Daftar Isi
Bab 1 Pertemuan yang Tak Terlupakan
Pagi itu, seperti biasa, Vera menghabiskan waktunya di kafe kecil yang terletak di sudut jalan, tempat yang sudah menjadi rutinitasnya untuk menenangkan pikiran setelah berjam-jam bekerja. Kopi panas di tangannya menjadi teman setia, sementara matanya melayang pada layar laptop, menyelesaikan laporan yang harus dikirimkan sebelum tengah hari. Suasana kafe yang nyaman dan tenang selalu memberinya sedikit ketenangan, meskipun dunia luar terasa begitu ramai dan penuh tekanan.
Namun, sesuatu yang tidak biasa terjadi pagi itu. Di meja sebelah, seorang pria duduk dengan cangkir kopi yang tak terjamah, matanya sibuk menatap ponsel, tetapi jelas ada sesuatu yang mengganggunya. Raut wajahnya menunjukkan ketegangan, seolah-olah ia sedang berjuang dengan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar keputusan biasa. Vera tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu dalam cara pria itu duduk yang menarik perhatian. Mungkin karena matanya yang penuh kerutan, atau mungkin karena ada aura yang sulit dijelaskan di sekelilingnya.
Vera tidak berniat untuk mengganggu, apalagi mencoba mengajaknya berbicara. Namun, tak lama setelah itu, pria itu berdiri dan dengan cepat menumpahkan kopi yang baru saja dipesannya ke atas meja. Secara reflek, Vera berdiri dan mengulurkan serbet kertas, mencoba membantu membersihkan kekacauan yang terjadi.
“Ah, maaf… saya tidak sengaja,” kata pria itu, panik.
Vera tersenyum sedikit, merasa geli dengan situasi yang tidak biasa. “Tidak apa-apa,” jawabnya, “tapi sepertinya kamu butuh lebih dari sekadar serbet untuk membersihkan ini.” Ia menunjukkan gelas kopi yang tumpah ke seluruh meja.
Pria itu tertawa canggung, berusaha mengangkat gelas kopi yang tumpah, tetapi tetap berantakan. “Mungkin, saya memang butuh lebih dari serbet. Tapi sepertinya saya hanya butuh sedikit keberuntungan.”
Vera memandangnya, menyadari bahwa pria ini, meskipun terlihat canggung, memiliki pesona yang tak terduga. Matanya yang penuh kekhawatiran perlahan melunak ketika mereka saling berbicara, seolah-olah ada koneksi yang tak terucapkan di antara mereka.
“Vera,” katanya, memperkenalkan diri. “Kamu mungkin butuh istirahat sejenak dari pekerjaan itu, kan? Kau terlihat sangat stres.” Vera tersenyum, mengernyitkan dahi, merasa sedikit canggung, tetapi juga terkejut karena dia merasa nyaman berbicara dengan orang asing ini.
“Raka,” jawab pria itu dengan senyum kecil. “Ya, pekerjaan… kadang-kadang bisa membuat orang kehilangan fokus, terutama jika semuanya terasa salah pada saat yang bersamaan.”
Mereka berdua tertawa, dan untuk pertama kalinya, Vera merasakan semacam ketenangan yang mengalir di dalam dirinya. Sesuatu yang sangat jarang ia rasakan belakangan ini, terutama dalam hidup yang selalu dipenuhi jadwal yang padat dan harapan tinggi dari orang lain.
Tiba-tiba, Raka mengambil kursi di sebelah meja Vera dan duduk dengan penuh ketidakpastian, seperti menunggu persetujuan. Vera merasa sedikit terkejut, tetapi anehnya, ia merasa nyaman. Mereka berbicara lebih lanjut tentang pekerjaan mereka, tentang kehidupan mereka yang penuh dengan rutinitas dan ketegangan, seolah-olah dunia di sekitar mereka berhenti berputar, dan hanya ada percakapan ini yang mengisi ruang.
Percakapan mereka berlanjut dengan mudah, seperti sudah mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun, padahal baru beberapa menit saja mereka saling berbicara. Raka menceritakan tentang perjalanannya yang panjang, pekerjaannya yang menuntut, dan bagaimana ia merasa terjebak dalam rutinitas yang monoton. Vera, di sisi lain, berbicara tentang kehidupannya sebagai seorang pekerja muda yang harus selalu tampil sempurna di tempat kerja, namun terkadang merasa kehilangan arah.
Kehangatan yang mereka bagi dalam percakapan itu mengalir begitu alami, seperti dua orang yang telah lama saling mengenal. Vera merasa, meskipun mereka baru bertemu, ada kedekatan emosional yang tercipta begitu saja. Raka memiliki kemampuan untuk mendengarkan dengan tulus, sementara Vera merasa dihargai setiap kali Raka menanggapi dengan penuh perhatian. Ada rasa nyaman yang tak bisa dijelaskan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Vera merasa tidak sendirian dalam dunia yang kadang-kadang terasa sangat sepi.
Mereka menghabiskan lebih dari satu jam berbicara tentang berbagai hal—dari pekerjaan, hobi, hingga impian mereka di masa depan. Raka menceritakan bahwa ia baru saja kembali dari perjalanan kerja panjang ke luar negeri, dan selama itu ia merasa terpisah dari dunia nyata. “Aku merasa seperti… tidak ada yang benar-benar mengerti aku di sana,” kata Raka, matanya menatap jauh, seolah mencari jawaban dalam pikiran-pikirannya.
Vera mengangguk, merasa ada kesamaan dalam perasaan itu. “Terkadang, kita merasa begitu jauh dari dunia ini, bahkan jika kita dikelilingi orang banyak,” ujarnya, suaranya sedikit ragu tetapi penuh keyakinan.
Percakapan mereka berlanjut, hingga akhirnya, saat matahari mulai tenggelam dan cahaya keemasan masuk melalui jendela kafe, mereka menyadari bahwa sudah hampir malam. Waktu yang terasa begitu cepat berlalu, meskipun awalnya mereka hanya saling berbicara secara kebetulan.
“Sepertinya kita sudah menghabiskan hampir seluruh hari kita berbicara,” kata Vera sambil tersenyum. “Aku rasa aku tidak pernah menghabiskan waktu seperti ini dengan orang asing sebelumnya.”
Raka tertawa kecil. “Sepertinya kita sudah saling mengenal lebih lama daripada yang kita kira.”
Sebelum berpisah, mereka saling menukar nomor telepon. “Mungkin kita bisa melanjutkan percakapan ini lain kali,” kata Raka dengan senyum yang hangat. Vera mengangguk, merasa tidak ada alasan untuk menolak.
Hari itu, sebuah pertemuan biasa di kafe kecil berubah menjadi sebuah pertemuan yang tak terlupakan. Dalam waktu singkat, dua jiwa yang terpisah oleh rutinitas dan dunia yang sibuk, menemukan kedamaian dalam percakapan sederhana. Keduanya tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda, meskipun pertemuan itu terasa seperti suatu kebetulan.
