Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

DI BAWAH POHON KENANGAN

DI BAWAH POHON KENANGAN

SAME KADE by SAME KADE
March 4, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 20 mins read
DI BAWAH POHON KENANGAN

Daftar Isi

  • BAB  1 PERTEMUAN  TAK  TERDUGA
  • BAB 2 DI  BAWAH  POHON  YANG  SAMA
  • BAB 3 MENGHITUNG  HARI
  • BAB  4  DI UJUNG HUJAN
  • BAB  5  TETESAN -TETESAN CINTA
  • BAB  6 MENYULAM  CINTA YANG  RAPUH
  • BAB 7  UJIAN TERBERAT

BAB  1 PERTEMUAN  TAK  TERDUGA

Pagi itu, langit cerah dengan sedikit awan putih yang melayang di atas kampus. Raina berjalan perlahan di sepanjang trotoar, menyeberangi halaman luas yang dihiasi dengan deretan pohon besar. Ia baru saja selesai menghadiri kuliah pagi, dan sekarang ia sedang melangkah menuju kantin untuk membeli secangkir kopi. Kuliah itu terasa lebih melelahkan dari biasanya, meskipun hanya materi dasar yang diulang-ulang, namun pikirannya terus melayang. Pikiran tentang apa yang akan terjadi hari ini, dan tentang seseorang yang tak sengaja selalu hadir di dalam bayangannya.

Pohon besar di tengah kampus, yang selalu menjadi tempat favoritnya untuk duduk sendiri, kembali menarik perhatian Raina. Pohon itu sudah ada sejak kampus ini pertama kali dibangun, dan menjadi simbol dari banyak kenangan para mahasiswa yang pernah menginjakkan kaki di sini. Raina menyukai tempat itu, karena di bawah pohon itu, ia bisa merasa sedikit lebih tenang, seolah dunia ini hanya miliknya.

Namun hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Ketika Raina melangkah mendekat ke pohon itu, matanya terfokus pada seseorang yang tengah duduk di bangku kayu yang terletak di bawah pohon yang sama. Seorang pria dengan jaket hitam, rambut cokelat yang sedikit acak-acakan, dan mata yang tajam namun terlihat lelah. Ia tengah menatap kosong ke arah langit, tampak tidak terpengaruh oleh keramaian di sekitar.

Raina berhenti sejenak, bingung apakah harus melanjutkan langkahnya atau kembali pergi. Ia tidak mengenal pria itu, namun ada sesuatu dalam dirinya yang merasa tertarik. Mungkin hanya rasa penasaran yang membuatnya berhenti. Tidak biasanya ada orang yang duduk di tempat favoritnya, terlebih seseorang yang tampaknya tidak terlalu ramah.

Namun sebelum Raina sempat bergerak, pria itu menoleh dan melihatnya. Matanya bertemu dengan mata Raina, dan dalam sekejap, ia merasakan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu yang menggelitik dalam hatinya, perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Raina memaksakan diri untuk tersenyum, meskipun rasa gugup mulai merayapi dirinya.

“Maaf, aku tidak mengganggu kan?” tanya Raina dengan suara pelan, sedikit canggung.

Pria itu menatapnya dengan tatapan bingung sesaat, lalu mengangguk pelan. “Oh, tidak. Aku hanya duduk sebentar. Silakan saja.”

Raina merasa sedikit lega, meskipun tidak sepenuhnya. Ia melangkah mendekat, memilih untuk duduk di bangku kayu yang terletak tidak jauh dari pria itu. Meskipun ada jarak di antara mereka, Raina bisa merasakan kehadiran pria itu, seperti ada sesuatu yang mengikat mereka, meskipun mereka belum saling mengenal.

Suasana di sekitar kampus mulai ramai dengan mahasiswa yang keluar dari kelas, tetapi Raina hanya duduk diam. Ia tidak tahu harus berkata apa, dan sepertinya pria itu pun tidak terlalu tertarik untuk berbicara. Mereka hanya duduk di sana dalam keheningan, namun Raina merasa ada semacam kedamaian yang langka.

Akhirnya, pria itu yang pertama kali membuka suara. “Kamu mahasiswa baru, kan?” tanyanya tanpa menoleh, hanya menatap langit yang cerah.

Raina terkejut, merasa sedikit bingung. “Iya, baru dua bulan ini. Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Kelihatannya kamu baru di sini. Aku sering melihat orang baru berkeliling sendirian. Sepertinya itu kamu.”

Raina tersenyum kecil, merasa sedikit lega. “Oh, aku memang masih baru. Baru mencoba menyesuaikan diri dengan kampus ini.”

Pria itu mengangguk pelan, lalu terdiam lagi. Raina ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba kata-kata terasa berat di lidahnya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Namun, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Sebuah rasa ingin mengenal pria ini lebih jauh, meskipun ia tahu itu mungkin terdengar aneh.

Setelah beberapa saat, pria itu kembali berbicara. “Aku Alif,” katanya, masih tanpa menoleh, namun kali ini suaranya terdengar lebih ramah.

“Raina,” jawabnya cepat, mencoba untuk tidak terdengar gugup. “Kamu sering duduk di sini?”

Alif mengangguk pelan. “Aku biasanya duduk di sini jika ada waktu luang. Tempat ini agak tenang, meskipun sering ramai. Banyak orang suka duduk di sini.”

Raina mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman dengan percakapan yang sederhana ini. Ada sesuatu yang membuatnya ingin berbicara lebih banyak dengan Alif, meskipun ia belum benar-benar mengenalnya. Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, Alif berdiri dan mengumpulkan barang-barangnya.

“Aku harus pergi sekarang,” kata Alif, sambil memegang tas ranselnya. “Senang bisa berbicara denganmu, Raina.”

“Ya, aku juga senang,” jawab Raina cepat, merasa sedikit kecewa karena percakapan mereka berakhir begitu saja. “Semoga kita bisa bertemu lagi.”

