Daftar Isi
Bab 1 Pertemuan yang Tak Terduga
Dara menatap layar ponselnya, matanya berkelip seiring pesan yang masuk. Sebuah notifikasi dari email masuk, mengingatkan dirinya bahwa hari ini adalah hari terakhir ia berada di pulau kecil yang terletak jauh di tengah lautan. Pulau ini, meskipun indah dengan pasir putihnya yang halus dan air laut yang bening, tidak pernah menarik perhatian Dara. Ia hanya di sini untuk pekerjaan, dan itu sudah cukup bagi wanita yang biasa hidup di tengah keramaian kota Jakarta.
Dara bekerja sebagai desainer grafis untuk sebuah perusahaan arsitektur besar yang sedang mengerjakan proyek di beberapa pulau kecil di Indonesia. Hari ini, ia datang ke pulau ini untuk bertemu dengan klien yang memiliki rencana besar membangun resort mewah di tepi pantai. Namun, di luar urusan pekerjaan, ia merasa asing dengan suasana yang sunyi dan tenang ini.
“Seharusnya aku sudah pulang ke Jakarta, bukan di sini,” pikirnya sambil menarik napas panjang. Ia merindukan hiruk-pikuk kota, keramaian kafe dan restoran, bahkan suara klakson yang biasa terdengar setiap pagi. Tetapi, inilah yang ia pilih—pekerjaan yang membawanya jauh dari segala kenyamanan yang dikenal.
Setelah menyelesaikan pekerjaan pada sore itu, Dara memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pulau. Ia ingin merasakan angin laut dan menikmati keindahan alam yang jarang ia temui di kota. Dengan langkah pelan, ia menyusuri jalan setapak yang menurun menuju pantai. Tidak ada banyak orang di sana, hanya beberapa penduduk lokal yang tampak sibuk dengan aktivitas mereka.
Ketika ia sampai di tepi pantai, matanya tertuju pada seseorang yang sedang duduk di atas batu besar, memandang jauh ke laut lepas. Seorang pria muda dengan rambut hitam yang agak panjang, mengenakan kaos putih dan celana pendek, tampak tenang seperti bagian dari pemandangan alam itu sendiri. Dara terhenti sejenak, merasakan ketenangan yang anehnya memikat, tetapi ia segera melanjutkan langkahnya.
Namun, tak lama setelah itu, pria tersebut berdiri dan berjalan ke arahnya dengan langkah mantap. Dara berusaha mengalihkan pandangannya, tetapi pria itu sudah terlalu dekat.
“Hei, maaf, aku lihat kamu sendiri, apakah kamu baru datang ke sini?” Pria itu berbicara dengan nada suara yang santai, sedikit ragu, tetapi cukup ramah. Dara yang semula sedikit terkejut menatapnya sekilas.
“Ya, baru beberapa hari ini. Ada urusan pekerjaan,” jawab Dara, sedikit bingung dengan keberadaan pria asing yang tiba-tiba menghampirinya. Ia merasa aneh harus berbicara dengan orang yang baru dikenalnya, tetapi entah mengapa, ada perasaan yang berbeda kali ini—sebuah ketertarikan yang samar.
“Nama aku Azmi,” pria itu memperkenalkan diri, tersenyum ramah. “Kamu… Dara, kan? Aku lihat kamu di kafe tadi.”
Dara mengangguk. “Iya, aku memang di kafe itu sebentar. Tapi… kamu siapa? Aku tidak pernah lihat kamu sebelumnya,” tanya Dara, agak tertarik tapi tetap merasa canggung.
Azmi tertawa kecil, menggaruk tengkuknya. “Aku tinggal di sini, di pulau ini. Ini tempat tinggal kami, para nelayan.”
Dara terkejut. “Oh, jadi kamu nelayan?”
“Iya,” jawab Azmi dengan suara yang penuh keyakinan. “Tapi, aku juga membantu di beberapa tempat di sekitar sini. Kadang, aku harus pergi jauh untuk mencari ikan.”
Dara merasa heran. Seorang nelayan di pulau terpencil ini, namun dengan bahasa yang begitu fasih dan sikap yang penuh percaya diri. Ia merasa seperti ada sesuatu yang belum ia ketahui dari Azmi, tapi tidak tahu harus bertanya apa.
“Kenapa kamu duduk di sini? Menunggu sesuatu?” tanya Dara, mencoba melanjutkan percakapan.
Azmi mengangkat bahunya. “Tidak ada yang spesial, hanya menikmati laut dan udara segar. Laut ini seperti rumah, selalu mengingatkan aku untuk tetap tenang.”
Dara tersenyum kecil, merasa sedikit kagum. Ia menyadari bahwa Azmi adalah orang yang sederhana, namun ada kedalaman dalam cara dia melihat dunia. Berbeda dengan dirinya yang terbiasa dengan kehidupan modern dan serba cepat.
Obrolan mereka pun mengalir dengan mudah. Azmi mengajak Dara berjalan-jalan menyusuri pantai, bercerita tentang kehidupan di pulau, tentang keindahan alam yang tidak bisa ditemukan di kota-kota besar. Dara yang awalnya merasa canggung, mulai merasa nyaman dengan kehadiran Azmi. Mereka berbicara tentang banyak hal—dari cuaca, pekerjaan, hingga pengalaman masing-masing dalam menjalani kehidupan.
Seiring waktu, Dara mulai merasa ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya. Ia tidak tahu apakah itu hanya rasa kagum terhadap cara hidup Azmi yang sederhana, atau mungkin perasaan lebih dari itu. Setiap kali Azmi tertawa, hati Dara berdebar-debar. Setiap kali mata mereka bertemu, ada sensasi yang sulit dijelaskan. Tentu saja, Dara tahu bahwa mereka berasal dari dua dunia yang sangat berbeda. Ia tinggal di kota besar dengan segala fasilitas dan kemewahan, sementara Azmi tinggal di pulau kecil yang jauh dari kehidupan modern. Jarak yang begitu jauh. Namun, entah mengapa, ia merasa terhubung dengan Azmi, seolah dunia mereka bisa menyatu dalam satu momen ini.
