Daftar Isi
Bab 1 PERTEMUAN YANG TAK TERDUGA
Pagi itu, langit tampak cerah, dengan cahaya matahari yang menyelimuti setiap sudut kota kecil tempat Rani tinggal. Kota yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar, memberikan ketenangan bagi siapa pun yang ingin merasakan kedamaian. Rani, seorang gadis berusia 17 tahun, sudah terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Setiap sudut kota mengenalnya, dari jalanan yang dipenuhi dengan pohon-pohon rindang, hingga pasar yang selalu ramai setiap pagi. Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya merasa kosong: ia belum pernah merasakan cinta sejati, meskipun banyak teman sebayanya yang sudah memiliki kisah cinta mereka sendiri.
Rani baru saja menyelesaikan pelajaran matematika yang cukup sulit, dan seperti biasa, ia melangkah ke luar kelas untuk beristirahat sejenak. Udara segar menyambutnya, membawa aroma bunga yang baru saja mekar di taman sekolah. Sebuah suara berteriak memanggilnya dari kejauhan.
“Rani! Rani!”
Rani menoleh, menemukan sahabatnya, **Mira**, yang berlari ke arahnya dengan senyum lebar di wajahnya.
“Ada apa, Mira?” tanya Rani, sedikit bingung.
“Ada proyek kelompok, kan? Kita harus memilih anggota kelompok!” jawab Mira, napasnya terengah-engah setelah berlari. “Dan aku sudah mengurusnya, kamu akan bekerja dengan Andi.”
Nama **Andi** tidak asing bagi Rani, meskipun mereka tidak pernah berbicara banyak. Andi adalah anak pindahan yang baru beberapa bulan ini datang ke sekolah mereka. Tidak seperti kebanyakan anak laki-laki yang mudah bergaul, Andi cenderung pendiam dan tertutup. Wajahnya yang tampan sering menarik perhatian, tetapi ia selalu menjaga jarak dari orang lain. Itu membuat Rani merasa sedikit canggung ketika mendengar bahwa ia akan bekerja bersamanya.
“Apa? Andi? Kenapa aku harus dengan dia?” Rani merasa sedikit kecewa. Selama ini, Andi lebih suka duduk di belakang kelas dan jarang sekali berinteraksi dengan teman-temannya.
Mira tertawa kecil. “Karena kamu yang paling pintar di kelas, dan Andi… yah, dia butuh bantuan, kan? Kamu bisa membimbingnya.”
Rani menghela napas panjang, tak yakin dengan keputusan itu. Namun, dia tahu, sebagai sahabat, dia tidak bisa menolak permintaan Mira begitu saja. Selain itu, Rani merasa sedikit penasaran tentang Andi. Kenapa dia selalu tampak seperti menyimpan sesuatu yang besar dalam dirinya? Kenapa dia seolah menjauhkan diri dari semua orang?
Hari pertama bekerja dengan Andi tidak seperti yang Rani bayangkan. Mereka duduk bersebelahan di meja perpustakaan, dengan berbagai buku dan catatan yang tersebar di depan mereka. Andi, seperti biasanya, terlihat dingin dan terfokus pada pekerjaannya. Rani mencoba membuka percakapan, tetapi Andi hanya memberi jawaban singkat dan terkadang mengangguk tanpa banyak berbicara.
“Jadi, Andi,” Rani mulai dengan hati-hati, “Kamu suka pelajaran ini? Aku bisa bantu kalau ada yang sulit.”
Andi menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke buku catatannya, seolah-olah Rani tidak ada di sana. “Aku bisa sendiri,” jawabnya singkat.
Rani sedikit terkejut dengan sikapnya, tapi dia tidak menyerah. Dia tahu bahwa Andi bukanlah tipe orang yang mudah membuka diri. Rani memutuskan untuk fokus pada tugas mereka dan tidak terlalu memikirkan sikap Andi.
Beberapa jam berlalu, dan mereka hampir selesai dengan proyek mereka. Tiba-tiba, Rani melihat sesuatu yang menarik perhatian di pojok meja Andi. Sebuah foto lama yang terlipat di dalam buku catatan Andi. Tanpa sengaja, foto itu terjatuh ke lantai saat Andi berusaha meraih pena yang terjatuh. Rani yang melihatnya, langsung membungkuk untuk memungutnya.
“Ini foto siapa?” tanya Rani, menunjukkan foto tersebut kepada Andi.
Andi menatapnya dengan tatapan tajam, wajahnya berubah sedikit cemas. Dia dengan cepat meraih foto itu dan memasukkannya kembali ke dalam bukunya. “Tidak ada,” jawabnya cepat, seolah tidak ingin membahasnya lebih jauh.
Rani merasa ada yang aneh. Ada sesuatu dalam cara Andi merespon yang menunjukkan bahwa foto itu bukan sembarang foto. Sepertinya, foto itu menyimpan cerita yang tak ingin dibagikan kepada orang lain. Rani ingin bertanya lebih banyak, tetapi melihat perubahan sikap Andi, dia memutuskan untuk tidak melanjutkan percakapan tersebut.
Hari itu berakhir dengan suasana yang agak canggung. Walaupun mereka berhasil menyelesaikan proyek mereka, Rani merasa seolah ada sesuatu yang tak bisa dia sentuh. Ada dinding tebal yang dibangun oleh Andi antara dirinya dan dunia luar. Rani merasa seolah-olah berada di ujung sebuah pintu yang terkunci rapat, dan dia hanya bisa berdiri di luar, tanpa bisa tahu apa yang tersembunyi di dalamnya.
Saat ia berjalan pulang, pikiran tentang Andi terus mengganggunya. Apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya? Kenapa dia begitu tertutup? Rani menyadari bahwa mungkin, hanya mungkin, di balik sikap dinginnya itu, ada sebuah cerita yang belum diceritakan kepada siapapun—cerita yang mungkin juga terkait dengan dirinya.
