Rifqi sambil duduk di sofa, menyandarkan punggungnya dengan santai.

“Ah, hanya membaca buku,” jawab Nina, mengalihkan pandangannya pada buku yang ia pegang, meskipun ia tahu dirinya tidak benar-benar membaca. Hanya alasan untuk menghindari tatapan Rifqi yang mulai membuatnya gelisah.

“Buku apa?” Rifqi bertanya lagi dengan minat yang tampak tulus.

“Buku psikologi,” jawab Nina, mencoba untuk mengalihkan perhatian. Ia berharap jawaban ini akan mengarah pada topik yang bisa membuat percakapan ini terasa lebih nyaman.

Rifqi tertawa pelan, dan jawabannya membuat Nina terkejut. “Jadi kamu tertarik pada pikiran manusia?”

Nina terdiam sejenak, sedikit terkejut bahwa Rifqi memperhatikan minat kecilnya tersebut. “Iya, saya suka mempelajari orang-orang. Rasanya, kita bisa lebih mengerti tentang diri kita sendiri melalui pemahaman tentang orang lain.”

Rifqi mengangguk, matanya menatap Nina dengan penuh perhatian. “Itu hal yang bagus. Banyak orang menghabiskan hidup mereka tanpa benar-benar mengenal diri mereka sendiri. Terkadang, memahami orang lain bisa membawa kita lebih dekat kepada pemahaman tentang siapa kita.”

Sesuatu dalam kata-kata Rifqi menggetarkan hati Nina. Tiba-tiba, ia merasa seolah pria ini memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang hidup—sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia pelajari dari orang lain. Ada ketenangan dalam dirinya yang membuat Nina merasa bahwa dia bisa berbicara lebih banyak, berbagi lebih banyak, tanpa takut dihakimi.

Namun, ada sesuatu yang aneh dalam hatinya—perasaan bahwa ia mulai merasa nyaman, bahkan lebih dari itu. Semakin sering mereka berbicara, semakin kuat perasaan itu tumbuh. Dalam setiap percakapan mereka, Rifqi selalu tahu bagaimana cara membuat Nina merasa didengarkan, merasa penting. Tetapi di balik kenyamanan itu, ada ketegangan yang sulit diabaikan—sebuah rasa yang datang ketika mereka berbicara lebih dalam, ketika mata mereka saling bertemu dan tidak bisa berpaling.

Satu minggu setelah itu, Rifqi mengundang Nina untuk menemani dirinya ke sebuah pameran seni yang diadakan di kota. Ayah Nina tidak bisa ikut karena kesibukan pekerjaan, sehingga Rifqi mengajak Nina untuk pergi bersamanya. Meskipun sedikit ragu, Nina merasa ini adalah kesempatan yang tidak ingin ia lewatkan. Sebuah kesempatan untuk lebih mengenal pria ini, yang dalam sekejap telah mampu menembus dinding-dinding perasaannya yang terkunci rapat.

Hari itu, Rifqi menjemputnya tepat waktu, mengenakan jas gelap yang membuatnya terlihat begitu mempesona, seperti pria dalam lukisan yang penuh misteri. Ketika Nina memasuki mobilnya, ia merasakan suasana yang berbeda—lebih intim, lebih personal. Perjalanan ke galeri seni itu terasa begitu singkat, meskipun jaraknya cukup jauh. Mereka berbicara tentang berbagai hal—tentang seni, kehidupan, dan tentang mimpi-mimpi mereka.

Nina tidak tahu mengapa, tetapi setiap kata yang keluar dari mulut Rifqi seolah membawa kedamaian. Namun, ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan. Dalam beberapa kesempatan, tatapan mereka bertemu, dan seolah waktu berhenti. Nina merasa hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan berbicara tentang topik lain, tetapi dalam hatinya, ia tahu ada perasaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya—perasaan yang lebih dari sekadar rasa kagum.

Pameran seni itu berakhir lebih cepat dari yang Nina harapkan. Mereka berdiri di depan lukisan terakhir, sebuah karya abstrak yang penuh warna dan emosi. Rifqi berdiri di samping Nina, sedikit lebih dekat dari yang biasa mereka lakukan.

“Lukisan ini menarik, bukan?” Rifqi bertanya sambil memandang karya itu.

“Iya, sangat menarik. Tapi, saya rasa itu lebih dari sekadar lukisan. Ada sesuatu yang bisa kita rasakan, bukan hanya lihat,” jawab Nina, mencoba untuk lebih peka terhadap perasaan yang tiba-tiba hadir.

Rifqi menoleh, dan untuk sesaat, tatapannya tertahan. “Itu adalah perasaan yang benar, Nina. Terkadang, kita hanya perlu merasakan, bukan hanya melihat.”

Nina merasakan jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Rifqi menatapnya kali ini. Ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan, dan Nina mulai merasa, bahwa apa yang ia rasakan bukanlah sekadar ketertarikan biasa. Ini lebih dari itu. **Ini adalah awal dari sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.*

 

Bab 3: Penghalang Pertama

Hari itu terasa berbeda. Nina bisa merasakan ketegangan yang aneh menjalar ke seluruh tubuhnya. Pagi yang biasanya begitu biasa, kini terasa lebih berat. Semua ini berawal dari pertemuan semalam, di galeri seni, ketika Rifqi menatapnya begitu lama dan begitu dalam. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa seolah-olah dunia berputar lebih lambat. Namun, setelah kembali ke rumah, setelah suasana itu menghilang, Nina merasa cemas. Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka? Apa yang sedang tumbuh di dalam dirinya?

Nina mencoba untuk menenangkan dirinya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya perasaan sementara, perasaan yang muncul karena kedekatan mereka yang semakin intens. Mungkin karena mereka sering menghabiskan waktu bersama dalam beberapa minggu terakhir. Mungkin ini hanya rasa kagum pada sosok yang begitu cerdas dan berwibawa, seperti Rifqi. Namun, semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin perasaan itu bertumbuh—perasaan yang tak bisa ia hentikan.

Namun, hidup tidak selalu membiarkan perasaan seseorang berjalan tanpa halangan.

Pagi itu, setelah sarapan, Nina duduk di ruang tamu sambil membaca buku, mencoba mengalihkan perhatian dari pikirannya yang terus-menerus terbayang oleh wajah Rifqi. Ponselnya bergetar, menarik perhatian Nina dari lamunan. Ternyata, itu pesan dari ibunya.

**”Nina, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Ayah sudah mendengar kabar yang tak mengenakkan. Rifqi… ada yang ingin dibicarakan.”**

Pesan itu membuat Nina terkejut, hatinya berdebar kencang. Rifqi? Apa yang telah terjadi? Ia tak bisa membayangkan ada apa-apa dengan Rifqi yang bisa mengganggu keluarga mereka. Rifqi adalah pria yang sangat dihormati oleh ayahnya, bahkan dianggap sebagai seorang saudara. Apakah ada masalah dengan pekerjaan atau hubungan mereka? Nina merasa takut, namun juga khawatir.

Ia segera membalas pesan ibunya dan pergi ke ruang makan untuk menemui sang ayah.

“Kenapa, Ayah?” tanya Nina, berusaha tetap tenang meskipun dalam hati, perasaan cemas dan ketegangan terus merayap.

Ayahnya menatapnya dengan wajah serius. “Nina, kamu tahu kan bagaimana hubungan keluarga kita dengan Rifqi?”

Nina mengangguk, merasa sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan itu. “Tentu, Ayah. Rifqi selalu menjadi teman baik Ayah.”

Ayahnya menarik napas panjang. “Aku dengar dari teman-temanku, Rifqi mungkin sedang menghadapi masalah pribadi. Masalah yang berkaitan dengan hubungan keluarganya. Ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan, Nina.”

Sesuatu di dalam dada Nina terasa mengeras. Masalah keluarga? Apakah ini ada hubungannya dengan dirinya? Apa yang sebenarnya terjadi?

“Nina, aku tidak ingin kamu terlibat lebih dalam dengan Rifqi,” lanjut Ayahnya, membuat Nina terkejut. “Dia seorang teman baik, tetapi ada hal-hal yang perlu kamu pikirkan sebelum melanjutkan hubungan apapun dengannya.”

