Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

Dosa di Balik Gaun Pengantin

FASA KEDJA by FASA KEDJA
April 25, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 20 mins read
Dosa di Balik Gaun Pengantin

 

 

Daftar Isi

  • Bab 1: Gaun Putih, Hati Hitam
  • Bab 2: Reza, Dosa, dan Rahasia
  • Bab 3: Pernikahan Tanpa Hati
  • Bab 4: Bayang-Bayang Masa Lalu
  • Bab 5: Api dalam Diam
  • Bab 6: Antara Cinta dan Pengkhianatan
  • Bab 7: Makin Sulit untuk Menjauh
  • Bab 8: Hati yang Berkhianat
  • Bab 9: Garis Tipis Antara Cinta dan Dosa
  • Bab 10: Dosa yang Terbongkar
    • Epilog: Harga dari Sebuah Pengkhianatan

Bab 1: Gaun Putih, Hati Hitam

Nayla menatap pantulan dirinya di cermin besar yang berada di dalam kamar pengantin. Gaun putih dengan renda halus membalut tubuhnya dengan sempurna, menciptakan kesan anggun dan suci. Seharusnya ia merasa bahagia, seharusnya ini menjadi hari paling bersejarah dalam hidupnya. Namun, matanya yang sembab dan ekspresi kosongnya justru memantulkan kebalikannya—hati yang kacau, jiwa yang bergemuruh.

Tangannya gemetar saat menyentuh gaun yang dikenakannya. Gaun itu begitu indah, tetapi di balik keindahannya, ada beban yang terasa menyesakkan. Semua orang di luar sana tengah merayakan kebahagiaan pernikahannya, sementara dirinya merasa seperti terjebak dalam kepalsuan.

Pintu kamar diketuk pelan, lalu terbuka sedikit. “Nay, kamu sudah siap?” suara lembut itu berasal dari **Dina**, kakak perempuannya yang selama ini selalu menjadi pelindungnya.

Nayla mengangguk kecil. “Iya, Kak. Aku siap.”

Dina tersenyum dan melangkah masuk, memandangi adiknya dengan penuh kebanggaan. “Kamu cantik sekali. Arga pasti akan sangat bahagia melihatmu.”

Mendengar nama itu, dada Nayla semakin sesak. **Arga**, lelaki yang telah melamarnya dengan penuh ketulusan. Lelaki yang selama ini mencintainya dengan begitu besar, tetapi justru tak memiliki tempat di hatinya. Karena hatinya telah lama tertambat pada seseorang yang tidak seharusnya ia cintai.

Orang itu adalah **Reza**—suami kakaknya sendiri.

Seketika, ingatan malam tadi kembali menyeruak ke dalam benaknya.

***Malam sebelum pernikahan…***

Nayla duduk di balkon rumahnya, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Ia tak bisa tidur, pikirannya terlalu kacau. Perasaan bersalah menghantui dirinya. Bagaimana mungkin ia akan menikahi Arga, sementara hatinya masih terikat pada lelaki lain?

Suara langkah kaki mendekat, lalu berhenti di belakangnya. “Kamu belum tidur?”

Nayla menegang seketika. Ia mengenali suara itu—suara yang selalu membuat hatinya bergetar.

Ia menoleh perlahan, dan benar saja. **Reza** berdiri di sana, mengenakan kaus abu-abu dan celana santai. Mata tajamnya menatap Nayla dengan sorot yang sulit diartikan.

“Aku nggak bisa tidur,” jawab Nayla pelan.

Reza mendekat, berdiri tepat di sampingnya. Hembusan angin malam membuat aroma khas tubuhnya tercium begitu jelas. Hatinya semakin berdebar.

“Kamu nggak bahagia, Nay?” suara Reza terdengar lirih.

Nayla terdiam. Seharusnya ia mengatakan bahwa ia bahagia. Seharusnya ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa menikahi Arga adalah keputusan terbaik. Tetapi, kata-kata itu seolah tersangkut di tenggorokannya.

“Nayla,” panggil Reza lagi, kali ini dengan suara lebih dalam.

Dan dalam sekejap, segala batasan yang seharusnya ada di antara mereka runtuh. Entah bagaimana, tangannya terangkat, menyentuh pipi Nayla dengan lembut. Hanya butuh satu tarikan napas sebelum Nayla menutup matanya, membiarkan bibir mereka saling bertemu dalam ciuman yang seharusnya tidak pernah terjadi.

***Sekarang…***

Nayla membuka mata dengan cepat, menarik napas panjang. Ia harus melupakan semua itu. Apa yang terjadi semalam adalah sebuah kesalahan besar—dosa yang harus ia kubur dalam-dalam.

Dina mengusap tangannya dengan lembut, membawanya kembali ke realitas. “Ayo, Nay. Semua orang sudah menunggu.”

Dengan langkah berat, Nayla berjalan keluar dari kamar, meninggalkan bayang-bayang dosanya di balik gaun pengantinnya.*

Bab 2: Reza, Dosa, dan Rahasia

Nayla berdiri di pelaminan dengan senyum yang dipaksakan. Tangannya yang menggenggam tangan **Arga** terasa dingin, seolah tubuhnya menolak semua ini. Di sekelilingnya, tamu undangan bersorak bahagia, memberi selamat atas pernikahan yang baru saja mereka ikrarkan.

Arga, lelaki yang kini sah menjadi suaminya, menatapnya dengan penuh cinta. Tatapan yang seharusnya membuat Nayla merasa tenang, tapi justru membuatnya semakin merasa bersalah.

Di antara riuhnya pesta pernikahan, Nayla mencari sosok yang sejak tadi menghantui pikirannya. **Reza.**

Dan saat matanya akhirnya menemukan sosok itu, jantungnya berdebar kencang.

Reza berdiri tak jauh dari pelaminan, berdampingan dengan **Dina**, istrinya. Matanya menatap Nayla tanpa ekspresi, tetapi dalam kedalaman tatapannya, Nayla bisa merasakan ketegangan yang sama.

Mereka berdua sama-sama terjebak dalam kesalahan yang sulit diperbaiki.

***Malam itu…***

Setelah ciuman yang seharusnya tidak pernah terjadi, Nayla dan Reza sama-sama terdiam. Nafas mereka memburu, jantung berdegup cepat. Mereka sadar telah melewati batas yang tidak seharusnya.

“Apa yang kita lakukan?” suara Nayla nyaris berbisik, penuh kepanikan.