Dengan langkah yang perlahan, Rani meninggalkan sekolah, namun perasaan penasaran dan ketertarikan terhadap Andi sudah mulai tumbuh dalam hatinya. Pertemuan yang tak terduga ini, yang dimulai dengan proyek kelompok yang sederhana, mungkin akan membawa mereka pada sebuah perjalanan yang lebih dalam dan penuh misteri.
Apakah Rani akan bisa menggali rahasia Andi? Dan akankah cinta pertama mereka terjalin di tengah perbedaan dan rasa saling curiga?*
BAB 2 CINTA YANGB PERLAHAN TUMBUH
Rani merasa jantungnya berdegup kencang setiap kali bertemu dengan Andi. Seperti ada sesuatu yang menarik dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya penasaran dan terobsesi. Namun, perasaan itu tidak datang begitu saja. Andi bukanlah sosok yang mudah didekati. Dingin, tertutup, dan cenderung menghindari perhatian orang lain. Meskipun begitu, Rani merasakan adanya sebuah daya tarik yang tak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar sikap Andi yang dingin itu.
Rani selalu mengamati Andi dari kejauhan, terutama saat mereka bertemu di sekolah. Andi selalu duduk sendiri, jauh dari kerumunan, dengan wajah yang serius. Tak ada banyak orang yang berani mendekatinya, takut dengan aura misterius yang selalu mengelilinginya. Namun, Rani justru merasa nyaman di dekatnya. Rasanya seperti ada keterikatan tak kasat mata yang menghubungkan mereka berdua, meskipun Andi selalu menjaga jarak.
Suatu hari, ketika mereka berdua sedang duduk di ruang kelas yang sepi, Andi tiba-tiba membuka pembicaraan. “Rani,” ucapnya dengan suara rendah dan berat, “Kamu mau bantu aku ngumpulin data untuk proyek kelompok ini?”
Rani terkejut. Selama ini Andi tak pernah menunjukkan minat untuk berbicara lebih jauh dengan siapa pun. Ia selalu lebih suka bekerja sendiri, tidak pernah menginginkan bantuan orang lain. Tapi sekarang, ia meminta bantuan darinya. Rani pun mengangguk cepat, merasa seperti sebuah kesempatan emas untuk lebih mengenal Andi.
Sejak saat itu, mereka mulai bekerja bersama. Rani memperhatikan Andi dengan lebih seksama. Ternyata, meskipun ia terlihat dingin dan terkesan acuh tak acuh, Andi sebenarnya sangat cerdas dan penuh perhatian dalam pekerjaannya. Setiap kali mereka berdiskusi tentang proyek, Andi selalu memberikan ide-ide brilian yang membuat Rani terkesima. Ia tak hanya berbicara dengan penuh keyakinan, tetapi juga memiliki cara yang halus dalam menyampaikan pendapatnya.
Namun, ada satu hal yang selalu mengganjal di hati Rani. Setiap kali mereka selesai bekerja dan siap untuk pulang, Andi akan selalu beranjak pergi tanpa banyak bicara. Rani merasa ada jarak yang tak bisa ia jembatani, seperti ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk lebih dekat. Tetapi anehnya, meskipun Andi terlihat ingin menjaga jarak, Rani merasa ada hal lain di dalam dirinya yang menariknya ke Andi. Sesuatu yang sulit untuk dipahami, sesuatu yang membuat perasaannya tumbuh perlahan meskipun ia berusaha menahannya.
Suatu sore, setelah mereka selesai mengerjakan proyek, Rani duduk sendiri di taman sekolah, menikmati udara sore yang sejuk. Andi tiba-tiba datang dan duduk di sebelahnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Awalnya, Rani merasa canggung. Namun, lama kelamaan, keduanya terjebak dalam keheningan yang nyaman. Andi memandang jauh ke depan, sesekali mengalihkan pandangan ke arah Rani, namun tidak berkata apa-apa.
“Ada apa, Andi?” tanya Rani dengan lembut, mencoba membuka percakapan.
Andi menoleh ke arahnya, terlihat sedikit ragu. “Aku cuma nggak suka keramaian,” jawabnya singkat.
Rani mengangguk memahami. Ia tahu bahwa Andi bukan tipe orang yang suka diperhatikan banyak orang. Namun, ada sesuatu dalam ekspresi wajahnya yang membuatnya semakin ingin mengenal lebih jauh. Andi bukan hanya dingin, tetapi juga penuh dengan misteri. Ia merasa ada banyak hal yang belum terungkap dalam diri Andi, dan itu membuatnya penasaran.
Waktu berlalu, dan perasaan Rani terhadap Andi semakin sulit untuk dibendung. Setiap kali mereka bekerja bersama, hati Rani selalu berdebar-debar, meskipun Andi tidak pernah menunjukkan tanda-tanda ketertarikan. Tapi di sisi lain, Rani merasa bahwa Andi pun perlahan mulai membuka diri kepadanya. Ia mulai berbicara lebih banyak, memberi senyuman yang jarang terlihat, dan sesekali menanyakan kabar Rani. Meskipun hal-hal kecil itu tidak terlalu banyak, namun bagi Rani, itu sudah cukup membuat hatinya merasa hangat.
Suatu malam, ketika mereka berdua pulang setelah mengerjakan proyek di perpustakaan, Andi memberanikan diri untuk berkata, “Rani, terima kasih sudah banyak membantu aku.”
Rani terkejut mendengar kata-kata itu. Ia tidak mengira bahwa Andi akan mengucapkan terima kasih padanya dengan begitu tulus. Selama ini, Andi lebih banyak terkesan dingin dan tak peduli. Namun malam itu, ada kehangatan dalam suaranya yang membuat Rani merasa dihargai. Cinta yang tumbuh perlahan itu mulai membuka jalan bagi keduanya untuk saling memahami.
