Daftar Isi
BAB 1 AWAL YANG INDAH
Hari itu adalah hari yang cerah, dengan matahari yang bersinar lembut di atas langit biru. Clara berjalan dengan langkah ringan menuju sekolah, mengenakan seragam putih abu-abu yang baru disetrika, dan rambutnya yang diikat rapi dengan pita merah muda. Pagi itu terasa berbeda. Ada semacam kegembiraan yang mengalir dalam dirinya, meskipun tak ada alasan yang jelas mengapa. Mungkin itu hanya perasaan biasa yang muncul saat menghadapi hari pertama di semester baru, atau bisa juga karena hari ini adalah hari yang cukup istimewa—hari di mana ia akan bertemu dengan seseorang yang baru.
Saat memasuki gerbang sekolah, Clara merasakan atmosfer yang familiar. Suara tawa teman-temannya, suara langkah kaki yang tergesa-gesa, dan suara bel yang berbunyi nyaring, semua itu terasa seperti bagian dari rutinitas yang menyenangkan. Namun, hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Mata Clara tertuju pada sosok di ujung koridor—seorang pemuda dengan rambut hitam yang sedikit acak-acakan, mengenakan jaket biru tua dan celana jeans yang tampak pas. Wajahnya cukup tampan, dengan mata yang terlihat tajam, namun ada kelembutan yang terkandung di balik tatapan tersebut.
Clara tidak tahu mengapa ia merasa seperti itu. Matanya tak bisa lepas dari pemuda itu. Ada sesuatu yang menariknya untuk sekadar memperhatikan, meskipun ia tahu itu bukan hal yang biasa ia lakukan. Pemuda itu sedang berbicara dengan teman sekelasnya, namun Clara merasa ada sesuatu yang membedakan dirinya dengan yang lain.
Sesampainya di kelas, Clara berusaha menenangkan diri. Ia duduk di tempat biasa, di dekat jendela yang menghadap ke lapangan. Tapi perasaan itu—perasaan ingin tahu tentang pemuda yang baru saja dilihatnya—terus mengganggunya. Tanpa ia sadari, ia berusaha mencari tahu siapa dia. Ternyata, pemuda itu adalah Evan, siswa baru yang baru pindah ke sekolah mereka dari kota lain. Evan, yang sudah menarik perhatian hampir semua siswa di kelas, ternyata juga menarik perhatian Clara. Tetapi, Clara tidak ingin terlihat seperti seseorang yang tertarik pada orang baru hanya karena penampilannya. Ia berusaha untuk menjaga jarak dan fokus pada pelajaran.
Namun, seiring berjalannya waktu, Clara merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia hindari. Setiap kali mereka bertemu di koridor atau dalam kegiatan kelompok, ada semacam ketegangan yang aneh di antara mereka. Bukan ketegangan yang canggung, tetapi ketegangan yang membuat Clara merasa ada sesuatu yang terhubung—sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan kebetulan.
Hari-hari berlalu, dan Evan mulai lebih sering berinteraksi dengan Clara. Awalnya, itu hanya percakapan ringan, seperti ketika mereka bertemu di ruang olahraga atau ketika mereka berada dalam kelompok yang sama untuk tugas sekolah. Namun, setiap kali mereka berbicara, Clara merasa dunia di sekitarnya seakan menghilang. Ia hanya bisa fokus pada suara Evan, senyumannya, dan cara dia berbicara dengan penuh perhatian. Ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar, sesuatu yang sangat berbeda dari yang ia rasakan sebelumnya.
Suatu hari, setelah selesai pelajaran olahraga, Clara sedang berjalan menuju loker ketika Evan menghampirinya. Tangan Evan memegang bola basket yang baru saja ia pakai. Dengan senyum kecil yang tampak malu-malu, Evan menyapanya.
“Hai, Clara. Bisa bantu aku sebentar?” tanya Evan, suaranya terdengar rendah namun ramah.
Clara menoleh, terkejut mendengar namanya disebut. “Tentu, ada yang bisa aku bantu?”
Evan terlihat sedikit ragu, tetapi kemudian ia mengangkat bola basket yang ada di tangannya. “Aku butuh bantuanmu mencari teman-teman untuk ikut latihan voli minggu depan. Aku belum tahu banyak orang di sini.”
Clara mengangguk dan tersenyum. “Tentu, aku bisa bantu. Teman-teman sekelasku banyak yang suka ikut olahraga.”
Mereka pun berbicara lebih lanjut tentang kegiatan ekstrakurikuler, dan Clara merasa semakin nyaman dengan Evan. Meski ada sedikit kegugupan, percakapan mereka mengalir begitu alami. Clara merasa ada koneksi yang kuat, sesuatu yang membuatnya ingin lebih mengenal Evan. Dia bukan hanya tampan, tetapi juga ramah, perhatian, dan memiliki cara bicara yang membuat Clara merasa dihargai. Tidak ada kesan angkuh atau sombong yang ia dapatkan darinya—Evan justru tampak seperti seseorang yang mudah didekati, meskipun banyak orang yang melihatnya dengan kekaguman.