Reza mundur selangkah, mengusap wajahnya dengan kasar. “Ini salah… kita nggak boleh…”

Nayla menggigit bibirnya, menahan rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. “Aku akan menikah besok, Reza. Kita harus melupakan ini.”

Reza mengangguk, meskipun ekspresinya menunjukkan hal lain. “Ya… kita harus melupakan ini.”

Namun, mereka berdua tahu bahwa kata-kata itu tidak akan semudah itu menjadi kenyataan.

***Sekarang…***

Nayla tersentak saat merasakan genggaman tangan Arga yang lebih erat. “Sayang, kamu kenapa? Kamu terlihat tegang,” bisik Arga lembut.

Nayla buru-buru menggeleng. “Aku baik-baik saja.”

Arga tersenyum, lalu mengecup punggung tangannya. Sikapnya begitu manis, begitu tulus, dan itu semakin membuat Nayla merasa hina.

Tepat saat itu, seorang fotografer meminta mereka untuk berpose bersama keluarga. Dina dan Reza naik ke pelaminan bersama orang tua mereka. Saat Reza berdiri di sampingnya, bahu mereka hampir bersentuhan, dan Nayla bisa merasakan ketegangan di antara mereka.

“Kalian berdua terlihat serasi sekali,” kata Dina sambil tersenyum.

Nayla tersenyum kecil, tetapi dalam hati, ia ingin menangis.

Tiba-tiba, tangan Reza bergerak, seolah ingin menyentuhnya, namun dengan cepat ia menariknya kembali. Tidak ada yang menyadari gerakan kecil itu, kecuali Nayla.

Seolah ada dinding tak kasat mata yang membatasi mereka, tetapi juga menarik mereka semakin dekat dalam dosa yang sama.

Setelah sesi foto selesai, Nayla akhirnya bisa menghela napas lega. Ia merasa tak sanggup lagi bertahan di pelaminan dan ingin segera menjauh dari tatapan Reza.

Namun, saat ia berjalan menuju ruangan rias untuk beristirahat sebentar, suara familiar menghentikan langkahnya.

“Nayla…”

Jantungnya berdegup kencang. Suara itu. Suara yang membuatnya kehilangan akal sehatnya.

Ia berbalik, dan di sanalah **Reza** berdiri, di sudut lorong yang sepi.

“Apa yang kamu lakukan?” bisik Nayla panik. “Kalau ada yang melihat—”

“Aku harus bicara denganmu,” potong Reza. “Hanya sebentar.”

Nayla ragu-ragu. Ia tahu seharusnya ia pergi. Seharusnya ia tidak lagi terlibat dengan lelaki ini. Tetapi kakinya seakan terpaku di tempat.

“Aku nggak bisa, Reza,” bisiknya lemah. “Aku sudah menikah…”

Tatapan Reza menggelap. “Kamu yakin ini yang kamu mau?”

Pertanyaan itu menghantam Nayla lebih keras daripada yang seharusnya.

“Tolong, jangan seperti ini…”

Reza menghela napas panjang. “Aku nggak bisa pura-pura, Nayla. Aku nggak bisa pura-pura nggak peduli…”

Suaranya terdengar lirih, seakan penuh penderitaan. Nayla ingin membencinya. Ingin membenci dirinya sendiri. Tapi rasa yang mengikat mereka terlalu kuat.

“Kita harus berhenti, Reza,” ucap Nayla, meskipun dalam hati ia tidak yakin bisa melakukannya.

Reza terdiam, matanya masih menatap Nayla dalam. Seolah ingin menghafal setiap detail wajahnya, sebelum akhirnya ia berkata, “Kalau begitu… aku akan berusaha menjauh.”

Lalu, tanpa menunggu jawaban dari Nayla, Reza melangkah pergi.

Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan itu terjadi, Nayla merasakan dadanya semakin sesak.

Seharusnya ia merasa lega.

Tapi mengapa ia justru merasa kehilangan?*

Bab 3: Pernikahan Tanpa Hati

Nayla menatap bayangan dirinya di cermin besar di kamar hotel tempat ia dan Arga menghabiskan malam pertama. Gaun pengantin yang tadi siang begitu mempesona kini sudah diganti dengan piyama satin lembut, tetapi hatinya masih terasa berat.

Pernikahannya telah resmi. Ia kini adalah istri dari Arga, lelaki yang mencintainya sepenuh hati. Lelaki yang akan berbagi hidup dengannya. Tetapi mengapa hatinya tidak bisa ikut berbahagia?

“Nay?” suara lembut Arga membuyarkan lamunannya.

Nayla menoleh dan melihat Arga berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus putih dan celana santai. Raut wajahnya terlihat begitu lembut, tetapi juga ada sedikit kegelisahan di sana.

“Kamu nggak capek?” tanyanya sambil berjalan mendekati Nayla.

Nayla memaksakan senyum. “Lumayan…”

Arga mengangguk, lalu duduk di tepi tempat tidur. Ia menatap Nayla dengan penuh kasih. “Aku masih nggak percaya kita akhirnya menikah,” katanya sambil menggenggam tangan Nayla.

Nayla menelan ludah. Ia ingin membalas genggaman itu dengan tulus, tetapi hatinya terasa kosong.

“Aku janji akan selalu menjagamu,” lanjut Arga. “Aku tahu mungkin kita masih butuh waktu untuk saling menyesuaikan diri, tapi aku ingin kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu.”

Nayla tersenyum kecil, meskipun dalam hatinya ia merasa semakin bersalah.

Arga lalu menatapnya dengan lembut. “Kamu siap tidur?”

Nayla tahu maksudnya. Ini adalah malam pertama mereka sebagai suami istri. Seharusnya ini menjadi momen sakral yang penuh kebahagiaan. Tetapi mengapa hatinya justru berdegup karena rasa takut?

Seolah menyadari kegugupan Nayla, Arga tersenyum dan mengusap punggung tangannya. “Nggak perlu terburu-buru. Aku nggak akan memaksamu.”

Nayla mengangguk kecil, merasa sedikit lega.

“Tidur duluan, aku ke balkon sebentar,” katanya pelan.

Arga menatapnya dengan sedikit ragu. “Kamu baik-baik saja?”

Nayla tersenyum meyakinkan. “Aku cuma butuh udara segar sebentar.”

Setelah Arga mengangguk dan berbaring di tempat tidur, Nayla berjalan menuju balkon, membiarkan udara malam menyentuh wajahnya. Ia menghela napas panjang, berharap bisa mengusir semua perasaan yang berkecamuk dalam dadanya.