Kata-kata Ayah itu seperti petir yang menghantam hatinya. “Ayah, maksud Ayah apa? Saya tidak mengerti.”

Ayahnya menatapnya dengan penuh perhatian, seolah mencoba mencari cara yang tepat untuk menjelaskan. “Aku tahu kamu mulai sering bertemu dengannya. Dan aku tidak ingin kamu salah paham. Rifqi adalah pria yang baik, tetapi ada banyak hal dalam hidupnya yang mungkin tidak kamu tahu. Kadang, kita harus berhati-hati memilih orang untuk didekati.”

Kata-kata itu seperti mengguncang seluruh dunia Nina. “Apa maksud Ayah dengan berhati-hati? Apakah ada yang salah dengan Rifqi?” Suaranya mulai gemetar, kebingungannya semakin mendalam.

Ayahnya menatapnya serius. “Aku hanya ingin melindungimu, Nina. Rifqi adalah pria yang sudah berpengalaman, dan kadang pengalaman itu membawa pengaruh yang tidak selalu baik. Ada hubungan yang harus kita jaga—hubungan keluarga kita dengan Rifqi. Jangan sampai ada yang salah paham dan merusak segala yang telah kita bangun selama ini.”

Nina terdiam, tubuhnya terasa kaku. Mungkin Ayah benar. Mungkin ada sesuatu yang harus dia pertimbangkan dengan lebih matang. Tetapi, di sisi lain, hatinya yang lebih dalam merasa perasaan itu semakin kuat. Setiap kali ia berpikir tentang Rifqi, hatinya berdebar. Setiap kali mereka berbicara, perasaan itu terasa begitu nyata. Lalu, bagaimana ia bisa mengabaikan perasaan itu? Bagaimana ia bisa mengesampingkan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya, yang semakin jelas setiap harinya?

Sejak pertemuan pertama mereka, Nina merasakan adanya ketegangan yang sulit dijelaskan, dan perasaan itu hanya tumbuh lebih dalam. Tetapi, kini, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa perasaan itu mungkin membawa bahaya. Ayahnya dengan jelas mengatakan untuk berhati-hati. Ada batas yang tidak boleh dilanggar, dan Rifqi mungkin tidak sebersih yang ia kira. Lalu, apa yang harus ia lakukan?

Hari-hari berikutnya terasa semakin berat. Nina berusaha menghindari pertemuan dengan Rifqi, meskipun hatinya berteriak untuk bertemu. Setiap kali ayahnya mengajak Rifqi ke rumah, Nina merasa cemas dan resah. Mereka berbicara, namun suasananya menjadi kaku dan canggung. Nina merasa ada jarak yang menghalangi mereka. Ada rintangan yang harus mereka lewati—penghalang yang belum tentu bisa mereka atasi.

Rifqi, yang biasanya begitu ramah dan penuh perhatian, kini terlihat lebih serius. Bahkan, dalam beberapa kali pertemuan, ia tampak menghindari pandangan mata Nina. Seolah ada ketegangan di antara mereka yang tidak bisa diungkapkan. Dalam diam, Nina bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang mengganjal—sesuatu yang menghalangi mereka untuk melangkah lebih jauh.

Akhirnya, di suatu malam yang sepi, Rifqi mengirimkan pesan kepada Nina, meminta untuk bertemu. Nina merasa jantungnya berdegup kencang saat membaca pesan itu. Akankah ini menjadi titik balik dari segalanya?

Setelah beberapa saat bimbang, Nina memutuskan untuk pergi. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia tak bisa mengabaikan kenyataan yang ada. Cinta yang terlarang ini harus dihadapi, tetapi penghalang pertama sudah muncul. Dan itu tidak akan mudah untuk diatasi.*

Bab 4: Persimpangan Jalan.

Nina berdiri di depan cermin kamar tidurnya, menatap refleksinya yang tampak cemas. Wajahnya terlihat berbeda, seolah ada beban yang tak tampak namun sangat berat. Setiap detik yang berlalu seolah membawa lebih banyak keraguan. Dalam beberapa minggu terakhir, hidupnya berubah lebih cepat daripada yang ia bayangkan. Semua ini bermula dari Rifqi—seseorang yang seharusnya hanya menjadi bagian dari masa lalu keluarga mereka. Namun, kenyataannya, Rifqi bukan hanya teman ayahnya. Dia adalah seseorang yang kini menduduki ruang besar dalam hati Nina, meskipun ia tak tahu apakah ia harus membiarkannya ada.

Pikiran tentang Rifqi kembali menghantui pikirannya saat malam tiba. Sudah beberapa kali, mereka bertemu secara diam-diam, tanpa sepengetahuan ayah Nina. Setiap kali mereka bertemu, Nina merasa seolah-olah waktu berhenti, seolah dunia hanya ada mereka berdua. Tertawa bersama, berbicara tentang kehidupan, berbagi pandangan tentang dunia. Namun, semakin lama perasaan itu tumbuh semakin kuat, semakin sulit untuk diabaikan.

Namun, seperti yang ayahnya katakan beberapa hari lalu, perasaan itu mungkin lebih berbahaya dari yang Nina kira. Ayahnya menyebut Rifqi sebagai seorang pria yang memiliki banyak lapisan dalam hidupnya, dan ada sisi-sisi tertentu yang tidak boleh dimasuki. Tidak hanya itu, kenyataan bahwa Rifqi adalah teman lama ayahnya membuat situasi semakin rumit. Jika Nina melangkah lebih jauh, akan ada banyak orang yang terluka. Ayahnya pasti akan kecewa, dan keluarga mereka mungkin akan hancur karenanya.

Hidup Nina seperti berada di persimpangan jalan yang sulit. Ia bisa memilih untuk mengikuti perasaan yang semakin tumbuh terhadap Rifqi—mengikuti nalurinya dan mengambil risiko besar, atau ia bisa memilih untuk mundur, menjauhi Rifqi, dan kembali pada kehidupan yang lebih aman. Namun, di dalam hati Nina, sesuatu berbisik keras bahwa tidak ada pilihan yang mudah. Apa yang ia rasakan bukan sekadar nafsu sesaat. Ini adalah sesuatu yang lebih mendalam. Sesuatu yang bahkan tak bisa ia jelaskan.

Saat Nina sedang tenggelam dalam pikiran, ponselnya bergetar. Pesan dari Rifqi.

**”Mau ketemu malam ini? Aku ingin bicara denganmu. Ada sesuatu yang harus kita selesaikan.”**

Nina menatap layar ponselnya lama sekali. Kata-kata itu seolah memanggilnya, menariknya untuk datang dan menemui Rifqi. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang ragu. Apa yang harus ia lakukan? Ia sudah mengetahui risiko yang mungkin datang, tetapi jika ia menolak ajakan ini, apakah ia akan menyesal seumur hidup?

Perasaan bingung dan cemas itu semakin dalam. Di luar sana, dunia terus berjalan seperti biasa, tetapi Nina merasa dirinya berada di tengah pusaran yang tak bisa ia kendalikan. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi, meskipun hatinya penuh dengan kecemasan. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi titik penting. Titik yang akan menentukan arah hidupnya ke depan.

Sore itu, Nina berjalan dengan langkah-langkah cepat menuju kafe kecil di sudut kota, tempat yang biasa mereka kunjungi. Suasana di sana terasa tenang, dengan pencahayaan redup yang membuat tempat itu terasa lebih intim. Rifqi sudah ada di sana ketika Nina tiba. Matanya yang tajam menatap Nina dengan ekspresi yang sulit dibaca, seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan tetapi tak tahu bagaimana memulainya.

“Nina, aku senang kamu datang,” kata Rifqi sambil tersenyum tipis, tetapi senyumnya kali ini tidak sehangat biasanya.

“Ada apa, Rifqi? Kenapa kamu ingin bertemu?” tanya Nina, mencoba terdengar tenang meskipun ada banyak pertanyaan yang menggelisahkan di benaknya.

Rifqi menghela napas, seolah ia sedang berjuang dengan kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Nina, aku rasa kita harus bicara lebih terbuka. Ada banyak hal yang tak bisa aku sembunyikan lagi. Kita sudah mulai terlalu dekat, dan aku takut kalau ini berlanjut lebih jauh, kita akan menghadapi konsekuensi yang tidak bisa kita hindari.”