Hari-hari berikutnya, mereka semakin sering berbicara. Clara mulai menantikan setiap kesempatan untuk bertemu Evan, meski itu hanya percakapan singkat tentang tugas atau kegiatan sekolah. Ia merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Tidak pernah sebelumnya ia merasa begitu tertarik pada seseorang, apalagi pada seseorang yang baru dikenalnya. Namun, rasa ini tidak bisa ia pungkiri—ada sesuatu dalam diri Evan yang membuat Clara merasa hidup.
Suatu sore, setelah pelajaran selesai, Evan mengajaknya untuk berjalan pulang bersama. “Mau pulang bareng?” tanya Evan dengan nada santai, meskipun senyumannya sedikit gugup. “Kebetulan kita lewat jalan yang sama.”
Clara terkejut, namun hatinya terasa hangat mendengar tawaran itu. Ia merasa tidak ada salahnya menerima ajakan itu. Dengan sedikit rasa canggung, Clara mengangguk. “Tentu.”
Mereka berjalan bersama, berbicara tentang hal-hal ringan, mulai dari cuaca yang cerah hingga lagu-lagu favorit mereka. Semakin lama, Clara merasa semakin nyaman dengan Evan. Setiap tawa dan senyuman yang mereka bagi semakin membuat hatinya berdebar-debar. Ia tahu, meskipun ini adalah awal yang sederhana, ada sesuatu yang lebih besar yang sedang tumbuh di dalam hatinya.
Hari itu berakhir dengan Clara merasa bahagia. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, namun ia tahu itu adalah perasaan yang langka. Awal yang indah ini membuka pintu bagi sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang ia rasakan akan membawa warna baru dalam hidupnya.
Namun, di balik perasaan itu, Clara juga menyadari bahwa perasaan seperti ini terkadang bisa sangat rapuh. Cinta pertama sering kali begitu indah, tetapi juga penuh dengan ketidakpastian. Tetapi, untuk saat ini, Clara memutuskan untuk menikmati setiap momen yang ada, karena ia tahu, awal yang indah ini mungkin hanya datang sekali seumur hidup.*
BAB 2 TUMBUHNYA CINTA
Hari-hari pertama yang dihabiskan bersama Evan terasa seperti mimpi bagi Clara. Mereka saling mengenal satu sama lain lebih dekat, dan setiap detik yang berlalu, hati Clara semakin tenggelam dalam perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Semua terasa begitu sempurna, seolah-olah mereka diciptakan untuk satu sama lain. Clara merasa seperti bintang-bintang yang berada di dekatnya, semuanya berkilau lebih terang.
Pertemuan mereka di hari pertama memang tak terlalu istimewa. Hanya sekadar perkenalan biasa, diiringi obrolan ringan dan senyuman malu-malu. Namun, seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin berkembang. Keduanya mulai saling berbagi cerita—Clara tentang impian dan ketakutannya, sementara Evan dengan penuh perhatian mendengarkan, memberikan dukungan yang Clara rasakan sangat tulus. Mereka menjadi teman yang sangat dekat, saling menguatkan satu sama lain, hingga akhirnya kedekatan itu mengarah pada perasaan yang lebih dalam.
Setiap kali Evan mengajaknya berbicara, Clara merasa seperti dunia ini hanya milik mereka berdua. Suaranya yang lembut membuat jantungnya berdebar, dan mata mereka yang saling bertemu selalu membuatnya merasa nyaman. Clara tidak pernah mengira bahwa dia akan jatuh cinta dengan seseorang secepat ini, namun dengan Evan, semua terasa begitu alami. Tak ada yang dipaksakan, tak ada kebohongan. Hanya dua hati yang saling terbuka satu sama lain.
“Clara, aku merasa kita sudah saling mengenal lebih dalam,” kata Evan suatu sore ketika mereka sedang berjalan pulang bersama setelah kegiatan sekolah. Wajah Evan terlihat lebih serius dari biasanya, meskipun senyumannya tetap menghiasi bibirnya.
Clara memandangnya dengan sedikit cemas, meski hatinya berdebar. “Aku juga merasa begitu,” jawab Clara, berusaha untuk terdengar tenang. Di dalam hatinya, ia sudah tahu kemana arah percakapan ini akan membawa mereka. “Kamu sudah jadi teman yang sangat berarti buat aku, Evan.”
Evan berhenti berjalan sejenak, kemudian menatap Clara dengan tatapan yang penuh makna. “Aku ingin lebih dari sekadar teman, Clara,” katanya, suaranya lembut namun penuh keyakinan. “Aku ingin kita lebih dekat, aku ingin menjadi seseorang yang bisa membuatmu bahagia.”
Clara merasa tubuhnya seperti diselimuti kehangatan, jantungnya berdetak semakin cepat. Kata-kata Evan begitu mendalam dan tulus, menyentuh sisi hatinya yang paling dalam. Hatinya yang semula ragu kini terasa lebih terang, seolah dunia di sekeliling mereka menjadi lebih indah. Ia merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya yang telah lama terpendam.
Dengan sedikit terbata-bata, Clara berkata, “Aku juga merasa sama, Evan. Sejak kita mulai berbicara lebih sering, aku merasa ada yang berbeda, dan aku tahu itu bukan hanya perasaan biasa. Aku suka kamu, Evan.”
