Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan di Tengah Hujan
Musim hujan tahun ini datang lebih cepat dari biasanya. Di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau, hujan lebat turun tanpa ampun, mengguyur jalanan dan membuat suasana menjadi lebih sepi. Alya, seorang gadis yang baru saja selesai kuliah, sedang berdiri di halte bus, menunggu hujan reda. Langit yang kelabu dan mendung membuatnya merasa lebih sendiri dari biasanya, walaupun sebenarnya ia tidak kesepian. Ia hanya merasa dunia menjadi lebih sunyi setiap kali hujan turun.
Alya bukan tipe orang yang suka bergaul banyak. Ia lebih senang menghabiskan waktu di rumah dengan buku-buku dan secangkir teh hangat. Teman-temannya tahu bahwa ia tidak suka keramaian dan selalu memilih untuk menghindari situasi yang membuatnya canggung. Namun, kali ini hujan datang begitu mendalam, seakan membawa perasaan yang lebih dalam lagi.
“Kenapa selalu hujan saat aku sedang keluar rumah?” gumam Alya dalam hati. Ia menatap jam tangannya, lalu menghela napas. Bus yang biasa ia naiki terlambat datang, dan ia tahu bahwa ia harus menunggu cukup lama sebelum bisa pulang.
Di sisi lain halte, seorang pemuda tampak berdiri dengan raut wajah yang sedikit kebingungan. Ia mengenakan jaket hoodie berwarna biru muda, dengan tangan yang terlilit di saku. Wajahnya terhalang oleh rambut hitam yang sedikit acak-acakan, dan meskipun hujan deras, ia tampak tidak terburu-buru. Alya tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa ada sesuatu yang menarik dari pemuda itu.
Tak lama setelah itu, pemuda itu mendekat dan berdiri di sebelah Alya. “Hujannya nggak berhenti-berhenti, ya?” katanya, memecah keheningan.
Alya menoleh, sedikit terkejut. “Iya,” jawabnya pelan. Ia tidak terbiasa berbicara dengan orang asing, tetapi ada sesuatu dalam cara pemuda itu berbicara yang membuatnya merasa nyaman.
Pemuda itu tersenyum ringan. “Saya baru pindah ke sini. Mungkin sudah terlambat, tapi saya pikir hujan ini memberikan kesan tersendiri.”
Alya mengernyitkan dahi, sedikit bingung. “Pindah ke sini? Maksudnya… ke kota ini?” tanyanya.
“Ya,” jawab pemuda itu, “Saya Farhan. Baru seminggu ini tinggal di sini. Sebelumnya saya tinggal di kota yang lebih besar.”
“Alya,” jawabnya singkat, masih merasa agak canggung, tetapi sesuatu dalam diri Farhan membuatnya merasa ingin lebih banyak berbicara.
“Jadi, apa yang membawa kamu ke kota ini?” tanya Alya dengan suara yang agak lebih ceria. Ia merasa percakapan ini tidak terlalu canggung seperti yang biasanya ia alami dengan orang asing.
Farhan mengangkat bahunya. “Kerja. Saya diundang untuk proyek di sini. Sebenarnya, saya tidak pernah datang ke kota sekecil ini sebelumnya. Cukup menantang, tetapi saya suka suasananya. Di kota besar semuanya terlalu cepat.”
Alya tersenyum tipis. “Di kota kecil begini, hidup terasa lebih pelan. Terkadang, itu yang dibutuhkan. Saya suka ketenangannya.”
Farhan menoleh, memandang Alya dengan lebih seksama. “Jadi, kamu bukan tipe orang yang suka keramaian juga, ya?”
Alya terkejut mendengar kalimat itu. Ia tertawa pelan, merasa sedikit canggung. “Saya lebih suka menikmati waktu sendiri. Hujan ini juga membuat saya merasa nyaman, meskipun sedikit mengganggu aktivitas saya,” jawabnya dengan jujur.
Farhan tertawa kecil. “Hujan memang seperti itu, ya. Selalu datang tanpa peringatan, dan kita hanya bisa bertahan menunggu atau mencoba menikmatinya.”
Percakapan mereka mengalir begitu saja, tanpa ada rasa terbebani. Alya merasa nyaman berbicara dengan Farhan, sesuatu yang jarang ia rasakan ketika bertemu orang baru. Mungkin ini karena Farhan juga tampaknya lebih suka berbicara dengan tenang, seolah-olah dunia di sekitar mereka sedang beristirahat dari kegaduhan.
Tak lama setelah itu, bus yang biasa Alya naiki akhirnya datang, tetapi sebelum Alya sempat melangkah, Farhan bertanya, “Alya, kamu naik bus yang mana?”
“Yang ke arah pusat kota,” jawab Alya sambil melihat papan tujuan di bus yang baru tiba. “Kenapa?”
“Kalau begitu, mungkin kita bisa bareng. Saya juga harus ke sana, kebetulan kita satu arah,” kata Farhan dengan senyum yang lebih lebar.
Alya sedikit terkejut dengan ajakan itu, tetapi merasa ada sesuatu yang membuatnya tidak ragu. “Baiklah, kalau begitu. Ayo,” jawabnya.
Di dalam bus, mereka duduk berdampingan meskipun tempat duduk sangat terbatas karena hujan yang turun membuat banyak orang memilih untuk berteduh di dalam kendaraan. Suasana di dalam bus agak sesak, tetapi Alya merasa nyaman. Farhan mulai bercerita tentang kehidupannya di kota besar sebelum akhirnya pindah, bagaimana ia merasa kesulitan beradaptasi dengan tempo yang cepat, dan bagaimana ia berharap bisa menemukan kedamaian di kota kecil ini.
Alya mendengarkan dengan seksama, sesekali memberikan komentar ringan tentang kehidupannya sendiri. Meski awalnya mereka hanya berbicara tentang cuaca dan kehidupan sehari-hari, percakapan itu mulai lebih personal, lebih dalam. Alya merasa seolah-olah ada ikatan yang mulai terbentuk, meskipun perasaan itu masih samar-samar, ia tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Setelah beberapa menit, bus akhirnya berhenti di tempat yang lebih dekat dengan rumah Alya. Ia berdiri dan mempersiapkan diri untuk turun.
