Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Membekas
Di sini, kedua tokoh utama bertemu pertama kali dalam keadaan yang tidak terduga. Mungkin salah satu tokoh tengah mengalami peristiwa penting dalam hidupnya, dan yang lainnya muncul sebagai penyelamat dalam saat-saat krisis.
Cinta tumbuh perlahan meskipun mereka memiliki perbedaan besar. Mereka mulai menghabiskan waktu bersama dan saling mengenal lebih dalam.
Keadaan yang menghalangi hubungan mereka, seperti pekerjaan, keluarga, atau impian yang bertentangan.
Cerita dimulai dengan deskripsi suasana yang akan menjadi latar pertemuan mereka. Misalnya, sebuah kafe kecil di sudut kota yang ramai dengan pengunjung, sebuah konser musik yang berlangsung di malam hari, atau ruang perpustakaan yang sunyi. Tempat ini harus mencerminkan keadaan hati dan kehidupan karakter utama pada saat itu.
Perkenalkan tokoh utama perempuan (misalnya) yang sedang merasakan kebingungan dalam hidupnya—mungkin baru saja melalui perpisahan, kegagalan pekerjaan, atau masalah pribadi lainnya. Dia mencari ketenangan atau pelarian dari dunia luar dan akhirnya menemukan dirinya berada di tempat ini, tempat yang tampaknya tidak ada hubungannya dengan kenyataan hidupnya.
Di sini, ia bertemu dengan tokoh utama laki-laki yang tampaknya juga memiliki masalahnya sendiri. Laki-laki ini mungkin sedang merasa terasing, menjalani rutinitas yang monoton, atau merasa kehilangan arah dalam hidupnya. Pertemuan mereka mungkin dimulai dengan percakapan kecil, atau bahkan hanya sebuah tatapan yang tak sengaja.
Tulis tentang bagaimana mereka berdua saling berinteraksi untuk pertama kalinya. Mungkin ada kecanggungan di awal, tetapi ada koneksi yang tak terucapkan di antara mereka. Deskripsikan perasaan mereka secara mendalam—bagaimana tubuh mereka merespons satu sama lain, ketegangan yang muncul ketika mata mereka bertemu, atau kebingungannya saat merasa bahwa pertemuan ini bisa lebih dari sekadar kebetulan.
Percakapan antara kedua tokoh bisa dimulai dengan topik umum, seperti cuaca atau acara yang sedang berlangsung di sekitar mereka, tetapi semakin lama, percakapan mereka menjadi lebih pribadi. Mereka mulai berbicara tentang diri mereka, dan di sinilah kedalaman karakter masing-masing mulai terbuka. Mungkin ada banyak ketertarikan namun juga keraguan—apakah mereka harus membuka diri atau tetap menjaga jarak?
Melalui percakapan, pembaca bisa mendapatkan gambaran lebih lanjut mengenai kehidupan karakter utama. Mungkin tokoh perempuan ini baru saja keluar dari hubungan yang penuh tantangan, atau ia merasa hidupnya stagnan karena pekerjaan yang monoton. Tulis dengan mendalam bagaimana masa lalunya membentuk dirinya yang sekarang, dan bagaimana ia merasa saat berhadapan dengan pertemuan yang membekas ini.
Di sisi lain, tokoh laki-laki juga memiliki latar belakang yang penuh dengan masalah atau pengalaman yang membuatnya menjadi pribadi yang terkesan tertutup. Bisa jadi dia baru saja mengalami kehilangan, atau dia merasa terjebak dalam sebuah rutinitas yang membosankan. Dialog antara mereka bisa memperlihatkan bagaimana pengalaman hidup mereka berbeda, tetapi mereka saling memahami tanpa mengucapkan terlalu banyak kata.
Setelah pertemuan mereka, tokoh utama merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Mungkin dia merasa lebih ringan, seolah ada bagian dari dirinya yang terangkat karena percakapan tersebut. Namun, pada saat yang sama, dia merasakan kebingungan—apakah perasaan ini akan bertahan? Apakah pertemuan ini memang berarti sesuatu? Tulis perasaan tokoh utama yang mulai teraduk-aduk setelah pertemuan ini.
Meskipun ada perasaan yang kuat tumbuh dalam dirinya, tokoh utama juga merasa ragu. Mungkin dia merasa tidak layak untuk membuka hati lagi, atau dia merasa bahwa pertemuan ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Ini adalah titik di mana dia harus memilih: tetap menjaga jarak atau memberi kesempatan pada perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya.
Tokoh utama laki-laki juga merasakan hal yang sama—dia terkesan dengan perempuan ini, tetapi dia tidak ingin terlalu cepat melibatkan diri. Ada ketakutan dalam dirinya, apakah dia siap untuk membuka hati atau apakah dia hanya mencari pelarian dari kehidupan yang terasa hampa? Tulis tentang pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya yang mengarah pada keraguan dan ketakutan.
Meskipun mereka berdua tidak yakin, ada keinginan untuk bertemu lagi—sesuatu yang menggerakkan mereka untuk tidak menutup kemungkinan. Mungkin mereka bertukar kontak atau berjanji untuk bertemu di tempat yang sama di lain waktu, meskipun mereka tidak sepenuhnya yakin apa yang akan terjadi. Tulis tentang rasa penasaran dan ketegangan yang muncul setelah pertemuan pertama ini.
Bab 2: Keajaiban dalam Kesederhanaan
Kedua tokoh utama mulai menemukan keindahan dalam kebersamaan yang sederhana, walaupun situasi hidup mereka jauh dari ideal. Mereka belajar untuk menghargai hal-hal kecil yang membuat hubungan mereka semakin kuat.
Penekanan pada bagaimana tokoh utama mulai membuka diri satu sama lain dan berbagi cerita tentang masa lalu mereka yang membentuk siapa mereka saat ini.
Muncul masalah eksternal, seperti masalah keluarga atau pertemuan dengan orang ketiga yang bisa mengguncang hubungan mereka.