Keduanya saling menatap, dan dalam keheningan yang sejenak terjadi, mereka menyadari bahwa perasaan itu sudah tak bisa disembunyikan lagi. Momen itu menjadi titik awal hubungan mereka yang lebih dari sekadar pertemanan. Dengan langkah yang penuh keyakinan, Evan menggenggam tangan Clara untuk pertama kalinya, menyampaikan segala perasaan yang ada dalam hatinya.
Sejak saat itu, hubungan mereka berkembang pesat. Setiap hari, mereka semakin dekat, berbagi tawa, cerita, dan bahkan rahasia satu sama lain. Mereka menghabiskan waktu bersama, belajar bersama, dan menjalani hari-hari yang penuh kebahagiaan. Clara merasa seperti ia akhirnya menemukan seseorang yang benar-benar memahami dirinya, yang selalu ada di saat-saat paling sulit sekalipun.
Di suatu malam yang cerah, mereka duduk di taman dekat rumah Clara, menikmati langit malam yang penuh bintang. Mereka berbicara tentang mimpi-mimpi mereka di masa depan, tentang bagaimana mereka ingin menjalani hidup ini, dan bagaimana mereka bisa saling mendukung. Clara merasa bahwa dunia di sekelilingnya begitu sempurna, seperti tidak ada yang bisa menghalangi kebahagiaan yang kini ia rasakan.
“Aku selalu bermimpi untuk punya seseorang yang benar-benar peduli dengan aku, seseorang yang bisa membuatku merasa aman dan bahagia,” kata Clara, matanya menatap bintang-bintang di langit malam. “Dan aku merasa itu ada di sini, dengan kamu, Evan.”
Evan tersenyum dan menatap Clara dengan lembut. “Aku juga ingin menjadi orang itu, Clara. Aku ingin selalu ada di sampingmu, tidak peduli apa pun yang terjadi. Kita bisa menghadapi semuanya bersama, aku janji.”
Clara merasa ada kehangatan yang menyebar di hatinya. Kata-kata Evan begitu menyentuh dan membuatnya merasa lebih mencintai pria itu setiap harinya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa cinta pertama bisa terasa seindah ini, penuh dengan dukungan, kebahagiaan, dan kepercayaan yang tulus.
Namun, meskipun semua terasa sempurna, Clara juga merasa ada sedikit keraguan yang muncul. Ia tidak bisa menepis perasaan cemas yang mulai menghampirinya. Bagaimana jika semua ini hanya sementara? Bagaimana jika perasaan ini tidak bertahan lama? Clara tidak ingin berpikir terlalu jauh, tetapi kadang-kadang, ketakutan akan kehilangan mulai merayap ke dalam hatinya. Namun, ia berusaha untuk tidak memikirkannya terlalu dalam, karena saat itu, yang terpenting adalah kebahagiaan yang ia rasakan bersama Evan.
Waktu terus berlalu, dan cinta mereka semakin tumbuh, seperti bunga yang berkembang dengan indahnya di tengah kebun yang penuh warna. Mereka terus saling mendukung, saling berbagi, dan membuat kenangan-kenangan manis bersama. Setiap hari adalah kesempatan untuk mereka belajar lebih banyak tentang cinta, tentang arti dari saling memahami dan menghargai satu sama lain.
Meskipun ada ketakutan di dalam hati Clara, ia tahu satu hal pasti: untuk saat ini, cinta mereka begitu murni dan tulus. Dan itu adalah hal yang membuatnya merasa hidup dengan cara yang lebih indah daripada yang pernah ia bayangkan.
Namun, dalam kedalaman hatinya, Clara juga tahu bahwa cinta pertama ini tidak akan selalu mudah. Tantangan pasti akan datang. Tetapi untuk sekarang, ia hanya ingin menikmati setiap detik bersama Evan, menumbuhkan cinta ini dengan penuh kasih dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.*
BAB 3 KECURIGAAN YANG MUNCUL
Clara duduk di bangku taman sekolah, memandangi pemandangan di depannya, tetapi pikirannya melayang jauh. Hatinya terasa gelisah. Sejak beberapa hari terakhir, ada yang berbeda dengan sikap Evan. Pria yang dulu selalu ceria dan perhatian, sekarang menjadi lebih pendiam dan jarang menghubunginya. Clara mencoba untuk mengabaikannya, berpikir mungkin itu hanya masalah kecil yang akan berlalu begitu saja. Namun, semakin lama, rasa cemas dalam dirinya semakin tumbuh.
Sudah hampir dua minggu sejak mereka terakhir menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, Evan lebih memilih menghabiskan waktu dengan teman-temannya daripada berbicara dengannya. Ia juga sering menghindari tatapan mata Clara, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan. Clara yang selama ini merasa dekat dengan Evan mulai merasa ada jarak di antara mereka, sebuah jarak yang semakin lebar dan sulit untuk diabaikan.
Hari itu, ketika mereka berencana untuk bertemu setelah sekolah, Clara menunggu di tempat yang biasa mereka pilih. Waktu berlalu, dan Evan belum juga muncul. Clara merasa sedikit kecewa, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. Mungkin Evan sedang sibuk, pikirnya. Namun, saat ia sedang menunggu, matanya menangkap sosok Evan yang sedang berjalan bersama seorang gadis lain, Maya, sahabat dekat Clara. Mereka tampak begitu akrab, tertawa bersama, dan berbicara dengan mesra. Sesuatu yang membuat Clara merasa tidak nyaman, bahkan tanpa ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Apa yang mereka bicarakan?” gumam Clara dalam hati, matanya terus mengikuti mereka yang kini sudah semakin jauh.
