Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA YANG TERTUNDA

CINTA YANG TERTUNDA

SAME KADE by SAME KADE
March 19, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 44 mins read
CINTA YANG TERTUNDA

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan yang Tak Terlupakan
  • Bab 2: Jarak dan Waktu yang Memisahkan
  • Bab 3: Keputusan yang Mengubah Segalanya
  • Bab 4: Keterpisahan yang Menyakitkan
  • Bab 5: Peluang Kedua
  • Bab 6: Menghadapi Kenyataan

Bab 1: Pertemuan yang Tak Terlupakan

Nara dan Zara bertemu untuk pertama kalinya, tidak tahu bahwa pertemuan ini akan mengubah hidup mereka. Mereka mulai merasakan koneksi yang kuat, tetapi ada ketegangan karena keduanya tahu bahwa hubungan ini tidak bisa berkembang, baik karena situasi mereka saat itu atau alasan lain yang mereka sendiri belum sadari.

Keduanya mulai merasakan ketertarikan, namun mereka tidak bisa mengungkapkan perasaan mereka karena keadaan. Ini menciptakan perasaan bingung dan ragu di hati masing-masing. Keduanya mencoba untuk menghindari perasaan itu, tetapi tak bisa menahan getaran emosional yang mereka rasakan.

Pagi itu, seperti pagi-pagi biasa, Nara bangun dengan sedikit rasa enggan. Ada banyak hal yang ingin ia lakukan, tetapi seiring dengan rutinitas yang semakin padat, ia merasa sedikit tersesat dalam hidupnya. Ia menatap cermin, wajah yang terlihat lelah, dan menarik napas dalam-dalam. Hari ini adalah hari pertama ia akan mengikuti seminar nasional di kampus yang sudah lama dinantikannya, tapi entah kenapa ada perasaan aneh di dalam dadanya.

Akhir-akhir ini, Nara merasa tidak ada yang menarik dalam rutinitas sehari-harinya. Ia adalah seorang mahasiswa tingkat akhir, yang seharusnya sudah menantikan kelulusan, tetapi perasaan gelisah selalu datang menghampiri. Ia merasa hidupnya stagnan. Ketika ia tiba di kampus, pemandangan yang biasa pun terasa seperti tak berarti. Begitu banyak orang, tetapi semua terasa kosong. Semua itu berubah saat ia bertemu dengannya.

Zara.

Zara adalah seorang mahasiswa dari universitas lain yang kebetulan menjadi salah satu pembicara di seminar itu. Nara mengenalnya hanya dari beberapa pertemuan singkat sebelumnya, tetapi tidak pernah benar-benar berbicara. Pada saat itu, ketika ia memasuki aula seminar dan melihat Zara berdiri di depan pintu, segala kegelisahan yang sempat ia rasakan seolah menghilang begitu saja. Ada sesuatu yang memancar dari Zara—sesuatu yang sulit dijelaskan, tetapi cukup kuat untuk membuat Nara merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya melambat.

Zara mengenakan gaun kasual yang sederhana, rambutnya tergerai dengan sedikit ikatan, dan ekspresinya tampak tenang. Namun, ada tatapan mata yang tajam dan penuh rasa ingin tahu—seolah-olah ia memahami lebih banyak tentang dunia ini dibandingkan orang lain. Nara tidak bisa menahan untuk tidak terpesona.

“Kamu di sini untuk seminar juga?” suara Zara menghentikan lamunannya.

Pertanyaan itu terdengar sederhana, namun bagi Nara, rasanya seperti sebuah undangan untuk berkenalan. Meskipun mereka sudah saling mengenal dalam lingkaran pertemanan yang sangat luas, pertemuan kali ini terasa berbeda. Nara mengangguk pelan, sedikit canggung.

“Iya, aku Nara.” Ia mengulurkan tangan, sedikit ragu apakah ia seharusnya lebih santai atau lebih formal. “Aku dengar kamu salah satu pembicara di sini.”

Zara tersenyum tipis. “Betul, aku Zara. Senang akhirnya kita bisa berbicara lebih banyak.”

Nara merasa sedikit canggung, tapi anehnya, kegelisahannya mulai mereda. Zara memiliki cara bicara yang membuat siapa pun merasa nyaman. Mereka berjalan menuju aula seminar bersama, berbincang santai tentang seminar yang akan dimulai, serta berbagai topik ringan yang membuat mereka semakin mengenal satu sama lain.

Seminar berlangsung dengan lancar. Zara tampil memukau di atas panggung, mempresentasikan topik yang membuat semua orang terkesima. Namun, di mata Nara, ada satu hal yang lebih menarik daripada pembicaraannya—ia tidak bisa berhenti memikirkan senyum Zara yang penuh kepercayaan diri. Meski Zara terlihat begitu profesional, Nara bisa melihat ada kelembutan dalam dirinya yang sulit dijelaskan.

Setelah seminar selesai, mereka bertemu lagi di luar ruangan. Zara tampaknya ingin menghindari keramaian, sehingga ia mengajak Nara untuk duduk di bangku taman di luar kampus. Begitu mereka duduk, ada keheningan sesaat. Nara merasa seperti ada yang mengganjal, tetapi tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.

“Ternyata kamu bukan cuma pintar, tapi juga sangat menarik untuk diajak bicara,” kata Nara, berusaha untuk membuat suasana lebih nyaman.

Zara tertawa pelan. “Terima kasih. Aku cuma berusaha menjadi diri sendiri. Tapi aku juga merasa kita sudah cukup dekat sejak awal, meskipun baru kali ini benar-benar mengobrol.”

Nara terdiam sejenak. “Iya, aku juga merasa begitu. Sepertinya… aku sudah lama merasa ada koneksi, meskipun kita hanya bertemu beberapa kali.”

Zara mengangguk perlahan. “Terkadang, kita tidak perlu banyak waktu untuk merasa dekat dengan seseorang, Nara. Yang kita perlukan hanyalah sedikit keberanian untuk membuka diri.”

Pertemuan itu, yang terkesan singkat, meninggalkan kesan yang dalam di hati Nara. Zara seperti membuka dunia baru baginya, dunia yang lebih luas dan penuh warna. Saat ia pulang malam itu, ia merasa seolah-olah hari itu bukan sekadar seminar, tetapi sesuatu yang lebih—sesuatu yang mengubah cara pandangnya terhadap banyak hal.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Nara tidak bisa berhenti memikirkan Zara. Meskipun mereka tidak sering berkomunikasi, setiap kali bertemu atau berbicara dengannya, Nara merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar sekadar rasa suka biasa. Ada semacam ikatan yang tak bisa dijelaskan. Namun, Nara tahu bahwa kehidupannya yang sudah penuh dengan rutinitas dan tanggung jawab membuatnya ragu untuk membuka pintu hatinya lebih lebar.

Zara, di sisi lain, juga merasa ada yang berbeda. Namun, ia memiliki kehidupan yang sibuk dan prioritas yang lain. Ada hal-hal yang masih harus ia perjuangkan sendiri, dan hubungan yang terlalu dekat dengan orang lain bisa mengganggu semuanya. Ia memilih untuk menjaga jarak, meskipun ada perasaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya.

Malam itu, Nara memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Zara, sebuah pesan yang sederhana namun cukup berarti:

“Aku senang bisa berbicara denganmu beberapa hari yang lalu. Semoga kita bisa ngobrol lebih sering, kalau ada kesempatan.”

Zara membalas dengan cepat, sebuah pesan yang mengandung harapan dan sedikit kehangatan:

“Aku juga, Nara. Kita lihat nanti, ya. Dunia ini kadang memberi kejutan.”

Meskipun pesan itu tampak ringan, bagi Nara, itu adalah sebuah tanda. Tanda bahwa mungkin perasaan mereka bukan hanya sekadar kebetulan, tetapi sebuah pertemuan yang terencana oleh takdir—meskipun mereka belum siap untuk menerimanya sepenuhnya.

Seiring waktu, Nara dan Zara kembali sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Nara terus berjuang dengan tugas-tugas kuliah dan pekerjaan paruh waktunya, sementara Zara melanjutkan karir akademis dan profesionalnya. Namun, dalam setiap kesempatan yang ada, mereka berdua tetap saling memikirkan satu sama lain—meskipun mereka tidak pernah berbicara secara langsung tentang perasaan mereka.

Pada satu titik, Nara mulai merasakan adanya ketegangan. Ia tidak tahu apakah Zara juga merasakannya, tetapi ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk benar-benar saling mendekat. Apakah ini hanya perasaan semata, ataukah memang ada lebih banyak yang harus dihadapi sebelum mereka bisa bersama?

Nara membuka matanya perlahan, menatap jam di meja samping tempat tidurnya. Pagi itu terasa berbeda. Biasanya, rutinitasnya begitu cepat berlalu, tetapi kali ini, ada perasaan yang menggelisahkan di dalam dadanya. Hari ini adalah hari pertama seminar nasional yang sudah lama ia nantikan di kampus. Tentu saja, acara ini penting untuknya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Tetapi entah mengapa, sejak semalam, hatinya terasa tak tenang. Seperti ada sesuatu yang menunggu untuk terjadi.

Ia beranjak dari tempat tidur, melemparkan pandangan ke jendela yang menampilkan langit biru yang cerah. Cuaca sangat mendukung, tetapi perasaan Nara justru jauh dari tenang. Ia tahu seminar ini akan memberikan banyak kesempatan untuknya, tetapi ada yang lain—sesuatu yang mengganggu pikirannya.

“Nara, kamu harus tetap fokus,” gumamnya pada diri sendiri. Ia berusaha membangkitkan semangat dan mempersiapkan dirinya menghadapi hari itu.

Setelah sarapan cepat, Nara mengenakan pakaian formal sederhana. Ia berusaha terlihat profesional, meskipun hatinya berdebar-debar. Mungkin, ia berpikir, perasaan cemas ini hanya bagian dari ketegangan menghadapi presentasi atau seminar yang akan dihadiri oleh banyak orang penting. Tetapi ada sesuatu yang lebih dari itu—perasaan yang lebih dalam dan lebih sulit dijelaskan.

Setibanya di kampus, Nara disambut oleh keramaian mahasiswa yang sudah berkumpul di aula utama. Tempat itu penuh dengan antusiasme dan semangat, tetapi bagi Nara, keramaian itu terasa hampa. Ia berjalan ke ruang seminar dengan langkah cepat, mencoba menenangkan diri. Namun, begitu memasuki ruang acara, pandangannya langsung tertumbuk pada sosok yang sedang berdiri di depan pintu.

Zara.

Itulah nama yang tertulis di daftar pembicara, dan itulah sosok yang telah mengusik pikirannya sejak beberapa hari yang lalu. Zara, seorang mahasiswa dari universitas lain, adalah salah satu pembicara di seminar itu. Nara pernah mendengar namanya sebelumnya—seorang mahasiswa yang berbakat, cerdas, dan penuh dengan karisma. Namun, mereka tidak pernah benar-benar berbicara sebelumnya.

Zara berdiri dengan tenang di pintu, mengenakan pakaian kasual yang sangat sederhana, namun memiliki daya tarik yang tak bisa diabaikan. Rambutnya yang tergerai panjang tampak begitu alami, dan senyum tipis di wajahnya seolah mengundang perhatian. Ada sesuatu yang sangat menarik dari Zara—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.

Seketika itu juga, Nara merasa seluruh dunia seolah melambat. Ia terjebak dalam tatapan Zara, yang seolah melihat jauh ke dalam dirinya.

“Hey, kamu juga di sini untuk seminar?” suara Zara memecah keheningan itu.

Nara terkejut, menyadari bahwa ia sudah terpaku terlalu lama. Ia tersenyum kikuk dan mengangguk pelan.

“Ah, iya… aku Nara,” jawabnya, sedikit gugup. “Aku dengar kamu juga pembicara di sini?”

Zara tersenyum lebih lebar, lalu mengulurkan tangan dengan ramah. “Betul. Aku Zara. Senang akhirnya bisa bertemu langsung, Nara.”

Tangan mereka bersentuhan, dan Nara merasakan sebuah sentuhan yang tidak biasa. Seolah ada energi yang mengalir di antara mereka, meskipun hanya sekejap. Nara merasa canggung, tetapi di sisi lain, ia merasa sangat nyaman berada di dekat Zara.

“Semoga seminar ini menyenangkan,” kata Zara setelah mereka berjabat tangan. “Aku ingin tahu pendapatmu setelah sesi ini selesai.”