Matahari mulai beranjak turun, mewarnai langit dengan semburat jingga yang menenangkan. Angin sore berhembus perlahan, membawa aroma khas tanah yang sedikit lembab setelah hujan semalam. Di sebuah rumah sederhana di pinggir desa, Raka duduk di teras kayu rumahnya, menikmati segelas teh hangat yang mengepul di tangannya.
Sejak kecil, ia terbiasa dengan kehidupan yang tidak mewah. Rumahnya terbuat dari kayu jati tua, dengan pekarangan kecil yang ditanami berbagai tanaman herbal oleh ibunya. Meski sederhana, rumah itu selalu terasa hangat dan nyaman. Setiap sore, suara burung gereja bercampur dengan tawa anak-anak kecil yang bermain di halaman.
Di sisi lain, ada Kirana—gadis kota yang baru saja pindah ke desa itu untuk sementara waktu. Ia tumbuh dalam lingkungan yang serba berkecukupan, terbiasa dengan gemerlapnya kehidupan perkotaan. Kedatangannya ke desa bukanlah sesuatu yang ia rencanakan, melainkan permintaan ayahnya yang ingin Kirana merasakan hidup jauh dari hiruk-pikuk kota.
Hari-hari pertama Kirana di desa terasa begitu berat. Jaringan internet yang lemah membuatnya sulit mengakses media sosial, sesuatu yang hampir menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Ia juga harus belajar menyesuaikan diri dengan suasana desa yang jauh lebih tenang dan bersahaja.
Namun, di tengah kesederhanaan itu, Kirana mulai menemukan hal-hal kecil yang membuatnya tersenyum. Salah satunya adalah kebiasaan penduduk desa yang selalu menyapa satu sama lain dengan tulus. Tidak ada keegoisan atau ketergesaan seperti di kota. Semua orang tampak begitu santai, menikmati hidup tanpa terburu-buru.
Suatu sore, ketika Kirana duduk di bawah pohon mangga dekat rumahnya, Raka datang menghampiri.
“Kirana, kamu kelihatan bosan,” ujarnya sambil duduk di sampingnya.
Kirana menghela napas, menatap langit yang perlahan berubah warna. “Aku tidak terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Di kota, ada banyak hal yang bisa dilakukan. Tapi di sini… aku merasa terjebak dalam kesunyian.”
Raka tersenyum, lalu mengambil sebuah batu kecil dan melemparkannya ke sungai kecil di dekat mereka. “Kesunyian itu bukan hal yang buruk. Justru dalam kesunyian, kita bisa menemukan banyak hal yang selama ini terlewatkan.”
Kirana menoleh ke arah Raka. “Maksudmu?”
“Di kota, semuanya berjalan cepat. Orang-orang berlomba-lomba mengejar sesuatu yang mereka sendiri belum tentu tahu apa. Tapi di sini, kita bisa menikmati hal-hal sederhana yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya.”
Kirana mengernyit. “Seperti apa?”
Raka menoleh ke sekeliling, lalu menunjuk ke arah beberapa anak kecil yang sedang bermain lompat tali. “Seperti tawa mereka. Itu bukan tawa yang dibuat-buat karena ingin terlihat bahagia di media sosial. Itu tawa yang lahir dari kebahagiaan yang tulus.”
Kirana memperhatikan anak-anak itu, lalu mengangguk kecil. Ada kehangatan di sana. Tidak ada ponsel, tidak ada filter kamera, hanya kesenangan yang murni.
Hari-hari berikutnya, Raka mulai mengenalkan Kirana pada kehidupan desa yang lebih dalam. Ia mengajaknya ke sawah untuk merasakan tanah yang lembut di bawah kaki, membantunya memasak dengan bahan-bahan segar yang diambil langsung dari kebun, dan bahkan mengajaknya berkeliling desa dengan sepeda tua.
Perlahan, Kirana mulai menemukan keajaiban dalam kesederhanaan itu.
Salah satu momen yang paling berkesan adalah ketika Raka membawanya ke rumah seorang nenek tua bernama Mbok Siti. Wanita itu tinggal sendirian, menghabiskan hari-harinya membuat kain tenun yang indah.
“Kenapa Mbok Siti tinggal sendirian?” tanya Kirana saat mereka duduk di beranda rumah Mbok Siti, menikmati secangkir wedang jahe.
“Anak-anaknya merantau ke kota. Tapi meskipun sendirian, Mbok Siti selalu terlihat bahagia. Dia tidak mengeluh, tidak merasa kesepian, karena dia mencintai apa yang dia lakukan.”
Kirana memperhatikan tangan keriput Mbok Siti yang dengan cekatan menenun benang demi benang menjadi kain indah. Ada ketenangan di wajahnya, seolah hidupnya sudah cukup hanya dengan melakukan apa yang dicintainya.
Saat itu, Kirana mulai menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu harus datang dari hal-hal besar atau gemerlap. Kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal kecil—dalam senyuman seseorang, dalam secangkir teh yang diseduh dengan penuh kasih, dalam kebersamaan yang tulus.
Waktu terus berlalu, dan Kirana merasa semakin nyaman dengan kehidupan di desa. Ia mulai menikmati pagi yang tenang, udara yang segar, dan bahkan mulai memahami mengapa Raka mencintai tempat ini.
Suatu hari, ketika mereka sedang duduk di bawah pohon rindang, Kirana berkata, “Aku dulu berpikir bahwa kebahagiaan ada di tempat-tempat mewah, di restoran mahal, atau dalam perjalanan ke luar negeri. Tapi sekarang, aku tahu bahwa kebahagiaan juga bisa ditemukan di tempat yang paling sederhana, selama kita mau melihatnya.”
Raka tersenyum. “Kamu akhirnya mengerti.”
Kirana mengangguk. “Terima kasih, Raka. Kamu sudah menunjukkan sesuatu yang selama ini tidak pernah aku sadari.”
Hari-hari di desa pun berlalu dengan lebih bermakna bagi Kirana. Ia tak lagi merasa terjebak dalam kesunyian, melainkan menemukan keindahan di dalamnya.
Keajaiban itu tidak datang dalam bentuk sesuatu yang besar. Terkadang, keajaiban hadir dalam bentuk yang paling sederhana.