Ada perasaan aneh yang mulai menggelisahkan Clara. Mengapa Evan memilih untuk menghabiskan waktu dengan Maya, sahabat terbaiknya, tanpa memberitahunya terlebih dahulu? Biasanya, Evan selalu memberi kabar jika ada sesuatu yang mendesak atau jika mereka berdua tidak bisa bertemu. Namun, kali ini, tidak ada kabar apapun, hanya sepi dan ketidakhadiran yang semakin mencolok.
Clara memutuskan untuk mendekati mereka. Langkah kakinya terasa berat, tetapi ia ingin memastikan apakah ada yang salah. Ketika ia semakin mendekat, ia mendengar suara tawa Maya dan Evan yang terdengar riang. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda. Seperti ada yang mengganjal di hatinya.
“Evan…” Clara memanggil nama pacarnya itu dengan ragu.
Evan yang sebelumnya sedang tertawa bersama Maya langsung menoleh. Tatapannya terlihat sedikit terkejut, tetapi kemudian ia memaksakan senyum. “Oh, Clara. Maaf, aku nggak tahu kamu sudah menunggu di sini,” ujarnya sambil berusaha terdengar santai.
Maya, yang berada di samping Evan, hanya tersenyum tipis. Clara bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia berusaha menahan diri untuk tidak berbicara lebih banyak di tempat itu. Ia hanya mengangguk pelan dan mengucapkan selamat tinggal, meninggalkan mereka berdua dengan perasaan yang semakin tak menentu.
Setelah kejadian itu, Clara tak bisa menahan rasa curiganya. Setiap kali ia berusaha berbicara dengan Evan, ada sesuatu yang terasa aneh. Ia merasa bahwa Evan tidak sepenuhnya terbuka padanya. Rasa cemas yang mulai tumbuh di hatinya semakin kuat. Ia tak bisa mengabaikan perasaan ini. Semua yang terjadi—kehadiran Maya, sikap Evan yang jauh, dan kebisuannya—membuatnya berpikir bahwa ada yang sedang disembunyikan dari dirinya.
Beberapa hari kemudian, Clara memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Ia tidak ingin hanya berdiam diri, takut jika kecurigaan ini akan menghancurkan segalanya tanpa alasan yang jelas. Clara memilih untuk pergi ke tempat yang biasa ia dan Evan habiskan waktu bersama. Mungkin, jika ia melihat sesuatu yang tidak biasa, ia akan mendapatkan jawaban yang selama ini hilang.
Dengan hati yang berdebar, Clara berjalan menuju taman kota di mana Evan dan Maya seringkali bertemu setelah sekolah. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan perasaan tidak nyaman yang terus menghantuinya. Sesampainya di sana, Clara memergoki sesuatu yang membuat hatinya tercekat. Evan dan Maya sedang duduk di bangku taman, berbicara dengan serius. Tangan Maya diletakkan di atas tangan Evan, sebuah gesture yang jelas menunjukkan kedekatan lebih dari sekadar pertemanan.
Clara berdiri terpaku, tak tahu harus berbuat apa. Ia merasa dunia seakan berhenti berputar. Kecurigaan yang selama ini terpendam kini terjawab, dan rasa sakitnya mulai merayapi hatinya. Kenapa Evan tidak pernah memberitahunya tentang kedekatannya dengan Maya? Kenapa ia harus menyembunyikan hal ini darinya? Semua pertanyaan itu memenuhi pikirannya.
Clara merasa kehadirannya tak diinginkan. Ia memilih untuk meninggalkan tempat itu, melangkah menjauh dari pemandangan yang baru saja ia saksikan. Hatinya terasa hancur, dan kepalanya penuh dengan kebingungan. Ia tidak tahu apakah harus menghadapi Evan atau membiarkan perasaan ini menguasainya. Namun, satu hal yang ia tahu: ia tidak bisa begitu saja mengabaikan apa yang baru saja ia lihat.
Setelah kejadian itu, Clara berusaha untuk tetap tenang. Ia tidak ingin langsung membuat keputusan terburu-buru. Tapi setiap kali ia memikirkan Evan dan Maya, hatinya terasa sesak. Rasa cemburu yang datang tak terkontrol dan perasaan terluka semakin mendalam. Clara merasa seakan-akan Evan telah mengkhianatinya, meskipun tidak ada bukti yang jelas.
Di sisi lain, Evan juga merasakan ada yang berubah dalam hubungan mereka. Ia melihat Clara menjadi lebih diam dan menghindari percakapan dengannya. Ada keraguan dalam dirinya—apakah Clara telah tahu apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Clara merasa sakit hati karena kedekatannya dengan Maya? Evan merasa bingung, dan setiap kali ia berusaha mendekati Clara, ia merasakan sebuah jarak yang semakin melebar.