“Terima kasih sudah menemani percakapan ini, Farhan. Saya rasa, kita bisa bertemu lagi, kan?” Alya tersenyum, merasa sedikit kikuk tapi juga senang.
Farhan juga tersenyum, sedikit tersipu. “Tentu. Aku harap kita bisa berbicara lebih banyak lagi. Terutama jika hujan datang lagi.”
Alya melangkah keluar dari bus dan memberi isyarat dengan tangan. “Sampai jumpa lagi,” katanya.
Di dalam bus yang mulai bergerak, Farhan memandangi sosok Alya yang berjalan menjauh. Ia merasa ada sesuatu yang istimewa dengan pertemuan itu, seperti ada benang tak kasat mata yang menghubungkan mereka, meskipun mereka baru saja bertemu.
Alya juga merasa ada sesuatu yang berbeda. Pertemuan ini terasa begitu alami, dan meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ia merasa ingin mengenal Farhan lebih jauh. Hujan memang bisa datang dengan tiba-tiba, tetapi terkadang, hujan juga membawa sesuatu yang tidak terduga: cinta yang tumbuh pelan-pelan, seperti bunga yang mekar setelah musim hujan berakhir.*
Bab 2: Pertemuan yang Tak Terduga
Hari demi hari berlalu, dan hujan seolah tidak pernah berhenti turun. Kota kecil ini memang tak pernah benar-benar lepas dari hujan, dan setiap kali tetesan air mulai jatuh dari langit, Alya merasa seolah dunia seketika menjadi lebih tenang. Namun, kali ini, hujan itu terasa berbeda. Seperti ada sesuatu yang sedang menunggu di ujungnya. Entah mengapa, meskipun ia mencoba tidak terlalu berpikir tentangnya, wajah Farhan terus terbayang di benaknya. Tak hanya wajahnya, tapi juga percakapan ringan mereka beberapa hari lalu di halte bus.
Meskipun mereka hanya berbicara sebentar, Alya merasa ada suatu ikatan yang aneh. Bukan ikatan yang membuatnya merasa canggung atau takut, melainkan sesuatu yang mengundang rasa ingin tahu lebih dalam. Namun, ia berusaha menepis perasaan itu. Bagaimana bisa seseorang yang baru ia temui bisa mengisi pikirannya? Alya mencoba melanjutkan hidup seperti biasa, meskipun sesekali ia berharap bisa bertemu lagi dengan Farhan.
Hari itu, hujan turun deras lagi, dan Alya sudah bersiap dengan jas hujan yang selalu ia bawa kemana-mana. Ia memutuskan untuk berjalan kaki menuju kafe favoritnya, tempat yang selalu membuatnya merasa lebih nyaman. Hujan tak pernah menjadi masalah baginya. Namun, ketika ia melewati sudut jalan yang biasanya sepi, ia melihat seseorang berdiri di bawah pohon besar, tampak kebingungan. Alya menghentikan langkahnya sejenak. Pemuda itu mengenakan jaket hoodie biru, sama persis dengan yang dikenakan Farhan beberapa hari lalu.
Alya merasa ragu sejenak. Mungkin hanya kebetulan, pikirnya. Tetapi saat itu, pemuda itu berbalik dan menyadari kehadiran Alya. Mereka saling bertatapan sejenak sebelum Farhan tersenyum.
“Alya?” ucap Farhan, suara khasnya mengalun dengan nada penuh keheranan. “Tidak menyangka bertemu lagi di sini.”
Alya terkejut, tapi senyuman Farhan membuatnya merasa nyaman. “Farhan? Apa yang kamu lakukan di sini?”
Farhan tertawa pelan. “Saya baru saja berjalan-jalan, mencoba menyesuaikan diri dengan kota ini. Tiba-tiba hujan datang, dan saya terjebak di sini. Sepertinya ini pertemuan tak terduga, ya?”
Alya mengangguk, merasa canggung sekaligus senang. Ia tak pernah benar-benar berpikir bahwa mereka akan bertemu lagi. “Iya, pertemuan yang tak terduga. Tapi, kau tidak punya tempat berteduh?”
Farhan menggelengkan kepala. “Sepertinya tidak. Saya pikir bisa mencari tempat yang lebih baik di sekitar sini, tapi hujan datang begitu cepat.”
Alya menatap langit yang semakin mendung. “Jangan khawatir. Aku akan ke kafe dekat sini. Ayo ikut, kita bisa berteduh di sana sambil menunggu hujan reda.”
Farhan tampak sedikit terkejut, tapi kemudian ia tersenyum. “Terima kasih, Alya. Kau baik sekali.”
Mereka berjalan berdampingan, melawan hujan yang semakin deras. Alya merasa sedikit canggung, tetapi entah mengapa, ada perasaan hangat yang mulai menyelimutinya. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang sering mereka lewati. Suasana kota yang biasanya tenang kini terasa lebih hidup, meskipun jalanan dipenuhi dengan air hujan yang menggenang.
Saat sampai di kafe kecil yang selalu menjadi tempat pelarian Alya, mereka duduk di sudut yang agak sepi. Farhan memesan kopi, sementara Alya memilih teh hangat. Tidak ada yang terlalu spesial, tetapi percakapan mereka mengalir begitu alami, seperti sudah lama saling mengenal.
“Kau suka hujan, ya?” tanya Farhan, memecah kebisuan.
Alya mengangguk. “Iya, saya selalu suka hujan. Rasanya seperti dunia ini berhenti sejenak dan memberi kesempatan untuk berpikir. Tapi, di sisi lain, hujan juga membuat semuanya lebih damai.”
Farhan tersenyum, menatap Alya dengan penuh perhatian. “Saya juga mulai merasa seperti itu. Di kota besar, hujan selalu dianggap gangguan. Orang-orang lebih memilih menghindarinya. Tapi di sini, rasanya hujan itu bagian dari kehidupan, bukan sesuatu yang harus dilawan.”
Alya merasa nyaman dengan cara Farhan melihat dunia. Mereka berbicara lebih lama, berbagi cerita tentang kehidupan mereka, harapan, dan impian. Farhan bercerita tentang bagaimana ia pindah ke kota ini untuk mencari pengalaman baru dan merasa lelah dengan kehidupan di kota besar yang penuh tekanan. Alya, di sisi lain, bercerita tentang betapa ia merasa damai dengan kesendirian dan betapa ia menghargai setiap detik yang ia habiskan di tempat-tempat tenang.