Alif tersenyum singkat, namun senyum itu terasa hangat bagi Raina. “Mungkin,” jawabnya, dan tanpa banyak bicara lagi, ia berjalan menjauh.

Raina hanya duduk di sana, masih merasa sedikit terkejut dengan pertemuan tak terduga itu. Ia tidak tahu kenapa pertemuan singkat itu begitu mengesankan, tetapi hatinya terus berdebar, seakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebetulan biasa. Dengan hati yang penuh pertanyaan, ia menatap pohon besar di depannya, merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, pohon itu juga menyimpan banyak kenangan yang belum terungkap.*

BAB 2 DI  BAWAH  POHON  YANG  SAMA

Hari itu terasa seperti sebuah kebetulan. Raina tak pernah mengira bahwa ia akan kembali bertemu Alif di tempat yang sama, di bawah pohon besar yang kini telah menjadi tempat favoritnya untuk sekadar beristirahat setelah kelas. Pohon itu seakan menyimpan banyak kenangan dalam dirinya—kenangan tentang rasa penasaran, keraguan, dan sebuah perasaan yang belum bisa ia ungkapkan. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

Raina duduk di bangku kayu yang terletak tepat di bawah rindangnya pohon besar itu, mengeluarkan buku catatannya dan mulai menulis. Angin yang sepoi-sepoi membawa kesegaran, dan hujan yang tadi turun pun kini telah reda. Suasana yang tenang membuatnya merasa nyaman meskipun pikiran dalam kepalanya terus berputar.

Tak lama, langkah kaki terdengar di antara dedaunan, dan sebelum Raina sempat menoleh, suara itu terdengar lebih dekat. Ia langsung menatap ke arah suara itu, dan matanya bertemu dengan mata Alif. Pemuda itu berdiri beberapa langkah di depannya, tampak sedikit canggung, tapi ada senyum yang tersungging di bibirnya.

“Raina,” panggil Alif dengan suara yang agak ragu.

Raina terkesiap, tak tahu harus berkata apa. Setiap kali ia bertemu Alif, ada perasaan aneh yang muncul di dalam dirinya. Seolah-olah dunia berhenti sejenak, dan ia merasa berada dalam gelembung kecil yang hanya ada dirinya dan Alif di dalamnya. Kali ini pun, perasaan itu muncul kembali.

“Alif…,” Raina akhirnya menjawab, mencoba mengatur napas agar tidak terlalu gugup. “Kamu di sini juga?”

Alif mengangguk sambil tersenyum sedikit lebih lebar. “Iya. Aku suka tempat ini. Rasanya tenang, ya?”

Raina mengangguk setuju, meskipun hatinya mulai berdebar lebih cepat. Ia belum pernah benar-benar berbicara banyak dengan Alif sebelumnya, meskipun mereka sering bertemu di tempat ini. Tetapi kali ini rasanya sedikit berbeda. Ada kedekatan yang tak bisa ia pungkiri, meskipun mereka hanya berdua di sana.

Alif perlahan duduk di sebelahnya, tepat di bangku kayu yang sama. Mereka berdua duduk dalam diam untuk beberapa lama, hanya ditemani suara angin yang berdesir lembut di antara dedaunan dan suara langkah kaki dari jauh. Raina merasa sedikit canggung, tapi anehnya, dia merasa nyaman dengan kehadiran Alif. Ia menundukkan kepalanya, berusaha mengalihkan perhatian dengan membuka buku catatannya lagi.

“Pernahkah kamu merasa, kadang-kadang kita bertemu orang yang langsung membuat kita merasa nyaman tanpa perlu banyak bicara?” kata Alif tiba-tiba, memecah keheningan.

Raina menatap Alif sejenak, kebingungannya semakin bertambah. “Maksudmu?”

Alif menoleh ke arahnya, senyumnya tetap tidak hilang. “Maksudku, kadang kita bertemu seseorang yang seakan-akan kita sudah mengenalnya lama. Tanpa perlu banyak usaha, tanpa harus membuat percakapan yang panjang. Hanya dengan berada di dekatnya, semuanya terasa begitu alami.”

Raina terdiam, meresapi kata-kata itu. Ia merasa aneh mendengarnya, karena ia merasa hal yang sama. Setiap kali ia melihat Alif, perasaan itu selalu datang. Ada semacam kehangatan yang membuatnya merasa seperti di rumah, meskipun mereka hanya berbicara sedikit.

“Aku rasa, aku mengerti apa yang kamu maksud,” jawab Raina pelan. “Aku merasa begitu ketika di sini, di bawah pohon ini, dengan kamu. Seperti ada sesuatu yang membuatku merasa tenang, tanpa harus berusaha keras.”

Alif tersenyum lebih lebar, dan kali ini ada sedikit kelonggaran di wajahnya. “Mungkin karena kita berbagi tempat yang sama. Atau mungkin ada sesuatu yang lebih dalam dari itu.”

Raina menoleh, menatap Alif lebih lama. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebetulan. Apa yang Alif katakan menyentuh hatinya dengan cara yang tak bisa ia jelaskan. Ia merasa ada ikatan yang terjalin meskipun mereka baru saja memulai percakapan ini.

“Kenapa kamu sering menghindari percakapan lebih lama dengan orang lain, Alif?” tanya Raina tanpa sadar. “Kamu terlihat seperti orang yang lebih suka menyendiri.”

Alif sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, namun ia tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Kadang-kadang, aku merasa tidak nyaman berbicara dengan orang lain. Ada banyak hal yang tidak ingin aku bicarakan, dan aku lebih suka menjaga jarak. Itu bukan berarti aku tidak ingin dekat dengan orang, hanya saja…” Ia terhenti sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Kadang, terlalu banyak berbicara malah membuatku merasa lebih jauh dari orang-orang.”

Raina mendengarkan dengan seksama. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dalam diri Alif, dan mungkin inilah alasan mengapa ia sering terlihat pendiam. Ada banyak hal yang disembunyikan di balik tatapan mata yang penuh ketenangan itu.