Namun, pikirannya justru kembali ke seseorang yang sejak tadi berusaha ia lupakan.

**Reza.**

***Malam sebelum pernikahan…***

Setelah berpisah di balkon rumahnya, Nayla sempat berpikir bahwa itu adalah terakhir kalinya ia berbicara dengan Reza dalam situasi yang begitu intens.

Namun, beberapa jam sebelum akad nikah, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

**Reza:** *Aku nggak bisa melupakan yang terjadi semalam. Aku butuh bicara denganmu.*

Jantung Nayla berdegup kencang. Ia tahu seharusnya ia tidak membalas. Seharusnya ia mengabaikan pesan itu. Tetapi jemarinya bergerak sendiri.

**Nayla:** *Jangan hubungi aku lagi. Ini salah, Reza.*

Namun, jauh di lubuk hatinya, ia sendiri tidak yakin apakah ia benar-benar ingin mengakhiri semua ini.

***Sekarang…***

Nayla menatap langit malam yang gelap. Keputusannya untuk menikah dengan Arga seharusnya menjadi akhir dari segalanya. Ia seharusnya bisa meninggalkan perasaannya pada Reza di masa lalu. Tetapi mengapa rasanya begitu sulit?

“Kenapa kamu selalu ada di pikiranku, Reza…?” bisiknya pelan.

Ia memejamkan mata, berusaha mengusir bayangan lelaki itu. Tetapi semakin ia mencoba, semakin kuat sosok Reza memenuhi benaknya.

“Nay?” suara Arga dari dalam kamar membuatnya tersentak.

Ia segera membalikkan badan dan berusaha tersenyum. “Ya?”

Arga bangkit dari tempat tidur dan berjalan mendekatinya. “Ayo tidur. Besok kita harus bertemu keluarga untuk acara syukuran.”

Nayla mengangguk pelan, lalu mengikuti Arga masuk ke dalam kamar. Ia berbaring di sisi tempat tidur, tetapi matanya tetap terbuka, menatap langit-langit dengan kosong.

Arga memeluknya dari belakang, memberikan kehangatan yang seharusnya bisa membuatnya merasa nyaman.

Tetapi tetap saja, yang ada dalam pikirannya adalah lelaki lain.

Dan itu adalah dosa terbesar yang pernah ia lakukan.*

Bab 4: Bayang-Bayang Masa Lalu

Nayla duduk di meja makan bersama Arga dan keluarga besarnya dalam acara syukuran pernikahan mereka. Senyum yang ia tampilkan di wajahnya terasa hambar, meskipun semua orang di sekitarnya tampak begitu bahagia.

Di seberang meja, **Dina dan Reza** duduk berdampingan, tampak seperti pasangan yang sempurna. Sesekali Dina menyuapi Reza dengan penuh kasih, membuat dada Nayla semakin sesak.

Ia seharusnya sudah membuang semua perasaan itu. Ia sudah menikah, dan lelaki di sampingnya—Arga—adalah suaminya yang sah. Tapi mengapa setiap kali ia melihat Reza, hatinya masih terasa bergetar?

“Sayang, makanannya enak nggak?” tanya Arga tiba-tiba, membuyarkan lamunan Nayla.

Nayla tersenyum kecil dan mengangguk. “Iya, enak.”

Arga tersenyum puas, lalu melanjutkan obrolannya dengan ayah Nayla. Sementara itu, diam-diam Nayla melirik ke arah Reza.

Dan saat pandangan mereka bertemu, jantungnya seolah berhenti berdetak.

Sorot mata Reza begitu dalam, penuh dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Seperti ada luka yang tersembunyi di baliknya, sesuatu yang mungkin hanya Nayla yang bisa mengerti.

Nayla buru-buru mengalihkan pandangan, menggigit bibirnya untuk menahan gejolak di dadanya.

***Dulu…***

Hari itu hujan turun begitu deras. Nayla masih ingat bagaimana ia berlari kecil menuju rumah Dina, mencari perlindungan dari hujan yang membasahi tubuhnya.

Saat itu, Dina sedang pergi, tetapi rumah tidak terkunci. Dengan cepat, Nayla masuk ke dalam, meremas ujung bajunya yang basah.

Namun, ia tidak sendirian.

Reza, yang saat itu masih menjadi tunangan Dina, berdiri di ruang tamu, menatapnya dengan ekspresi terkejut.

“Kamu basah kuyup,” katanya sambil mengambil handuk dari dalam kamar.

Nayla menerimanya dengan senyum kecil. “Tiba-tiba hujan deras. Aku nggak bawa payung.”

Reza tertawa kecil. “Kamu memang selalu ceroboh.”

Nayla mengernyit pura-pura kesal. “Hei, aku ini datang mau main ke rumah Kak Dina, bukan buat dikuliahi!”

Reza tersenyum, lalu mengulurkan segelas teh hangat. Nayla menerimanya dan duduk di sofa.

Saat itu, Nayla hanya menganggap Reza sebagai calon suami kakaknya—lelaki baik yang sering menemaninya mengobrol saat Dina sibuk. Tetapi entah sejak kapan, tatapan Reza padanya mulai berubah.

Dan Nayla pun mulai menyadari sesuatu yang seharusnya tidak ia rasakan.

Ia mulai menyukai lelaki itu.

Dan sejak saat itu, segalanya menjadi lebih rumit.

***Sekarang…***

“Nayla,” suara Dina membuyarkan lamunannya.

Nayla tersentak dan segera menoleh. Kakaknya menatapnya dengan dahi berkerut. “Dari tadi kamu bengong. Kamu nggak apa-apa?”

“Oh… aku baik-baik saja,” jawab Nayla cepat.

Dina tersenyum dan menggenggam tangannya. “Aku senang akhirnya kamu menikah dengan Arga. Dia lelaki baik. Kamu pasti akan bahagia dengannya.”

Nayla terdiam. Dina tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Tidak tahu bahwa hatinya masih terikat pada lelaki yang kini duduk di sampingnya.

Reza.

Setelah acara syukuran selesai, Nayla bergegas menuju kamar untuk beristirahat. Ia butuh waktu sendirian, jauh dari tatapan semua orang. Namun, saat ia membuka pintu kamar dan masuk, suara langkah kaki menyusul di belakangnya.

“Nayla.”

Nayla menegang. Ia tidak perlu berbalik untuk tahu siapa yang memanggil namanya.

“Reza… kenapa kamu ke sini?” bisiknya tanpa menoleh.