Namun, entah mengapa, Vera merasa bahwa mungkin ini bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar yang telah membawa mereka bertemu, sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan di kafe. Saat ia berjalan pulang malam itu, bayangan Raka terus mengisi pikirannya, dan ia tahu, ini hanyalah awal dari cerita mereka yang tak terduga.*
Bab 2 Jarak yang Memisahkan
Hari-hari berlalu dengan cepat, seperti jarum jam yang terus berputar tanpa ampun, namun perasaan yang tumbuh di dalam diri Vera dan Raka tetap tertahan oleh satu hal yang tak bisa dihindari—jarak. Meski komunikasi mereka semakin intens dan kedekatan yang mereka rasakan semakin dalam, kenyataan bahwa mereka tinggal di dua kota yang berbeda, bahkan di dua pulau yang terpisah, adalah kenyataan pahit yang selalu mengintai.
Setiap kali berbicara di telepon atau bertukar pesan singkat, Vera merasakan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebahagiaan yang hadir dari mendengar suara Raka, mendengar cerita-cerita kecil yang ia bagikan, tetapi juga ada kekosongan yang menyakitkan di dalam dirinya. Seolah-olah ada sesuatu yang hilang sesuatu yang hanya bisa diisi oleh kehadiran fisik. Begitu banyak hal yang ingin ia lakukan bersama, namun semuanya terhambat oleh satu dinding tak kasat mata: jarak.
Raka merasakan hal yang sama. Di awal-awal perkenalan mereka, segalanya terasa seperti mimpi yang indah, sebuah kisah yang penuh dengan kemungkinan. Mereka bisa berbicara sepanjang malam, membicarakan segala hal dari yang paling serius hingga yang paling sepele. Mereka bisa saling mendengarkan tanpa terburu-buru, tanpa harus memikirkan waktu. Namun, semakin lama, perasaan itu semakin teruji. Meski mereka bisa berbicara tanpa batas melalui telepon atau pesan, ketidakmampuan untuk saling merasakan kehadiran secara langsung semakin terasa. Jarak bukan hanya soal kilometer, tetapi soal bagaimana rasa itu terdistorsi oleh waktu dan ruang.
Pagi itu, Vera duduk di balkon apartemennya, menatap layar ponsel yang berisi pesan-pesan dari Raka. Meskipun tidak ada yang istimewa dalam pesan-pesan itu, setiap kata yang tertulis mengingatkannya pada rasa rindu yang semakin menyesakkan.
Raka:
Hari ini agak sibuk, tapi tetap saja aku akan menyempatkan waktu untukmu. Semoga harimu menyenangkan, Vera.
Vera tersenyum, meski hatinya sedikit hampa. Ia membalas pesan itu, namun tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa meskipun mereka bisa saling berbicara, tetap saja ada batasan yang tak bisa dijembatani hanya dengan kata-kata.
Vera:
Terima kasih, Raka. Semoga harimu juga menyenankan. Aku berharap kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti.
Keduanya sudah terbiasa dengan percakapan seperti ini, penuh dengan harapan dan janji yang tak terucapkan. Mereka sudah saling tahu betapa sulitnya menjaga hubungan jarak jauh, tetapi mereka tetap berusaha. Berbicara tentang masa depan yang mungkin, tentang rencana-rencana yang mereka buat, meskipun kadang mereka juga tahu, kenyataan tidak selalu seindah impian.
Namun, setiap kali mereka berbicara, meskipun ada perasaan hangat yang menyelimuti, di dalam hati Vera selalu ada pertanyaan yang belum terjawab: Apakah ini akan bertahan? Apakah jarak akan membuat kita lebih kuat atau justru memisahkan kita selamanya?
Beberapa minggu lalu, Raka sudah mengatakan bahwa ia berencana untuk mengunjungi Vera. Itu adalah janji yang ia berikan, sebuah janji yang membuat Vera merasa sedikit lebih tenang. Namun, seiring berjalannya waktu, janji itu seolah mulai terkubur di antara tumpukan pekerjaan dan rutinitas yang semakin menumpuk.
Di sisi lain, Raka juga merasakan keraguan yang sama. Setiap kali ia berusaha untuk merencanakan perjalanan ke kota tempat Vera tinggal, selalu ada hal lain yang menghalangi. Ada pekerjaan yang lebih mendesak, ada masalah lain yang tak terduga. Dan meskipun ia tahu betapa pentingnya pertemuan itu bagi mereka berdua, jarak semakin memperburuk segalanya. Masing-masing dari mereka mulai merasa seolah-olah ada ruang kosong yang semakin lebar di antara mereka.
Suatu sore, setelah hampir seminggu tidak mendengar kabar dari Raka, Vera merasa cemas. Biasanya, meskipun Raka sibuk, ia selalu menyempatkan diri untuk mengirim pesan atau menelepon. Tetapi kali ini, semuanya terasa sunyi. Vera memutuskan untuk menghubungi Raka, meskipun ia tahu ia sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Vera:
Hai, Raka. Sudah beberapa hari aku tidak mendengar kabar darimu. Semua baik-baik saja, kan?
Namun, meski pesan itu telah terkirim, ada keraguan yang muncul. Raka tidak langsung membalas. Beberapa menit berlalu, kemudian beberapa jam, dan akhirnya, saat malam tiba, baru ada balasan.
Raka:
Maaf, aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Aku sedang berusaha menyelesaikan beberapa pekerjaan yang mendesak. Aku hanya tidak ingin mengganggumu dengan hal-hal sepele.
Vera merasakan hatinya sedikit tertusuk. Meskipun Raka menjelaskan dengan alasan yang masuk akal, tetap saja ada perasaan yang tidak bisa ia hindari. Seperti ada dinding besar yang perlahan-lahan terbentuk di antara mereka. Rindu yang semula mengalir begitu lancar kini terhambat oleh waktu dan jarak yang semakin terasa.
Vera:
Aku mengerti. Aku hanya khawatir, Raka. Aku merasa semakin jauh darimu, bahkan saat kita berbicara.
Balasan pesan dari Raka datang beberapa saat setelah itu, namun kali ini terasa sedikit berbeda. Seolah-olah ia juga merasakan kegelisahan yang sama.
Raka:
Vera, aku tidak ingin kamu merasa seperti itu. Jarak memang memisahkan kita, tapi aku tidak pernah berniat menjauh darimu. Aku janji, kita akan bertemu. Hanya saja… saat ini aku tidak tahu kapan.
Vera menatap pesan itu, merasa campuran antara haru dan kecewa. Walaupun ia tahu bahwa Raka tidak berniat menyakiti perasaannya, ada kenyataan yang harus mereka hadapi: meskipun mereka saling mencintai, jarak ini semakin memisahkan mereka, dan tidak ada yang bisa menjembatani kesenjangan itu kecuali waktu.
Di sisi lain, Raka juga merasa terhimpit oleh rasa bersalah. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk Vera, tetapi kadang-kadang hidupnya begitu sibuk sehingga ia merasa terjebak dalam rutinitas. Rasa rindu yang tumbuh setiap kali mereka berpisah menjadi semakin berat untuk ditanggung.
Ketika malam tiba, Vera berdiri di dekat jendela kamar tidurnya, menatap langit yang gelap, mencoba menenangkan pikiran yang semakin bingar. Jarak itu mungkin tak bisa dijembatani dengan mudah, namun ia tahu bahwa meskipun mereka terpisah, perasaan mereka masih ada. Yang bisa mereka lakukan hanyalah berusaha untuk bertahan, menunggu waktu yang tepat, dan berharap bahwa jarak yang memisahkan mereka pada akhirnya akan menjadi kenangan yang hanya akan mereka ingat, bukan penghalang.
