Daftar Isi
Bab 1: Kenangan yang Terkubur
Malam itu, Arista duduk di balkon apartemennya, memandang bintang-bintang yang tersembunyi di balik tirai awan tebal. Hembusan angin sejuk menyapu wajahnya, namun hatinya terasa seperti terkunci dalam kegelisahan yang tak berujung. Dia tak pernah menyangka akan kembali ke titik ini, di mana kenangan tentang Bagas, pria yang pernah menjadi segalanya baginya, menggerogoti setiap ruang di dalam dirinya. Kenangan yang terkubur begitu dalam, kini kembali muncul seperti hantu yang tak bisa dihindari.
Sebelumnya, segala sesuatu berjalan seperti mimpi indah bagi Arista dan Bagas. Mereka bertemu di sebuah kampus kecil, saling tertarik, dan perlahan membangun hubungan yang terasa begitu alami. Arista merasa Bagas adalah bagian dari takdir hidupnya. Dia melihat masa depan bersama Bagas, menyusun rencana tentang keluarga yang akan mereka bangun, tentang rumah yang akan mereka huni, dan tentang anak-anak yang akan mereka miliki. Semua itu tampak begitu nyata, begitu pasti, seolah tak ada yang bisa menghalangi jalan mereka.
Namun, takdir tidak selalu berkenan dengan rencana manusia. Beberapa minggu setelah lulus kuliah, Bagas tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Tidak ada pesan, tidak ada penjelasan. Arista yang kala itu sedang mempersiapkan diri untuk pekerjaan pertamanya, merasa kebingungannya semakin menjadi-jadi. Dia mencari Bagas, menghubungi teman-temannya, namun semua mengatakan hal yang sama: mereka tidak tahu di mana Bagas berada. Sebuah ketidakhadiran yang mengiris hati, dan sebuah kehilangan yang tak bisa dia pahami.
Hari-hari berlalu dengan perasaan hampa, seperti ruang kosong yang tak pernah bisa terisi lagi. Arista berusaha menjalani hidupnya, namun rasa kehilangan itu terus menggantung dalam pikirannya. Bagaimana bisa seseorang yang pernah berjanji akan selalu ada untukmu, tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa alasan? Kenangan-kenangan indah yang mereka bagi bersama hanya menjadi luka yang semakin menganga di hatinya. Semua janji yang terucap pada malam-malam mereka bersama, kini terasa seperti dusta belaka.
Dua tahun berlalu, dan Arista berusaha untuk melanjutkan hidup. Dia sukses dengan karier yang dimilikinya, meskipun di dalam hatinya, ada rasa kosong yang sulit diisi. Dia mulai berkenalan dengan beberapa pria, namun tak ada yang pernah bisa menggantikan posisi Bagas dalam hidupnya. Arista terus memendam perasaan itu, berharap suatu hari Bagas akan kembali dan memberikan penjelasan tentang kepergiannya yang mendalam itu. Namun, harapan itu semakin lama semakin memudar, dan akhirnya, dia menerima kenyataan pahit bahwa mungkin Bagas tidak akan pernah kembali.
Arista berusaha untuk melupakan. Namun, ketika kenangan itu datang, ia tak bisa menolaknya. Pada suatu malam, saat dirinya duduk sendirian di kafe favorit mereka, sebuah lagu yang dulu sering mereka dengarkan bersama mulai diputar. Lagu itu, yang selalu membawa mereka tertawa, berbicara tentang impian masa depan yang sederhana, kini terasa seperti air mata yang terpendam. Arista menutup wajahnya dengan tangan, mencoba menahan emosi yang datang begitu mendalam. Semuanya kembali—senyuman Bagas, tawa mereka bersama, dan segala janji yang telah terlupakan.
Tapi, seperti kata orang, tak ada yang benar-benar bisa terlupakan. Kenangan itu muncul kembali, dengan cara yang tak terduga. Suatu pagi, Arista menerima sebuah surat dari sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang investasi—perusahaan tempat Bagas bekerja. Dalam surat itu tertulis bahwa Bagas telah meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil.
Dunia Arista seakan runtuh dalam sekejap. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa hancurnya dirinya saat membaca berita itu. Dia ingin menangis, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Selama ini, dia telah berjuang untuk hidup tanpa Bagas, berusaha untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan, dan kini, kenyataan bahwa dia tidak akan pernah bisa melihatnya lagi, menyiksa hatinya lebih dari apapun. Sebuah luka lama yang sempat terkubur, kini terbuka lebar tanpa ampun.
Namun, ada sesuatu yang menggelitik dalam pikiran Arista. Mengapa Bagas menghilang begitu saja tanpa kabar? Mengapa tidak ada penjelasan apapun? Kenapa dia memilih untuk meninggalkan Arista tanpa memberi tahu alasan yang jelas? Pertanyaan itu muncul begitu tajam, menggigit setiap pikiran yang dia miliki.
Hari-hari setelah kematian Bagas, Arista merasa seperti ada yang hilang dalam dirinya. Bagaimana mungkin seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, yang pernah berjanji akan selalu ada, tiba-tiba menghilang tanpa jejak? Arista merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di balik semua itu. Mengapa Bagas memilih untuk menghilang tanpa memberikan penjelasan, tanpa memberi Arista kesempatan untuk memahami apa yang terjadi?
Satu hal yang pasti: Arista merasa dikhianati. Jika memang Bagas mencintainya seperti yang dia katakan, mengapa tidak ada kata pamit, tidak ada perpisahan yang layak? Tidak ada kesempatan untuk memberi penutupan yang layak untuk kisah cinta mereka. Tidak ada jawaban yang memadai untuk semua rasa sakit dan kehilangan yang dia alami.
Kehilangan itu terasa seperti luka yang tak kunjung sembuh, dan seiring berjalannya waktu, rasa sakit itu berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap. Sebuah perasaan yang menggerogoti, seakan menyiratkan bahwa semua yang terjadi bukanlah sebuah kecelakaan. Arista mulai merasa bahwa kepergian Bagas bukan tanpa alasan, dan di balik hilangnya pria yang pernah ia cintai, ada sesuatu yang jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan. Bagas, yang dulu sangat ia percayai, mungkin telah menyembunyikan sesuatu yang tidak akan pernah Arista terima.
Dengan perasaan penuh kebingungannya, Arista mulai menyelidiki lebih jauh tentang kehidupan Bagas setelah kepergiannya. Dia menghubungi beberapa orang yang mengenal Bagas, teman-temannya, bahkan rekan-rekannya di tempat kerja. Namun, jawaban yang dia terima selalu samar dan tak jelas. Ada sesuatu yang disembunyikan, dan Arista bertekad untuk mencari tahu kebenarannya. Apa yang sesungguhnya terjadi pada Bagas? Apakah memang kecelakaan itu benar-benar hanya sebuah kecelakaan, atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?
Di saat itulah, Arista sadar—dendam mulai tumbuh dalam dirinya. Dendam terhadap Bagas. Dendam terhadap janji yang tak pernah dipenuhi. Dendam terhadap perasaan yang telah disia-siakan. Arista tak bisa membiarkan dirinya terus hidup dalam bayang-bayang pertanyaan yang tak terjawab. Bagas harus membayar harga atas pengkhianatannya, dan Arista akan melakukan apa pun untuk mengungkapkan kebenaran di balik janji yang terkubur.