Nina merasa perasaannya terhenti mendengar kata-kata Rifqi. Konsekuensi? Apa maksudnya? Apakah ini tentang hubungan mereka yang sudah terlalu jauh, tentang perasaan yang tumbuh tak terkendali?

“Apa yang kamu maksudkan?” Nina bertanya dengan suara bergetar.

Rifqi menatap Nina dengan mata penuh penyesalan. “Aku tahu, Nina. Kamu tahu kita tidak bisa terus seperti ini. Aku juga tidak ingin membuatmu berada dalam posisi yang sulit, tapi perasaan kita semakin kuat, dan aku takut kita sudah melangkah terlalu jauh.”

Ada kesunyian sejenak di antara mereka. Nina merasakan hatinya berdebar lebih kencang. Ia bisa merasakan kata-kata Rifqi itu datang dengan berat, tetapi entah mengapa, perasaan yang ia rasakan justru semakin kuat.

“Jadi, kamu ingin berhenti?” tanya Nina, meskipun ia sendiri merasa tak ingin mendengarnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti menyakitkan, tetapi ia tahu ia harus mendengarnya.

Rifqi menggelengkan kepala. “Bukan itu. Aku tidak ingin berhenti. Tapi kita berdua tahu bahwa ada banyak hal yang akan berubah. Kita berada di jalur yang salah, Nina. Kita tak bisa terus bersembunyi dari kenyataan bahwa ini adalah sesuatu yang sangat terlarang.”

Kata-kata Rifqi menggema di kepala Nina. Ini adalah saat di mana semuanya terasa lebih nyata. Semakin ia berusaha untuk mundur, semakin perasaan itu terus menariknya ke dalam. Rifqi benar, mereka memang berada di jalan yang salah. Tetapi, apakah benar ini adalah jalur yang harus dihindari? Apakah mungkin ada jalan tengah, jalan yang memungkinkan mereka untuk tetap bersama tanpa merusak segalanya?

“Kita sudah melangkah terlalu jauh, Rifqi,” kata Nina, suara seraknya menyiratkan keputusasaan. “Aku merasa… aku merasa sudah terlalu dalam terjebak dalam perasaan ini. Tetapi, jika aku terus melangkah, aku tahu banyak yang akan terluka. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Aku tidak ingin membuat semuanya hancur.”

Rifqi menatap Nina dalam diam, seperti merenung dalam-dalam. Lalu, akhirnya ia berkata dengan suara pelan, “Tapi, apakah kamu bisa melepaskannya? Apakah kamu bisa melupakan perasaan ini begitu saja?”

Nina menundukkan kepalanya, merasakan perasaan yang semakin meluap di dadanya. Ia tahu bahwa malam ini akan menentukan segalanya. Mereka berada di persimpangan jalan. Ada dua pilihan, dan keduanya membawa konsekuensi yang besar. Ia harus memilih, dan apa pun yang ia pilih, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.*

Bab 5: Cinta yang Terlarang

Nina berjalan perlahan di halaman rumah, matanya terpejam sejenak menikmati angin sore yang berhembus. Namun, di balik keheningan itu, pikirannya tidak pernah benar-benar tenang. Setiap detik, setiap detik yang berlalu, perasaan yang ia coba sembunyikan semakin kuat dan tak bisa dipungkiri. Cinta yang terlarang ini seolah menguasai tubuh dan pikirannya, membuatnya merasa terperangkap dalam dilema yang tidak bisa ia selesaikan. Apakah ia akan terus melangkah dengan Rifqi, meskipun tahu betapa salahnya hubungan ini? Ataukah ia akan mundur, berusaha mengubur perasaannya dalam-dalam, demi menjaga kedamaian dan kehormatan keluarganya?

Pikiran tentang Rifqi datang lagi—wajahnya, senyumnya, cara dia memperhatikannya. Ada banyak hal yang membuat Nina merasa dekat dengan pria itu. Rifqi bukan hanya seorang teman ayahnya; ia adalah sosok yang begitu memikat, begitu berbeda dari yang lain. Setiap kali mereka berbicara, Nina merasa seperti berada di dunia mereka sendiri, dunia yang jauh dari peraturan-peraturan yang membatasi. Di dalam dunia itu, mereka bebas menjadi siapa pun, bebas berbicara tentang apapun. Ada kenyamanan yang hadir setiap kali Rifqi ada di dekatnya. Namun, kenyamanan itu juga penuh dengan bahaya, dan Nina tahu itu.

Rifqi adalah teman lama ayahnya, seseorang yang sangat dihormati dalam keluarga mereka. Ayah Nina sering berbicara dengan penuh rasa hormat tentang Rifqi, mengenang masa-masa sulit yang telah mereka lewati bersama. Nina selalu melihatnya sebagai figur yang terhormat dan bijaksana, sosok yang seharusnya ada di luar jangkauan perasaan seorang anak muda seperti dirinya. Namun, semakin sering ia bertemu dengannya, semakin ia merasa ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang mengarah pada ketertarikan yang lebih dalam. Ia mulai merasakan betapa kuatnya perasaan itu, perasaan yang tak bisa ia bendung.

Beberapa malam yang lalu, Rifqi datang menemui Nina di kafe tempat mereka biasa bertemu. Ada sesuatu yang berbeda malam itu. Mata Rifqi terlihat lebih serius, lebih gelisah. Mereka duduk berdua, berbicara tentang segala hal, tetapi Nina bisa merasakan ketegangan yang tak terucapkan. Setelah beberapa waktu, Rifqi akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini mengganggunya.

“Aku merasa kita sudah terlalu dekat, Nina,” kata Rifqi, suara berat dan penuh penyesalan. “Aku tidak bisa terus seperti ini. Kamu tahu kita tidak bisa bersama. Kita tahu bahwa hubungan ini tidak akan pernah diterima oleh siapapun, terutama oleh ayahmu. Aku tak ingin merusak segalanya.”

Mendengar itu, Nina merasa seperti dunia runtuh di hadapannya. Rifqi mengatakan hal yang sudah ia ketahui dalam hati, tetapi tidak pernah benar-benar ingin diterima. Cinta mereka adalah sebuah dosa yang tak terucapkan—sesuatu yang tak boleh ada, tetapi tumbuh dengan sendirinya, seperti benih yang tumbuh di tanah terlarang. Perasaan Nina semakin bercampur aduk—antara kebingungan, kemarahan, dan kesedihan. Mengapa harus ada cinta yang terlarang? Mengapa perasaan yang begitu tulus harus bersembunyi di balik batasan yang tidak bisa dilanggar?

Nina menatap Rifqi, mencari jawaban dalam matanya. “Apa yang kita rasakan ini salah, bukan?” ia berkata pelan, suaranya hampir hilang tertelan keheningan malam itu. “Kita tahu itu. Tapi kenapa aku merasa seperti ini? Kenapa perasaan ini semakin kuat?”

Rifqi hanya bisa diam, tatapannya penuh dengan penyesalan. “Karena kita manusia, Nina. Kita tak bisa memilih perasaan kita. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita bertindak terhadap perasaan itu.”

Nina menunduk, memeluk tubuhnya sendiri seolah berusaha menahan semua perasaan yang ingin tumpah. Perasaan itu tidak bisa dihapus begitu saja, meskipun ia tahu bahwa mereka berada di jalur yang salah. Mereka berdua menyadari betapa besar risikonya, bahwa hubungan ini bukan hanya akan merusak keluarga mereka, tetapi juga menghancurkan apa yang telah dibangun oleh ayahnya dan Rifqi selama bertahun-tahun. Kepercayaan dan kehormatan mereka semua akan hancur hanya karena sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan.

Namun, dalam hatinya, Nina merasa kebingungan yang semakin dalam. Ia tahu cintanya kepada Rifqi adalah sebuah pelanggaran. Tetapi, bagaimana bisa ia menahan perasaan yang begitu kuat ini? Bagaimana bisa ia mengabaikan perasaan yang menguasai dirinya setiap kali Rifqi ada di dekatnya? Setiap kali mereka berbicara, Nina merasa seperti ada ikatan tak terlihat yang menarik mereka lebih dekat. Perasaan itu sulit untuk dijelaskan, tetapi jelas, itu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan fisik. Itu adalah sesuatu yang mendalam, yang menyentuh jantungnya.