“Saya dulu tidak pernah berpikir akan menemukan seseorang yang bisa memahami saya seperti ini,” kata Farhan dengan nada serius, meskipun ada senyum kecil di wajahnya.
Alya terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Ia merasa ada yang berbeda dengan perasaan yang ia miliki sekarang. Farhan, yang tadinya hanya seorang pemuda yang ia temui secara kebetulan, kini mulai tumbuh menjadi seseorang yang membuat hatinya berdebar-debar, walaupun ia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Jangan bilang kamu sudah merasa seperti itu hanya setelah bertemu dua kali,” Alya berkata, sedikit tertawa untuk menutupi kegugupannya.
Farhan ikut tertawa. “Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi… saya merasa seperti ada sesuatu yang berbeda ketika berbicara denganmu. Seperti ada koneksi yang alami.”
Alya menundukkan kepala, merasa sedikit bingung dengan perasaan yang baru tumbuh dalam dirinya. Ia tidak tahu apakah ia siap untuk merasakannya, tetapi ada sesuatu dalam diri Farhan yang membuatnya merasa hangat. Tidak ada paksaan, tidak ada tekanan. Hanya kenyamanan yang perlahan mulai tumbuh di antara mereka.
Kafe itu semakin ramai, tetapi di sudut yang tenang, mereka tetap asyik berbicara, menikmati waktu yang tiba-tiba terasa sangat berharga. Hujan yang turun di luar jendela kafe hanya menambah kedamaian itu. Di tengah-tengah percakapan yang semakin akrab, mereka berdua merasakan bahwa ada sebuah jalan yang terbentang di depan mereka. Sebuah jalan yang entah bagaimana, mungkin akan membawa mereka lebih dekat lagi.*
Bab 3: Hujan yang Menyatukan
Musim hujan semakin menggenggam kota kecil itu dalam pelukannya yang sejuk. Setiap pagi, kabut tipis menyelimuti jalanan, dan tetesan air hujan yang jatuh dari atap membuat udara semakin segar. Alya menikmati suasana ini lebih dari sebelumnya, meskipun beberapa hari terakhir, ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan yang mengusik pikirannya—perasaan yang datang setiap kali hujan turun, setiap kali ia memikirkan Farhan.
Setelah pertemuan tak terduga beberapa hari lalu, mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Setiap kali hujan datang, Farhan akan menghubungi Alya, mengajaknya ke kafe, atau sekadar berjalan-jalan bersama di bawah payung. Alya merasa nyaman, lebih dari yang ia kira. Farhan, dengan semua kehangatan dan keceriaannya, seperti membawa perubahan dalam hidupnya yang selama ini sepi dan monoton.
Hari itu, hujan turun dengan sangat deras. Alya sudah berada di halte bus, menunggu bus yang selalu telat. Matanya melirik jam tangannya. Tiga menit lagi, katanya dalam hati, bus akan datang. Hujan yang semakin lebat membuatnya sedikit gelisah. Seperti biasa, ia merasa sedikit terisolasi, berdiri sendirian di tempat itu. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Perasaan itu, yang sudah mulai ia rasakan beberapa waktu belakangan, semakin kuat. Ia merasa seperti hujan tidak hanya menghubungkannya dengan suasana kota, tetapi juga dengan seseorang.
Tiba-tiba, suara seorang laki-laki menyapa dari samping. “Alya?”
Alya terkejut dan menoleh. Di sana, berdiri Farhan dengan senyum lebar di wajahnya, memegang payung besar di tangannya. Hujan yang deras tak tampak mempengaruhi keceriaan Farhan. Alya merasa seolah ada kehangatan yang mengalir begitu saja dari Farhan, seolah-olah hujan tak lagi menjadi masalah.
“Farhan?” Alya berkata, terkejut sekaligus senang. “Kenapa kamu ada di sini?”
“Aku baru saja selesai kerja dan mendengar hujan mulai turun. Aku tahu kamu sering lewat sini, jadi aku memutuskan untuk menunggu dan mengajakmu berteduh di bawah payung,” jawab Farhan, matanya berbinar-binar, seakan-akan cuaca buruk tidak memengaruhi suasana hatinya.
Alya tersenyum, merasa sedikit canggung namun senang. “Terima kasih, tapi aku bisa tunggu bus sendiri.”
Farhan tertawa. “Aku tahu, tapi siapa yang bisa menolak payung besar seperti ini? Ayo, mari ikut denganku.”
Alya ragu sejenak, tapi akhirnya ia menerima tawaran Farhan. Mereka berjalan berdua di bawah payung besar, melawan angin dan hujan yang terus turun. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Alya, namun ia merasakan kenyamanan yang tidak biasa. Perasaan itu tumbuh begitu saja, mengalir tanpa rencana. Hujan yang turun tidak lagi membuatnya merasa terasing, karena kini ada Farhan di sampingnya, menemani perjalanan pulangnya.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di kafe tempat mereka sering bertemu. Kafe itu menjadi tempat perlindungan yang mereka sukai, tempat yang tidak pernah terasa sepi, bahkan di tengah hujan sekalipun. Saat masuk, mereka langsung disambut oleh aroma kopi yang menghangatkan tubuh dan suasana nyaman yang mengundang mereka untuk duduk dan bersantai.
Mereka memilih meja yang selalu mereka duduki, di sudut kafe yang agak sepi. Hujan masih turun di luar jendela, dan suara gemericik air hujan menyatu dengan musik lembut yang diputar di dalam kafe. Farhan memesan dua cangkir kopi hangat, sementara Alya memilih teh seperti biasa. Mereka duduk berhadapan, hanya ada tawa dan obrolan ringan yang mengisi kesunyian di sekitar mereka.
“Alya, kamu tahu nggak, kalau aku sudah mulai merasa seperti kita sudah saling mengenal jauh lebih lama daripada yang sebenarnya?” tanya Farhan tiba-tiba, tatapannya penuh makna.
Alya terkejut dengan pertanyaan itu, namun ia merasa ada sesuatu yang sangat nyata dalam kata-kata Farhan. “Bagaimana maksudmu?”