“Aku butuh bicara.”

Nayla menggigit bibirnya. “Kita nggak bisa, Reza. Aku sudah menikah.”

Reza diam sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Kamu bahagia?”

Pertanyaan itu membuat dada Nayla semakin sesak.

“Apa Arga membuatmu bahagia, Nayla?”

Nayla menutup mata. Ia ingin berkata *iya*, ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sudah memilih jalan yang benar. Tapi hatinya memberontak.

Reza melangkah mendekat, suaranya lebih lirih dari sebelumnya. “Aku tahu aku salah. Aku tahu aku nggak seharusnya merasa seperti ini. Tapi aku nggak bisa pura-pura, Nayla.”

Nayla menarik napas dalam, berusaha menguatkan hatinya. “Kita nggak boleh begini, Reza. Kak Dina… Arga… mereka nggak pantas dikhianati.”

“Tapi bagaimana kalau aku nggak bisa berhenti mencintaimu?” suara Reza bergetar.

Nayla terkejut. Ini pertama kalinya Reza mengakuinya dengan begitu gamblang.

Ia membalikkan badan dan menatap Reza dengan mata berkaca-kaca. “Jangan buat ini semakin sulit.”

Reza menghela napas panjang, lalu mengangkat tangannya, seolah ingin menyentuh wajah Nayla, tapi akhirnya ia menurunkannya kembali.

“Aku akan mencoba, Nayla. Aku akan mencoba menjauh. Tapi aku nggak bisa janji.”

Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, Reza melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Nayla yang berdiri dengan hati hancur.

Untuk pertama kalinya, ia merasa menikah dengan Arga adalah sebuah kesalahan.

Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa ia tak akan bisa benar-benar melepaskan Reza.*

Bab 5: Api dalam Diam

Nayla duduk di pinggir ranjang dengan tatapan kosong. Malam semakin larut, tetapi kantuk tak kunjung datang. Di sampingnya, **Arga** sudah tertidur pulas, napasnya teratur.

Seharusnya ia merasa tenang berada di sini—bersama suaminya—tetapi pikirannya justru melayang ke tempat lain. Ke seseorang yang seharusnya tidak lagi ada dalam hatinya.

**Reza.**

Perkataan lelaki itu tadi siang masih terngiang di telinganya. *“Aku nggak bisa berhenti mencintaimu.”*

Kalimat itu menghantam jiwanya begitu keras, membuatnya semakin terjebak dalam perasaan yang seharusnya ia kubur dalam-dalam.

Nayla menghela napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan ke balkon, membiarkan udara malam menyentuh wajahnya yang terasa panas.

Namun, langkahnya terhenti ketika melihat bayangan seseorang di taman hotel, tepat di bawah balkon kamarnya.

Seseorang yang sangat familiar.

Jantung Nayla langsung berdebar kencang. **Reza.**

Lelaki itu berdiri diam, menatap ke arah kamarnya seolah tahu Nayla sedang mengamatinya. Ada sesuatu di tatapan itu—sebuah keinginan yang sama dengan apa yang ia rasakan.

Dan itu cukup untuk membuat pertahanannya runtuh.

Tanpa berpikir panjang, Nayla mengambil jubah tipisnya, lalu bergegas keluar dari kamar, melangkah pelan agar tidak membangunkan Arga.

Ia tahu ini salah. Ia tahu ia seharusnya tidak mendekati Reza lagi. Tetapi kakinya bergerak seakan memiliki keinginannya sendiri.

Setibanya di taman, angin malam berembus dingin, tetapi tubuh Nayla justru terasa panas. Reza masih berdiri di sana, menunggunya, dan ketika mata mereka bertemu, segalanya menjadi kacau.

“Kamu gila,” bisik Nayla ketika ia akhirnya berdiri di depan Reza.

Reza tersenyum miring, tetapi matanya menyimpan luka. “Mungkin.”

“Kenapa kamu di sini?”

Reza menatapnya lekat-lekat sebelum akhirnya berkata, “Aku nggak bisa pergi sebelum melihatmu lagi.”

Nayla menutup mata, berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dadanya. “Kita nggak bisa terus begini, Reza. Aku sudah menikah.”

“Aku tahu.”

“Dina adalah kakakku. Aku nggak bisa melakukan ini padanya.”

“Aku tahu, Nay.” Suara Reza bergetar. “Tapi aku nggak bisa berpura-pura.”

Nayla menggeleng, matanya mulai berkaca-kaca. “Kalau kita terus begini, kita akan menghancurkan semuanya. Kamu tahu itu, kan?”

Reza menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum pahit. “Iya, aku tahu.”

Mereka berdiri dalam diam, membiarkan perasaan mereka saling bertarung dalam hati. Mereka ingin mendekat, tetapi ada tembok besar yang tidak bisa mereka lewati.

“Aku akan mencoba menjauh,” kata Reza akhirnya. “Aku janji.”

Nayla hanya bisa mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia tidak yakin bisa menjalani hidup tanpa bayangan Reza di benaknya.

Setelah saling menatap untuk terakhir kali malam itu, Reza berbalik dan pergi, meninggalkan Nayla sendirian dalam keheningan malam.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa begitu takut dengan perasaannya sendiri.

Karena ia tahu, tidak peduli seberapa keras mereka mencoba melawan, api ini tidak akan pernah padam.

Dan itu adalah dosa yang harus ia tanggung selamanya.*

Bab 6: Antara Cinta dan Pengkhianatan

Sejak malam itu, Nayla berusaha keras menghindari Reza. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia harus fokus pada pernikahannya dengan **Arga**, lelaki yang telah memilihnya dengan sepenuh hati.

Namun, menghindar tidak semudah yang ia bayangkan. Setiap kali bertemu keluarga, ia pasti berhadapan dengan **Dina dan Reza**. Setiap kali itu pula, ada tatapan tersembunyi di antara mereka, tatapan yang hanya mereka berdua pahami.

***Apakah Arga menyadarinya?***

Pikiran itu terus menghantui Nayla. Ia merasa bersalah, merasa seperti seorang istri yang tidak setia, meskipun secara fisik ia belum pernah mengkhianati Arga.

Tetapi batinnya?

***Sudah sejak lama hatinya menjadi milik lelaki lain.***

Hari ini, Nayla dan Arga sedang mengunjungi rumah keluarga Dina untuk makan malam bersama. Dina menyambut mereka dengan hangat, memeluk Nayla erat seperti biasa.