Namun, meskipun keduanya tahu bahwa cinta itu kuat, jarak tetap menjadi bayangan yang tak mudah dihapuskan. Dan hanya waktu yang akan menjawab apakah cinta mereka bisa bertahan melawan segala rintangan yang datang.*
Bab 3 Dalam Bayangan Jarak
Pagi itu, Vera duduk di balkon apartemennya, memandangi langit yang membentang luas di atas kota. Udara segar menyusup masuk melalui jendela yang terbuka, namun rasanya tetap ada sesuatu yang kosong. Ia meraih ponselnya dan memandang layar yang menunjukkan pesan dari Raka pesan yang sudah ia baca beberapa kali, namun tetap belum mampu menghapus perasaan hampa yang mengendap di dalam dirinya.
Raka:
“Aku merindukanmu, Vera. Setiap kali aku menatap langit, aku berharap kamu ada di sana, di bawah langit yang sama. Aku berharap kita bisa saling merasakan keberadaan masing-masing, meskipun jarak memisahkan.”
Setiap kata dalam pesan itu seolah menjadi bayangan yang semakin memperjelas betapa besar jarak di antara mereka. Meski kata-kata itu indah, meski perasaan itu tulus, tetap saja ada kenyataan yang tak bisa dihindari: mereka berada begitu jauh, tak hanya secara fisik, tapi juga dalam waktu dan ruang yang seakan-akan menjadi jurang yang tak bisa dijembatani. Setiap kali mereka berbicara, meskipun suara Raka terdengar begitu dekat, seolah-olah ia berada di sebelahnya, tetap ada batasan yang tak bisa mereka lewati jarak yang memisahkan tubuh mereka.
Vera membalas pesan itu dengan jari yang sedikit gemetar, mencoba menyusun kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya.
Vera:
“Aku juga merindukanmu, Raka. Tetapi kadang aku merasa kita hanya berdua dalam bayangan jarak ini. Meskipun kita berbicara setiap hari, aku masih merasa sangat jauh darimu.”
Pesan itu terkirim, dan Vera kembali terdiam. Ia tahu bahwa Raka pasti merasakan hal yang sama, bahwa meskipun kata-kata mereka penuh dengan harapan, ada perasaan yang tak bisa diungkapkan—perasaan bahwa mereka berada dalam ruang yang begitu besar, yang terasa semakin menjauh seiring berjalannya waktu.
Sebelum ia sempat menenangkan pikirannya, ponselnya bergetar. Pesan balasan dari Raka muncul di layar.
Raka:
“Aku tahu. Aku tahu, Vera. Jarang sekali aku merasa ada yang benar-benar mengerti apa yang aku rasakan, tapi setiap kali kita berbicara, seakan ada yang mengisi kekosongan itu. Aku ingin berada di sana, di dekatmu, tapi aku tak tahu kapan itu bisa terwujud. Jarang sekali aku merasa seperti ini dengan seseorang, dan aku takut kalau ini hanya akan menjadi kenangan yang tak bisa kita capai.”
Pesan itu terasa begitu jujur dan penuh dengan kerentanan. Raka, yang biasanya begitu kuat dan penuh keyakinan, sekarang seperti menanggalkan lapisan pertahanannya. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan rasa rindu yang begitu mendalam, yang melampaui sekadar kata-kata. Setiap detik tanpa Vera terasa seperti masa yang tak bisa ia hadapi, namun pada saat yang sama, ia juga merasa bahwa ada sesuatu yang memisahkan mereka yang jauh lebih besar daripada sekadar jarak.
Vera menatap pesan itu dalam keheningan yang mencekam. Ia bisa merasakan beban yang terasa begitu berat, beban yang datang dari perasaan yang tumbuh begitu dalam di antara mereka. Namun, meskipun ia tahu bahwa Raka merasakannya, meskipun mereka saling merindukan, tetap ada ketidakpastian yang terus menghantui setiap percakapan mereka.
Vera:
“Aku juga merasa takut, Raka. Takut ini hanya akan menjadi kenangan. Takut kita hanya akan terjebak dalam bayangan jarak yang kita buat sendiri.”
Setelah mengirim pesan itu, Vera meletakkan ponselnya dan menatap ke luar jendela, ke langit biru yang membentang jauh. Langit yang sama, namun begitu jauh dari tangan yang ingin ia raih. Ia merasa seperti berada di dunia yang berbeda, dunia yang hanya bisa ia lihat lewat kaca jendela. Ia merindukan Raka, merindukan sentuhannya, merindukan tawa mereka yang selalu membuat dunia terasa lebih ringan. Namun, yang bisa ia lakukan hanya menunggu—menunggu pesan selanjutnya, menunggu suara Raka yang akan memecah kesunyian malam.
Di sisi lain, Raka merasakan hal yang serupa. Ia duduk di kamar hotelnya, memandangi langit malam yang tampak gelap dan sepi. Tidak ada bintang yang bersinar, hanya bulan yang samar terlihat di balik awan. Ia ingin sekali menghubungi Vera, berbicara dengannya, mendengar suaranya yang selalu membuatnya merasa lebih hidup. Namun, di balik keinginannya itu, ia juga merasakan rasa takut yang terus menggerogoti hatinya.
Setiap kali mereka berbicara, seolah-olah ada bagian dari dirinya yang hilang. Mereka saling merindukan, tetapi tidak bisa berada di dekat satu sama lain. Mereka hanya bisa berbicara, berbagi cerita dan tawa lewat layar kaca, yang meskipun menghubungkan mereka, tetap tidak bisa menggantikan kehadiran nyata. Raka merindukan saat-saat ketika ia bisa melihat Vera langsung, merasakan sentuhannya, atau bahkan sekadar duduk berdampingan tanpa berkata apa-apa. Semua itu terasa jauh, sangat jauh.
Malam itu, Raka memutuskan untuk mengirim satu pesan terakhir.
Raka:
“Mungkin kita tidak bisa menghindari jarak ini, Vera. Tapi aku ingin kau tahu, bahwa dalam setiap detik yang berlalu, aku selalu memikirkanmu. Meskipun jarak ini memisahkan kita, aku percaya ada ikatan yang tak terlihat yang menghubungkan kita. Aku berharap suatu saat nanti, kita bisa bertemu dan mengatasi semuanya.”
Pesan itu terkirim, dan setelah beberapa saat, Raka meletakkan ponselnya di meja, memejamkan mata, dan membiarkan dirinya terlarut dalam perasaan yang membingungkan rindu, harapan, dan ketakutan yang bercampur menjadi satu.
Keesokan harinya, ketika Vera membuka ponselnya, pesan itu menyambutnya. Ada perasaan hangat yang muncul di dada, meskipun kesepian itu masih terasa begitu nyata. Setiap kata yang ditulis Raka seolah menjadi pengingat bahwa meskipun mereka terpisah jauh, perasaan mereka tetap ada, dan jarak ini, meskipun menghalangi, tidak akan bisa memutuskan apa yang mereka miliki. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, mereka berdua menyadari bahwa meskipun bayangan jarak itu terus menghantui mereka, satu hal tetap jelas: perasaan mereka saling mengisi, meskipun dunia mereka terpisah oleh ribuan kilometer.
