Daftar Isi
BAB 1 Luka yang Tak Pernah Sembuh
Alya menatap langit malam dengan tatapan kosong. Lampu-lampu kota yang bersinar di kejauhan tampak tak lebih dari sekadar bintik-bintik kecil yang tak berarti. Hujan yang turun perlahan seakan membasahi seluruh ingatannya, membawa kembali kenangan yang ingin ia kubur jauh-jauh. Suara detakan jam dinding yang teratur terdengar jelas di ruang tamu yang sepi, seolah-olah menghitung waktu yang terus bergerak, tetapi tidak mampu menghapus rasa sakit di hatinya.
Tujuh tahun telah berlalu sejak tragedi itu, namun luka yang ditinggalkan tak pernah benar-benar sembuh. Ia masih ingat jelas, bagaimana segala yang ia cintai hancur hanya dalam semalam, akibat keserakahan yang tak terukur. Sejak saat itu, hidupnya berubah menjadi perjalanan panjang penuh kebencian, kesendirian, dan rasa sakit yang tak terungkapkan.
Malam itu, di sebuah rumah tua yang kini menjadi tempat tinggalnya, Alya duduk sendiri di sudut ruang tamu, memegang sebuah foto lama. Foto itu adalah salah satu kenangan terindah dalam hidupnya. Di dalamnya, ia tampak bahagia bersama keluarganya—ayah, ibu, dan adiknya, Arissa. Senyum mereka begitu nyata, penuh dengan harapan, dan tanpa beban. Itu adalah potret keluarga yang sempurna, sebuah kebahagiaan yang tak tergantikan oleh apa pun. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar.
Beberapa minggu setelah foto itu diambil, semuanya berubah. Semuanya berawal dari sebuah pertemuan tak terduga antara ayahnya, yang bekerja sebagai seorang pengusaha kecil, dengan keluarga Arga—keluarga kaya yang dikenal luas di kota. Tak ada yang tahu apa yang terjadi dalam pertemuan itu, namun setelahnya, bisnis ayah Alya mengalami kemerosotan yang sangat drastis. Hutang menumpuk, dan ayahnya terpaksa menjual hampir seluruh aset mereka. Semua itu dilakukan agar mereka tetap bertahan hidup, namun tak pernah cukup untuk menutup semua utang yang mereka tanggung.
Alya masih ingat bagaimana wajah ayahnya berubah seiring berjalannya waktu. Dulu, ayahnya adalah sosok yang penuh semangat, selalu memberi pelajaran hidup dengan senyum dan kata-kata bijak. Tapi, setelah pertemuan itu, ia menjadi sosok yang hampa, tak ada lagi semangat hidup di matanya. Tak ada lagi tawa di rumah itu.
Keadaan makin buruk ketika ibu Alya jatuh sakit. Pekerjaan ayah yang semakin tertekan membuatnya tak mampu memberi perhatian penuh pada keluarganya. Sedangkan Alya, yang saat itu masih remaja, merasa tidak berdaya. Arissa, adiknya, bahkan lebih terpuruk lagi. Saat itu, Alya bertekad untuk membantu keluarganya, tapi apa daya, dunia seakan menutup segala pintu kesempatan.
Dan kemudian, Arga hadir dalam hidup mereka. Tidak dengan cara yang lembut, tetapi dengan cara yang menambah beban pada penderitaan mereka. Sebagai anak dari keluarga kaya yang memiliki banyak kekuasaan, Arga memutuskan untuk memanfaatkan kesulitan keluarga mereka. Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi di balik layar, namun Alya merasa, ada sesuatu yang sangat kelam yang terjadi di antara kedua keluarga ini. Ayahnya terpaksa menerima bantuan dari keluarga Arga, namun dengan harga yang harus dibayar sangat mahal.
Hari itu, sebuah surat datang dari Arga. Alya tidak tahu pasti apa yang tertulis dalam surat itu, tapi ketika ayahnya membacanya, wajahnya memucat. Sejak saat itu, segala sesuatunya semakin memburuk. Ayahnya makin tertekan, dan ibu Alya semakin melemah. Tidak lama setelah itu, mereka kehilangan hampir semua yang mereka miliki, rumah, harta, bahkan rasa hormat. Semua itu disebabkan oleh keputusan ayahnya yang terpaksa menerima tawaran dari keluarga Arga.
Alya tidak bisa memaafkan Arga, tak peduli seberapa keras ia mencoba untuk melupakan semuanya. Ia menyimpan dendam yang mendalam di dalam hatinya. Ia merasa terkhianati, dihancurkan oleh seseorang yang seharusnya tidak bisa begitu saja menghancurkan hidup orang lain tanpa rasa penyesalan. Arga mungkin tidak pernah tahu dampak dari tindakannya, tetapi Alya merasakannya setiap hari—setiap kali ia melihat adiknya yang semakin murung, setiap kali ia mengingat senyum ibunya yang semakin memudar, dan setiap kali ia melihat ayahnya yang kehilangan arah.
Alya tidak pernah berbicara kepada siapapun tentang kebenciannya. Ia menyimpan semuanya rapat-rapat, membiarkan rasa itu menggerogoti hatinya hingga tak tersisa ruang untuk perasaan lain. Waktu berlalu, namun luka itu tetap ada, seperti bekas luka yang tak pernah hilang.
Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, ia memutuskan untuk melangkah maju. Namun, bukan untuk melupakan—melainkan untuk menuntut balas atas apa yang telah dilakukan oleh keluarga Arga pada keluarganya. Alya tahu, ia harus menghadapi Arga, dan tidak ada lagi tempat untuk kebaikan dalam hatinya. Dendam itu menjadi sumber kekuatannya, dan ia akan memastikan bahwa rasa sakit yang pernah ia rasakan akan membuatnya lebih kuat, lebih tajam, dan lebih siap untuk melakukan apa pun yang diperlukan.