Nara hanya bisa mengangguk, sedikit terkejut dengan kesan yang ditinggalkan oleh Zara. Terkadang, seseorang bisa membuatmu merasa nyaman hanya dengan beberapa kata, dan Zara sepertinya memiliki kemampuan itu. Mereka berdua berjalan ke aula seminar bersama, berbicara sedikit tentang topik yang akan dibahas. Namun, meskipun topiknya penting, pikiran Nara tak bisa berhenti pada Zara. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar pembicaraan ringan antara mereka.

Seminar berjalan dengan lancar. Zara memberikan presentasi yang mengesankan, membahas tentang topik yang begitu menarik dan relevan dengan masa depan dunia akademik. Semua orang terkesima dengan cara berbicaranya yang penuh percaya diri dan pengetahuan yang mendalam. Nara yang duduk di barisan belakang merasa takjub, tetapi lebih dari itu, ia merasakan ketertarikan yang semakin kuat terhadap Zara.

Setelah seminar selesai, Nara masih terkesan dengan pembicaraan Zara. Ia berencana untuk pergi ke kantin bersama teman-temannya, tetapi tiba-tiba, Zara mendekatinya lagi.

“Hei, Nara. Apa kamu ingin ikut ke luar sebentar? Aku butuh udara segar,” ajak Zara dengan senyum yang sama seperti sebelumnya.

Nara merasa sedikit bingung, tetapi ia tidak bisa menolak tawaran itu. Mereka keluar dari aula dan berjalan menuju taman kecil yang ada di luar kampus. Di sana, di bawah pohon rindang, mereka duduk di bangku panjang dan berbicara lebih banyak. Zara mengungkapkan pemikirannya tentang masa depan, dan Nara merasa seperti menemukan seseorang yang benar-benar mengerti. Meskipun baru pertama kali berbicara lebih lama, kedekatan yang terjalin begitu cepat terasa alami.

“Mungkin kita sudah lama tahu satu sama lain, meskipun ini pertama kalinya kita ngobrol seperti ini,” kata Zara dengan nada ringan, seolah berbicara tentang sebuah kenyataan yang sudah pasti.

Nara hanya bisa tersenyum dan mengangguk. “Iya, sepertinya begitu. Ada rasa yang aneh… sepertinya kita sudah saling mengenal lebih lama dari yang kita kira.”

Percakapan mereka mengalir begitu lancar, mulai dari topik seminar hingga topik pribadi. Mereka saling bertukar cerita tentang impian dan ketakutan mereka, tentang masa lalu yang telah membentuk siapa mereka sekarang, dan tentang harapan-harapan yang mereka miliki untuk masa depan. Meskipun ada perasaan ketegangan yang tidak bisa diabaikan, keduanya merasa nyaman berbicara satu sama lain.

Zara bercerita tentang perjalanan hidupnya yang penuh tantangan—bagaimana ia harus menyeimbangkan karier akademiknya dengan kehidupan pribadi yang penuh dengan tekanan. Nara, di sisi lain, bercerita tentang perjuangannya dalam meraih gelar sarjana dan bagaimana ia kadang merasa terjebak dalam rutinitas yang monoton.

“Aku sering merasa ragu,” kata Nara, sedikit terdiam. “Ragu apakah aku memilih jalur yang tepat atau jika aku hanya terjebak dalam kebiasaan.”

Zara menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku mengerti. Kadang, kita merasa seperti berada di persimpangan jalan tanpa tahu kemana harus melangkah. Tapi, percayalah, setiap langkah yang kita ambil—meskipun terasa berat—akan membawa kita ke tempat yang lebih baik.”

Kata-kata Zara membuat Nara terdiam sejenak. Ada sesuatu yang begitu tulus dalam suara Zara, seolah ia benar-benar memahami kesulitan yang dihadapi Nara. Itu adalah perasaan yang langka, yang Nara hanya rasakan dengan beberapa orang dalam hidupnya.

Seiring berjalannya waktu, percakapan mereka berlanjut dengan lebih dalam, dan Nara merasa semakin tertarik pada Zara. Ia tahu bahwa hubungan mereka baru dimulai, dan meskipun perasaan ini terasa begitu kuat, ia tidak bisa langsung mengungkapkannya. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan.

Namun, pada malam itu, saat Nara pulang ke rumah, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang besar yang telah dimulai. Pertemuan pertama mereka bukan hanya tentang seminar atau percakapan ringan—itu adalah awal dari sebuah perjalanan yang tak terduga. Meskipun mereka belum tahu ke mana arah hubungan ini, satu hal yang pasti: mereka tidak akan pernah melupakan pertemuan pertama yang terjadi pada hari itu.*

Bab 2: Jarak dan Waktu yang Memisahkan

Seiring berjalannya waktu, baik Nara maupun Zara menghadapi tantangan besar yang memisahkan mereka—misalnya pekerjaan yang mengharuskan Zara pergi ke luar kota atau negara, atau Nara terpaksa memilih jalur hidup yang berbeda yang menghalangi keduanya untuk bertemu lebih sering.

Jarak menjadi penghalang terbesar. Nara merasa tertekan karena tidak dapat mendekatkan diri pada Zara, sementara Zara juga merasa ragu untuk menunggu atau menyerah pada hubungan yang tak pasti. Mereka berdua mulai merenung apakah mereka masih bisa mempertahankan perasaan mereka meskipun segala hal menghalangi.Cinta yang semakin terpendam karena ketidakpastian masa depan dan jarak yang semakin membingungkan.

Nara duduk di meja belajarnya, menghadap layar laptop yang kosong. Beberapa minggu telah berlalu sejak seminar itu. Sejak pertemuan pertama mereka yang tak terlupakan, hidupnya seolah bergerak lebih cepat. Namun, ada satu hal yang terasa mengganjal: meskipun Zara muncul dalam pikirannya hampir setiap hari, mereka tidak pernah berbicara lebih banyak setelah itu. Hanya pesan singkat sesekali yang dia terima, namun itu pun semakin jarang.

Pikirannya melayang kembali pada senyum Zara yang hangat, pada kata-kata yang seolah menghubungkan mereka meski tanpa banyak berbicara. Ada sesuatu yang menunggu, Nara merasa begitu, tetapi ia juga sadar bahwa kadang-kadang, perasaan ini terlalu rumit untuk dipahami. Mereka berdua berasal dari dunia yang sangat berbeda—Zara, yang begitu fokus pada karir akademisnya, dan Nara, yang masih terjebak dalam rutinitas kuliah dan pekerjaan paruh waktu. Kedua dunia ini seolah tak pernah bersinggungan, meskipun perasaan mereka terjalin begitu rapat.

“Kenapa rasanya semakin sulit?” pikir Nara, memandangi ponselnya yang masih terdiam tanpa pesan baru dari Zara. Ia merasa bingung, seolah ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk lebih dekat, meskipun perasaan itu semakin kuat. Hati Nara bertanya-tanya: Apakah ini hanya ketertarikan sesaat, ataukah ada sesuatu yang lebih dari itu?

Zara sendiri, di sisi lain, juga merasakan hal yang sama. Meski ia tak mengungkapkannya secara langsung, ia menyadari ada sesuatu yang membuatnya tertarik pada Nara. Namun, hidupnya terlalu sibuk, penuh dengan jadwal dan tanggung jawab yang tak bisa ditinggalkan begitu saja. Zara tahu bahwa ia harus memberi fokus pada karir akademisnya yang sudah dijalani dengan penuh perjuangan. Sebagai seorang mahasiswa yang memiliki banyak prestasi dan tanggung jawab, ia merasa tidak ada ruang lagi untuk hal-hal lain—termasuk perasaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya.

Namun, perasaan itu tetap ada. Zara tidak bisa menghindari fakta bahwa setiap kali ia berpikir tentang Nara, hatinya terasa lebih ringan. Ada sesuatu yang mengingatkannya pada masa lalu, pada kenangan yang belum selesai. Tetapi, waktu dan jarak—dua hal yang seolah menjadi tembok tak terlihat antara mereka—membuatnya ragu. Apakah ini hanya perasaan sementara?

Hari-hari berlalu dengan cepat. Nara dan Zara, meski saling merindukan, tak pernah benar-benar meluangkan waktu untuk berbicara. Nara berusaha memahami keadaan. Ia tahu, dengan rutinitasnya yang padat, ia tidak bisa berharap lebih dari sekadar beberapa pesan singkat. Namun, perasaan rindu itu semakin menumpuk dalam dada. Rasanya seperti ada ruang kosong yang menunggu untuk diisi—dan hanya Zara yang bisa mengisi ruang itu.

Suatu malam, saat Nara sedang merenung di kamarnya, ponselnya bergetar. Ia segera membuka layar ponsel, dan melihat nama Zara di pesan masuk.

Zara: “Hai Nara, bagaimana kabarmu? Maaf sudah lama tidak menghubungi. Semoga semuanya baik-baik saja di sana.”

Nara merasakan hati yang berdebar ketika membaca pesan itu. Ia segera membalas.

Nara: “Aku baik-baik saja, Zara. Aku juga ingin sekali bisa ngobrol lebih sering, tapi hidupku terasa sangat padat belakangan ini. Gimana dengan kamu?”

Beberapa detik kemudian, Zara membalas.

Zara: “Sama. Aku juga sibuk sekali dengan beberapa proyek besar. Tapi, aku terus memikirkan pertemuan kita beberapa waktu lalu. Rasanya aku ingin berbicara lebih banyak.”

Nara tersenyum membaca pesan itu, merasa sedikit lega. Meskipun pesan itu terasa singkat, ada kehangatan di dalamnya yang membuatnya merasa lebih dekat dengan Zara. Namun, perasaan itu hanya berlangsung sejenak, karena kemudian pesan itu berhenti, dan keduanya kembali terpisah oleh jarak. Zara kembali tenggelam dalam dunia akademisnya, dan Nara pun melanjutkan rutinitas sehari-harinya, tanpa ada perkembangan berarti dalam hubungan mereka.

Seiring berjalannya waktu, Nara merasa semakin bingung. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin lebih dekat dengan Zara, tetapi ia juga tahu bahwa Zara memiliki prioritas lain yang lebih penting. Apakah perasaan ini hanya akan tetap menjadi perasaan yang terpendam? Atau adakah kemungkinan untuk mereka benar-benar melanjutkan hubungan yang sempat terjalin?

Nara merasa bahwa ia harus mengambil langkah untuk mengubah keadaan. Ia tak bisa hanya diam menunggu kesempatan yang datang begitu saja. Ia memutuskan untuk mengirimkan pesan lebih dulu pada Zara, meskipun hatinya diliputi keraguan.

Nara: “Zara, aku ingin jujur. Aku sering memikirkan kamu belakangan ini. Aku tahu kita jarang berbicara, tetapi aku merasa ada sesuatu yang lebih antara kita. Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan.”

Ada jeda yang cukup lama sebelum Zara membalas. Nara menatap layar ponselnya dengan cemas. Apa yang akan Zara katakan? Apakah ia merasa hal yang sama?

Akhirnya, pesan itu muncul.

Zara: “Aku juga merasakannya, Nara. Tapi, aku takut. Aku takut kita tidak bisa mengatasi jarak ini. Aku takut aku tidak bisa memberikan yang terbaik untukmu.”

Pesan itu membuat hati Nara sedikit hancur. Ia tahu, Zara sedang berjuang dengan ketakutannya sendiri. Sepertinya, ketakutan itu membuatnya enggan untuk membuka hati sepenuhnya. Namun, Nara juga tahu bahwa perasaan mereka tidak bisa diabaikan begitu saja. Mereka harus saling berusaha untuk mengerti satu sama lain.

Nara: “Aku mengerti, Zara. Kita berdua memiliki kesibukan masing-masing. Tapi, aku rasa kita bisa mencoba. Kita bisa membuat jarak dan waktu ini tidak menjadi halangan.”

Zara membalas dengan sebuah emoji hati kecil, sebuah tanda bahwa meskipun ada ketakutan, ada keinginan untuk mencoba. Meskipun mereka tidak tahu bagaimana kedepannya, ada sedikit harapan yang tumbuh di antara mereka.

Meskipun ada sedikit harapan, tantangan tetap datang menghampiri mereka. Jarak fisik yang memisahkan mereka semakin terasa besar, dan waktu yang terbatas membuat mereka kesulitan untuk benar-benar terhubung. Setiap kali mereka berusaha untuk berbicara lebih banyak, selalu ada sesuatu yang menghalangi pekerjaan, kegiatan akademik, atau bahkan rasa takut yang muncul di dalam diri mereka.