Kenangan yang dulu begitu indah kini berubah menjadi api yang membakar dalam hatinya, dan Arista berjanji, suatu hari nanti, dia akan mendapatkan jawaban yang layak.*
Bab 2: Pengkhianat yang Tak Termaafkan
Arista tidak pernah menyangka bahwa suatu hari, kepergian Bagas yang tak terjelaskan akan membawanya pada sebuah kebenaran yang jauh lebih pahit daripada yang ia bayangkan. Setelah berhari-hari larut dalam kesedihan dan kebingungannya, akhirnya ia memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam. Tidak ada yang akan menghalanginya lagi. Dia perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi—kenapa Bagas menghilang begitu saja tanpa perpisahan, tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dan yang lebih penting, mengapa tak ada pesan terakhir atau apapun yang bisa memberikan penutupan.
Penyelidikan Arista dimulai dari perusahaan tempat Bagas bekerja. Meskipun Bagas sudah lama meninggalkan perusahaan itu, orang-orang yang bekerja dengannya masih menyimpan kenangan dan sedikit informasi yang bisa membantu Arista mengungkapkan kebenaran. Dengan susah payah, Arista berhasil mendapatkan alamat email seseorang yang dulunya bekerja bersama Bagas di divisi yang sama. Namanya Kiki, seorang rekan yang tampak lebih dekat dengan Bagas saat mereka masih bekerja bersama.
Hari itu, Arista duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer. Jari-jarinya bergetar ketika ia menulis email kepada Kiki. Ia mencoba menahan diri untuk tidak terburu-buru mengungkapkan semua perasaannya. Bagaimanapun, Kiki tidak tahu betapa sakitnya perasaan Arista, bagaimana rasa kecewa dan kebingungannya telah menggerogoti dirinya selama ini.
“Halo Kiki,
Saya tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi saya membutuhkan sedikit bantuanmu. Saya mencari tahu lebih banyak tentang Bagas. Saya tahu kalian sempat bekerja bersama. Saya hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dia, dan kenapa dia tiba-tiba menghilang dari hidup saya begitu saja. Saya tidak tahu siapa lagi yang bisa saya tanyakan.”
Arista mengirimkan email tersebut dengan hati yang berdebar. Tidak lama setelah itu, sebuah balasan datang. Ternyata Kiki cukup responsif.
“Hai Arista,
Tentu, saya bisa membantu. Bagas memang sempat pergi mendadak beberapa tahun lalu. Namun, ada banyak hal yang terjadi setelah itu. Saya rasa kamu perlu tahu beberapa hal yang mungkin akan membuatmu paham kenapa dia melakukan apa yang dia lakukan. Tapi kamu harus siap untuk kebenaran yang tidak mudah. Saya akan menghubungimu segera.”
Pesan itu membuat Arista merinding. Apa yang dimaksud Kiki dengan “kebenaran yang tidak mudah”? Arista merasa ada yang sangat salah, dan kekhawatirannya semakin dalam. Sejak malam itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan Bagas—kenangan manis, janji yang terucap—seolah dihancurkan oleh sebuah badai yang datang tanpa peringatan.
Setelah beberapa hari, Kiki menghubungi Arista untuk bertemu. Mereka sepakat bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota. Saat Arista sampai, Kiki sudah menunggunya di sudut ruang kafe, dengan wajah yang tampak serius dan khawatir. Kiki langsung mempersilakan Arista duduk.
“Arista, sebelum aku mulai, aku ingin kamu tahu satu hal,” Kiki mulai dengan suara berat. “Bagas bukan orang yang kamu kira. Dia menyimpan banyak hal yang tidak pernah ia ceritakan padamu, bahkan selama hubungan kalian. Ada alasan mengapa dia menghilang, dan itu lebih rumit dari yang kamu bayangkan.”
Arista menatap Kiki dengan hati yang penuh pertanyaan. “Apa maksudmu? Aku… aku tidak mengerti. Bagas menghilang begitu saja tanpa penjelasan. Kami punya masa depan bersama. Kami saling mencintai, Kiki! Kenapa dia menghilang tanpa memberi tahu aku apa-apa? Mengapa dia tidak kembali setelah itu?”
Kiki menarik napas panjang, lalu menatap Arista dengan pandangan penuh penyesalan. “Ada sesuatu yang tidak kamu ketahui tentang Bagas. Waktu itu, dia terlibat dalam masalah besar dengan keluarganya—masalah yang sangat rumit. Namun, masalah terbesar adalah, dia berutang banyak uang pada orang-orang yang sangat berbahaya. Dia menghilang bukan karena dia ingin menghindari kamu, Arista. Dia terpaksa pergi untuk menyelamatkan dirinya dan orang-orang yang dia cintai.”
Arista tercengang mendengar penjelasan itu. “Apa? Bagas berutang pada orang berbahaya? Dan kenapa dia tidak memberitahuku? Kenapa dia tidak meminta bantuanku?” Arista hampir tidak bisa menahan amarah dan kebingungannya. Bagaimana mungkin seorang pria yang pernah dia cintai begitu dalam, menyembunyikan segalanya darinya?
“Dia sangat mencintaimu, Arista,” lanjut Kiki dengan nada yang lebih lembut. “Tapi dia tahu, kalau dia memberitahumu, dia akan membahayakan hidupmu. Itulah kenapa dia memilih untuk pergi dan menghilang begitu saja. Dia tidak ingin melibatkanmu dalam masalahnya. Itu adalah keputusan yang sangat sulit, dan dia menyesalinya.”
Arista terdiam, memproses setiap kata yang diucapkan Kiki. Bagas tidak meninggalkannya karena tidak cinta. Bagas menghilang untuk melindunginya. Namun, meskipun alasan itu mungkin tampak mulia, perasaan sakit hati Arista tidak bisa begitu saja disembuhkan dengan penjelasan itu. Kenapa dia harus merasakan penderitaan ini? Kenapa dia harus menanggung semuanya sendirian?
“Lalu kenapa dia tidak menghubungiku lagi?” tanya Arista, suaranya pecah. “Kenapa setelah bertahun-tahun, tidak ada kabar sama sekali? Apakah itu juga bagian dari rencananya untuk melindungiku? Aku merasa seperti seorang idiot. Aku menunggu selama bertahun-tahun, berharap dia akan kembali. Tapi dia tidak pernah ada untukku.”
Kiki menggigit bibirnya, tampak tidak tahu harus berkata apa. “Arista, Bagas benar-benar mencintaimu, tetapi dia juga merasa dirinya tak pantas mendapatkanmu setelah apa yang terjadi. Dia mengira, dengan menghilang dan membiarkanmu melanjutkan hidup tanpa dia, akan lebih baik untukmu. Namun kenyataannya, itu adalah kesalahan terbesarnya.”
Arista terdiam, seolah kata-kata itu membuat hatinya terasa hampa. Bagas menghilang karena ingin melindunginya, tapi justru dengan cara yang paling menyakitkan. Seiring dengan penjelasan itu, perasaan Arista campur aduk antara marah, kecewa, dan bingung. Apa yang bisa dia lakukan dengan semua informasi ini?
Malam itu, ketika Arista kembali ke apartemennya, dia merasa seolah berada di persimpangan jalan yang berat. Kenangan indah bersama Bagas terasa semakin jauh, sementara rasa sakit itu semakin nyata. Pengkhianatan yang ia rasakan bukan karena Bagas tidak mencintainya, tetapi karena dia memilih untuk bersembunyi, memilih untuk meninggalkan Arista tanpa penutupan yang layak.