Ia menatap foto itu sekali lagi, kemudian meletakkannya di atas meja dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia tahu, masa lalu yang kelam ini tidak akan pernah bisa diubah. Tapi satu hal yang pasti, Alya berjanji pada dirinya sendiri: tidak ada yang bisa menghindar dari konsekuensi atas perbuatannya. Dan Arga, pada akhirnya, akan membayar harga yang sangat mahal.*
BAB 2 Kembali dengan Wajah Baru
Alya berdiri di depan cermin besar yang memantulkan sosoknya. Seorang wanita dengan penampilan yang begitu berbeda dari masa lalunya. Rambut hitam panjang yang dulunya kusut dan terurai, kini disisir rapi dan diikat elegan. Wajah yang penuh dengan kemarahan dan kesedihan kini dipoles dengan riasan yang memancarkan keanggunan dan keteguhan. Alya tak lagi mengenal dirinya sendiri, atau mungkin lebih tepatnya, ia telah menjadi sosok yang diciptakannya untuk membalas dendam.
Setahun yang lalu, ia masih seorang gadis biasa yang tinggal di sebuah rumah sederhana bersama keluarganya. Namun, semua berubah ketika Arga, pria dari keluarga kaya yang penuh kekuasaan, masuk ke dalam hidupnya. Cinta yang tumbuh di antara mereka seharusnya menjadi kisah indah, sebuah perjalanan yang penuh harapan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Arga, yang saat itu ia cintai dengan sepenuh hati, menghancurkan segalanya.
Keluarganya runtuh, bisnis ayahnya bangkrut, dan mereka kehilangan segalanya. Semua karena Arga dan keluarga besarnya yang tega mengkhianati kepercayaan ayahnya. Alya tak pernah bisa melupakan bagaimana Arga berdiri dengan wajah tanpa rasa bersalah ketika ayahnya terjerat utang dan akhirnya terpaksa menjual rumah mereka. Ayahnya yang dulu seorang pria sukses kini hidup melarat dan terpuruk. Arga hanya mengabaikan itu semua, dengan alasan bahwa semuanya adalah bagian dari permainan bisnis yang keras.
Alya menatap cermin dengan tatapan tajam. Semua itu harus dibayar. Arga harus merasakan apa yang dirasakan keluarganya. Tidak ada lagi tempat untuk penyesalan, karena dia tahu, ini adalah jalan yang sudah dipilihnya. Dia bukan lagi gadis yang mudah dibujuk, bukan lagi perempuan yang rapuh. Alya telah mempersiapkan segalanya.
Pekerjaannya sebagai seorang desainer grafis membuka jalan baginya untuk mengganti penampilannya. Ia mengubah rambutnya menjadi lebih terang, mengenakan pakaian yang selalu membuatnya merasa percaya diri. Kini ia tidak hanya seorang perempuan yang cerdas, tetapi juga memiliki daya tarik yang sulit ditolak. Semua itu adalah bagian dari rencananya, untuk menyusup ke dalam dunia Arga dan keluarganya, untuk menunjukkan bahwa dia bukan lagi seseorang yang bisa dipermainkan.
Hari itu, Alya memasuki sebuah restoran mewah di pusat kota, tempat yang tak asing bagi Arga. Tempat ini adalah salah satu favorit keluarga Arga untuk bertemu dengan rekan-rekan bisnisnya. Alya merasa sedikit cemas, namun keteguhan hatinya mengalahkan segala rasa takut. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju meja reservasi, memastikan bahwa ia bisa masuk tanpa menarik perhatian yang tidak perlu. Tentu saja, ia tidak ingin terlihat seperti orang asing.
“Nama untuk reservasi?” tanya pelayan dengan ramah.
“Alya,” jawabnya singkat, namun dalam hati, ia tersenyum. Nama itu adalah simbol dari keberanian baru yang ia ciptakan. Nama yang tidak lagi terikat pada masa lalu yang penuh luka.
Pelayan itu tersenyum dan mempersilakan Alya untuk duduk. Di sana, di sebuah sudut yang tenang, ia menunggu, matanya bergerak ke segala arah, mencoba mengenali setiap orang yang datang dan pergi. Tak lama, langkah-langkah kaki yang familier terdengar. Alya mengangkat kepala dan melihat seorang pria yang baru saja memasuki restoran, membawa aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Itu adalah Arga. Meski wajahnya tampak lebih matang dan penuh percaya diri, Alya mengenali tatapan itu. Tatapan yang pernah membuatnya merasa dicintai. Namun sekarang, tatapan itu tak lebih dari sebuah bayangan masa lalu yang penuh kebohongan.
Arga berbicara dengan salah seorang pria yang tampaknya adalah rekan bisnisnya, dan mereka menuju meja yang tidak jauh dari tempat Alya duduk. Hati Alya berdegup kencang, namun ia menahan diri untuk tidak langsung mendekat. Tidak, kali ini dia harus lebih pintar. Ia harus melakukannya perlahan, dengan cara yang tidak membuat Arga curiga.
Alya mengambil ponselnya, membuka beberapa aplikasi, dan pura-pura sibuk. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang datang dan pergi, namun Arga tetap tidak menyadari keberadaannya. Alya tahu ini adalah kesempatan yang tepat untuk memulai langkah pertama dalam rencananya. Dia harus membuat Arga melihatnya, namun tanpa memberinya alasan untuk curiga.
