Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

cinta yg menghancur kan hati ku

cinta yg menghancur kan hati ku

SAME KADE by SAME KADE
April 24, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 18 mins read
cinta yg menghancur kan hati ku

Daftar Isi

  • BAB 1 Pertemuan yang Mengubah Takdir
  • BAB 2 Pengkhianatan yang Tak Terduga
  • BAB 3 LUKA YANG MENGUBAH SEGALANYA
  • BAB 4 KEMBALINYA SANG PENDENDAM
  • BAB 5 PERMAINAN BERBAHAYA DIMULAI
  • BAB 6 LUKA YANG TAK TERLUPAKAN
  • BAB 7 Kebenaran yang Terungkap
  • BAB 8 Dendam yang Terbayar atau Penyesalan

BAB 1 Pertemuan yang Mengubah Takdir

Hujan turun rintik-rintik di kota ini, menambah kesan sendu di sore yang seharusnya cerah. Langit abu-abu seakan menjadi saksi bisu pertemuan yang akan mengubah hidup Nayla selamanya. Ia baru saja keluar dari sebuah kafe kecil di sudut jalan setelah menghabiskan waktunya dengan menulis puisi, kebiasaannya sejak lama untuk melampiaskan isi hati yang sering kali sulit diungkapkan.

Saat berjalan di trotoar, ia merapatkan jaketnya, menghindari udara dingin yang mulai menusuk kulit. Tanpa sengaja, seseorang menabraknya, membuat cangkir kopi yang dibawanya terjatuh dan pecah berantakan. Nayla mundur selangkah, menatap laki-laki di depannya yang juga tampak terkejut.

“Maaf, saya tidak sengaja,” ujar pria itu dengan nada penuh penyesalan. Ia segera berjongkok untuk memunguti pecahan gelas di jalanan yang basah.

Nayla masih terpaku, memperhatikan wajah pria itu. Rahangnya tegas, matanya tajam, tetapi ada kelembutan di sana yang membuatnya sulit berpaling. Rambutnya sedikit berantakan, tampak seperti seseorang yang baru saja diterpa angin kencang.

“Tidak apa-apa. Sepertinya saya juga kurang berhati-hati,” jawab Nayla akhirnya, ikut berjongkok membantu membersihkan kekacauan itu.

Pria itu tersenyum tipis. “Saya Arkan. Boleh saya mengganti minumanmu? Sebagai permintaan maaf?”

Nayla ragu sejenak, tetapi entah mengapa ada sesuatu dalam diri Arkan yang membuatnya mengangguk. “Baiklah. Saya Nayla.”

Arkan membawa Nayla kembali ke dalam kafe, memesan minuman baru untuknya, dan mereka duduk di salah satu sudut ruangan yang lebih sepi. Percakapan pun mengalir begitu saja, seperti dua orang yang sudah lama mengenal satu sama lain. Nayla yang biasanya tertutup merasa nyaman berbicara dengan Arkan. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Nayla ingin mengenal pria itu lebih jauh.

“Jadi, kamu sering datang ke sini?” tanya Arkan, menyeruput kopinya perlahan.

Nayla mengangguk. “Ya, aku suka menulis di sini. Rasanya lebih tenang.”

“Menulis? Kamu seorang penulis?” tanyanya dengan nada tertarik.

Nayla tersenyum tipis. “Bukan. Aku hanya suka menulis puisi. Semacam hobi, mungkin.”

Arkan mengangguk, matanya berbinar. “Aku juga suka membaca puisi. Mungkin suatu saat aku bisa membaca karyamu?”

Nayla tertawa kecil. “Mungkin. Tapi jangan berharap terlalu banyak, puisiku tidak sehebat itu.”

Percakapan mereka terus berlanjut, hingga Nayla melupakan waktu. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada Arkan. Cara dia berbicara, mendengarkan, dan sesekali melempar senyuman, membuat hati Nayla bergetar tanpa alasan yang jelas. Seolah pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang besar, sesuatu yang akan mengubah hidupnya.

Ketika akhirnya mereka keluar dari kafe, hujan sudah berhenti. Langit mulai menunjukkan warna keemasan saat matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung tinggi.

“Terima kasih untuk kopinya,” ucap Nayla sambil tersenyum.

Arkan menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar kata perpisahan. “Boleh aku meminta nomor ponselmu? Mungkin kita bisa bertemu lagi lain waktu?”

Nayla terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia memberikan nomor ponselnya tanpa berpikir panjang. Entah mengapa, ada perasaan bahwa ini bukanlah pertemuan terakhir mereka.

Saat Arkan melangkah pergi, meninggalkan Nayla yang masih berdiri di trotoar, gadis itu tidak tahu bahwa hatinya yang baru saja ia buka perlahan akan hancur berkeping-keping di tangan pria itu. Dan pertemuan sederhana di bawah rintik hujan ini akan menjadi awal dari kisah cinta yang penuh luka dan dendam.

Nayla tersenyum kecil, menatap layar ponselnya yang kini menyimpan nomor seseorang yang mungkin akan mengubah hidupnya—entah menjadi kebahagiaan, atau malah kehancuran yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

BAB 2 Pengkhianatan yang Tak Terduga

Malam itu, Nayla mengenakan gaun berwarna biru muda yang dipilihnya dengan hati-hati. Ia ingin memberikan kejutan kecil untuk Arkan, lelaki yang selama ini mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan. Hubungan mereka sudah berjalan hampir dua tahun, dan Nayla merasa semakin yakin bahwa Arkan adalah pria yang tepat untuknya.