“Aku mengerti,” jawab Raina perlahan. “Terkadang, orang merasa lebih mudah menjaga jarak daripada membiarkan orang lain masuk ke dalam dunia mereka.”

Alif menatap Raina dengan mata yang lebih lembut. “Ya. Tapi kadang, ada kalanya kita juga butuh seseorang untuk berbicara. Mungkin itu salah satu alasan kenapa aku merasa nyaman berbicara denganmu, Raina.”

Kata-kata itu membuat hati Raina berdebar lebih cepat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Namun, entah kenapa, mendengar pernyataan itu membuatnya merasa lebih dekat dengan Alif, seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama.

Mereka kembali terdiam, namun kali ini keheningan itu terasa berbeda. Tidak ada lagi rasa canggung di antara mereka. Mereka berbagi perasaan yang dalam, meskipun tanpa banyak kata-kata.

Saat itu, Raina menyadari bahwa pertemuan mereka di bawah pohon ini bukanlah kebetulan. Pohon ini menjadi saksi dari sebuah awal yang baru—sebuah awal dari hubungan yang mungkin tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tetapi cukup dirasakan dalam hati.

Alif menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya, Raina merasa bahwa dia bisa membiarkan dirinya terbuka, berbicara lebih banyak, dan mungkin, hanya mungkin, ada lebih banyak cerita yang bisa mereka bagi bersama di bawah pohon ini.*

BAB 3 MENGHITUNG  HARI

Hari-hari terasa semakin panjang dan penuh tanda tanya bagi Raina. Di kampus yang sama, di bawah pohon yang sama, ia merasakan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Pertemuan demi pertemuan dengan Alif semakin mempererat hubungan mereka, meskipun kadang-kadang ia merasa bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.

Setiap pagi, Raina tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan Alif. Ia berharap bisa bertemu dengannya lagi di bawah pohon besar yang telah menjadi saksi dari banyak kenangan mereka. Namun, ada juga rasa ragu yang menggelayuti hatinya—apakah Alif merasakan hal yang sama? Apakah perasaan yang ia rasakan adalah sesuatu yang lebih dari sekadar rasa ingin tahu atau simpati?

Setiap kali ia melihat Alif di kampus, hatinya berdebar-debar. Senyum tipis Alif selalu membuatnya merasa cemas sekaligus bahagia. Namun, mereka berdua belum benar-benar mengungkapkan perasaan masing-masing. Mereka hanya berbicara tentang hal-hal sederhana—kuliah, cuaca, atau bahkan buku yang sedang mereka baca. Percakapan itu selalu terasa ringan, tapi ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka.

Raina mulai menghitung hari-hari yang ia lewati, menunggu momen di mana mereka akhirnya akan saling mengungkapkan perasaan mereka. Setiap hari, ia merasa semakin dekat dengan Alif, namun juga semakin takut akan penolakan. Ketakutannya itu semakin membesar ketika ia menyadari bahwa dia belum benar-benar mengenal Alif dengan baik. Hanya ada sedikit percakapan di antara mereka, namun Raina merasa seperti ada sesuatu yang menghalangi Alif untuk membuka diri sepenuhnya.

Di sisi lain, Alif tampaknya lebih tertutup. Raina seringkali merasa bahwa Alif sengaja menghindari pembicaraan yang lebih dalam. Meskipun mereka berbicara tentang banyak hal, Alif selalu menghindari topik-topik yang menyentuh kehidupan pribadinya. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Raina. Ia merasa bahwa Alif menyimpan banyak rahasia, dan itu membuatnya semakin penasaran.

Pada suatu sore yang cerah, Raina kembali bertemu dengan Alif di bawah pohon kenangan. Hujan yang turun tadi pagi telah reda, meninggalkan udara segar dan langit biru yang indah. Raina duduk di bangku kayu yang ada di bawah pohon itu, sambil menunggu Alif datang seperti biasanya. Ia merasakan perasaan campur aduk di hatinya—antara harapan dan kekhawatiran.

Tak lama setelah itu, Alif datang, mengenakan jaket biru tua yang terlihat nyaman. Senyum tipisnya membuat jantung Raina berdegup lebih cepat. Mereka berdua duduk bersama, seperti biasa, tetapi kali ini suasana terasa berbeda. Ada ketegangan yang hampir bisa dirasakan di udara.

“Lagi sibuk?” tanya Alif, mencoba memulai percakapan seperti biasanya.

Raina tersenyum, meskipun ada sedikit keraguan dalam senyumnya. “Sibuk dengan tugas kuliah, seperti biasa,” jawabnya sambil memandangi Alif. “Kamu sendiri?”

“Cukup banyak yang harus dikerjakan,” jawab Alif singkat, tetapi matanya menghindar dari tatapan Raina. Raina merasa ada yang aneh dengan sikap Alif hari itu. Biasanya, ia akan lebih santai dan terbuka, namun kali ini ada jarak yang terasa semakin lebar.

Raina merasa sedikit kecewa, tetapi ia mencoba untuk tidak menunjukkan perasaannya. Ia mengalihkan pembicaraan, berharap bisa membawa percakapan ke arah yang lebih ringan. “Kamu sudah makan siang?” tanyanya, berusaha mencairkan suasana.

Alif mengangguk, namun terlihat ragu untuk menjawab lebih banyak. Raina menyadari betapa canggungnya mereka berdua. Mereka berbicara, namun kata-kata itu seakan tidak mengalir dengan lancar. Tiba-tiba, Raina merasa seolah-olah ada tembok yang terbentuk di antara mereka, meskipun mereka duduk sangat dekat.

Setelah beberapa menit terdiam, Raina akhirnya tidak bisa menahan rasa penasaran yang sudah lama terpendam dalam hatinya. “Alif, aku ingin bertanya sesuatu,” katanya dengan suara pelan, hampir seperti berbisik.

Alif menoleh ke arahnya, matanya terlihat sedikit terkejut. “Tanya apa?”