Nara merasa frustasi. Ia ingin sekali berada di dekat Zara, tetapi ia tahu, dengan kondisi seperti ini, itu hampir mustahil. Di satu sisi, ia merasa bahwa mungkin hubungan ini tidak akan bertahan lama. Namun, di sisi lain, perasaan itu terus menguat, dan ia tidak bisa menepisnya begitu saja.

Zara juga merasa hal yang sama. Setiap kali ia memikirkan Nara, ada rasa rindu yang begitu dalam, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa menyerah pada ketakutan dan tanggung jawab yang ia miliki. Setiap kali mereka berbicara, ada rasa takut bahwa mereka tidak akan bisa bertahan dalam jarak yang jauh. Apakah ini akan berakhir seperti hubungan jarak jauh lainnya?

Pada akhirnya, mereka berdua harus menghadapi kenyataan bahwa meskipun mereka saling mencintai, kehidupan mereka begitu rumit. Perasaan yang terpendam, ditambah dengan ketakutan dan keraguan, membuat mereka meragukan apakah hubungan ini akan berhasil. Waktu dan jarak bukan hanya memisahkan mereka secara fisik, tetapi juga menimbulkan keraguan yang semakin besar.

Namun, meskipun ada rintangan, satu hal yang mereka pelajari adalah bahwa jarak bukanlah penghalang bagi perasaan yang tulus. Meski mereka tidak bisa bersama setiap saat, mereka masih saling menghargai dan mendukung satu sama lain, meski hanya dalam bentuk pesan singkat atau percakapan yang jarang.

Dengan demikian, meskipun jarak dan waktu memisahkan mereka, cinta mereka tetap hidup. Apakah cinta ini akan bertahan ataukah akan terhenti di tengah jalan, hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Pagi itu terasa berbeda bagi Nara. Setelah beberapa minggu yang berlalu sejak seminar yang mempertemukannya dengan Zara, ia merasa kebingungan yang semakin dalam. Setiap kali ia membuka matanya, wajah Zara tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Senyumnya, caranya berbicara, bahkan tatapan mata yang penuh harapan—semuanya kembali membayang. Tetapi jarak, yang seolah semakin memisahkan mereka, membekukan perasaan itu menjadi sebuah kenangan yang sulit dijangkau.

Nara melangkah menuju meja belajarnya, membiarkan angin pagi menyentuh kulitnya. Ia memandangi ponselnya yang tergeletak diam di atas meja. Pesan dari Zara semakin jarang datang, meskipun kadang-kadang ada beberapa kata yang terucap lewat aplikasi pesan. Tetapi itulah yang membuat Nara merasa lebih bingung. Zara tidak pernah menghubunginya lebih dulu, dan setiap kali mereka berbicara, Nara merasa bahwa percakapan itu terasa hampa, seolah perasaan mereka hanya ada dalam bentuk yang belum lengkap.

“Nara,” ia berkata pada dirinya sendiri. “Apa sebenarnya yang kamu harapkan dari semua ini?”

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Apa yang ia rasakan terhadap Zara bukanlah sesuatu yang sederhana. Ini bukan sekadar rasa kagum pada kecerdasan atau penampilan fisiknya. Ini lebih dalam dari itu. Tetapi jarak, waktu, dan ketidakpastian yang menghantui mereka seolah menciptakan dinding tebal yang tak mudah untuk dijebol.

Di sisi lain, Zara juga merasakan hal yang sama. Semakin lama, semakin banyak pekerjaan dan tanggung jawab yang menumpuk di hadapannya. Sebagai mahasiswa yang sibuk dengan tugas, seminar, dan berbagai acara penting, Zara merasa tidak punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Apalagi untuk hubungan. Seminggu telah berlalu sejak pesan terakhirnya kepada Nara. Meskipun ia merasa nyaman berbicara dengannya, ia mulai ragu jika hubungan ini bisa bertahan lama. Waktu dan jarak selalu menjadi alasan utama bagi Zara untuk tidak melangkah lebih jauh.

Zara duduk di ruang kerjanya, menatap layar komputer yang menampilkan tumpukan tugas yang harus diselesaikan. Ada banyak hal yang harus dikerjakan, tetapi hatinya selalu kembali kepada Nara. Setiap kali ia teringat wajahnya, senyum lembutnya, atau tatapan mata yang penuh arti itu, ada perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Namun, ia merasa terjaga oleh tanggung jawab akademisnya dan ketakutan akan ketidakmampuannya untuk memberikan perhatian yang cukup kepada Nara.

Zara menekan tuts keyboard dengan berat. “Bagaimana kalau aku melangkah mundur?” pikirnya. “Bagaimana jika aku sudah terlambat untuk memberikan ruang bagi perasaan ini?”

Pikirannya terpecah antara tugas-tugasnya dan perasaan yang mulai tumbuh terhadap Nara. Terkadang, ia merasa sangat lelah. Ia ingin lebih dekat dengan Nara, tetapi di sisi lain, ia merasa bahwa hubungan ini tidak mungkin berlanjut jika mereka terus terpisah oleh jarak yang begitu jauh.

Beberapa hari setelah itu, Nara memutuskan untuk mengirim pesan lagi kepada Zara. Ia tahu ini bisa jadi langkah yang berisiko, tetapi ia juga merasa bahwa perasaan ini tidak bisa hanya dibungkam begitu saja.

Nara: “Hai Zara, sudah lama kita tidak ngobrol. Aku berharap semuanya baik-baik saja di sana.”

Ada jeda yang panjang sebelum akhirnya pesan itu dibalas. Nara merasa cemas, berharap tidak ada hambatan yang lebih besar dari sekadar kesibukan Zara.

Akhirnya, pesan dari Zara datang.

Zara: “Hei, Nara. Maaf kalau aku lama membalas. Aku sibuk sekali dengan proyek dan seminar. Aku baik-baik saja, terima kasih sudah menghubungi.”

Nara: “Aku mengerti. Aku juga sedang sibuk dengan kuliah, tapi rasanya aku sering kepikiran kamu belakangan ini.”

Beberapa saat kemudian, Zara membalas.

Zara: “Aku juga. Tapi… mungkin kita harus berbicara lebih jujur, Nara. Tentang bagaimana perasaan kita.”

Ketika membaca pesan itu, hati Nara berdebar kencang. Ada sesuatu yang berbeda dalam kata-kata Zara. Apakah ini sebuah tanda bahwa perasaan mereka bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih? Atau apakah ini hanya sebuah kebingungan yang dipenuhi keraguan?

Nara: “Aku juga ingin berbicara tentang itu. Aku merasa ada sesuatu di antara kita yang belum selesai. Tapi jarak ini membuat semuanya terasa begitu sulit.”

Zara kemudian mengirimkan pesan singkat.

Zara: “Aku tahu, Nara. Aku juga merasa hal yang sama. Tapi aku takut kalau kita tidak bisa bertahan dalam jarak ini. Aku tidak tahu apakah aku bisa memberikan perhatian yang kamu butuhkan.”

Pesan itu seolah menusuk hati Nara. Ia tahu bahwa Zara berbicara dengan hati yang terbuka, tetapi perasaan takut dan ketidakpastian itu membuat segala sesuatunya terasa jauh lebih rumit.

Nara: “Aku tidak bisa memaksakan apa-apa. Tapi aku ingin kita bisa lebih dekat, Zara. Aku tidak ingin ini hanya menjadi kenangan.”

Zara membaca pesan itu berulang kali. Ada keraguan yang menghinggapi pikirannya. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia membuka hatinya untuk Nara dan menerima kenyataan bahwa jarak mungkin tidak akan pernah menjadi halangan? Atau, apakah ia harus memilih untuk menghindari perasaan itu dan melanjutkan hidup seperti sebelumnya?

Malam itu, Nara berbaring di tempat tidurnya, memikirkan semua yang telah mereka bicarakan. Perasaan yang tertunda semakin membebani hatinya. Ia ingin lebih banyak berbicara dengan Zara, tetapi apakah Zara akan merespons? Semakin ia berusaha, semakin terasa bahwa perasaan ini sulit dijangkau, seperti bayangan yang hilang saat ia coba genggam.

Di sisi lain, Zara juga merenung. Ia merasa tidak adil kepada Nara jika ia terus menghindar. Namun, ia juga tahu bahwa hidup mereka sangat berbeda. Zara memiliki tanggung jawab besar dalam akademisnya yang terus meningkat, sementara Nara lebih fokus pada kuliah dan kehidupan sosialnya. Perbedaan prioritas ini menciptakan kesenjangan yang semakin lebar di antara mereka. Apakah perasaan ini cukup kuat untuk mengatasi semua perbedaan itu?

Satu minggu lagi berlalu tanpa perkembangan berarti. Nara semakin merasa bahwa ia harus mencari jawaban. Pikirannya berputar-putar, menciptakan keraguan baru. “Apakah aku cukup penting bagi Zara?” tanyanya dalam hati. Rasa rindu semakin menggigit, tetapi ia juga sadar bahwa mereka tidak bisa hanya bergantung pada perasaan ini tanpa tindakan nyata.

Suatu sore yang cerah, Nara memutuskan untuk mengirim pesan terakhir yang dia rasa perlu.

Nara: “Zara, aku tahu kita mungkin berbeda dalam banyak hal. Tapi aku ingin memberi kesempatan untuk kita lebih mengenal satu sama lain. Aku tidak ingin hanya terjebak dalam keraguan. Apa kamu siap untuk mencoba lebih banyak, meskipun jarak dan waktu selalu menjadi tantangan?”

Beberapa saat kemudian, pesan itu dibalas dengan sebuah emoji hati dari Zara, diikuti oleh kata-kata yang lebih terbuka.

Zara: “Aku siap mencoba, Nara. Mungkin kita harus memulai dari sini, tanpa ragu lagi. Aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu, jika kamu juga mau.”

Hati Nara terasa lebih ringan ketika membaca balasan itu. Ternyata, mereka masih memiliki kesempatan untuk bersama, meskipun ada banyak ketakutan dan keraguan yang mengiringi.

Namun, Nara tahu bahwa jalan ini tidak akan mudah. Mungkin perasaan mereka akan diuji lagi oleh jarak yang semakin memperlebar celah di antara mereka. Tetapi setidaknya, mereka sudah memutuskan untuk mencoba.

Dan dalam setiap percakapan yang terjalin, meskipun jarak memisahkan, cinta mereka masih terus bertumbuh. Dengan setiap pesan, dengan setiap kata yang terucap, mereka saling mengisi kekosongan yang ada.*

Bab 3: Keputusan yang Mengubah Segalanya

Salah satu dari mereka, mungkin Nara, harus membuat keputusan besar—apakah ia akan mengejar cintanya meskipun penuh rintangan, atau melanjutkan hidupnya tanpa Zara.

Ketegangan batin yang intens antara mengutamakan karir atau memilih mengikuti perasaan. Nara merasa terperangkap antara keinginannya untuk meraih cita-cita dan cintanya yang tertunda.

Pada akhirnya, Nara atau Zara memutuskan untuk membuat keputusan besar yang mungkin akan mengubah arah hidup mereka seperti berpisah demi mencapai tujuan pribadi, atau memilih untuk berjuang meskipun tahu hubungan tersebut masih penuh dengan ketidakpastian. Pencarian jati diri dan pengorbanan dalam cinta.

Hari-hari semakin berat bagi Nara. Setelah percakapan panjang yang membahas perasaan mereka, seharusnya ia merasa lega. Namun, kenyataannya berbeda. Meski Zara akhirnya setuju untuk mencoba, keraguan terus menghantuinya. Setiap pesan yang masuk dari Zara semakin terasa seperti beban, bukan kebahagiaan seperti yang dulu ia bayangkan. Jarak antara mereka semakin nyata, dan waktu yang semakin terbatas membuat mereka sulit untuk benar-benar terhubung.

Pagi itu, Nara duduk di meja belajarnya, memandangi layar ponselnya yang masih terdiam. Sudah lebih dari seminggu sejak pesan terakhir Zara, dan meskipun mereka berusaha menjaga komunikasi, Nara merasa hubungan mereka terhenti di suatu titik. Pesan singkat yang mereka kirimkan hanya seolah menjadi pengingat bahwa mereka terpisah oleh dunia yang berbeda. Seolah-olah mereka hanya berada dalam satu ruang yang sempit, dan tidak ada jalan keluar dari sana.

“Apakah ini yang aku inginkan?” Nara bertanya pada dirinya sendiri. “Apakah aku hanya menunggu harapan yang tidak pasti?”

Nara tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam ketidakpastian. Ia ingin lebih dari sekadar hubungan yang hanya terbatas pada pesan dan percakapan jarang. Ia menginginkan kedekatan yang lebih nyata, tetapi apakah itu mungkin dengan Zara yang sibuk dengan kehidupannya yang penuh tanggung jawab?