“Ya, maksudku, setiap kali kita berbicara, aku merasa seperti sudah lama mengenalmu. Rasanya seperti kita sudah berbagi banyak hal, meskipun ini baru pertemuan ketiga kita,” jelas Farhan, sambil menatap Alya dengan penuh perhatian.
Alya terdiam sejenak, meresapi kata-kata Farhan. Ia tidak tahu harus bagaimana menjawab, karena apa yang dikatakan Farhan memang benar. Ada sesuatu yang membuatnya merasa begitu dekat dengan pemuda itu, sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Mungkin itu adalah kenyamanan yang dia rasakan saat berbicara dengan Farhan, atau mungkin juga ketulusan yang terpancar dari setiap kalimat yang keluar dari bibirnya.
“Aku juga merasakannya,” jawab Alya akhirnya, suaranya sedikit bergetar. “Aku merasa nyaman berbicara denganmu, Farhan. Seperti tidak ada beban, seperti… seperti kita sudah mengenal satu sama lain jauh lebih lama.”
Farhan tersenyum lebar mendengar jawabannya. “Jadi, kita sepakat, ya? Kalau hujan ini bukan hanya datang untuk mengusir kesepian, tetapi juga membawa kita lebih dekat?”
Alya tidak bisa menahan senyumnya. “Sepertinya begitu,” jawabnya dengan penuh keyakinan.
Mereka melanjutkan percakapan mereka, semakin nyaman dan akrab. Hujan di luar kafe semakin lebat, tetapi di dalam, suasana terasa hangat dan menyenangkan. Alya merasa seperti hujan ini membawa kedamaian yang tak terduga, kedamaian yang ia temukan dalam pertemuan dengan Farhan.
Hari demi hari, hubungan mereka semakin berkembang. Setiap kali hujan turun, Farhan akan menghubungi Alya, mengajaknya berteduh bersama, atau sekadar menemani perjalanan pulangnya. Mereka berbagi cerita tentang kehidupan, harapan, dan impian. Tak ada yang terburu-buru, tak ada yang dipaksakan. Semua berjalan dengan alami, seperti hujan yang turun tanpa henti, menyejukkan setiap sudut hati yang mulai terbuka.
Malam itu, setelah beberapa jam menghabiskan waktu bersama di kafe, Farhan mengantar Alya pulang. Sebelum mereka berpisah, Farhan memandang Alya dengan tatapan lembut.
“Alya, aku ingin berterima kasih. Berkat hujan ini, aku menemukan seseorang yang membuat hari-hariku lebih berarti.”
Alya terdiam, tersentuh dengan kata-kata Farhan. “Aku juga merasa begitu, Farhan. Terima kasih sudah datang ke dalam hidupku.”
Mereka tersenyum satu sama lain, dan di bawah hujan yang masih terus turun, mereka berpisah dengan janji untuk bertemu lagi. Hujan yang datang kali ini tidak hanya menyatukan mereka secara fisik, tetapi juga membawa mereka lebih dekat ke dalam hati masing-masing, seakan setiap tetes air hujan menjadi saksi bisu dari perasaan yang mulai tumbuh di antara keduanya.*
Bab 4: Musim Hujan yang Menyakitkan
Hujan kini telah menjadi bagian dari kehidupan Alya, seperti aliran sungai yang mengalir tanpa henti. Seiring waktu, ia mulai terbiasa dengan kedekatannya dengan Farhan. Setiap hujan yang turun menjadi alasan bagi mereka untuk bertemu, berbicara, dan saling berbagi cerita. Farhan yang selalu datang dengan senyuman dan keramahan, serta kemampuannya membuat setiap percakapan terasa ringan, menjadi bagian penting dalam kehidupan Alya. Namun, meskipun kedekatan itu semakin dalam, ada perasaan yang tak bisa Alya ingkari—perasaan yang terasa semakin kuat, namun menyakitkan.
Hari itu, hujan turun lebih deras dari biasanya. Angin bertiup kencang, dan langit dipenuhi dengan awan gelap yang menandakan bahwa badai akan datang. Alya sudah di kafe, duduk di sudut yang biasa mereka pilih, menunggu kedatangan Farhan. Seperti biasa, ia merasa cemas menunggu kedatangannya. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Perasaan cemas itu lebih dalam, lebih berat, seakan ada sesuatu yang menekan dadanya.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Farhan muncul. Namun, kali ini ia tidak sendiri. Di belakangnya, ada seorang gadis muda dengan senyuman manis dan mata berbinar yang tampaknya sangat akrab dengan Farhan. Gadis itu mengenakan jaket hujan berwarna cerah, tampak ceria dan tidak peduli dengan hujan yang semakin deras. Alya tidak tahu mengapa, tetapi ada perasaan yang tiba-tiba menggelayuti hatinya. Sebuah rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, namun jelas terasa—rasa cemburu.
“Hey, Alya!” sapa Farhan dengan senyum lebar, tidak menyadari perasaan yang tengah bergolak dalam hati Alya. “Ini Clara, teman kuliahku. Clara, ini Alya, teman yang sering aku ceritakan.”
Alya tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. “Halo, Clara,” ucapnya singkat, berusaha untuk tidak menunjukkan apa yang sebenarnya ia rasakan.
Clara mengangguk ramah. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Alya. Farhan sering menceritakan tentangmu.”
Alya hanya tersenyum, meskipun hatinya mulai berdebar-debar. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu dalam diri Clara yang membuatnya merasa cemas. Farhan dan Clara duduk di seberang Alya, dan mereka mulai berbicara dengan sangat akrab. Suara tawa Clara yang ceria terdengar jelas di telinga Alya, namun setiap tawa itu, setiap kata yang keluar dari mulut Farhan, terasa semakin jauh. Seperti ada jarak yang tiba-tiba terbentuk di antara mereka, meskipun mereka duduk begitu dekat.
Alya merasa bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa ia merasa seperti ini? Kenapa ia merasa cemburu dengan kehadiran Clara, meskipun Farhan belum pernah mengungkapkan apapun yang membuatnya berpikir bahwa ada hubungan lebih antara mereka? Alya tahu, seharusnya ia tidak merasa seperti ini. Mereka baru mengenal satu sama lain, dan Farhan bebas bergaul dengan siapa saja. Tapi mengapa hati Alya terasa sesak?