Raina menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya. “Kenapa kamu selalu menghindar saat aku mencoba membicarakan hal-hal yang lebih personal? Apakah kamu… tidak nyaman dengan aku?”

Alif terdiam sejenak, matanya menatap Raina dengan tatapan yang sulit untuk dibaca. Raina bisa merasakan ketegangan dalam dirinya, namun ia tidak ingin mundur. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya ada di hati Alif.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, Alif akhirnya berbicara. “Aku… aku bukan orang yang mudah untuk membuka diri,” kata Alif pelan, matanya menunduk. “Ada banyak hal dalam hidupku yang sulit untuk aku ceritakan. Aku takut jika aku menceritakannya, kamu akan menjauh.”

Raina merasa hatinya tergetar. Ia tidak menyangka bahwa Alif menyimpan rasa takut sebesar itu. Ia menyentuh lengan Alif dengan lembut. “Aku tidak akan pergi,” katanya dengan tegas. “Aku di sini untukmu, Alif. Tidak peduli apa yang terjadi di masa lalu.”

Alif menatap Raina, dan untuk pertama kalinya, ada kehangatan dalam tatapannya. “Terima kasih, Raina,” jawabnya, suara yang lebih lembut dari biasanya. “Aku… aku hanya takut jika aku mengungkapkan semuanya, kamu akan meninggalkanku.”

Raina tersenyum, merasa lega bahwa akhirnya mereka bisa saling membuka diri. “Aku tidak akan pergi,” ulangnya. “Aku di sini, dan aku ingin kita saling memahami.”

Mereka duduk diam sejenak, meresapi perasaan yang semakin kuat di antara mereka. Hari-hari yang mereka hitung bersama akhirnya mulai terasa lebih bermakna. Tidak ada lagi rasa ragu yang menghalangi langkah mereka. Meskipun perasaan itu masih baru, mereka tahu bahwa mereka telah memulai perjalanan yang tak bisa lagi diubah.*

BAB  4  DI UJUNG HUJAN

Hujan turun dengan derasnya, mengguyur jalanan kampus yang sepi. Raina memandang keluar jendela ruangan tempatnya duduk, menyaksikan tetesan hujan yang jatuh dan membasahi tanah. Sudah beberapa hari ini, hujan selalu datang tanpa pemberitahuan, seakan ingin menyampaikan pesan-pesan yang tersembunyi di balik setiap tetesnya. Namun, hari ini hujan terasa berbeda, seolah ada sesuatu yang tak terucapkan, sesuatu yang mengikat hatinya dengan rasa yang semakin tak terkendali.

Di luar sana, di bawah pohon kenangan yang selalu menjadi tempat mereka bertemu, Alif tampak berdiri sendirian. Raina tahu, meskipun tidak ada yang mengatakannya secara langsung, Alif pasti sedang menunggu kehadirannya. Hujan tidak pernah menjadi halangan bagi mereka untuk bertemu, meskipun perasaan yang semakin membara di dalam diri mereka kadang terasa seperti badai yang tak terhindarkan.

Dengan langkah ragu, Raina akhirnya memutuskan untuk keluar. Ia mengenakan jas hujan tipis dan berlari kecil menuju pohon itu. Setiap tetes hujan yang mengenai kulitnya terasa dingin, namun entah mengapa ia merasa ada kehangatan yang mengalir di dalam hatinya. Suasana ini, di bawah langit yang mendung dan hujan yang terus turun, mengingatkannya pada perasaan yang semakin dalam terhadap Alif.

Sesampainya di bawah pohon kenangan, Raina melihat Alif sedang berdiri mematung, seolah terjebak dalam pikirannya sendiri. Wajahnya tampak serius, dengan mata yang terfokus pada jarak yang tak terlihat. Namun, ketika mendengar suara langkah Raina, ia menoleh perlahan, dan senyum tipis pun menghiasi bibirnya. Senyum yang selalu membuat jantung Raina berdegup lebih cepat.

“Kau datang juga,” kata Alif, suara rendahnya terdengar lembut meskipun hujan mengguyur dengan keras.

Raina hanya tersenyum kecil. “Aku tak bisa membiarkanmu sendiri di sini, di bawah hujan, kan?” jawabnya, mencoba terdengar santai meskipun hatinya berdebar hebat.

Alif memandangnya dengan tatapan yang dalam. “Kau tahu, terkadang hujan membawa banyak kenangan. Tapi ada kalanya, hujan juga bisa membuat kita merasa bingung, seperti berada di persimpangan jalan tanpa tahu harus melangkah ke mana.”

Raina terdiam sejenak, mencoba memahami maksud kata-kata Alif. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang menggetarkan, seolah ada sesuatu yang lebih dalam yang ingin ia ungkapkan, namun terhalang oleh rasa takut. Ia merasakan ketegangan di udara, sesuatu yang memaksa keduanya untuk menghadapi kenyataan yang selama ini mereka hindari.

“Apa yang kau maksud?” tanya Raina pelan, berusaha untuk tidak terdengar terlalu penasaran, namun hatinya sudah penuh dengan rasa ingin tahu.

Alif menatapnya dengan mata yang penuh kebingungan, seperti sedang mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaan yang menghantui dirinya. “Aku… aku merasa ada sesuatu yang tak bisa aku kendalikan, Raina. Setiap kali aku dekat denganmu, aku merasa ada ketakutan yang tumbuh dalam diriku. Ketakutan akan kehilangan, ketakutan bahwa aku tidak akan mampu memberi apa yang kau butuhkan.”

Raina menunduk, merasa hatinya serasa tersayat. Ia tahu bahwa perasaan takut itu adalah hal yang wajar, tapi mendengar pengakuan itu dari Alif membuatnya merasa terhimpit. Selama ini, ia juga merasakan hal yang sama, rasa takut akan perasaan yang semakin tumbuh, takut akan sebuah kenyataan yang tidak bisa mereka kendalikan.