Mereka menghabiskan waktu hingga matahari terbenam, duduk di pasir sambil mendengarkan deburan ombak yang menghantam pantai. Dara tak pernah merasakan kedamaian seperti ini sebelumnya. Ia merasa seperti menemukan satu bagian dirinya yang hilang, meskipun hanya untuk sementara.
Ketika senja mulai memudar, Dara merasa harus kembali ke penginapannya. “Aku harus pergi sekarang,” katanya pelan, sedikit enggan.
Azmi mengangguk dan tersenyum. “Aku senang bisa berbicara denganmu, Dara. Semoga kita bisa bertemu lagi.”
“Ya, tentu,” jawab Dara, merasa sedikit malu. Ia merasa seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tetapi kata-kata itu terhenti begitu saja.
Ketika Dara berjalan menjauh, ia menoleh sekali lagi ke arah Azmi, yang masih berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa rindu meski belum pernah benar-benar berpisah.
Hari itu, Dara tidak tahu bahwa pertemuan yang tak terduga ini akan mengubah hidupnya. Tidak ada yang bisa memprediksi bahwa dari pertemuan pertama yang sederhana, sebuah hubungan yang mendalam akan terbentuk, sebuah kisah yang akan melewati batas-batas jarak, waktu, dan kenyataan yang ada.*
Bab 2 Jarak yang Memisahkan
Pagi itu, Dara duduk di tepi jendela kamarnya, memandangi pantai yang tenang dari balik kaca. Angin laut yang sejuk menyapu wajahnya, membawa kenangan akan pertemuan kemarin dengan Azmi. Senyumnya perlahan merekah, meskipun hatinya tahu bahwa setelah hari ini, semuanya akan berubah. Pekerjaannya di pulau ini hampir selesai, dan dalam beberapa jam lagi, ia akan kembali ke Jakarta, kembali ke kehidupannya yang sibuk dan penuh rutinitas.
Tapi, entah kenapa, perasaan itu tidak mudah ia singkirkan. Semakin hari ia merasa semakin terhubung dengan Azmi, meskipun baru beberapa jam yang lalu mereka berbicara di pantai. Setiap percakapan, setiap tawa, seakan mengukir tempat yang tak bisa diisi oleh siapapun di dalam hatinya. Bahkan, saat ia mencoba untuk berpikir rasional, perasaan itu tetap ada, mengisi ruang kosong yang lama tak terasa.
“Mungkin ini hanya perasaan sementara,” Dara berbisik pelan pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan hatinya.
Namun, saat dirinya kembali ke kota besar keesokan harinya, rasanya segala sesuatu menjadi jauh lebih berat. Jakarta menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang tak pernah berhenti. Keramaian, gedung-gedung tinggi, suara klakson yang terus berdengung, semua itu tiba-tiba terasa asing. Seperti ada yang hilang, sesuatu yang dulu biasa ada namun kini hanya meninggalkan kekosongan. Bahkan meskipun ia berada di tempat yang ramai, ada rasa kesendirian yang mendalam.
Di sela-sela kesibukan pekerjaan dan proyek yang menumpuk, Dara tidak bisa mengabaikan perasaan yang terus menghantuinya. Pesan-pesan dari Azmi terus menghiasi layar ponselnya. Mereka mulai saling mengirimkan pesan setiap hari, berbicara tentang segala hal—dari kehidupan sehari-hari hingga impian masa depan yang terasa begitu berbeda. Namun, semakin lama komunikasi itu semakin dalam, semakin banyak pula tantangan yang mereka hadapi.
“Azmi, bagaimana di sana? Apa kabar?” pesan Dara beberapa hari setelah ia kembali ke Jakarta.
Beberapa menit kemudian, balasan Azmi masuk.
“Baik, Dara. Aku selalu baik kalau ingat kamu. Tapi, rasanya aneh di sini tanpa ada kamu.”
Dara terdiam membaca pesan itu. Ada sesuatu yang menyentuh hatinya. Kata-kata Azmi sederhana, tapi mengandung banyak perasaan. Begitu banyak yang ingin ia katakan, tetapi kata-kata terasa tidak cukup untuk mengungkapkan semua yang ada di dalam hatinya.
Sementara itu, Azmi merasakan hal yang sama. Meskipun ia berada di pulau kecil yang jauh, jauh dari kehidupan kota yang glamor, ia merasa seperti ada satu bagian dari dirinya yang hilang. Setiap kali ia duduk di depan laut, ia merasa seolah-olah Dara ada di sana, berjalan bersamanya menyusuri pantai. Lautan yang luas itu, yang dulu menjadi tempat pelariannya dari kesepian, kini terasa begitu kosong tanpa kehadiran Dara.
Namun, meskipun perasaan itu kuat, jarak yang memisahkan mereka seakan menjadi penghalang yang tidak bisa mereka lewati dengan mudah. Azmi harus kembali berfokus pada pekerjaannya—menjadi nelayan dan mencari nafkah untuk masa depan mereka. Sementara Dara, meskipun hatinya terikat pada Azmi, harus kembali ke dunia nyata di kota besar, di mana tanggung jawab dan pekerjaan menanti.
Namun, semakin hari, rasa rindu itu semakin kuat, semakin tak tertahankan. Setiap kali Azmi menghubunginya, meskipun hanya lewat pesan singkat, Dara merasa semakin sulit untuk bertahan dalam jarak yang begitu jauh. Ada hari-hari di mana ia merasa putus asa, berpikir apakah mereka benar-benar bisa melanjutkan hubungan ini.
“Aku rindu kamu, Dara,” Azmi mengirimkan pesan malam itu. Dara bisa merasakan keheningan dalam kata-katanya, sebuah kerinduan yang begitu nyata.
Dara menarik napas dalam-dalam sebelum membalas pesan itu. “Aku juga rindu kamu, Azmi. Tapi aku tahu jarak ini begitu besar. Aku tidak tahu bagaimana ini akan berjalan.”
“Jarak tidak akan menghalangi aku untuk mencintaimu, Dara. Aku akan berusaha untuk tetap ada di sampingmu, meski hanya lewat kata-kata. Aku ingin kita bertahan.”
Membaca pesan itu, Dara merasa hatinya tergetar. Azmi tidak menyerah, meskipun kenyataan tentang jarak yang memisahkan mereka begitu keras. Dara ingin percaya pada kata-katanya, tetapi ketakutannya akan masa depan yang tidak pasti terus mengganggunya. Apakah mereka akan selalu bisa bertahan seperti ini? Apakah komunikasi melalui pesan dan telepon akan cukup untuk mempertahankan hubungan mereka?