“Aku kangen banget sama kamu!” ujar Dina penuh semangat. “Jadi istri orang tuh pasti sibuk ya?”

Nayla tertawa kecil. “Biasa aja, Kak.”

Arga menambahkan, “Dia lebih sibuk mikirin dekorasi rumah kita yang baru.”

Dina tertawa, sementara Nayla hanya tersenyum tipis. Namun, tawa itu seketika sirna ketika dari dalam rumah, seorang lelaki muncul dengan kaus putih dan celana jeans kasual.

**Reza.**

Tatapan mereka bertemu dalam hitungan detik sebelum Nayla buru-buru mengalihkan pandangan. Tapi itu cukup untuk membuat jantungnya berdebar kencang.

“Reza, tolong bantu aku di dapur!” seru Dina sambil berjalan ke arah suaminya.

Reza mengangguk dan mengikuti Dina. Tetapi sebelum menghilang, ia sempat melirik Nayla lagi—tatapan yang cukup untuk membuatnya gelisah sepanjang malam.

—

**Makan malam berlangsung dengan canggung.**

Setidaknya bagi Nayla dan Reza.

Setiap kali Nayla mengangkat wajah, tanpa sengaja ia selalu mendapati Reza sedang menatapnya. Tatapan itu bukan sekadar tatapan biasa. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang Nayla takuti tetapi juga rindukan.

Arga, yang tidak menyadari ketegangan itu, terus bercakap-cakap dengan Dina tentang pekerjaan dan kehidupan pernikahan.

“Nayla sudah mulai betah jadi istri?” tanya Dina sambil tersenyum menggoda.

Nayla terpaksa ikut tersenyum. “Betah, kok.”

“Arga orangnya baik dan sabar, pasti kamu nyaman.”

Nayla hanya bisa mengangguk, tidak tahu harus menjawab apa.

Di sudut meja, Reza masih diam, tetapi ekspresi wajahnya berubah dingin. Ia tidak ikut dalam percakapan. Ia hanya duduk di sana, memainkan sendoknya tanpa minat.

Setelah makan malam, Nayla meminta izin untuk ke kamar mandi. Ia butuh waktu sejenak untuk menenangkan diri. Namun, ketika ia keluar dari kamar mandi, langkahnya terhenti.

Reza berdiri di lorong, menunggunya.

Jantung Nayla berdetak semakin cepat. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang melihat mereka. “Reza… kenapa kamu di sini?” bisiknya.

Reza tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Nayla dengan intens, seakan ada banyak hal yang ingin ia katakan tetapi tertahan di tenggorokannya.

“Aku nggak bisa terus begini,” akhirnya Reza berkata lirih.

Nayla menggigit bibir. “Reza, kita nggak bisa—”

“Aku masih mencintaimu.”

Kalimat itu membuat tubuh Nayla membeku. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa perasaan itu sudah tidak ada, tetapi ia tidak bisa.

Reza melangkah lebih dekat. “Aku tahu ini salah, Nay. Tapi aku nggak bisa membohongi diri sendiri. Setiap hari aku harus pura-pura bahagia di depan Dina, padahal aku hancur.”

Nayla menelan ludah, berusaha menguatkan dirinya. “Jangan bicara seperti ini… Kita harus menghentikan ini sebelum semuanya terlambat.”

Reza tertawa kecil, tetapi nadanya pahit. “Kamu pikir semuanya belum terlambat? Kita sudah jatuh terlalu dalam, Nayla.”

Sebuah suara langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu, membuat mereka berdua tersentak.

“Nay?” suara **Arga** terdengar dari kejauhan.

Nayla langsung mundur, menjaga jarak dari Reza. “Aku di sini,” jawabnya cepat.

Reza mengepalkan tangannya, lalu melangkah mundur. “Aku akan menjauh… kalau itu yang kamu mau.”

Nayla menatapnya tanpa berkata apa-apa, sebelum akhirnya berjalan cepat ke ruang tamu, meninggalkan Reza yang masih berdiri di lorong.

Tetapi meskipun ia sudah menjauh secara fisik, ia tahu satu hal yang pasti.

Hatinya masih tertinggal di sana. Bersama lelaki yang seharusnya bukan miliknya.*

Bab 7: Makin Sulit untuk Menjauh

Malam itu, sepulang dari rumah Dina, Nayla hanya terdiam di dalam mobil. Arga yang menyetir di sampingnya sesekali melirik dengan bingung.

“Kamu kenapa, Sayang? Kelihatan lelah banget,” tanya Arga dengan nada lembut.

Nayla tersentak dari lamunannya dan memaksakan senyum. “Nggak apa-apa, Mas. Mungkin cuma ngantuk.”

Arga mengangguk, tidak ingin memaksa. “Ya sudah, nanti sampai rumah kamu langsung istirahat, ya.”

Nayla hanya mengangguk pelan. Tetapi dalam hatinya, ia tahu penyebab kelelahan ini bukan sekadar rasa kantuk. **Bertemu Reza lagi hanya membuatnya semakin sulit mengendalikan perasaannya.**

Ia tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Tidak bisa lagi mengabaikan perasaan yang masih menyala di hatinya.

Setiap kali ia mencoba menjauh, justru semakin besar keinginannya untuk kembali ke dalam pelukan lelaki itu.

Dan itu membuatnya takut.

—

**Keesokan harinya,** Nayla mencoba mengalihkan pikirannya dengan sibuk mengurus rumah barunya bersama Arga. Mereka mulai menata ruangan, memilih perabotan, dan mendiskusikan dekorasi.

Namun, sesempurna apa pun Arga memperlakukannya, hatinya tetap kosong. Ada ruang yang tidak bisa diisi oleh siapa pun, karena ruang itu telah lama ditempati oleh seseorang yang bukan suaminya.

Saat sedang menata rak buku, ponsel Nayla bergetar di meja.

Sebuah pesan masuk.

**Reza:** _”Kita bisa bicara?”_

Nayla menatap layar ponselnya lama, seolah berharap bisa menemukan jawaban di sana.

Ia tahu ia seharusnya mengabaikan pesan itu. Ia seharusnya benar-benar mengakhiri segalanya dengan Reza. Tetapi hatinya berkhianat.

Jari-jarinya bergerak sendiri, mengetik balasan.

**Nayla:** _”Di mana?”_

Jawaban datang dengan cepat.

**Reza:** _”Kafe di dekat taman kota. Aku tunggu.”_

Nayla menelan ludah. Ia menoleh ke arah Arga yang masih sibuk merapikan beberapa barang di ruang tengah.