“Kau tahu, aku juga merasa seperti itu, Alif,” ujar Raina dengan suara yang gemetar. “Aku takut, takut jika akhirnya aku tidak bisa menjaga perasaan ini, takut jika kita akhirnya akan kehilangan satu sama lain karena ketakutan kita sendiri.”

Alif menunduk, meremas tangan yang sudah basah karena hujan. “Aku takut kau akan menemukan seseorang yang lebih baik dariku, yang bisa memberikan segalanya. Aku hanya bisa memberikan apa yang aku punya, dan itu terkadang rasanya tidak cukup.”

Raina mendekat, meletakkan tangannya di atas tangan Alif yang erat menggenggam. “Alif, kita tidak perlu menjadi sempurna untuk satu sama lain. Aku tidak peduli dengan segala kekuranganmu. Apa yang aku inginkan hanyalah ada bersamamu. Aku tidak mencari kesempurnaan, aku hanya mencari seseorang yang bisa bersama dengan aku dalam suka dan duka.”

Alif menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca, namun ada kehangatan yang mulai menyelimuti matanya. “Tapi aku takut, Raina. Takut jika akhirnya kita tidak bisa bersama. Takut jika perasaan ini hanya akan menjadi kenangan yang tak bisa terwujud.”

Raina menggenggam tangan Alif lebih erat. “Jangan takut, Alif. Aku di sini, dan aku ingin kita mencoba. Jangan biarkan ketakutan kita menghalangi kita untuk merasakan apa yang bisa kita miliki.”

Dalam keheningan yang dipenuhi dengan suara hujan yang semakin deras, mereka berdua saling menatap dengan hati yang penuh keraguan dan harapan. Di bawah pohon kenangan yang telah menjadi saksi bisu perjalanan mereka, mereka tahu bahwa cinta yang mereka rasakan bukanlah sesuatu yang mudah, namun itu adalah sesuatu yang mereka tak ingin lepaskan begitu saja.

“Aku ingin mencoba,” bisik Alif akhirnya, dengan suara yang penuh keyakinan. “Aku ingin berjalan bersamamu, meskipun aku tahu kita akan menghadapi banyak ketakutan. Tapi aku tidak ingin kehilanganmu, Raina.”

Raina tersenyum dengan lembut, merasa lega sekaligus bahagia. “Aku juga, Alif. Aku ingin kita mencoba bersama, melewati hujan ini dan apapun yang akan datang. Kita bisa menghadapinya bersama.”

Mereka berdua berdiri di bawah pohon yang sama, di ujung hujan yang seakan tak ingin berhenti. Namun, kali ini, hujan tidak lagi terasa menghalangi langkah mereka. Sebaliknya, hujan itu menjadi saksi dari keputusan yang mereka ambil bersama—untuk saling mencoba, untuk tidak menyerah pada ketakutan, dan untuk membuka hati mereka satu sama lain.*

BAB  5  TETESAN -TETESAN CINTA

Hujan mulai turun perlahan, menetes di atas daun-daun pohon yang berada di sekitar mereka. Raina dan Alif duduk di bawah pohon kenangan yang telah menjadi tempat mereka menghabiskan waktu bersama. Udara segar yang mengalir membawa kedamaian, namun di dalam hati mereka, ada perasaan yang lebih dalam dan tak terucapkan. Mereka berdua tahu bahwa apa yang mereka rasakan bukan sekadar pertemuan biasa, melainkan sesuatu yang istimewa.

Di tengah gerimis yang perlahan turun, Alif memandang Raina dengan tatapan yang serius. Tidak ada lagi ragu di dalam hatinya. Sudah terlalu lama ia menyembunyikan perasaannya, dan kini saatnya untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya.

“Raina,” kata Alif dengan suara yang agak bergetar, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. “Aku… aku sudah lama ingin mengatakan sesuatu.”

Raina yang sebelumnya hanya diam, menoleh ke arah Alif dengan hati yang berdebar. Ia tahu bahwa momen ini adalah titik balik dalam hubungan mereka, dan ia pun merasakan ketegangan yang sama. Seiring dengan derasnya hujan, ada perasaan yang mulai menumpuk dalam dirinya. Sesuatu yang ia pendam dalam hati, meskipun selama ini ia berusaha untuk tidak mengakui.

“Apa itu?” tanya Raina dengan lembut, suaranya sedikit tertahan.

Alif menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Matanya tetap tertuju pada Raina, namun kali ini tidak ada lagi ketakutan di dalam tatapannya. Semua kecemasan dan keraguan yang dulu menghalanginya kini perlahan menghilang, digantikan oleh keyakinan yang semakin kuat.

“Aku mencintaimu, Raina,” katanya akhirnya, suara itu keluar dengan tulus. “Aku tahu mungkin aku bukan orang yang sempurna, dan kita punya banyak perbedaan. Tapi aku merasa, sejak pertama kali kita bertemu di bawah pohon ini, hatiku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Aku mencintaimu lebih dari yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata.”

Raina terdiam sejenak. Hujan yang semakin deras di luar menjadi latar belakang dari kebingungannya. Namun di dalam hatinya, perasaan yang sama juga terbangun, meskipun ia belum sepenuhnya siap untuk mengungkapkannya. Ia merasakan ketulusan dalam kata-kata Alif, dan itu membuatnya merasa sangat tersentuh. Namun, ada perasaan takut yang kembali datang, ketakutan untuk membuka hatinya sepenuhnya.

“Alif, aku…” kata Raina terbata-bata, mencoba merangkai kata-kata yang bisa mengungkapkan perasaannya.

Alif menatapnya, penuh harap. “Kamu tidak perlu terburu-buru, Raina. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku sudah siap untuk mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku ingin kita menjalani semuanya bersama.”