Namun, Rani juga merasakan kebingungannya. Cinta pertama memang selalu rumit, dan kali ini ia merasakan dilema yang luar biasa. Ia tahu Andi tidak mengungkapkan perasaan secara langsung, tetapi Rani merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikapnya. Perasaan yang tumbuh perlahan itu membuat Rani merasa terombang-ambing antara keinginan untuk lebih dekat dengan Andi dan rasa takut akan kenyataan bahwa Andi mungkin tidak pernah melihatnya lebih dari sekadar teman.
Namun, satu hal yang pasti, perasaan Rani terhadap Andi semakin kuat. Setiap detik yang ia habiskan bersamanya membuatnya merasa seperti hidup dalam sebuah mimpi yang indah. Rani tahu, meskipun cinta itu tumbuh perlahan, ia tak bisa lagi mengabaikannya. Cinta pertama memang penuh dengan kebingungan, namun ia siap menghadapi semua tantangan yang datang, demi bisa bersama dengan orang yang ia cintai.*
BAB 3 DENDAM YANG TERSEMBUNYI
Rani berjalan menyusuri lorong sekolah, langkahnya terhenti di depan pintu kelas yang hampir selalu sunyi. Andi sedang duduk di pojok ruangan, matanya tertuju pada buku yang terbuka di hadapannya, namun jelas terlihat bahwa pikirannya tidak ada di sana. Sejak pertemuan pertama mereka, ada sesuatu yang berbeda pada Andi. Meskipun selalu terlihat tenang dan terkendali, ada aura kesedihan yang tak bisa disembunyikan di balik tatapan matanya yang gelap. Rani merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keengganan Andi untuk dekat dengan orang lain, ada sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang membebaninya.
Hari itu, setelah jam pelajaran berakhir, Rani memutuskan untuk mengajaknya berbicara. Berjalan perlahan menuju meja Andi, ia mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk membuka percakapan. Namun, sebelum Rani sempat membuka mulut, Andi terlebih dahulu menoleh padanya dengan senyum tipis yang tak sepenuhnya menyiratkan kebahagiaan.
“Kenapa? Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Andi, suaranya datar, seolah tak terlalu peduli dengan kehadiran Rani.
Rani sedikit terkejut dengan sikapnya, namun ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang jarang didapat. “Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentangmu, Andi. Kamu terlihat… berbeda dari yang lain,” jawab Rani, berusaha untuk berbicara dengan lembut.
Andi terdiam, matanya kembali menatap ke buku di hadapannya. “Kau tak perlu tahu lebih banyak tentang aku, Rani. Kita hanya teman sekelas,” ujarnya, suaranya lebih dingin dari sebelumnya.
Rani merasa ada tembok yang sangat tebal antara dirinya dan Andi, sebuah tembok yang tak mudah dihancurkan. Namun, ia merasa bahwa di balik sikap keras itu, ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang Andi sembunyikan dengan rapat. Perasaan penasaran yang semakin menguat mendorong Rani untuk tidak menyerah begitu saja.
Pada malam hari, Rani duduk di kamarnya, mencoba mengingat-ingat setiap percakapan dengan Andi, setiap tatapan dan gerak tubuhnya yang terasa penuh dengan misteri. Di saat itu, ia teringat dengan jelas sebuah percakapan yang sempat terjadi di kantin beberapa hari yang lalu.
Andi sedang duduk sendirian, dan saat itu Rani mendekatinya, memutuskan untuk duduk bersama. Andi terlihat agak terkejut, namun tidak mengatakan apa-apa. Rani membuka percakapan tentang hal-hal ringan, namun Andi hanya menjawab sepatah-sepatah. Sepertinya, ia tidak benar-benar ingin terlibat dalam percakapan itu. Namun, di tengah keheningan, Rani menangkap sebuah nama yang disebutkan oleh Andi dalam monolog pendeknya.
“Aku tak tahu harus bagaimana lagi, segala hal yang terjadi sejak… Sejak kejadian itu… semuannya berubah,” kata Andi pelan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri. Kata-kata itu seperti membawa Rani kembali pada kenangan yang telah lama terkubur dalam benaknya.
“Sejak kejadian itu…” Rani mengulang kata-kata Andi dalam pikirannya. Apa yang dimaksud Andi? Kejadian apa yang bisa mengubah segalanya? Rani merasa ada ketegangan di balik kata-kata itu. Kejadian itu sepertinya sangat penting bagi Andi, dan untuk beberapa alasan, Rani merasa bahwa kejadian itu berhubungan dengan masa lalu keluarganya.
Pagi berikutnya, Rani memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh. Ia mengunjungi perpustakaan sekolah, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa mengungkap misteri yang selama ini menghantui pikirannya. Setelah beberapa saat mencari, ia menemukan sebuah artikel lama di surat kabar sekolah, yang menyebutkan sebuah insiden yang terjadi beberapa tahun lalu.
Insiden itu melibatkan sebuah kecelakaan yang terjadi di jalan raya tidak jauh dari kota mereka. Sebuah mobil yang dikendarai oleh ayah Andi menabrak seseorang yang sedang berjalan kaki. Kejadian itu mengakibatkan kematian seseorang, dan meskipun keluarga Andi sudah melakukan segala yang mereka bisa, insiden itu membawa trauma yang dalam bagi Andi. Namun, ada yang lebih mencolok dalam artikel itu: nama orang yang terbunuh adalah **Rama**, sahabat dekat keluarga Rani.