Vera menyimpan pesan itu di hati, menyadari bahwa mungkin inilah ujian mereka sebuah perjalanan panjang yang harus dilalui, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan hati yang tak pernah lelah untuk berharap.*
Bab 4 Rindu yang Tertunda
Hari-hari yang dilalui Vera terasa semakin lama, seakan setiap detik membawa beban yang semakin berat. Rindu yang ia rasakan tak kunjung pudar. Bahkan, perasaan itu semakin mendalam setiap kali ia berpikir tentang Raka. Setiap malam, sebelum tidur, ia selalu melihat ke langit, berharap bisa merasakan kedekatannya meski hanya lewat bayangannya. Namun, meski jarak memisahkan, setiap pesan dan percakapan mereka seperti membawa sedikit kehangatan yang mengingatkan bahwa ia tidak sendirian.
Namun ada yang berbeda akhir-akhir ini. Perasaan rindu itu semakin tertahan. Bukan karena kurangnya komunikasi atau perhatian dari Raka, tapi lebih karena ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Ada ketidakpastian yang menggantung di atas hubungan mereka, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tetapi tetap ada di dalam hati.
Setiap kali mereka berbicara, meskipun ada tawa, ada juga rasa kosong yang tak bisa diisi. Raka mulai jarang menghubungi Vera seperti dulu. Tidak ada lagi pesan manis di pagi hari atau telepon malam yang panjang. Terkadang, Vera merasa cemas, meskipun ia tahu Raka sedang sibuk dengan pekerjaannya. Namun, perasaan itu tetap saja mengganggu hatinya. Ada rasa takut yang ia pendam, takut jika jarak ini akan semakin memperburuk keadaan, membuat mereka semakin jauh meskipun masih berbicara.
Pada suatu sore, setelah beberapa hari tidak mendengar kabar dari Raka, Vera memutuskan untuk menghubunginya. Ia tidak ingin berpikir yang buruk, tapi hatinya tidak bisa begitu saja tenang. Dengan jari yang sedikit gemetar, ia mengetik pesan untuk Raka.
Vera:
“Raka, apakah semuanya baik-baik saja? Aku merasa seperti ada yang berubah antara kita. Aku hanya ingin tahu, apakah kita masih baik-baik saja?”
Vera menatap layar ponselnya, menunggu balasan. Beberapa menit berlalu, dan kemudian beberapa jam. Namun, Raka tidak langsung membalas pesannya. Vera menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pikiran buruk mulai muncul, meskipun ia berusaha untuk mengusirnya. Ia tahu, tidak seharusnya ia terlalu khawatir, karena kadang-kadang Raka memang sibuk. Tapi entah mengapa, rasa rindu itu selalu diikuti oleh rasa cemas yang datang tanpa diundang.
Saat malam tiba, akhirnya ponsel Vera bergetar. Sebuah pesan dari Raka muncul di layar.
Raka:
“Maafkan aku, Vera. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir. Aku hanya merasa agak terbebani dengan banyak hal belakangan ini. Tapi aku tetap memikirkanmu, meskipun aku tidak menghubungimu seperti dulu. Aku hanya butuh waktu untuk menyelesaikan beberapa hal.”
Vera menatap pesan itu, merasa ada kelegaan yang sedikit mengalir di hatinya. Setidaknya, Raka masih berpikir tentangnya, meskipun tidak ada komunikasi yang intens seperti biasanya. Namun, ada perasaan yang tak bisa ia hindari—perasaan bahwa rindu mereka kini tertunda, tertahan oleh banyak hal yang tidak bisa mereka kontrol.
Vera:
“Aku mengerti, Raka. Aku hanya takut kita semakin jauh, semakin terpisah oleh jarak dan waktu. Rindu ini seolah semakin dalam dan tidak terjawab.”
Pesan itu terkirim, dan Vera memejamkan matanya sejenak, mencoba mengumpulkan kekuatan. Ia ingin sekali mengungkapkan perasaannya, tetapi kadang-kadang kata-kata terasa tak cukup. Rindu bukan hanya soal ingin bertemu, bukan hanya soal merindukan seseorang. Rindu adalah perasaan yang datang dari kedalaman hati, dari jiwa yang merindukan kehadiran seseorang, meskipun tahu bahwa kehadiran itu mungkin tidak akan datang dalam waktu dekat. Rindu adalah sebuah penantian yang tidak pasti, yang harus diterima dengan penuh kesabaran.
Beberapa saat kemudian, balasan dari Raka kembali muncul.
Raka:
“Vera, aku benar-benar tidak ingin membuatmu merasa seperti ini. Aku tahu aku telah banyak memberi alasan, tapi aku berjanji kita akan menemukan cara untuk mengatasi ini. Mungkin kita harus lebih banyak berbicara tentang apa yang kita rasakan, agar rindu ini tidak menjadi beban.”
Vera membaca pesan itu berkali-kali, mencoba memahami maksud Raka. Ada kehangatan dalam kata-katanya, namun juga ada keraguan yang ia rasakan. Rindu yang mereka rasakan seolah telah menjadi sesuatu yang tertunda, sesuatu yang harus mereka tanggung, namun tidak bisa mereka wujudkan. Setiap kata Raka seperti sebuah janji, namun janji itu terasa semakin samar seiring berjalannya waktu.
Vera:
“Aku berharap kita bisa bertemu lagi, Raka. Aku ingin merasakan kehadiranmu, bukan hanya lewat pesan atau telepon. Aku ingin kita bisa mengatasi semua ini bersama, tanpa rasa takut atau ragu.”
Setelah mengirim pesan itu, Vera meletakkan ponselnya dan berjalan ke jendela. Ia menatap langit malam yang gelap, dipenuhi dengan bintang-bintang yang jauh. Seperti halnya perasaannya meskipun ada banyak harapan, tetap ada jarak yang memisahkan mereka. Rindu itu terus hadir, namun selalu tertunda, selalu terhalang oleh waktu dan keadaan.
Malam itu, Vera merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang. Rindu itu semakin mendalam, semakin membebani, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Waktu terus berjalan, tetapi mereka tidak bisa menunda jarak yang memisahkan mereka begitu saja. Setiap harapan yang mereka bangun terasa semakin sulit untuk diwujudkan, dan setiap rindu yang tertunda seolah semakin membesar, semakin menyesakkan.