Raina menggigit bibir bawahnya, matanya berkilau karena emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Alif sudah lebih dari sekadar persahabatan. Sejak pertama kali mereka bertemu, ada sesuatu yang berbeda. Alif membuatnya merasa nyaman, merasa seperti dirinya yang sebenarnya. Namun, ketakutan untuk terluka kembali membuatnya menahan diri.

“Aku takut, Alif,” akhirnya Raina mengakui, suaranya perlahan terlepas dengan kejujuran. “Aku takut jika perasaan ini akan berakhir dengan sakit hati. Aku takut membuka hati ini lagi.”

Alif mengangguk, wajahnya sedikit murung, namun ia tetap tersenyum. “Aku mengerti, Raina. Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi. Aku akan bersabar.”

Raina merasa ada beban yang sedikit terangkat dari hatinya. Ia merasa lega, meskipun perasaan takut itu masih ada. Tapi sekarang, ada satu hal yang jelas di hatinya—Alif benar-benar peduli padanya. Dan itu membuatnya sedikit lebih berani untuk membuka hati, meskipun perlahan.

“Aku… aku juga merasa hal yang sama, Alif,” kata Raina akhirnya, suaranya lebih mantap. “Aku juga tidak bisa berhenti memikirkanmu. Tapi aku takut, aku takut jika semuanya akan berubah, atau jika aku akan terluka lagi.”

Alif menggenggam tangan Raina dengan lembut, matanya menatap penuh kasih. “Aku tidak akan membuatmu terluka, Raina. Aku berjanji, aku akan selalu ada untuk kamu. Aku akan berjuang untuk kita, meskipun itu tidak mudah.”

Hujan semakin deras, namun kali ini, Raina merasa lebih tenang. Suasana di sekitar mereka menjadi semakin hening, hanya terdengar suara tetesan hujan yang jatuh di atas daun-daun pohon. Di bawah pohon kenangan itu, mereka duduk berdua, saling memandang satu sama lain dengan penuh perasaan. Raina merasa bahwa momen ini adalah momen yang tak akan pernah terlupakan. Ini adalah titik awal yang baru dalam hubungan mereka.

“Aku ingin kita coba, Alif,” kata Raina, matanya berkilau dengan harapan. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku ingin kita mencoba melangkah bersama.”

Alif tersenyum bahagia, merasa seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua. “Aku senang mendengarnya, Raina. Aku berjanji, apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di sisimu.”

Mereka duduk di bawah pohon itu, berbagi keheningan yang penuh makna. Tetes-tetes hujan yang jatuh di atas mereka menjadi saksi dari pengakuan cinta pertama yang tulus. Dalam diam itu, mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Meskipun penuh ketakutan dan keraguan, mereka akan menghadapinya bersama, langkah demi langkah.

Raina menatap Alif dengan senyum yang tulus, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Cinta pertama mereka, yang semula tampak rapuh seperti tetes hujan, kini tumbuh menjadi sesuatu yang lebih kuat, sesuatu yang layak untuk diperjuangkan. Di bawah pohon kenangan ini, mereka berdua tahu bahwa cinta mereka akan selalu mengalir, seperti hujan yang terus turun dengan lembut, memberi kehidupan pada segala yang ada.*

BAB  6 MENYULAM  CINTA YANG  RAPUH

Cinta pertama sering kali seperti benang yang tipis dan rapuh, mudah putus jika tidak dijaga dengan hati-hati. Begitu pun dengan hubungan antara Raina dan Alif. Setelah mereka resmi menjadi sepasang kekasih, kebahagiaan yang mereka rasakan tidak serta-merta membawa kedamaian yang langgeng. Justru, ujian-ujian mulai datang dengan cara yang tak terduga.

Raina duduk di bangku taman kampus, matanya menatap kosong ke depan. Musim gugur baru saja dimulai, dan dedaunan berwarna coklat keemasan mulai berguguran. Hujan yang rintik-rintik semalam meninggalkan udara yang dingin, dan sejenak, rasa cemas kembali menghantui hatinya. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada perasaan aneh yang mulai merayap di dalam dirinya.

Meskipun ia tahu bahwa Alif adalah orang yang penuh perhatian, ada sisi dalam dirinya yang merasa ragu. Alif adalah seorang pemuda yang tertutup, dan meskipun mereka sudah menjadi kekasih, Raina merasa belum sepenuhnya mengenal dirinya. Setiap kali ia bertanya lebih dalam tentang masa lalu Alif, ia hanya mendapatkan jawaban yang samar, bahkan cenderung menghindar. Alif selalu mengalihkan pembicaraan ke topik lain, dan itu membuat hati Raina semakin ragu.

Pada suatu hari, mereka bertemu di kafe kampus seperti biasa. Alif datang dengan wajah yang tampak lelah, dan meskipun ia tersenyum, Raina bisa melihat bahwa ada sesuatu yang mengganggunya. Ia mencoba untuk mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mulai muncul, tetapi semakin lama, rasa itu semakin membesar.

“Alif, ada yang ingin kubicarakan,” kata Raina, suaranya bergetar. Alif yang sedang mengaduk kopinya menatapnya dengan serius.

“Ada apa, Lya?” tanya Alif, nada suaranya terdengar cemas. Ia menatap Raina dengan tatapan yang penuh perhatian, namun ada jarak yang tidak bisa Raina jangkau.

Raina menatap Alif dengan mata penuh pertanyaan. “Kenapa kamu selalu menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang masa lalumu? Kenapa kamu tidak pernah ingin membahasnya? Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?”

Alif terdiam. Ia menurunkan cangkir kopi yang baru saja dipegangnya, lalu menatap Raina dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Wajahnya menjadi lebih serius, dan Raina bisa merasakan ketegangan yang mulai menyelimuti mereka berdua.

“Aku… tidak ingin membebanimu dengan masa laluku, Lya,” jawab Alif pelan, suaranya berat. “Masa lalu itu… tidak mudah untuk dihadapi, dan aku tidak ingin itu mengganggu hubungan kita.”