Rani terperangah. Selama ini, ia tidak pernah tahu bahwa Andi adalah anak dari pengemudi mobil yang terlibat dalam kecelakaan itu. Ia tahu bahwa keluarga Rama adalah keluarga yang dihormati, tetapi ia tidak pernah tahu bahwa kejadian tragis itu melibatkan orang yang sangat dekat dengan hidupnya. Itu menjelaskan sikap Andi yang selalu terkesan menutup diri dan dingin terhadapnya. Andi pasti tahu siapa Rani, dan mungkin, dia menyimpan dendam terhadap keluarganya.
Hati Rani berdebar kencang. Tidak bisa dipungkiri bahwa perasaan Andi terhadap keluarganya pasti sangat rumit. Tapi bagaimana mungkin Andi menyalahkan dirinya sendiri jika kecelakaan itu memang bukan kesalahannya? Atau mungkinkah Andi merasa bahwa keluarga Rani tidak cukup melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah tersebut?
Rani kembali merenung. Keputusan untuk mencari tahu lebih jauh sepertinya tidak lagi sekadar soal penasaran, tapi juga tentang keadilan dan pemahaman. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana cara menghadapi semua ini—karena, tanpa disadari, ia sudah semakin terikat oleh perasaan yang mulai tumbuh untuk Andi.
Namun, dengan kenyataan ini, Rani tahu satu hal: dendam yang tersembunyi dalam hati Andi bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana perasaan itu mempengaruhi setiap langkah yang ia ambil—dan kini, ia harus memilih, apakah ia akan ikut terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, atau mencoba membawa Andi keluar dari kegelapan yang melingkupi hatinya.*
BAB 4 TRUNGKAP NYA MASALALU
Rani duduk di bangku taman sekolah, tangan memegang erat ujung buku catatannya. Angin sore yang berhembus lembut tak mampu meredakan kegelisahan yang menyelimuti hatinya. Sejak beberapa hari terakhir, pikirannya terus dihantui oleh sosok Andi yang semakin sulit dipahami. Ada sesuatu yang tidak beres, dan semakin ia mendekat, semakin dalam pula misteri yang terungkap.
Hari itu, Rani memutuskan untuk melangkah lebih jauh dalam pencariannya. Ia tahu, di balik tatapan dingin Andi, ada cerita yang tersembunyi, yang entah bagaimana berhubungan dengan dirinya. Perasaan rindu terhadap Andi yang mulai tumbuh dalam dirinya juga dipenuhi oleh rasa penasaran yang tak terungkapkan. Namun, ada satu hal yang harus Rani terima: Andi tak pernah ingin membuka cerita itu. Dan meskipun hatinya terus bertanya, ia merasa seolah tak memiliki hak untuk menyelidiki lebih dalam.
Pagi itu, Rani mendapat kesempatan untuk berbicara lebih banyak dengan **Dira**, sahabat lama Andi yang kini menjadi temannya juga. Dira adalah satu-satunya orang yang pernah terlihat sedikit lebih dekat dengan Andi, dan Rani merasa, jika ada seseorang yang bisa memberinya petunjuk, itu adalah Dira.
“Rani, aku tahu kamu penasaran dengan Andi,” ujar Dira saat mereka duduk berdua di kafe setelah kelas berakhir. “Tapi, aku ingin kamu hati-hati. Andi… dia punya alasan untuk menjadi seperti itu.”
Rani menatap Dira dengan serius, mencoba menggali lebih banyak. “Apa yang terjadi padanya, Dira? Aku merasa dia menyimpan sesuatu yang besar. Sesuatu yang membuatnya begitu berbeda dengan yang lain.”
Dira terdiam sejenak, seolah berpikir panjang. Wajahnya tampak bingung antara ingin berbagi dan khawatir. “Aku… Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi satu hal yang pasti, Andi bukan hanya sekadar pria yang pendiam. Ada luka besar di hidupnya, luka yang melibatkan keluargamu.”
Rani terkejut. Kata-kata Dira bagaikan petir yang menyambar. Sejenak, pikirannya terhenti. Apa maksudnya? Luka besar yang melibatkan keluarganya? Dengan hati yang berdebar, ia memaksa dirinya untuk bertanya lebih lanjut.
“Luka besar? Apa maksudmu, Dira? Bagaimana keluargaku terlibat dengan Andi?” Suara Rani hampir tak terdengar, terbawa oleh gelombang ketegangan yang tiba-tiba muncul.
Dira menarik napas dalam-dalam dan meletakkan cangkir kopi yang setengah kosong di meja. Ia menatap Rani, matanya penuh keraguan. “Ini sangat sulit untuk dijelaskan, Rani. Tapi Andi pernah kehilangan seseorang yang sangat ia cintai. Seseorang yang sangat dekat dengan keluargamu. Andi… dia merasa keluarga kamu—khususnya ayahmu—terlibat dalam kejadian yang merenggut orang yang ia cintai.”
Rani merasa dunia seolah berhenti berputar. Ia merasa kaget, bingung, dan tak tahu harus berkata apa. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya. **Ayahnya**? Apa yang telah dilakukan ayahnya pada Andi atau orang yang Andi cintai? Kenapa ia tidak pernah mendengar tentang kejadian ini sebelumnya?
“Siapa orang yang dimaksud?” tanya Rani, suaranya bergetar, mencoba menahan emosi yang datang begitu mendalam.
Dira menghela napas lagi. “Kakak Andi, **Raka**. Dia adalah sahabat baik ayahmu, teman seperjuangan yang sama-sama terlibat dalam bisnis keluarga. Namun, ada perbedaan besar yang mengarah pada pertikaian yang tak bisa diredakan. Raka, yang sangat dekat dengan keluargamu, akhirnya terlibat dalam kecelakaan yang mematikan. Dan Andi, adiknya, merasa bahwa kecelakaan itu bukan murni karena kelalaian. Dia yakin ada tangan lain yang mengatur peristiwa itu—dan dia percaya ayahmu ada di balik semua ini.”