Hujan gerimis menemani langkah Nayla saat ia tiba di restoran tempat Arkan berjanji akan menemuinya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena gugup, melainkan karena ia terlalu bersemangat untuk melihat senyum Arkan setelah sekian lama mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun, saat melangkah masuk ke dalam restoran, langkahnya terhenti di depan sebuah meja yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Di sana, Arkan duduk bersama seorang wanita cantik bergaun merah, saling menggenggam tangan di atas meja dengan penuh kelembutan. Senyum pria itu begitu hangat, sama seperti yang selalu ia berikan pada Nayla. Wanita itu tertawa kecil ketika Arkan membisikkan sesuatu di telinganya. Hati Nayla seakan berhenti berdetak. Ia mengenali wanita itu. Keira, teman lama Arkan yang dikatakan sudah lama tinggal di luar negeri.

Pikiran Nayla berputar. Ini tidak mungkin. Arkan mencintainya. Arkan adalah pria yang selalu berjanji tidak akan pernah menyakitinya. Tapi, apa yang dilihatnya saat ini adalah bukti nyata bahwa semua janji itu tak lebih dari kebohongan. Matanya panas, dadanya terasa sesak. Seolah ada duri yang menusuk hatinya dengan begitu dalam.

Nayla menggenggam erat ponselnya, mencoba menahan diri untuk tidak membuat keributan di tempat umum. Dengan tangan gemetar, ia mengambil napas dalam-dalam lalu berbalik, melangkah keluar sebelum air matanya tumpah. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia mendengar sesuatu yang menghancurkan hatinya lebih dari apapun.

“Aku akan segera menyelesaikan semuanya, Keira. Setelah itu, aku akan bersamamu selamanya,” ujar Arkan.

“Benarkah? Lalu bagaimana dengan Nayla?” tanya Keira dengan suara lembut namun penuh rasa penasaran.

Arkan terkekeh pelan. “Dia hanya pelarian. Aku bersamanya hanya karena dia mudah dikendalikan. Lagipula, aku sudah bosan.”

Dunia Nayla seakan runtuh seketika. Napasnya tercekat, lututnya melemas. Ia tak pernah menyangka bahwa lelaki yang selama ini ia cintai, yang ia percayai sepenuh hati, akan mengatakan hal sekejam itu tentangnya. Tangannya bergetar hebat. Ia ingin menerjang masuk, ingin menghancurkan semua yang ada di depannya, ingin menampar wajah pria itu sekeras mungkin. Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah berdiri dalam diam, merasakan hatinya hancur berkeping-keping.

Dengan langkah gontai, Nayla berjalan menjauh dari restoran. Hujan kini turun lebih deras, seakan menangisi luka yang baru saja mengoyak hatinya. Ia tak peduli tubuhnya basah, tak peduli ponselnya berbunyi berkali-kali—kemungkinan besar dari Arkan yang bertanya mengapa ia belum datang. Semuanya terasa hampa.

Sesampainya di apartemennya, Nayla menjatuhkan diri di lantai. Isak tangisnya pecah. Ia merasa begitu bodoh karena telah mempercayai Arkan dengan sepenuh hati. Semua kenangan indah yang mereka lalui bersama kini terasa seperti mimpi buruk yang tak ingin diingat. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan suara tangis agar tidak terlalu keras, tetapi sia-sia.

Pikirannya dipenuhi oleh dendam. Arkan tidak bisa begitu saja memperlakukannya seperti ini. Tidak setelah semua yang telah ia korbankan. Ia menatap bayangannya di cermin. Mata yang sembab, wajah yang penuh kesedihan. Ini bukan dirinya. Ini bukan Nayla yang kuat dan mandiri.

Dengan tangan gemetar, ia menyeka air matanya. “Aku akan membalas semuanya, Arkan,” bisiknya penuh tekad. “Kau akan merasakan sakit yang lebih dari ini.”

Malam itu, hujan semakin deras, dan bersama derasnya hujan, hati Nayla berubah. Cinta yang selama ini ia miliki telah hancur, berganti dengan bara dendam yang mulai menyala di dalam jiwanya.

BAB 3 LUKA YANG MENGUBAH SEGALANYA

Hujan turun deras malam itu, seolah langit ikut menangisi luka yang menggores hati Nayla. Air matanya mengalir tanpa bisa ia kendalikan, menyatu dengan dinginnya hujan yang membasahi tubuhnya. Ia berdiri di depan apartemen Arkan, menyaksikan sendiri bagaimana pria yang selama ini ia cintai dan percayai sedang memeluk wanita lain dengan penuh kasih sayang. Keira, wanita yang selama ini hanya ia dengar namanya, kini nyata di hadapannya.

Nayla ingin berteriak, ingin meluapkan amarahnya, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Kakinya seakan terpaku di tempat, jantungnya berdegup kencang, dan kepalanya dipenuhi berbagai kenangan yang selama ini ia simpan dengan penuh cinta. Semua janji manis yang pernah diucapkan Arkan kini hanya terdengar seperti kebohongan belaka.

Perlahan, ia mundur beberapa langkah, lalu berbalik dan berlari menerobos hujan. Nafasnya tersengal, dadanya terasa sesak. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari kenyataan pahit yang baru saja ia saksikan. Sesampainya di kamarnya, ia membanting pintu, menjatuhkan tubuhnya ke lantai, lalu menangis sejadi-jadinya. Malam itu, ia merasakan hatinya hancur berkeping-keping, dan ia tahu, ia tidak akan pernah bisa menjadi orang yang sama lagi.