Pada satu titik, Dara mulai merasa kelelahan. Rindu yang terus menerus hadir setiap malam, harapan yang terpendam, dan kesibukan yang tak kunjung usai mulai menggerogoti pikirannya. Apakah ia bisa terus berjuang? Atau mungkin, inilah waktunya untuk melepaskan?
Malam itu, Dara tidak bisa tidur. Ia duduk di ranjangnya, menatap langit malam yang terlihat melalui jendela kamar. Ia tahu Azmi juga sedang melihat bintang yang sama. Mereka berdua berada di dunia yang berbeda, terpisah oleh jarak yang tak terjangkau oleh tangan, namun dalam hati mereka, ada ikatan yang begitu kuat, yang membuat jarak seolah tak berarti.
“Azmi…” Dara berbisik pada diri sendiri, seakan mengirimkan kata-kata itu ke arah lautan yang luas.
Dara merasa ada pertaruhan besar yang harus ia buat. Semua perasaan ini—rindu, cinta, harapan—terasa begitu berat. Dan ia tahu, jika ia terus terjebak dalam ketidakpastian, mungkin itu hanya akan menghancurkan hatinya lebih dalam lagi.
Namun, satu hal yang pasti: meskipun mereka terpisah oleh jarak yang begitu luas, perasaan mereka terhadap satu sama lain tidak akan pernah mudah untuk diabaikan.*
Bab 3 Rindu yang Menumbuhkan Cinta
Dara menghela napas panjang saat matanya kembali terfokus pada layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Azmi. Hari ini, lagi-lagi, rasanya begitu sepi. Keseharian yang sibuk di Jakarta tak mampu mengusir rasa hampa yang kian mendalam. Beberapa minggu telah berlalu sejak ia kembali dari pulau kecil itu, namun kenangan tentang Azmi tetap menempel kuat di hati dan pikirannya. Rindu itu tak kunjung padam, malah semakin berkembang seiring berjalannya waktu.
“Dara, apa kabar di sana? Aku rindu kamu. Lautan tetap sama di sini, tapi rasanya kosong tanpa ada kamu.”
Pesan itu datang pagi tadi. Dara membaca ulang kalimat itu dengan penuh perhatian. Azmi pria yang tinggal jauh di pulau kecil yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya telah mengubah cara pandangnya tentang banyak hal. Meskipun mereka hanya berkomunikasi lewat pesan dan telepon, perasaan yang ada dalam dirinya terasa begitu nyata. Sesuatu yang dulu tidak ia percayai bahwa cinta bisa tumbuh di antara jarak dan waktu sekarang perlahan ia rasakan dalam setiap detik yang berlalu.
Ia meresapi kata-kata Azmi yang seolah mengingatkannya bahwa meskipun terpisah oleh jarak yang jauh, hati mereka tetap terhubung. Dara tahu bahwa perasaan yang tumbuh antara mereka bukan hanya sekadar rasa kagum atau keingintahuan, tetapi juga cinta yang mulai berakar kuat dalam dirinya. Rindu itu tumbuh begitu alami, seperti tanaman yang mulai merangkak mencari cahaya. Meskipun mereka terpisah ribuan kilometer, perasaan itu menjalar semakin dalam.
Tapi, semakin kuat rasa itu, semakin banyak pula keraguan yang mengusik pikirannya. Bagaimana mungkin hubungan ini bisa bertahan? Mereka berasal dari dunia yang sangat berbeda. Azmi tinggal di pulau terpencil yang jauh dari keramaian, sementara ia, Dara, hidup di tengah kota besar yang penuh dengan segala kesibukan dan tuntutan hidup. Bagaimana mereka bisa menjalani hubungan yang sehat jika pertemuan nyata saja terasa sangat jarang? Apakah cinta mereka akan bertahan lama atau hanya akan menjadi kenangan yang terpatri di antara jarak dan waktu?
Sambil duduk di balkon apartemennya yang menghadap ke pusat kota Jakarta, Dara kembali membuka pesan-pesan yang telah ia simpan dari Azmi. Setiap kata yang dikirimkan terasa seperti sentuhan lembut di hati. Mereka saling berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari, saling bertanya tentang kabar masing-masing, dan terkadang, mereka berbicara tentang hal-hal kecil yang sederhana, seperti cuaca atau makanan yang mereka suka.
Namun, setiap kali ia merasa semakin dekat dengan Azmi, perasaan cemas itu kembali datang. Rindu yang ia rasakan semakin menyakitkan. Ia tak bisa terus mengandalkan pesan dan telepon untuk menjaga hubungan mereka. Dara tahu, suatu saat mereka harus bertemu, entah kapan, entah bagaimana. Perasaan itu membuatnya rindu untuk merasakan kehadiran Azmi yang nyata, bukan hanya dalam kata-kata.
Pada suatu malam, saat hujan turun dengan deras di Jakarta, Dara kembali menerima pesan dari Azmi. Terkadang, dalam suasana yang seperti ini, hujan terasa seperti simbol dari perasaan mereka ada kesedihan, ada kerinduan yang tertahan, namun juga ada kehangatan yang mulai tumbuh.
“Dara, aku tahu kita jauh. Aku tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi aku percaya pada kita, percaya bahwa kita bisa melaluinya. Aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untuk kamu, meskipun hanya melalui kata-kata.”
Dara merasa matanya berkaca-kaca membaca pesan itu. Azmi, dengan cara yang sederhana dan jujur, mengungkapkan perasaannya yang begitu tulus. Dalam setiap kata-katanya, Dara bisa merasakan betapa kuatnya perasaan itu, seolah-olah Azmi sedang berada di sampingnya, menenangkan hatinya yang mulai ragu. Perasaan itu, yang awalnya hanya sedikit ragu dan penuh kebimbangan, kini berubah menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan.
“Aku juga percaya, Azmi. Aku ingin kita bertahan. Aku ingin kita menemukan cara untuk saling mendekatkan jarak ini,” balas Dara, mengetikkan pesan itu dengan hati yang penuh harapan.