Saat mereka berdua terdiam, Nina merasakan beban yang semakin berat. Cinta mereka adalah sebuah jalan yang berujung pada kehancuran. Mereka sudah menyadari bahwa mereka tidak bisa bersama, tetapi perasaan itu, perasaan yang semakin berkembang, terasa begitu kuat dan nyata. Rasanya seperti sebuah api yang tak bisa padam, meskipun mereka berdua sudah berusaha untuk memadamkannya.

“Apa yang akan kita lakukan, Rifqi?” Nina akhirnya bertanya, suaranya serak, hampir tidak terdengar. “Apakah kita harus berhenti begitu saja? Apakah kita harus mengorbankan perasaan ini demi keluarga dan segala hal yang benar?”

Rifqi menatapnya dengan tatapan penuh ketulusan dan keraguan. “Aku tidak tahu, Nina. Aku tidak tahu apakah kita bisa berhenti begitu saja. Tapi aku tahu satu hal, kita harus memilih. Kita harus memilih jalan yang tidak akan melukai banyak orang, termasuk diri kita sendiri.”

Nina menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata itu. Ia tahu Rifqi benar, mereka memang harus memilih. Namun, memilih untuk menghindari cinta ini, menghindari Rifqi, berarti menyakiti dirinya sendiri, merobek bagian dari hatinya yang kini terikat padanya. Apakah ia benar-benar bisa melakukannya?

Cinta ini adalah sebuah terlarang, sebuah dosa yang ingin ia hindari, tetapi semakin ia mencoba untuk menjauh, semakin ia merasa terperangkap dalam perasaan yang tak bisa ia lepas. Cinta yang terlarang ini membuatnya bingung, takut, dan terluka. Namun, apakah ia akan bisa melepaskan perasaan itu, atau akankah ia memilih untuk tetap berjalan, meskipun jalan itu penuh dengan rintangan dan kehancuran?*

Bab 6: Kebenaran yang Terungkap

Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Nina duduk di meja makan, secangkir teh hangat di tangannya, namun pikirannya jauh dari ketenangan. Ia merasakan beratnya dunia di pundaknya. Semalam, perasaan yang terpendam semakin menguasai dirinya. Rifqi—pria yang telah merasuk dalam setiap sudut hatinya—akhirnya memberitahunya tentang batasan yang tidak bisa mereka langgar. Namun, dalam benak Nina, pertanyaan itu masih menggantung. Apa sebenarnya yang membuat hubungan ini begitu terlarang? Apa yang telah tersembunyi di balik pertemuan mereka yang semakin intens? Semua ini membawa Nina ke sebuah titik yang tidak bisa ia hindari: kebenaran yang terpendam.

Setelah pertemuan dengan Rifqi, Nina merasa cemas dan bingung. Ia tak tahu apa yang seharusnya ia percayai lagi. Ada banyak hal yang selama ini tersembunyi darinya. Kenyataan bahwa hubungan mereka tidak hanya berisiko untuk masa depan mereka berdua, tetapi juga akan mengubah segalanya bagi keluarga mereka. Ayahnya, yang selalu menjadi pilar kekuatan dan keteguhan dalam hidup Nina, kini seolah menjadi bagian dari rahasia yang tidak bisa ia ungkapkan. Nina tahu ada lebih banyak yang tidak ia ketahui tentang Rifqi, lebih banyak alasan mengapa hubungan mereka tak bisa diteruskan. Namun, ia tidak bisa menutup matanya terhadap kenyataan yang semakin jelas. Sebuah kebenaran yang, jika ia temukan, bisa menghancurkan segalanya.

Nina menghela napas panjang, mencoba untuk menenangkan pikirannya yang semakin kacau. Saat itu, ia mendengar suara pintu terbuka, dan sosok ayahnya muncul di ruang tamu. Tatapan ayahnya tampak berbeda dari biasanya—lebih berat, lebih serius. Ada sesuatu yang tampak mengganggu pikiran pria itu.

“Nina, kita perlu bicara,” kata ayahnya, suaranya tegas namun lembut. “Tentang Rifqi.”

Kata-kata itu langsung membuat jantung Nina berdebar. Ia tahu ini adalah momen yang tak bisa dihindari, momen di mana semua akan terungkap, dan dirinya tidak bisa lagi bersembunyi dari kenyataan. Nina menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk. “Apa yang terjadi, Ayah?” tanyanya, suaranya sedikit gemetar.

Ayahnya duduk di samping Nina, menatapnya dengan tatapan penuh makna. “Aku tahu kamu sudah mulai dekat dengan Rifqi, Nina. Dan aku juga tahu ini bukan hal yang mudah untukmu. Tapi ada banyak hal yang perlu kamu ketahui. Banyak hal yang selama ini aku sembunyikan darimu.”

Nina merasa seolah dunia berhenti berputar. Semua yang terpendam dalam dirinya mulai menuntut jawaban. “Apa yang Ayah sembunyikan, Ayah? Apa yang terjadi dengan Rifqi?” tanya Nina dengan suara yang bergetar.

Ayahnya menarik napas panjang, seolah berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat. “Rifqi bukan hanya teman biasa, Nina. Dia adalah seseorang yang terhubung dengan masa lalu kita. Lebih dari sekadar teman, dia adalah bagian dari kesalahan yang pernah aku buat. Kesalahan yang aku takutkan akan berdampak pada masa depanmu.”

Nina terdiam, tubuhnya terasa kaku. Apa yang Ayah maksudkan dengan ‘kesalahan’? Bagaimana bisa Rifqi menjadi bagian dari masa lalu yang kelam, yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya?

“Ayah,” suara Nina bergetar, “apa maksud Ayah? Apa yang terjadi di masa lalu?”

Ayahnya menundukkan kepala, seolah tidak mampu menatap mata Nina. “Beberapa tahun yang lalu, aku terlibat dalam suatu keputusan yang buruk. Rifqi, dia adalah bagian dari masa lalu itu. Dia… dia adalah anak dari seseorang yang aku khianati. Seseorang yang sangat berpengaruh dalam hidupku.”

Nina merasa dunia seakan berputar lebih cepat. “Rifqi adalah… anak dari orang yang Ayah khianati?” tanyanya, mencoba memahami apa yang baru saja Ayah katakan.

Ayahnya mengangguk perlahan. “Ya, Nina. Rifqi adalah anak dari seorang pria yang aku kecewakan, seorang sahabat yang pernah sangat dekat denganku. Keputusan yang aku buat saat itu bukan hanya merusak hubungan kami, tapi juga menghancurkan hidup orang lain, termasuk hidup Rifqi.”

Nina merasa seperti ada yang runtuh di dalam dirinya. Semua perasaan yang ia rasakan selama ini seolah tertimpa oleh kenyataan pahit ini. Rifqi, pria yang selama ini ia anggap sebagai sosok yang bisa dia percayai, ternyata adalah anak dari seseorang yang ayahnya khianati. Ini bukan hanya tentang hubungan mereka yang terlarang, ini tentang dua dunia yang tak bisa disatukan. Sebuah hubungan yang dipenuhi oleh sejarah yang kelam, sejarah yang seharusnya tidak pernah ia ketahui. Dan kini, kenyataan itu terungkap dengan cara yang menyakitkan.

“Ayah…” Nina mencoba menahan emosinya. “Apakah Ayah mengatakan bahwa Rifqi… adalah musuh keluarga kita?”

Ayahnya mengangguk, wajahnya penuh penyesalan. “Itulah kenyataannya, Nina. Rifqi adalah anak dari pria yang pernah menghancurkan segalanya dalam hidupku. Keputusan yang aku buat dulu bukan hanya merusak hidup orang lain, tapi juga mengikat hidup kita dengan cara yang tak bisa kita hindari.”

Nina merasa seolah-olah tanah di bawah kakinya tiba-tiba hilang. Perasaan cinta yang selama ini tumbuh di dalam hatinya terhadap Rifqi kini terasa seperti racun yang menggerogoti dirinya. Bagaimana bisa ia mencintai seseorang yang terhubung dengan masa lalu yang begitu kelam? Bagaimana bisa ia melangkah lebih jauh dalam perasaan ini jika kebenaran ini menghancurkan segala sesuatu yang ia percayai selama ini?