Hari-hari berlalu dengan penuh kehampaan. Nayla tidak lagi tersenyum, tidak lagi tertarik pada hal-hal yang dulu ia sukai. Dunianya terasa gelap, seperti bayangan tanpa cahaya. Ia menghindari semua orang, termasuk sahabat-sahabatnya yang mencoba menghiburnya. Namun, ada satu orang yang terus berusaha mendekatinya, seseorang yang tak pernah ia duga akan hadir dalam hidupnya: Raka.

Raka adalah teman lama Nayla di kampus, seseorang yang selama ini hanya ia anggap sebatas kenalan. Pria itu selalu tenang dan pendiam, tetapi matanya menyimpan ketulusan yang berbeda. Suatu hari, saat Nayla duduk sendirian di kafe, menatap kosong ke luar jendela, Raka datang menghampiri tanpa banyak kata.

“Kamu mau cerita?” tanyanya pelan, meletakkan secangkir teh hangat di hadapan Nayla.

Nayla tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap teh itu, lalu menatap Raka. Ada sesuatu di mata pria itu yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nayla merasa ada seseorang yang benar-benar peduli tanpa menuntut apapun darinya.

“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” ucap Nayla lirih.

“Mulai dari yang paling sakit,” jawab Raka sambil tersenyum tipis.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Nayla menceritakan semua yang ia pendam. Tentang Arkan, tentang pengkhianatan, tentang betapa hancurnya hatinya saat menyaksikan pria yang ia cintai bermesraan dengan wanita lain. Raka mendengarkan tanpa menyela, tanpa menghakimi, hanya memberikan telinga dan hatinya untuk Nayla.

“Aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan,” ucap Nayla akhirnya, suaranya penuh dengan kepahitan. “Aku ingin dia tahu bagaimana rasanya dihancurkan tanpa ampun.”

Raka menghela napas. “Balas dendam tidak akan menyembuhkan lukamu, Nayla. Itu hanya akan membuatmu semakin terjebak dalam kesakitan.”

“Tapi setidaknya itu akan membuatku merasa lebih baik,” balas Nayla cepat.

Raka menatapnya dalam, seakan mencoba memahami setiap luka yang ada di hatinya. “Atau justru semakin menyakitimu?”

Nayla terdiam. Hatinya masih dipenuhi kemarahan, tetapi kata-kata Raka mengusik pikirannya. Ia tahu pria itu benar, tetapi ia tidak bisa begitu saja melupakan apa yang telah Arkan lakukan padanya. Luka ini terlalu dalam, dan satu-satunya cara untuk mengobatinya adalah dengan memastikan Arkan merasakan hal yang sama.

Sejak malam itu, sesuatu dalam diri Nayla berubah. Ia tidak lagi hanya menangis dalam diam. Ia mulai menyusun rencana, mulai berpikir bagaimana cara untuk membuat Arkan merasakan kehancuran yang sama. Jika Arkan bisa bermain dengan perasaan, maka Nayla juga bisa. Jika Arkan bisa menghancurkannya, maka ia juga bisa menghancurkan pria itu.

Ia akan kembali, tetapi bukan sebagai Nayla yang dulu. Ia akan kembali sebagai seseorang yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih berbahaya. Ia akan membuat Arkan jatuh cinta lagi, lalu menghancurkannya tanpa ampun. Luka yang mengubahnya malam itu akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar: balas dendam yang tidak akan pernah Arkan lupakan.

Hujan masih turun deras di luar jendela. Namun kali ini, Nayla tidak lagi menangis. Ia hanya menatap dingin ke arah langit malam, membiarkan kegelapan menyelimuti hatinya yang telah berubah. Dendam telah berakar di dalam dirinya, dan ia siap untuk memainkan permainan ini dengan cara yang tidak pernah Arkan bayangkan.

BAB 4 KEMBALINYA SANG PENDENDAM

Lima tahun telah berlalu sejak pengkhianatan yang menghancurkan hati Nayla. Lima tahun yang ia habiskan untuk menyusun kembali hidupnya, merajut kekuatan dari serpihan luka, dan menyusun rencana yang akan membawa Arkan pada kehancuran yang sama seperti yang pernah ia rasakan.

Kini, ia kembali ke kota yang dulu ia tinggalkan. Bukan sebagai gadis lugu yang hanya tahu mencintai, tetapi sebagai wanita yang telah matang dengan kebijaksanaan dan rencana yang terstruktur. Ia telah berubah—tidak hanya dalam cara berpikirnya, tetapi juga dalam cara ia membawa diri. Rambutnya yang dulu panjang dan tergerai kini dipotong sebahu, memberikan kesan tegas dan elegan. Penampilannya tidak lagi sederhana; ia telah menjadi sosok yang anggun, berkelas, dan penuh pesona.

Bersama seorang pria yang kini menjadi sekutunya, Raka, Nayla kembali ke kota ini dengan langkah penuh perhitungan. Raka adalah pria yang menemani Nayla selama bertahun-tahun, seseorang yang mengetahui segala luka yang tersimpan dalam hatinya. Ia menyayangi Nayla, tetapi ia juga paham bahwa perempuan itu masih memiliki dendam yang belum terselesaikan.

“Apa kau yakin ingin melakukannya?” tanya Raka, tatapannya penuh dengan kecemasan.

Nayla tersenyum tipis, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. “Aku tidak akan tenang sampai dia merasakan rasa sakit yang sama.”

Kota ini tidak banyak berubah sejak terakhir kali ia meninggalkannya. Namun, yang berubah adalah dirinya. Ia telah menjelma menjadi sosok yang berbeda. Saat ia melangkah keluar dari mobil mewahnya, orang-orang memperhatikannya dengan penuh kekaguman. Tidak ada yang mengenali Nayla yang dulu; mereka hanya melihat seorang wanita sukses yang memiliki daya tarik luar biasa.