Sementara itu, Zara juga merasakan hal yang sama. Keputusan untuk lebih terbuka dan mencoba lebih banyak bersama Nara ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Ia mulai merasa terjebak. Setiap kali ia memikirkan Nara, ada perasaan bahagia yang muncul, tetapi di sisi lain, ada rasa takut yang menggerogoti. Apakah ia benar-benar siap untuk melangkah ke dunia yang lebih dekat dengan Nara, dengan segala keterbatasan yang mereka miliki?

“Apa aku bisa?” tanya Zara dalam hati, sambil menatap tumpukan buku dan tugas yang menanti untuk diselesaikan. “Apakah aku akan bisa memberikan perhatian yang cukup pada hubungan ini jika aku terus-menerus disibukkan dengan pekerjaan dan studi?”

Zara merasa tertekan. Ia ingin mengejar mimpinya dalam dunia akademis, tetapi hati kecilnya juga berkata bahwa ia tidak ingin kehilangan Nara. Namun, ia tahu bahwa keputusan untuk melanjutkan hubungan ini berarti ia harus menyeimbangkan dua dunia yang sangat berbeda, yang masing-masing membutuhkan perhatian penuh. Ini bukanlah sesuatu yang bisa ia lakukan dengan mudah.

Hari-hari berlalu, dan Nara semakin merasakan tekanan. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan rindu yang semakin besar, namun pada saat yang sama, ia juga merasa bingung dan frustrasi. Beberapa kali ia mencoba menghubungi Zara, namun respons yang ia terima selalu singkat dan terkesan terburu-buru. Nara tahu bahwa Zara sedang sibuk, tetapi ada sesuatu dalam setiap pesan yang ia terima yang membuatnya merasa seperti mereka semakin menjauh.

Pada suatu malam yang tenang, Nara duduk di balkon apartemennya, memandangi langit yang gelap. Angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, namun hatinya terasa panas. “Apa yang harus aku lakukan?” pikir Nara. “Haruskah aku mengakhiri semuanya sebelum terlambat? Atau aku harus terus berjuang?”

Pikirannya berputar-putar. Ia tahu bahwa jika mereka tidak melakukan sesuatu, hubungan ini akan semakin pudar. Tanpa komunikasi yang baik, tanpa saling pengertian, apakah mereka bisa bertahan? Bagaimana jika perasaan ini hanya sementara? Bagaimana jika, pada akhirnya, mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan?

Nara menarik napas dalam-dalam. “Aku harus membuat keputusan. Aku tidak bisa terus menunggu.” Keputusan itu mulai terasa semakin mendalam, dan ia tahu bahwa ia harus menghadapinya dengan berani, meskipun itu mungkin menyakitkan.

Sementara itu, di sisi lain dunia, Zara juga terperangkap dalam kebingungannya sendiri. Ia duduk di meja kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan buku dan catatan kuliah, namun pikirannya melayang jauh. Zara merasa terhimpit oleh jadwalnya yang padat, tetapi perasaan terhadap Nara tetap ada, mengganjal dalam hatinya. Tidak mudah untuk menjauhkan diri dari seseorang yang sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana caranya agar bisa membuka ruang dalam hidupnya untuk Nara.

Akhirnya, Zara memutuskan untuk mengirim pesan kepada Nara. Ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan hubungan mereka terus-menerus terhenti di titik ini.

Zara: “Nara, aku ingin bicara denganmu. Aku merasa sangat bingung belakangan ini, dan aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa bahwa hubungan ini sangat berat, terutama karena jarak dan waktu yang memisahkan kita. Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu sekarang.”

Pesan itu mengalir dari jari Zara dengan penuh keraguan. Ia menunggu beberapa detik, merasa cemas akan apa yang akan datang setelahnya. Nara membacanya dengan hati berdebar.

Nara: “Aku juga merasa bingung, Zara. Aku sangat menghargai setiap detik yang kita habiskan bersama, tapi aku merasa kita tidak bisa terus begini. Kita harus mengambil keputusan.”

Zara merasakan sesuatu yang sangat mendalam saat membaca balasan itu. Mereka berdua merasa terjebak dalam rutinitas masing-masing, dan jarak seakan semakin besar di antara mereka.

Zara: “Aku tahu. Aku juga tidak ingin hubungan ini hanya menjadi kenangan yang tidak jelas. Tapi aku takut, Nara. Aku takut aku tidak bisa memberimu apa yang kamu butuhkan.”

Setelah berhari-hari merenung, Nara akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Zara. Mereka berdua tahu bahwa hanya dengan berbicara langsung, mereka bisa mengatasi kebingungan yang semakin membelenggu. Nara memesan tiket untuk pergi ke kota tempat Zara tinggal, meskipun hanya untuk beberapa hari. Ini adalah langkah besar yang penuh risiko, tetapi Nara merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengetahui apakah hubungan mereka masih memiliki masa depan.

Ketika Nara tiba di kota itu, Zara menjemputnya di stasiun dengan senyum yang penuh harap. Mereka tidak berbicara banyak di perjalanan, hanya ada keheningan yang terasa penuh arti. Setelah beberapa lama, mereka tiba di sebuah kafe yang terletak di pinggir jalan yang sepi, tempat di mana mereka bisa berbicara tanpa gangguan.

Di sana, di bawah langit yang mendung, mereka mulai berbicara. Nara memulai percakapan dengan jujur.

“Zara, aku ingin kita jujur satu sama lain. Aku ingin kita tahu apakah hubungan ini masih bisa diteruskan atau tidak.”

Zara menatap Nara, merasa bahwa ini adalah saat yang menentukan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara.

“Aku juga merasa seperti itu. Tapi aku tidak tahu apakah aku siap memberikan waktu yang kamu butuhkan, Nara. Aku tidak ingin mengecewakanmu.”

Perasaan yang terpendam selama ini akhirnya terungkap. Ada ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan dalam suara Zara. Namun, Nara merasakan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mengambil keputusan bersama.

“Zara,” kata Nara dengan lembut, “Aku tahu ini tidak mudah. Aku tahu kita punya banyak rintangan. Tapi aku percaya, kalau kita memang ingin bersama, kita bisa mengatasi semuanya. Jarak tidak akan pernah bisa menghalangi perasaan kita, kalau kita saling berusaha.”

Zara menatap Nara dengan mata yang penuh emosi. Dalam hati, ia tahu bahwa ini adalah momen yang mengubah segala-galanya. Mereka bisa terus berlari mengikuti arus waktu dan jarak, atau mereka bisa membuat keputusan untuk mencoba bertahan.

“Kau benar, Nara,” kata Zara dengan suara yang lebih tenang. “Aku ingin mencoba. Aku ingin kita berjuang bersama. Mungkin ini bukan waktu yang sempurna, tetapi jika kita berusaha, aku yakin kita bisa.”

Dengan keputusan itu, mereka akhirnya memilih untuk berjuang bersama, mengatasi segala tantangan yang akan datang. Keputusan yang mereka buat saat itu akan mengubah hidup mereka selamanya, membawa mereka pada perjalanan baru yang penuh harapan dan kemungkinan.

Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Nara. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tak menentu. Setelah percakapan panjang yang penuh harapan dengan Zara, ia sempat merasa lega. Namun kenyataan berbicara lain. Perasaan yang mereka miliki terasa begitu rapuh, seperti benang tipis yang bisa saja putus kapan saja. Nara tahu bahwa jarak adalah masalah utama yang menghambat hubungan mereka, tetapi ada juga ketidakpastian yang tak kalah besar.

Pagi itu, Nara duduk di balkon apartemennya, menatap langit biru yang begitu cerah. Ia membuka ponselnya dan memeriksa pesan dari Zara yang belum dibalas. Beberapa hari terakhir, mereka hanya mengirim pesan singkat satu sama lain. Tidak ada percakapan panjang seperti dulu, tidak ada tawa atau candaan yang mereka nikmati bersama. Rasanya seperti mereka hanya menjadi dua orang asing yang saling mengingat kenangan lalu.

“Apa yang sebenarnya kita inginkan dari hubungan ini?” Nara bertanya pada dirinya sendiri. Ia teringat saat pertama kali bertemu Zara, betapa ringan dan indahnya percakapan mereka. Semuanya terasa mudah, seperti tak ada yang bisa menghalangi mereka. Tapi kini, semuanya berubah.

Nara membuka pesan dari Zara yang dikirim beberapa hari yang lalu.

Zara: “Aku sangat sibuk dengan tugas dan seminar, Nara. Aku merasa seperti kita semakin terpisah. Aku tahu ini terdengar klise, tapi jarak itu memang sulit.”

Membaca pesan itu membuat hati Nara sedikit terluka. Ia tahu Zara berjuang dengan kesibukannya, tapi Nara juga merasa seperti dirinya hanya menjadi salah satu bagian dari rutinitas yang padat. Mereka tidak lagi saling memberi waktu yang cukup. Ada jarak emosional yang tidak bisa disangkal, meskipun mereka masih berusaha untuk tetap terhubung.

“Aku tidak ingin terus meragu,” Nara berpikir. “Tapi bagaimana aku bisa terus bertahan dengan keadaan seperti ini?”

Sementara itu, di tempat yang jauh, Zara juga merasa cemas. Ia duduk di meja belajarnya, menatap tumpukan buku dan catatan yang seolah tidak ada habisnya. Meski ia sudah berusaha untuk fokus pada pekerjaan dan akademisnya, pikirannya sering kali melayang pada Nara. Zara tidak bisa menahan diri untuk memikirkan bagaimana Nara selalu ada di kepalanya, meskipun mereka terpisah oleh jarak yang begitu jauh.

Namun, meskipun perasaan itu ada, Zara merasa semakin terbebani oleh kenyataan. Apa yang bisa ia lakukan jika tidak bisa memberikan perhatian yang cukup pada Nara? Apa yang bisa ia tawarkan selain kata-kata dan janji yang sulit ditepati?

“Aku takut aku mengecewakannya,” pikir Zara. “Aku tidak ingin menjadi penyebab kebahagiaannya pudar.”

Namun, satu hal yang selalu ada dalam hati Zara adalah perasaan yang tulus terhadap Nara. Setiap kali ia membayangkan wajah Nara, senyum lembutnya, atau suara tawa yang begitu khas, hatinya terasa lebih tenang. Meski ada ketakutan yang menghantui, perasaan itu terlalu kuat untuk diabaikan.

Sementara Nara merasa cemas dan bingung, Zara merasa semakin tertekan oleh tanggung jawabnya yang besar. Kuliah, seminar, dan tugas yang menumpuk membuatnya merasa tidak memiliki cukup ruang untuk diri sendiri, apalagi untuk hubungan. Ia tidak ingin meninggalkan Nara, tetapi ia juga tidak ingin menjanjikan sesuatu yang tidak bisa ia tepati.

Zara mencoba berbicara dengan teman-temannya tentang hal ini, tetapi mereka hanya memberi saran yang sama: “Kamu harus bicara dengan Nara, jujur saja tentang apa yang kamu rasakan.” Namun, meskipun ia tahu itu adalah langkah yang benar, Zara merasa ragu untuk melakukannya. Takut jika kata-kata yang ia ucapkan malah membuat Nara semakin terluka.

“Apa yang harus aku katakan?” Zara bertanya pada dirinya sendiri saat ia duduk sendirian di kamar tidur, merenungkan segala perasaan yang menggebu. “Aku ingin Nara mengerti bahwa aku peduli padanya, tapi aku takut aku tak bisa memberikan yang dia butuhkan.”

Namun, akhirnya, ketidakpastian ini membuat Zara memutuskan untuk mengirim pesan kepada Nara. Ia merasa bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk memberi kejelasan, meskipun hatinya masih diliputi keraguan.

Zara: “Nara, aku ingin bicara denganmu. Aku merasa kebingungan dan tidak tahu harus bagaimana. Aku khawatir hubungan kita tidak bisa bertahan lama karena jarak dan waktu yang memisahkan kita.”

Pesan itu keluar dari hatinya yang bimbang. Zara menunggu balasan, berharap Nara bisa mengerti perasaannya.

Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Nara.

Nara: “Aku juga merasa seperti itu. Kita sudah berusaha, tapi aku merasa hubungan kita tidak berkembang. Aku takut kita terjebak dalam rutinitas yang semakin jauh.”

Membaca pesan itu membuat Zara terdiam. Apa yang bisa ia katakan untuk meyakinkan Nara? Apa yang bisa ia lakukan agar mereka tetap bisa bersama meskipun tantangan begitu besar?