Arista tahu bahwa dia tidak akan bisa memaafkan Bagas begitu saja. Meskipun alasan di balik perbuatannya bisa dimengerti, rasa sakit dan rasa pengkhianatan itu begitu mendalam. Janji yang mereka buat bersama, seolah-olah sudah tercabik-cabik oleh kenyataan yang tak terduga ini. Dan saat itu, Arista merasa bahwa mungkin, inilah saatnya untuk benar-benar melepaskan semua kenangan dan mulai menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang Bagas.
Namun, meskipun perasaan itu masih membara, ada sesuatu yang lebih kuat dalam diri Arista—dendam. Bagas mungkin ingin melindunginya dengan cara itu, tetapi Arista merasa bahwa pengkhianatan harus dibayar dengan harga yang setimpal. Dendam yang terpendam ini tidak akan mudah hilang. Bagas harus membayar harga untuk segala luka yang ditinggalkan di hatinya.
Di balik janji yang tidak pernah ditepati, Arista tahu satu hal yang pasti: dia akan memburu kebenaran ini. Dan jika perlu, dia akan mencari keadilan dengan cara yang tak terduga.*
Bab 3: Janji yang Terlupakan
Hari-hari berlalu setelah pertemuan dengan Kiki, namun Arista merasa tidak ada yang berubah. Meskipun ia mengetahui alasan kepergian Bagas, perasaan kesal dan terluka itu tidak kunjung hilang. Semua kenangan yang dulu begitu indah, kini terasa seperti serpihan-serpihan kaca yang menyayat setiap kali dia mengingatnya. Bagaimana mungkin seseorang yang pernah berjanji untuk selalu ada, tiba-tiba menghilang begitu saja? Bagaimana mungkin seseorang yang pernah membangun masa depan bersama, mengabaikan janji-janjinya hanya karena sebuah ketakutan?
Setiap malam, sebelum tidur, Arista sering teringat pada kata-kata yang pernah diucapkan Bagas. “Aku akan selalu ada untukmu, Arista. Tidak peduli apa yang terjadi, kita akan melalui semuanya bersama.” Janji itu masih terdengar jelas di telinganya. Janji itu yang membuat Arista bertahan begitu lama. Janji itu yang membuatnya berharap dan menunggu selama bertahun-tahun. Namun, janji itu ternyata hanya sebuah kata kosong, tak lebih dari ilusi yang diciptakan oleh dua hati yang saling mencintai.
Saat itu, saat Bagas mengucapkan kata-kata itu, Arista benar-benar percaya. Mereka merancang masa depan bersama, seolah dunia akan selalu berpihak pada mereka. Mereka berjanji akan mengatasi segala rintangan bersama-sama. Namun, kenyataannya, rintangan terbesar yang mereka hadapi adalah ketakutan yang menghantui Bagas, ketakutan yang akhirnya membuatnya memilih untuk menghilang.
Arista memutuskan untuk mengunjungi tempat-tempat yang dulu sering mereka datangi bersama. Mungkin, dengan begitu, dia bisa merasa lebih dekat dengan Bagas, seolah-olah kembali ke masa lalu, kembali ke saat-saat di mana dunia terasa lebih sederhana. Pertama, dia pergi ke taman kota, tempat pertama mereka bertemu. Dulu, mereka duduk di bangku taman itu berjam-jam, berbicara tentang impian-impian mereka, tentang masa depan yang penuh dengan harapan. Di sana, Bagas pertama kali memegang tangannya dan berjanji bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka.
Sekarang, bangku taman itu tampak kosong. Hanya ada dedaunan yang berguguran, angin yang berhembus perlahan, dan kesunyian yang menambah kesedihan di hati Arista. Dia duduk di bangku itu, mencoba mengingat semua yang pernah mereka bicarakan, semua harapan yang pernah mereka rajut bersama. Tapi seiring waktu, janji itu terasa semakin pudar, seperti bayangan yang menghilang saat matahari terbenam.
“Tidak ada yang bisa memisahkan kita, kan, Bagas?” Arista berbisik pada angin, berharap bisa mendengar suara Bagas lagi, meskipun hanya dalam kenangannya.
Namun, hanya ada keheningan yang menjawab. Janji itu seolah telah terkubur bersama kenangan indah yang kini berubah menjadi beban berat.
Arista kembali ke apartemennya dengan perasaan yang semakin kacau. Meskipun ia sudah tahu alasan di balik kepergian Bagas, perasaan sakit itu tidak bisa ia hindari. Dendam yang tumbuh dalam dirinya semakin menguat, dan seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa perasaan itu bukan hanya tentang rasa dikhianati, tetapi juga tentang kehilangan kepercayaan.
Di hadapan semua orang, Arista mencoba untuk tetap tegar. Dia berusaha menampilkan senyuman, berbicara dengan teman-temannya seperti biasa, tetapi hatinya kosong. Di balik setiap tawa yang ia lontarkan, ada kehampaan yang besar yang ia sembunyikan. Tidak ada yang tahu betapa hancurnya dia di dalam. Tidak ada yang tahu betapa besar luka yang ditinggalkan Bagas di hatinya.
Suatu hari, Arista menerima undangan dari teman kuliahnya, Maia, untuk menghadiri reuni kecil-kecilan di sebuah restoran. Meskipun awalnya enggan, Arista memutuskan untuk pergi, berharap bisa sedikit melupakan semua yang ada dalam pikirannya. Saat tiba di restoran, ia langsung disambut dengan tawa teman-temannya yang sudah lama tidak ia temui. Semuanya tampak bahagia, seperti tak ada yang berubah sejak mereka lulus kuliah. Namun, satu hal yang tidak bisa Arista hindari: wajah Maia yang tiba-tiba berubah serius saat ia melihat Arista.
“Arista, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan padamu,” Maia berkata pelan, menarik Arista ke sudut ruangan. “Aku tidak tahu apakah ini saat yang tepat, tapi aku rasa kamu berhak tahu.”
Arista merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu bahwa Maia pasti tahu sesuatu tentang Bagas, sesuatu yang belum ia ketahui. Ia sudah mendengar desas-desus tentang Bagas, namun ia tidak pernah benar-benar ingin mendengarnya. Namun kali ini, hatinya terasa berat, seolah ia sudah siap untuk mendengar kenyataan apapun yang Maia ingin ungkapkan.
“Apa yang terjadi, Maia?” Arista bertanya, suaranya hampir tidak terdengar.
Maia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Bagas… dia sudah menikah, Arista. Dia menikahi seorang wanita yang tidak kamu kenal, dan mereka punya seorang anak. Itu terjadi tak lama setelah dia menghilang dari hidupmu.”
Arista terdiam, seakan dunia di sekelilingnya berhenti berputar. Tubuhnya terasa lemas, dan sebuah perasaan dingin menyelimuti seluruh tubuhnya. Bagas menikahi orang lain? Anak? Arista merasa seolah-olah seluruh dunia telah runtuh di depan matanya. Kenapa dia baru mendengar kabar ini sekarang? Kenapa Maia baru memberitahunya? Dan yang lebih menyakitkan lagi—bagaimana mungkin Bagas bisa melupakan mereka begitu saja, begitu cepat?
“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” Maia melanjutkan dengan ragu. “Aku tahu ini berat buatmu, tapi aku rasa kamu harus tahu. Aku hanya tidak ingin kamu terus hidup dalam bayang-bayangnya, berharap dia akan kembali. Dia tidak akan kembali, Arista.”