Langkah pertamanya adalah memastikan bahwa Arkan melihatnya. Ia tahu bahwa pria itu tidak akan melewatkan seseorang sepertinya begitu saja. Ia telah menyusun rencana agar pertemuan pertama mereka terasa seperti kebetulan yang manis, meski sebenarnya semua sudah terencana dengan sempurna.

Di sebuah restoran mewah di pusat kota, Nayla duduk di meja dengan anggun. Ia berpura-pura tidak sadar bahwa seseorang di sudut ruangan tengah memperhatikannya. Arkan. Pria itu tampak terkejut, bahkan mungkin sedikit tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Mata mereka akhirnya bertemu, dan Nayla memberikan senyum tipis yang penuh arti.

Arkan berjalan mendekat, langkahnya penuh dengan keraguan. “Nayla?” suaranya terdengar ragu, seolah ia tidak yakin dengan penglihatannya sendiri.

Nayla mengangkat alisnya, pura-pura terkejut. “Arkan? Wah, sudah lama sekali. Aku hampir tidak mengenalimu.”

Arkan menelan ludahnya. Wanita di hadapannya ini berbeda dengan yang ia kenal dulu. Cara berbicaranya lebih santai, tetapi penuh kendali. Cara ia tersenyum seakan menyimpan sesuatu di baliknya.

“Apa kabarmu?” tanya Arkan, mencoba bersikap biasa saja.

Nayla tersenyum lebih lebar. “Baik, tentu saja. Aku menjalani hidup yang luar biasa setelah… kejadian itu.”

Arkan terdiam. Ia tahu apa yang dimaksud Nayla dengan ‘kejadian itu’. Pengkhianatan yang ia lakukan lima tahun lalu. Saat itu, ia pikir Nayla akan hancur dan tidak akan pernah kembali. Tapi, kini perempuan itu berdiri di hadapannya dengan aura yang lebih kuat dari sebelumnya.

“Senang bisa bertemu lagi,” ujar Nayla dengan nada yang terdengar tulus, tetapi menyimpan sesuatu yang lebih dalam. “Oh, dan aku juga ingin mengenalkanmu pada seseorang.”

Ia menoleh ke arah meja di belakangnya, tempat Raka duduk dengan ekspresi dingin. Pria itu kemudian berdiri dan berjalan mendekat, mengulurkan tangan kepada Arkan.

“Raka,” katanya singkat.

Arkan menyambut jabatan tangan itu dengan canggung. Ada sesuatu tentang Raka yang membuatnya merasa tidak nyaman. Tatapan pria itu tajam, seolah menilai dirinya. Dan dari cara Nayla memperkenalkan Raka, seakan ada hubungan khusus di antara mereka.

Arkan menelan rasa tidak nyaman yang muncul dalam dirinya. “Jadi… kalian?”

Nayla tersenyum misterius. “Ah, tidak usah membahas itu sekarang. Lagipula, kita harus sering bertemu lagi untuk mengobrol lebih banyak, kan?”

Arkan mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi dengan kebingungan. Nayla yang sekarang benar-benar berbeda. Ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami, tetapi di saat yang sama, ia juga tidak bisa mengalihkan pandangannya darinya.

Saat Nayla dan Raka meninggalkan restoran, Raka menoleh ke arahnya. “Apa kau benar-benar ingin bermain api?”

Nayla menatap lurus ke depan, matanya penuh dengan tekad. “Aku tidak bermain api, Raka. Aku sedang menyalakan api yang akan membakar semuanya.”

Hari itu, Arkan tidak menyadari bahwa hidupnya akan berubah. Ia baru saja bertemu dengan wanita yang ia hancurkan lima tahun lalu—tetapi kali ini, Nayla bukan lagi gadis yang bisa ia kendalikan. Ia telah kembali, bukan untuk mencintai, tetapi untuk menghancurkan.

BAB 5 PERMAINAN BERBAHAYA DIMULAI

Nayla menatap dirinya di depan cermin. Wajahnya masih sama seperti dulu, tapi sorot matanya berbeda. Tidak ada lagi kelembutan seorang gadis yang dulu mencintai Arkan sepenuh hati. Kini, matanya dipenuhi tekad dan dendam. Ia telah kembali bukan untuk mencintai, melainkan untuk menghancurkan hati pria yang pernah mengkhianatinya.

Dengan langkah anggun, Nayla memasuki ballroom tempat pesta ulang tahun seorang pengusaha ternama diadakan. Malam itu, ia mengenakan gaun hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna, mempertegas auranya yang elegan sekaligus misterius. Dari sudut ruangan, ia melihat Arkan, pria yang dulu begitu dicintainya, sedang berbicara dengan beberapa kolega bisnisnya. Di sampingnya, Keira berdiri dengan wajah penuh percaya diri, seolah tak ada yang bisa merebut Arkan darinya.

Nayla menarik napas panjang dan melangkah mendekat. Saat matanya bertemu dengan Arkan, pria itu tampak terkejut. Untuk sesaat, Arkan tidak bisa berkata-kata. Nayla tersenyum tipis, memberi salam dengan suara lembut yang menggoda.

“Sudah lama kita tak bertemu, Arkan. Apa kabar?”

Arkan masih terpaku, sebelum akhirnya tersadar dan mencoba bersikap tenang. “Nayla… Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”

“Aku baru kembali ke kota ini,” jawab Nayla, melirik Keira sekilas yang mulai menunjukkan ekspresi tidak nyaman.

Keira melingkarkan tangannya di lengan Arkan dengan posesif. “Sayang, kenalkan aku dengan teman lamamu ini,” katanya dengan senyum yang dipaksakan.