Ia harus mencari alasan untuk pergi.

“Mas,” panggil Nayla pelan.

Arga menoleh dengan senyum. “Iya, Sayang?”

“Aku mau ke luar sebentar, mau beli beberapa perlengkapan rumah yang kurang.”

Arga mengangguk tanpa curiga. “Oh, oke. Aku ikut aja, deh.”

Nayla buru-buru menggeleng. “Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri. Lagian Mas pasti capek, kan? Istirahat aja di rumah.”

Arga sempat ragu, tetapi akhirnya mengalah. “Ya sudah, hati-hati, ya.”

Nayla tersenyum tipis. “Iya.”

Tetapi dalam hatinya, ia merasa bersalah. **Ia baru saja membohongi suaminya.**

Dan itu adalah langkah pertama dari dosa yang lebih besar.

—

**Di Kafe Dekat Taman Kota**

Ketika Nayla tiba di kafe, Reza sudah menunggunya di meja pojok. Lelaki itu tampak gelisah, memainkan cangkir kopinya yang belum disentuh.

Saat melihat Nayla datang, matanya langsung bersinar. Tetapi ada juga kesedihan di sana.

Nayla duduk di kursi di hadapannya, mencoba mengatur napasnya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Reza dengan suara pelan.

Nayla mengangguk, meskipun itu adalah kebohongan. “Kenapa kamu ingin bertemu?”

Reza menghela napas, menatap Nayla dengan dalam. “Aku nggak bisa lagi pura-pura bahagia, Nay. Aku nggak bisa lagi berpura-pura kalau aku baik-baik saja.”

Nayla mengepalkan tangannya di atas meja. “Reza, kita sudah sepakat untuk menjauh. Kenapa kamu malah mengajakku bertemu?”

Reza tersenyum pahit. “Karena aku gila, Nay. Aku gila karena nggak bisa berhenti memikirkanmu.”

Jantung Nayla berdebar semakin cepat.

“Aku sudah mencoba, Nay. Aku sudah berusaha menganggap ini semua hanya kesalahan masa lalu. Tapi nyatanya, aku nggak bisa,” lanjut Reza.

Nayla menutup matanya sesaat, mencoba menguatkan hatinya. “Kita nggak boleh terus begini, Reza. Ini salah.”

“Tapi ini juga yang hatiku mau,” balas Reza cepat. “Dan aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama.”

Nayla terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi mulutnya tidak bisa mengeluarkan kata-kata.

Reza tersenyum miris. “Lihat? Kamu bahkan nggak bisa membantahnya.”

Nayla menggigit bibirnya, matanya mulai memanas. “Lalu, apa yang kamu harapkan dari semua ini? Aku sudah menikah. Kamu juga sudah menikah dengan kakakku sendiri!”

Reza mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Aku tahu. Dan itu yang membuatku semakin tersiksa.”

Mereka terdiam cukup lama, hanya suara obrolan pengunjung lain yang terdengar di sekitar mereka.

Akhirnya, Nayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya.

“Aku harus pergi.”

Ia berdiri, tetapi sebelum ia sempat melangkah, Reza tiba-tiba menggenggam tangannya.

“Jangan pergi dulu, Nay.”

Sentuhan itu membuat tubuh Nayla membeku. Hatinya berperang antara ingin menarik tangannya atau tetap diam di tempat.

“Aku masih mencintaimu,” bisik Reza lirih.

Itulah batasnya.

Nayla dengan cepat menarik tangannya dan mundur selangkah. Ia menatap Reza dengan mata berkaca-kaca.

“Kita nggak boleh terus seperti ini.”

Lalu, tanpa menunggu jawaban dari Reza, Nayla berbalik dan pergi meninggalkan kafe dengan langkah tergesa-gesa.

Namun, sejauh apa pun ia berlari, ia tahu satu hal.

**Ia tidak bisa berlari dari perasaannya sendiri.**

Dan itu adalah ketakutan terbesarnya.*

Bab 8: Hati yang Berkhianat

Sejak pertemuan itu, Nayla semakin sulit mengendalikan dirinya. Ia berusaha menjalani kehidupan pernikahannya seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa ia pungkiri—**Reza terus menghantui pikirannya.**

Bahkan saat ia berada di rumah bersama **Arga**, lelaki itu tetap hadir dalam kepalanya. Setiap kali suaminya menyentuhnya, Nayla merasa bersalah. Ia merasa tubuhnya ada di sini, tetapi hatinya ada di tempat lain.

Arga adalah lelaki yang baik. Ia selalu sabar dan penuh perhatian. Namun, justru itu yang membuat Nayla semakin tenggelam dalam rasa bersalahnya.

**Ia tidak seharusnya mencintai lelaki lain. Apalagi lelaki yang sudah menjadi suami kakaknya sendiri.**

Namun, apa yang bisa ia lakukan?

Hatinya telah berkhianat, dan ia tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.

—

**Suatu sore, Dina mengundang Nayla untuk datang ke rumahnya.**

“Aku butuh bantuanmu buat pilih dekorasi ulang rumah,” ujar Dina di telepon. “Aku bingung banget mau pakai warna apa.”

Nayla ingin menolak, tetapi ia tidak bisa. Dina adalah kakaknya, dan ia tidak ingin menimbulkan kecurigaan.

“Baiklah, Kak. Aku ke sana sore ini.”

Namun, dalam hatinya, ada rasa takut. **Karena itu berarti ia akan bertemu Reza lagi.**

—

**Di Rumah Dina**

Saat tiba di rumah Dina, Nayla disambut dengan pelukan hangat.

“Syukurlah kamu datang! Aku butuh pendapatmu soal warna cat dinding.”

Nayla tersenyum, mencoba bersikap normal. “Warna apa yang Kakak inginkan?”

Mereka lalu sibuk memilih warna cat, tetapi perhatian Nayla terusik saat ia menyadari seseorang berdiri di ambang pintu dapur.

**Reza.**

Tatapan mereka bertemu sekilas, tetapi itu cukup untuk membuat jantung Nayla berdetak lebih cepat.

Reza hanya diam, tetapi ada banyak hal yang terlihat di matanya. Rindu, luka, dan keinginan yang mereka berdua tahu tidak seharusnya ada.

Nayla buru-buru mengalihkan pandangannya, kembali fokus pada Dina.

“Kayaknya warna abu-abu cocok, Kak,” ujarnya, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang tidak beraturan.