Mereka berdua terjebak dalam perasaan yang tak terucapkan. Kecurigaan Clara semakin menguat, dan perasaan Evan yang bingung menciptakan sebuah ketegangan yang perlahan-lahan meruntuhkan hubungan mereka.*
BAB 4 PENGKHIANATAN YANG MENGHANCURKAN
Pagi itu, Clara berjalan dengan langkah yang berat menuju ruang kelas. Hari-harinya kini terasa semakin berat setelah rasa cemas dan ketegangan yang terus menerus mengganggu hatinya. Setiap kali dia bertemu dengan Evan, ada sesuatu yang terasa berbeda. Ada jarak yang semakin besar, yang entah bagaimana tak bisa ia ukur, tapi jelas terasa. Namun, ia berusaha menutupi perasaannya. Ia masih berharap bahwa semua ini hanya perasaannya saja, bahwa ia bisa mengatasinya.
Pagi itu, Clara melihat Evan sedang berbicara dengan Maya, sahabat dekatnya. Maya dan Evan tampak begitu akrab, lebih akrab daripada biasanya. Clara merasa ada sesuatu yang aneh dalam interaksi mereka—terlalu banyak tawa, terlalu banyak tatapan yang terasa lebih dari sekadar persahabatan. Clara mencoba mengabaikan perasaan itu, berusaha memberi ruang pada pikiran yang positif. Mungkin itu hanya imajinasinya yang berlebihan.
Namun, saat istirahat tiba, Clara tidak sengaja mendengar percakapan Maya dan Evan dari kejauhan. Di antara keramaian siswa lain, ia mendengar suara tawa Maya yang diikuti dengan kata-kata yang membuat darah Clara mendidih.
“Jadi, kamu benar-benar nggak takut kalau Clara tahu?” tanya Maya, dengan suara yang terdengar seperti berbisik, tetapi cukup keras untuk didengar oleh Clara yang berdiri beberapa langkah jauhnya.
“Jangan khawatir. Semua ini akan selesai begitu aku memberitahunya bahwa aku nggak bisa melanjutkan hubungan ini. Kita bisa bersama-sama tanpa ada halangan,” jawab Evan, suaranya begitu tenang dan pasti, seolah itu adalah keputusan yang sudah lama ia buat.
Clara merasa seperti ada yang menghantam jantungnya. Semua warna dari dunia yang ia kenal seolah memudar. Ia berdiri kaku, mematung di tempatnya, tak mampu bergerak. Rasa sakit yang tak terkatakan memenuhi seluruh tubuhnya. Apa yang baru saja ia dengar? Evan—pria yang ia cintai, yang ia percayai—telah merencanakan untuk mengakhiri hubungan mereka. Dan yang lebih buruk, ia tak hanya menyembunyikan perasaannya, tetapi juga terlibat dengan sahabatnya sendiri, Maya.
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tetapi Clara berusaha keras menahannya. Ia ingin lari. Menghindari kenyataan yang baru saja ia dengar. Namun, kakinya terasa seperti beban yang tak bisa ia angkat. Ada perasaan sakit yang sangat dalam, yang melanda begitu mendalam di dalam hatinya.
Clara menunggu sampai mereka selesai berbicara, kemudian tanpa suara ia berjalan pergi, berusaha untuk tidak menarik perhatian siapapun. Di dalam hati, ia berteriak, bertanya-tanya bagaimana semuanya bisa berakhir seperti ini. Mengapa mereka tidak mengakui saja bahwa mereka tidak bisa lagi bersama? Mengapa harus ada pengkhianatan?
Sesampainya di rumah, Clara langsung masuk ke kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya kacau. Rasa marah bercampur dengan rasa sakit yang tidak bisa ia ungkapkan. Ingin rasanya ia berteriak, ingin menghancurkan semua yang ada di sekitar. Mengapa Evan melakukan ini padanya? Mengapa Maya, sahabat yang selama ini ia percayai, bisa berkhianat begitu saja?
Hari-hari berikutnya berjalan seperti mimpi buruk yang tak berujung. Clara berusaha untuk berfungsi seperti biasa, tetapi setiap kali ia melihat Evan atau Maya, hatinya terasa hancur. Mereka berdua seolah tidak merasa bersalah, terus menjalani hidup mereka seperti tak ada yang terjadi. Sementara itu, Clara merasa seperti terperangkap dalam rasa sakit yang tak kunjung berakhir.
Suatu hari, setelah berhari-hari mencoba menghindari pertemuan dengan Evan, Clara memutuskan untuk berbicara langsung dengan Evan. Ia tidak ingin hidup dalam kebohongan dan rasa curiga lagi. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah pelajaran berakhir, Clara menemui Evan di tempat yang biasa mereka bertemu. Tatapan mereka saling bertemu, dan Clara bisa melihat ketegangan yang ada pada wajah Evan. Meskipun ia sudah mendengar segalanya, Clara masih merasa bingung. Ia ingin mendengar penjelasan langsung dari mulut Evan.
“Evan,” Clara memulai dengan suara yang serak, “Aku tahu tentang kamu dan Maya.”
Evan terlihat terkejut, matanya membesar seolah-olah ia tidak siap untuk mendengarnya. “Clara, aku… aku bisa jelaskan semuanya.”