Raina merasa hatinya serasa terhimpit. “Tapi Alif, aku tidak ingin hubungan kita dibangun di atas ketidakjelasan. Aku ingin kita saling terbuka, saling mengerti, dan tidak ada yang disembunyikan. Jika kita tidak bisa saling percaya, lalu untuk apa kita bersama?”

Alif menatap Raina dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku tahu. Aku hanya tidak tahu bagaimana cara membuka diri tentang semua ini. Aku takut kamu akan pergi setelah mendengar cerita-cerita yang tidak ingin aku ingat lagi.”

Raina menggenggam tangan Alif, mencoba memberikan kenyamanan. “Aku di sini untukmu, Alif. Aku tidak akan pergi hanya karena masa lalu yang buruk. Kita bisa menghadapinya bersama, bukan?”

Namun, meskipun Raina berkata begitu, hatinya terasa berat. Setiap kali ia berusaha memahami Alif, semakin banyak hal yang membuatnya merasa terpisah. Mereka mulai merasa seperti dua orang yang saling hidup dalam dunia yang berbeda, meskipun keduanya menginginkan hubungan ini berhasil.

Hari-hari berikutnya, hubungan mereka menjadi semakin canggung. Raina merasa ada jarak yang tak terucapkan antara mereka, sebuah tembok tak terlihat yang dibangun oleh ketakutan dan ketidakjelasan. Mereka masih sering bertemu di bawah pohon kenangan yang menjadi saksi bisu dari kisah cinta pertama mereka, namun perasaan itu sudah tidak lagi sehangat dulu. Ada keraguan yang tak bisa diungkapkan, seperti bayangan yang selalu mengikuti langkah mereka.

Raina merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang tipis. Setiap kata yang diucapkan, setiap tindakan yang dilakukan, terasa penuh dengan ketegangan yang tak terungkapkan. Ia ingin sekali membicarakan semuanya dengan Alif, namun ia takut jika itu akan membuat segalanya semakin buruk.

Di sisi lain, Alif juga merasa tertekan. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya pantas untuk Raina, tetapi ketakutannya akan masa lalu terus menghantuinya. Ia tahu bahwa jika ia membuka diri sepenuhnya, itu mungkin akan mengubah cara Raina melihat dirinya. Ia takut kehilangan Raina, dan ketakutannya itu justru semakin membuatnya menjauh.

Namun, mereka berdua tidak bisa berlama-lama dalam ketegangan ini. Suatu hari, ketika mereka kembali bertemu di bawah pohon kenangan, Raina memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya.

“Alif, aku tidak bisa terus begini,” katanya dengan suara yang tegas, meskipun hatinya berdebar. “Aku ingin kita menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kita saling membuka diri. Jika kita benar-benar ingin berada di sini, bersama, kita harus bisa menghadapinya.”

Alif menunduk, kemudian mengangguk perlahan. “Aku tahu, Lya. Aku… aku terlalu takut. Tapi aku ingin berusaha. Aku ingin kita bisa melewati ini bersama.”

Dengan keputusan itu, mereka mulai berusaha menyulam kembali cinta yang rapuh itu. Mereka belajar untuk saling membuka diri, meskipun itu tidak mudah. Alif mulai menceritakan sebagian dari masa lalunya, dan Raina mendengarkan dengan hati yang lapang, tanpa menghakimi. Mereka tahu, meskipun cinta pertama ini terasa rapuh, jika mereka berusaha dengan sungguh-sungguh, cinta itu bisa tumbuh dan berkembang.

Setiap langkah yang mereka ambil bersama menjadi lebih kuat, lebih teguh. Meskipun perjalanan mereka penuh dengan ketakutan dan keraguan, mereka tahu bahwa mereka tidak bisa mundur lagi. Mereka harus maju bersama, menyulam cinta yang rapuh itu dengan benang-benang kepercayaan dan keberanian.*

BAB 7  UJIAN TERBERAT

Raina berdiri di depan jendela kamar kosnya, menatap hujan yang turun dengan deras di luar sana. Suasana itu mengingatkannya pada banyak hal—tentang hujan yang pertama kali mempertemukan dirinya dengan Alif, tentang setiap percakapan yang tercipta di bawah pohon kenangan, dan juga tentang semua kebahagiaan yang mereka rasakan bersama. Namun, di balik kenangan itu, ada satu hal yang selalu mengusik pikirannya akhir-akhir ini—rasa takut kehilangan.

Kehidupan mereka berdua semula tampak sempurna. Setiap langkah mereka dipenuhi dengan harapan, dan setiap kata yang terucap terasa penuh makna. Namun, akhir-akhir ini, sesuatu yang tak terduga datang merusak ketenangan mereka. Sesuatu yang sulit untuk dijelaskan, namun jelas terasa oleh keduanya—jauh di dalam hati, mereka tahu bahwa ada yang berubah.

Alif mulai berubah. Semula, ia selalu memberi perhatian dan mendukung setiap langkah yang diambil Raina. Tetapi belakangan ini, ada jarak yang terbentuk di antara mereka. Ia mulai sering menghindar, jarang menghubungi Raina, dan lebih memilih menghabiskan waktu sendirian. Raina merasakan hal itu, meski ia berusaha menyangkalnya.

“Kenapa dia menjadi begitu dingin?” pikir Raina, merasa bingung dan terluka. Alif tidak seperti yang dulu lagi—pria yang penuh perhatian dan begitu hangat. Di luar sana, hujan semakin deras, seperti mencerminkan perasaan Raina yang gelisah. Hatinya mulai dipenuhi dengan keraguan, dan ketakutan akan kehilangan mulai menyelimuti dirinya.

Keesokan harinya, Raina memutuskan untuk menemui Alif. Ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian seperti ini. Pagi itu, mereka sepakat untuk bertemu di bawah pohon kenangan, tempat yang selama ini menjadi saksi perjalanan mereka bersama.