Dina tersenyum. “Iya, aku juga suka warna itu.”

Saat itu, Reza tiba-tiba berdeham pelan. “Aku keluar sebentar,” katanya kepada Dina, sebelum melangkah pergi.

Nayla tahu ia tidak seharusnya peduli, tetapi hatinya justru ingin mengikutinya.

Dan ia pun kalah dari perasaannya sendiri.

—

**Di Halaman Belakang**

Nayla menemukan Reza berdiri di dekat taman kecil di belakang rumah.

Angin sore bertiup pelan, membawa keheningan yang semakin menyesakkan.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” suara Nayla terdengar bergetar.

Reza menoleh, menatapnya dalam. “Aku harusnya yang bertanya begitu.”

Nayla menggigit bibir, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku hanya… aku nggak mau kita terus seperti ini.”

Reza mendekat selangkah. “Seperti ini bagaimana?”

Nayla menunduk. “Seperti orang yang menyembunyikan sesuatu. Seperti dua orang yang seharusnya saling melupakan, tapi malah semakin sulit menjauh.”

Reza menghela napas panjang. “Karena kita nggak bisa membohongi diri sendiri, Nay.”

Nayla memejamkan mata. “Tapi ini salah.”

“Tapi kita juga nggak bisa menyangkal kalau kita masih saling mencintai.”

Kata-kata itu membuat Nayla semakin lemah.

Ia tahu ia harus segera pergi dari tempat ini sebelum semuanya semakin kacau.

Namun, saat ia hendak melangkah mundur, Reza tiba-tiba menggenggam tangannya.

Sentuhan itu begitu nyata, begitu menghangatkan. **Dan itulah yang menghancurkan semua pertahanannya.**

Sejenak, mereka hanya diam. Tidak ada yang berbicara, tidak ada yang bergerak.

Namun, dalam keheningan itu, mereka berdua tahu satu hal—**mereka tidak bisa lagi menghindar dari kenyataan.**

Perasaan ini tidak akan hilang.

Dan semakin mereka mencoba menjauh, semakin besar keinginan untuk kembali.*

Bab 9: Garis Tipis Antara Cinta dan Dosa

Nayla berdiri terpaku di halaman belakang, jantungnya berdetak begitu kencang saat genggaman tangan Reza semakin erat. Ia tahu ia harus menarik diri, harus pergi sebelum semuanya terlambat.

Tetapi tubuhnya seakan tidak bisa bergerak. **Sentuhan Reza membelenggunya dalam dilema yang semakin dalam.**

“Nayla…” suara Reza lirih, seakan memohon.

Nayla menutup matanya sesaat, mencoba mengumpulkan kekuatan. Lalu, dengan tarikan napas panjang, ia perlahan melepaskan genggaman itu.

“Kita nggak bisa terus begini, Reza,” suaranya bergetar, tetapi tegas.

Reza mengepalkan tangannya, menahan frustrasi. “Kalau memang nggak bisa, kenapa kamu masih di sini?”

Nayla tersentak. Pertanyaan itu menghantamnya tepat di titik paling rapuh.

Ya, **kenapa ia masih di sini?**

Kenapa ia tidak segera pergi?

Hatinya mengkhianati logikanya. Ia ingin menjauh, tetapi ia juga tidak ingin kehilangan lelaki ini.

Dan itulah yang membuat semuanya semakin menyakitkan.

“Aku harus kembali ke dalam,” ucap Nayla pelan.

Reza tidak menghentikannya lagi. Ia hanya menatap Nayla dengan tatapan penuh luka saat wanita itu akhirnya melangkah pergi, meninggalkannya sendirian di tengah angin sore yang mulai terasa dingin.

Tetapi meskipun ia telah pergi secara fisik, Nayla tahu **hatinya masih tertinggal di sana.**

Bersama seseorang yang bukan suaminya.

—

**Malam Itu**

Sesampainya di rumah, Nayla merasa begitu lelah. Bukan secara fisik, tetapi batinnya terasa terkoyak.

Ia berusaha menjalani rutinitasnya seperti biasa. Makan malam bersama Arga, berbincang tentang pekerjaan, dan tersenyum seperti tidak ada yang terjadi.

Tetapi saat malam semakin larut, ia hanya bisa terduduk di tepi tempat tidur, menatap bayangan dirinya sendiri di cermin.

Matanya kosong.

Hatinya kacau.

***Apa yang harus aku lakukan?***

Ia ingin membunuh perasaannya untuk Reza, tetapi semakin ia mencoba, semakin kuat ikatan itu terasa.

Ia ingin mencintai Arga dengan sepenuh hati, tetapi hatinya telah lebih dulu dimiliki oleh lelaki lain.

Air mata mengalir tanpa ia sadari.

Ia tersesat dalam dosanya sendiri.

—

**Beberapa Hari Kemudian**

Nayla berpikir bahwa menghindari Reza akan memperbaiki segalanya. Bahwa menjauh darinya akan membuat perasaannya perlahan pudar.

Tetapi nyatanya, semakin ia menghindar, semakin kuat keinginannya untuk bertemu.

Ia tidak pernah menyangka bahwa cinta bisa sebesar ini. Sebegitu kuatnya hingga ia rela jatuh ke dalam dosa hanya demi merasakan kebahagiaan sesaat.

Sampai akhirnya, sebuah pesan masuk ke ponselnya.

**Reza:** _”Aku harus bertemu denganmu. Tolong, Nayla.”_

Hatinya langsung berdebar. **Ia tahu ia tidak boleh menuruti permintaan itu.**

Tetapi jemarinya bergerak sendiri.

**Nayla:** _”Di mana?”_

Jawaban datang begitu cepat.

**Reza:** _”Temui aku di hotel dekat pusat kota. Aku menunggumu.”_

Nayla terpaku. Dadanya terasa sesak. Ia tahu jika ia pergi, maka tidak akan ada jalan kembali.

Tetapi hasrat dan rindunya pada Reza telah melewati batas yang seharusnya.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil tasnya dan melangkah keluar rumah, meninggalkan suaminya yang terlelap dalam tidur.

Ia tidak sadar bahwa di balik pintu kamar, Arga membuka matanya.

Tatapannya kosong, penuh kecurigaan.*

Bab 10: Dosa yang Terbongkar

Nayla berdiri di depan pintu kamar hotel dengan tangan gemetar. Jantungnya berdetak tak menentu, seakan memberi peringatan bahwa apa yang akan ia lakukan akan mengubah segalanya.