Dan dalam kesederhanaan itu, Kirana menemukan sesuatu yang lebih berharga—sebuah kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan apapun.
Bab 3: Ketidakpastian yang Menghantui
Muncul keraguan besar dalam hubungan mereka. Salah satu atau kedua tokoh utama merasa ragu apakah hubungan ini bisa bertahan, mengingat tantangan yang semakin besar. Ini adalah masa-masa di mana mereka mempertanyakan apakah cinta mereka bisa mengatasi semua.
Ketegangan emosional meningkat, salah satu tokoh utama mungkin mulai menarik diri atau berusaha menghindari masalah, sementara yang lainnya berjuang untuk menjaga hubungan tetap berjalan.
Keputusan besar atau pengungkapan yang membuka kedalaman perasaan tokoh utama. Mungkin salah satu dari mereka membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan, tetapi kemudian mereka sadar bahwa mereka tak bisa saling melepaskan.
Setelah pertemuan yang menggetarkan dan semakin eratnya hubungan yang terjalin, tokoh utama mulai merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Ada ketertarikan yang nyata, tetapi juga ada ketidakpastian yang terus menghantuinya.
merasa senang dengan kehadiran pria itu dalam hidupnya, tetapi dia takut untuk terlalu berharap. Apakah ini cinta yang nyata atau hanya ilusi? Apakah pria itu benar-benar tulus atau sekadar mengisi kekosongan?
pun tidak kalah bingung. Dia merasakan sesuatu yang berbeda saat bersama perempuan ini, tetapi ada ketakutan yang tak bisa ia abaikan. Apakah dia siap membuka hatinya kembali? Apakah dia hanya membawa harapan palsu?
Perempuan itu mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Ia ingin percaya bahwa ada kesempatan untuk mencintai lagi, tetapi masa lalunya terus menghantui.Pria itu juga mulai menjauh tanpa alasan yang jelas. Dia sering terlihat melamun, sibuk dengan pikirannya sendiri, dan terkadang menghilang tanpa kabar.Ada kesenjangan yang mulai terasa di antara mereka. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan ketidakpastian yang muncul, tetapi keduanya sama-sama merasakannya.Perempuan itu mulai merasakan ketakutan bahwa hubungan ini hanya sementara. Ia bertanya-tanya apakah pria itu sungguh-sungguh atau hanya menganggapnya sebagai seseorang yang bisa menemani di saat sepi.Pria itu pun mulai menarik diri. Ada luka lama yang masih belum sembuh, ada ketakutan untuk jatuh terlalu dalam.Ketika mereka bersama, semuanya terasa begitu nyata. Namun, saat berpisah, keraguan kembali menyeruak.
Jika sebelumnya mereka sering berbicara, kini pesan-pesan yang dikirim semakin jarang. Perempuan itu sering melihat ponselnya, menunggu pesan yang tak kunjung datang.
Ketika mereka berbicara, ada sesuatu yang terasa berbeda. Percakapan tidak lagi penuh tawa, melainkan penuh kehati-hatian.
Ada hal yang tidak diungkapkan, tetapi sangat terasa di antara mereka.sebelum semuanya menjadi lebih menyakitkan?Pria itu juga berjuang dengan pikirannya sendiri. Dia tahu ada sesuatu yang tumbuh dalam hatinya, tetapi ia tidak yakin apakah ia bisa memberi perempuan itu kebahagiaan yang ia butuhkan.
Setelah berhari-hari dalam ketidakpastian, perempuan itu akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.“Kamu kenapa akhir-akhir ini? Ada yang berubah.”Pria itu terdiam. Dia tahu dia harus menjawab, tetapi dia tidak tahu bagaimana mengungkapkan isi hatinya.Pria itu akhirnya mengungkapkan ketakutannya. Dia takut mencintai, takut kehilangan, dan takut mengecewakan.Perempuan itu merasa sakit mendengar kata-kata itu, tetapi dia juga mengerti. Dia sendiri pun memiliki ketakutannya sendiri.
Apakah mereka akan tetap bertahan meskipun penuh ketidakpastian?
Apakah mereka akan memilih berpisah sebelum segalanya menjadi lebih rumit?
Ada kesedihan yang menggantung, tetapi juga harapan yang samar.
Setelah percakapan itu, mereka berpisah tanpa jawaban yang jelas.
Perempuan itu merasa kosong, pria itu merasa terbebani.
Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun satu hal yang pasti: perasaan ini nyata, dan mereka harus mencari jawabannya sendiri.
Bab 4: Cinta yang Diuji
Ketegangan semakin memuncak dengan ujian-ujian besar dalam hubungan mereka. Cinta yang selama ini tampak sempurna mulai diuji oleh kenyataan hidup yang keras.
Keputusan-keputusan besar yang diambil, seperti apakah mereka akan berkompromi atau berpisah sementara waktu untuk mencari jawaban.
Terdapat kesalahpahaman atau krisis besar yang membuat mereka merasa terpisah, tetapi mereka harus menghadapinya dengan keberanian yang lebih besar.
Seiring waktu, hubungan mereka tidak lagi terasa seindah dulu. Ada jarak yang mulai terbentuk, bukan karena kurangnya rasa sayang, tetapi karena kenyataan hidup yang menguji mereka.
Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Livia duduk di sudut kafe favorit mereka, menatap kosong ke luar jendela. Sudah hampir setengah jam, dan Reza belum juga datang. Biasanya, ia yang lebih dulu menunggu, tapi akhir-akhir ini semuanya terasa berbeda.
“Maaf, aku terlambat.” Reza akhirnya muncul, napasnya sedikit terengah-engah.
Livia menoleh sekilas, lalu mengaduk kopinya yang sudah mulai dingin. “Aku tahu.”
Bukan lagi pertanyaan ‘kenapa terlambat’, tapi lebih pada ‘aku tahu ini akan terjadi lagi’.
Setiap hubungan pasti mengalami pasang surut, tetapi bagi mereka, rintangan yang muncul semakin sulit untuk diabaikan.