Setiap kata Maia seperti pisau yang menusuk langsung ke hatinya. Arista merasa bingung, marah, dan sakit hati. Bagas, pria yang pernah berjanji akan selalu ada untuknya, ternyata sudah melanjutkan hidupnya dengan orang lain, membangun keluarga baru, dan meninggalkan kenangan mereka begitu saja. Janji yang dulunya terdengar begitu nyata kini terasa seperti kebohongan besar.
Arista berdiri dan pergi dari restoran itu, tidak mampu menahan air matanya lagi. Di luar restoran, malam itu tampak sangat gelap. Jalanan yang basah oleh hujan malam membuat suasana semakin suram. Arista berjalan tanpa tujuan, membiarkan air mata mengalir begitu saja. Semua kenangan indah bersama Bagas kini terasa seperti beban yang terlalu berat untuk dibawa. Semua janji yang pernah diucapkan, semua harapan yang pernah dibangun, sekarang hanya tinggal serpihan yang tak berarti.
Di jalan yang sepi itu, Arista berhenti dan menatap langit yang diliputi awan gelap. Angin malam berhembus kencang, seolah mengingatkannya pada semua kenangan yang telah terkubur dalam hatinya. Dia merasa lelah, lelah dengan semuanya—dengan cinta yang pernah ada, dengan pengkhianatan yang kini menjadi kenyataan, dan dengan janji yang terlupakan begitu saja.
“Aku sudah cukup, Bagas,” Arista berbisik dalam hati, meskipun dia tahu Bagas tidak bisa mendengarnya. “Janji itu tidak pernah berarti apa-apa lagi.”
Dengan langkah yang berat, Arista melangkah pergi, meninggalkan masa lalunya di belakang. Janji yang pernah diucapkan kini hanyalah bayangan yang tidak lagi mampu mempengaruhi hidupnya. Baginya, semua itu sudah selesai. Dendam dan kebingungannya masih ada, tetapi dia tahu satu hal—dia harus melanjutkan hidupnya, meskipun tanpa Bagas di sisi.*
Bab 4: Cinta yang Terluka
Arista duduk di meja kerja di apartemennya, menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Waktu seakan berjalan begitu lambat, dan setiap detik yang berlalu hanya memperburuk perasaannya. Setelah menerima kenyataan tentang Bagas, perasaan yang datang begitu keras dan tak terduga. Sebelumnya, ia percaya bahwa ia bisa mengatasi segalanya—kepergian Bagas, kesedihannya, kehilangan yang tak terkatakan. Namun, saat mengetahui bahwa Bagas telah menikah dengan orang lain dan membangun hidup baru, hatinya terasa terkoyak lebih dalam dari sebelumnya.
Cinta itu, yang dulu begitu kuat dan penuh harapan, kini hanya menyisakan luka. Setiap kenangan bersama Bagas yang semula indah, kini terasa seperti pisau yang melukai. Arista teringat bagaimana mereka pernah merencanakan masa depan bersama, bagaimana mereka bermimpi tentang hari tua yang akan mereka habiskan bersama. Tapi semuanya hanya ilusi—sebuah mimpi yang kini harus hancur karena kenyataan yang datang begitu brutal.
Di dalam ruang kosong apartemennya, Arista merasa seperti sebuah bayangan. Ia masih mencintai Bagas, meskipun dia tahu itu tidak lagi bisa diubah. Namun, bagaimana mungkin ia bisa terus mencintai seseorang yang telah meninggalkannya tanpa memberi penjelasan? Bagaimana mungkin ia bisa memaafkan seseorang yang telah menyakiti hatinya dengan cara yang begitu mendalam?
Setiap malam, Arista sering terjaga hingga larut, tenggelam dalam perasaan yang sulit dipahami. Sesekali, ia mengingat hari-hari indah bersama Bagas—saat-saat ketika mereka tertawa bersama, berbicara tentang masa depan mereka, dan saling berbagi mimpi. Namun, kenangan-kenangan itu terasa begitu jauh sekarang, seolah ia sudah berada di dunia yang berbeda. Cinta yang dulu begitu membara kini berubah menjadi luka yang membekas dalam dirinya.
“Kenapa kamu melakukannya, Bagas?” Arista sering bertanya-tanya, meskipun ia tahu tak ada yang akan menjawabnya. Bagaimana bisa Bagas memilih untuk pergi tanpa ada kata pamit, tanpa ada penutupan? Kenapa dia memilih untuk hidup dalam kebohongan, dan lebih parah lagi, kenapa dia membiarkan Arista menanggung semuanya sendirian?
Setiap pertanyaan itu muncul dalam pikirannya, semakin menambah beban di hatinya. Dendam yang tumbuh dalam dirinya tak hanya tentang rasa sakit yang ditinggalkan, tetapi juga tentang kebohongan yang telah dibangun begitu lama. Arista merasa seperti telah hidup dalam dunia yang penuh dengan kebohongan, dan kini dunia itu runtuh begitu saja.
Satu-satunya cara Arista bisa melanjutkan hidup adalah dengan berusaha menghilangkan kenangan tentang Bagas. Ia tahu itu bukan hal yang mudah. Cinta yang telah mengakar begitu dalam dalam dirinya tidak bisa hilang begitu saja, apalagi setelah semua yang mereka alami bersama. Namun, ia juga tahu bahwa jika terus terjebak dalam kenangan itu, ia tidak akan pernah bisa maju. Bagas mungkin telah memilih untuk melupakan mereka, tapi Arista harus memilih untuk bangkit dan menemukan jalan hidupnya kembali.
Arista memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya. Ia mulai melibatkan dirinya dalam proyek-proyek besar yang selama ini tertunda. Setiap hari, ia kembali ke rutinitasnya—bangun pagi, bekerja di kantor, pulang, dan kembali bekerja di rumah. Meski terkesan sibuk, di dalam hatinya, ia merasa kosong. Pekerjaan tak mampu menghapus rasa sakit itu. Bagaimanapun juga, setiap kali ia menghadap layar komputer, kenangan itu kembali datang, menghantui setiap pemikirannya.
Suatu hari, saat ia sedang bekerja di ruang kerjanya, ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenal. Dengan penasaran, Arista membuka pesan tersebut. Ternyata, itu adalah pesan dari teman lama Bagas yang bernama Rendy.
“Arista, aku tahu ini mungkin mengejutkan, tapi aku rasa kamu harus tahu sesuatu. Aku sudah lama ingin memberitahumu, dan sekarang mungkin saat yang tepat. Bagas… dia menderita selama ini, dan dia sangat menyesal telah meninggalkanmu begitu saja. Jika kamu ingin tahu lebih banyak, aku harap kita bisa bicara. Aku ingin kamu tahu bahwa dia tidak pernah berhenti mencintaimu.”
Arista terdiam sejenak, membaca pesan itu berulang kali. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Rendy, teman lama Bagas, mengatakan bahwa Bagas menyesal dan masih mencintainya? Bagaimana bisa? Jika memang benar, kenapa Bagas tidak pernah menghubunginya? Kenapa dia memilih untuk menghilang tanpa memberi penjelasan apapun?
Dengan perasaan campur aduk, Arista memutuskan untuk membalas pesan itu.
“Rendy, aku tidak tahu apa yang kamu maksud. Bagas sudah membuat pilihan, dan aku sudah mencoba untuk melanjutkan hidup tanpa dia. Kenapa kamu baru menghubungiku sekarang?”