“Apa yang harus aku lakukan, Ayah?” Nina berbisik, suaranya hampir hilang.

Ayahnya menatapnya dengan penuh kesedihan. “Aku tidak bisa memberitahumu apa yang harus kamu lakukan, Nina. Itu adalah keputusanmu. Namun, aku ingin kamu tahu bahwa hidup ini penuh dengan pilihan. Dan kita harus siap menghadapi konsekuensinya.”

Nina menunduk, mencoba mencerna semua yang baru saja ia dengar. Kini, ia berada di persimpangan jalan yang tak bisa ia hindari. Cinta yang selama ini ia anggap tulus dan murni ternyata terjalin dalam sebuah jaringan kebohongan dan pengkhianatan. Rifqi bukan hanya pria yang harus ia hindari demi kebaikan keluarga, tetapi dia adalah bagian dari masa lalu yang harus dilupakan.

Namun, di dalam hatinya, ada suara yang masih bertahan. Suara yang bertanya apakah ia benar-benar bisa melepaskan semua perasaan itu begitu saja. Akankah ia memilih untuk melupakan Rifqi demi kehormatan keluarga, atau akankah ia menempuh jalan yang lebih berbahaya—jalan yang penuh dengan pengkhianatan dan penderitaan?*

Bab 7: Pengorbanan

Hari itu, Nina terbangun dengan perasaan yang berat. Udara pagi yang sejuk terasa begitu tidak menyegarkan. Langit di luar tampak kelabu, seolah mencerminkan apa yang dirasakannya. Semalam, percakapan dengan ayahnya terus terngiang-ngiang di benaknya. Kebenaran tentang Rifqi, yang ternyata adalah anak dari pria yang pernah dihianati ayahnya, membuatnya terjaga sepanjang malam, bergulat dengan pikiran dan perasaan yang tak kunjung reda.

Perasaan cinta yang ia miliki terhadap Rifqi kini berubah menjadi beban. Cinta yang seharusnya tumbuh murni dan alami kini terasa penuh dengan kebingungannya. Sementara itu, keluarga adalah segalanya bagi Nina. Ayahnya adalah pria yang sangat dihormati dalam hidupnya, dan tidak ada yang lebih penting baginya selain menjaga hubungan baik dengan orang tuanya. Tetapi perasaan terhadap Rifqi—yang semakin kuat—seperti api yang terus membakar, tak bisa dipadamkan meskipun ia sudah berusaha menahannya.

Nina berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang pucat. Ia tidak mengenal lagi dirinya sendiri. Apakah ia akan terus mengikuti kata hatinya dan melawan segala aturan dan larangan yang ada? Ataukah ia akan menanggalkan perasaan itu dan memilih untuk menjaga segalanya tetap utuh, meskipun hatinya terasa hancur? Rasanya, tak ada pilihan yang mudah.

Pagi itu, setelah sarapan, Nina memutuskan untuk pergi ke taman dekat rumah untuk berusaha menenangkan pikiran. Berjalan sendirian di antara pepohonan rindang yang teduh memberinya sedikit kedamaian. Ia merenung, mencoba mencari jawaban. Rifqi. Keputusan yang harus diambil tak hanya berkaitan dengan dirinya, tetapi juga dengan masa depan yang tak pasti.

Sesampainya di taman, Nina duduk di bangku yang selalu ia sukai. Pemandangan yang hijau, burung yang berkicau, dan angin yang lembut seolah berusaha menenangkan hatinya. Namun, perasaan cemas tetap menggantung di dadanya. Semuanya terasa seperti kebohongan yang tak bisa ia hindari. Ia merasa hidupnya telah terbelah. Di satu sisi, ada ayah yang begitu ia hormati, yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang, dan di sisi lain, ada Rifqi—pria yang kini begitu berarti baginya, meski ia tahu betul bahwa cinta mereka adalah dosa.

Perasaan cinta yang ia rasakan untuk Rifqi begitu nyata. Setiap kali mereka bersama, ia merasakan ikatan yang sulit dijelaskan. Mereka berbicara, tertawa, bahkan dalam diam pun mereka bisa merasa nyaman. Tetapi, perasaan itu tidak pernah bisa dibiarkan berkembang begitu saja. Ayahnya adalah orang yang sangat bijaksana dan penuh prinsip. Menjalin hubungan dengan Rifqi adalah sesuatu yang tak hanya akan menyakitkan ayahnya, tetapi bisa menghancurkan seluruh keluarga mereka.

Pikiran tentang pengorbanan mulai muncul dalam benaknya. Apa yang akan ia pilih? Mengorbankan kebahagiaannya untuk menjaga kehormatan dan keharmonisan keluarganya, atau mengejar cinta yang datang dengan begitu banyak risiko? Ia tahu bahwa apapun yang ia pilih, ada sesuatu yang harus dikorbankan—perasaan, harapan, atau bahkan hubungan dengan orang-orang yang ia cintai.

Saat itu, Nina menerima sebuah pesan di ponselnya. Rifqi. Dengan hati yang berat, ia membuka pesan tersebut.

**”Nina, aku tahu kita sudah terlalu lama terjebak dalam kebingungannya. Aku ingin kamu tahu, apa pun yang terjadi, aku akan selalu menghargai perasaan kita. Tapi aku juga tahu kita tidak bisa terus seperti ini. Kita harus memilih, dan aku rasa saatnya tiba untuk kita berdua memilih jalan kita masing-masing.”**

Kata-kata Rifqi terasa seperti petir yang menyambar. Nina merasakan hatinya serasa terbelah menjadi dua. Bagaimana bisa ia memilih antara ayah dan Rifqi? Apakah mungkin ia bisa hidup tanpa Rifqi, atau apakah ia akan menghancurkan segalanya hanya demi mengikuti perasaannya?

Tiba-tiba, ponselnya berdering lagi. Kali ini, panggilan masuk dari ayahnya. Dengan tangan gemetar, Nina mengangkat telepon tersebut.

“Nina, kamu di mana?” suara ayahnya terdengar serius, namun penuh perhatian. “Ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Ini tentang Rifqi.”

Nina terdiam sejenak. Ayahnya pasti ingin membicarakan hal yang sama. Ini adalah titik kritis, saat di mana ia harus membuat keputusan besar yang akan mempengaruhi tidak hanya dirinya, tetapi juga keluarganya.

“Ayah, aku sedang di taman. Apa yang perlu kita bicarakan?” jawab Nina, berusaha menahan suaranya yang bergetar.

“Ayo, kita bertemu. Aku akan menunggu di rumah,” kata ayahnya, suara yang lebih tegas kali ini. Nina bisa merasakan ketegangan di balik kata-kata itu.

Sesampainya di rumah, Nina langsung menuju ruang keluarga, tempat di mana ayahnya sudah menunggunya dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya. Ayahnya terlihat gelisah, seolah ada sesuatu yang sedang ia persiapkan untuk disampaikan.

“Nina, aku sudah tahu tentang perasaanmu terhadap Rifqi,” kata ayahnya, mengawali percakapan dengan kalimat yang tak terduga. “Aku tahu ini sulit bagimu, dan aku tidak ingin kamu merasa tertekan. Tapi, aku ingin kamu mendengarkan dengan hati-hati.”

Nina menatap ayahnya, mencoba memahami maksud di balik kata-kata itu. “Ayah, aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Perasaanku terhadap Rifqi begitu kuat, tapi aku tahu itu salah. Aku tahu hubungan ini tidak bisa diteruskan, dan aku tidak ingin menyakiti siapa pun. Tetapi, aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan ini begitu saja,” kata Nina dengan suara yang hampir tak terdengar.

Ayahnya menatapnya dalam-dalam. “Nina, aku mengerti apa yang kamu rasakan. Aku tahu cinta itu bukan sesuatu yang bisa kita pilih, tetapi kita bisa memilih untuk tidak melangkah lebih jauh, bahkan jika itu artinya kita harus mengorbankan kebahagiaan kita. Cinta ini, jika dilanjutkan, hanya akan membawa penderitaan bagi semua orang. Aku tidak ingin kamu mengorbankan dirimu untuk sesuatu yang akan merusak masa depanmu. Keputusan ini bukan hanya untukmu, tapi juga untuk keluarga kita. Terkadang, kita harus memilih untuk melepaskan, meski itu adalah hal yang paling sulit dilakukan.”