Namun, Nara melanjutkan pesan berikutnya yang membuat Zara terkejut.

Nara: “Aku ingin kita berbicara lebih langsung. Aku tidak tahu apakah hubungan ini bisa bertahan, tapi aku ingin tahu apa yang kamu rasakan.”

Zara menatap pesan itu dalam kebingungan. Mereka berdua berada di persimpangan jalan, dan keputusan yang harus diambil akan menentukan masa depan hubungan mereka.

Setelah beberapa hari berpikir dan berbicara dengan teman-temannya, Nara akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah besar. Ia memutuskan untuk pergi ke kota tempat Zara tinggal, meskipun itu berarti harus menempuh perjalanan jauh dan mengorbankan waktu. Nara merasa bahwa hanya dengan bertemu langsung, mereka bisa benar-benar mengerti satu sama lain. Ini adalah langkah yang mungkin akan menentukan apakah hubungan mereka bisa bertahan atau tidak.

Zara sangat terkejut saat Nara memberitahunya tentang rencana kedatangannya. Ia merasa cemas, tetapi di sisi lain, ada rasa lega. Mungkin, pertemuan ini adalah jawaban yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang tepat. Setelah beberapa hari penuh kecemasan, mereka akhirnya bertemu.

Nara tiba di kota Zara dengan perasaan campur aduk. Perjalanan itu terasa panjang dan melelahkan, tetapi ia merasa yakin bahwa ini adalah langkah yang tepat. Zara menjemputnya di stasiun kereta dengan senyuman yang sedikit terpaksa, tetapi ada kedalaman yang tak bisa disembunyikan dalam matanya. Mereka berdua hanya diam sejenak dalam perjalanan menuju sebuah kafe yang tenang di sudut kota, tempat mereka bisa berbicara tanpa gangguan.

Di kafe itu, mereka duduk di meja yang agak tersembunyi, jauh dari keramaian. Tangan Nara terasa kaku, tidak tahu harus mulai dari mana. Begitu juga dengan Zara, yang hanya menatap meja, merasa kesulitan untuk memulai percakapan.

Akhirnya, Nara membuka suara.

“Zara, aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku ingin kita bisa lebih dekat, tapi rasanya jarak ini terlalu besar. Aku merasa terisolasi.”

Zara menghela napas dalam-dalam, menatap Nara dengan mata penuh kejujuran.

“Aku merasa hal yang sama. Aku sangat peduli padamu, Nara, tapi aku tidak tahu apakah aku bisa memberikan perhatian yang kamu butuhkan. Waktu dan jarak itu begitu sulit. Aku tidak ingin menjanjikan sesuatu yang tidak bisa aku tepati.”

Nara merasakan kegelisahan dalam kata-kata Zara. Ia tahu ini adalah momen yang menentukan, saat mereka harus memilih antara melanjutkan atau berhenti. Keputusan ini sangat berat, tapi mereka harus memutuskannya.

“Aku juga merasa bingung, Zara. Aku ingin kita bertahan, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Mungkin kita harus lebih terbuka, lebih jujur satu sama lain.”

Zara menatap Nara dengan penuh perhatian. Dalam mata mereka, ada perasaan yang sama—ketakutan, keraguan, tetapi juga cinta yang belum sepenuhnya lenyap.

“Apa kita bisa bertahan, Nara? Apakah kita bisa terus melanjutkan?” tanya Zara dengan penuh harapan.

Nara memegang tangan Zara, matanya berbinar dengan tekad.

“Aku ingin kita mencoba. Aku ingin kita berjuang bersama, meskipun sulit. Kita harus mengambil keputusan ini, dan aku siap untuk itu.”

Dengan keputusan itu, mereka berdua memilih untuk tidak menyerah. Mereka tahu jalan ke depan tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak akan bisa menemukan jawabannya tanpa berjuang.*

Bab 4: Keterpisahan yang Menyakitkan

Beberapa tahun berlalu, dan meskipun Nara atau Zara tidak saling bertemu, mereka tetap memiliki kenangan satu sama lain yang tak bisa dihapus. Mereka menjalani kehidupan masing-masing, namun sering kali ada rasa hampa yang mengganggu keduanya.

Keterpisahan mereka yang semakin mendalam. Cinta yang tertunda itu mulai berubah menjadi kenangan pahit dan harapan yang semakin memudar. Mereka sering bertanya-tanya apakah keputusan mereka benar atau salah, dan apakah mereka akan mendapatkan kesempatan untuk bersama lagi.

Kesendirian, kerinduan yang terpendam, dan penyesalan atas keputusan yang diambil.

Setelah keputusan besar yang diambil bersama, Nara dan Zara merasa seolah-olah mereka sudah melangkah ke arah yang benar. Mereka berdua sepakat untuk berusaha lebih keras, berkomunikasi lebih sering, dan memberikan lebih banyak ruang untuk saling mendukung satu sama lain. Namun, meskipun semangat mereka tinggi, kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Perbedaan waktu, jarak, dan kesibukan masing-masing mulai menunjukkan taringnya.

Hari-hari berlalu dengan lambat, dan meskipun mereka berusaha menjaga hubungan, ketegangan perlahan muncul. Zara masih sibuk dengan jadwal kuliah yang menumpuk, seminar-seminar yang harus dihadiri, serta tugas-tugas yang tak pernah habis. Di sisi lain, Nara yang mulai bekerja sebagai seorang desainer grafis juga merasakan tekanan yang sama. Tuntutan pekerjaan yang menuntut kreativitas tinggi dan deadline yang selalu mendekat membuatnya merasa terkadang kehilangan dirinya sendiri.

Mereka mulai berbicara lebih jarang. Percakapan yang semula penuh dengan kebahagiaan kini berubah menjadi sesi tanya jawab yang terasa formal dan terburu-buru. Zara merasa dirinya semakin jauh dari Nara, dan begitu pula dengan Nara. Meski mereka mencoba untuk terus berusaha, rasa cemas dan kesepian mulai menggerogoti mereka masing-masing.

Suatu malam, Nara duduk di sofa apartemennya, menghadap laptop yang terbuka dengan tugas yang menanti. Namun pikirannya melayang jauh. Di luar sana, langit malam tampak begitu luas, seperti kebingungannya yang tak berujung. Sudah hampir dua minggu sejak terakhir kali mereka berbicara panjang. Tentu saja, mereka masih saling mengirim pesan, namun semuanya terasa sepi dan kering.

“Apakah ini yang kita inginkan?” Nara bertanya pada dirinya sendiri. “Apakah hubungan ini akan berakhir seperti yang kita khawatirkan?”

Di sisi lain, Zara juga merasakan kekosongan yang sama. Ia mengirimkan pesan kepada Nara, bertanya tentang kesehariannya, namun tanggapan yang ia terima seringkali singkat dan terburu-buru. Zara merindukan percakapan yang dulu mereka miliki, namun ia juga sadar bahwa waktu mereka semakin terbatas. Kuliah dan tugas-tugas lain membuatnya merasa terperangkap. Ia tidak ingin menjadi beban bagi Nara, tetapi ia juga takut jika ia harus mengakui bahwa mereka memang tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini.

Saat Zara memikirkan semua ini, hatinya merasa sakit. Ia menatap layar ponselnya yang kosong, tidak tahu harus menulis apa. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan perasaannya saat itu. Setiap pesan yang ia kirimkan terasa sia-sia. “Apakah ini akhirnya?” tanya Zara dalam hati. “Apakah kita sudah terlalu jauh terpisah untuk kembali?”

Terkadang, cinta bukanlah soal perjuangan yang abadi. Terkadang, meskipun kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, jarak dan waktu bisa menjadi dinding yang tak terlihat namun sangat nyata. Nara dan Zara menyadari bahwa mereka berada dalam sebuah hubungan yang semakin terjepit oleh kenyataan yang tak bisa dihindari.

Setelah beberapa kali berbicara melalui pesan yang semakin terasa dingin, Nara merasa bahwa hubungan mereka kini berada di ambang kehancuran. Meskipun ia sangat mencintai Zara, ia juga merasa bahwa mereka telah terlalu banyak berkorban untuk hubungan yang semakin sulit dipertahankan. Setiap kali mereka berbicara, Nara merasa seolah-olah ada sesuatu yang menghalangi mereka. Ada sebuah jurang tak terlihat yang semakin melebar di antara mereka.

Suatu malam, ketika Nara sedang duduk di balkon apartemennya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Zara masuk.

Zara: “Nara, aku rasa kita perlu bicara. Aku merasa semakin jauh darimu. Aku tidak ingin kita terjebak dalam perasaan yang tidak jelas.”

Bacaan itu membuat dada Nara terasa sesak. Sungguh, ia tidak ingin mendengar kalimat itu, namun ia tahu bahwa itu adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Mereka memang terpisah oleh jarak, namun jauh lebih penting adalah kenyataan bahwa mereka sudah terlalu sibuk dengan hidup masing-masing.

Nara membalas pesan itu dengan berat hati.

Nara: “Aku juga merasa hal yang sama, Zara. Aku sudah mencoba, tetapi aku merasa semakin kesulitan untuk tetap terhubung denganmu. Aku takut ini akan terus berlanjut.”

Beberapa detik kemudian, Zara membalas.

Zara: “Aku juga takut. Aku merasa seperti kita berdua semakin jauh. Mungkin kita harus memberi ruang satu sama lain untuk berpikir lebih jelas.”

Mereka berdua saling diam, masing-masing merenung dalam hati. Perasaan mereka yang sebelumnya hangat kini terasa dingin dan hampa. Tidak ada lagi kata-kata manis yang dulu mengalir begitu alami. Tidak ada lagi senyum ceria yang penuh harapan. Hanya ada keheningan yang menekan.

“Apakah kita sudah kehilangan segalanya?” Nara bertanya dalam hati. Perasaan sesak di dadanya semakin dalam. Ia tidak bisa lagi menahan perasaan itu. Setiap pesan yang mereka kirimkan kini hanya menjadi pengingat akan jarak yang semakin besar.

Hari-hari setelah percakapan itu semakin membuat Nara dan Zara merasa lebih terisolasi. Walaupun mereka berdua berusaha untuk menjaga hubungan itu, kenyataan yang terus menghadang membuat segalanya semakin sulit. Mereka tidak lagi merasa dekat, dan meskipun percakapan mereka penuh dengan pengertian, ada kesadaran yang tidak bisa disangkal: hubungan ini sudah tidak seperti dulu lagi.

Suatu pagi, Nara memutuskan untuk mengunjungi Zara. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk melihat apakah mereka masih bisa memperbaiki hubungan mereka. Jika pertemuan ini tidak berhasil, maka mungkin sudah saatnya untuk melepaskan.

Setelah beberapa jam perjalanan, Nara tiba di apartemen Zara. Zara menyambutnya dengan senyum yang lelah, tetapi mata mereka saling bertemu dengan rasa sakit yang mendalam. Mereka duduk bersama di sofa, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, mereka berbicara tanpa terburu-buru.

“Aku sudah merasa jauh darimu, Zara,” kata Nara dengan suara pelan. “Aku tidak ingin terus berada dalam hubungan yang penuh dengan keraguan dan ketakpastian. Tapi aku juga tidak ingin kita menyerah begitu saja.”

Zara menatap Nara, matanya penuh dengan air mata yang tertahan. “Aku juga merasa begitu, Nara. Aku mencintaimu, tapi aku tidak tahu apakah kita bisa terus begini.”

Keduanya saling diam, tidak ada kata-kata yang cukup untuk menjelaskan perasaan yang mereka alami. Ada rasa sakit yang mendalam, sebuah kenyataan pahit yang tak bisa dihindari. Mereka berdua tahu bahwa hubungan ini tidak bisa dipaksakan lagi. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan.

Akhirnya, dengan hati yang hancur, mereka berdua sepakat untuk berpisah. Mereka tahu bahwa meskipun cinta mereka kuat, kenyataan bahwa hidup mereka semakin berbeda sudah tidak bisa disangkal. Jarak, waktu, dan perbedaan yang ada akhirnya terlalu besar untuk dijembatani.

Saat Nara kembali ke kota asalnya, perasaan hampa mulai menyelimuti dirinya. Ia berjalan tanpa arah, merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Meskipun ia tahu bahwa perpisahan ini adalah yang terbaik, ia merasa seolah-olah sebuah bagian dari dirinya telah hilang.

Zara juga merasakan hal yang sama. Setelah pertemuan itu, ia kembali ke rutinitas kuliah dan pekerjaannya dengan rasa kosong di hatinya. Setiap hari terasa lebih berat tanpa kehadiran Nara. Meski mereka telah sepakat untuk berpisah, perasaan cinta yang masih ada tidak bisa diabaikan begitu saja.