Rindu yang tertunda bukan hanya soal menunggu waktu untuk bertemu. Rindu itu juga tentang harapan yang harus dipertahankan, meskipun tak ada kepastian kapan semuanya akan terwujud. Namun, di dalam hati Vera, ada satu hal yang selalu ia yakini: meskipun jarak dan waktu sering kali menghalangi mereka, perasaan ini tidak akan pernah pudar. Rindu yang tertunda hanyalah bagian dari perjalanan mereka sebuah ujian yang harus dilalui untuk mempertahankan apa yang mereka miliki.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Raka akhirnya menelepon Vera. Suaranya terdengar lebih tenang, lebih jelas, dan meskipun mereka tidak bisa bertemu secara langsung, ada kehangatan dalam percakapan mereka yang seolah menghapus sebagian besar rasa rindu yang membebani hati mereka. Namun, meskipun begitu, Vera tahu bahwa rindu itu belum selesai, belum terbayar. Ada waktu yang harus mereka tunggu, dan ada jarak yang harus mereka lewati. Rindu yang tertunda sebuah perasaan yang harus mereka perjuangkan, meskipun jalan menuju pertemuan itu masih panjang.*
Bab 5 Jarak yang Menguji
Setiap hubungan memiliki ujian, dan bagi Vera dan Raka, ujian terbesar mereka datang dalam bentuk jarak yang tak terelakkan. Jarak yang memisahkan mereka lebih dari sekadar kilometer lebih dari sekadar perbedaan waktu dan ruang. Jarak ini juga adalah sebuah tantangan dalam hati, pikiran, dan keyakinan mereka akan cinta yang mereka miliki. Semakin lama, semakin terasa betapa jarak ini bukan hanya soal ruang, tetapi juga waktu yang menguji kesabaran dan keteguhan hati.
Setiap kali mereka berbicara lewat telepon, meskipun ada rasa rindu yang mengalir, Vera mulai merasakan kesepian yang semakin menggerogoti dirinya. Suara Raka, meskipun familiar dan menenangkan, tidak lagi mampu mengusir perasaan hampa yang terus mengintai. Ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan, tetapi terkadang kata-kata tidak cukup. Waktu yang mereka habiskan dalam percakapan semakin pendek, seperti ada sesuatu yang membatasi mereka. Dan di luar percakapan itu, hidup mereka terus berjalan hidup yang terasa semakin berbeda, semakin jauh.
Vera duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang terhenti di tengah tugas yang belum selesai. Pikirannya terus melayang, terombang-ambing antara tugas-tugas sehari-hari dan perasaan rindu yang tak bisa ia kendalikan. Ia memandang jam di dinding sudah hampir tengah malam. Tidak ada kabar dari Raka hari itu, meskipun biasanya mereka akan saling menghubungi setiap malam.
Ia tahu Raka sibuk dengan pekerjaannya yang semakin menumpuk, dan ia tidak ingin mengganggu. Namun, malam ini, perasaan hampa itu terlalu kuat untuk diabaikan. Ia meraih ponselnya, mengetik pesan singkat untuk Raka.
Vera:
“Aku merindukanmu. Hari ini aku merasa sangat jauh dari kamu. Ada begitu banyak hal yang ingin kutanyakan, begitu banyak hal yang ingin ku ceritakan. Kenapa rasanya semakin sulit untuk merasa dekat denganmu?”
Pesan itu terkirim, dan Vera meletakkan ponselnya di sampingnya. Ia tahu bahwa mungkin Raka akan sibuk dan tidak bisa membalasnya segera. Tapi entah kenapa, ia merasa perlu untuk mengungkapkan perasaannya. Rindu yang terus tumbuh, tapi semakin sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah balasan dari Raka muncul di layar.
Raka:
“Aku tahu, Vera. Aku merasa hal yang sama. Rasanya semakin sulit untuk merasa dekat, meskipun kita berusaha untuk tetap terhubung. Aku tahu aku tidak bisa memberi perhatian sebanyak dulu, tapi aku berjanji, kita akan melewati ini. Aku tidak akan membiarkan jarak ini memutuskan apa yang kita miliki.”
Vera membaca pesan itu, dan meskipun kata-kata Raka terasa penuh dengan komitmen, ia masih merasakan ketegangan yang tak bisa dihindari. Ada rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. Mengapa semuanya terasa semakin berat? Mengapa mereka seperti terus berjuang untuk mempertahankan sesuatu yang tidak bisa dijangkau?
Vera:
“Aku takut, Raka. Aku takut kita semakin terpisah. Takut jarak ini akhirnya akan mengubah segalanya. Aku tahu kita saling mencintai, tapi aku tidak tahu apakah itu cukup untuk membuat kita tetap bertahan.”
Pesan itu terkirim, dan Vera menundukkan kepalanya. Ia merasa lelah—lelah dengan perasaan ini, lelah dengan ketidakpastian yang terus menghantui mereka. Cinta memang harus bertahan, tetapi apakah mereka bisa melewati ujian jarak ini?
Di sisi lain, Raka memandang pesan itu dalam keheningan kamar hotelnya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang merayap masuk ke dalam pikirannya—keraguan. Meskipun ia berusaha untuk tetap tegar, meskipun ia ingin menunjukkan kepada Vera bahwa ia bisa menghadapinya, rasa takut itu terus menghantuinya. Apa yang terjadi jika mereka tidak mampu bertahan? Apa yang akan terjadi jika jarak ini mengubah semuanya?
Namun, ia tahu satu hal yang pasti: ia tidak ingin kehilangan Vera. Ia tidak ingin mereka berakhir hanya karena jarak. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengetik balasan.
Raka:
“Aku juga takut, Vera. Tapi aku tidak ingin kita menyerah. Kita harus berjuang. Aku tahu ini sulit, dan aku tahu kita harus melalui banyak hal untuk bisa bertahan, tapi aku yakin kita bisa melewati ini bersama. Aku tidak akan membiarkan jarak ini menang.”
Vera menatap balasan itu, dan sejenak, rasa cemas yang menghantuinya mulai surut. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kata-kata Raka, meskipun ia tahu bahwa kata-kata saja tidak cukup. Mereka tidak bisa hanya saling menguatkan dengan percakapan. Mereka harus lebih dari itu. Mereka harus menemukan cara untuk menghadapi jarak ini, untuk melewati ujian yang tak terhindarkan ini bersama.
Namun, meskipun Raka berjanji untuk tetap berjuang, Vera tahu bahwa jarak ini akan terus menguji mereka. Setiap percakapan terasa semakin berat, semakin menuntut, seolah-olah mereka terus berusaha mempertahankan hubungan yang semakin terasa sulit untuk dijaga. Jarak ini, yang awalnya tampak seperti tantangan kecil, kini mulai tampak seperti jurang yang dalam, yang memisahkan mereka lebih jauh dari yang mereka kira.
Di saat-saat seperti ini, Vera merasa bahwa ujian jarak ini bukan hanya tentang berapa lama mereka bisa bertahan tanpa bertemu, tetapi tentang bagaimana mereka bisa menjaga perasaan itu tetap hidup, meskipun tidak ada kehadiran fisik yang menguatkannya. Jarak yang memisahkan mereka semakin terasa nyata, dan meskipun mereka terus berusaha untuk tetap terhubung, Vera tahu bahwa suatu saat nanti, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa tidak semua hal bisa dipertahankan hanya dengan kata-kata.
Namun, ada satu hal yang tetap memberi harapan: cinta mereka. Meskipun tidak bisa selalu dipeluk atau dijumpai dalam bentuk yang nyata, cinta itu tetap ada di hati mereka, dan di setiap pesan yang mereka kirimkan. Meskipun jarak ini menguji mereka, Vera tahu bahwa mereka masih bisa bertahan selama mereka berusaha untuk tetap saling memahami, untuk tetap saling percaya.