Rani merasa seluruh tubuhnya kaku. Rasa tak percaya menyelimuti dirinya. Ayahnya? Bagaimana bisa? Apakah ini benar? Rani tak tahu harus merespons apa. Ia merasa seperti dunia yang ia kenal selama ini berbalik arah. Keluarganya? Ayahnya?
“Dira, apakah ini benar? Kenapa aku tidak tahu tentang ini?” suara Rani hampir berbisik.
Dira mengangguk pelan, tampak berat hati. “Aku tidak tahu mengapa kamu tidak pernah mendengarnya. Mungkin orang tua kita memilih untuk tidak memberitahumu, atau mereka pikir ini akan terlalu berat untukmu. Tapi, Andi… dia sangat terluka. Kecelakaan itu menghancurkan keluarganya, dan sejak saat itu, dia membawa dendam yang besar.”
Rani terdiam, memikirkan setiap kata Dira yang bergema di telinganya. Wajah Andi tiba-tiba muncul dalam pikirannya, tampak lebih rumit daripada yang selama ini ia bayangkan. Sikap dinginnya kini tampak jelas sebagai bagian dari rasa sakit yang mendalam. Andi bukan hanya pria dengan masalah pribadi, tapi seseorang yang sangat terikat pada masa lalu yang penuh dengan luka dan dendam.
Tak lama, Dira menambahkan, “Andi pernah mencoba berbicara dengan ayahmu, tapi dia dihalangi. Sejak saat itu, dia membenci keluarga kalian, meskipun tidak pernah secara terang-terangan mengungkapkannya. Semua yang dia lakukan, termasuk mendekatimu, mungkin ada kaitannya dengan usahanya untuk mengetahui lebih dalam—dan untuk balas dendam.”
Rani tertegun, tak bisa berkata-kata. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Cinta dan rasa benci, pengkhianatan dan kepercayaan, semua bercampur menjadi satu. **Andi**—pria yang selama ini ia anggap sebagai teman—ternyata menyimpan luka yang begitu dalam. Luka yang melibatkan keluarganya. Cinta pertama yang ia rasakan kini penuh dengan kebingungan dan perasaan bersalah yang semakin menyesakkan dadanya.
Namun, satu hal yang pasti: hubungan ini tidak akan sama lagi. Rani tahu bahwa untuk memahami Andi, ia harus menyelami lebih dalam masa lalu yang mengikat mereka berdua, meskipun itu berarti mengorbankan banyak hal dalam hidupnya.*
BAB 5 PERASAAN YANG TERPECAH
Hari itu, cuaca cerah di luar, tetapi hati Rani terasa mendung. Sebuah perasaan berat menggerogoti dirinya. Setiap langkah yang diambilnya, terasa semakin berat. Di dalam kelas, suasana sunyi, meskipun ramai. Semua teman-temannya sibuk dengan tugas dan obrolan ringan mereka. Namun, di antara mereka, Rani merasa sendirian. Ia bahkan tidak tahu apakah Andi akan datang hari itu atau tidak. Sejak peristiwa kemarin malam, dia merasa perasaan mereka berdua berada pada titik yang sangat krisis.
Andi, yang biasanya datang dengan senyuman tipis di wajahnya, pagi itu tidak terlihat. Rani mencoba menenangkan dirinya dengan berpikir bahwa Andi pasti hanya sibuk. Namun, di dalam hatinya, dia tahu sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Dendam yang disembunyikan Andi semakin terasa, dan perasaan itu menciptakan jarak yang semakin lebar di antara mereka. Tidak ada lagi kehangatan yang dulu mereka bagi dalam obrolan ringan mereka; tidak ada lagi canda tawa yang menyentuh hati. Semua itu tergantikan oleh keheningan yang menyesakkan.
Pernah Rani bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia bisa terus berada di samping Andi, seorang pria yang menyimpan begitu banyak luka dalam dirinya? Apakah ia bisa terus berjuang untuk cinta yang bahkan sejak awal sudah terancam oleh beban masa lalu yang begitu kuat?
“Rani, kau tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat,” suara seseorang menyadarkannya dari lamunannya. Rani menoleh, melihat **Mira**, sahabatnya, yang duduk di sampingnya. Mira menatapnya dengan penuh perhatian. “Apa kau masih memikirkan Andi?”
Rani terdiam. Ia ingin bercerita, ingin mengeluarkan semua perasaannya yang sudah terlalu lama terpendam. Namun, rasa takut menyelubungi dirinya. Takut jika ia mengungkapkan semuanya, maka ia akan terlihat seperti orang yang terlalu rapuh. Terlalu terjebak dalam perasaan yang tidak pasti. “Aku… aku tidak tahu, Mira. Aku merasa seperti kita sudah begitu dekat, tapi sekarang sepertinya ada dinding besar di antara kita.”
Mira menatapnya dengan penuh pengertian. “Cinta itu tidak selalu mudah, Rani. Kau tahu itu kan? Terkadang, orang membawa beban mereka sendiri, yang tidak bisa mereka ungkapkan begitu saja. Mungkin Andi memiliki alasan yang sangat pribadi untuk sikapnya.”
Rani mengangguk perlahan. “Aku tahu… Tapi, aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian seperti ini. Aku takut… takut jika akhirnya semua ini akan berakhir tanpa ada jawaban yang jelas.”
Mira terdiam sejenak, lalu berkata, “Jika kau mencintainya, Rani, kau harus siap menghadapi kenyataan. Kadang-kadang, cinta bukan hanya tentang kebahagiaan. Cinta bisa juga berarti menerima luka, dan berjuang bersama.”
Kata-kata Mira menampar perasaan Rani. Mungkin benar, cinta bukan hanya tentang kebahagiaan dan tawa. Cinta pertama memang indah, tetapi terkadang, ada luka yang harus disembuhkan. Luka yang berasal dari masa lalu yang begitu dalam dan sulit untuk dilupakan.