Waktu berlalu, dan akhirnya, Arga mulai bergerak menuju pintu keluar, masih berbicara dengan rekannya. Alya memutuskan bahwa inilah saat yang tepat. Ia bangkit dari kursinya dan dengan langkah tenang, tanpa ragu, mendekati Arga.
“Arga…” Suara Alya terdengar rendah, namun cukup jelas untuk membuat pria itu berhenti. Ia memalingkan wajahnya, dan mata mereka bertemu. Arga tampak terkejut, tapi matanya segera menyusuri wajah Alya dari atas hingga bawah, tidak mengenali siapa dia sebenarnya. Alya tersenyum tipis, senyum yang tidak mengandung rasa hangat seperti dulu. Hanya senyum yang penuh dengan rahasia.
“Alya…?” Arga bertanya ragu.
Alya hanya mengangguk, matanya tetap menatap Arga dengan tajam. “Sudah lama, ya?” katanya pelan. “Kehidupan kita pasti sudah sangat berubah.”
Arga tercengang, tidak percaya. Ia mencoba mengingat siapa perempuan di depannya, namun tak ada nama yang muncul di benaknya. Alya tahu ini akan terjadi, namun ia tidak terkejut. Baginya, ini adalah awal dari apa yang harus dilakukan—memperkenalkan diri pada Arga yang baru, namun dengan wajah yang tak lagi familiar.
Dengan senyum yang tetap terjaga, Alya melangkah pergi, meninggalkan Arga yang masih tertegun di tempatnya. Rencana ini baru saja dimulai.*
BAB 3 Pertemuan Takdir
Alya berdiri di depan gedung megah itu, mata menatap bangunan yang kini berdiri dengan kokoh. Gedung yang dulunya menjadi saksi bisu kesedihannya, kini menjadi simbol dari perjalanan hidup yang tak bisa dilupakan. **Arga**, pria yang telah menghancurkan hidupnya dan keluarganya, kini menjadi sosok yang berbeda. Alya masih mengingat dengan jelas bagaimana ia melihat Arga pertama kali di masa lalu—seorang pemuda tampan dengan senyum menawan, namun penuh kepalsuan yang menutupi segala niat jahat yang ada di dalam hatinya.
Ia menarik napas panjang. Hari ini adalah hari yang telah direncanakannya sejak bertahun-tahun yang lalu. Rencana balas dendamnya dimulai dengan langkah pertama—bertemu dengan Arga tanpa dia kenali. Sungguh, tak pernah terbayang oleh Alya bahwa takdir akan membawanya kembali ke titik ini, ke titik di mana ia harus berhadapan dengan masa lalu yang penuh luka.
Alya menatap dirinya di kaca gedung itu. Ia telah berubah. Rambutnya yang dulunya terurai panjang kini dipotong pendek, memberi kesan tegas dan elegan. Pakaian yang ia kenakan adalah busana formal berwarna hitam, dengan jaket blazer yang memberi kesan profesional. Ia tidak lagi menjadi wanita yang lemah dan rentan seperti dulu. Hari ini, ia adalah wanita yang penuh perhitungan, yang hanya punya satu tujuan: membalas dendam.
Langkah Alya mantap menuju pintu masuk gedung. Di dalam, suasana sibuk dengan para pegawai yang berlalu lalang, sibuk dengan pekerjaan mereka. Alya menyusuri lorong, menekan hati yang berdegup kencang. Ia tak boleh menunjukkan rasa takut. Tak boleh ada yang mengetahui bahwa ia adalah wanita yang dulu pernah disakiti oleh orang-orang di balik kekuasaan gedung ini.
“Selamat pagi, Nona Alya. Ada yang bisa saya bantu?” sambut seorang resepsionis muda yang berdiri di dekat meja depan.
Alya tersenyum dingin, “Saya ingin bertemu dengan **Arga**.”
Nama itu meluncur dengan mudah dari bibirnya. Seolah-olah ia telah mempersiapkan diri untuk menghadapi pria itu berulang kali dalam pikirannya. Saat mendengar nama Arga, resepsionis itu sempat terdiam sejenak, lalu menjawab, “Tunggu sebentar, saya akan menghubunginya.”
Beberapa detik kemudian, seorang pria bertubuh tinggi dengan jas rapi keluar dari ruangannya. Alya merasa jantungnya berhenti sejenak. Dia tidak bisa menyangka bahwa pria yang berdiri di depannya kini begitu berbeda. Arga, yang dulu tampak seperti anak muda lugu, kini berubah menjadi sosok yang begitu berwibawa. Rambutnya yang hitam legam kini teratur rapi, wajahnya tampak lebih matang, dan aura keberhasilannya begitu kuat. Namun, meskipun penampilannya berubah, Alya masih bisa mengenali tatapan mata yang dulu begitu penuh dengan niat jahat.
Arga memandang Alya dengan pandangan yang agak bingung. Ia merasa familiar dengan sosok ini, namun tak dapat mengingat di mana ia pernah bertemu. Alya pun tersenyum, namun senyuman itu tidak mencapai matanya.
“Apakah saya bisa membantu Anda?” tanya Arga, dengan suara yang tenang namun penuh kewibawaan.
Alya memandang Arga dengan tajam, seolah mencari-cari sesuatu dalam diri pria itu. Ia harus berakting, harus berpura-pura. Namun, di dalam hatinya, dendam yang membara seperti api yang tak pernah padam. “Saya Alya. Saya rasa kita sudah pernah bertemu sebelumnya.”
Arga mengernyitkan kening. Ia masih berusaha mengingat, namun rasa asing yang muncul begitu kuat. “Alya, ya?” Ia mengulangi nama itu pelan, seolah mencoba mencocokkannya dengan memori yang kabur. “Maaf, saya tidak ingat kita pernah bertemu.”