Hari demi hari, jarak ini terus menguji mereka tetapi Vera tahu, seperti halnya Raka, mereka tidak akan menyerah. Karena meskipun jarak ini sulit, dan meskipun mereka merasa semakin terpisah, ada keyakinan dalam hati mereka bahwa cinta ini lebih kuat dari apapun, bahkan dari jarak yang menguji mereka.*
Bab 6 Surat yang Tak Pernah Sampai
Hari-hari terus berlalu, dan meskipun jarak antara Vera dan Raka terasa semakin lebar, ada hal yang tak pernah berubah—rindu itu. Rindu yang datang setiap malam, yang seolah tak dapat ditangguhkan oleh waktu dan ruang. Setiap percakapan mereka seakan menjadi jembatan sementara yang menghubungkan hati mereka, namun saat telepon terputus dan layar ponsel kembali gelap, ada sebuah kehampaan yang menyergap Vera. Rindu yang seharusnya bisa diredakan dengan pertemuan nyata, kini hanya bisa terpendam dalam bayangan dan doa.
Suatu pagi, ketika Vera sedang duduk di meja kerjanya, matahari pagi yang cerah menyinari ruangannya, ia merasa sedikit lebih tenang. Pekerjaan hari itu cukup menuntut, tetapi ada perasaan yang lebih mengganggu daripada rutinitas biasa—perasaan bahwa ada sesuatu yang belum diselesaikan, sesuatu yang terus mengendap di pikirannya.
Vera ingat, hari itu sudah seminggu berlalu sejak percakapan terakhirnya dengan Raka. Meskipun ia tahu Raka sibuk, ada semacam ketegangan dalam hati Vera yang sulit dijelaskan. Dia merasa seperti ada sesuatu yang belum ia katakan, sesuatu yang harus ia ungkapkan, tetapi tak tahu bagaimana cara melakukannya. Rindu yang tak terucapkan itu terlalu kuat, terlalu membebani hati dan pikirannya. Namun, di sisi lain, ada rasa takut jika kata-kata itu justru akan membuat semuanya semakin jauh.
Pagi itu, dengan perasaan yang campur aduk, Vera memutuskan untuk menulis sebuah surat. Surat yang tidak pernah ia kirimkan, namun ia harap dapat meredakan kerisauan hatinya. Surat itu ia tulis dengan tangan yang sedikit gemetar, menumpahkan semua perasaan yang sudah lama terpendam.
Surat untuk Raka
“Raka,
Entah bagaimana aku harus memulai surat ini. Ada begitu banyak hal yang ingin aku katakan, begitu banyak perasaan yang harus keluar dari hatiku, namun setiap kali aku mencoba menulisnya, aku merasa seolah kata-kata itu akan sia-sia. Mungkin aku terlalu banyak berpikir, terlalu banyak merasa takut akan sesuatu yang belum tentu terjadi. Tapi sekarang, aku merasa bahwa aku harus mengungkapkan semuanya, karena jika tidak, perasaan ini akan terus menggangguku. Rindu ini terlalu berat untuk disembunyikan lagi.
Aku tahu kita berada di dua tempat yang berbeda, dengan waktu yang kadang terasa tidak berpihak pada kita. Aku tahu kita mencoba menjaga segalanya tetap terhubung, tetapi semakin lama, semakin terasa bahwa kita semakin terpisah. Bukan hanya oleh jarak fisik, tetapi oleh perasaan yang semakin susah dipahami. Kita mulai saling meraba, mencari cara untuk tetap saling menguatkan meskipun terhalang oleh waktu dan ruang. Aku merasa seperti ada banyak hal yang tidak kita bicarakan, banyak hal yang tidak pernah aku ungkapkan, dan itu membuat hatiku semakin tidak tenang.
Kadang aku berpikir, apakah kita sedang berada di jalur yang benar? Apakah jarak ini akan membuat kita semakin kuat, atau justru semakin rapuh? Aku tidak tahu jawabannya, Raka. Yang aku tahu, aku merindukanmu. Aku merindukan cara kita dulu saling bercerita, merindukan tawa kita yang tulus, merindukan kenyamanan yang hanya bisa kita rasakan saat bersama. Aku merindukan kehadiranmu dalam hidupku, kehadiran yang tidak hanya bisa dirasakan melalui layar ponsel atau panggilan telepon.
Namun, ada satu hal yang aku tak pernah katakan padamu. Aku takut, Raka. Takut jika suatu saat nanti, kita benar-benar akan terpisah, bukan hanya oleh jarak, tetapi oleh waktu yang terus berjalan tanpa bisa kita kontrol. Aku takut jika jarak ini akan memutuskan apa yang telah kita bangun bersama. Aku takut jika kita tidak bisa bertahan, jika kita tidak bisa melewati semua ini. Aku takut bahwa, suatu hari, kita akan menjadi kenangan yang terlupakan. Aku tidak tahu mengapa perasaan ini begitu kuat. Mungkin karena aku terlalu memikirkan masa depan kita, atau mungkin karena aku terlalu banyak berharap.
Aku ingin sekali bisa berbicara denganmu tentang semua ini, tetapi entah kenapa aku merasa ada tembok besar yang membatasi kita. Rindu ini bukan hanya tentang bertemu, bukan hanya tentang berbicara lewat telepon, tetapi tentang perasaan yang lebih dalam, tentang bagaimana kita harus tetap saling percaya meskipun kita tidak bisa berada di tempat yang sama. Mungkin, aku hanya perlu waktu untuk memahami perasaan ini, untuk meresapi kenyataan bahwa kita tidak bisa selalu bersama seperti dulu.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi aku ingin kamu tahu satu hal, Raka. Aku mencintaimu, dan meskipun perasaan ini terasa semakin sulit untuk dipahami, aku berharap kita bisa tetap saling menjaga. Meskipun aku menulis surat ini tanpa mengetahui apakah kamu akan membacanya atau tidak, aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu berharap kita bisa mengatasi semua ini bersama. Aku berharap kita bisa menemukan cara untuk tetap saling mendukung, walaupun jarak ini kadang terasa begitu besar.
Dengan cinta,
Vera”
Setelah selesai menulis surat itu, Vera menatap tulisan tangannya dengan perasaan yang campur aduk. Surat itu bukan hanya ungkapan dari rindu yang tak terucapkan, tetapi juga sebuah kebingungannya yang belum terjawab. Ia menyadari bahwa perasaan ini—rindu yang mendalam, takut kehilangan, dan keraguan yang menghantui adalah bagian dari perjalanan mereka yang harus ia jalani. Meskipun ia tak bisa mengirimkan surat itu, setidaknya ia merasa sedikit lega setelah menulisnya. Ada beban yang terlepas, meskipun hanya untuk sesaat.
Namun, surat itu tetap hanya sebuah surat yang tak pernah sampai. Seperti banyak hal lainnya yang tak pernah terungkapkan, kata-kata yang tertulis di atas kertas itu hanya akan tersimpan dalam hati Vera, menjadi bagian dari kenangan yang tak bisa terwujud dalam bentuk apapun selain tulisan.
Hari berlalu, dan meskipun Raka belum menghubunginya, Vera merasakan ada sedikit kedamaian dalam dirinya. Surat yang tak pernah sampai itu tetap menjadi pengingat bagi dirinya sendiri, bahwa terkadang kita harus menulis untuk diri kita sendiri, mengungkapkan perasaan yang mungkin tak bisa kita bagi dengan orang lain. Dan meskipun jarak tetap ada, meskipun komunikasi mereka semakin terbatas, perasaan itucinta dan rindu yang ada di dalam hati tetap tidak akan pernah hilang.