Namun, mereka berdua tahu bahwa ini adalah akhir dari perjalanan mereka bersama. Meskipun mereka saling mencintai, kenyataan yang ada sudah tidak bisa diubah. Mereka memilih untuk menerima perpisahan ini, meskipun hati mereka remuk. Perasaan itu akan selalu ada, tetapi hidup harus terus berjalan.

Sejak pertemuan terakhir mereka, Nara dan Zara kembali terjebak dalam rutinitas masing-masing. Mereka tahu bahwa keputusan yang mereka ambil—untuk tetap bersama meski terpisah oleh jarak—adalah yang terbaik, namun kenyataannya jauh lebih kompleks dari apa yang mereka bayangkan. Jarak yang semakin jauh antara mereka terasa lebih nyata daripada sebelumnya, dan meskipun komunikasi melalui pesan teks dan panggilan video bisa sedikit mengurangi rasa rindu, kedekatan fisik yang selama ini mereka nikmati begitu sulit untuk digantikan.

Nara duduk di kamar tiduran yang sunyi, matanya menatap layar ponselnya yang gelap. Sore itu, ia merasa sepi meskipun berada di tengah keramaian. Di luar jendela, hujan turun perlahan, menambah kesan melankolis yang merayapi hatinya. Sudah hampir seminggu sejak pesan terakhir Zara, dan perasaan cemas semakin menggerogoti dirinya.

Pikirannya kembali mengingatkan pada percakapan mereka sebelumnya, di mana mereka sepakat untuk tetap berjuang bersama. Namun, kenyataan tidak semudah kata-kata yang diucapkan. Waktu yang terbatas, tanggung jawab masing-masing, dan jarak yang semakin besar antara mereka seakan membuat komitmen itu semakin sulit untuk dijalani.

“Kenapa rasanya semakin sulit?” Nara bertanya pada dirinya sendiri, menatap jam di dinding yang bergerak begitu lambat, seolah menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.

Pesan terakhir dari Zara menyatakan bahwa ia sedang sibuk dengan kuliah dan beberapa tugas yang harus diselesaikan. Namun, Nara merasakan ada lebih dari sekadar sibuk yang menghalangi Zara untuk berkomunikasi dengannya. Meskipun ia tidak ingin terlalu cepat berasumsi, keraguan itu tetap saja muncul.

Zara, di sisi lain, juga merasa kebingungan. Sementara Nara merasa semakin terisolasi, Zara merasa terhimpit oleh beban yang semakin berat. Ia terus-menerus bergulat dengan pekerjaan dan kuliahnya, namun pikirannya tak pernah bisa lepas dari Nara. Setiap kali ia berpikir tentang Nara, ada perasaan bersalah yang semakin mendalam karena tidak bisa memberikan perhatian yang cukup.

Hari-hari berlalu, dan mereka berdua semakin terhanyut dalam dunia masing-masing. Zara mencoba untuk tetap fokus pada apa yang ada di depannya—tugas kuliah, seminar, dan pekerjaan—tetapi pikirannya selalu kembali kepada Nara. Rindu itu semakin menumpuk, tetapi setiap kali ia mencoba menghubungi Nara, ia merasa seolah-olah pesan singkat dan panggilan video tidak cukup untuk menggantikan kehadiran fisik yang mereka butuhkan.

Suatu malam, saat Zara sedang menulis tugas di meja kerjanya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Nara.

Nara: “Aku merindukanmu.”

Pesan itu begitu sederhana, tetapi menyentuh hati Zara. Ia menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya membalas dengan ragu.

Zara: “Aku juga merindukanmu, Nara. Tapi rasanya semakin sulit. Aku ingin bisa memberimu perhatian lebih, tetapi aku juga harus menyelesaikan semua ini.”

Zara menekan ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia ingin sekali berada di dekat Nara, tetapi dunia yang sedang ia jalani terasa sangat berbeda. Jarak ini tidak hanya memisahkan fisik mereka, tetapi juga menambah kekhawatiran yang perlahan merusak kedekatan mereka.

Di sisi lain, Nara membaca pesan itu dengan perasaan yang tidak jauh berbeda. Ia tahu Zara sedang berjuang dengan berbagai hal dalam hidupnya, namun itu tidak mengurangi rasa kehilangan yang ia rasakan. Setiap hari, ia berusaha untuk tetap sabar dan mengerti bahwa ini bukanlah waktunya untuk terburu-buru. Namun, hati kecilnya tidak bisa menahan perasaan rindu yang semakin dalam. Rindu yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata.

“Aku ingin berada di dekatmu,” pikir Nara, mengulang kata-kata itu dalam hati, meskipun tahu bahwa itu adalah keinginan yang tak dapat ia penuhi dalam waktu dekat.

Meskipun perasaan rindu semakin besar, Nara dan Zara tahu bahwa kehidupan mereka terus berjalan. Tugas kuliah, pekerjaan, dan tanggung jawab lainnya tidak memberi mereka banyak waktu untuk menikmati hubungan mereka. Setiap kali mereka berbicara, selalu ada kekhawatiran yang mendalam bahwa mereka hanya berbicara karena terbiasa, bukan karena mereka benar-benar dapat berbagi waktu satu sama lain.

Nara semakin merasakan keterasingan itu, seolah hubungan mereka hanya ada dalam bentuk kenangan. Meskipun mereka berusaha menjaga komunikasi melalui pesan singkat dan panggilan video, Nara merasa seolah-olah ada dinding tak terlihat yang semakin besar antara mereka. Setiap kali Zara tidak bisa membalas pesannya dalam waktu lama, ia merasa kecewa, meskipun ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya.

Satu malam, setelah beberapa hari tanpa kabar dari Zara, Nara memutuskan untuk meneleponnya. Ia merasa seperti ada yang mengganjal dalam hatinya, dan ia tidak bisa lagi menahan perasaan itu. Telepon berbunyi beberapa kali sebelum akhirnya Zara mengangkatnya dengan suara yang agak terkejut.

“Nara?” suara Zara terdengar sedikit cemas, seolah ia baru saja terbangun dari tidur yang lelap.

“Zara,” Nara mulai, suaranya terdengar agak gemetar. “Aku merasa kita semakin jauh. Aku tidak tahu bagaimana kita bisa bertahan jika seperti ini terus. Kita hanya berbicara melalui pesan, dan itu tidak cukup.”

Zara terdiam sejenak di ujung telepon. Ia tahu bahwa Nara sedang mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Hati Zara terasa sesak. Ia ingin sekali menjawab dengan kata-kata yang bisa meyakinkan Nara bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi kenyataannya jauh lebih sulit daripada itu.

“Aku tahu, Nara,” Zara akhirnya menjawab dengan suara yang lemah. “Aku merasa hal yang sama. Tapi aku… aku benar-benar tidak tahu apa yang bisa aku lakukan.”

Keterpisahan yang mereka rasakan semakin nyata. Mereka berdua berusaha untuk memahami satu sama lain, tetapi jarak dan waktu seolah semakin memperburuk keadaan. Mereka hanya bisa berbicara, tetapi tidak bisa benar-benar berada di sisi satu sama lain.

Setiap malam, Nara terbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang gelap. Rindu itu semakin menyakitkan. Keinginan untuk berbicara lebih banyak, untuk berbagi waktu bersama, dan untuk merasakan kehadiran Zara begitu kuat. Namun, meskipun mereka telah berjanji untuk berjuang, kenyataannya adalah bahwa jarak ini membawa banyak kesulitan yang tidak terbayangkan.

Zara juga merasa hal yang sama. Meskipun ia mencoba untuk fokus pada tugas-tugasnya, hatinya selalu kembali pada Nara. Rindu itu tidak bisa ditekan, tetapi ia merasa tidak adil jika hanya berfokus pada perasaannya sendiri tanpa memperhatikan perasaan Nara. Bagaimana bisa ia terus berharap pada hubungan ini jika ia tidak bisa memberikan perhatian penuh pada Nara?

Pada akhirnya, mereka tahu bahwa jarak dan waktu adalah dua hal yang sangat sulit untuk dihadapi. Namun, mereka juga tahu bahwa cinta mereka tidak bisa dibendung begitu saja. Mereka harus membuat keputusan—apakah mereka akan terus bertahan dengan keterpisahan ini, ataukah mereka akan menemukan cara untuk lebih dekat lagi.

Nara memutuskan untuk menulis pesan terakhir pada Zara, yang ia harap akan memberi mereka kejelasan.

Nara: “Zara, aku tahu kita berdua sedang menghadapi banyak hal, dan aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Tapi aku harus jujur. Aku merasa semakin kesulitan dengan jarak ini. Mungkin kita harus berpikir lebih matang tentang apa yang kita inginkan.”

Pesan itu cukup singkat, namun cukup untuk menunjukkan ketegasan hati Nara. Zara membaca pesan itu dengan hati yang berat. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus-menerus terjebak dalam ketidakpastian. Mereka harus membuat keputusan tentang masa depan hubungan mereka—apakah mereka akan terus berjuang bersama meski terpisah, ataukah mereka akan memilih jalan masing-masing.*

Bab 5: Peluang Kedua

Suatu pertemuan tak terduga yang membawa mereka bertemu kembali. Mungkin salah satu dari mereka menghadapi masalah besar dalam hidup atau kembali ke tempat yang penuh kenangan.

Pertemuan kembali membawa gejolak emosi, baik kebahagiaan maupun kebingungan. Mereka berdua tidak tahu apakah mereka masih bisa melanjutkan hubungan yang tertunda, atau apakah mereka sudah terlalu jauh berbeda.

Keduanya mulai menyadari bahwa meskipun cinta mereka tertunda, itu tidak pernah benar-benar hilang. Mereka merasa seolah ada kesempatan kedua untuk membangun sesuatu yang lebih baik, atau mereka harus Peluang kedua dalam cinta, keberanian untuk memulai lagi setelah waktu yang lama terlewati.

Pagi itu, Nara duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang terbuka di depannya. Meskipun pekerjaan dan tugas-tugas kuliah memanggilnya, pikirannya melayang jauh dari tempat itu. Seminggu terakhir ini terasa seperti jalan buntu. Ia masih mengingat pesan terakhir yang ia kirimkan kepada Zara, tentang betapa sulitnya hubungan mereka dan bagaimana jarak semakin membuat segalanya terasa lebih berat.

Ketika ia mengetikkan pesan itu, ada rasa cemas yang menyelubungi hatinya, seolah-olah keputusan besar sedang menunggunya. Namun, setelah mengirim pesan itu, Nara merasa lebih tenang—seperti melepaskan beban yang selama ini mengikat hatinya.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Nara berpikir dalam hati. Rasa rindu masih ada, tetapi kali ini, ia merasa tidak bisa lagi terus berada dalam ketidakpastian. Di sisi lain, Zara pasti merasakan hal yang sama, dan Nara tahu bahwa mereka harus berbicara. Mereka membutuhkan percakapan yang lebih jujur dan lebih dalam, yang tidak hanya melibatkan kata-kata manis atau janji kosong.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Zara. Nara membuka pesan itu dengan hati yang berdebar-debar.

Zara: “Nara, aku tahu kita sudah lama tidak bicara dengan baik. Aku merasa sangat kehilanganmu, dan aku tidak ingin hubungan kita berakhir seperti ini. Aku ingin kita punya kesempatan kedua, walaupun aku tahu itu tidak mudah. Aku ingin berjuang bersama-sama, tapi kita harus benar-benar mengerti satu sama lain.”

Membaca pesan itu membuat Nara tertegun. Selama ini, ia merasa seperti Zara menjauh, tetapi pesan ini seperti secercah harapan yang datang begitu mendalam. Meskipun sudah banyak waktu yang terbuang, ada keinginan yang kuat dari Zara untuk memperbaiki keadaan. Nara merasa senang, tetapi juga takut. Takut jika mereka tidak bisa mengatasi masalah yang telah menguras banyak energi mereka.

“Apakah kita bisa benar-benar memiliki peluang kedua?” Nara bertanya pada dirinya sendiri.

Setelah beberapa saat merenung, Nara memutuskan untuk membalas pesan itu.

Nara: “Aku juga merindukanmu, Zara. Aku merasa kita sudah terlalu lama terjebak dalam keraguan ini. Mungkin kita memang membutuhkan peluang kedua, tapi kita harus berusaha lebih keras kali ini. Aku siap berjuang, jika kamu juga siap.”