Tidak lama setelah itu, Rendy membalas dengan pesan yang lebih panjang.
“Arista, aku paham perasaanmu. Bagas… dia sangat mencintaimu, lebih dari yang kamu bayangkan. Tapi ada hal yang terjadi antara kalian yang tidak pernah ia ceritakan padamu. Saat dia menghilang, itu bukan karena dia tidak mencintaimu, tetapi karena dia merasa dirinya tak layak untukmu setelah semua yang terjadi. Dia juga terlilit masalah besar yang membuatnya terpaksa menjauh dari semua orang yang ia cintai. Aku tidak ingin kamu terus hidup dalam kebingungan, Arista. Bagas masih memikirkanmu, dan aku tahu dia sangat menyesal.”
Arista merasa dadanya sesak membaca pesan itu. Apa maksud Rendy? Apakah Bagas benar-benar mencintainya? Jika iya, kenapa selama ini dia memilih untuk menghindar? Arista tahu bahwa ia tidak bisa lagi hanya berpegang pada masa lalu. Bagaimanapun juga, Bagas telah membuat keputusan untuk pergi dan membangun hidupnya sendiri. Namun, di sisi lain, Arista merasa bahwa ia berhak untuk mendapatkan penjelasan. Ia berhak tahu mengapa semuanya bisa berakhir seperti ini.
Dengan perasaan yang semakin bingung, Arista memutuskan untuk bertemu dengan Rendy. Ia ingin mendengar langsung dari orang yang pernah dekat dengan Bagas, apa yang sebenarnya terjadi antara mereka. Jika Bagas masih menyesali perbuatannya, maka setidaknya Arista ingin mendengar kata-kata itu dari mulutnya sendiri. Namun, ia juga tahu bahwa mendengarnya tidak akan pernah mengembalikan masa lalu mereka. Cinta itu mungkin sudah terluka, dan luka itu mungkin tidak akan pernah sembuh.
Pertemuan dengan Rendy terjadi di sebuah kafe kecil yang mereka pilih. Arista duduk dengan gugup, menunggu kedatangan Rendy. Ketika pria itu masuk, matanya langsung bertemu dengan mata Arista. Ada keraguan di sana, keraguan yang sama yang ia rasakan. Rendy duduk di hadapannya, memulai percakapan dengan suara pelan.
“Arista, aku tahu ini sulit untukmu. Aku tahu kamu pasti merasa disakiti, dan aku mengerti jika kamu merasa marah atau bingung. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal: Bagas selalu mencintaimu, dan dia merasa sangat bersalah karena apa yang dia lakukan. Kepergiannya bukanlah keputusan yang mudah. Itu adalah pilihan yang dibuat karena dia merasa terperangkap dalam masalah yang tak bisa dia ceritakan padamu.”
Arista menundukkan kepalanya, mencoba menahan air matanya. Semua kata-kata itu seperti merobek luka lama yang belum sembuh. “Bagas… dia tak pernah memberitahuku tentang masalah itu. Kenapa dia tidak datang padaku, Rendy? Kenapa dia memilih untuk menghilang?”
Rendy menghela napas panjang. “Bagas merasa bahwa jika dia tetap bersama kamu, dia akan membawa lebih banyak masalah ke dalam hidupmu. Dia tidak ingin kamu terjebak dalam dunia yang penuh dengan bahaya itu. Dia… dia merasa tidak layak untukmu.”
Air mata Arista jatuh perlahan. “Tapi dia membuatku merasa seperti aku tidak berarti apa-apa. Kenapa dia tidak memberiku kesempatan untuk memilih, Rendy? Kenapa dia tidak mempercayai aku?”
Rendy terdiam, tak mampu memberi jawaban yang memadai. Semua yang bisa ia lakukan adalah menatap Arista dengan penuh penyesalan. Tidak ada yang bisa menghapus luka itu. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menyembuhkan perasaan yang telah terluka begitu dalam.
Namun, meskipun perasaan itu masih ada, Arista tahu satu hal: cintanya kepada Bagas mungkin sudah terluka, bahkan hancur. Namun, ia harus memilih untuk melanjutkan hidupnya. Cinta itu mungkin tidak akan pernah sembuh sepenuhnya, tetapi dia berhak untuk menemukan kebahagiaan, meskipun tanpa Bagas di sisinya.*
Bab 5: Pertarungan antara Dendam dan Cinta
Arista berjalan menyusuri jalanan kota yang mulai gelap. Udara malam yang sejuk terasa menusuk kulitnya, namun ia tidak merasa kedinginan. Hatinya justru terasa jauh lebih dingin—penuh dengan konflik yang tak kunjung usai. Dendam dan cinta, dua perasaan yang selalu berkelindan dalam pikirannya, seolah saling beradu, saling memperebutkan tempat di hatinya. Setiap langkah yang diambil terasa semakin berat, dan setiap detik yang berlalu seolah semakin memperburuk ketegangan batinnya.
Malam itu, setelah bertemu dengan Rendy, Arista merasa seolah beban di pundaknya semakin berat. Semua penjelasan yang didapatkan tidak memberikan solusi, hanya menambah kebingungannya. Di satu sisi, dia tahu bahwa Bagas tidak pernah berhenti mencintainya, tetapi di sisi lain, kenyataan bahwa pria itu memilih untuk meninggalkannya tanpa memberi kesempatan untuk memilih bersama, membuatnya semakin marah. Dendam itu tumbuh subur, membungkam segala perasaan lain yang coba dipupuk dalam hatinya.
Arista tidak tahu lagi mana yang lebih dominan—dendam atau cinta. Setiap kali ia mencoba mengingat kenangan indah bersama Bagas, rasa sakit itu kembali datang, memaksa dirinya mengingat betapa tragisnya kepergian Bagas tanpa kata-kata perpisahan. Bagaimana mungkin seseorang yang pernah berjanji akan selalu ada untuknya, bisa begitu saja pergi dan membiarkan semuanya hancur begitu saja?
Sesampainya di apartemennya, Arista langsung membanting tas ke atas meja. Ia duduk di tepi ranjang, meremas bantal di pangkuannya, mencoba mengusir rasa sesak yang mengubur dadanya. Tangannya gemetar, dan jantungnya berdegup kencang. Cinta? Itu seolah menjadi sesuatu yang semakin jauh dan sulit dijangkau. Dendam? Itu sesuatu yang terus menggema dalam setiap pikirannya.
Terkadang, dalam sepi, ia bertanya pada dirinya sendiri apakah ia masih bisa mencintai Bagas. Ia ingin menjawabnya dengan tegas—“Ya, tentu saja.” Namun, saat pikirannya berkelana pada perasaan yang telah ditinggalkan Bagas, ia merasa terperangkap. Perasaan yang dulu begitu tulus kini berubah menjadi kebencian yang membara. Bagaimana bisa ia memaafkan seseorang yang telah menghancurkan hatinya dengan memilih pergi begitu saja? Bagaimana bisa ia menerima kenyataan bahwa semua yang telah mereka jalani ternyata hanya sebuah kebohongan?
Hatinya masih berperang—cinta yang tulus, yang dahulu pernah ada, dan dendam yang kian tumbuh seiring dengan waktu. Semua itu bertarung dalam dirinya, membuatnya terjebak dalam kebimbangan yang tak terhingga.