Vera menyadari bahwa meskipun banyak yang tak bisa diungkapkan, kadang-kadang, kata-kata yang tak pernah sampai justru menjadi cara kita untuk melepaskan sesuatu yang terlalu berat.*
Bab 7 Langkah Menuju Pertemuan
Sudah terlalu lama rasa rindu ini tumbuh tanpa batas, menanti saat yang tepat untuk meredamnya. Setiap langkah dalam hidup Vera dan Raka selama ini dipenuhi dengan pesan-pesan singkat, percakapan telepon yang tak pernah cukup, dan malam-malam yang sepi dengan hanya bayangan satu sama lain yang mengisi ruang kosong. Mereka berdua sudah sangat terbiasa dengan jarak yang memisahkan mereka, namun kedekatan yang mereka miliki melalui komunikasi tak pernah cukup untuk mengusir perasaan hampa yang selalu mengintai di balik layar ponsel atau saat saling menelepon.
Namun kini, sesuatu yang telah lama mereka nantikan akhirnya mulai terlihat. Tiba-tiba saja, meskipun dunia terasa terhenti oleh jarak dan waktu, ada sinyal bahwa pertemuan itu akan segera terjadi. Rasa cemas dan rindu bercampur aduk, menciptakan ketegangan yang sulit dijelaskan. Bagi Vera, perasaan ini seperti sebuah persiapan besar, sebuah langkah yang harus ia ambil meskipun ketakutan mulai menyelubungi dirinya.
“Raka… aku benar-benar tidak sabar,” gumam Vera, memandang tiket pesawat yang sudah ia beli jauh-jauh hari. Setelah berbulan-bulan hanya berkomunikasi melalui layar, hari itu akhirnya tiba hari di mana mereka akan bertemu, tidak lagi dalam kata-kata, tapi dalam kenyataan. Ini bukan lagi tentang berharap, tapi tentang menjadikan harapan itu nyata.
Namun, meskipun ada kegembiraan yang terasa mengguncang dada, Vera juga merasakan ketegangan yang menyelimuti. Ia takut jika setelah bertemu, semuanya tidak sesuai dengan yang ia bayangkan. Apa yang jika kenangan mereka selama ini yang tercipta lewat suara dan kata-kata, ternyata berbeda saat mereka bertatap muka? Apa yang akan terjadi jika mereka merasa canggung, jika rasa nyaman yang mereka rasakan selama ini ternyata hanya ilusi? Ada begitu banyak pertanyaan yang berputar dalam pikiran Vera, dan setiap pertanyaan itu menambah ketegangan yang ada dalam dirinya.
Pagi itu, Vera bangun dengan perasaan campur aduk. Ia masih duduk di meja makan, menyendiri dengan secangkir kopi sambil menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ada pesan baru dari Raka. Dengan sedikit ragu, ia membuka pesan itu.
Raka:
“Vera, aku tidak sabar untuk bertemu denganmu. Tapi aku juga sedikit cemas. Bagaimana jika semuanya tidak seperti yang kita bayangkan?”
Membaca pesan itu, Vera merasa sedikit lega. Rasa cemas yang ia rasakan ternyata juga dirasakan oleh Raka. Itu membuatnya merasa tidak sendirian dalam keraguan ini. Meskipun kata-kata itu sederhana, tapi ada kenyamanan yang datang dari pengakuan bahwa mereka berdua berada dalam situasi yang sama.
Vera:
“Aku juga cemas, Raka. Tapi kita sudah menunggu terlalu lama untuk akhirnya bertemu. Aku percaya kita bisa melewati ini bersama.”
Setelah mengirimkan balasan itu, Vera kembali melanjutkan ritual pagi dengan mempersiapkan diri. Namun, di dalam hatinya, ada sebersit keraguan yang kembali menghampiri. “Apa yang jika kita tidak tahu lagi bagaimana berbicara satu sama lain? Apa yang jika kita tidak merasa nyaman lagi saat berada di dekat satu sama lain?”
Dengan membawa perasaan itu, Vera menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya, dan akhirnya ia pergi ke bandara. Setiap langkah menuju pesawat seolah semakin berat, setiap detik terasa lebih panjang, meskipun ia tahu bahwa ini adalah langkah yang tak bisa lagi ditunda. Tidak ada jalan mundur.
Pesawat yang ia tumpangi akhirnya mendarat di kota tempat Raka tinggal. Di bandara, Vera menunggu dengan gelisah, tangan terlipat di dada, matanya sesekali melirik ke layar pengumuman untuk memastikan pesawat yang ditumpangi Raka tepat waktu. Jantungnya berdegup keras, bahkan dengan setiap suara langkah orang yang berlalu-lalang, ia merasa seperti itu adalah langkah yang mendekatkan mereka pada pertemuan yang sudah terlalu lama dinantikan.
Beberapa saat kemudian, di tengah kerumunan orang yang berdatangan, Vera melihat seorang pria tinggi yang sedang mencari-cari di antara kerumunan. Matanya langsung terkunci pada Raka, yang tidak bisa menyembunyikan senyum lebar di wajahnya ketika mata mereka bertemu. Semua kekhawatiran yang sebelumnya menghantuinya seolah menguap seketika saat mereka saling menatap. Tanpa berpikir panjang, Vera berjalan cepat menuju Raka dan tanpa ragu, memeluknya erat.
Waktu seakan berhenti saat itu juga. Seluruh keraguan, kecemasan, dan rindu yang telah lama terpendam akhirnya menemukan tempatnya. Dalam pelukan itu, Vera merasakan kehangatan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan. Ada sesuatu yang sangat nyata dalam sentuhan itu—sebuah perasaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Begitu lama mereka berkomunikasi dengan kata-kata, namun akhirnya sekarang, mereka dapat berbicara dalam diam, hanya dengan pelukan dan tatapan yang penuh makna.
“Aku rindu,” bisik Raka, suara lembutnya seakan menyentuh jiwa Vera.
“Aku juga,” jawab Vera dengan mata berkaca-kaca, terisak pelan. Rasanya seperti sebuah perjalanan panjang yang baru saja selesai, namun juga seperti perjalanan baru yang dimulai.
Setelah berpelukan untuk beberapa saat, mereka akhirnya melepaskan diri, memandang satu sama lain seolah tidak percaya bahwa pertemuan ini akhirnya terjadi. Mereka berdua tersenyum, sebuah senyuman yang penuh kelegaan. Rasa cemas yang selama ini mengganggu mereka seolah hilang begitu saja, tergantikan oleh kenyataan bahwa mereka akhirnya berada di sini, bersama.
“Mari kita mulai petualangan kita,” kata Raka, meraih tangan Vera dan menggenggamnya erat.
Vera hanya mengangguk, tersenyum. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan. Tidak ada lagi keraguan. Hanya ada mereka berdua, melangkah bersama di tengah keramaian bandara, tetapi seolah-olah dunia ini milik mereka berdua. Setiap langkah yang mereka ambil, walaupun kecil, terasa sangat berarti. Mereka melangkah menuju masa depan yang telah lama mereka impikan sebuah pertemuan yang akhirnya menghapus jarak, dan sebuah langkah menuju kebersamaan yang sejati.