“Tidak ada yang perlu dijelaskan!” Clara berkata, hampir berteriak. “Kamu dan Maya sudah merencanakan ini semua, kan? Aku sudah mendengar semuanya. Jadi, kenapa? Kenapa kamu melakukan ini padaku?”
Evan terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Clara, aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu. Aku… aku hanya bingung. Aku merasa ada sesuatu yang hilang di antara kita, dan… Maya memberiku kenyamanan yang aku butuhkan.”
Clara merasa seperti ada pisau yang menembus hatinya. “Jadi, aku tidak cukup untukmu?” suaranya pecah. “Aku tidak tahu bagaimana bisa lebih baik dari ini. Aku sudah memberikan segalanya untukmu. Dan kamu malah memilih Maya… sahabatku sendiri.”
Evan mencoba mendekat, tapi Clara mundur. “Jangan sentuh aku!” Clara berteriak. “Aku tidak ingin mendengar alasanmu lagi. Kamu sudah membuat keputusanmu, dan aku tidak akan memaafkanmu.”
Evan terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Clara berbalik dan pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan Evan yang terdiam dalam kebingungannya sendiri.
Hari-hari setelah itu, Clara merasa kehilangan arah. Pengkhianatan ini seperti menghapus kepercayaan yang selama ini ia pegang. Cinta pertama yang seharusnya indah kini menjadi kenangan pahit yang menghancurkan segalanya. Ia merasa tidak tahu siapa yang bisa ia percayai lagi. Setiap kali melihat Maya, ia merasa sakit, seolah-olah sahabatnya itu telah menghancurkan bagian terpenting dari dirinya.
Clara tahu, dia harus melepaskan Evan dan Maya dari hidupnya, meskipun perasaan dendam masih menghantui setiap langkahnya. Cinta pertama bisa memberikan kebahagiaan, tetapi juga bisa memberikan luka yang begitu dalam, dan Clara sekarang harus belajar untuk sembuh, meskipun itu terasa seperti hal yang paling sulit untuk dilakukan.*
BAB 5 LUKA YANG DALAM
Hari-hari berlalu dengan perlahan, namun rasa sakit di hati Clara semakin membekas. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berubah begitu drastis hanya karena pengkhianatan yang datang begitu tiba-tiba. Ketika Evan, pria yang ia kira akan menjadi masa depannya, berubah menjadi sosok yang membuat hatinya terluka, dunia seakan runtuh di sekelilingnya.
Pagi itu, Clara duduk di tepi tempat tidurnya, menatap foto-foto kenangan manis yang dulu mereka buat bersama. Di setiap senyum yang ia lihat, di setiap momen bahagia yang ada, terasa begitu nyata dan indah. Namun, semuanya kini terasa seperti bayangan belaka, sebuah kenangan yang tak bisa lagi ia miliki. Foto itu kini menjadi pedang yang menusuk hatinya, mengingatkan pada pengkhianatan yang tak pernah ia duga.
Pagi yang seharusnya cerah, berubah menjadi kelabu. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat. Clara tidak bisa tidur dengan nyenyak, dan setiap kali ia mencoba melanjutkan hidup, rasa sakit itu datang kembali. Setiap tempat yang ia datangi, setiap suara yang ia dengar, bahkan bau kopi yang biasa mereka nikmati bersama, kini hanya mengingatkannya pada Evan dan pengkhianatannya. Bahkan ketika ia berada di sekolah, ia merasakan kehadiran Evan di setiap sudut ruang kelas, seolah-olah bayangannya mengintai tanpa henti.
Luka itu bukan hanya karena Evan berselingkuh, tetapi karena kenyataan bahwa ia tidak pernah tahu bahwa hubungan mereka telah sampai pada titik itu. Clara merasa begitu dibutakan oleh cinta, sehingga ia tidak menyadari bahwa orang yang ia percayai sepenuhnya, yang ia anggap akan menemani hidupnya, ternyata menyimpan rahasia yang begitu dalam. Itulah yang membuat luka ini begitu sulit untuk disembuhkan.
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada merasa dikhianati oleh orang yang kita cintai. Clara merasa seperti seorang bodoh yang terlalu mempercayai segalanya pada Evan. Setiap kali ia mencoba untuk melupakan, perasaan itu datang kembali, seakan mengingatkan pada betapa dalamnya luka yang telah tercipta. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin menghapus semua kenangan itu. Namun, ia merasa hampa. Tidak ada yang bisa mengembalikan waktu, tidak ada yang bisa memperbaiki apa yang telah terjadi.
Di setiap sudut pikirannya, Clara berjuang melawan perasaan tidak berharga. Rasa malu dan kecewa menghantuinya. Mengapa ia tidak bisa melihat tanda-tanda yang jelas? Mengapa ia tidak menyadari bahwa hubungan ini sudah tidak lagi berjalan dengan baik? Ia bertanya-tanya apakah semuanya hanya kesalahannya. Apakah ia terlalu bodoh untuk menyadari bahwa ia telah dicurangi?
Hari-hari berlalu dengan kekosongan. Clara mulai menghindari teman-temannya, merasa tidak ada yang bisa mengerti apa yang ia rasakan. Setiap kali seseorang mencoba menghiburnya, ia hanya merasa semakin terpuruk. Bagaimana bisa mereka mengerti, sementara mereka tidak merasakan apa yang ia alami? Bagaimana bisa mereka tahu betapa kosongnya dirinya sekarang? Hati Clara terasa seperti terisi dengan banyak sekali rasa sakit yang tidak tahu harus disalurkan ke mana.