Alya tersenyum lebih lebar, senyum yang penuh dengan kepura-puraan. “Mungkin Anda tidak mengingat saya karena kita dulu bertemu dalam situasi yang berbeda. Tapi tidak masalah. Saya hanya ingin berbicara sebentar.”
Arga mengangguk. “Tentu, ayo ke ruangan saya.”
Mereka berjalan menuju ruangannya. Arga membuka pintu dan mempersilakan Alya duduk di kursi depan mejanya. Alya merasa jantungnya berdebar lebih cepat, namun ia berusaha tenang. Setiap langkah yang diambil, setiap kata yang diucapkan, kini adalah bagian dari rencananya.
Setelah beberapa saat, Arga duduk di kursi di seberang Alya. Ia menatap wanita itu dengan tatapan yang semakin curiga, namun rasa penasaran mengalahkan keraguannya. “Jadi, apa yang bisa saya bantu, Alya?” tanyanya, mencoba menggali informasi.
Alya memandang Arga dalam diam. Mata mereka bertemu, dan untuk sejenak, suasana terasa seperti terhenti. “Anda tidak ingat saya,” kata Alya dengan suara rendah, “Tapi saya ingat Anda. Setiap detil tentang Anda.”
Arga terlihat semakin bingung. “Maaf, saya benar-benar tidak mengingat Anda. Jika kita bertemu sebelumnya, mungkin saya terlalu sibuk untuk mengingat semuanya.”
Alya mengangguk pelan, namun hatinya meronta. Ia tahu bahwa Arga sengaja melupakan masa lalu mereka, namun ia juga tahu bahwa pria ini tidak bisa begitu saja melupakan apa yang telah ia lakukan. Semua yang terjadi dulu kini menjadi alasan mengapa Alya berdiri di hadapannya dengan tekad yang membara.
“Saya hanya ingin memastikan Anda tahu siapa saya,” Alya berkata, suara yang terdengar lembut namun penuh kekuatan tersembunyi. “Dan saya ingin Anda tahu bahwa meskipun Anda lupa, saya tidak pernah melupakan apa yang telah Anda lakukan.”
Arga terdiam, dan sesuatu di dalam dirinya tergetar, seolah ada bagian dari ingatannya yang mulai kembali. Namun, sebelum ia bisa menanyakan lebih lanjut, Alya bangkit dari kursinya, memberi salam singkat, dan meninggalkan ruangan itu.
Tak ada kata-kata yang terucap setelah itu. Hanya ada tatapan kosong dari Arga yang ditinggalkan dalam kebingungan, sementara Alya berjalan menjauh, menyimpan setiap perasaan yang baru saja terbangun—perasaan yang lebih kompleks dari sekadar dendam.
Itulah awal dari pertemuan mereka, pertemuan takdir yang tidak hanya membuka kembali luka masa lalu, tetapi juga menyalakan api yang tak akan padam begitu saja.*
BAB 4 Menari di Atas Luka
Alya memandangi bayangannya di kaca cermin besar yang terletak di sudut ruang tamunya. Pencahayaannya lembut, menciptakan siluetnya yang ramping dan memancarkan aura kepercayaan diri yang baru. Seorang wanita yang tak lagi mudah tergores, tak lagi tampak rapuh seperti dulu. Ia telah berubah menjadi sosok yang sulit dibaca, penuh misteri, dan tentu saja, penuh dendam.
Senyum tipis muncul di bibirnya. Itu adalah senyum yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun sebelumnya—senyum yang penuh perhitungan. Ia telah mempersiapkan segala sesuatu dengan hati-hati. Dan kini, waktunya untuk menjalankan rencananya.
Pikirannya kembali melayang pada pertemuannya dengan **Arga** beberapa minggu yang lalu, di sebuah acara bisnis yang dihadiri oleh banyak orang terkemuka. Tak ada yang menyangka bahwa pria yang duduk di sampingnya, memandangi Alya dengan tatapan penuh ketertarikan, adalah orang yang dulu pernah menginjak-injak harga dirinya. Seorang pria yang telah menghancurkan masa depan keluarganya.
Namun, saat itu, Arga tampak berbeda. Ia tak lagi mengenali Alya. Begitu banyak perubahan pada dirinya—lebih matang, lebih maskulin, dan jauh lebih sukses dari yang ia ingat. Seolah-olah pria yang dulu ia kenal adalah seseorang yang telah menghilang, digantikan oleh sosok yang baru, yang tampaknya tak memiliki keterkaitan dengan masa lalu mereka. Namun, bagi Alya, rasa sakit itu masih sangat jelas. Luka itu masih terasa.
Arga, dengan segala kepolosan yang tampaknya tak tahu apa-apa, tersenyum dan menawarkan percakapan yang ringan. “Alya, ya? Aku ingat kamu dulu… tapi rasanya banyak hal yang berubah,” ucapnya, matanya penuh rasa ingin tahu.
Alya hanya tersenyum dan mengangguk. “Banyak yang berubah, memang,” jawabnya dengan suara yang begitu tenang, hampir tak menunjukkan sedikit pun emosi. Padahal, hatinya bergejolak. Dia tahu, ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah langkah pertama dari sebuah permainan besar yang sudah ia rencanakan dengan matang.
Keputusan itu sudah bulat. Ia harus membuat Arga jatuh hati padanya. Bukan karena ia ingin merasakannya kembali, tetapi karena ia tahu ini adalah cara terbaik untuk mengusung dendam yang telah lama terpendam. Alya memutuskan untuk memainkan peranannya dengan sempurna.