Keputusan untuk mencari Bagas akhirnya datang juga. Setelah berhari-hari berperang dengan perasaannya, Arista tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kebingungannya. Ia harus menghadapi kenyataan. Ia harus bertemu dengan Bagas, menuntut penjelasan dari mulutnya sendiri, meskipun itu berarti membuka kembali luka yang telah hampir sembuh.
Pagi itu, dengan langkah pasti, Arista keluar dari apartemennya. Ia tahu persis ke mana ia akan pergi—ke tempat yang dulu mereka datangi bersama, rumah yang dulu mereka rencanakan untuk dijadikan tempat tinggal mereka suatu hari nanti. Dulu, tempat itu penuh dengan harapan, tetapi sekarang, ia hanya melihatnya sebagai simbol dari semua yang telah hancur. Mungkin, hanya di sana, ia bisa menemukan jawabannya.
Setelah beberapa lama, Arista tiba di depan rumah itu. Pintu depan terbuka, dan di sana berdiri seorang wanita yang tidak asing di matanya. Wanita itu, meskipun lebih tua dari Arista, tampaknya menyadari kedatangannya.
“Arista?” wanita itu bertanya dengan nada yang cukup lembut, tetapi ada keheranan di matanya. “Kau datang mencari Bagas, bukan?”
Arista mengangguk, merasa kesulitan untuk berbicara. Semua kata-kata yang telah ia persiapkan selama ini terasa seperti tumpukan batu di tenggorokannya. Bagaimana mungkin ia harus menghadapi kenyataan bahwa hidup Bagas telah berlanjut tanpa dirinya?
“Aku… aku perlu bicara dengannya,” kata Arista akhirnya, suaranya serak. “Aku perlu tahu kenapa dia pergi begitu saja. Kenapa dia memilih untuk meninggalkan aku tanpa penjelasan?”
Wanita itu terdiam sejenak, tampak ragu-ragu. “Bagas… dia sudah lama tidak ada di sini, Arista,” katanya pelan. “Dia sudah memilih jalan hidupnya sendiri. Mungkin, kamu harus melepaskan semuanya.”
Kata-kata wanita itu seperti petir yang menyambar. Arista merasa sesak di dadanya. Bagas, yang pernah menjadi segalanya baginya, kini sudah memilih untuk pergi dan melanjutkan hidup tanpa dirinya. Wanita itu melanjutkan, “Dia berusaha mencari cara untuk kembali padamu, Arista. Tapi semua itu menjadi semakin sulit setelah masalah besar yang dia hadapi.”
Arista menggelengkan kepala, seolah tidak bisa menerima kenyataan itu. “Masalah besar? Apa maksudnya? Kenapa dia tidak pernah memberitahuku? Kenapa dia tidak memberiku kesempatan untuk memilih bersama?”
Wanita itu menatap Arista dengan penuh penyesalan. “Dia merasa dirinya tidak pantas lagi bersamamu, Arista. Tidak setelah semuanya yang terjadi.”
Mata Arista terasa panas. Semua perasaan itu—cinta yang belum selesai, dendam yang semakin menumpuk—semuanya mencampur aduk dalam dirinya. Ia ingin berteriak, ingin melemparkan semua rasa sakit yang ada, namun ia tahu itu tidak akan mengubah apapun. Apa yang sudah terjadi tetap tidak bisa diubah.
Arista kembali ke apartemennya dengan perasaan yang lebih kacau daripada sebelumnya. Malam itu, ia duduk di tepi ranjang, mencoba mengatur pikirannya. Di satu sisi, ia merasa seolah ia harus melupakan semuanya—meninggalkan Bagas dan semua kenangan yang ada bersama dia. Namun di sisi lain, ada perasaan yang terus bertahan, seolah cinta itu belum selesai.
Dendam itu terlalu kuat untuk diabaikan, namun cinta itu juga masih terjalin dalam hati Arista, meski rapuh dan terluka. Ia merasakan pertempuran batin yang begitu hebat—satu sisi ingin melepaskan dan membiarkan semuanya pergi, sementara sisi lainnya ingin mempertahankan apa yang tersisa, meskipun itu sudah hancur.
“Kenapa harus ada cinta yang begitu indah, kalau akhirnya hanya berakhir dengan luka?” Arista bertanya pada dirinya sendiri. “Kenapa kita harus begitu terikat, kalau akhirnya kita harus berpisah dengan begitu menyakitkan?”
Arista tahu bahwa ini adalah saat yang paling sulit dalam hidupnya. Pertarungan antara dendam dan cinta belum berakhir. Bagaimanapun juga, ia tahu bahwa ia harus memilih untuk melanjutkan hidupnya. Tetapi untuk saat ini, ia hanya bisa duduk di sana, merasakan setiap perasaan yang ada, mencoba memahami apa yang harus dilakukan dengan semua yang ada dalam dirinya.
Akhirnya, Arista menulis di buku hariannya, seperti yang selalu ia lakukan saat perasaannya terlalu berat untuk diungkapkan. Tulisannya kali ini sederhana, namun penuh makna:
“Cinta itu tidak selalu mudah, dan kadang-kadang, kita harus memilih untuk melepaskan yang kita cintai. Namun, itu tidak berarti kita berhenti mencintai. Ini adalah akhir dari sebuah cerita, tapi mungkin ini juga adalah awal dari perjalanan baru yang harus kuhadapi sendirian. Aku akan memilih untuk hidup, meskipun hatiku masih terluka.”
Dengan air mata yang jatuh tanpa henti, Arista tahu bahwa ia harus menemukan kedamaian, meskipun itu berarti mengorbankan sebagian dari dirinya. Karena meskipun cintanya masih ada, ia tahu bahwa waktu akan mengajarinya untuk menerima, untuk melepaskan, dan untuk melanjutkan hidup.*
Bab 6: Pengampunan yang Terlambat
Pagi itu, Arista duduk di meja makan, secangkir kopi hangat di hadapannya, tetapi hatinya terasa kosong. Ruangan yang dulu terasa penuh dengan kebahagiaan dan tawa, kini terasa sepi dan sunyi. Kegelapan pagi tidak hanya ada di luar jendela, tetapi juga menyelimuti dirinya, menyisakan perasaan yang sulit dijelaskan. Pikirannya kembali kepada masa lalu, pada sebuah hubungan yang dulu begitu sempurna, yang kini hanya menyisakan kenangan pahit dan luka yang belum sembuh.
Arista menatap cangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Kopi yang dulu sering diminumnya bersama Bagas, di pagi hari yang cerah, saat mereka berdua merencanakan masa depan mereka. “Suatu hari, kita akan bangun bersama, minum kopi di sini, dan saling bercerita tentang impian kita,” katanya dulu, dengan senyum yang tidak akan pernah terlupakan. Namun kini, segalanya terasa berbeda. Segalanya telah berubah, dan yang tersisa hanya luka yang belum terobati.
Bagas, pria yang pernah begitu dekat di hatinya, kini tak lebih dari bayangan masa lalu yang terus menghantui. Arista tahu bahwa ia harus melanjutkan hidupnya, tetapi untuk bisa melakukan itu, ia harus menghadapinya terlebih dahulu. Harus ada kata penutupan. Harus ada kejelasan. Dan yang paling penting, Arista tahu bahwa dia harus belajar untuk memaafkan—meskipun pengampunan itu terasa terlambat.