Di balik pintu ini, ada Reza.

Lelaki yang seharusnya tidak lagi memiliki tempat di hatinya. Lelaki yang sudah menjadi suami kakaknya sendiri. Lelaki yang seharusnya ia tinggalkan.

Namun, di sinilah ia sekarang.

***Tinggal satu langkah lagi sebelum ia terjerumus lebih dalam ke dalam dosa.***

Tangannya terangkat, hendak mengetuk pintu, tetapi sebelum ia sempat melakukannya, pintu itu tiba-tiba terbuka.

Reza berdiri di sana, menatapnya dengan sorot mata yang penuh gejolak.

“Kamu datang,” suaranya nyaris berbisik.

Nayla tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, terjebak dalam perasaan yang tidak seharusnya ada.

Reza meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Aku nggak mau lagi berbohong, Nay. Aku mencintaimu.”

Nayla mengigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang hampir pecah. “Reza, kita nggak bisa…”

“Tapi kita sudah terlalu jauh untuk berhenti,” potong Reza dengan nada putus asa.

Dan ia benar.

Mereka memang sudah terlalu jauh.

Tanpa sadar, Nayla membiarkan dirinya ditarik masuk ke dalam kamar. Pintu tertutup di belakang mereka, mengunci mereka dalam dunia yang hanya milik mereka berdua.

Dunia yang tidak seharusnya ada.

Dosa mereka akhirnya mencapai puncaknya.

—

**Sementara itu…**

Arga duduk di dalam mobil, matanya terpaku pada gedung hotel di depannya.

Dadanya terasa sesak, seakan ada sesuatu yang mencabik-cabik jiwanya.

Ia melihat sendiri bagaimana istrinya memasuki hotel itu. Ia melihat bagaimana seorang lelaki membukakan pintu kamar untuknya.

Dan itu sudah lebih dari cukup.

Tangannya mengepal di atas kemudi. Rahangnya mengeras.

***Jadi ini alasan semua kegelisahan Nayla?***

***Ini alasan tatapannya yang selalu kosong?***

***Karena ia telah mengkhianati pernikahan mereka?***

Arga menutup matanya sejenak, mencoba meredam amarah yang membakar dadanya. Tetapi bagaimana mungkin ia bisa tetap tenang?

Orang yang paling ia cintai telah menghancurkannya.

Dan itu adalah luka yang tidak akan pernah bisa sembuh.

—

**Beberapa Jam Kemudian…**

Nayla berdiri di depan pintu rumah dengan tubuh gemetar. Ia tidak menyangka akan pulang selarut ini. Ia tidak menyangka akan **melangkah sejauh ini dalam dosa.**

Saat ia membuka pintu, langkahnya langsung terhenti.

Di ruang tengah, Arga sudah duduk menunggunya.

Tatapannya begitu dingin, begitu menusuk.

Nayla langsung merasa seluruh tubuhnya lemas. “Mas…”

Arga tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, lalu melemparkan sesuatu ke atas meja.

Sebuah amplop cokelat.

Dengan tangan gemetar, Nayla meraihnya dan membuka isinya.

Dadanya langsung terasa sesak.

**Foto-foto dirinya bersama Reza di hotel.**

Ia terkejut, matanya langsung membesar.

“Mas, ini… ini nggak seperti yang Mas pikirkan,” Nayla berusaha berbicara, tetapi suaranya terdengar bergetar.

Arga tersenyum sinis. “Lalu, seperti apa?”

Nayla tidak bisa menjawab. Tidak ada alasan, tidak ada kebohongan yang cukup kuat untuk membenarkan apa yang telah ia lakukan.

Air matanya mulai mengalir. “Aku… aku minta maaf.”

Arga menghela napas panjang, lalu berdiri. “Maaf?”

Tatapannya penuh luka. “Maaf itu nggak akan mengubah fakta kalau kamu sudah mengkhianati aku, Nay.”

Suasana menjadi begitu sunyi, hanya terdengar isakan pelan dari Nayla.

Arga merogoh sakunya, lalu meletakkan sesuatu di atas meja.

Sebuah berkas.

Nayla menatapnya dengan bingung, lalu perlahan mengambilnya. Begitu melihat isinya, napasnya langsung tercekat.

**Surat cerai.**

Kakinya terasa goyah.

“Arga… Mas, tolong, jangan seperti ini,” Nayla memohon, suaranya penuh kepanikan.

Arga menatapnya dalam-dalam, tetapi matanya sudah tidak lagi menunjukkan cinta yang dulu selalu ia berikan.

“Aku sudah cukup bodoh karena percaya bahwa kamu benar-benar mencintaiku,” suaranya terdengar lelah.

Nayla menangis semakin keras. “Mas, aku menyesal…”

Arga tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan di sana. “Sayangnya, penyesalanmu datang terlambat.”

Lalu, tanpa menoleh lagi, Arga melangkah pergi.

Dan di sanalah Nayla berdiri, sendirian.

***Ditinggalkan oleh lelaki yang mencintainya…***

***Dan masih terikat dengan lelaki yang tidak seharusnya ia cintai.***

Epilog: Harga dari Sebuah Pengkhianatan

Beberapa bulan kemudian, pernikahan Nayla dan Arga resmi berakhir.

Dina mengetahui segalanya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menampar adiknya sendiri.

“**Kamu sudah menghancurkan semuanya, Nayla!**”

Setelah itu, hubungan mereka tidak pernah lagi sama.

Sementara itu, Reza juga menghadapi konsekuensinya sendiri. Pernikahannya dengan Dina berada di ambang kehancuran, tetapi ia tahu bahwa **ia tidak bisa benar-benar memiliki Nayla tanpa menyakiti orang-orang yang mencintai mereka.**

Pada akhirnya, **dosa yang mereka perbuat hanya meninggalkan luka bagi semua orang.**

Dan mungkin, itu adalah hukuman yang paling menyakitkan.***

Source: YONGKI
Tags: #cintaterlarangCintaDanDosaCintaSegitigaDramaKeluargaDramaPercintaanKonflikRumahTanggaLukaDanPengkhianatanPernikahanBerantakanPerselingkuhanRahasiaTerungkap
Previous Post

CINTA TERBELAH DUA

Next Post

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

" JEJAK PERTAMA DI HATIMU "

PERTEMUAN YANG MENGUBAH HIDUP

PERTEMUAN YANG MENGUBAH HIDUP

KAMU PERGI, AKU MASIH DISINI

KAMU PERGI, AKU MASIH DISINI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id