Hari demi hari, mereka semakin sering bertemu dalam berbagai acara sosial. Arga yang semakin terpesona dengan pesona Alya, mulai lebih sering mengajaknya bicara. Ia tak tahu bahwa setiap kata dan perhatian yang diberikan kepadanya hanyalah bagian dari permainan yang lebih besar, permainan yang melibatkan luka dan kebencian yang tersembunyi di dalam hati Alya.
Alya tahu bagaimana cara beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Ia tahu kapan harus tertawa dan kapan harus mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia menjadi sosok yang memancarkan kecantikan, kecerdasan, dan kelembutan—semua hal yang membuat Arga semakin tertarik padanya. Namun, di balik semua itu, Alya selalu mengingat satu hal: ini bukan tentang cinta. Ini tentang balas dendam.
Arga, yang dulunya penuh dengan kesombongan dan rasa superioritas, kini terlihat berbeda. Ia lebih rendah hati, lebih lembut, dan lebih tulus. Alya melihat perubahan itu dengan mata yang tajam, mencatat setiap perbedaan. Namun, meskipun Arga terlihat lebih baik, ia tidak bisa menghapus apa yang telah terjadi di masa lalu. Bagi Alya, Arga adalah orang yang bertanggung jawab atas kehancuran keluarganya, dan ia akan membuatnya membayar untuk itu.
Satu per satu, Alya menyusun rencana. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama Arga, memanfaatkan setiap momen untuk mendekatinya dengan cara yang lebih personal. Ia mendengarkan cerita-cerita Arga tentang masa lalu, tentang perjalanan hidupnya, tentang kesuksesannya yang kini ia nikmati. Alya mencatat semuanya.
Namun, dalam hati Alya, ada perasaan yang mulai tumbuh—sesuatu yang tak ia rencanakan. Seiring berjalannya waktu, Alya merasa bahwa ia mulai mengenal Arga lebih dalam, lebih dari sekadar lelaki yang pernah menghancurkan hidupnya. Ia melihat sisi lain dari dirinya—sisi yang tidak pernah ia temui dulu. Arga bukan hanya seorang pria yang keras dan penuh ambisi, tetapi juga seorang manusia yang rapuh, yang pernah merasa kehilangan, yang berjuang melawan ketakutannya sendiri.
Alya merasa kebingungannya semakin besar. Semakin ia mengenal Arga, semakin ia terperangkap dalam perasaan yang tak bisa ia kendalikan. Ia tahu bahwa perasaannya itu adalah sebuah kesalahan. Namun, ada sesuatu dalam diri Arga yang tak bisa ia sangkal. Ada kebaikan yang membuatnya bertanya-tanya apakah dendam ini masih layak diteruskan.
“Kenapa kamu begitu berubah?” Arga suatu kali bertanya, tatapannya penuh makna saat mereka berdiri di balkon sebuah restoran mewah. Malam itu, bintang-bintang terlihat begitu terang, dan udara yang sejuk mengelilingi mereka.
Alya terdiam sejenak, menatap Arga dengan tatapan yang sulit dimengerti. “Kadang, hidup memaksa kita untuk berubah, Arga,” jawabnya perlahan, suaranya menggantung di udara malam yang tenang. “Tapi mungkin, ada hal yang tak akan pernah berubah.”
Arga mengerutkan kening, bingung. Namun, Alya hanya tersenyum tipis. “Tapi jangan khawatir, Arga. Aku masih bisa berteman dengan masa lalu.”
Malam itu, Alya menari di atas luka-lukanya sendiri, merangkai strategi demi strategi, namun perlahan ia mulai merasakan ada rasa lain yang tumbuh dalam hatinya. Sebuah pertanyaan muncul di dalam dirinya: apakah balas dendam seberharga itu untuknya.*
BAB 5 Retaknya Kepercayaan
Alya duduk di kursi kayu yang terletak di sudut kafe, matanya menatap layar ponsel dengan penuh konsentrasi. Sebuah pesan masuk, dari seorang sumber yang tak dikenal, berisi informasi tentang keluarga Arga yang sangat mengejutkan. Namun, rasa curiga malah mulai muncul dalam hatinya. Apakah ini benar? Dan jika benar, apa dampaknya pada rencana balas dendam yang telah ia susun selama bertahun-tahun?
Sejak pertama kali bertemu dengan Arga, Alya merasa ada sesuatu yang ganjil tentang pria itu. Meskipun ia mencoba keras untuk tetap fokus pada tujuannya, Arga seakan memiliki pesona yang sulit untuk dihindari. Arga yang dulu adalah seorang pemuda ceria yang pernah menghancurkan kehidupan keluarganya kini tampak begitu berbeda. Dia dewasa, tenang, dan sangat sukses. Ia mengenakan setelan jas yang rapi, berbicara dengan percaya diri, dan selalu tampak tanpa beban. Tapi di balik itu semua, Alya tahu ada sisi gelap yang tersembunyi.
Setelah beberapa kali pertemuan yang tampaknya biasa saja, Alya mulai merasa keanehan. Ada momen-momen ketika Arga sangat peduli padanya, bahkan lebih dari yang diinginkannya. Arga seringkali menawarkan untuk menemani Alya, baik dalam urusan pekerjaan maupun sekadar jalan-jalan. Setiap kali mereka berbicara, ada tatapan hangat yang tidak pernah Alya rasakan sebelumnya. Bahkan, ada kalanya Arga menatapnya dengan intens, seolah mengingatkan Alya akan masa lalu mereka yang penuh dengan kepedihan.
Namun, Alya tidak bisa begitu saja terbuai oleh perhatian itu. Ia terus mengingatkan dirinya sendiri bahwa tujuan utamanya adalah balas dendam. Dia harus ingat betapa hancurnya hidup keluarganya akibat tindakan Arga di masa lalu. Dendam itu adalah satu-satunya yang memberinya alasan untuk bertahan hidup, untuk terus maju dan memperjuangkan keadilan.