Perbedaan Prioritas
Reza mulai sibuk dengan pekerjaannya. Kariernya sebagai arsitek menuntutnya untuk sering pulang larut malam. Ia ingin membangun masa depan mereka, tetapi tanpa sadar, ia mulai mengabaikan Livia.
Di sisi lain, Livia mulai merasa diabaikan. Ia ingin diprioritaskan, tetapi tidak ingin menjadi beban bagi Reza.
“Aku nggak pernah protes soal kerjaan kamu, Reza. Tapi bisakah, setidaknya, kamu memberiku waktu?”
“Aku melakukan ini juga untuk kita, Liv,” jawab Reza dengan nada lelah.
“Tapi apa gunanya kalau dalam prosesnya, kita kehilangan satu sama lain?”
Reza terdiam. Ia ingin menjelaskan bahwa ia tidak punya pilihan, tetapi bagaimana bisa ia berkata demikian pada seseorang yang ia cintai?
Konflik semakin rumit ketika muncul pihak ketiga yang tanpa sengaja menjadi pemicu pertengkaran mereka.
Munculnya Orang Lain
Livia mulai mendengar desas-desus bahwa Reza sering makan siang dengan seorang rekan kerja perempuannya, Amanda. Awalnya, ia tidak peduli, tetapi semakin lama, bayangan itu terus menghantuinya.
Suatu hari, Livia melihat mereka berdua keluar dari sebuah restoran. Tidak ada yang mencurigakan, tetapi ia tidak bisa menahan perasaan cemburu yang mulai menguasai hatinya.
Saat malam tiba, ia mengirim pesan.
“Reza, kita bisa bicara?”
“Tentu. Ada apa?”
“Jujur saja. Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Amanda?”
Reza menghela napas panjang. Ia tidak menyangka akan sampai pada titik ini.
“Amanda hanya rekan kerja, Liv. Aku nggak pernah berpikir yang aneh-aneh tentang dia.”
Livia menatap Reza lekat-lekat. “Tapi kamu lebih sering bersamanya daripada denganku.”
Reza tidak bisa menjawab. Ia sadar, mungkin selama ini tanpa sengaja, ia telah memberikan perhatian lebih kepada orang lain daripada pasangannya sendiri.
Setelah pertengkaran itu, semuanya berubah. Mereka masih bersama, tetapi kehangatan itu perlahan memudar.
Livia menjadi lebih pendiam. Ia mulai mempertanyakan apakah masih layak untuk bertahan.
Reza merasa bersalah, tetapi ia juga bingung harus melakukan apa.
Mereka masih saling mencintai, tetapi ada tembok yang semakin tinggi di antara mereka.
Suatu malam, ketika mereka akhirnya punya waktu untuk bertemu, suasana terasa begitu canggung. Tidak ada percakapan panjang seperti dulu, hanya tatapan kosong dan jeda yang terlalu lama.
“Apa kita masih baik-baik saja?” Livia akhirnya bertanya.
Reza menatapnya. “Aku ingin percaya kalau kita masih bisa bertahan.”
“Tapi?”
“Tapi aku takut, Liv.”
“Tentang apa?”
Reza menghela napas panjang. “Tentang kehilanganmu.”
Hati Livia mencelos. Kata-kata itu seharusnya membuatnya bahagia, tetapi justru membuat dadanya semakin sesak.
“Kalau kamu takut kehilangan, kenapa rasanya seperti kamu sudah melepaskanku lebih dulu?”
Reza tidak bisa menjawab. Ia ingin menjelaskan, tetapi bahkan ia sendiri tidak tahu bagaimana harus memulainya.
Setelah berbagai pertengkaran dan ketidakpastian, mereka tahu bahwa mereka harus membuat keputusan.
Mereka duduk di tempat favorit mereka, di bangku taman yang menjadi saksi awal hubungan mereka. Kali ini, tidak ada senyum, hanya tatapan penuh pertanyaan.
“Apa kita masih bisa bertahan?” Livia bertanya dengan suara pelan.
Reza menggenggam tangan Livia. “Aku ingin kita bertahan.”
“Tapi ingin saja nggak cukup, Reza. Aku butuh kepastian.”
Hening.
Reza menatap Livia dengan mata penuh keraguan. Ia ingin menjanjikan sesuatu, tetapi apakah ia benar-benar bisa menepatinya?
Livia akhirnya berdiri, menghembuskan napas panjang. “Mungkin, kita butuh waktu.”
“Tunggu, Liv—”
Livia tersenyum kecil, tapi matanya berkaca-kaca. “Aku nggak bilang kita harus menyerah. Tapi kalau terus seperti ini, kita malah akan saling melukai.”
Malam itu, mereka tidak berpisah dengan kata perpisahan. Hanya keheningan, dan harapan kecil bahwa cinta yang diuji akan menemukan jalannya kembali.
Bab 5: Terpisah oleh Waktu dan Jarak
Setelah melalui banyak rintangan, mereka terpisah sementara waktu karena suatu alasan, seperti jarak, pekerjaan, atau situasi hidup yang tak terelakkan. Meskipun terpisah, cinta mereka tetap ada di hati masing-masing.
Keduanya mulai tumbuh sebagai individu, merenungkan apa yang telah mereka pelajari dari hubungan mereka.
Momen di mana mereka merasa benar-benar terpisah, tetapi tak ada yang bisa menggantikan perasaan mereka satu sama lain. Ini adalah bagian di mana mereka mulai menyadari bahwa mereka masih saling mencintai.
Cinta mereka telah diuji oleh berbagai hal, tetapi kali ini ujian yang datang terasa lebih berat. Jarak bukan hanya tentang kilometer yang memisahkan, tetapi juga tentang waktu, kesempatan, dan perubahan yang tidak bisa dihindari.
Livia menatap tiket pesawat yang ada di tangannya. Tiga hari lagi, ia akan terbang ke Paris untuk melanjutkan studinya. Di sisi lain, Reza tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Jakarta.
“Apa kita akan baik-baik saja?” tanya Livia pelan.
Reza menatapnya dalam-dalam. “Aku ingin percaya kalau kita bisa bertahan.”