Setelah mengirimkan pesan itu, Dara merasa lebih tenang, seolah-olah sesuatu telah berubah di dalam dirinya. Rindu yang begitu mendalam kini bukan lagi menjadi beban, melainkan kekuatan yang justru semakin menumbuhkan cinta di hatinya. Ia sadar, bahwa meskipun terpisah oleh jarak yang sangat jauh, cinta mereka bukanlah sesuatu yang bisa diukur dengan seberapa sering mereka bertemu atau seberapa dekat mereka berada. Cinta ini tumbuh dari kepercayaan, ketulusan, dan rasa saling mendukung meskipun terhalang oleh jarak yang tak terukur.
Keesokan harinya, Dara memutuskan untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri. Ia tahu, meskipun Azmi bukan berada di kota yang sama, mereka berdua bisa belajar untuk tetap menjaga hubungan ini tetap hidup. Ia mulai merencanakan kunjungan ke pulau tempat Azmi tinggal. Mungkin ini adalah langkah pertama yang bisa mereka ambil, untuk akhirnya menyatukan kembali hati yang selama ini hanya bisa mereka hubungkan lewat pesan-pesan dan telepon.
Ia tahu bahwa tantangan besar masih menanti mereka, namun dengan perasaan yang semakin kuat, Dara merasa siap untuk menghadapi semua itu. Cinta ini, meskipun terhalang oleh jarak dan waktu, akan terus tumbuh. Setiap rindu, setiap pesan yang mereka tukar, hanya menambah kedalaman perasaan yang mereka miliki satu sama lain.
Dara tersenyum, merasakan hangatnya cinta yang tumbuh perlahan. Mungkin, cinta memang tak selalu harus bertemu dalam jarak yang dekat. Terkadang, cinta tumbuh lebih kuat di antara jarak yang memisahkan, menjadikannya lebih berharga ketika akhirnya ia bisa bersatu.
Dengan keyakinan yang baru, Dara menutup matanya, membayangkan Azmi di sana, di bawah langit yang sama, merindukannya dengan cara yang sama.*
Bab 4 Ujian Waktu dan Kepercayaan
Hari-hari di Jakarta semakin terasa membosankan bagi Dara. Rutinitas yang seakan tak berujung membuatnya merasa terjebak dalam sebuah lingkaran. Pekerjaan yang menumpuk, rapat yang tak ada habisnya, dan tumpukan email yang terus mengalir membuat waktunya terasa begitu terbatas. Namun, yang lebih membuatnya merasa terhimpit adalah perasaan yang terus mengganjal di dalam hati rindu yang kian menguat untuk Azmi.
Setiap hari, ia selalu menunggu pesan-pesan dari Azmi. Meskipun hanya percakapan singkat, itu sudah cukup memberi sedikit kebahagiaan di tengah kepenatan hidup kota besar. Namun, belakangan ini, komunikasi mereka mulai terasa berbeda. Azmi, yang biasanya selalu mengirim pesan setiap hari, kini seakan menghilang di balik kesibukannya. Dara merasakan perubahan itu, dan entah mengapa, hatinya mulai dipenuhi oleh kekhawatiran yang tidak bisa ia singkirkan begitu saja.
“Mungkin dia terlalu sibuk,” Dara mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meskipun perasaan khawatir itu semakin mengganggu. Hari demi hari, pesan-pesan Azmi semakin jarang datang. Ketika mereka berbicara, Azmi lebih banyak diam, seakan ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya.
Ketegangan itu semakin terasa ketika Dara memutuskan untuk menghubungi Azmi malam itu. Ia sudah menunggu berjam-jam, berharap Azmi akan mengirimkan pesan seperti biasanya, namun hingga tengah malam, ponselnya tetap diam. Rasa cemas mulai merayapi hatinya. Ia tahu, jika ada sesuatu yang tak beres, mereka perlu berbicara. Mereka harus menghadapi kenyataan yang ada.
Akhirnya, dengan hati yang berdebar, Dara mengetik pesan kepada Azmi.
“Azmi, aku merasa ada yang berbeda. Kita belum berbicara seperti biasanya. Apa ada yang salah?”
Pesan itu terkirim dan seolah menggantung di udara, menunggu balasan. Dara tidak bisa tidur malam itu. Matanya terus terjaga, menatap layar ponsel yang sepi. Beberapa menit kemudian, sebuah pesan masuk.
“Dara, maaf aku lama tidak menghubungimu. Ada beberapa hal yang harus aku urus di sini. Aku merasa bingung dan butuh waktu untuk merenung.”
Dara menarik napas panjang membaca pesan itu. Ada kejujuran yang terasa dalam kata-kata Azmi, namun ada juga sesuatu yang lebih dalam yang membuat hatinya bertanya-tanya. Kenapa Azmi merasa bingung? Kenapa dia tidak memberitahunya lebih awal? Mereka sudah membangun hubungan ini dengan penuh kepercayaan, tetapi sekarang, Dara merasakan ada keretakan yang kecil, meskipun ia tidak tahu pasti apa penyebabnya.
“Azmi, aku mengerti kalau kamu butuh waktu. Tapi aku tidak ingin kita saling menjauh hanya karena jarak dan kesibukan. Aku takut kita akan kehilangan apa yang sudah kita bangun.” Dara mengetik dengan hati-hati, berusaha menunjukkan perasaannya tanpa terburu-buru menilai.
Pesan itu terkirim dan untuk beberapa saat, tak ada balasan. Hati Dara terasa lebih berat. Ia tahu Azmi mungkin sedang menghadapi sesuatu yang penting, namun rasa rindu dan kecemasannya membuatnya tak bisa berpikir jernih. Mereka sudah begitu jauh dari satu sama lain, dan jarak yang memisahkan seakan semakin besar setiap kali komunikasi mereka terhenti.
Pagi harinya, sebuah pesan masuk dari Azmi.
“Dara, aku minta maaf. Aku merasa banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Jarak ini memang berat, dan aku merasa kita perlu lebih banyak waktu untuk saling memahami. Aku tidak ingin membuatmu merasa terluka, tapi aku juga harus jujur pada diri sendiri.”