Beberapa hari sebelumnya, Arista menerima pesan dari Rendy, teman lama Bagas yang sempat memberitahunya tentang penyesalan Bagas. Rendy menyarankan agar Arista menemui Bagas untuk memberi kesempatan pada mereka berdua menyelesaikan semuanya. Bagas, menurut Rendy, tidak bisa datang karena terjebak dalam masalah yang sulit diungkapkan, tapi dia merasa sangat menyesal dan ingin bertemu dengan Arista untuk meminta maaf. Arista merasa bingung. Di satu sisi, dia ingin mengabaikan segala perasaan yang sudah mengendap begitu lama, tetapi di sisi lain, hatinya masih penuh dengan rasa ingin tahu—apa sebenarnya yang terjadi?
Pagi itu, setelah beberapa hari penuh perenungan, Arista memutuskan untuk pergi ke tempat yang sudah lama ditinggalkannya—rumah yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan cinta mereka. Tempat yang kini terasa asing baginya, tetapi dia tahu, inilah langkah yang harus diambil untuk menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.
Arista melangkah perlahan memasuki halaman rumah yang dulunya selalu menjadi tempat penuh dengan kebahagiaan. Rumah itu tidak banyak berubah. Beberapa tanaman yang dulunya mereka rawat bersama kini tampak lebih besar dan rindang. Namun, perasaan Arista tetap sama. Rumah ini seolah menjadi simbol dari semua yang telah hilang.
Dia mengetuk pintu dengan tangan yang gemetar. Tidak lama kemudian, pintu itu terbuka, dan di hadapannya berdiri seorang pria yang telah lama tidak ia lihat. Wajahnya terlihat lebih matang, dan ada garis-garis halus di wajahnya yang menunjukkan bahwa waktu telah berjalan. Namun, meskipun begitu, ada sesuatu yang tidak berubah dari Bagas—matanya yang sama, yang penuh dengan penyesalan dan kesedihan.
“Arista…” Bagas menyapa pelan, suaranya penuh dengan keraguan.
Arista hanya berdiri di tempat, tidak tahu harus berkata apa. Semua perasaan yang telah ia pendam selama ini, semua rasa sakit dan kemarahan, kini bersatu dalam dirinya. Namun, dia tahu bahwa hari ini adalah saatnya. Ia harus berani menghadapinya. Ia harus mencari jawaban, meskipun itu berarti mengungkapkan semua yang telah terkubur dalam hatinya.
“Bagas, aku tidak tahu harus mulai dari mana,” kata Arista akhirnya, suara nyaris tak terdengar. “Kamu… kamu meninggalkan aku tanpa penjelasan. Kamu pergi begitu saja, dan aku tidak tahu kenapa. Kamu membuatku merasa seperti aku tidak berarti apa-apa, dan aku tidak tahu apa yang terjadi pada kita.”
Bagas menunduk, terlihat sangat menyesal. “Aku tahu, Arista. Aku tahu aku telah melukai kamu dengan caraku pergi begitu saja. Aku tidak bisa memberi penjelasan waktu itu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya untuk meminta maaf. Tapi aku ingin kamu tahu, aku sangat menyesal atas semuanya.”
Arista merasakan dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Bagas menyesal? Kenapa baru sekarang? Kenapa dia tidak mengatakannya dulu, ketika semuanya masih bisa diperbaiki? Kenapa dia memilih untuk menghilang begitu saja, meninggalkan Arista tanpa jejak? Perasaan marah kembali mengalir, tetapi kali ini, ia berusaha untuk tetap tenang.
“Kenapa kamu pergi, Bagas?” Arista bertanya dengan suara yang lebih tenang, meskipun hatinya terasa hancur. “Kenapa kamu tidak memberiku kesempatan untuk memilih bersama? Kenapa kamu tidak memberi penjelasan tentang semuanya?”
Bagas menghela napas panjang, seolah bebannya semakin berat. “Aku… aku merasa tidak pantas untukmu, Arista. Setelah semuanya yang terjadi, aku merasa aku tidak layak untuk melanjutkan hubungan kita. Ada masalah besar yang aku hadapi, dan aku takut kalau aku terus bersamamu, aku akan menarikmu ke dalam masalah itu. Aku tidak ingin kamu menderita karena kesalahan yang aku buat. Jadi, aku memilih untuk pergi.”
Arista menatap Bagas dalam diam, mencoba mencerna semua kata-kata itu. Ada penyesalan yang begitu dalam dalam suara Bagas, tapi tetap saja, tidak ada penjelasan yang bisa mengembalikan waktu. Tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit yang sudah terlalu lama ia rasakan. Arista merasa hampa—mungkin karena jawaban yang dia terima sudah terlambat. Mungkin, pengampunan itu sudah tidak lagi berarti.
Namun, ada satu hal yang Arista sadari. Pengampunan, meskipun terlambat, adalah langkah yang harus ia ambil untuk membebaskan dirinya. Ia tidak bisa terus hidup dalam penyesalan dan kebencian. Dendam itu sudah terlalu lama menguasainya, dan ia tahu bahwa untuk melanjutkan hidup, ia harus memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk melepaskan semua itu.
“Bagas,” kata Arista pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku sudah lama memikirkan semuanya. Aku ingin bisa memaafkanmu, tapi itu tidak mudah. Kamu meninggalkan aku tanpa penjelasan, tanpa memberi aku kesempatan untuk bertanya atau mencari tahu apa yang terjadi. Dan itu sangat menyakitkan.”
Bagas menundukkan kepalanya, tidak bisa berkata-kata. Ia tahu apa yang Arista rasakan. Semua yang terjadi adalah akibat dari keputusannya yang salah. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu, tidak bisa memutar waktu. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah menerima kenyataan bahwa ia telah menyakiti orang yang sangat ia cintai.
“Arista, aku… aku tidak tahu apa yang bisa aku katakan. Aku sangat menyesal. Aku tahu aku telah merusak semuanya, dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk memperbaikinya,” kata Bagas dengan suara bergetar.
Arista menatapnya lama, lalu akhirnya berkata, “Bagas, aku tidak tahu apakah aku bisa benar-benar memaafkanmu sekarang. Mungkin ini terlalu terlambat. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, aku tidak bisa terus hidup dengan dendam. Aku harus melepaskan semua ini.”
Bagas mengangguk, air matanya hampir jatuh, tetapi ia menahannya. “Terima kasih, Arista. Aku tahu ini bukan pengampunan yang aku harapkan, tapi aku menghargai kata-katamu. Aku hanya ingin kamu tahu, kamu selalu punya tempat di hatiku.”
Arista tersenyum tipis, meskipun hatinya masih terasa berat. Ia tahu, meskipun pengampunan itu datang terlambat, itu adalah awal dari sebuah perjalanan untuk melepaskan beban yang selama ini mengikatnya. Memaafkan tidak berarti melupakan, tetapi memberi kesempatan untuk bergerak maju tanpa beban yang menghantui.
Dengan perlahan, Arista berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan rumah itu, meninggalkan Bagas, dan akhirnya, meninggalkan masa lalu yang selama ini menahannya. Sebuah babak baru dimulai dalam hidupnya, dan meskipun perasaan itu masih ada, ia tahu satu hal—pengampunan adalah langkah pertama untuk membebaskan dirinya, untuk akhirnya bisa melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang luka yang tak kunjung sembuh.