“Tapi?”
“Tapi aku takut, Liv. Aku takut jarak ini akan mengubah segalanya.”
Livia menggenggam tangan Reza erat. “Aku juga takut, tapi aku tidak ingin kehilangan kita.”
Mereka berdua saling menatap, menyadari bahwa cinta saja mungkin tidak cukup untuk menghadapi kenyataan yang ada.
Menjelang keberangkatan Livia, semuanya terasa semakin berat.
Mereka menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama, tapi semakin lama, semakin terasa bahwa mereka sedang menghitung hari menuju perpisahan.
Setiap percakapan terasa emosional, setiap sentuhan terasa lebih dalam, dan setiap tatapan penuh dengan ketakutan.
Reza mulai lebih diam, seakan sedang menyembunyikan sesuatu.
Suatu malam, mereka duduk di sebuah taman tempat mereka sering menghabiskan waktu.
“Kamu yakin dengan ini?” tanya Reza.
Livia mengangguk. “Aku harus, Reza. Ini impianku.”
Reza terdiam sejenak. “Aku hanya takut kita akan berubah.”
Livia tersenyum kecil. “Aku lebih takut kalau kita berhenti mencoba.”
Reza menarik napas dalam-dalam. Ia ingin mendukung Livia, tetapi tidak bisa menutupi ketakutannya sendiri.
Hari keberangkatan tiba. Bandara penuh dengan suara orang-orang yang sibuk, tetapi bagi mereka berdua, semuanya terasa hening.
Reza memeluk Livia erat, seakan tidak ingin melepaskannya. “Jangan lupa aku.”
Livia tertawa kecil, meski matanya berkaca-kaca. “Mana mungkin aku bisa lupa?”
Setelah perpisahan itu, mereka harus mulai menjalani hubungan jarak jauh.
Minggu pertama terasa berat. Setiap hari, mereka saling menghubungi, mengirim pesan, dan menelepon berjam-jam. Seakan tidak ada yang berubah.
Bulan pertama, jadwal mulai berubah. Livia mulai sibuk dengan kelas dan tugas-tugasnya, sementara Reza tenggelam dalam pekerjaannya.
Suatu hari, saat mereka berjanji untuk video call, Livia tidak sempat mengangkatnya.
“Maaf, aku ketiduran.”
“Nggak apa-apa. Aku ngerti.”
Tapi Reza tahu, hatinya mulai terasa sepi.
Seiring waktu, masalah-masalah baru mulai muncul.
Dengan perbedaan enam jam antara Jakarta dan Paris, mereka sering kesulitan menemukan waktu untuk berbicara.
Reza sering tertidur menunggu pesan dari Livia. Begitu juga sebaliknya.
Suatu malam, Livia mengirim pesan panjang tentang harinya, tetapi ketika ia menekan tombol ‘kirim’, ia sadar bahwa Reza sudah tertidur.
Ia merasa kesepian.
Di tempatnya yang baru, Livia bertemu dengan orang-orang baru. Ia mulai menemukan rutinitas yang berbeda.
Reza mulai merasa seperti bagian dari masa lalu.
Suatu hari, ia melihat foto Livia bersama teman-temannya di Paris. Salah satu dari mereka adalah seorang pria bernama Lucas, yang sering disebut Livia dalam ceritanya.
Cemburu mulai merayap dalam hati Reza.
“Siapa Lucas?”
“Dia teman sekelas. Kenapa?”
“Nggak, cuma nanya.”
Tapi jauh di dalam hati, Reza mulai merasa takut kehilangan Livia.
Hubungan mereka semakin sulit dipertahankan.
Suatu malam, Reza menelepon Livia, tetapi panggilannya tidak dijawab.
Ia menunggu. Satu jam. Dua jam.
Akhirnya, Livia membalas.
“Maaf, aku baru pulang dari acara kampus.”
Reza ingin percaya, tetapi rasa cemburu mulai menguasai pikirannya.
Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka bertengkar.
“Aku nggak ngerti, Liv. Kenapa sekarang rasanya kita semakin jauh?”
Livia terdiam. “Aku juga merasa begitu.”
Mereka berdua tahu, ada sesuatu yang mulai berubah.
Mereka berusaha untuk tetap bertahan, tetapi kelelahan mulai menghampiri.
Suatu malam, Livia menghubungi Reza.
“Apa kita masih baik-baik saja?”
Reza tidak langsung menjawab. “Aku ingin bilang iya, tapi aku nggak yakin.”
Livia menarik napas dalam. “Aku juga.”
Untuk pertama kalinya, mereka berdua mengakui bahwa hubungan mereka sedang berada di titik terendah.
Mereka saling mencintai, tetapi apakah itu cukup?
Setelah banyak pertimbangan, mereka menyadari bahwa ada dua pilihan:
Bertahan dan mencoba memperbaiki semuanya.
Mengikhlaskan jika memang sudah tidak bisa dipertahankan.
Malam itu, mereka berbicara panjang lebar.
“Aku nggak mau kehilangan kamu, Liv.”
“Aku juga nggak, Reza.”
“Tapi apa kita masih bisa seperti dulu?”
Livia terdiam. “Aku nggak tahu. Tapi aku ingin mencoba.”
Dan di situlah mereka membuat keputusan:
Mereka tidak akan menyerah.
Hubungan jarak jauh ini memang sulit, tetapi mereka memilih untuk berjuang bersama.
Meskipun jarak dan waktu memisahkan mereka, Livia dan Reza memilih untuk percaya bahwa cinta mereka bisa bertahan.
Bab 6: Cinta yang Tumbuh dalam Kesunyian
Setelah perpisahan yang sementara, kedua tokoh utama belajar banyak tentang diri mereka sendiri. Meskipun terpisah, cinta mereka terus tumbuh, dan mereka semakin memahami bagaimana menjalani hidup tanpa satu sama lain, namun tetap merasa ada ikatan yang tak bisa diputuskan.
Mereka mulai menemukan cara untuk mengatasi rintangan besar yang ada di sekitar mereka. Mereka belajar untuk menghargai kehidupan mereka yang terpisah, namun tetap berharap untuk bertemu lagi.