Setelah kelas berakhir, Rani memutuskan untuk pergi ke tempat biasa mereka bertemu, sebuah taman kecil di dekat sekolah. Tempat itu selalu menjadi tempat Andi dan dirinya berbicara tentang banyak hal, tentang impian mereka, dan kadang-kadang, tentang kesedihan yang mereka rasakan.
Ketika Rani tiba, Andi sudah duduk di bangku taman itu. Wajahnya yang biasa tampak tenang, kali ini terlihat lebih serius. Ia menatap ke depan, seakan tidak ingin melihat Rani datang. Jarak antara mereka terasa begitu besar, meskipun hanya ada beberapa langkah yang memisahkan mereka.
“Kenapa kau tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan?” suara Andi terdengar pelan, namun penuh tekanan. Rani terkejut, seolah-olah Andi sudah mengetahui apa yang sedang dipikirkan olehnya.
“Jelaskan? Apa yang harus kau jelaskan, Andi?” suara Rani bergetar, berusaha menahan emosi yang mendalam. “Apakah kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi? Aku sudah tahu tentang masa lalumu. Tentang dendammu, tentang semuanya… Tapi, aku tetap ingin ada di sini untukmu.”
Andi menunduk, kemudian menghela napas panjang. “Rani, aku tidak bisa begitu saja melupakan masa lalu. Aku tidak bisa begitu saja menerima kenyataan bahwa kau adalah bagian dari orang-orang yang membuatku terluka. Bagaimana bisa aku melupakan semuanya?”
Rani merasa hatinya tertekan. Andi benar, masa lalu mereka sangat berbeda. Keluarganya dan keluarga Andi memiliki sejarah yang tidak mudah untuk diabaikan. Tetapi, rasa cinta yang mulai tumbuh di dalam hatinya untuk Andi tidak bisa diabaikan begitu saja. Rani tahu, jika mereka terus terjebak dalam perasaan ini, maka hubungan mereka akan hancur.
“Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, Andi. Tapi kita bisa memilih untuk tidak terjebak di dalamnya,” jawab Rani dengan suara yang penuh tekad. “Aku tidak bisa hidup tanpa berharap ada masa depan yang lebih baik untuk kita. Dan aku berharap, kau bisa melihat itu.”
Andi terdiam. Wajahnya berubah, seakan ada konflik batin yang besar di dalam dirinya. “Aku… Aku tidak tahu apakah aku bisa mengubah perasaanku, Rani. Aku tidak tahu bagaimana melupakan semua rasa sakit itu.”
Rani menghela napas. “Aku juga tidak tahu, Andi. Aku tidak tahu bagaimana kita bisa melewati ini, tetapi aku tahu satu hal—aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak ingin perasaan ini berakhir karena masa lalu yang tidak bisa kita ubah.”
Andi menatap Rani, seolah mencoba membaca setiap kata yang keluar dari bibirnya. Ada sesuatu dalam pandangannya yang akhirnya menunjukkan keraguan, ketidakpastian, tetapi juga harapan. Mereka berdua terdiam, terjebak dalam ketegangan yang panjang.
Cinta pertama mereka memang penuh dengan pergolakan. Namun, meskipun perasaan mereka terpecah, ada bagian dari diri mereka yang tidak ingin menyerah begitu saja. Di tengah ketidakpastian dan luka masa lalu, mereka tahu satu hal: kadang-kadang, untuk bisa bersama, mereka harus saling mengalah dan membuka hati.*
BAB 6 CINTA YANG MENGALAH KAN DENDAM
Rani duduk di tepi jendela kamar, matanya menatap hujan yang turun dengan perlahan, membasahi bumi yang sudah kering oleh waktu. Setiap tetes air yang jatuh seakan membawa pikirannya kembali ke perjalanan panjang yang telah ia jalani bersama Andi. Keputusan untuk tetap bertahan, meski semuanya terasa begitu sulit, kini mulai terasa ringan. Namun, di hati Rani, ada rasa cemas yang tak kunjung hilang. Perasaan itu selalu datang ketika dia berpikir tentang masa lalu Andi, tentang dendam yang selama ini mengikatnya, dan tentang betapa rapuhnya hubungan mereka karena kenangan yang tak bisa dihapus.
Beberapa hari terakhir, Andi semakin menjauh. Tanggapan dinginnya dan cara dia menghindar membuat Rani semakin merasa terasing. Rani tahu, Andi sedang berperang dengan perasaannya sendiri. Setiap kali Rani mendekat, Andi akan menarik diri. Rani mencoba untuk tidak merasa tersinggung, meski sebenarnya rasa sakit itu menggerogoti hatinya. Dia tahu bahwa Andi berjuang lebih keras daripada yang ia tunjukkan.
Sementara itu, Andi, yang biasanya begitu tertutup, kini mulai menatap cermin hidupnya dengan tatapan kosong. Ia merenung, memikirkan kembali segala hal yang telah terjadi dalam hidupnya, tentang keluarganya, tentang Rani, dan tentang rasa sakit yang mengikat hatinya. Dendam itu seakan menjadi bayangan yang terus menghantui setiap langkahnya. Andi tahu, ia harus memaafkan, tetapi bagaimana bisa ia melepaskan masa lalu yang begitu dalam merasuk ke dalam jiwanya?
Hari itu, saat Rani mendekati Andi dengan hati yang berat, mereka bertemu di taman belakang rumah. Pohon-pohon besar yang selalu menjadi saksi bisu pertemuan mereka tampak lebih senyap dari biasanya, seakan memahami betapa beratnya langkah yang harus mereka ambil.