Suatu malam, saat mereka duduk bersama di sebuah restoran mewah, Arga menatap Alya dengan tatapan serius. “Alya, aku ingin tahu lebih banyak tentangmu,” katanya, suara berat namun penuh harap. “Aku merasa seperti aku sudah lama mengenalmu, meskipun kita baru bertemu lagi.”
Alya terdiam sejenak, matanya beralih ke luar jendela. Ia merasa cemas, namun mencoba untuk tetap tenang. “Ada banyak hal yang kau tidak tahu tentang aku, Arga. Begitu juga dengan aku tentang dirimu,” jawabnya, berusaha menyembunyikan ketegangan yang mulai merayapi tubuhnya.
Arga terdiam, sepertinya tidak puas dengan jawaban itu. Tetapi, Alya bisa melihat keraguan di matanya. “Aku ingin kita bisa saling memahami. Mungkin… kita bisa saling memaafkan atas kesalahan di masa lalu.”
Sebuah tawa pahit keluar dari bibir Alya. “Memaafkan? Itu terlalu besar untukku, Arga,” ujarnya dengan nada datar. “Kau tahu apa yang telah kau lakukan pada keluargaku. Apa yang kau buat pada hidupku.”
Arga tampak terkejut, wajahnya mengeras. “Aku tidak tahu apa yang terjadi di keluargamu. Aku bahkan tidak tahu siapa yang harus aku minta maafkan,” jawabnya dengan suara rendah.
Alya merasa hatinya bergejolak. Kenapa Arga bersikap seperti ini? Apakah dia benar-benar tidak tahu? Atau apakah dia hanya berpura-pura tidak tahu? Segalanya terasa semakin membingungkan.
Malam itu, setelah mereka berpisah, Alya berjalan sendirian di trotoar sepi, mencerna percakapan yang baru saja terjadi. Arga tampaknya tidak tahu tentang dampak dari perbuatannya, atau mungkin dia hanya berusaha mencari cara untuk membersihkan namanya. Alya tidak tahu harus merasa marah atau kasihan.
Hari berikutnya, Alya menerima pesan teks dari sumber yang sebelumnya memberikan informasi tentang keluarga Arga. Kali ini, isi pesannya berbeda—dengan rincian lebih jelas tentang hubungan Arga dengan orang-orang yang telah menyebabkan kehancuran keluarganya. Alya merasa tubuhnya kaku saat membaca setiap kalimat, dan sebuah perasaan yang sulit untuk dijelaskan menyelimuti dirinya.
Ternyata, keluarga Arga tidak hanya terlibat dalam bisnis yang merugikan, tetapi ada peran besar dari orang dekat Arga yang malah bekerja dengan pihak lain yang menyebabkan keluarganya kehilangan segalanya. Alya merasa bingung. Di satu sisi, ini adalah bukti bahwa Arga terlibat dalam ketidakadilan yang telah ia alami. Namun, di sisi lain, apakah mungkin Arga tidak tahu apa yang terjadi?
Alya segera bertemu dengan teman dekatnya, **Dina**, untuk mencari pendapat. “Dina, aku menemukan sesuatu yang lebih besar dari yang aku bayangkan,” kata Alya, terdengar lelah. “Aku merasa seperti aku sedang terjebak dalam kebingunganku sendiri.”
Dina memandangnya dengan serius. “Apa maksudmu?”
“Semua yang terjadi, semua yang aku rencanakan, bisa saja tidak sesuai dengan yang aku pikirkan. Arga… dia mungkin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, aku tidak bisa begitu saja mempercayainya,” jawab Alya, suaranya penuh dengan ketegangan.
Dina menatap Alya dengan penuh perhatian. “Kau harus memilih, Alya. Jangan sampai kau terjebak dalam kebencian yang menghancurkanmu. Kalau Arga memang tidak tahu, apakah dendammu akan membawamu pada kebahagiaan? Apakah itu yang benar-benar kau inginkan?”
Kata-kata Dina mengena. Alya terdiam, matanya menatap kosong. Ia tahu bahwa dia harus membuat keputusan besar—terus melanjutkan dendam ini, atau mencoba memaafkan, dan menemukan kebenaran yang lebih besar. Tapi, di balik semuanya, satu hal yang jelas: kepercayaan yang telah mulai retak ini, tak akan pernah kembali seperti semula.*
BAB 6 Kebenaran yang Menyesakkan
Alya menatap layar komputer di depannya, matanya terfokus pada setiap baris data yang baru saja ia peroleh. Tidak ada yang menyangka bahwa pencarian yang dia lakukan selama beberapa minggu terakhir akan membawa dia pada sebuah kebenaran yang jauh lebih besar dan lebih menyakitkan dari apa yang dia duga. Setiap kata yang dia baca semakin membuat dadanya sesak, dan dia merasa seperti terjebak dalam sebuah jebakan waktu yang tidak bisa dia hindari.
Dia ingat bagaimana ia dulu bertekad untuk membalas dendam pada keluarga Arga. Semuanya bermula dari satu insiden yang mengubah hidupnya—suatu kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya dan mengguncang seluruh hidupnya. Ayahnya, yang dulunya seorang pengusaha sukses, dijebloskan ke dalam penjara karena dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Dan di balik semua itu, dia selalu meyakini bahwa keluarga Arga adalah pihak yang bertanggung jawab, terutama Arga sendiri, yang waktu itu masih remaja, namun sudah memiliki pengaruh besar dalam bisnis keluarganya.