Kafe yang biasanya menjadi tempat yang nyaman kini terasa begitu asing. Setiap kali Farhan tertawa bersama Clara, Alya merasa seolah-olah dunia ini berubah menjadi suram. Hujan yang terus turun di luar jendela seolah menjadi gambaran perasaannya—terus mengalir, tanpa henti, dan membawa ketidakpastian.
Alya mencoba untuk bersikap biasa, mengobrol dengan Clara meskipun ia merasa canggung. Clara terlihat ramah dan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang tidak biasa. Namun, Alya tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia mencoba untuk mengalihkan perhatiannya dengan melihat pemandangan hujan di luar, tetapi hatinya tetap tidak tenang.
Ketika perbincangan mulai beralih ke topik lain, Farhan bertanya, “Alya, bagaimana kuliahmu? Semoga semuanya berjalan lancar, ya?”
Alya terdiam sejenak, mencoba mengendalikan perasaan yang bergejolak dalam dadanya. “Semuanya baik-baik saja. Cuma, kadang hujan ini membuatku agak malas keluar rumah,” jawabnya, suara sedikit serak karena tidak bisa sepenuhnya fokus pada percakapan.
Farhan tertawa kecil, namun ada sesuatu yang terlihat berbeda dari cara dia menatap Alya. Seperti ada jarak yang terbentuk, seperti ada sesuatu yang tak terucapkan. Namun, Alya tidak bisa menanyakan apa yang ada dalam pikirannya. Farhan, dengan Clara di sampingnya, tampaknya begitu nyaman, sementara Alya merasa seperti pengamat dalam dunia yang bukan miliknya.
Seiring waktu berjalan, suasana kafe semakin terasa semakin canggung. Clara mulai bercerita tentang kegiatan kampusnya yang sangat sibuk, sementara Farhan mendengarkan dengan antusias. Alya hanya bisa diam, mengamati mereka dengan perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Setiap kata yang keluar dari Clara, setiap senyuman yang diberikan Farhan, semakin mengonfirmasi ketakutan yang merayap di hatinya—bahwa mungkin, Farhan tidak melihatnya seperti yang ia harapkan.
Beberapa saat kemudian, Farhan mendapat pesan di ponselnya. Ia melihat sekilas layar dan tersenyum. “Oh, aku harus pergi sebentar. Ada urusan di luar kota yang harus aku tangani,” katanya sambil berdiri, memandang Alya. “Kau tidak keberatan, kan?”
Alya terdiam, mengangguk pelan. “Tentu saja tidak, Farhan. Semoga urusannya lancar.”
Farhan tersenyum dan berbalik menuju pintu, meninggalkan Alya dan Clara di kafe. Saat pintu kafe tertutup, Alya merasa perasaan hampa itu semakin dalam. Hujan yang turun begitu deras di luar seolah menggambarkan kekosongan yang ia rasakan dalam hatinya. Clara melihat Alya dengan pandangan yang penuh pengertian, namun juga dengan sebuah pertanyaan yang tak terucapkan.
“Alya, kau tahu, kan? Farhan itu orang yang sangat baik. Dia… dia sering berbicara tentangmu,” Clara berkata pelan, seolah ingin meyakinkan Alya.
Alya menatap Clara, bingung dengan kata-kata itu. “Maksudmu?”
Clara tersenyum tipis, mengangguk pelan. “Farhan memang kadang bingung dengan perasaannya. Dia suka padamu, tapi… mungkin dia belum siap untuk mengungkapkan perasaannya. Aku hanya ingin kau tahu kalau dia sangat menghargai kamu.”
Alya terdiam. Kata-kata Clara seperti petir yang menyambar hatinya. Perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan, kini mulai terlihat. Farhan mungkin memang menyukainya, namun ada sesuatu yang menghalangi dia untuk mengungkapkan semuanya. Mungkin itu alasan mengapa hujan kali ini terasa begitu menyakitkan—karena musim hujan ini, yang dulu menyatukan mereka, kini juga membawa jarak yang sulit diatasi.*
Bab 5: Pengakuan di Tengah Hujan
Alya duduk di jendela kamar, menatap hujan yang turun dengan deras di luar. Tetesan air yang mengalir di kaca jendela seolah mewakili perasaannya yang sedang bingung dan penuh keraguan. Sejak pertemuan dengan Clara, perasaan cemburu yang tak tertahankan sering mengganggu pikirannya. Ia merasa terabaikan, meskipun Farhan tidak pernah secara langsung menunjukkan perubahan sikap yang drastis. Namun, ada sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan, sebuah keraguan yang semakin menguat seiring berjalannya waktu.
Seminggu sudah berlalu sejak pertemuan itu. Setiap kali hujan turun, Alya merasa seolah ada beban yang semakin berat di hatinya. Dia merindukan Farhan, merindukan kebersamaan mereka, namun perasaan takut dan bingung menguasai dirinya. Jika Farhan memang menyukainya, mengapa dia tidak mengungkapkannya? Jika benar ada perasaan itu, mengapa ada Clara yang selalu berada di sekitarnya? Semua pertanyaan itu berputar-putar dalam benaknya, menambah kekosongan yang sudah ada sejak musim hujan datang.
Saat tengah malam tiba, telepon di meja kerjanya berdering. Alya terkejut dan segera melihat layar ponselnya. Nama Farhan muncul di sana. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengangkat telepon itu.
“Halo?” suara Alya terdengar sedikit ragu, tapi juga penuh harapan.
“Hai, Alya. Maaf kalau aku mengganggumu malam-malam begini,” suara Farhan terdengar lemah, seakan ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya.
“Ada apa, Farhan? Kenapa tiba-tiba telepon malam-malam?” tanya Alya, sedikit khawatir.
“Gini, aku… aku butuh bicara denganmu. Tentang beberapa hal yang mungkin sudah lama aku pendam,” Farhan berkata dengan nada yang lebih serius dari biasanya. “Kamu bisa keluar sebentar? Aku ingin bertemu.”
Alya merasa jantungnya berdegup kencang. Ada apa dengan Farhan? Kenapa dia begitu serius? Tanpa banyak berpikir, ia segera mempersiapkan diri. Hujan masih turun di luar, dan suasana malam itu terasa semakin tegang dengan perasaan yang tak bisa ia bendung. Alya keluar rumah, berlari kecil di bawah payung, melawan derasnya hujan yang menghampar di jalanan.