Arkan tampak ragu sejenak sebelum akhirnya memperkenalkan mereka. “Keira, ini Nayla. Kami… pernah dekat dulu.”

“Oh?” Keira tersenyum miring. “Senang bertemu denganmu, Nayla. Aku tunangan Arkan. Kami akan menikah dalam waktu dekat.”

Nayla tetap tersenyum tanpa sedikit pun menunjukkan rasa sakit yang dulu pernah menguasai hatinya. Ia justru menatap Arkan lebih dalam. “Selamat. Sepertinya kau benar-benar sudah menemukan kebahagiaanmu.”

Arkan terdiam. Ada sesuatu dalam cara Nayla berbicara yang membuatnya merasa tidak nyaman. Seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata manisnya. Keira tampaknya menyadari hal yang sama, karena ia semakin erat menggenggam lengan Arkan.

Setelah beberapa basa-basi, Nayla berpamitan dan melangkah pergi, meninggalkan Arkan dalam kebingungan. Namun, itu hanyalah awal dari permainannya.

***

Hari-hari berikutnya, Nayla mulai menjalankan rencananya. Ia memastikan selalu muncul di tempat-tempat yang sering dikunjungi Arkan, menciptakan kebetulan-kebetulan yang membuat pria itu merasa takdir sedang mempertemukan mereka kembali. Sesekali, ia mengirim pesan singkat—tidak terlalu sering, hanya cukup untuk mengusik pikirannya.

Arkan mulai terganggu. Keberadaan Nayla membawa gelombang kenangan yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Setiap tatapan mata Nayla, setiap senyumannya yang samar, membuat Arkan merasa ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka.

Suatu malam, Arkan tidak bisa menahan diri lagi. Ia menghubungi Nayla dan mengajaknya bertemu. Mereka memilih sebuah kafe yang cukup sepi. Arkan tiba lebih dulu, dan ketika Nayla datang, ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wanita itu.

“Kau berubah,” ujar Arkan saat Nayla duduk di hadapannya.

“Masa lalu mengubah seseorang,” jawab Nayla, mengaduk kopinya tanpa benar-benar meminumnya.

Arkan terdiam sesaat sebelum berkata, “Aku… minta maaf. Aku tahu aku telah menyakitimu.”

Nayla tertawa kecil, tetapi ada kepedihan dalam tawanya. “Kau pikir aku masih terluka? Tidak, Arkan. Aku baik-baik saja. Aku sudah melupakan segalanya.”

Arkan menatap Nayla dalam-dalam, mencoba membaca apa yang sebenarnya tersimpan di balik ucapannya. Tapi Nayla terlalu pintar menyembunyikan emosi. Ia membuat Arkan semakin penasaran, semakin ingin mengerti.

Tanpa sadar, Arkan mulai tertarik kembali. Ia tidak menyadari bahwa semua ini adalah bagian dari permainan Nayla, permainan yang perlahan-lahan akan menghancurkannya seperti dulu ia menghancurkan Nayla.

Dan permainan berbahaya ini baru saja dimulai.

BAB 6 LUKA YANG TAK TERLUPAKAN

Malam itu, Nayla duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Angin dingin menerpa kulitnya, tapi tidak mampu menandingi dinginnya hatinya yang masih dipenuhi dendam. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan Arkan—lelaki yang pernah ia cintai sepenuh hati, lelaki yang kini ia permainkan dengan cara yang sama seperti ia dulu dipermainkan.

Arkan benar-benar telah terjerat dalam permainan Nayla. Ia mulai mengabaikan Keira, tunangannya, dan lebih sering menghabiskan waktu bersama Nayla. Arkan mengira semuanya telah membaik, bahwa Nayla telah melupakan masa lalu dan benar-benar memberinya kesempatan kedua. Tapi Nayla tahu, luka yang pernah Arkan goreskan dalam hatinya tak akan pernah hilang. Ia hanya menunggu saat yang tepat untuk membuat Arkan merasakan penderitaan yang sama.

Sore itu, Nayla mengajak Arkan ke sebuah restoran mewah, tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama sebelum semua pengkhianatan terjadi. Restoran itu masih sama seperti dulu, dengan alunan musik jazz yang lembut dan aroma wine yang khas. Arkan tersenyum saat melihat sekeliling. “Aku tak menyangka kau masih mengingat tempat ini,” ujarnya dengan suara lembut.

Nayla tersenyum tipis. “Bagaimana mungkin aku melupakannya?”

Arkan menggenggam tangan Nayla di atas meja. “Aku sungguh menyesal, Nayla. Aku tahu aku telah menyakitimu. Tapi aku ingin kita memulai dari awal. Aku ingin menebus semua kesalahanku.”

Nayla menatap mata Arkan. Seandainya ini terjadi bertahun-tahun lalu, mungkin hatinya akan luluh dengan kata-kata itu. Tapi tidak sekarang. Ia sudah belajar bahwa cinta yang berlandaskan kebohongan hanya akan membawa luka.

“Apa kau benar-benar mencintaiku, Arkan?” tanya Nayla, suaranya terdengar lembut, tapi penuh perangkap.

“Tentu saja, Nay. Aku tidak pernah mencintai seseorang seperti aku mencintaimu.”

Nayla menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Kalau begitu, aku ingin kau membuktikannya.”

Arkan tampak bingung. “Apa yang harus kulakukan?”

Nayla menyandarkan tubuhnya ke kursi, menikmati ekspresi bingung di wajah lelaki itu. “Putuskan Keira. Tinggalkan dia dan datang padaku. Aku ingin kau membuktikan bahwa aku satu-satunya wanita yang kau cintai.”