Namun, setelah membaca laporan yang tertera di layar komputernya, dia merasa seperti dunia berputar terbalik. Fakta yang dia temukan tidak hanya membalikkan seluruh pandangannya tentang Arga, tetapi juga membuka luka lama yang ingin sekali dia lupakan.
Ternyata, bukan Arga yang menyebabkan kecelakaan itu. Bahkan lebih mengejutkan lagi—kecelakaan itu direncanakan oleh orang yang lebih dekat dengan keluarganya sendiri. Laporan itu menyebutkan bahwa ada seorang rekan bisnis ayahnya, yang tak lain adalah sahabat karibnya, yang bermain belakang untuk merusak nama baik perusahaan dan menyebabkan ayahnya kehilangan segalanya. Sahabat yang seharusnya menjadi pelindung malah berkhianat demi keuntungan pribadi. Ternyata, saat kecelakaan itu terjadi, Arga yang masih muda justru berusaha menyelamatkan ayahnya dari tuduhan yang salah.
Alya merasa tubuhnya lemas, seolah seluruh tenaga meninggalkan tubuhnya. Selama ini dia telah salah dalam menilai semuanya. Kebenaran yang menyesakkan ini menyakitkan lebih dari apapun yang dia rasakan sebelumnya. Selama bertahun-tahun, dia menanamkan kebencian dan dendam yang begitu dalam terhadap Arga, tanpa tahu bahwa pria itu juga menjadi korban dari kebohongan yang sama.
Tangannya gemetar saat ia menutup layar laptop dan menghela napas dalam-dalam. Semua perasaannya bergejolak. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia tak tahu harus bagaimana lagi. Dia ingin melarikan diri, tetapi tidak ada tempat untuk lari. Dendam yang selama ini dia pelihara di dalam hati tiba-tiba terasa hampa dan tak berarti. Semua yang dia lakukan—semua yang dia rencanakan—terasa seperti sia-sia.
Alya memandangi jendela ruangannya, melihat langit yang suram di luar. Hujan gerimis mulai turun, menambah kesuraman suasana hatinya. Dia teringat saat pertama kali bertemu dengan Arga kembali. Betapa mudahnya dia jatuh hati pada pria itu, meskipun hatinya tahu bahwa pertemuan itu bukan untuk saling mengenal, melainkan untuk membalas dendam. Semua perasaan itu kini bercampur aduk. Di satu sisi, ada keinginan untuk menghancurkan Arga, tetapi di sisi lain, ada perasaan yang lebih dalam—perasaan yang sudah lama dia kubur dan dia tak ingin mengakuinya.
Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk dengan lembut. Suara Arga terdengar di luar. “Alya, aku tahu kamu di dalam. Bisa kita bicara?”
Dia terdiam sejenak, memikirkan apakah sebaiknya dia menghadapinya atau tetap bersembunyi dalam kesedihan dan kebingungannya. Namun, akhirnya dia mengangkat kepalanya, mengatur napas, dan berjalan perlahan menuju pintu. Ketika pintu dibuka, Arga berdiri di sana dengan wajah yang penuh keprihatinan. Tatapan matanya yang penuh rasa ingin tahu langsung menembus ke dalam hatinya.
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Arga dengan suara lembut, meskipun nada cemas jelas terdengar.
Alya menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang hampir keluar. “Aku… aku tidak tahu,” jawabnya pelan, suaranya terdengar patah.
Arga mendekat, dan tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Alya. Tangan Alya terasa dingin, dan jantungnya berdegup kencang. “Apa yang terjadi, Alya? Aku bisa merasakannya. Ada yang mengganggumu, dan aku ingin membantu.”
Alya mengalihkan pandangannya, tidak bisa menatap mata Arga lebih lama. “Aku baru saja menemukan sesuatu yang… yang mengubah semuanya. Sesuatu yang sangat besar dan… menyakitkan.”
Arga menarik napas dalam, mencoba memahami. “Apa itu? Jika itu bisa membantu, aku ingin tahu.”
Alya menggigit bibirnya, sulit untuk mengungkapkan perasaan yang begitu mendalam. “Aku… aku tahu sekarang. Kamu bukan orang yang harus aku benci. Semua yang aku lakukan selama ini salah.”
Arga terlihat terkejut, tetapi ia tetap berusaha tenang. “Apa yang kamu maksud?”
“Aku… aku tahu siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada keluargaku. Bukan kamu, bukan keluargamu. Tapi orang lain—orang yang dekat dengan keluargaku sendiri. Dan aku telah salah menilai semuanya.”
Alya merasakan tubuhnya lemas seiring dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dendam yang selama ini dia simpan terasa sangat kosong. Arga menatapnya dalam-dalam, seolah bisa merasakan kebenaran yang baru saja terungkap.
“Jadi, kamu ingin memaafkan aku?” tanya Arga, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Alya terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan perasaannya saat itu. Semua yang dia tahu adalah bahwa dia tidak bisa terus hidup dengan kebencian. Dan mungkin, sekarang waktunya untuk mengubur masa lalunya dan mencari jalan menuju kedamaian, meskipun itu berarti menerima kenyataan yang menyakitkan.*
BAB 7 Cinta yang Tak Direncanakan
Alya duduk di balkon kamar apartemennya, memandangi kota yang tampak sibuk di bawah sana. Pikirannya berkelana, kembali ke awal pertemuan dengan Arga. Semuanya terasa seperti takdir yang mempertemukan mereka kembali setelah bertahun-tahun. Namun, meskipun ia sudah mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, hidup tidak berjalan seperti yang ia rencanakan.