Membaca pesan itu, Dara merasa hatinya tercabik. Perasaan yang selama ini ia coba pertahankan mulai dipenuhi dengan kebingungan dan ketidakpastian. Apa yang dimaksud Azmi dengan “lebih banyak waktu”? Apakah ini berarti hubungan mereka mulai goyah? Ataukah Azmi merasa ragu dengan komitmen yang sudah mereka buat?
Dara mencoba untuk tetap tenang, tetapi kata-kata Azmi terasa seperti ujian yang sulit diterima. Mereka berdua sudah begitu lama terpisah, dan sekarang ada ketidakpastian yang mengambang di antara mereka. Apakah Azmi benar-benar ingin bertahan? Atau apakah hubungan mereka sudah sampai di titik di mana jarak dan waktu terlalu sulit untuk diatasi?
“Azmi, aku tidak tahu apakah kita bisa melewati semua ini. Aku merasa teruji, dan aku takut kita tidak akan bisa bertahan.” Dara akhirnya menulis pesan itu, meskipun ia tahu itu bukanlah jawaban yang ia inginkan.
Pesan tersebut menunggu balasan, namun hati Dara terasa hampa. Jarak, waktu, dan ketidakpastian menggerogoti perasaan yang dulu begitu kuat. Mereka berdua memang saling mencintai, tapi apakah itu cukup untuk mengatasi semua tantangan yang ada?
Saat malam datang, Dara memutuskan untuk pergi berjalan-jalan di sekitar kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung, untuk mencari jawaban atas kebingungannya. Setiap langkahnya terasa begitu berat, seperti beban yang ia bawa tanpa tahu harus meletakkannya di mana.
Di tengah perjalanan, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dara membuka layar ponselnya, berharap itu adalah pesan dari Azmi.
“Dara, aku tahu aku membuatmu bingung. Tapi percayalah, aku masih ingin kita bertahan. Aku tidak ingin hubungan ini berakhir begitu saja karena jarak. Aku rindu kamu, dan aku ingin kita mencari cara untuk tetap dekat meski terpisah.”
Dara membaca pesan itu berulang kali. Ada kejujuran yang mendalam dalam kata-kata Azmi, dan dalam hati Dara, ia merasakan kelegaan yang besar. Meskipun mereka menghadapi ujian yang berat, perasaan itu tetap ada, kuat dan nyata. Ini adalah ujian waktu dan kepercayaan, dan keduanya harus saling berusaha untuk tetap bertahan. Jarak mungkin memisahkan mereka, tapi jika mereka bisa menjaga komunikasi dan tetap saling mendukung, maka tak ada yang tak mungkin.
“Azmi, aku percaya padamu. Aku tahu kita bisa melewati ini bersama. Aku akan berusaha untuk bertahan.”
Dengan pesan itu, Dara merasa sedikit lebih tenang. Tidak ada yang mudah dalam hubungan jarak jauh, terutama ketika waktu dan jarak terus menguji mereka. Namun, jika mereka bisa melewati ujian ini bersama, mungkin mereka bisa bertahan lebih lama. Cinta mereka bukan hanya tentang kata-kata atau janji, tetapi tentang kepercayaan dan komitmen untuk saling menjaga meski terpisah oleh ribuan kilometer.*
Bab 5 Menunggu di Antara Lautan
Dara memandangi layar ponselnya, matanya terpaku pada pesan-pesan yang belum terbaca. Seminggu berlalu sejak mereka terakhir kali berkomunikasi dengan panjang. Hanya beberapa kata singkat yang datang dari Azmi, dan tak ada pembicaraan mendalam seperti sebelumnya. Dara merasakan kesendirian yang tak terlukiskan, seakan jarak yang memisahkan mereka menjadi semakin tak terjembatani.
“Aku rindu kamu, Dara. Semoga semuanya baik-baik saja di sana.” Pesan terakhir yang Azmi kirim hanya seperti angin lalu singkat, tapi penuh arti. Dara tahu betul bahwa Azmi sedang sibuk dengan pekerjaannya di pulau, dan dia tidak bisa terlalu sering menghubungi. Namun, ketidakpastian yang kini menyelimuti hatinya mulai menggerogoti pikiran. Ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan, banyak pertanyaan yang menggelayuti hatinya. Namun, ia juga tahu, Azmi mungkin sedang berjuang dengan perasaan yang sama rindu yang menyakitkan.
Pagi itu, Dara duduk di balkon apartemennya yang menghadap ke keramaian Jakarta, sambil memandangi langit yang suram, seolah mencerminkan hatinya. Cuaca hari ini terasa mendung, dan perasaan rindu yang menyesakkan dada semakin menguat. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menunggu di sini, terjebak dalam ketidakpastian. Namun, apakah itu berarti ia harus berhenti menunggu Azmi? Hati kecilnya berkata tidak.
Sejak pertama kali mereka bertemu, ada sebuah perasaan yang sangat kuat dalam dirinya sebuah ikatan yang terasa lebih dari sekadar pertemuan biasa. Azmi adalah seseorang yang bisa membuatnya merasa diterima, bahkan ketika mereka terpisah oleh ribuan kilometer. Namun, sekarang perasaan itu terasa seperti ombak yang datang dan pergi, tak menentu.
Dara berpikir tentang pesan Azmi yang sempat membuatnya terdiam beberapa hari yang lalu. “Aku ingin kamu tahu, Dara, meskipun aku jauh, aku selalu memikirkan kita. Tapi aku takut, kita terjebak dalam rutinitas yang membuat kita semakin jauh. Aku tidak ingin kita merasa kesepian.” Kata-kata itu begitu dalam, dan meskipun Azmi mencoba meyakinkannya, ada secercah kekhawatiran di baliknya. Apa yang dimaksud Azmi dengan “terjebak dalam rutinitas”? Apakah hubungan mereka akan benar-benar bertahan meskipun mereka berjuang melawan jarak dan waktu?
Dara menggigit bibir, merasakan amarah dan kesedihan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia tahu Azmi juga sedang berjuang, tetapi apakah mereka benar-benar bisa saling memahami? Akankah cinta mereka cukup untuk mengatasi semua hal yang terhalang oleh jarak ini? Hati Dara kembali bertanya-tanya, dan keraguan itu merayapi setiap sudut pikirannya.