Salah satu tokoh utama membuat keputusan besar yang bisa mengubah jalannya hubungan mereka selamanya. Ini adalah titik penting di mana mereka harus memilih: terus bersama atau berpisah selamanya.
Waktu terus berjalan, tetapi bagi Livia dan Reza, cinta mereka seakan terjebak dalam ruang hampa. Setelah berbulan-bulan menjalani hubungan jarak jauh, semuanya mulai terasa berbeda.
Mereka tidak lagi berbicara setiap hari. Jika dulu ada panggilan video yang berlangsung berjam-jam, kini hanya ada pesan singkat yang sering kali terlambat dibalas.
Reza sibuk dengan pekerjaannya di Jakarta, sementara Livia semakin tenggelam dalam kehidupan barunya di Paris.
Mereka masih bersama, tetapi seolah-olah mereka ada di dunia yang berbeda.
Malam-malam terasa lebih panjang bagi Reza.
Ia masih menyimpan semua kenangan mereka, membaca ulang pesan-pesan lama, dan berharap semuanya bisa kembali seperti dulu.
Suatu malam, ia menatap layar ponselnya, ragu-ragu untuk mengirim pesan.
“Lagi apa?”
Tidak langsung terkirim. Ia menghapusnya, mengetik ulang, lalu menghapus lagi.
Di sisi lain dunia, Livia sibuk dengan tugas dan pergaulannya yang baru. Ia masih mencintai Reza, tetapi tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang berubah.
Suatu malam, ia merenung sambil menatap menara Eiffel dari jendela kamarnya.
“Apakah ini yang disebut perlahan melupakan?”
Ia tidak ingin kehilangan Reza, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana cara memperbaiki semuanya.
Ada satu hal yang membuat mereka masih bertahan: janji mereka untuk tetap bersama.
Tapi apakah janji itu cukup?
Mereka mulai menjalani hubungan dengan sekadar formalitas.
Tidak lagi ada kejutan-kejutan kecil seperti dulu.
Tidak ada kata-kata manis yang keluar begitu saja.
Bahkan ketika berbicara, semuanya terasa hambar.
Suatu malam, Livia mencoba menelepon Reza.
“Apa kabar?”
Reza tersenyum kecil meski ia tahu Livia tidak bisa melihatnya. “Baik.”
Hening.
“Apa kamu sibuk?” tanya Livia.
“Lumayan,” jawab Reza singkat.
Pembicaraan itu berakhir begitu saja. Tidak ada lagi tawa yang memenuhi panggilan mereka.
Dan di saat itulah mereka berdua mulai bertanya-tanya…
“Apakah ini masih cinta?”
Baik Reza maupun Livia sama-sama tidak ingin kehilangan satu sama lain.
Tapi mereka juga takut untuk mengakui bahwa hubungan mereka semakin goyah.
Suatu malam, Livia menerima pesan dari seorang teman kuliahnya, Lucas.
“Livia, kamu baik-baik saja? Belakangan ini kelihatan murung.”
Ia tersenyum tipis.
“Aku baik-baik saja, hanya sedang banyak pikiran.”
Lucas tidak bertanya lebih lanjut, tetapi keberadaannya mulai memberi Livia kenyamanan yang tidak lagi ia rasakan bersama Reza.
Di Jakarta, Reza juga merasakan hal yang sama. Ia mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya, mencoba mengisi kekosongan yang mulai ia rasakan.
Namun, tidak ada yang bisa menggantikan Livia.
Tidak ada yang bisa menggantikan suara lembutnya saat mengatakan “aku sayang kamu”.
Dan ia takut suatu hari nanti, suara itu akan benar-benar menghilang.
Reza dan Livia sadar, mereka tidak bisa terus seperti ini.
Suatu malam, mereka memutuskan untuk berbicara serius.
“Kamu masih sayang aku?” tanya Livia pelan.
Reza terdiam beberapa detik sebelum menjawab. “Tentu saja.”
“Tapi kenapa rasanya kita semakin jauh?”
Reza menarik napas dalam. “Aku juga nggak tahu, Liv. Aku berusaha, tapi rasanya… ada sesuatu yang hilang.”
Livia mengangguk pelan. “Aku juga merasakannya.”
Untuk pertama kalinya, mereka benar-benar jujur satu sama lain.
Tidak ada yang ingin menyalahkan siapa pun, karena mereka tahu bahwa hubungan ini perlahan-lahan berubah tanpa mereka sadari.
Livia tersenyum kecil. “Apa kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya?”
Reza menggenggam tangannya erat, meski hanya dalam imajinasinya.
“Aku ingin percaya kalau kita masih bisa.”
Mereka menyadari bahwa mereka harus melakukan sesuatu jika ingin hubungan ini tetap hidup.
Mereka berjanji untuk lebih sering menghabiskan waktu bersama, meskipun hanya lewat video call.
Mereka mulai berbicara tentang hal-hal kecil lagi, seperti dulu.
Mereka berusaha menghidupkan kembali percikan yang pernah ada.
Mungkin butuh waktu, tetapi mereka tahu satu hal:
Mereka masih saling mencintai.
Dan selama masih ada cinta, mereka tidak akan menyerah.
Meskipun terpisah oleh jarak dan waktu, Reza dan Livia memilih untuk bertahan.
Cinta mereka mungkin tidak lagi seperti dulu, tetapi mereka tahu…
Jika mereka mau berjuang, cinta itu masih bisa tumbuh.
Dalam kesunyian, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang hadir secara fisik, tetapi juga tentang bertahan dalam hati.
Dan mereka memilih untuk tetap bersama.
Bab 7: Ujian yang Menguatkan
Masalah terbesar mereka datang ke permukaan, dan mereka harus menghadapi kenyataan dengan keberanian yang lebih besar dari sebelumnya. Mereka mungkin harus menghadapi kehilangan yang menyakitkan atau memutuskan untuk menghadapi segala kesulitan bersama-sama.