Saat Raina tiba di tempat itu, ia melihat Alif sudah berada di sana. Namun, ekspresinya kali ini sangat berbeda. Wajahnya tampak suram, dan matanya terlihat kosong. Tidak ada senyum hangat seperti biasanya. Raina merasa hatinya semakin berat.

“Alif,” suara Raina terdengar sedikit gemetar saat ia mendekati pria itu. “Kenapa akhir-akhir ini kamu menjauh? Apa yang terjadi?”

Alif menghela napas panjang, seakan-akan beban yang ada di hatinya terlalu berat untuk dibicarakan. Ia menoleh ke arah Raina, dan dalam sekejap, Raina bisa melihat ada rasa sakit di mata Alif. Ia merasa seperti ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk saling terhubung lagi.

“Aku minta maaf, Raina,” kata Alif dengan suara yang rendah. “Aku… aku sedang menghadapi masalah besar. Masalah yang aku rasa tidak bisa kubagikan denganmu.”

Raina merasa jantungnya terhenti sejenak. “Masalah apa? Aku ingin membantu, Alif. Aku ingin kita menghadapinya bersama.”

Namun, Alif menundukkan kepalanya. “Ini bukan tentang kita, bukan tentang hubungan kita. Tapi aku merasa aku tidak bisa terus melibatkanmu dalam masalahku. Aku tidak ingin kamu terbebani oleh itu.”

Raina merasa ada jarak yang semakin lebar antara mereka. Kata-kata Alif membuatnya merasa seperti sebuah tembok tak terlihat terbentuk di antara mereka, tembok yang sulit untuk dijebol. Raina bisa merasakan bahwa masalah yang dihadapi Alif jauh lebih berat dari yang ia kira. Namun, ia juga tahu bahwa jika mereka ingin bertahan bersama, mereka harus saling terbuka dan saling mendukung.

“Alif,” suara Raina terdengar lebih kuat, penuh keyakinan. “Aku tidak takut menghadapi apapun bersamamu. Jika ini adalah masalahmu, maka ini juga masalahku. Aku ingin kamu tahu bahwa kita bisa melewati ini bersama, jika kita mau.”

Alif menatap Raina dengan mata yang penuh kebingungan. Ia tampak bimbang, seolah bertanya-tanya apakah ia bisa mempercayakan masalahnya kepada Raina. Raina tahu bahwa ini adalah titik balik dalam hubungan mereka—waktu yang menentukan apakah mereka bisa tetap bersama atau harus berpisah.

“Aku takut,” akhirnya Alif berkata dengan suara pelan, namun penuh emosi. “Aku takut kamu akan pergi, Raina. Aku takut kamu tidak akan mampu menerima kenyataan tentang diriku, tentang masa laluku.”

Mendengar itu, Raina merasa terkejut. Alif memiliki masa lalu yang selama ini ia sembunyikan. Raina bisa merasakan bahwa masa lalu itu memiliki pengaruh besar terhadap sikap Alif sekarang.

“Apa yang terjadi, Alif?” tanya Raina, kali ini dengan penuh rasa penasaran dan empati. “Aku tidak akan pergi. Apa pun masa lalumu, aku tetap ingin ada untukmu.”

Alif akhirnya menghela napas dalam-dalam, seakan merasa berat untuk mengungkapkan semuanya. “Aku… aku punya masalah dengan keluargaku, Raina. Ada banyak hal yang belum bisa aku atasi. Aku merasa seolah aku harus menyelesaikan semuanya sendiri. Aku tidak ingin kamu terlibat dalam kekacauan itu.”

Raina merasa hatinya semakin berat. Ia tidak menyangka masalah Alif begitu dalam. Namun, ia tidak bisa membiarkan Alif memikul semuanya sendirian. Jika mereka ingin tetap bersama, mereka harus saling mendukung, bukan saling menjauh.

“Aku mengerti, Alif. Tapi kita bukan hanya dua individu yang berjalan sendiri-sendiri. Kita saling membutuhkan. Kita bisa menghadapi masa lalu dan masa depan itu bersama. Tidak ada yang perlu kamu hadapi sendirian,” ujar Raina dengan tegas, namun lembut.

Alif menatap Raina dengan tatapan yang penuh kebingungan. “Kamu benar-benar ingin membantu aku? Bahkan setelah semua yang aku ungkapkan?”

Raina tersenyum, mencoba menguatkan Alif. “Tentu saja. Kita sudah melewati banyak hal bersama, Alif. Aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja. Jika ada yang harus kita hadapi, kita akan menghadapinya bersama.”

Mendengar kata-kata itu, mata Alif mulai berkaca-kaca. Ia tidak menyangka Raina akan begitu memahami dan menerima dirinya apa adanya. Ia merasa sebuah beban yang selama ini ia sembunyikan mulai terasa lebih ringan.

“Aku tidak tahu harus berkata apa, Raina,” kata Alif dengan suara yang terbata-bata. “Kamu sudah banyak memberiku harapan dan kekuatan. Aku tidak tahu bagaimana caranya membalasnya.”

Raina meraih tangan Alif dan menggenggamnya dengan lembut. “Kamu sudah melakukan lebih dari cukup, Alif. Cinta kita sudah lebih dari cukup untuk kita berdua. Kita akan melewati ini bersama.”

Di bawah pohon kenangan itu, Raina dan Alif saling menatap dengan mata penuh harapan. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi mereka sudah siap untuk menghadapi ujian terbesar dalam hubungan mereka—bersama.***

——–‐–THE END———-

Source: DELA SAYFA
Tags: #CintaPertama #UjianCinta #MasaLaluYangTersembunyi #KehilanganDanKetakutan #MembangunKepercayaan
Previous Post

PERTAMA DAN SELAMA NYA

Next Post

CINTA TANPA TITIK TEMU

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
CINTA TANPA TITIK TEMU

CINTA TANPA TITIK TEMU

LANGKAH AWAL MENUJU RINDU

LANGKAH AWAL MENUJU RINDU

LANGKAHMU DITANAH LAIN

LANGKAHMU DITANAH LAIN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id