Namun, di tengah rasa khawatir dan bingung itu, ada satu hal yang selalu membuatnya kembali tenang. Setiap kali ia merenung tentang Azmi, ia merasakan sebuah kenyamanan yang luar biasa. Mungkin, memang benar bahwa jarak bisa memisahkan fisik mereka, tetapi hati mereka tetap saling terhubung. Dara percaya pada hal itu. Cinta, bagi Dara, bukanlah sesuatu yang bisa diukur dengan seberapa sering mereka bertemu atau berbicara, tetapi tentang kepercayaan yang mereka miliki satu sama lain.
Dara memutuskan untuk menulis surat untuk Azmi. Suatu hal yang selama ini belum pernah ia lakukan, karena mereka selalu berkomunikasi lewat pesan teks atau telepon. Namun, kali ini, ia merasa perlu menulis dengan cara yang lebih pribadi, lebih dalam, lebih terasa. Menulis surat memberikan perasaan yang lebih otentik, lebih dekat.
“Azmi, aku tahu jarak ini membuat segalanya sulit, tapi aku percaya, rindu ini menguatkan kita. Setiap kali aku merindukanmu, aku merasa seperti menunggu di antara lautan yang luas, tak tahu kapan ombak akan membawa kita bertemu. Tetapi aku yakin, pada akhirnya, kita akan sampai ke tujuan yang sama. Aku ingin kita bertahan, Azmi. Aku ingin kita bersama meski lautan memisahkan kita.”
Dara menatap surat itu dengan penuh perasaan. Setiap kata yang ditulisnya mengalir begitu alami, seperti bisikan hati yang selama ini ia pendam. Setelah menulisnya, ia merasa sedikit lega, meskipun tahu bahwa untuk mengirimkannya berarti ia harus menghadapi ketidakpastian yang lebih besar. Namun, ia tidak bisa terus menghindar. Ia harus memberi Azmi ruang untuk memikirkan semuanya, untuk mengerti perasaan mereka berdua.
Hari-hari berlalu, dan meskipun rindu tetap mengisi setiap celah di hati Dara, ia merasa sedikit lebih kuat. Menulis surat itu, memberi dirinya sebuah bentuk pelepasan, seolah melepaskan sebagian dari perasaan yang menekan jiwanya. Ia tahu, dalam hatinya, bahwa menunggu Azmi bukanlah hal yang mudah. Tetapi, ia tidak bisa menyerah begitu saja.
Pagi itu, setelah seharian berusaha untuk melupakan kerinduan yang mendalam, sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya. Dara merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia membuka pesan tersebut, dan seketika senyum merekah di wajahnya.
“Dara, maafkan aku. Aku merasa sangat bersalah karena tidak memberi kabar. Aku merindukanmu begitu banyak, dan aku ingin kita berusaha lebih keras lagi. Aku tahu kita bisa mengatasi semua ini bersama. Aku ingin kita terus menunggu, di bawah langit yang sama, meskipun lautan memisahkan kita. Aku ingin kembali kepadamu, Dara.”
Dara menutup mata sejenak, merasakan perasaan yang campur aduk antara kebahagiaan dan kelegaan. Azmi akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam bahwa ia pun merasakan hal yang sama. Mereka berdua kini menyadari bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, mereka masih memiliki kekuatan untuk bertahan. Rindu itu bukanlah beban, melainkan kekuatan yang mengikat mereka lebih kuat.
Dara menulis balasan dengan tangan yang sedikit gemetar, penuh dengan perasaan yang tulus. “Azmi, aku tahu kita bisa melewati ini. Aku menunggu kamu, meskipun jarak memisahkan kita. Lautan yang luas ini tidak akan menghalangi aku untuk bertahan menunggu di bawah langit yang sama.”
Setelah mengirimkan pesan itu, Dara merasa hati dan pikirannya lebih tenang. Rindu yang dulu terasa seperti sebuah beban kini berubah menjadi kekuatan untuk bertahan. Ia tahu bahwa setiap detik menunggu Azmi, meskipun terasa begitu panjang, adalah bagian dari perjalanan mereka. Cinta mereka mungkin tidak bisa bertemu setiap hari, tapi rasa itu tetap ada, kuat dan penuh harapan.
Dara tahu, saatnya akan datang. Suatu hari nanti, mereka akan bersama lagi. Tetapi untuk sekarang, ia akan terus menunggu, di antara lautan yang luas, di bawah langit yang sama.*
Bab 6 Waktu yang Tiba
Dara berjalan pelan menyusuri trotoar kota yang ramai, namun langkahnya terasa sepi. Suara kendaraan yang berlalu lalang, hiruk-pikuk orang-orang yang berlalu, semua itu seperti hampa baginya. Hatinya tidak di sini. Hatinya terbang jauh, berada di sana, di tempat yang entah kapan ia bisa kembali ke sana—tempat di mana Azmi menunggunya.
Setelah berbulan-bulan berkomunikasi hanya lewat pesan, telepon, dan sesekali video call, akhirnya, waktu yang mereka tunggu-tunggu tiba. Azmi menghubunginya beberapa hari yang lalu, memberi kabar yang telah lama ia harapkan Azmi akan kembali ke Jakarta untuk sementara waktu. Mereka sudah sepakat untuk bertemu, tetapi rasanya seperti mimpi yang tak bisa dipercayai. Dara tak tahu harus merasa senang atau cemas. Semua campur aduk dalam hatinya.
“Beberapa hari lagi, Dara. Aku akan kembali ke Jakarta. Aku janji, kita akan bertemu,” kata Azmi di telepon beberapa hari yang lalu. Dan sejak saat itu, setiap detik terasa begitu berat. Hati Dara terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. Akankah pertemuan mereka yang ditunggu-tunggu ini bisa seindah yang ia bayangkan? Atau justru akan membuat jarak dan rindu semakin terasa?
Dara merasa seperti terjebak dalam waktu yang menunggu. Hari-hari yang dilaluinya terasa lama, seakan tak ada habisnya. Rindu itu semakin tumbuh setiap hari. Ia sudah terlalu lama menunggu dan berharap bisa merasakan pelukan Azmi, mendengar suaranya tanpa perantara layar ponsel, dan melihat matanya yang penuh cinta. Tapi tak ada yang pernah bisa menggantikan pertemuan langsung. Segalanya terasa berbeda.