Kini, mereka tahu bahwa jarak tak lagi menjadi penghalang, karena setiap langkah bersama menjadi bukti bahwa cinta ini mampu mengalahkan apapun yang memisahkan mereka. Langkah mereka belum berakhir ini baru permulaan dari sebuah kisah baru yang akan mereka jalani bersama.*
Bab 8 Dalam Pelukan Cinta
Kedua kaki Vera menapak pelan di sepanjang jalan setapak yang membelah taman kota. Di kejauhan, langit senja menyinari langit dengan warna merah kekuningan, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Tak jauh darinya, Raka berjalan bersamanya, hanya beberapa langkah di belakangnya, tapi terasa seolah jarak itu tidak ada. Mereka telah berada di satu tempat yang sama, satu waktu yang sama, dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, mereka merasakan kedekatan yang sesungguhnya.
Vera menoleh ke belakang, menemukan wajah Raka yang sedang tersenyum dengan tatapan hangat. Tak ada kata-kata yang perlu diucapkan, karena mereka sudah saling memahami. Hanya ada kedamaian yang tercipta, sebuah perasaan yang begitu murni dan tulus, jauh dari kata-kata.
Setelah berbulan-bulan lamanya terpisah, akhirnya mereka bisa berjalan berdampingan di bawah langit yang sama, merasakan sejuknya angin yang berhembus dengan lembut, dan menikmati momen kebersamaan yang begitu langka. Raka mendekat dan meraih tangan Vera, menggenggamnya dengan penuh kasih sayang. Genggaman tangan itu terasa kuat, seakan ingin memastikan bahwa mereka tidak akan pernah terpisah lagi.
“Vera,” suara Raka mengalun lembut, menarik perhatian Vera yang masih tenggelam dalam keindahan sekitar. “Apa yang kamu rasakan sekarang? Aku ingin tahu.”
Vera menatapnya, matanya berbinar dengan kebahagiaan yang tak terucapkan. Kata-kata yang biasanya penuh dengan rasa cemas dan keraguan kini terasa begitu ringan, tak perlu lagi mencari-cari makna. “Aku merasa… seperti ini semua adalah mimpi yang akhirnya jadi kenyataan,” jawab Vera dengan suara pelan, namun penuh keyakinan. “Tapi aku tahu, ini nyata. Kamu di sini, di sampingku, dan aku merasa sangat beruntung bisa merasakan momen ini bersama.”
Raka tersenyum lebar, senyum yang seolah mengandung ribuan kata. Dia tahu bahwa perjalanan mereka—yang dipenuhi rintangan jarak dan waktu—akan terbayar dengan kebahagiaan seperti ini. Dia tahu, meskipun mereka telah mengarungi banyak badai dalam hubungan jarak jauh mereka, akhirnya mereka berdiri di sini bersama, dengan hati yang lebih kuat dari sebelumnya.
“Kamu tidak sendirian, Vera. Aku ada di sini, dan aku akan selalu ada untukmu. Tidak ada yang lebih penting bagiku selain kamu,” kata Raka, matanya menunjukkan ketulusan yang mendalam.
Vera tak bisa menahan perasaan harunya. Perasaan yang seakan meluap keluar dari hatinya. Ia menghentikan langkahnya sejenak dan memandang Raka dengan penuh rasa cinta. Ada sesuatu yang begitu dalam dalam tatapan Raka. Sesuatu yang menghangatkan jiwa, sesuatu yang mengingatkannya pada semua yang telah mereka lewati.
“Kita sudah melewati banyak hal,” ujar Vera dengan suara bergetar. “Jarak yang memisahkan kita… rasa rindu yang tak tertahankan… kadang membuat aku merasa seolah-olah kita tak akan pernah bisa bertemu. Tapi sekarang… aku tahu kita bisa melewati apapun, bersama.”
Raka menatap Vera dengan lembut, lalu mendekat. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia meraih wajah Vera dengan kedua tangannya dan menatapnya dalam-dalam. Vera bisa merasakan kedalaman cinta di mata Raka, dan dalam sentuhan lembut itu, ada banyak hal yang tak terucapkan, banyak janji yang diberikan tanpa kata-kata. Tanpa sadar, air mata menetes dari mata Vera. Air mata kebahagiaan, air mata yang mengungkapkan betapa besar cintanya pada pria yang berdiri di depannya.
Raka dengan lembut mengusap air mata di pipi Vera. “Jangan menangis, sayang. Aku di sini, dan aku tidak akan pergi kemana-mana.”
Tanpa menunggu lebih lama, Raka menarik Vera ke dalam pelukannya. Pelukan yang hangat, pelukan yang seakan menjadi tempat perlindungan, tempat di mana semua rasa takut, ragu, dan cemas yang pernah mereka alami selama ini bisa hilang begitu saja. Semua yang mereka rasakan—kehilangan, rindu, penantian—terdalam di dalam pelukan ini.
Vera memejamkan matanya, menghirup aroma tubuh Raka yang familiar. Selama ini, ia hanya bisa merindukan hal kecil seperti ini—sentuhan, pelukan, dan keberadaan Raka yang nyata. Dan kini, semuanya terwujud di sini, dalam pelukan yang tak bisa terpisahkan.
“Aku mencintaimu,” bisik Vera, suaranya tenggelam dalam pelukan itu.
Raka membalas dengan lembut, “Aku juga mencintaimu, Vera. Dengan segala yang ada pada dirimu, dengan semua kelebihan dan kekuranganmu. Kita melewati semuanya bersama, dan itu yang membuat cinta kita lebih kuat.”
Mereka berdiri di sana, berpelukan di bawah langit senja yang semakin gelap, menikmati kebersamaan yang telah lama mereka impikan. Di luar sana, dunia terus bergerak maju, tetapi di dalam pelukan ini, mereka merasa waktu seolah berhenti. Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi rintangan yang memisahkan mereka. Hanya ada mereka berdua, saling merasakan kehadiran yang penuh makna.
Waktu terasa begitu lambat, dan dalam keheningan itu, Vera merasa semuanya sudah lengkap. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi ketakutan akan kehilangan. Mereka telah bersama, mereka telah bertemu, dan tidak ada yang lebih penting dari saat ini. Semuanya terasa begitu sempurna, begitu tenang, karena dalam pelukan ini, mereka tahu bahwa cinta mereka lebih besar dari apapun yang bisa menghalanginya.
“Aku ingin kita terus bersama, Raka. Selamanya,” ujar Vera, menatap mata Raka yang kini penuh dengan harapan.
“Selamanya,” jawab Raka, mengukir janji di hatinya.
Malam mulai turun, dan di bawah bintang-bintang yang mulai bersinar, mereka melangkah maju bersama. Tak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan, karena cinta mereka sudah cukup untuk mengungkapkan segalanya. Langit malam pun menyaksikan perjalanan mereka perjalanan dua hati yang kini tak lagi terpisah oleh jarak atau waktu, karena mereka tahu, dalam pelukan cinta, segala sesuatu menjadi mungkin.***
—————THE END————