Ia berusaha untuk tetap tampil seperti biasa, tetapi hatinya hancur. Senyum yang ia tunjukkan kepada teman-temannya hanyalah sebuah topeng yang menutupi luka yang mendalam. Setiap kali ia mendengar nama Evan, setiap kali ia melihat pasangan yang bahagia, ia merasa sebuah rasa sakit yang mengiris hatinya. Dendam mulai tumbuh perlahan, meskipun ia berusaha menahan diri. Clara ingin melupakan Evan, tapi bagaimana bisa melupakan seseorang yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya?
Di satu sisi, Clara merasa sangat ingin membalas dendam. Rasa sakit yang ia rasakan membuatnya merasa ingin menghancurkan segala kenangan indah yang ia miliki dengan Evan. Ia ingin melihat Evan merasakan apa yang ia rasakan, ingin melihat bagaimana rasanya kehilangan kepercayaan dan cinta yang telah dibangun. Namun, di sisi lain, Clara tahu bahwa dendam hanya akan semakin memperburuk keadaan. Ia tidak bisa terus hidup dalam kebencian. Tetapi, bagaimana bisa ia melepaskan perasaan ini? Bagaimana bisa ia melupakan seseorang yang telah menyakitinya dengan begitu dalam?
Beberapa malam kemudian, Clara duduk di balkon rumahnya, menatap langit yang gelap. Angin malam berhembus pelan, seolah mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Ia tahu bahwa ia harus sembuh. Ia tahu bahwa ia harus melanjutkan hidup, meskipun itu terasa begitu sulit. Namun, luka yang ditinggalkan oleh pengkhianatan itu terasa begitu dalam, seperti bekas luka yang tidak akan pernah hilang.
Ia ingin menatap ke depan, tetapi bayangan masa lalu selalu datang mengganggu. Clara mengingat bagaimana Evan berkata bahwa ia sangat mencintainya, bagaimana mereka merencanakan masa depan bersama. Semua itu kini terasa kosong dan palsu. Clara menyadari bahwa cinta pertama memang begitu kuat, tetapi cinta pertama juga bisa menjadi yang paling menyakitkan ketika berakhir.
Dalam kesepian malam itu, Clara akhirnya menyadari sesuatu yang penting: untuk sembuh, ia harus mulai menerima kenyataan. Menerima bahwa ia telah dikhianati, bahwa Evan bukan lagi orang yang ia kenal. Dendam tidak akan membawa kebahagiaan, dan kebencian hanya akan memperpanjang rasa sakit. Clara harus belajar untuk melepaskan—tidak untuk Evan, tetapi untuk dirinya sendiri.
Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Luka ini mungkin tidak akan pernah benar-benar sembuh sepenuhnya, tetapi dengan setiap langkahnya menuju pemulihan, Clara berharap suatu saat nanti ia akan menemukan kedamaian. Sebab, hidup ini terus berjalan, dan meskipun hatinya masih terluka, Clara tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk bangkit dan melanjutkan hidup.*
BAB 6 MENYEMBUHKAN DIRI
Clara berdiri di depan cermin kamar tidur, memandangi bayangannya sendiri. Wajahnya tampak berbeda—tidak ada lagi sinar kebahagiaan yang dulu selalu terpancar, hanya ada mata yang terlihat lelah dan wajah yang penuh dengan kekhawatiran. Ia meraba wajahnya, mencoba mengenali dirinya yang dulu. Wajah yang dulu penuh dengan tawa dan harapan, kini tampak terhimpit oleh kenyataan yang pahit. Evan dan Maya, kedua orang yang paling ia percayai, telah merusak segalanya. Perasaan cinta yang dulu ia percaya kini digantikan dengan rasa luka yang dalam.
Beberapa minggu terakhir, Clara merasa seperti berjalan dalam kabut tebal. Hidupnya terasa kehilangan arah, setiap langkah yang ia ambil selalu mengarah pada bayangan masa lalu yang menyakitkan. Ia tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Dendam dan kebencian terhadap Evan terus menggerogoti hatinya. Setiap kali mengingat pengkhianatannya, ia merasakan panas yang membakar dalam dirinya—perasaan yang membuatnya terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak berujung.
Namun, hari itu Clara merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang perlahan mulai tumbuh dalam hatinya, walaupun itu terasa kecil dan rapuh. Untuk pertama kalinya sejak perpisahannya dengan Evan, ia merasa ada secercah harapan untuk sembuh. Ia tahu, jika ia terus terjebak dalam rasa sakit ini, ia tidak akan pernah bisa melangkah maju. Ia harus mulai menyembuhkan dirinya sendiri.
Clara memutuskan untuk berjalan keluar rumah. Langkahnya terasa berat, seolah-olah ia berjalan di atas pasir yang lembek, namun ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama yang harus diambil. Ia melangkah menuju taman yang biasa ia kunjungi, tempat yang selalu memberikan kedamaian di tengah kekacauan hatinya. Angin sore yang sejuk menyapa wajahnya, membawa rasa tenang yang hampir terlupakan.