Hari yang ditunggu akhirnya datang. Dara sudah mempersiapkan segalanya penampilan, sikap, dan hatinya. Namun, di balik semua persiapan itu, ada keraguan yang tak bisa ia hilangkan. Apakah Azmi akan melihatnya seperti dulu? Apakah ia masih merasa nyaman dengan hubungan mereka yang terbentang jauh di antara mereka selama ini?
Dara memeriksa ponselnya sekali lagi. Tidak ada pesan masuk dari Azmi. Ia tahu Azmi pasti sedang dalam perjalanan menuju Jakarta, tapi mengapa tiba-tiba rasa cemas itu datang begitu saja? Akankah semuanya berjalan lancar? Ataukah waktu yang mereka habiskan bersama hanya akan menjadi kenangan, tanpa ada kelanjutan?
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
“Dara, aku sudah di Jakarta. Aku sedang menuju tempat kita akan bertemu. Aku tidak sabar untuk melihatmu lagi. Semoga kamu tidak terlalu banyak khawatir.”
Dara tersenyum kecil. Pesan singkat itu mampu menenangkan hatinya. Azmi sudah di sana, dekat. Tidak ada lagi layar ponsel yang memisahkan mereka, tidak ada lagi kata-kata yang tertunda karena waktu. Dalam beberapa jam ke depan, mereka akan bertemu benar-benar bertemu.
Ia berdiri dari tempat duduknya dan memutuskan untuk berjalan ke lokasi yang telah mereka tentukan. Setiap langkah terasa begitu berat, namun ia tahu, ini adalah langkah menuju kebahagiaan. Setiap detik terasa lebih cepat. Perasaan yang sudah lama terkubur kini mulai terbangun lagi. Waktu yang begitu lama ia nantikan, akhirnya tiba. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan Azmi.
Namun, di tengah perjalanan, ada perasaan yang mengganjal dalam hati Dara. Rasa ragu datang tiba-tiba, seperti awan mendung yang menyelimuti langit cerah. Apakah ini benar-benar saat yang tepat untuk bertemu? Apakah mereka sudah siap? Semua pertanyaan itu bergelayut di kepalanya, tetapi ia mencoba untuk menepisnya. Ini adalah kesempatan yang mereka tunggu-tunggu. Mereka harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin.
Dara tiba di tempat yang telah mereka tentukan sebuah kafe kecil di sudut kota. Tempat itu sederhana, namun memiliki kenangan manis bagi mereka berdua. Mereka pertama kali bertemu di tempat ini, di bawah langit malam yang penuh bintang. Itu adalah momen yang tidak pernah ia lupakan. Dan sekarang, setelah berbulan-bulan terpisah oleh jarak, mereka akan bertemu lagi di tempat yang sama.
Ia menunggu dengan hati yang berdebar. Setiap detik terasa begitu panjang, namun waktu tetap bergerak. Pikirannya terus melayang, mengenang momen-momen indah bersama Azmi. Rindu itu semakin mendalam, semakin menuntut untuk segera bertemu. Setiap detik yang berlalu seolah semakin membuatnya tak sabar.
Akhirnya, setelah beberapa saat, Dara melihat seorang pria berjalan menuju meja mereka. Matanya langsung bertemu dengan mata Azmi yang sudah lama ia rindukan. Semuanya terasa seperti dalam mimpi. Azmi tersenyum, senyuman yang selalu berhasil membuat hati Dara berdebar. Tidak ada kata-kata yang keluar pertama kali. Mereka hanya saling memandang, dan dalam keheningan itu, semua perasaan yang terkubur dalam jarak dan waktu seolah mengalir begitu saja.
Azmi duduk di hadapannya, menatapnya dengan penuh kehangatan. “Dara,” katanya, suara yang sudah lama tidak ia dengar. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Semua ini terasa seperti mimpi.”
Dara tertawa kecil, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku juga,” jawabnya, suaranya bergetar. “Aku sudah menunggu terlalu lama, Azmi. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa menghadapinya, tapi sekarang, akhirnya, kamu di sini.”
Azmi meraih tangannya dengan lembut, menggenggamnya erat. “Aku tahu. Aku tahu kita sudah melalui banyak hal. Jarak ini telah menguji kita, tetapi aku percaya kita bisa menghadapinya. Aku datang untuk mengatakan satu hal, Dara. Aku ingin kita mulai dari sini. Tidak ada lagi jarak yang memisahkan kita. Waktu yang kita habiskan terpisah hanya membuatku semakin yakin, kita ditakdirkan untuk saling bertemu dan bersama.”
Dara menatap Azmi dengan mata penuh haru. Kata-kata itu mengalir begitu tulus dari hati Azmi, dan Dara merasakannya dalam setiap detil dirinya. Inilah waktu yang mereka tunggu. Waktu yang menguji kesabaran, tetapi juga waktu yang membawa mereka untuk lebih dekat satu sama lain.
“Azmi, aku juga ingin itu. Aku ingin kita melangkah bersama, melewati semua rintangan ini. Meskipun perjalanan kita tidak mudah, aku siap menunggu, aku siap berjuang untuk kita,” jawab Dara, dengan suara yang tegas namun penuh harapan.
Mereka berdua duduk bersama, berbicara tentang semua yang telah terjadi, berbicara tentang masa depan yang ingin mereka capai bersama. Waktu yang dulu terasa begitu berat, kini mulai terasa ringan. Mereka tahu, pertemuan ini adalah awal dari babak baru dalam hubungan mereka. Meskipun jarak dan waktu telah menguji mereka, cinta mereka telah menguatkan ikatan itu.*
Bab 7 Menemukan Cinta yang Abadi
Hari itu terasa seperti sebuah babak baru dalam hidup Dara dan Azmi. Setiap kata yang terucap, setiap tatapan yang mereka tukar, membawa mereka lebih dekat pada sebuah kenyataan yang dulu hanya ada dalam mimpi. Setelah berbulan-bulan terpisah oleh jarak, akhirnya mereka bertemu, saling berbagi cerita dan tawa di bawah langit yang sama, dan meskipun waktu hanya memberi mereka beberapa jam bersama, semuanya terasa begitu penuh makna.