Meskipun terlambat, pengampunan itu datang, dan dengan pengampunan itu, Arista tahu bahwa dia akhirnya bisa melangkah maju.*
Bab 7: Akhir yang Terbaik atau Pahit
Arista berdiri di tepi pantai, angin laut yang berhembus lembut menerpa wajahnya, membawa aroma garam dan kesegaran yang khas. Laut yang luas dan tak terhingga tampak tenang, meskipun sesekali ombak datang dengan kekuatan yang menenangkan, seolah mengingatkan bahwa kehidupan memang penuh dengan pasang surut. Ia memejamkan mata, merasakan kedamaian yang kini mulai perlahan meresap ke dalam dirinya, meskipun di dalam hati masih ada bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Pagi itu, Arista datang ke pantai ini, bukan untuk mencari jawab atas semua pertanyaan yang menghantuinya selama ini, tetapi untuk menemukan ketenangan. Ia tahu, apapun yang terjadi, ia harus mengakhiri perjalanan ini. Tidak ada lagi ruang untuk kebingungan, tidak ada lagi ruang untuk penyesalan. Ia ingin memastikan bahwa apa pun yang ia pilih, itu adalah akhir yang terbaik untuk dirinya sendiri.
Semenjak pertemuannya dengan Bagas beberapa minggu lalu, segalanya berubah. Mereka telah berbicara, mengungkapkan rasa sakit dan penyesalan, tetapi Arista tahu bahwa semua itu tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi. Mereka telah menulis kisah mereka, dan sekarang saatnya untuk menutupnya. Namun, ada satu hal yang terus menghantui Arista: apakah ia benar-benar bisa melepaskan semua kenangan indah yang pernah ada bersama Bagas? Apakah ia bisa melanjutkan hidup tanpa terus-menerus terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu?
Saat pertemuan terakhir dengan Bagas, Arista merasa seolah dia telah menerima kenyataan. Bagas telah memilih jalannya, dan meskipun ada rasa sakit yang mendalam, Arista tahu bahwa ia tidak bisa memaksa seseorang untuk kembali jika mereka sudah memilih pergi. Pada akhirnya, apa yang mereka miliki adalah kenangan, dan kenangan itu, meskipun menyakitkan, harus dilepaskan.
Namun, ketika ia memutuskan untuk melanjutkan hidupnya, bukan berarti ia melupakan semua yang telah terjadi. Ada bagian dari dirinya yang akan selalu menghargai cinta yang pernah ada, meskipun itu kini hanya menjadi bagian dari masa lalu. Tetapi Arista tidak ingin terperangkap dalam perasaan itu selamanya. Ia ingin membuka ruang bagi dirinya sendiri untuk tumbuh, untuk mencintai dirinya sendiri lebih dulu, sebelum memberi tempat bagi orang lain dalam hidupnya.
Hari itu, di pantai yang sunyi, Arista merenung, memikirkan kembali perjalanan panjang yang telah dilaluinya. Semua perasaan yang muncul—cinta, kebencian, penyesalan—semuanya berbaur menjadi satu. Bagas memang telah mengajarkannya banyak hal, tetapi yang paling penting adalah pelajaran tentang pengampunan. Tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Arista tahu bahwa untuk mencapai kedamaian, ia harus memaafkan dirinya. Dulu, ia sering merasa bersalah karena memilih untuk bertahan dalam hubungan yang penuh dengan ketidakpastian, merasa takut untuk melepaskan Bagas meskipun tahu bahwa hubungan itu tidak sehat untuk keduanya. Tapi ia sadar, bahwa masa lalu bukanlah sesuatu yang bisa diubah. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah belajar dari kesalahan itu dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Namun, meskipun ia berusaha untuk melepaskan semua yang terjadi, masih ada keraguan dalam dirinya. Apakah ia benar-benar bisa melanjutkan hidup tanpa Bagas? Bagaimana jika ia salah memilih? Bagaimana jika ini adalah akhir yang salah, yang hanya akan membawa penyesalan di kemudian hari? Arista merasakan ketegangan itu kembali, ketegangan antara memilih untuk melepaskan dan berharap akan ada akhir yang bahagia, atau memilih untuk mempertahankan kenangan yang bisa jadi hanya akan membuatnya terjebak dalam kesedihan.
Saat itu, ponsel di saku tasnya berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Arista merogoh tas dan melihat nama yang tertera di layar. Bagas. Hatinya berdegup kencang, dan untuk sesaat, ia merasa ragu untuk mengangkatnya. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk menjawab.
“Arista…” suara Bagas terdengar di ujung telepon, pelan dan penuh dengan keraguan. “Aku tahu mungkin kamu tidak ingin mendengarnya, tapi aku merasa aku harus menghubungimu. Aku tidak bisa terus hidup dengan penyesalan ini. Aku ingin kamu tahu, aku akan selalu mencintaimu, bahkan jika kita tidak bisa bersama lagi.”
Arista terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Bagas. Meskipun kata-katanya penuh dengan cinta, Arista tahu bahwa ini adalah waktu yang salah. Mereka sudah berjalan di jalur yang berbeda, dan tidak ada kata-kata atau penyesalan yang bisa mengembalikan apa yang sudah hilang.
“Aku juga masih mencintaimu, Bagas,” jawab Arista dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Tapi kadang-kadang, cinta tidak cukup untuk mempertahankan sesuatu yang sudah hancur. Kita sudah berusaha, tetapi… ini sudah waktunya untuk melepaskan.”
Bagas terdiam di ujung telepon, seolah mencerna kata-katanya. Arista bisa mendengar suara perasaan yang tertahan di sana, tetapi ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus dibuat. Mereka tidak bisa kembali ke masa lalu, dan meskipun cinta itu masih ada, hubungan mereka tidak lagi bisa dipertahankan.
“Arista, aku menghargai keputusanmu,” kata Bagas pelan, suaranya dipenuhi dengan kepedihan. “Aku akan selalu mencintaimu, dan aku berharap suatu hari nanti, kamu bisa bahagia. Itu saja yang aku inginkan untukmu.”
Air mata Arista mulai mengalir, namun ia tidak bisa menahannya. Ini bukan air mata penyesalan, tetapi air mata kelegaan. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang benar, meskipun sangat sulit. Meninggalkan Bagas adalah akhir dari sebuah cerita, tetapi itu juga adalah awal dari sesuatu yang baru. Sebuah perjalanan hidup yang harus ia lalui sendiri.
Setelah menutup telepon, Arista berdiri lagi di tepi pantai. Laut yang luas di depannya seolah mengingatkannya bahwa hidup adalah tentang perubahan, tentang melepaskan apa yang sudah usai dan menerima apa yang akan datang. Ia merasakan hembusan angin yang lebih tenang, seolah dunia ini mendukung keputusannya untuk melangkah maju.
Akhir yang terbaik, atau pahit? Arista kini tahu jawabannya. Terkadang, akhir yang terasa pahit adalah hal yang paling baik untuk kita, karena itu memberi kita ruang untuk tumbuh, untuk menjadi lebih kuat, untuk mencintai diri kita sendiri lebih dalam. Mungkin ini adalah akhir dari perjalanan bersama Bagas, tetapi ini adalah awal dari perjalanan baru yang akan membawanya ke tempat yang lebih baik.
Dengan satu langkah mantap, Arista berbalik dan meninggalkan pantai itu, tidak lagi menoleh ke belakang. Ia tahu bahwa masa depannya ada di tangannya, dan meskipun jalan yang akan dilalui penuh dengan ketidakpastian, ia siap untuk menghadapinya. Akhir dari cerita ini adalah sebuah permulaan baru.***
———————THE END—————–