Pada bab ini, cinta mereka diuji oleh segala halangan, tetapi mereka menemukan cara untuk menghadapinya bersama. Mereka menyadari bahwa cinta mereka bukan hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang kesetiaan dan pengorbanan.
Cinta yang mengatasi semua tantangan dan ujian yang mereka hadapi.
Reza dan Livia telah berusaha keras untuk mempertahankan hubungan mereka.
Mereka mencoba menghidupkan kembali percikan cinta yang sempat meredup, tetapi ujian terbesar justru datang ketika mereka mulai merasa nyaman lagi.
Jarak yang memisahkan mereka masih ada.
Kesibukan masih menyita perhatian mereka.
Dan kali ini, ujian itu lebih berat dari yang pernah mereka bayangkan.
Livia mulai merasa semakin kesepian di Paris. Reza juga mulai merasa lelah dengan ketidakpastian.
Namun, mereka tidak ingin menyerah begitu saja.
Suatu hari, Livia menerima pesan dari Lucas, teman dekatnya di kampus.
“Kamu kelihatan sedih akhir-akhir ini, Liv. Aku di sini kalau kamu butuh seseorang untuk bicara.”
Livia membaca pesan itu berulang kali.
Bukan karena ia tertarik pada Lucas. Bukan karena ia ingin menggantikan Reza.
Tetapi karena ia menyadari sesuatu:
“Kenapa aku merasa lebih nyaman berbicara dengan Lucas dibanding dengan Reza?”
Di sisi lain dunia, Reza mulai merasakan kejenuhan yang sama.
Setiap kali ia menelepon Livia, ia merasa ada jarak yang tak terlihat.
Ia tidak tahu apakah ini hanya perasaannya saja, atau memang ada sesuatu yang berubah.
Namun, satu hal yang pasti:
Ia takut kehilangan Livia.
Malam itu, Reza akhirnya memutuskan untuk jujur.
“Livia, aku merasa kita semakin jauh.”
Livia terdiam. “Apa maksudmu?”
“Aku nggak tahu. Aku cuma merasa kita nggak seperti dulu lagi. Aku takut…”
Livia menggigit bibirnya. “Takut apa, Reza?”
“Takut kehilanganmu.”
Hening.
Livia menghela napas. “Aku juga takut, Reza. Aku takut kita bertahan hanya karena kita takut berpisah.”
Kata-kata itu menusuk hati Reza.
“Jadi… kamu ingin kita berhenti?” tanyanya pelan.
Livia menggeleng. “Bukan itu maksudku. Aku ingin kita jujur pada diri sendiri. Apa kita masih berjuang karena cinta? Atau hanya karena takut kehilangan?”
Reza tidak bisa menjawab.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka memilih untuk tidak berbicara satu sama lain.
Hari-hari berikutnya terasa lebih sepi dari biasanya.
Livia mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama Lucas.
Reza mulai lebih sering pergi bersama teman-temannya.
Namun, setiap kali mereka tersenyum bersama orang lain, ada satu hal yang tidak bisa mereka hindari:
Hati mereka tetap milik satu sama lain.
Suatu malam, Livia dan Lucas duduk di tepi Sungai Seine.
“Livia, aku ingin jujur…” kata Lucas pelan.
Livia menoleh. “Tentang apa?”
“Aku menyukaimu.”
Jantung Livia berdegup kencang.
Ia sudah menduga hal ini akan terjadi.
Tetapi bukan ini yang ia inginkan.
“Aku…” Livia menelan ludah. “Aku masih mencintai seseorang.”
Lucas mengangguk. “Aku tahu. Tapi apakah dia masih mencintaimu dengan cara yang sama?”
Pertanyaan itu membuat Livia terdiam.
Di Jakarta, Reza juga mengalami godaan yang sama.
Seorang rekan kerja barunya, Aira, mulai menunjukkan perhatian lebih padanya.
Namun, setiap kali ia berpikir untuk membalasnya, ada sesuatu yang menahannya.
Cinta.
Cinta yang meskipun terluka, masih ada.
Malam itu, Livia menelepon Reza.
“Aku punya sesuatu untuk dikatakan,” ucapnya pelan.
“Apa itu?”
Livia menarik napas dalam. “Seseorang menyatakan perasaannya padaku.”
Reza terdiam.
“Kamu menyukainya?” tanyanya dengan suara berat.
“Tidak.”
Livia melanjutkan, “Tapi dia bertanya sesuatu yang membuatku berpikir… Apakah kamu masih mencintaiku dengan cara yang sama?”
Reza menghela napas panjang.
“Livia…”
Ia ingin mengatakan ya, tetapi kata itu terasa begitu sulit diucapkan.
“Aku mencintaimu,” katanya akhirnya. “Tapi aku tidak tahu apakah kita masih bisa bertahan.”
Air mata menggenang di mata Livia.
“Jadi… apa ini akhirnya?”
Reza menutup matanya. “Aku tidak ingin mengakhiri ini, Liv. Aku ingin berjuang. Tapi aku ingin kita berjuang karena cinta, bukan karena takut sendirian.”
Livia tersenyum kecil di tengah air matanya. “Aku juga.”
Dan malam itu, mereka memutuskan sesuatu:
Mereka akan berjuang.
Tetapi kali ini, mereka tidak akan berjuang hanya karena takut kehilangan.
Mereka akan berjuang karena mereka masih mencintai satu sama lain.
Setelah malam itu, segalanya mulai berubah.
Reza mulai lebih terbuka tentang perasaannya.
Livia mulai lebih banyak meluangkan waktu untuk Reza.
Mereka tidak lagi sekadar bertahan—mereka mulai benar-benar berusaha.
Godaan masih ada. Jarak masih memisahkan mereka.
Tetapi mereka tahu satu hal:
Selama mereka masih mau berjuang, cinta itu tidak akan hilang.
Mereka telah melewati ujian yang hampir menghancurkan mereka.
Dan kali ini, mereka lebih kuat dari sebelumnya.
Ujian dalam hubungan jarak jauh tidak pernah mudah.
Ada ragu, ada kesepian, ada godaan.