Di taman, Clara duduk di bangku favoritnya. Ia menatap danau kecil di depannya, memperhatikan riak air yang beriak pelan oleh hembusan angin. Semua yang ada di sekelilingnya tampak biasa saja, namun bagi Clara, ini adalah saat yang penting—saat untuk menyendiri dan merenung. Ia mengambil napas panjang dan mulai berbicara pada dirinya sendiri, meski hanya dalam hati.
“Aku tidak bisa terus begini,” bisiknya pelan. “Aku harus melepaskan semua rasa sakit ini, meskipun itu sulit.”
Clara menutup matanya, membiarkan angin menyentuh kulitnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa seakan-akan ia dapat sedikit bernapas lega. Beberapa hari ini, ia terus memikirkan bagaimana caranya untuk melupakan Evan dan Maya, tetapi ia akhirnya menyadari satu hal penting: melupakan bukanlah hal yang mudah, bahkan mungkin tidak mungkin. Yang bisa ia lakukan adalah belajar menerima dan melepaskan beban yang selama ini ada dalam hatinya.
“Ini bukan tentang mereka,” gumamnya lagi. “Ini tentang aku. Tentang bagaimana aku bisa bangkit setelah jatuh.”
Keputusan untuk memulai penyembuhan datang perlahan, seperti aliran sungai yang tenang namun pasti. Clara tahu bahwa ia harus berhenti menahan dendam dan kebencian. Ia tidak ingin hidupnya dikuasai oleh masa lalu yang menyakitkan. Dendam yang ia rasakan terhadap Evan hanya akan semakin menghancurkan dirinya. Jika ia ingin bahagia, ia harus melepaskan semua itu.
Hari demi hari, Clara mulai berusaha untuk lebih fokus pada dirinya sendiri. Ia kembali ke rutinitas lama yang dulu ia nikmati—membaca buku, menulis di jurnal, dan menggambar. Semua aktivitas itu mengingatkannya pada dirinya yang dulu, yang penuh dengan harapan dan impian. Setiap kali ia menulis di jurnalnya, ia mencurahkan perasaannya tanpa takut dihakimi. Ia menulis tentang kesedihan, tentang rasa sakit yang ia rasakan, dan juga tentang keinginannya untuk sembuh. Menulis menjadi terapi yang membantunya mengeluarkan segala perasaan yang terpendam.
Tak hanya itu, Clara mulai bergaul lebih banyak dengan teman-temannya. Selama ini, ia merasa terisolasi dalam kesedihannya. Teman-temannya selalu menawarkan dukungan, namun Clara enggan membuka diri. Namun, kali ini ia memutuskan untuk menerima bantuan mereka, berbicara dengan mereka tentang apa yang ia rasakan, dan meminta mereka untuk berada di sisinya saat ia berjuang. Melalui percakapan-percakapan kecil ini, Clara merasa semakin dekat dengan teman-temannya, dan perlahan-lahan ia mulai merasa bahwa ia tidak sendirian.
Suatu pagi, ketika Clara sedang duduk di kafe favoritnya, ia bertemu dengan seorang teman lama, Alina. Mereka sudah lama tidak bertemu, dan Alina segera menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan Clara. Wajah Clara terlihat lebih tenang, meskipun masih ada bayangan kesedihan yang tersisa. Alina mengajak Clara berbicara lebih dalam, dan Clara akhirnya membuka hatinya. Mereka berbicara tentang apa yang telah terjadi, tentang Evan dan Maya, serta tentang bagaimana Clara merasa terjebak dalam masa lalu.
Alina dengan bijak berkata, “Clara, aku tahu ini sangat sulit. Tapi ingat, kamu punya kontrol atas hidupmu. Jangan biarkan mereka yang telah menyakiti kamu mendikte hidupmu. Kamu layak mendapatkan kebahagiaan. Tidak ada yang bisa menghentikanmu untuk bahagia kecuali dirimu sendiri.”
Kata-kata Alina seperti cambuk yang menyadarkan Clara. Dalam sekejap, ia merasa ada secercah cahaya yang menembus kegelapan hatinya. Clara tahu bahwa ia harus melepaskan masa lalunya sepenuhnya, meskipun itu sangat sulit. Ia harus mengampuni dirinya sendiri dan menerima bahwa cinta yang telah hilang itu tidak akan pernah kembali. Yang terpenting adalah dirinya sendiri—seberapa jauh ia bisa menyembuhkan dan memaafkan, seberapa besar ia bisa bangkit kembali.
Setelah percakapan itu, Clara merasa lebih ringan. Setiap langkahnya terasa lebih mantap, seiring waktu ia belajar untuk menerima luka yang ada dan mengubahnya menjadi kekuatan. Ia tidak akan membiarkan masa lalunya mengontrol hidupnya. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai, tetapi setidaknya ia telah menemukan jalan untuk sembuh.
Dengan perlahan, Clara mulai kembali percaya pada dirinya sendiri. Ia sadar, meskipun luka itu mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hilang, ia bisa memilih untuk terus maju, untuk mencintai dirinya sendiri, dan untuk membuka hati untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan.***
—————-THE END———————-