Azmi duduk di samping Dara di bangku taman kota, di tempat yang sering mereka bicarakan dalam pesan-pesan mereka. Di tempat inilah mereka merencanakan banyak hal, mengungkapkan impian, dan bahkan berjanji untuk tetap bertahan meskipun lautan luas memisahkan mereka. Dan kini, mereka berada di sini, bersama, merasakan sentuhan nyata dari cinta yang selama ini hanya mereka simpan dalam hati.
“Aku masih ingat semua percakapan kita dulu, Azmi,” kata Dara, matanya menatap langit senja yang mulai memerah. “Tentang impian kita, tentang bagaimana kita ingin saling berbagi kehidupan, meskipun jarak memisahkan kita.”
Azmi tersenyum, lalu meraih tangan Dara, menggenggamnya erat. “Aku ingat semua itu juga, Dara. Dan aku percaya, meskipun kita terpisah oleh ribuan kilometer, cinta kita akan selalu menemukan jalan untuk bersatu. Aku tahu, kita sudah melewati banyak ujian, dan waktu telah membuktikan bahwa kita kuat.”
Dara merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Azmi. Mereka berdua sudah melalui begitu banyak rintangan, menghadapi ketidakpastian, mengatasi keraguan, dan berjuang untuk cinta yang seakan terjaga di antara samudra yang luas. Namun, kini mereka telah berada di sini, di saat yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya—sebuah titik di mana waktu dan jarak tak lagi menjadi penghalang.
“Azmi,” suara Dara terdengar lebih pelan. “Aku rasa, kita telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar cinta. Kita menemukan keberanian, keteguhan, dan saling percaya. Kita telah menunjukkan pada diri kita sendiri bahwa cinta ini bukan hanya tentang saat-saat indah, tetapi tentang bagaimana kita bertahan dalam kesulitan dan tetap menjaga hati satu sama lain.”
Azmi menatap Dara dengan penuh kekaguman. “Kamu benar, Dara. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi sejak kita bertemu, aku merasa hidupku berubah. Aku merasa lebih kuat, lebih berani menghadapi segala sesuatu, karena aku tahu kamu ada di sini, dalam hatiku, meskipun kita terpisah oleh jarak. Dan sekarang, aku tahu, cinta kita bukanlah sesuatu yang sementara. Cinta kita adalah cinta yang abadi.”
Kata-kata Azmi membuat hati Dara bergetar. Setiap ungkapan itu datang begitu tulus, dan itu mengisi hatinya dengan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Cinta mereka tidak hanya terbangun karena pertemuan pertama yang manis, tetapi juga karena perjalanan panjang yang mereka jalani bersama—perjalanan yang mengajarkan mereka untuk saling mempercayai, saling memahami, dan saling mendukung, bahkan di saat-saat tersulit sekalipun.
Dara menggenggam tangan Azmi lebih erat, matanya memandangnya dengan penuh cinta. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, Azmi. Kita tahu, dunia ini tidak selalu memberi kita jalan yang mulus. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak ingin lagi hidup tanpa kamu. Aku ingin melewati sisa hidupku bersamamu.”
Azmi mengangkat wajah Dara dengan lembut, memandangnya dengan penuh kasih sayang. “Aku juga, Dara. Aku ingin kita berdua berjuang bersama, menjalani kehidupan ini berdampingan, bukan hanya dalam impian atau kata-kata, tetapi dalam kenyataan. Aku tidak takut dengan jarak atau waktu lagi, karena aku tahu, denganmu di sisi aku, kita bisa melewati segalanya.”
Mereka duduk bersama di bangku taman itu, menikmati ketenangan yang menyelimuti mereka. Matahari perlahan terbenam, memberikan cahaya hangat yang memantulkan warna keemasan di sekitar mereka. Suasana itu begitu damai, dan Dara merasa segala keraguan yang pernah ia rasakan kini menghilang begitu saja. Cinta yang mereka miliki bukan hanya cinta biasa. Itu adalah cinta yang tumbuh dan berkembang melalui ujian-ujian berat, cinta yang dibangun dengan kesabaran, kepercayaan, dan komitmen untuk selalu saling mendukung.
Kehidupan memang penuh dengan ketidakpastian, namun satu hal yang Dara dan Azmi pahami adalah bahwa mereka memiliki satu sama lain. Mungkin mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi mereka tahu bahwa cinta mereka akan selalu ada. Mereka memiliki satu sama lain untuk berbagi tawa, menghapus air mata, dan mengatasi setiap kesulitan yang datang.
“Aku ingin kita menjadi pasangan yang saling menguatkan,” kata Azmi, suaranya penuh harap. “Aku ingin kita menjadi bukti bahwa meskipun ada jarak yang memisahkan, cinta yang sejati tidak akan pernah pudar. Aku ingin kita menjadi contoh bahwa cinta itu tak terhentikan, tak terhalangi oleh apapun.”
Dara tersenyum, matahari yang semakin tenggelam membuat bayangannya semakin panjang. “Aku juga ingin itu, Azmi. Aku ingin kita bisa membuktikan bahwa meskipun jarak memisahkan kita, kita akan selalu bersama. Karena, di dalam hatiku, kita sudah bersama sejak pertama kali kita saling mengenal.”
Waktu terus berjalan, namun bagi Dara dan Azmi, waktu hanya menjadi saksi dari perjalanan cinta mereka yang abadi. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap rintangan yang mereka hadapi, membawa mereka lebih dekat ke satu tujuan—bersama, selamanya. Mereka tahu bahwa di dunia yang luas ini, ada begitu banyak tantangan, tetapi mereka juga tahu bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menghadapinya.
Sore itu, di bawah langit yang berwarna lembut, Dara dan Azmi merasa lebih yakin dari sebelumnya. Cinta yang mereka rasakan bukanlah cinta yang datang begitu saja, melainkan cinta yang dibangun dengan usaha, waktu, dan pengorbanan. Ini adalah cinta yang telah melalui ujian jarak dan waktu, dan kini mereka siap melangkah ke depan bersama. Dengan keyakinan dan tekad yang sama, mereka tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka akan terus berjalan beriringan, menuju masa depan yang mereka impikan bersama.
Dan di saat itu, dengan tangan yang saling menggenggam erat, mereka berdua tahu bahwa cinta yang mereka miliki tidak akan pernah terpisahkan. Cinta ini adalah cinta yang abadi.***
———–THE END————