“Kenapa kamu menjauh, Andi?” suara Rani terdengar lembut, tetapi ada getar di dalamnya yang tidak bisa disembunyikan. Dia tahu Andi sedang berjuang, tapi dia juga tahu, semakin Andi menjauh, semakin sulit untuk memulihkan hubungan yang rapuh ini.
Andi menunduk, tidak mampu memandang mata Rani. Ia merasakan perasaan bersalah yang menghimpit dadanya. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata yang ada di pikirannya terasa begitu berat untuk diucapkan. Dalam hati, ia tahu, jika ia terus terjebak dalam masa lalu, ia tidak akan pernah bisa maju. Namun, di sisi lain, rasa sakit yang telah ia simpan selama bertahun-tahun seolah mengikatnya.
“Aku tidak ingin kamu terlibat lebih dalam lagi, Rani,” ujar Andi pelan, suara itu penuh penyesalan. “Kamu tidak tahu seberapa dalam luka yang aku rasakan. Aku tidak ingin kamu tersakiti hanya karena cinta yang tidak bisa ku berikan sepenuhnya.”
Rani melangkah lebih dekat, matanya menatap penuh harap. “Aku tahu ada masa lalu yang menghantui kamu, Andi. Aku tahu aku mungkin tidak bisa mengerti sepenuhnya, tapi aku bisa berjuang bersama kamu. Aku tidak akan pergi. Aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu.”
Andi terdiam. Suasana semakin hening, hanya terdengar suara angin yang berdesir di antara daun-daun yang bergoyang. Dia menatap Rani, ada kehangatan yang perlahan menyusup ke dalam hatinya. Namun, rasa takut yang lebih besar masih menghalangi langkahnya. Dendam itu terlalu kuat, terlalu dalam, dan ia tak tahu bagaimana cara melepaskannya.
“Tapi, aku merasa aku bukan orang yang tepat untuk kamu, Rani. Aku… aku tak tahu bagaimana caranya mencintai tanpa rasa takut. Tanpa rasa benci yang masih tersisa dalam diriku.”
Rani menghela napas dalam-dalam, mencoba memahami kata-kata Andi yang terucap penuh kepedihan. “Aku tidak meminta kamu untuk langsung melupakan semua itu, Andi. Aku hanya ingin kita saling memberi ruang untuk sembuh, untuk berubah bersama. Jangan biarkan masa lalu menghancurkan masa depan kita.”
Andi terdiam, perasaannya bergejolak. Ada sesuatu dalam diri Rani yang membuatnya ingin berjuang. Ada ketulusan dalam setiap kata yang diucapkannya, dan Andi mulai merasakan bahwa cinta yang tulus seperti itu tidak bisa begitu saja diabaikan. Namun, rasa sakit yang menyertai hatinya begitu besar, dan ia takut jika ia membuka pintu itu, ia akan kembali terluka.
Rani mendekatkan tangannya ke tangan Andi, menggenggamnya dengan lembut. “Aku percaya kita bisa melewati ini, Andi. Aku tahu itu tidak mudah. Tapi, jika kita terus saling mendukung, kita bisa melewati semua hal yang sulit bersama.”
Andi menatap tangan Rani yang menggenggam tangannya, dan untuk pertama kalinya setelah lama, ada rasa hangat yang meresap ke dalam dirinya. Mungkin, cinta yang dia cari bukanlah hal yang harus diselesaikan dengan dendam dan kebencian. Mungkin, cinta itu lebih tentang menerima dan memberi kesempatan untuk sembuh.
Dengan suara bergetar, Andi akhirnya berbicara, “Aku ingin mencoba, Rani. Aku ingin berhenti melawan perasaan ini. Aku ingin melupakan dendam yang sudah terlalu lama memenjarakan diriku.”
Rani tersenyum, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir. Air mata itu bukan lagi air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan yang penuh harapan. Mereka berdua berdiri di bawah hujan yang masih turun, tetapi kali ini, mereka merasa hangat. Dendam yang telah mengikat mereka akhirnya mulai mencair, digantikan oleh rasa saling percaya yang mulai tumbuh di antara mereka.
Cinta, meski datang terlambat, akhirnya mengalahkan segala dendam yang ada. Cinta yang penuh pengertian, yang memberikan ruang bagi dua hati yang terluka untuk sembuh. Dan, di saat itu, Rani dan Andi tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai
Hujan semakin deras, seakan alam pun merasakan ketegangan yang ada di antara Rani dan Andi. Mereka berdiri bersama di bawah pepohonan, terlindung dari hujan yang mengalir deras, namun hati mereka masih terbuka dan saling terbuka satu sama lain. Rani merasa bahwa hari itu adalah momen yang menentukan, momen di mana mereka harus menghadapi kenyataan bahwa cinta pertama mereka tidak bisa semudah yang mereka bayangkan. Cinta pertama adalah cinta yang penuh gejolak, penuh keraguan, dan penuh tantangan.
Namun, di balik semua itu, ada harapan yang tidak pernah pudar. Rani tidak bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya untuk Andi, meskipun setiap hari ia merasakan betapa sulitnya mencintai seorang pria yang memiliki masa lalu yang begitu kelam. Setiap kata, setiap tindakan Andi membawa Rani semakin jauh ke dalam dunia yang lebih gelap dari yang ia duga. Rani ingin membantu Andi keluar dari bayangan masa lalunya, tetapi bagaimana caranya jika Andi sendiri merasa terjebak oleh dendam yang begitu dalam?
Andi menatap Rani dengan tatapan yang sulit diartikan. Wajahnya yang biasanya keras kini terlihat lebih lembut, meski masih ada garis kekesalan yang samar tergambar di pelipisnya. “Aku tahu kamu ingin aku membuka diri, Rani. Aku tahu kamu ingin aku melepaskan semua ini. Tapi bagaimana mungkin aku bisa melupakan semua rasa sakit itu? Kamu tidak tahu apa yang terjadi padaku dulu.”