Arkan terdiam. Wajahnya seketika berubah pucat. Ia memang telah mulai menjauh dari Keira, tapi untuk benar-benar meninggalkannya? Ia tahu betul bahwa Keira dan keluarganya memiliki pengaruh besar dalam bisnis keluarganya. Keira bukan sekadar tunangan, ia adalah batu pijakan yang membuat bisnisnya tetap stabil.

“Nayla… bisakah kita membicarakan ini baik-baik?”

“Baik-baik?” Nayla tertawa sinis. “Kau bilang kau mencintaiku, tapi kau masih menggenggam tangan wanita lain?”

Arkan mencoba menggenggam tangan Nayla lagi, tapi kali ini Nayla menarik tangannya. “Aku butuh waktu,” ujar Arkan lirih.

Nayla tersenyum miring. “Tentu. Ambil waktumu, Arkan. Tapi ingat, aku bukan wanita yang bisa menunggu selamanya.”

Malam itu, Nayla pulang dengan senyum kemenangan. Ia tahu Arkan terjebak dalam dilema. Jika ia memilih Keira, berarti cintanya pada Nayla hanya omong kosong. Jika ia memilih Nayla, maka ia akan kehilangan segalanya. Dan itu adalah tujuan Nayla—membuat Arkan kehilangan semua yang ia anggap berharga.

Hari-hari berikutnya, Nayla semakin sering mendekati Arkan. Ia memberikan perhatian lebih, membangun kenyamanan yang semakin membuat Arkan ragu. Keira mulai curiga dan mencoba berbicara dengan Arkan, tapi lelaki itu semakin menjauh. Keira tidak menyerah, ia menyelidiki sendiri, dan pada akhirnya menemukan bukti bahwa Arkan telah menghabiskan banyak waktu dengan Nayla di belakangnya.

Keira akhirnya menemui Nayla di sebuah kafe. Tatapan matanya penuh dengan amarah, tapi ia berusaha tetap tenang. “Apa yang kau inginkan, Nayla?”

Nayla tersenyum, mengaduk kopinya dengan tenang. “Aku tidak tahu apa yang kau maksud.”

“Jangan pura-pura bodoh. Kau tahu Arkan adalah tunanganku. Kau sengaja mendekatinya untuk apa? Untuk balas dendam?”

Nayla menatap Keira dengan tatapan penuh kemenangan. “Dan jika iya?”

Keira mengepalkan tangannya. “Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hubungan kami.”

Nayla terkekeh. “Kau terlalu terlambat, Keira. Arkan sudah tidak lagi memikirkanmu.”

Keira terdiam. Ia tahu Nayla mungkin benar. Tapi ia juga tahu sesuatu yang Nayla tidak tahu. Ia mendekatkan wajahnya, berbisik dengan nada penuh kesakitan, “Kau pikir kau menang? Tidak, Nayla. Karena pada akhirnya, kau juga akan merasakan sakit yang sama.”

Perkataan itu mengguncang Nayla. Tapi ia segera mengenyahkannya dari pikirannya. Ia sudah terlalu jauh untuk berhenti. Arkan harus merasakan apa yang dulu ia rasakan—kehilangan, kesakitan, dan kehancuran.

Namun yang Nayla tidak sadari, permainan ini tidak hanya menghancurkan Arkan, tapi perlahan juga mulai menggerogoti hatinya sendiri…

BAB 7 Kebenaran yang Terungkap

Hari itu, cuaca mendung menyelimuti kota, seolah mencerminkan perasaan Nayla. Langkahnya terasa berat, setiap jejak yang ia tinggalkan di trotoar seakan memberatkan hatinya. Ia merasa seperti sedang meniti di atas tali yang rapuh, di antara dua dunia yang berbeda: dunia yang penuh dengan dendam yang telah lama ia pelihara dan dunia yang penuh dengan kebenaran yang belum terungkap.

Nayla berhenti sejenak di depan kafe tempat ia dan Arkan pernah bertemu pertama kali. Semua kenangan itu kembali berputar dalam ingatannya, kenangan yang begitu indah, namun juga begitu menyakitkan. Ia bisa merasakan rasa pahit yang masih tertinggal di setiap sudut hatinya. Dendam yang ia rasakan telah membentuk dirinya menjadi sosok yang lebih keras, lebih penuh perhitungan. Namun, saat ini, ia merasa seolah ada sesuatu yang harus diselesaikan.

Pagi itu, Arkan telah menghubunginya, memintanya untuk bertemu. Awalnya, Nayla merasa ragu. Ia sudah terlalu lama bersembunyi di balik perasaan sakit dan dendam yang telah menggerogoti hatinya. Namun, setelah berhari-hari menghindari Arkan, akhirnya Nayla memutuskan untuk menemuinya. Ia ingin melihat apakah rasa sakitnya selama ini benar-benar bisa terobati dengan balas dendam atau justru akan membawa kehancuran yang lebih dalam.

Arkan menunggunya di meja yang biasa mereka duduki, tepat di sudut kafe dengan pemandangan jendela yang menghadap jalan raya. Saat Nayla memasuki kafe, matanya langsung bertemu dengan pandangan Arkan yang terlihat penuh penyesalan. Pria itu tampak berbeda. Tak ada lagi keangkuhan atau sikap percaya diri seperti dulu. Wajahnya tampak lelah, penuh dengan bekas penyesalan yang nyata.

“Duduklah,” kata Arkan, mengangguk ke arah kursi di seberangnya.

Nayla menarik napas panjang dan duduk perlahan, memandangi pria itu dengan hati yang campur aduk. “Kau ingin bicara apa?” tanyanya datar, berusaha menyembunyikan perasaan yang terpendam di dalam hatinya.