Tak lama kemudian, ia sampai di tempat yang sudah sering mereka kunjungi—sebuah taman kecil yang sepi di pinggir kota, yang selalu menjadi tempat mereka untuk berbicara tanpa gangguan. Farhan sudah ada di sana, berdiri di bawah pohon besar dengan payung besar di tangannya. Wajahnya terlihat serius, dan ada sesuatu yang berbeda dari cara dia memandang Alya.
“Kamu datang juga,” Farhan berkata pelan, tetapi suara itu penuh dengan kelegaan.
Alya mengangguk, namun hatinya semakin berat. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. “Farhan, ada apa? Kenapa kamu ingin bertemu malam-malam begini?”
Farhan menundukkan kepala, menarik napas dalam-dalam. “Alya, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Mungkin ini sudah lama aku rasakan, tapi aku takut jika aku mengungkapkan semuanya, kamu akan menjauh dariku.”
Alya menatap Farhan dengan cemas. “Mengungkapkan apa, Farhan?”
Farhan menatapnya langsung, seakan mencari kekuatan dalam diri Alya untuk mendengar apa yang akan dia katakan. “Aku… aku suka padamu, Alya. Selama ini aku merasa nyaman bersamamu, lebih dari yang aku kira. Tapi aku takut, aku nggak mau membuat semuanya jadi rumit. Aku tahu kamu punya kehidupan sendiri, dan aku nggak ingin mengganggu itu. Tapi aku nggak bisa terus-terusan menyimpan perasaan ini tanpa mengatakan sesuatu.”
Kata-kata Farhan itu seperti petir yang menyambar di tengah hujan. Alya terdiam, tidak bisa langsung merespons. Semua yang selama ini ia rasakan, semua kebingungannya, seolah terjawab dalam sekejap. Farhan… suka padanya? Selama ini, perasaan itu tidak pernah ia dengar langsung, meskipun hatinya selalu merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda di antara mereka.
Farhan melanjutkan, “Aku tahu, ini mungkin terlambat. Aku tahu ada banyak hal yang belum jelas di antara kita. Tapi, Alya, aku nggak bisa menahan diri lagi. Aku ingin kamu tahu kalau aku benar-benar menyukaimu, lebih dari sekadar teman.”
Alya merasa jantungnya berdegup kencang. Perasaan campur aduk, kebingungan, dan harapan bercampur menjadi satu. Di satu sisi, ada perasaan lega yang luar biasa mendengar pengakuan Farhan. Namun di sisi lain, ada perasaan takut yang menggerogoti hatinya. Apa artinya ini? Apakah Farhan benar-benar siap dengan perasaan ini? Dan apakah dia sendiri siap untuk membuka hati untuk Farhan?
“Farhan… aku juga merasakan hal yang sama. Aku juga merasa ada sesuatu yang berbeda, tapi aku tidak pernah yakin,” ujar Alya akhirnya, suara suaranya agak bergetar.
Farhan menatapnya dengan mata penuh harap. “Jadi, kamu juga suka padaku?” tanyanya, suaranya penuh dengan keraguan dan ketulusan.
Alya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih bergejolak. “Aku suka padamu, Farhan. Tapi aku… aku juga takut. Takut kalau kita tidak siap menghadapi semua ini. Takut kalau kita hanya akan menyakiti satu sama lain.”
Farhan mendekat, dan meskipun hujan masih turun, ada kehangatan yang terasa di antara mereka. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Tapi satu hal yang aku tahu, Alya, adalah aku nggak ingin kehilangan kesempatan ini. Aku nggak ingin menyesal karena menunggu terlalu lama.”
Alya menatapnya dalam-dalam, merasakan kejujuran dalam setiap kata yang keluar dari bibir Farhan. Ia bisa melihat bahwa Farhan benar-benar tulus. Hujan yang deras di sekitar mereka seakan menghilang, meninggalkan mereka dalam hening yang penuh arti. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan, hanya perasaan yang saling mengerti dan saling menguatkan.
Alya menghela napas panjang, dan akhirnya, dengan suara yang lebih tegas, ia berkata, “Aku siap, Farhan. Aku juga ingin mencoba. Kita coba bersama, menghadapi apa pun yang datang.”
Farhan tersenyum, senyuman yang penuh dengan kebahagiaan dan kelegaan. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia memeluk Alya dengan hangat, sementara hujan terus mengguyur mereka. Hujan yang dulu membawa kebingungan dan rasa sakit, kini menjadi saksi dari sebuah awal yang baru. Mereka berdua tahu, ini adalah langkah pertama dari perjalanan panjang yang penuh ketidakpastian, namun mereka juga tahu, selama mereka bersama, mereka akan siap untuk menghadapinya.*
Bab 6: Tumbuhnya Harapan
Hujan itu seakan tak pernah berhenti. Namun, di tengah derasnya hujan yang selalu turun hampir setiap hari, ada sesuatu yang baru tumbuh di hati Alya. Sebuah perasaan yang dulu tersembunyi kini mulai berkembang, perlahan tapi pasti. Setiap kali ia bersama Farhan, setiap percakapan yang mereka bagi, setiap tawa yang mereka bagi, perasaan itu semakin jelas—sebuah harapan yang mulai tumbuh.
Hari-hari setelah pengakuan Farhan itu terasa berbeda. Hujan yang dulu terasa membebani, kini terasa seperti kehangatan yang menyelimuti hati. Farhan, yang dulunya hanya teman yang dekat, kini mulai melihatnya dengan cara yang berbeda. Begitu pula dengan Alya. Setiap kali ia memandang Farhan, ada rasa nyaman yang tumbuh, seolah semua hal yang pernah membuatnya ragu, kini mulai tersingkirkan.
Alya teringat betul bagaimana mereka pertama kali bertemu, ketika hujan pertama kali turun. Waktu itu, semuanya terasa begitu sederhana, begitu biasa. Tapi kini, segala sesuatu terasa lebih dalam. Setiap kali hujan turun, ia merasa lebih dekat dengan Farhan, seolah hujan itu membawa mereka lebih dekat lagi, menghapus jarak yang dulu ada di antara mereka.