Tetapi bagi Livia dan Reza, ujian itu justru mengajarkan mereka sesuatu:
Cinta bukan hanya tentang bertahan.
Cinta adalah tentang memilih satu sama lain, setiap hari, bahkan ketika segalanya terasa sulit.
Dan mereka memilih untuk tetap bersama.
Bukan karena mereka takut kehilangan.
Tetapi karena mereka tahu bahwa cinta yang telah melewati banyak ujian adalah cinta yang paling berharga.
Bab 8: Akhir yang Menguatkan Cinta
Setelah melewati segala ujian, kedua tokoh utama mencapai titik di mana mereka siap untuk menghadapi masa depan bersama. Mereka akhirnya menyadari bahwa cinta mereka bukan hanya tentang perasaan, tetapi tentang komitmen dan perjuangan yang tak kenal lelah.
Ini adalah akhir yang memberi harapan, bahwa meskipun banyak halangan dan tantangan dalam hubungan mereka, cinta yang tulus dan kuat selalu mengatasi segalanya.
Hubungan Reza dan Livia telah melalui banyak rintangan.
Jarak, godaan, kesalahpahaman, dan keraguan hampir membuat mereka menyerah.
Namun, mereka telah memilih untuk tetap berjuang.
Namun, apakah perjuangan ini cukup?
Ataukah cinta mereka akan tetap menjadi kisah yang berakhir di tengah jalan?
Bab ini akan menjadi penentuan:
Apakah cinta mereka benar-benar bisa bertahan?
Ataukah ini adalah perpisahan terakhir mereka?
Livia berdiri di depan jendela apartemennya di Paris, menatap langit yang mendung.
Hatinya masih dipenuhi pertanyaan:
“Berapa lama lagi kita bisa bertahan seperti ini?”
Reza, di Jakarta, juga berada dalam kebimbangan.
Setiap hari terasa seperti perjuangan baru.
Setiap telepon dan pesan terasa lebih berat dari sebelumnya.
Cinta masih ada, tetapi…
Apakah cinta saja cukup?
Suatu malam, Livia menelepon Reza dengan suara bergetar.
“Reza… aku punya sesuatu untuk dikatakan.”
Reza merasakan firasat buruk. “Apa itu?”
“Aku dapat tawaran pekerjaan di Paris… kontrak jangka panjang.”
Hening.
Reza menelan ludah. “Itu kabar baik.”
Livia menggeleng meskipun Reza tidak bisa melihatnya. “Tapi itu berarti aku mungkin tidak akan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat.”
Jantung Reza berdetak lebih kencang.
“Jadi… kamu ingin tetap di sana?”
Livia menghela napas. “Aku tidak tahu, Reza. Aku ingin bersama kamu, tapi aku juga ingin mengejar impianku.”
Reza terdiam.
Di sinilah mereka: di ambang keputusan terbesar dalam hubungan mereka.
Apakah mereka akan memilih cinta?
Ataukah mereka harus mengorbankan perasaan demi masa depan masing-masing?
Hari-hari berikutnya dipenuhi ketegangan.
Livia mulai mempertimbangkan pilihannya.
Reza mulai mempertanyakan segalanya.
Apakah mereka masih bisa bertahan dengan jarak yang semakin panjang?
Hingga suatu malam, Livia mengirim pesan yang singkat tetapi memilukan:
“Aku butuh waktu untuk berpikir, Reza.”
Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, mereka berhenti berkomunikasi.
Reza merasa hancur.
Livia merasa kehilangan.
Namun, keduanya tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus mereka hadapi.
Cinta mereka sedang diuji untuk terakhir kalinya.
Tanpa Livia, hari-hari Reza terasa kosong.
Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, bertemu teman-temannya, bahkan mengalihkan pikirannya dengan berbagai hal…
Tetapi tidak ada yang bisa menggantikan keberadaan Livia.
Di Paris, Livia juga mulai menyadari sesuatu.
Lucas, yang selama ini mencoba mendekatinya, memberinya sebuah pertanyaan:
“Apakah kamu bahagia tanpa dia?”
Dan tanpa ragu, Livia menjawab, “Tidak.”
Saat itulah Livia sadar.
Cinta bukan hanya tentang jarak atau kesulitan.
Cinta adalah tentang siapa yang tetap ada di hatimu, meskipun dunia mencoba memisahkan kalian.
Dan untuk Livia, orang itu adalah Reza.
Malam itu, Livia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Ia membeli tiket pesawat pulang ke Jakarta.
Ia tidak tahu apakah keputusan ini benar atau salah…
Tetapi satu hal yang pasti:
Ia tidak ingin kehilangan Reza.
Di Jakarta, Reza menerima pesan mengejutkan:
“Aku pulang.”
Jantungnya berdegup kencang.
Seolah dunia berhenti berputar.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung menuju bandara.
Di sana, di tengah kerumunan orang, matanya langsung menemukan sosok yang selama ini ia rindukan.
Livia.
Mereka saling menatap, tidak ada kata-kata yang terucap.
Dan kemudian, Livia berlari ke arah Reza, memeluknya erat.
“Aku memilih kamu,” bisik Livia.
Reza tersenyum di tengah air matanya. “Dan aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi lagi.”
Beberapa bulan kemudian…
Reza dan Livia memulai babak baru dalam hidup mereka.
Livia akhirnya menerima pekerjaan di Jakarta, agar mereka tidak lagi harus terpisah.
Reza belajar bahwa cinta bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang membuat keputusan bersama.
Mereka telah melewati segalanya:
Jarak, ragu, godaan, dan ketidakpastian.
Namun, pada akhirnya, mereka memilih satu sama lain.
Dan bagi mereka, itulah kemenangan terbesar dalam cinta.
Cinta sejati bukanlah cinta yang tidak pernah diuji.
Cinta sejati adalah cinta yang tetap bertahan, meskipun dunia mencoba memisahkannya.
Reza dan Livia telah membuktikan satu hal:
Jarak bukanlah akhir dari cinta.
Keraguan bukanlah penghancur cinta.
Selama dua hati masih memilih satu sama lain…
Cinta itu akan tetap hidup.
Selamanya.***