Nina menatap ayahnya, merasa sakit di dadanya. Apa yang ayahnya katakan benar. Mungkin inilah saatnya untuk mengorbankan perasaannya demi kebaikan keluarga. Mungkin ini adalah pengorbanan terbesar dalam hidupnya—melepaskan cinta yang selama ini ia idamkan demi menjaga kedamaian, kehormatan, dan masa depan yang lebih baik.

“Terima kasih, Ayah,” kata Nina dengan suara serak. “Aku akan melakukannya. Aku akan melepaskannya.”

Namun, di dalam hatinya, Nina tahu ini bukanlah akhir dari semuanya. Pengorbanan ini mungkin akan menghancurkannya, tetapi ia tahu, terkadang kita harus memilih untuk melepaskan sesuatu yang kita cintai demi kebaikan yang lebih besar.*

Bab 8: Kehilangan dan Penyesalan

Malam itu, Nina duduk di pojok kamarnya, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Hujan turun dengan deras, membasahi jalanan yang sudah mulai sepi. Suara hujan yang jatuh membuatnya merasa seperti terperangkap dalam kesedihan yang tak bisa dihindari. Kehilangan yang baru saja ia alami begitu terasa berat. Seperti ada bagian dari dirinya yang hancur begitu saja, dan seolah tak ada yang bisa mengembalikannya. Setiap kali ia menutup mata, wajah Rifqi muncul dalam pikirannya, mengingatkan pada keputusan yang baru saja ia ambil.

Pikiran tentang Rifqi dan perasaan yang sudah ia kubur dalam-dalam terus menghantui. Ia sudah memutuskan untuk melepaskan cintanya, memilih jalan yang lebih lurus demi kebaikan keluarga. Namun, keputusan itu bukanlah keputusan yang mudah. Nina tahu bahwa ia tidak hanya kehilangan Rifqi, tetapi juga bagian dari dirinya sendiri—bagian yang kini terasa hilang. Tidak ada lagi tawa bersama, tidak ada lagi momen-momen kecil yang membuatnya merasa hidup. Semua itu berakhir begitu saja, dan ia harus menerima kenyataan pahit itu.

Beberapa hari setelah pertemuannya dengan ayahnya, Nina merasa dirinya semakin terisolasi. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah ia berjalan di jalan yang penuh duri, dengan setiap langkah membawa rasa sakit yang mendalam. Ia berusaha untuk tersenyum di hadapan keluarganya, berusaha menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja. Tetapi di dalam hatinya, ia merasakan kehampaan yang tak tertandingi. Kehilangan Rifqi adalah sebuah luka yang dalam, yang tak bisa disembuhkan begitu saja.

Saat-saat bersama Rifqi, meskipun singkat, terasa seperti kenangan indah yang kini harus ia simpan dalam peti kenangan yang terkunci rapat. Ia mencoba untuk tidak memikirkannya, mencoba untuk menjalani hari-harinya dengan normal, tetapi setiap sudut hidupnya terisi oleh kenangan-kenangan itu. Senyum Rifqi yang lembut, tatapan matanya yang penuh perhatian, dan cara dia membuatnya merasa istimewa—semua itu kini terasa seperti bayangan yang semakin memudar.

Hari-hari berlalu, dan Nina berusaha beradaptasi dengan hidup tanpa Rifqi. Ia kembali fokus pada studinya, berusaha untuk mengisi waktunya dengan kegiatan-kegiatan yang bisa mengalihkan pikirannya. Namun, setiap kali ia sendirian, kenangan tentang Rifqi kembali datang dengan begitu kuat. Perasaan yang tidak bisa ia padamkan, meskipun ia tahu bahwa cinta mereka adalah sesuatu yang terlarang.

Pagi itu, setelah beberapa hari penuh kebingungan, Nina memutuskan untuk pergi ke tempat yang selalu ia tuju saat merasa tertekan—taman dekat rumah. Taman itu adalah tempat yang pernah menjadi saksi bisu dari banyak percakapan yang ia lakukan dengan Rifqi. Tempat di mana perasaan mereka tumbuh tanpa mereka sadari, dan tempat di mana mereka berbicara tentang masa depan yang penuh harapan. Namun kini, taman itu terasa kosong. Tidak ada Rifqi di sana, hanya sunyi dan kenangan yang membelenggu.

Saat ia duduk di bangku taman, Nina merenung, bertanya-tanya apakah ia telah membuat keputusan yang benar. Apakah benar keputusan untuk mengorbankan cinta demi keluarga adalah pilihan yang tepat? Di satu sisi, ia merasa puas dengan keputusan itu. Ayahnya kini lebih tenang, dan hubungan mereka kembali seperti semula, meskipun dengan rasa hampa yang tak bisa dijelaskan. Tetapi di sisi lain, hatinya terasa seperti kosong. Ia telah melepaskan Rifqi, tetapi perasaan itu tetap ada, bersemayam dalam dirinya, tak bisa pergi begitu saja.

Kenangan tentang Rifqi muncul lagi. Saat pertama kali mereka berbicara, saat pertama kali mereka saling tertawa tanpa beban, saat pertama kali ia merasa benar-benar hidup. Semua itu terasa begitu nyata, dan kini terasa seperti ilusi yang telah hilang. Nina merasa seperti telah kehilangan bagian dari dirinya yang sangat berarti, dan penyesalan mulai menyusup dalam hatinya.

“Tapi aku harus bagaimana?” Nina berbisik pada dirinya sendiri. “Aku telah memilih jalan ini. Aku tahu ini yang terbaik. Ayahku benar. Tapi kenapa rasanya begitu sulit? Kenapa aku merasa seperti mengorbankan kebahagiaanku sendiri?”

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, semakin ia berusaha untuk melupakan Rifqi, semakin perasaan itu menyakitkan. Kehilangan adalah hal yang paling sulit untuk diterima. Terkadang, kita harus memilih antara dua hal yang sangat kita inginkan, dan terkadang keputusan itu tidak datang tanpa harga yang harus dibayar.

Nina berbalik, berusaha untuk meninggalkan taman itu, tetapi langkah kakinya terhenti ketika ia melihat sosok yang sudah lama ia harapkan, tetapi juga yang ia takuti. Rifqi. Dia berdiri di ujung taman, menatapnya dengan tatapan yang begitu dalam, seolah ingin mengatakan sesuatu, sesuatu yang telah lama terpendam.

Rifqi melangkah mendekat, wajahnya terlihat penuh emosi yang tak bisa disembunyikan. “Nina,” panggilnya, suaranya serak. “Aku tahu kita sudah membuat keputusan masing-masing. Tapi aku tidak bisa menutup mata terhadap perasaan ini. Aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kita masih saling mencintai.”

Nina terdiam. Jantungnya berdegup kencang, dan air mata mulai menggenang di matanya. Bagaimana mungkin Rifqi muncul di hadapannya sekarang? Setelah semua yang telah mereka lewati, setelah keputusan yang telah diambil, ia masih berdiri di sini, menawarkan harapan yang sudah hancur.

“Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan, Rifqi,” kata Nina dengan suara bergetar. “Aku sudah memilih untuk melepaskanmu, untuk melupakan semua ini. Tetapi kenapa aku merasa seperti aku kehilangan semuanya? Kenapa aku merasa seperti tidak bisa hidup tanpa cinta ini?”

Rifqi menatapnya, ada keputusasaan dalam matanya. “Nina, aku juga merasa sama. Tapi aku tak bisa memaksamu untuk memilih jalan yang salah. Kita sudah tahu apa yang akan terjadi jika kita terus bersama. Tapi aku… aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu, dan aku akan selalu mencintaimu.”

Kata-kata itu menghantam hati Nina. Ia tahu bahwa cinta mereka adalah dosa, tetapi mengapa ia merasa begitu sulit untuk melepaskan Rifqi? Mengapa ia merasa seolah seluruh hidupnya telah hancur dalam satu keputusan yang mungkin tak pernah seharusnya ia buat?