Arkan menunduk, tampaknya berjuang keras untuk menemukan kata-kata yang tepat. “Aku tahu aku telah banyak menyakitimu, Nayla. Aku… aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi aku sangat menyesal. Aku tahu aku tidak pantas untuk meminta maaf, tapi aku harus melakukannya. Aku… tidak tahu lagi apa yang terjadi padaku dulu.”

Nayla terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir Arkan. Namun, kata-kata itu tidak mampu menyembuhkan luka di hatinya. Ia sudah terlalu lama menahan semua perasaan ini, dan sekarang, saat Arkan mengungkapkan penyesalan, Nayla merasa perasaannya hanya semakin hancur.

“Apakah itu semua yang ingin kau katakan?” tanya Nayla dengan suara dingin, meskipun hatinya terasa bergejolak. “Apakah dengan meminta maaf kau berharap semuanya akan kembali seperti semula?”

Arkan terdiam, pandangannya jatuh ke meja. “Tidak, Nayla. Aku tahu semuanya sudah berubah. Aku tidak berharap segalanya kembali seperti dulu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Aku salah, aku tahu itu, dan aku minta maaf.”

Nayla menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah mulai menggenang di pelupuk matanya. “Cinta?” kata Nayla pelan. “Kau bilang kau mencintaiku? Lalu kenapa kau pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan? Kenapa kau memilih Keira di atas diriku?”

Arkan terkejut dengan pertanyaan Nayla. Wajahnya memucat, dan akhirnya, ia mengangkat wajahnya untuk menatap Nayla dengan tatapan yang penuh dengan kebingungan dan penyesalan.

“Keira… Aku… aku tidak pernah berniat menyakitimu. Tapi aku terjebak. Mereka memaksaku untuk menikahinya. Keluargaku, Nayla. Mereka tidak memberi pilihan lain. Aku… aku tidak tahu harus berbuat apa. Keira adalah pilihan yang diberikan oleh keluargaku, dan aku merasa aku tidak bisa melawan itu,” kata Arkan dengan suara yang terseok-seok, seolah mengungkapkan rahasia yang telah ia simpan selama ini.

Seketika, udara terasa semakin berat bagi Nayla. Segala sesuatu yang ia percayai tentang hubungan mereka selama ini terungkap dengan cara yang begitu kejam. “Jadi, selama ini kau tidak benar-benar mencintaiku?” tanyanya dengan suara serak, hampir tak percaya.

Arkan menggeleng, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku mencintaimu, Nayla. Tapi aku tidak bisa melawan keluarga. Aku merasa terjebak dalam hidupku. Aku salah, aku tidak berani melawan mereka, dan aku membiarkanmu pergi begitu saja.”

Semua perasaan yang terkubur di dalam hati Nayla akhirnya meledak. “Kau tahu apa yang aku rasakan saat itu? Kau meninggalkanku tanpa memberi penjelasan, Arkan! Kau berbohong padaku! Kau memilih untuk hidup dalam dunia yang kau pilih, dan aku… aku hanya jadi pecundang yang menunggu kepastian yang tak pernah datang.”

Arkan terdiam, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia menyadari bahwa kata-kata yang ia ucapkan tidak akan pernah bisa memperbaiki kerusakan yang telah ia buat.

Nayla menatapnya dengan tatapan yang penuh kebencian dan kesedihan. “Aku sudah cukup mendengarkan penjelasanmu. Tapi semua ini sudah terlambat. Kau telah menghancurkan hatiku, Arkan. Dan sekarang, aku akan membiarkan diriku untuk melanjutkan hidup tanpamu. Tanpa dendam, tanpa penyesalan, hanya untuk diriku sendiri.”

Dengan langkah tegas, Nayla bangkit dari kursinya, meninggalkan Arkan yang masih terdiam di tempatnya. Di luar, hujan mulai turun, seolah alam pun merasakan kegelapan dalam hatinya. Namun, Nayla tahu bahwa ini adalah akhir dari segala rasa sakitnya. Ia telah mendapatkan kebenaran yang selama ini ia cari, dan kini ia siap melangkah menuju kehidupan yang baru.

BAB 8 Dendam yang Terbayar atau Penyesalan

Nayla berdiri di depan cermin besar yang memantulkan bayangannya. Wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum kini tampak lebih keras, lebih dingin. Matanya yang dulu penuh dengan harapan, kini penuh dengan kebencian dan kekosongan. Rambut panjangnya yang tergerai, hitam berkilau, kini terurai dengan kesan tak terurus. Semua yang dulu pernah dia impikan terasa begitu jauh, tergantikan oleh keinginan balas dendam yang telah memakan seluruh dirinya.

Saat Arkan meninggalkan Keira dan kembali kepadanya, Nayla merasa seolah-olah ia telah menang. Semua penderitaan yang ia alami selama ini seolah terbayar lunas. Arkan, pria yang dulu telah menyakitinya dengan pengkhianatan, kini berada di ujungnya. Nayla dapat melihat rasa bersalah di wajahnya, dan itu membuat hatinya terasa dingin. Namun, entah mengapa, ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Sebuah perasaan yang mengganjal, yang tak bisa ia singkirkan begitu saja.

Apa yang selama ini ia cari? Kemenangan atas Arkan atau hanya rasa pembalasan terhadap luka yang tak kunjung sembuh?

Nayla menatap Arkan yang sedang duduk di sofa ruang tamu, tampak terjatuh dalam keputusasaannya. Pria itu, yang dulu begitu penuh percaya diri, kini terlihat rapuh. Rambutnya yang berantakan dan wajahnya yang lelah menunjukkan betapa dalamnya kesalahannya. Arkan, yang dulu meremehkan perasaan Nayla, kini mendapati dirinya terseret dalam perasaan yang sama, rasa sakit yang sama.