Alya mengingat kembali malam pertama mereka bertemu, saat mereka bertukar pandang di acara gala. Arga, dengan penampilannya yang menawan, tampak seperti pria sempurna yang tak memiliki kesalahan. Alya, di sisi lain, adalah wanita dengan masa lalu yang penuh luka dan dendam. Tidak ada ruang untuk perasaan lain selain kebencian dalam hatinya. Namun, ketika Arga mengajaknya berbicara, tatapan mata itu—mata yang sama yang pernah menatapnya dengan kebohongan bertahun-tahun lalu—kembali menghadirkan rasa yang sulit dijelaskan. Bahkan saat ia berusaha menjaga jarak dan tetap fokus pada tujuan, ada sesuatu yang membuatnya semakin terikat.
“Tidak, ini bukan waktunya untuk itu,” pikir Alya, menggigit bibirnya. Ia telah bersumpah untuk tidak tergoda oleh perasaan ini. Arga adalah musuhnya, meskipun mereka belum benar-benar tahu kebenaran masing-masing.
Namun, semakin hari ia semakin merasa dilema. Setiap kali berbicara dengan Arga, ada hal-hal dalam dirinya yang tergerak—rasa perhatian, kasih sayang, bahkan kepedulian. Ketika Arga memberinya perhatian tulus, Alya merasa hatinya dipenuhi oleh keraguan. Terkadang, saat Arga tersenyum, Alya merasa dunia berhenti sejenak. Momen-momen kecil itu, yang seharusnya ia abaikan, justru menjadi benang-benang halus yang mengikatnya.
Arga, yang awalnya hanya melihatnya sebagai wanita misterius dengan masa lalu yang penuh teka-teki, kini mulai melihat Alya lebih dari sekadar musuh. Ada sesuatu dalam diri Alya yang menarik baginya, meskipun ia tidak sepenuhnya tahu apa itu. Alya sering kali menyembunyikan perasaan dan tujuannya yang sesungguhnya, namun ada sisi dari dirinya yang tak bisa ia sembunyikan—ketulusan yang menyentuh hati Arga.
Malam itu, Alya menghadiri sebuah acara makan malam di restoran mewah bersama Arga dan beberapa kolega. Di sana, mereka berbicara tentang pekerjaan, bisnis, dan segala hal yang tampak biasa. Namun, di tengah-tengah percakapan itu, Alya merasakan sesuatu yang sangat berbeda. Arga menatapnya lebih lama dari biasanya. Ada kehangatan dalam tatapannya, sesuatu yang tidak bisa ia sangkal lagi. Alya berusaha untuk tetap tenang, namun hatinya berdegup kencang.
“Apakah kamu merasa cemas?” tanya Arga dengan nada lembut.
Alya terkejut, seolah terbaca. “Cemas?” jawabnya ragu, mencoba menutupi perasaannya. “Tidak. Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
Arga tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Ada sesuatu yang mengganjal, Alya. Apa kamu tidak merasa nyaman?”
Alya merasa terperangkap. Ia bisa saja berbohong, melanjutkan permainan ini, atau berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Arga yang membuatnya ragu. Ketulusan yang tampak dalam sikap Arga kali ini membuatnya sulit untuk berpura-pura.
“Sebenarnya…,” Alya memulai, dan berhenti sejenak. Ia merasa cemas karena mengungkapkan perasaannya. Perasaan yang tidak pernah ia rencanakan untuk ada. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Seperti ada sesuatu yang mengikat kita, meskipun aku tahu kita berasal dari dunia yang sangat berbeda.”
Arga menatapnya dengan serius. “Aku tidak tahu tentang masa lalumu, Alya, tetapi aku tahu satu hal: aku tidak ingin melihatmu terluka lagi. Mungkin aku belum tahu semua tentang dirimu, tetapi aku ingin mengenalmu lebih dalam.”
Kata-kata Arga meluncur begitu saja, dan dalam hatinya, Alya merasa sebuah perasaan aneh muncul—rasa aman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ini bukan hanya tentang balas dendam lagi, atau melampiaskan rasa benci yang selama ini menyala. Ini tentang perasaan yang jauh lebih dalam—perasaan yang tidak bisa ia kontrol.
Alya menundukkan kepala, mengalihkan pandangannya. “Jangan terlalu baik padaku, Arga,” jawabnya pelan. “Aku tidak ingin kamu jatuh dalam permainan ini. Aku punya alasan untuk membencimu. Kamu… kamu tidak tahu betapa dalam luka yang aku rasakan.”
Arga terdiam, lalu mengangkat dagu Alya dengan lembut, memaksanya untuk menatapnya. “Aku tahu, dan aku tidak akan memaksamu untuk melupakan masa lalumu. Tapi percayalah, aku tidak datang untuk melukaimu. Jika kamu memberi kesempatan, aku akan berusaha menjadi bagian dari hidupmu yang lebih baik.”
Mendengar kata-kata itu, Alya merasa hatinya terbalut kebingungan. Dendamnya yang membara mulai memudar, dan sebuah perasaan baru—perasaan yang tak pernah ia duga—mulai tumbuh. Perasaan itu adalah rasa cinta yang tak terduga, yang tumbuh meskipun ia berusaha menghindarinya.
Alya tahu ini adalah titik balik yang besar dalam hidupnya. Dendam yang telah membara selama bertahun-tahun kini mulai bergoyah. Namun, untuk mengakui perasaan ini, untuk menerima Arga yang kini berdiri di hadapannya dengan penuh harapan, adalah hal yang sangat sulit baginya. Cinta ini—cinta yang tidak pernah direncanakan—mungkin bisa mengubur masa lalunya, tapi apakah ia siap untuk itu?
Di dalam hati Alya, kebingungannya semakin besar. Dendam atau cinta? Mana yang harus dipilih***
——————THE END—————-