Rani menggenggam tangan Andi lebih erat, dan kali ini, ia tidak akan mundur. “Aku mungkin tidak tahu seluruh cerita, Andi. Tapi aku tahu satu hal, yaitu aku ingin melangkah bersama kamu. Aku ingin kita sama-sama belajar melepaskan masa lalu dan memberi ruang untuk sesuatu yang baru. Aku tidak akan bisa membuatmu melupakan semua yang telah terjadi, tapi aku akan selalu ada di sini untuk kamu.”
Andi memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Rasanya begitu banyak beban yang menghimpit jiwanya. Ada perasaan marah yang terkubur dalam hati, ada rasa kehilangan yang seolah tak pernah bisa hilang. Dendam terhadap orang-orang yang telah menyakitinya, terutama terhadap keluarga Rani, menghalangi jalan hatinya untuk menerima cinta yang ditawarkan oleh gadis ini.
“Aku… aku tidak bisa menjanjikan apapun, Rani,” kata Andi dengan suara serak, hampir tak terdengar. “Aku tidak tahu bagaimana caranya mencintai lagi tanpa membawa beban ini. Aku takut jika aku membuka hatiku, aku akan menyakiti kamu.”
Rani mengangkat wajah Andi dengan lembut, memaksa pria itu untuk melihat ke dalam matanya. “Aku tidak takut, Andi. Aku tahu kita berdua sedang berjuang untuk sesuatu yang besar. Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita bisa melakukannya bersama.”
Andi merasakan ketulusan dalam kata-kata Rani, dan sesuatu dalam dirinya mulai tergerak. Perasaan itu, yang selama ini terkunci rapat, mulai terbuka sedikit demi sedikit. Andi tahu bahwa ia tidak bisa terus bersembunyi dari perasaannya, dari cinta yang sebenarnya ada di antara mereka. Selama ini, ia terlalu lama memikul beban seorang diri, dan sekarang, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang ingin berjalan bersamanya, menghadapinya bersama-sama.
“Rani…” suara Andi mulai tergetar, “aku… aku ingin mencintaimu. Aku ingin kita bisa bersama, tapi aku takut aku tidak cukup baik untukmu.”
Rani tersenyum, air mata kembali mengalir dari matanya. Namun kali ini, air mata itu bukanlah air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan yang telah lama ia pendam. “Tidak ada yang sempurna, Andi. Kita berdua tidak sempurna. Tetapi kita bisa saling melengkapi.”
Andi menarik napas panjang, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih lega. Seolah ada sebuah beban yang terangkat dari pundaknya. Dendam yang selama ini membelenggunya mulai terasa lebih ringan, meskipun masih ada rasa sakit yang belum sepenuhnya hilang. Namun, ia tahu, jika ia ingin memiliki kebahagiaan sejati bersama Rani, ia harus belajar melepaskan rasa sakit itu.
“Rani, aku minta maaf,” ujar Andi, suaranya terdengar lebih rendah. “Aku tahu aku sudah menyakiti kamu dengan sikapku. Aku takut, aku benci, dan aku merasa terperangkap. Aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari semua ini.”
Rani memeluk Andi, dengan penuh kasih sayang. “Kita akan bersama-sama melewati ini, Andi. Aku tidak akan membiarkan kamu melawan ini sendirian lagi. Aku di sini untukmu, dan aku akan tetap di sini.”
Andi membalas pelukan Rani dengan erat, seolah ia takut jika ia melepaskan Rani, ia akan kembali kehilangan segalanya. Di dalam pelukan itu, ia merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta, yang selama ini seakan mustahil bagi dirinya, kini terasa nyata. Rani adalah cinta yang ia cari, bukan karena ia sempurna, tetapi karena mereka bisa saling menerima ketidaksempurnaan masing-masing.
Andi akhirnya melepaskan pelukan itu, dan mereka saling menatap, mata mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang terucap. Dalam diam, mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir, tetapi hari itu adalah langkah pertama yang sangat penting. Andi tidak lagi merasa sendirian. Ia merasa ada seseorang yang bisa ia andalkan, seseorang yang akan mendampinginya untuk menghadapi apapun yang datang di masa depan.
“Andi,” kata Rani dengan lembut, “aku tahu ini tidak akan mudah. Tetapi, aku percaya kita bisa melepaskan semua yang mengikat kita. Kita bisa mulai dari sini, bersama-sama.”
Andi mengangguk pelan, dan ada sesuatu yang baru muncul dalam dirinya—harapan. Harapan bahwa, meskipun segala sesuatu terasa sulit, cinta mereka bisa tumbuh. Dendam yang selama ini menghantuinya tidak akan lagi menguasai hidupnya, jika ia memilih untuk menyerahkan hatinya pada cinta yang tulus ini.
Mereka berjalan bersama di tengah hujan yang masih turun, namun kali ini, hujan terasa berbeda. Bukan lagi sebagai sesuatu yang menakutkan atau penuh kesedihan, tetapi sebagai simbol pembaruan. Di bawah langit yang basah, mereka berdua merasa bahwa cinta mereka telah mengalahkan segala dendam yang dulu mengekang hati mereka.
Ketika mereka sampai di ujung jalan, Andi berhenti sejenak dan menoleh ke arah Rani. “Rani, terima kasih karena tidak pernah menyerah padaku.”
Rani hanya tersenyum, menggenggam tangan Andi dengan erat. “Kita berdua akan melewati ini, Andi. Dan kita akan melakukannya dengan cinta yang baru.”
Dan di bawah hujan yang terus turun, mereka melangkah maju, bersama-sama. Dendam itu, yang selama ini menghantui mereka, perlahan mulai menghilang, digantikan dengan harapan dan cinta yang lebih besar.***
——————-THE END——————