Dengan mengirimkan pesan itu, Nara merasa seolah-olah ia telah membuka pintu yang sebelumnya tertutup rapat. Pintu itu bukan hanya untuk Zara, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Dia tahu bahwa hubungan ini tidak akan mudah, tetapi dia tidak bisa membiarkan perasaan yang telah terbangun begitu lama hanya berhenti begitu saja.

Setelah beberapa jam, telepon dari Zara akhirnya berbunyi. Nara segera menjawabnya, dan suara Zara yang lembut terdengar di telinganya.

“Nara, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku merasa kita sudah banyak kehilangan waktu. Aku ingin memperbaiki semuanya, bahkan jika itu berarti kita harus melewati banyak hal yang sulit.” Suara Zara terdengar begitu tulus, seolah-olah ia sedang membuka hati yang telah lama terkunci.

Nara menelan ludah. Ada ketegangan yang tergantung di udara, namun di sisi lain, ada perasaan lega yang muncul. Mereka sudah lama menunggu percakapan ini, dan sekarang akhirnya mereka bisa membicarakan semua hal yang selama ini dipendam.

“Aku juga merasa seperti itu, Zara. Kita sudah terlalu lama terjebak dalam kesibukan masing-masing, dan aku merasa kita mulai kehilangan arah. Tapi aku ingin mencoba lagi. Aku ingin kita punya peluang kedua.” Nara berkata dengan suara yang penuh tekad.

Percakapan itu berlangsung lama, dan meskipun tidak ada janji manis yang diucapkan, keduanya merasa seperti ada harapan baru yang muncul. Mereka berdua sepakat untuk memberikan satu kesempatan lagi, untuk berjuang bersama-sama. Namun, mereka tahu bahwa hubungan mereka tidak akan bisa bertahan hanya dengan kata-kata. Mereka perlu melakukan lebih dari sekadar berbicara, mereka perlu beraksi.

“Kita harus saling memberi ruang, tetapi juga memberi waktu untuk satu sama lain,” Zara mengatakan dengan suara lembut. “Kita harus mengerti bahwa kesibukan kita masing-masing bukan alasan untuk menjauh, tetapi sebagai tantangan yang harus kita hadapi bersama.”

Nara mengangguk meskipun Zara tidak bisa melihatnya. Ia merasa bahwa kata-kata itu sangat bijaksana. Jarak dan waktu memang menguji hubungan mereka, tetapi dengan niat dan usaha yang sama, mereka bisa melalui semuanya.

Setelah percakapan itu, keduanya mulai menyusun rencana untuk melanjutkan hubungan mereka. Mereka tahu bahwa peluang kedua bukan berarti segala sesuatu akan langsung berjalan mulus. Mereka perlu menetapkan beberapa aturan baru, baik itu tentang bagaimana mereka berkomunikasi, seberapa sering mereka akan bertemu, atau bagaimana mereka akan menghadapi masalah yang muncul di tengah jalan.

“Aku ingin kita lebih terbuka dengan satu sama lain,” Zara berkata. “Aku ingin kita berbicara tentang perasaan kita lebih sering, dan jangan biarkan masalah menumpuk.”

“Aku setuju,” Nara menjawab. “Kadang-kadang kita terlalu sibuk dengan hidup kita sendiri dan lupa bahwa kita harus melibatkan satu sama lain dalam keputusan-keputusan kecil, bukan hanya keputusan besar.”

Mereka sepakat untuk lebih menghargai waktu yang mereka miliki bersama, meskipun terbatas. Mereka juga berkomitmen untuk lebih terbuka tentang perasaan masing-masing, tanpa rasa takut atau khawatir akan menyinggung perasaan satu sama lain.

Namun, meskipun mereka sudah merencanakan langkah-langkah tersebut, keduanya tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidak akan mudah. Terlebih lagi, ada banyak hal yang harus dihadapi di luar kendali mereka. Kesibukan kuliah, pekerjaan, dan tekanan sosial bisa saja mengganggu komitmen yang baru mereka bangun.

Namun, di tengah ketidakpastian itu, mereka merasa lebih kuat. Mereka berdua merasakan cinta yang tulus dan keinginan untuk mempertahankan hubungan ini, apa pun yang terjadi. Peluang kedua ini tidak datang begitu saja—mereka harus berjuang untuk itu.

Beberapa minggu berlalu setelah mereka membuat komitmen untuk memberi hubungan mereka peluang kedua. Meskipun ada perubahan yang positif, rintangan tetap saja muncul. Kesibukan Zara yang semakin padat membuatnya sulit untuk menemukan waktu untuk berkomunikasi lebih sering dengan Nara. Begitu juga dengan Nara, yang terkadang merasa kesepian karena hanya bisa berhubungan dengan Zara melalui pesan singkat.

“Apa kita benar-benar bisa menghadapinya kali ini?” Nara bertanya pada dirinya sendiri saat ia menatap layar ponselnya, menunggu balasan dari Zara yang terasa semakin lama.

Suatu malam, setelah beberapa hari tidak ada kabar dari Zara, Nara merasa frustasi. Ia tidak ingin menyerah, tetapi ia merasa seperti dia berada dalam hubungan yang hanya satu arah. Tidak ada komunikasi yang cukup, tidak ada kehangatan yang bisa dirasakan, hanya kata-kata kosong di ujung layar ponsel.

Namun, sebelum ia memutuskan untuk mengirim pesan yang penuh dengan keluhan, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Zara.

Zara: “Nara, aku minta maaf. Aku tahu aku telah mengecewakanmu dengan tidak memberi waktu yang cukup. Aku sibuk, dan aku merasa semakin jauh darimu. Tapi aku ingin berubah. Aku benar-benar ingin kita berhasil.”

Nara merasa terharu membaca pesan itu. Meskipun ada rasa sakit yang tersembunyi, ada juga harapan yang mulai tumbuh. Mereka berdua sedang berjuang bersama, dan meskipun tidak sempurna, mereka masih berusaha.

“Aku tahu, Zara. Aku juga merasa terasing. Tapi aku ingin kita tetap berusaha. Kita tidak boleh menyerah begitu saja.”

Dengan kata-kata itu, Nara merasa seperti mereka kembali berada di jalur yang benar. Peluang kedua ini bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan tentang usaha untuk tetap berjalan meski ada rintangan.

Pagi itu, Nara duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong. Meskipun pekerjaan dan tugas kuliah memanggil, pikirannya tetap tertuju pada Zara. Sudah seminggu penuh mereka terpisah, dan meskipun ada beberapa pesan singkat, rasanya seperti ada dinding besar yang menghalangi mereka berdua. Setiap kali ia membuka aplikasi pesan, hatinya berdegup kencang—berharap ada pesan dari Zara, yang tak kunjung datang.

Nara sudah mengirim pesan terakhir minggu lalu. Ia tahu bahwa mungkin Zara sedang sibuk, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hati Nara. Pesan itu adalah bentuk keputusasaan, keinginan untuk menyelesaikan kebuntuan yang ada di antara mereka. Namun, setelah mengirim pesan tersebut, Nara merasa seperti ia sudah melepaskan sebagian dari beban yang ia rasakan.

Ketika ponselnya berbunyi, Nara hampir tidak percaya melihat nama Zara di layar.

Zara: “Nara, aku tahu kita sudah lama tidak bicara dengan baik. Aku merasa sangat kehilanganmu. Aku ingin kita memberi hubungan ini peluang kedua. Aku tahu itu tidak akan mudah, tapi aku ingin berjuang bersamamu, dengan segala kekurangan kita.”

Nara membaca pesan itu berulang kali, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Rasa rindu yang selama ini ia tahan kini muncul begitu kuat. Namun, ada juga rasa cemas, takut kalau apa yang Zara katakan hanyalah ungkapan sementara, tanpa keinginan sungguh untuk bertahan. Tetapi satu hal yang pasti, ia tidak bisa membiarkan hubungan ini berakhir tanpa perjuangan lebih. Dengan penuh harap, Nara mulai mengetik balasan.

Nara: “Aku juga merindukanmu, Zara. Kita memang sudah terjebak dalam ketidakpastian ini, dan aku tidak ingin kita terus begini. Aku siap memberimu peluang kedua, jika kamu juga siap.”

Setelah mengirimkan pesan tersebut, Nara merasa sedikit lebih tenang, meskipun ketegangan masih ada. Setiap kata yang ditulis adalah sebuah keputusan, sebuah langkah besar untuk membuka kembali kesempatan yang sempat tertutup.

Beberapa jam kemudian, Nara menerima panggilan dari Zara. Suaranya terdengar sedikit cemas, tetapi juga ada ketulusan yang kuat di dalamnya.

“Nara,” suara Zara terdengar begitu lembut, “Aku minta maaf. Aku tahu aku sudah terlalu lama menjauh. Aku merasa sangat bingung dan takut kalau kita tidak akan bisa menghadapinya. Tapi aku ingin mencoba, aku ingin berjuang bersama lagi.”

Mendengar itu, Nara merasa sebuah beban yang berat perlahan terangkat. Ia tahu bahwa apa yang Zara katakan bukan hanya sebuah kata-kata kosong. Keinginan untuk memperbaiki hubungan itu tulus, meskipun dia tidak tahu bagaimana cara tepat untuk melakukannya. Namun, satu hal yang jelas—mereka berdua masih ingin ada di dalam hidup satu sama lain.

“Aku juga ingin itu, Zara,” Nara menjawab dengan suara yang sedikit serak. “Aku merasa kita sudah terjebak dalam banyak kesulitan. Tapi aku yakin, jika kita benar-benar ingin berjuang, kita bisa melewatinya.”

Percakapan itu berlangsung cukup lama, membahas segala hal yang selama ini mereka pendam. Mereka berbicara tentang perasaan masing-masing, tentang kerinduan yang tidak bisa mereka ungkapkan, dan tentang bagaimana mereka bisa lebih saling mendukung. Tidak ada janji manis yang diucapkan, tetapi ada harapan yang lahir kembali.

“Aku tahu kita harus lebih terbuka satu sama lain,” Zara melanjutkan. “Kita tidak bisa terus-terusan terjebak dalam kesibukan kita dan hanya berkomunikasi melalui pesan. Kita perlu bertemu lebih sering, berusaha lebih keras.”

“Aku setuju,” Nara menjawab. “Kadang-kadang aku merasa kita hanya berbicara karena kebiasaan, bukan karena kita benar-benar ingin saling berbagi. Aku ingin lebih dari itu.”

Mereka berdua sepakat untuk memberi satu sama lain lebih banyak perhatian, untuk tidak membiarkan jarak atau kesibukan menghalangi hubungan mereka. Mereka juga sepakat untuk lebih sering bertemu, walaupun hanya dalam waktu yang singkat, agar mereka bisa menjaga ikatan yang sudah mereka bangun.

Setelah percakapan yang membuka banyak hal tersebut, Nara dan Zara mulai menyusun rencana untuk melanjutkan hubungan mereka. Mereka menyadari bahwa hubungan yang sudah teruji oleh waktu dan jarak ini tidak bisa dilanjutkan hanya dengan ucapan-ucapan manis saja. Mereka harus berusaha lebih keras. Mereka mulai merencanakan bagaimana mereka akan mengatur waktu untuk lebih sering berkomunikasi, bagaimana mereka bisa menyeimbangkan kesibukan masing-masing, dan bagaimana mereka akan saling mendukung dalam menghadapi setiap tantangan yang datang.

Mereka memutuskan untuk lebih terbuka satu sama lain—untuk berbicarakan perasaan mereka tanpa takut akan penolakan atau disalahpahami. Zara juga meminta Nara untuk lebih sabar dengan kesibukannya, sementara Nara meminta Zara untuk lebih sering memberi kabar, meskipun hanya untuk beberapa menit.

“Aku ingin kita lebih sering saling memberi kabar,” Nara berkata. “Bukan hanya tentang hal besar, tapi juga hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup kita. Kita perlu merasa bahwa kita masih ada untuk satu sama lain.”

“Aku mengerti,” Zara menjawab. “Aku akan berusaha lebih baik lagi. Aku tidak ingin kita kehilangan kesempatan ini.”

Mereka tahu bahwa ini bukanlah sebuah janji yang mudah ditepati, tetapi mereka juga tahu bahwa jika mereka tidak berusaha, hubungan ini akan segera memudar. Mereka tidak bisa membiarkan waktu dan jarak menjadi alasan mereka untuk menyerah.

Beberapa minggu berlalu setelah mereka memberi hubungan mereka peluang kedua. Mereka berdua merasa lebih dekat, tetapi realitas hidup kadang terasa lebih keras daripada yang mereka bayangkan. Zara masih sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya, sementara Nara juga terjebak dalam rutinitas yang sama. Mereka berusaha untuk tetap menjaga komunikasi, tetapi kadang-kadang, kesibukan membuat mereka tidak bisa berbicara selama beberapa hari. Ini mulai menimbulkan kekhawatiran di hati Nara.