Air mata akhirnya jatuh. “Aku menyesal, Rifqi. Aku menyesal harus melepaskanmu,” kata Nina, suaranya serak dengan tangis. “Tapi aku tahu, ini adalah yang terbaik. Aku hanya berharap waktu bisa menghapuskan semua rasa sakit ini.”

Rifqi mendekat, meraih tangan Nina dengan lembut. “Aku akan selalu ada untukmu, Nina. Meskipun kita tidak bisa bersama, aku akan selalu mencintaimu.”*

Bab 9: Pertemuan Kembali

Waktu terus berlalu, namun rasa kehilangan Nina terhadap Rifqi tak pernah benar-benar hilang. Setiap hari terasa seperti menjalani rutinitas yang kosong—sebuah kehidupan yang tidak pernah benar-benar utuh. Ia berusaha meneruskan langkahnya, berfokus pada kuliah dan kegiatan sehari-hari, tetapi bayang-bayang Rifqi selalu ada di setiap sudut pikirannya. Ia tak bisa menghindar, tak bisa melupakan masa-masa indah yang mereka lalui bersama.

Tiga bulan sudah berlalu sejak perpisahan itu, dan meskipun Nina mencoba untuk melupakan, hatinya masih merasa hampa. Ayahnya semakin memperhatikannya, dan Nina merasa seolah ia harus menunjukkan bahwa ia telah melakukan hal yang benar, bahwa ia telah memilih jalan yang benar. Namun, dalam dirinya yang terdalam, ia tahu bahwa tidak ada keputusan yang bisa menghilangkan perasaan yang ia simpan selama ini.

Pada suatu hari yang cerah, Nina menerima undangan untuk reuni kampus. Acara itu akan diadakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kampus mereka dulu. Sebuah acara yang sebenarnya ia hindari, karena takut bertemu dengan orang-orang yang mengingatkan pada masa lalu, pada saat-saat bahagia bersama Rifqi. Namun, setelah berpikir sejenak, Nina memutuskan untuk datang. Ia merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk mencoba melangkah maju, untuk tidak terjebak di masa lalu.

Hari acara tiba, dan Nina mengenakan gaun sederhana yang ia pilih dengan hati-hati. Ia berusaha tampil percaya diri, meskipun dalam hatinya masih ada kegelisahan yang menyelimuti. Sesampainya di kafe, suasana ramai dan penuh tawa, tapi itu hanya membuatnya merasa lebih asing. Ia mencari tempat duduk yang agak terpisah, berharap untuk tidak terlalu terlihat. Banyak teman-teman lama yang datang, tetapi Nina merasa terasingkan di tengah keramaian itu.

Saat ia duduk di meja, menyendiri sejenak sambil menikmati secangkir kopi, tak disangka ada seseorang yang menghampirinya. Seseorang yang sudah sangat ia kenal, seseorang yang seharusnya tak pernah ia harapkan untuk muncul lagi dalam hidupnya. Rifqi.

Nina tertegun sejenak. Wajahnya terasa beku, jantungnya berdebar lebih cepat. Ia menatap Rifqi yang kini berdiri di depannya, mengenakan setelan rapi yang membuatnya terlihat lebih dewasa dan matang. Tak ada yang berubah dari caranya menatap Nina—masih penuh perhatian dan rasa sayang yang sama. Namun, Nina tahu bahwa waktu telah merubah segalanya. Mereka tidak lagi bisa menjadi seperti dulu.

Rifqi tersenyum tipis, seolah menunggu respons Nina. “Nina,” katanya dengan suara yang hangat, namun ada kesan ragu di dalamnya. “Kau datang juga.”

Nina memaksakan sebuah senyuman, meskipun hatinya terasa teriris. Ia mengangguk pelan. “Aku datang, ya. Aku… hanya ingin mencoba sedikit melupakan masa lalu,” jawabnya, suaranya lebih pelan dari yang ia inginkan.

Rifqi duduk di hadapannya tanpa menunggu izin. “Kau terlihat berbeda,” katanya pelan. “Lebih dewasa. Apa kabar?”

Nina menunduk, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. “Aku baik-baik saja,” jawabnya, meskipun ia tahu itu tidak sepenuhnya benar. Bagaimana bisa ia mengatakan bahwa ia baik-baik saja jika hatinya masih merindukan Rifqi? Bagaimana bisa ia mengatakan bahwa semuanya normal jika setiap detik ia terus-menerus teringat padanya?

Sementara mereka duduk diam, kesunyian yang panjang terasa begitu berat. Semua kenangan itu kembali hadir dalam pikirannya, kenangan akan tawa mereka, percakapan panjang yang tak pernah habis, serta janjinya untuk saling mendukung. Semua itu terasa seperti mimpi yang kini jauh dari jangkauan.

Akhirnya, Rifqi yang打 pertama membuka pembicaraan lebih lanjut. “Aku tahu ini canggung,” katanya, wajahnya menunjukkan ketulusan. “Aku tidak berharap kita akan bertemu seperti ini. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu, Nina. Setelah semuanya berlalu, setelah… kita berpisah.”

Nina menatap Rifqi dengan penuh emosi. “Aku baik-baik saja. Tapi… setelah semua yang terjadi, aku merasa kehilangan. Aku berusaha menjalani hidup tanpa perasaan ini, tapi itu tidak mudah. Semua yang kita alami, semua yang kita rasakan, itu tidak bisa dihapus begitu saja.”

Rifqi menghela napas panjang, seolah-olah perasaan yang mereka simpan bersama selama ini begitu berat untuk diungkapkan. “Aku merasa hal yang sama, Nina. Aku tak bisa menepis perasaan ini. Aku tahu kita telah memilih jalan masing-masing, tetapi apakah itu benar-benar pilihan yang tepat? Mengapa aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku?”

Nina menatap Rifqi, merasakan kehangatan yang dulu pernah ada di antara mereka. Tapi ia tahu, mereka tidak bisa kembali lagi ke masa itu. “Rifqi, kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Nina, suaranya serak. “Aku sudah membuat keputusan. Aku memilih untuk melepaskanmu, memilih untuk menghormati keputusan ayah dan keluargaku. Aku tahu ini yang terbaik, meskipun rasanya sangat sulit.”

Rifqi diam, seperti meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Nina. “Aku tahu, Nina. Aku tahu itu yang terbaik untukmu, untuk kita. Tapi aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak merasa kehilangan. Aku tidak bisa berpura-pura bahwa perasaan ini hilang begitu saja. Aku mencintaimu, Nina. Dan itu bukan sesuatu yang bisa aku buang begitu saja.”

Suasana semakin berat, dan Nina merasa seperti terhimpit oleh semua perasaan yang ia coba kubur. Dia tahu Rifqi merasa hal yang sama, tetapi mereka tidak bisa bersama. Cinta mereka adalah cinta yang terlarang, cinta yang membawa mereka pada perpisahan yang tak bisa dihindari.

“Aku tahu, Rifqi,” jawab Nina dengan suara pelan, air mata mulai menggenang di matanya. “Aku juga mencintaimu. Tapi aku juga mencintai keluargaku. Aku tidak bisa mengkhianati mereka. Aku harus memilih jalan ini, meskipun itu berarti kehilanganmu.”

Rifqi menunduk, menghela napas panjang. “Aku mengerti, Nina. Aku tahu kita tidak bisa bersama, dan aku tidak ingin membuatmu semakin tersiksa. Tapi… aku akan selalu menghargai kenangan yang kita miliki. Aku akan selalu mencintaimu, meskipun kita tidak bersama.”

Mereka berdua duduk dalam diam, masing-masing tenggelam dalam perasaan mereka. Mungkin pertemuan ini bukanlah untuk mengubah segalanya, tetapi lebih kepada menerima kenyataan. Menerima bahwa mereka tidak bisa bersama, meskipun cinta itu tetap ada.

“Aku akan selalu menghargaimu, Nina,” kata Rifqi akhirnya, dengan suara yang berat. “Terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku.”

Nina menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Rifqi. Aku akan selalu mengingatmu.”