Malam itu, setelah seharian mereka menghabiskan waktu bersama, Farhan mengajak Alya untuk berjalan-jalan di taman. Meskipun hujan masih turun dengan deras, keduanya tidak peduli. Hujan yang membasahi tubuh mereka terasa ringan, seolah segala kekhawatiran dan keraguan yang mereka bawa selama ini kini terhapus oleh kehangatan yang tumbuh di hati masing-masing.
“Mau jalan-jalan di bawah hujan lagi?” tanya Farhan dengan senyum nakal, menyodorkan payung ke arah Alya.
Alya tertawa, merasa hangat meski tubuhnya basah kuyup. “Apa nggak capek basah-basahan terus?” jawabnya, meskipun di hatinya ia tahu bahwa kebersamaan mereka di bawah hujan adalah hal yang paling ia rindukan.
Farhan menatapnya dengan mata yang penuh makna. “Aku nggak peduli, asalkan kita bisa bersama,” katanya dengan suara yang pelan namun tegas.
Alya merasa hatinya berdebar. Ada sesuatu dalam cara Farhan memandangnya yang membuatnya merasa istimewa, seolah semua yang terjadi dalam hidup mereka selama ini bukan kebetulan. Seolah segala hal yang mereka alami, termasuk hujan yang tak henti-hentinya turun, adalah cara alam untuk membawa mereka lebih dekat satu sama lain.
“Mungkin aku juga nggak peduli kalau basah kuyup, asalkan aku ada di sini, bersama kamu,” jawab Alya dengan lembut, matanya bersinar. Perasaan yang selama ini ia sembunyikan kini akhirnya keluar begitu saja, mengalir begitu alami, tanpa ada rasa takut atau ragu.
Farhan tersenyum lebih lebar lagi, wajahnya dipenuhi kebahagiaan. “Aku senang mendengar itu, Alya. Aku merasa sama. Aku nggak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Seolah-olah semua yang aku inginkan ada di sini, di dekatmu.”
Mereka berjalan menyusuri taman, berjalan perlahan di bawah payung yang mereka pegang bersama. Hujan masih terus turun, namun kehadiran satu sama lain membuat segalanya terasa lebih ringan. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, karena keduanya sudah saling mengerti. Di setiap langkah, mereka merasa semakin dekat, semakin yakin bahwa inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaan mereka yang sudah lama dipendam.
Sambil berjalan, Alya mulai merenung. Tumbuhnya harapan dalam dirinya bukanlah hal yang mudah. Sebelumnya, ia pernah merasa takut, khawatir akan kehilangan keseimbangan dalam hidupnya. Tapi kini, ada sesuatu yang lebih kuat dalam dirinya—sebuah keyakinan bahwa apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang bernilai, sesuatu yang patut diperjuangkan. Farhan bukan hanya teman yang baik, tetapi juga seseorang yang bisa ia percayai, seseorang yang bisa ia harapkan.
“Alya,” Farhan memecah keheningan dengan suara lembut. “Aku ingin kita melakukan ini dengan pelan-pelan. Aku nggak ingin terburu-buru. Aku ingin kita saling mengenal lebih dalam, menikmati setiap momen bersama.”
Alya menatap Farhan dengan mata yang penuh rasa haru. “Aku juga, Farhan. Aku ingin semua ini tumbuh dengan alami. Aku nggak mau terburu-buru. Kita punya waktu, kan?”
Farhan mengangguk, wajahnya terlihat serius tapi penuh ketulusan. “Iya, kita punya waktu. Kita akan menjalani semuanya dengan hati-hati. Aku ingin kita tetap bisa tertawa bersama, bahkan saat hujan turun atau saat kita berada di tempat yang sepi. Aku ingin kita tetap bisa saling mengerti, apa pun yang terjadi.”
Mereka berhenti sejenak di sebuah bangku taman yang basah oleh hujan. Farhan menyentuh tangan Alya, menggenggamnya dengan lembut. Alya merasakan getaran hangat dari genggaman itu, dan meskipun hujan terus turun, ia merasa seperti berada dalam dunia yang berbeda—dunia yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan.
“Alya,” kata Farhan, suaranya penuh dengan kehangatan, “aku tahu kita belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal: aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menjaga perasaan ini. Aku ingin kamu merasa dihargai, merasa aman bersama aku.”
Alya merasakan matanya berkaca-kaca. Terkadang, harapan datang bukan dalam bentuk yang mewah, tapi dalam bentuk kesederhanaan dan ketulusan. Dan saat itu, di tengah hujan yang turun dengan deras, harapan itu tumbuh semakin besar dalam hatinya.
“Aku percaya padamu, Farhan,” jawab Alya dengan suara yang pelan namun penuh keyakinan. “Aku merasa nyaman bersama kamu, dan aku ingin terus merasa seperti ini. Mungkin kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi yang aku tahu sekarang adalah aku ingin menjalani ini bersama kamu.”
Farhan tersenyum dengan bahagia. “Aku juga, Alya. Kita akan membuat kenangan indah bersama. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi aku ingin kita berjalan bersama, apapun itu.”
Mereka berdua duduk di bangku taman itu, terbenam dalam kebersamaan mereka yang penuh harapan. Hujan yang turun seakan menjadi saksi bisu bagi perasaan mereka yang semakin dalam. Di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, ada satu hal yang pasti—bahwa harapan itu terus tumbuh, menguatkan mereka untuk menghadapi segala kemungkinan yang ada di depan.*
Bab 7: Musim Hujan yang Berakhir
Hujan yang turun selama ini akhirnya mulai mereda. Awan-awan gelap yang menggantung di langit perlahan berganti dengan langit yang lebih cerah. Meski begitu, Alya merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Hujan yang begitu lama menyelimuti kehidupannya kini memberi ruang bagi sinar matahari yang hangat, yang mengubah banyak hal. Namun, perubahan ini bukanlah tanpa tantangan.
Setelah pengakuan mereka di tengah hujan yang deras beberapa minggu lalu, Alya dan Farhan menjalani hari-hari yang penuh dengan kebahagiaan dan ketenangan. Setiap pertemuan terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Mereka mulai saling terbuka, berbagi cerita tentang masa lalu, harapan, dan impian mereka di masa depan. Keinginan untuk mengenal satu sama lain lebih dalam semakin tumbuh seiring berjalannya waktu. Namun, meskipun mereka merasa lebih dekat dari sebelumnya, ada hal yang membuat Alya merasa sedikit cemas—perasaan yang sulit dijelaskan, tetapi selalu hadir setiap kali ia berpikir tentang masa depan mereka.