Suatu malam, setelah beberapa hari tanpa kabar dari Zara, Nara mulai merasa kecewa. Ia tahu bahwa Zara sibuk, tetapi perasaan kesepian itu datang begitu kuat. “Apakah Zara benar-benar berusaha seperti yang dia katakan?” pikir Nara.

Dengan perasaan cemas, Nara memutuskan untuk menghubungi Zara. Ia tidak ingin terus merasakannya tanpa memberi tahu perasaannya.

“Zara,” Nara mengirim pesan singkat, “Aku merasa kita semakin jauh. Aku tahu kamu sibuk, tapi rasanya kita hanya berbicara ketika ada waktu luang. Aku tidak ingin hubungan ini berjalan seperti itu.”

Beberapa menit kemudian, Zara membalas pesan itu dengan cepat.

Zara: “Nara, aku minta maaf. Aku tahu aku harus lebih memberikan perhatian. Aku merasa terjebak dalam rutinitas, dan aku tidak ingin kita kehilangan kesempatan ini. Aku ingin lebih baik lagi.”

Nara membaca pesan itu dan merasakan kelegaan sedikit, tetapi ia juga merasa masih ada yang kurang. Meskipun Zara sudah meminta maaf dan mengakui kesalahannya, Nara merasa tidak cukup hanya dengan kata-kata. Mereka perlu aksi nyata—bukan sekadar janji-janji yang mengambang.

Nara: “Aku ingin kita benar-benar berusaha, Zara. Bukan hanya kata-kata. Aku ingin kita memberi waktu untuk saling bertemu, bukan hanya mengandalkan pesan atau panggilan.”

Zara akhirnya mengirimkan pesan panjang yang menunjukkan penyesalannya, dan ia berjanji untuk lebih berusaha. Namun, kali ini, Nara tidak hanya ingin mendengar kata-kata. Ia ingin melihat perubahan nyata.*

Bab 6: Menghadapi Kenyataan

Pertemuan kembali menjadi titik balik bagi Nara dan Zara untuk saling mengungkapkan perasaan mereka yang selama ini tertunda.Kedua tokoh utama ini harus menghadapi kenyataan bahwa meskipun cinta mereka kuat, dunia mereka mungkin telah berubah terlalu banyak untuk memungkinkan mereka melanjutkan hubungan yang dulu sempat tertunda. Mereka harus membuat pilihan apakah mereka akan tetap bersama atau melepaskan satu sama lain demi kebahagiaan mereka sendiri.

Keputusan besar tentang apakah cinta mereka bisa bertahan atau harus ditinggalkan.

Nara duduk di ruang tamunya, tangan terlipat di depan wajah. Pikirannya terganggu oleh kenyataan yang semakin nyata: hubungan yang ia jalani dengan Zara tidak semudah yang ia bayangkan. Meskipun mereka berusaha memberikan peluang kedua, kehidupan nyata kembali menguji keduanya. Keinginan untuk memperbaiki hubungan yang rusak bertemu dengan tantangan yang datang tak terduga. Jarak yang mereka coba jembatani kini menjadi semakin lebar, dan segala upaya mereka untuk lebih terbuka dan sering bertemu seakan menemui jalan buntu.

Sudah hampir dua bulan sejak mereka sepakat untuk memberi hubungan mereka peluang kedua. Awalnya, Nara merasa penuh harapan. Mereka mulai lebih sering berbicara dan merencanakan waktu bersama, meskipun kesibukan masing-masing masih menjadi hambatan. Namun, kenyataan yang mereka hadapi jauh lebih kompleks daripada yang mereka kira.

Zara, yang dulu selalu menjadi orang yang penuh semangat dan energik, kini tampak lebih pendiam dan sering terlihat kelelahan. Nara tidak bisa menghindari perasaan khawatir yang menggelayuti hatinya. Apakah Zara merasa tertekan dengan upaya memperbaiki hubungan ini? Ataukah kesibukan hidupnya yang semakin meningkat membuatnya kehilangan arah?

Di sisi lain, Nara juga merasa kelelahan. Kuliah yang semakin sulit, pekerjaan paruh waktunya yang menuntut, dan berusaha untuk memberi perhatian pada Zara—semuanya menguras energi yang ia miliki. Setiap kali ia mencoba untuk menghubungi Zara, ada ketegangan di antara mereka. Percakapan yang dulu mengalir lancar kini terasa lebih seperti kewajiban, bukan sebuah kebersamaan yang tulus.

Hari itu, ketika Nara memeriksa ponselnya, ia melihat sebuah pesan dari Zara. Hatinya berdebar. “Apakah ini kabar baik?” pikirnya. Namun, setelah membaca pesan tersebut, rasa cemas kembali menguasai hatinya.

Zara: “Nara, aku perlu waktu untuk berpikir. Aku rasa aku sudah terlalu banyak terbagi antara pekerjaan, kuliah, dan hubungan kita. Aku merasa semakin jauh dari kita berdua. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.”

Membaca pesan itu, Nara merasa seperti ada dinding yang semakin tinggi di antara mereka. Rasa kecewa dan bingung mencampur aduk di dalam dirinya. Apakah hubungan mereka memang sudah tak bisa diselamatkan? Apakah mereka benar-benar bisa menghadapinya, seperti yang mereka katakan sebelumnya?

Tanpa menunggu lebih lama, Nara segera membalas pesan Zara.

Nara: “Zara, aku juga merasa kita mulai terpisah. Aku tahu kita berusaha, tapi rasanya semakin sulit. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku merasa kita perlu berbicara lebih serius tentang ini.”

Setelah mengirim pesan itu, Nara merasa kelelahan yang luar biasa. Apakah ia benar-benar siap untuk menghadapi kenyataan yang mungkin akan muncul dari percakapan ini? Ketakutan itu ada, tetapi ia tahu bahwa mereka perlu berhadapan dengan kenyataan.

Beberapa jam kemudian, Zara menghubungi Nara. Suara Zara di telepon terdengar berat, penuh beban yang sulit disembunyikan. “Nara, aku minta maaf kalau aku membuatmu bingung. Aku cuma merasa kita semakin menjauh. Aku tidak bisa memaksakan diriku untuk terus bertahan tanpa tahu apa yang sebenarnya kita perjuangkan. Aku tidak ingin hubungan ini berakhir dengan rasa saling menyalahkan.”

Nara merasakan beban yang sama beratnya. Di satu sisi, ia ingin sekali memperbaiki semuanya, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan upaya sepihak.

“Aku paham, Zara,” Nara menjawab dengan suara perlahan, mencoba untuk menenangkan dirinya. “Aku merasa terjepit antara perasaan dan kenyataan. Aku ingin kita bertahan, tapi aku juga merasa seperti kita berdua berada dalam jalan yang berbeda.”

Percakapan itu berlanjut dengan penuh ketegangan. Mereka mengungkapkan kekhawatiran masing-masing, mencoba untuk mengidentifikasi akar masalah yang mengganggu hubungan mereka. Zara merasa terlalu banyak tekanan dalam hidupnya. Kuliah yang semakin menumpuk, pekerjaan yang tak ada habisnya, dan ditambah dengan usaha untuk menjaga hubungan dengan Nara yang semakin terasa berat. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara menyeimbangkan semuanya.

Sementara itu, Nara merasa tidak ada cukup waktu untuk dirinya sendiri. Ia merasa hubungan ini mulai menguras emosinya. Setiap percakapan yang diharapkan menjadi momen untuk saling mendukung malah berakhir dengan perasaan kecewa dan bingung.

“Aku rasa kita berdua butuh waktu untuk memikirkan ini dengan lebih jernih,” Zara akhirnya berkata. “Aku tidak ingin menyakiti kamu, Nara, tapi aku juga tidak ingin terus menyia-nyiakan waktu kita berdua kalau kita tidak bisa menghadapinya.”

“Aku tidak ingin kehilangan kamu, Zara,” Nara menjawab dengan suara yang hampir pecah. “Tapi kita harus jujur pada diri kita sendiri. Kalau kita terus berjalan seperti ini, kita hanya akan semakin terluka.”

Percakapan itu berakhir dengan sebuah kesepakatan—mereka akan memberi ruang satu sama lain untuk berpikir. Tidak ada janji atau harapan kosong, hanya keheningan yang melingkupi keduanya. Masing-masing dari mereka kembali ke rutinitas yang sama, tetapi perasaan yang tertinggal tidak bisa begitu saja dilupakan.

Beberapa hari setelah percakapan itu, Nara merasa seperti ia hidup dalam sebuah rutinitas yang tidak punya arah. Meskipun ia berusaha untuk fokus pada kuliah dan pekerjaan, pikirannya selalu kembali pada Zara. Begitu juga dengan Zara. Mereka berdua merasa seperti terjebak dalam kehidupan yang mereka ciptakan sendiri, tetapi tidak ada ruang untuk diri mereka sendiri atau untuk hubungan mereka.

Nara menyadari bahwa kenyataan yang mereka hadapi lebih rumit daripada yang ia duga. Dulu, hubungan mereka terasa penuh gairah dan harapan, tetapi sekarang, segala sesuatunya terasa kosong. Mereka berdua berjuang untuk menyeimbangkan kehidupan mereka, tetapi pada akhirnya, perasaan mereka satu sama lain mulai memudar.

Namun, satu hal yang tidak bisa disangkal adalah bahwa mereka saling mencintai. Meski ada banyak keraguan dan kebingungan, cinta itu tetap ada, meski mungkin tidak bisa lagi menjadi satu-satunya alasan mereka untuk bertahan.

Di sisi lain, Zara juga mulai menyadari bahwa hidupnya yang penuh dengan tekanan telah mempengaruhi hubungan mereka. Ia merasa terjebak dalam sebuah spiral yang tidak tahu bagaimana cara keluar. Kuliah yang menuntut, pekerjaan yang semakin menguras waktu dan energi, dan hubungan yang semakin rapuh membuatnya merasa seperti ia sedang berjalan sendirian. Meskipun ia mencintai Nara, ia merasa terlalu lelah untuk berjuang lebih jauh.

“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan,” Zara berbicara kepada dirinya sendiri di tengah malam yang sunyi. “Aku merasa terperangkap antara apa yang aku inginkan dan apa yang aku butuhkan.”

Setelah beberapa hari penuh kebingungan, Nara akhirnya memutuskan untuk menghubungi Zara. Ia tahu mereka tidak bisa terus berlarut-larut dalam ketidakpastian ini. Mereka harus jujur dengan satu sama lain dan menghadapi kenyataan yang ada, apa pun itu.

“Zara, kita harus berbicara lagi,” Nara mengirim pesan. “Kita tidak bisa terus begini. Kita perlu memutuskan apa yang sebenarnya kita inginkan.”

Zara membalas pesan itu dalam beberapa menit. “Aku tahu, Nara. Aku merasa terjebak, dan aku tidak ingin kita terus saling menyakiti.”

Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe pada sore hari. Ketika mereka bertemu, suasana di antara mereka terasa kaku. Tidak ada pelukan hangat atau senyuman seperti yang dulu mereka bagi. Mereka hanya duduk di sana, saling menatap, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaan mereka.

“Aku rasa kita sudah sampai di titik di mana kita harus memilih,” Nara akhirnya berkata, suaranya penuh dengan kepedihan. “Kita harus memutuskan apakah kita ingin berjuang lebih keras atau melepaskannya.”

Zara mengangguk pelan. “Aku mencintaimu, Nara, tapi aku rasa kita sudah terlalu jauh terpisah. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara kita menghadapinya.”

Saat itu, Nara merasa ada sesuatu yang pecah dalam hatinya. Mereka berdua saling mencintai, tapi kenyataan yang mereka hadapi terlalu keras. Mereka tidak bisa mengubah dunia di sekitar mereka, dan hubungan ini semakin sulit untuk dipertahankan.***

———-THE END———–

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: # Cinta dan Kehidupan#Jarak Emosional#Kesulitan dalam Hubungan#Peluang KeduaHubungan Cinta
Previous Post

SAAT CINTA TUMBUH

Next Post

DENDAM DALAM HATI YANG TERLUKA

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
DENDAM DALAM HATI YANG TERLUKA

DENDAM DALAM HATI YANG TERLUKA

SALING MENUNGGU, SALING MENCINTAI

SALING MENUNGGU, SALING MENCINTAI

PAHIT NYA DENDAM CINTA

PAHIT NYA DENDAM CINTA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id