“Kenapa kamu kembali? Apa yang kamu harapkan dariku?” kata Nayla, suaranya terdengar lebih datar dari yang ia inginkan. Hatinya terasa terbelah antara keinginan untuk mengakhiri ini semua atau terus membiarkan Arkan merasakan penderitaan.

Arkan menunduk, tidak berani menatap mata Nayla. “Aku tahu aku salah. Aku… Aku tak pernah berniat untuk melukaimu, Nayla. Aku hanya terjebak dalam kebodohanku sendiri. Dan aku tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki semuanya.”

Nayla mengerutkan kening, memandangi Arkan dengan campuran emosi yang tak bisa dia jelaskan. “Memperbaiki? Kau pikir dengan kata-kata itu semua bisa kembali seperti semula? Kau sudah menghancurkanku, Arkan. Kau sudah membuat hatiku mati. Dan kini, kau datang kembali karena apa? Karena aku telah merencanakan semua ini? Apakah kamu berpikir aku akan menerimamu begitu saja?”

Air mata mulai menggenang di mata Arkan, tetapi Nayla tidak merasa kasihan. Ia hanya merasa lebih kuat, lebih berdaya. Ini adalah bagian dari rencananya. Ini adalah bagian dari pembalasan yang selama ini ia rindukan. Arkan, yang dulu menolaknya, kini bergantung padanya, dan itu adalah sesuatu yang menghangatkan hatinya.

Namun, saat Arkan mengulurkan tangannya, ingin meraih Nayla, sebuah rasa asing muncul dalam dirinya. Tangan Nayla terhenti di udara, terombang-ambing antara menerima atau menolaknya. Apa yang ia rasakan kini? Kebencian? Ataukah sesuatu yang lebih dalam, yang sudah lama ia kubur dalam-dalam?

“Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Semua yang bisa aku katakan hanyalah… maafkan aku,” ucap Arkan, hampir berbisik, dengan suara yang terdengar begitu rapuh.

Tapi Nayla hanya diam. Ia merasa jiwanya terperangkap dalam sebuah lingkaran tak berujung. Cinta dan kebencian saling bertarung di dalam dirinya. Seperti api yang menyala, ia bisa merasakan panasnya, tapi ia juga tahu bahwa api itu bisa memusnahkan segalanya.

“Apa yang ingin kau lakukan dengan aku sekarang, Nayla?” Arkan bertanya, suaranya penuh keraguan. “Kau sudah berhasil merusak hidupku, tapi apakah itu membuatmu bahagia?”

Pertanyaan itu menggema dalam hati Nayla. Apakah itu benar? Apakah balas dendam ini benar-benar memberinya kebahagiaan? Nayla memejamkan matanya sejenak, berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Hatinya yang hancur dulu, kini terasa kosong. Selama ini, ia membayangkan bahwa ketika ia berhasil membuat Arkan merasakan penderitaan yang sama, ia akan merasa puas. Namun, kini ia justru merasakan kekosongan yang mendalam. Ternyata, rasa sakit itu tak bisa dibayar dengan penderitaan orang lain.

Dendam yang ia pelihara selama bertahun-tahun tidak mengobati lukanya. Sebaliknya, itu justru mengukir lebih banyak luka baru, luka di dalam dirinya sendiri. Ia mendapati bahwa rasa sakit yang pernah ia rasakan, tidak bisa dihapus begitu saja dengan membiarkan orang lain merasakannya. Semakin ia berusaha membalas, semakin ia merasa terjerat dalam kebencian yang menggerogoti dirinya.

Nayla menatap Arkan dengan tatapan yang penuh kebingungannya sendiri. “Apa yang kau inginkan dariku, Arkan? Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu. Tapi satu hal yang aku tahu, aku sudah terlalu lama terjebak dalam kebencian ini.”

Arkan terdiam, tak bisa berkata-kata lagi. Mereka berdua duduk dalam keheningan, masing-masing merenung. Tidak ada kata-kata yang bisa menghapus waktu yang telah terlewat. Tidak ada janji yang bisa mengembalikan apa yang telah hilang.

Nayla merasa lelah, sangat lelah. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dendam yang selama ini ia bawa ternyata tidak membawa kedamaian, hanya membawa lebih banyak pertanyaan. Ia harus memilih—apakah ia akan terus memegang balas dendam ini, ataukah ia akan melepaskannya, meskipun itu berarti kehilangan bagian dari dirinya sendiri?

“Dendam ini telah membunuhku, Arkan,” katanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. “Mungkin aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu, tapi aku juga tidak ingin terus hidup dalam kebencian ini.”

Arkan menatapnya dengan mata yang penuh penyesalan. “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Aku tidak tahu. Tapi aku tahu, aku harus melepaskannya. Aku harus melepaskanmu.”

Mereka berdua duduk dalam diam, mengetahui bahwa perjalanan mereka bersama telah berakhir. Tapi untuk pertama kalinya, Nayla merasa seperti dirinya bisa bernapas lagi.

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #DendamCinta #Pengkhianatan #BalasDendam #CintaDanDendam #KepercayaanYangHancur
Previous Post

Saudara Ipar, Kekasih Gelapku

Next Post

LANGIT PERTAMA YANG KITA TATAP BERSAMA

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
LANGIT PERTAMA YANG KITA TATAP BERSAMA

LANGIT PERTAMA YANG KITA TATAP BERSAMA

CINTA YANG TIDAK TERKALAHKAN

CINTA YANG TIDAK TERKALAHKAN

HANYA AKU BERTAHAN

HANYA AKU BERTAHAN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id