Dengan itu, pertemuan mereka berakhir tanpa ada kata-kata manis atau janji untuk bertemu lagi. Hanya ada rasa kehilangan yang tak terucapkan, dan kenangan yang akan selalu ada dalam hati mereka, meskipun mereka tahu bahwa perpisahan ini adalah yang terbaik bagi keduanya.*

Bab 10: Dosa yang Kucinta

Nina berdiri di depan jendela kamarnya, menatap keluar ke malam yang gelap. Hujan kembali turun, dengan rintikannya yang membawa ingatan-ingatan masa lalu, ingatan tentang Rifqi. Dosa yang ia rasa sejak pertemuan kembali itu kini terasa seperti beban yang tidak bisa ia hindari. Cinta yang terlarang, yang ia pendam begitu lama, kini kembali muncul ke permukaan, membawa kebingungannya ke titik yang tak terelakkan. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Rifqi adalah sebuah dosa, tapi mengapa perasaan itu tetap hidup? Mengapa perasaan itu tidak bisa ia hilangkan begitu saja?

Setiap malam, setelah pertemuan mereka yang penuh emosi itu, Nina merasa semakin sulit untuk menerima kenyataan. Hidupnya telah berubah sejak ia memutuskan untuk melepaskan Rifqi. Semua itu berawal dari niat untuk menjaga keluarganya, untuk menghormati keputusan ayahnya yang sangat menginginkan dirinya tetap berada di jalur yang aman. Tetapi, semakin ia berusaha untuk bergerak maju, semakin ia merasa terjebak dalam labirin perasaan yang tidak bisa ia selesaikan.

Hari demi hari berlalu, dan Nina berusaha kembali menjalani hidup seperti biasa. Kuliah, bertemu teman-teman, berbicara dengan keluarganya—semuanya terasa berjalan lancar. Namun, hatinya tetap tak tenang. Cinta yang ia rasakan terhadap Rifqi adalah sesuatu yang ia coba ingkari, sesuatu yang ia coba tolak, tapi itu adalah bagian dari dirinya yang tidak bisa ia lepaskan begitu saja. Setiap kali ia mencoba mengabaikannya, rasa itu datang kembali dengan kekuatan yang lebih besar.

Nina tahu bahwa cinta itu salah. Mereka tidak bisa bersama. Rifqi bukan hanya teman yang dekat, dia adalah seseorang yang bahkan bisa merusak semuanya jika hubungan mereka terus berlanjut. Mereka berasal dari dunia yang berbeda. Ayahnya sudah memberi peringatan yang jelas, dan itu cukup untuk membuatnya takut akan konsekuensi yang lebih besar. Namun, ketika perasaan itu kembali datang, ia merasa seperti berada dalam perang batin yang tak bisa ia menangkan.

Satu malam, setelah kuliah, Nina memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumah. Tempat itu selalu menjadi tempat pelarian bagi banyak orang yang merasa terjebak dalam kehidupannya. Ia berharap bisa menemukan kedamaian di sana. Berjalan tanpa tujuan yang jelas, hanya untuk membebaskan pikirannya. Namun, saat ia menoleh ke arah bangku yang biasa ia duduki, ia melihat seseorang yang sudah lama tak ia lihat—Rifqi.

Rifqi duduk di bangku taman, menatap ke depan, seolah-olah menunggu seseorang atau mungkin hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Saat melihat Nina, matanya langsung bertemu dengan mata Nina, dan dalam sekejap, dunia seakan terhenti. Hanya ada mereka berdua, di tengah malam yang sunyi, di bawah langit yang gelap dan penuh rintik hujan.

Tanpa berkata apa-apa, Nina berjalan menuju bangku tempat Rifqi duduk. Hatinya berdebar, seperti ada suara yang memanggilnya untuk mendekat. Ia tahu bahwa pertemuan ini bukan kebetulan. Entah kenapa, perasaan itu kembali muncul, seakan mereka tak pernah benar-benar terpisah.

Rifqi tersenyum tipis saat Nina duduk di sampingnya. “Kau datang juga,” katanya dengan suara lembut, seolah mengerti bahwa pertemuan ini bukan tanpa alasan.

Nina hanya mengangguk pelan, merasa canggung. Ia memandang ke arah lain, berusaha menenangkan hatinya yang mulai terasa kacau. “Aku… hanya ingin berjalan sebentar. Tidak ada tujuan,” jawab Nina dengan suara pelan, meskipun ia tahu kata-katanya tak sepenuhnya jujur. Bagaimana bisa ia mengatakan bahwa ia hanya datang untuk bertemu dengan Rifqi, meskipun itu adalah keinginannya yang tak bisa ia pungkiri?

Rifqi tidak berkata apa-apa. Hanya ada keheningan di antara mereka, keheningan yang penuh dengan perasaan yang tak terucapkan. Beberapa detik berlalu, dan akhirnya Rifqi memecah kesunyian. “Nina, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku ingin kau tahu satu hal—aku tidak bisa hidup tanpa cinta ini. Aku tidak bisa terus bersembunyi dari perasaan kita. Aku tahu kita tidak bisa bersama, tetapi aku tidak bisa berpura-pura bahwa ini bukan bagian dari diriku.”

Kata-kata Rifqi membuat Nina terdiam. Ia tahu persis apa yang Rifqi rasakan. Ia merasakannya juga. Cinta itu—dosa yang mereka rasakan bersama—adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari. Namun, apakah ia siap untuk menyerah pada perasaan itu? Apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan bahwa memilih cinta ini berarti mengorbankan semua yang telah ia bangun?

“Aku tidak bisa, Rifqi,” jawab Nina dengan suara serak, hatinya terasa berat. “Aku tidak bisa mengingkari kenyataan. Aku sudah memilih jalan ini. Aku tahu ini adalah keputusan yang benar. Aku tidak bisa terus hidup dalam dosa yang kita ciptakan bersama.”

Rifqi menunduk, meresapi kata-kata Nina. Ia tahu betul bahwa mereka berdua tidak bisa bersama. Tetapi, perasaan itu—perasaan yang tak bisa mereka kontrol—selalu ada. “Aku mengerti, Nina. Aku juga tahu bahwa kita tidak bisa bersama. Tetapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak akan pernah melupakanmu. Aku tidak akan pernah bisa melupakan cinta ini.”

Nina menunduk, menahan air mata yang ingin jatuh. Rasanya seperti ada bagian dari dirinya yang hancur begitu saja. Semua yang mereka alami bersama—semua tawa, percakapan, dan kenangan—sekarang hanya menjadi bagian dari masa lalu yang tak bisa mereka kembalikan. Ia ingin sekali mengatakan bahwa ia akan bisa melupakan Rifqi, tetapi itu tak mungkin. Cinta itu—cinta yang terlarang—akan tetap ada dalam dirinya, meskipun mereka tidak bisa bersatu.

“Aku juga akan selalu mengingatmu, Rifqi,” kata Nina dengan suara yang hampir tak terdengar. “Meskipun kita tidak bisa bersama, aku akan selalu menghargai setiap detik yang kita miliki bersama. Itu adalah kenangan yang akan aku bawa sepanjang hidupku.”

Perasaan Nina semakin kacau. Ia tahu bahwa cinta mereka adalah dosa, tetapi ia juga tahu bahwa itu adalah dosa yang ia cintai. Mungkin tidak ada jalan untuk kembali, mungkin tidak ada jalan untuk mengubah keputusan yang telah mereka buat. Tetapi perasaan itu—perasaan yang tumbuh begitu kuat—akan selalu ada, seperti api yang tak pernah padam.

Dengan satu sentuhan tangan yang lembut, Rifqi menarik Nina ke dalam pelukannya. Dalam pelukan itu, mereka tak perlu berkata apa-apa. Mereka hanya merasakan kehangatan satu sama lain, merasakan perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mungkin mereka tidak bisa bersama, tetapi cinta itu akan selalu hidup dalam hati mereka. Dan itu adalah dosa yang mereka cintai, meskipun itu adalah dosa yang akan mereka bawa sepanjang hidup mereka.***

—–THE END——

Source: YONGKI
Tags: emotionalconfilictforbiddenlove
Previous Post

HATI YANG TAK TERPINDAH

Next Post

ASMARA YANG BERBALUT LUKA

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
ASMARA YANG BERBALUT LUKA

ASMARA YANG BERBALUT LUKA

JAUH DIMATA ,DEKAT DIHATI

JAUH DIMATA ,DEKAT DIHATI

SAAT HATI MELAWAN TAKDIR

SAAT HATI MELAWAN TAKDIR

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id