Satu minggu terakhir ini, mereka sering menghabiskan waktu bersama, bahkan di tengah cuaca yang tak menentu. Alya menikmati setiap momen kebersamaan dengan Farhan. Mereka menghabiskan sore di kafe favorit mereka, atau berjalan di sepanjang jalan setapak yang pernah menjadi tempat pertama mereka bertemu. Namun, ada saat-saat ketika Farhan tampak sedikit tertekan, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Alya mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, namun perasaan itu tetap ada—sebuah pertanyaan yang tak terucapkan di antara mereka.
Hari ini, setelah hujan reda, Farhan mengajak Alya untuk berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Cuaca yang lebih cerah membawa kedamaian yang seakan membalut keduanya dengan kehangatan. Namun, di balik keindahan musim hujan yang perlahan berakhir, Alya merasakan sebuah ketegangan yang tidak biasa.
Mereka berjalan bersama di jalan setapak, seperti biasa, sambil berbicara tentang banyak hal. Namun, hari itu, ada kesunyian yang terasa lebih dalam daripada sebelumnya. Farhan tidak banyak berbicara, dan Alya merasa ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Ia mencoba menebak apa yang sedang terjadi, namun tidak ada jawaban yang jelas.
“Farhan, ada yang mengganggumu?” tanya Alya akhirnya, menghentikan langkahnya dan menatap Farhan dengan serius.
Farhan terdiam sejenak, kemudian menatap Alya dengan mata yang penuh makna. “Alya, aku… aku ingin berbicara tentang sesuatu,” katanya dengan suara pelan. “Sesuatu yang selama ini aku simpan dan rasanya semakin sulit untuk diabaikan.”
Alya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu bahwa ini adalah momen yang penting, momen yang akan mengubah sesuatu di antara mereka. “Apa itu, Farhan?” tanyanya, sedikit khawatir.
Farhan menarik napas panjang, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku merasa kita sudah melalui banyak hal bersama, dan aku sangat menghargai setiap momen yang kita jalani. Tapi, aku juga merasa ada banyak hal yang perlu kita hadapi dengan lebih serius. Kita mungkin terlalu terbawa suasana dengan perasaan kita, dan itu membuat aku bertanya-tanya, apakah kita benar-benar siap untuk melangkah lebih jauh?”
Alya terkejut mendengar kata-kata itu. Apa yang dimaksud Farhan dengan “melangkah lebih jauh”? Selama ini, mereka sudah saling berbagi banyak hal, tapi apakah ini berarti bahwa hubungan mereka harus menghadapi tantangan yang lebih besar?
“Apa maksudmu, Farhan? Apakah ada yang salah?” tanya Alya, suaranya sedikit gemetar.
Farhan menunduk, seolah mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan kalimatnya. “Aku merasa kita harus lebih memahami satu sama lain. Mungkin aku belum cukup mengenalmu, atau kamu belum sepenuhnya mengenalku. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan, terutama tentang bagaimana kita melihat masa depan. Aku takut jika kita tidak siap untuk menghadapi tantangan itu, kita akan kehilangan satu sama lain.”
Alya merasa hatinya tergores mendengar kata-kata itu. Sejujurnya, ia juga merasakan hal yang sama. Meskipun perasaan mereka tumbuh dengan indah, mereka berdua tahu bahwa sebuah hubungan bukan hanya tentang kebahagiaan sesaat, tetapi juga tentang kesiapan untuk menghadapi tantangan, untuk menjalani kehidupan yang lebih kompleks. Alya menyadari bahwa ia sendiri masih mencari jawaban tentang apa yang ia inginkan dari hubungan ini, dan apakah ia siap untuk melangkah lebih jauh.
“Aku mengerti maksudmu, Farhan,” jawab Alya dengan suara pelan. “Aku juga merasa ada banyak hal yang harus kita bicarakan. Aku tidak ingin kita terburu-buru, karena aku tahu bahwa ada banyak hal yang harus dipahami. Kita tidak bisa hanya mengikuti perasaan, kita juga harus tahu apa yang kita inginkan dalam hidup ini.”
Farhan menatapnya dengan tatapan yang penuh pengertian. “Aku juga tidak ingin terburu-buru, Alya. Aku ingin kita saling memahami, dan lebih dari itu, aku ingin kita bisa memutuskan bersama bagaimana kita akan menjalani hubungan ini.”
Mereka berdua terdiam sejenak, duduk di bangku taman yang terletak di bawah pohon besar. Hujan yang dulu menjadi simbol dari kebersamaan mereka kini perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh matahari yang mulai terbenam di ufuk barat. Alya merasakan angin sepoi-sepoi yang menyentuh wajahnya, memberi rasa damai di tengah perbincangan yang penuh ketegangan.
“Aku rasa musim hujan kita sudah hampir berakhir, Farhan,” kata Alya akhirnya, suaranya lembut namun penuh makna. “Seperti hujan yang membawa kebahagiaan dan tantangan, kini kita memasuki fase yang baru, fase di mana kita harus lebih bijaksana dalam mengambil keputusan.”
Farhan mengangguk, wajahnya terlihat tenang namun penuh perasaan. “Aku setuju, Alya. Musim hujan kita memang berakhir, tapi bukan berarti semuanya selesai. Kita masih punya banyak waktu untuk menjalani apa yang ada di depan kita. Aku percaya kita bisa melewati semuanya, selama kita saling mendukung.”
Alya tersenyum lembut. “Kita akan mencoba, Farhan. Kita akan mencari jalan kita bersama, apa pun yang terjadi.”
Dengan itu, keduanya berjalan kembali di bawah langit yang semakin cerah. Hujan mungkin telah berhenti, tetapi perjalanan mereka baru saja dimulai. Musim hujan yang penuh emosi dan kebahagiaan kini berakhir, tetapi ada banyak hal yang masih menanti mereka. Mereka tahu bahwa setiap musim memiliki tantangan dan keindahannya sendiri, dan meskipun hujan telah berakhir, harapan yang tumbuh di dalam hati mereka akan terus berkembang, siap untuk menyambut setiap musim yang akan datang.***
————–THE END———–