Daftar Isi
BAB 1: Awal yang Manis
Mentari pagi merayap di ufuk timur, menyinari langit dengan semburat jingga yang perlahan bertransisi menjadi biru cerah. Di sebuah kota kecil yang penuh dengan kenangan masa remaja, ada tiga orang sahabat yang selalu terlihat bersama. Raka, Nadia, dan Dian.
Mereka bertemu sejak SMA dan sejak saat itu, dunia terasa lebih ceria karena persahabatan mereka. Raka adalah sosok pria yang memiliki karisma tersendiri—humoris, cerdas, dan selalu bisa diandalkan. Dia memiliki ketertarikan pada dunia fotografi dan musik, sering terlihat membawa kamera ke mana pun ia pergi. Sementara itu, Nadia, gadis berambut sebahu dengan senyum hangat, adalah sosok yang penuh perhatian. Ia adalah seseorang yang selalu berusaha membuat orang lain merasa nyaman, termasuk dua sahabatnya. Dan terakhir, Dian—si tomboy yang selalu ceria, dikenal sebagai gadis yang tidak pernah kehabisan cerita. Dengan sikapnya yang santai dan sedikit jahil, dia sering menjadi penghibur dalam kelompok kecil mereka.
Sejak awal SMA, Raka dan Nadia telah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Hubungan mereka adalah sesuatu yang menginspirasi banyak orang. Mereka bukan pasangan yang terlalu mencolok, tetapi kedekatan mereka terasa begitu alami. Dian, di sisi lain, selalu mendukung mereka dengan sepenuh hati. Baginya, kebahagiaan kedua sahabatnya adalah segalanya.
Hari itu adalah hari pertama mereka memasuki tahun terakhir di SMA. Seperti biasa, mereka bertiga duduk di kantin sekolah setelah bel istirahat berbunyi. Dian meletakkan nampan makanannya ke meja dengan sedikit kasar, membuat Raka dan Nadia refleks menoleh.
“Ada apa, Dian?” tanya Nadia dengan nada khawatir.
“Ugh, aku kesel banget! Tadi di kelas aku kena hukuman gara-gara ketawa pas Bu Mira ngomong. Padahal itu bukan salahku, tahu!” keluh Dian sambil mengaduk-aduk es tehnya dengan sendok.
Raka tertawa kecil. “Dian, mungkin sudah waktunya kamu belajar menahan ketawa di saat-saat yang tidak tepat.”
“Aku berusaha, Raka! Tapi tadi Mukhlis duduk di sebelahku, dan dia menggambar wajah Bu Mira di bukunya dengan ekspresi aneh. Mana aku tahan?” Dian membela diri sambil melipat tangannya di dada.
Nadia terkekeh. “Yah, setidaknya hukumannya nggak berat, kan?”
“Disuruh nulis ulang satu halaman catatan biologi!”
Raka dan Nadia saling berpandangan sebelum kembali tertawa. Meski sering terkena hukuman karena kenakalannya, Dian selalu bisa membuat suasana lebih hidup.
Hari itu berlalu seperti biasa. Mereka melewati setiap kelas dengan obrolan ringan, saling bertukar catatan, dan bercanda di antara jam pelajaran. Ketika bel pulang berbunyi, mereka bertiga berjalan keluar gerbang sekolah bersama. Raka merangkul bahu Nadia dengan santai, sementara Dian berjalan di samping mereka, sesekali menendang batu kecil di jalanan.
“Besok kita ke kafe baru di dekat taman yuk,” usul Raka. “Aku dengar mereka punya kopi enak dan tempatnya instagramable banget.”
“Kamu dan fotomu,” canda Nadia. “Tapi kedengarannya seru. Aku ikut!”
Dian berpikir sejenak. “Aku juga ikut, tapi kalau menunya mahal, aku pesan air putih aja!”
Raka tertawa. “Santai aja, aku yang traktir.”
“Yeay!” Dian bersorak, sementara Nadia hanya tersenyum melihat keakraban mereka.
Bagi mereka bertiga, persahabatan ini adalah sesuatu yang tidak bisa digantikan. Tidak ada yang menyangka bahwa di balik semua tawa dan kehangatan ini, takdir sedang merancang sesuatu yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Sebuah cinta yang akan menjadi awal dari perpisahan.*
BAB 2: Perasaan yang Mulai Berubah
Matahari sore mulai meredup, meninggalkan semburat jingga yang menyapu langit. Di sebuah kafe kecil di dekat taman kota, tiga sahabat itu duduk di sudut ruangan dekat jendela besar. Gelas-gelas berisi minuman favorit mereka masih setengah terisi, sementara canda dan tawa terus mengalir di antara mereka.
“Serius, Raka, aku nggak ngerti gimana kamu bisa betah motret kopi selama sepuluh menit sebelum diminum,” ujar Dian sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
Raka tertawa kecil sambil menatap hasil jepretannya di layar kamera. “Kopi ini bukan sekadar minuman, Dian. Ada seni dalam tiap cangkirnya.”
Nadia, yang duduk di samping Raka, hanya tersenyum sambil mengaduk es cappuccino-nya. Ia sudah terbiasa dengan kebiasaan Raka yang selalu ingin mengabadikan momen dalam bentuk foto.
Dian menatap mereka berdua tanpa sadar, perasaannya tiba-tiba terasa aneh. Dulu, ia selalu melihat Raka dan Nadia sebagai pasangan yang serasi—tak tergantikan. Mereka memiliki hubungan yang sempurna dalam banyak hal. Tapi, kenapa akhir-akhir ini hatinya sering terasa sesak saat melihat kedekatan mereka?
Dian menggeleng pelan, berusaha menepis pikirannya sendiri. Tidak mungkin. Ini hanya perasaan sesaat. Aku hanya terlalu dekat dengan mereka berdua. Itu saja.
Namun, semakin hari, semakin sulit baginya untuk mengabaikan perasaan itu. Ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang berubah setiap kali bersama Raka. Entah sejak kapan, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentangnya—cara Raka tertawa, bagaimana matanya berbinar saat membicarakan sesuatu yang ia sukai, atau bagaimana suaranya terdengar lembut saat berbicara dengan Nadia.
Dan yang lebih mengganggunya adalah kenyataan bahwa Raka juga semakin sering memperlakukannya dengan cara yang berbeda.
Beberapa hari kemudian, hujan turun deras di kota kecil mereka. Setelah sekolah, Raka dan Dian terpaksa menunggu di teras kelas karena hujan belum juga reda. Sementara itu, Nadia sudah pulang lebih dulu karena ada urusan keluarga.
“Kayaknya kita bakal terjebak di sini lumayan lama,” gumam Dian sambil melihat ke arah langit yang masih gelap.
Raka hanya tersenyum. “Kamu nggak bawa payung?”
Dian mendengus. “Sejak kapan aku ingat bawa payung?”
Raka tertawa pelan, lalu tanpa banyak bicara, ia membuka tasnya dan mengeluarkan satu payung hitam. “Kita jalan aja, aku anterin kamu pulang.”
Dian menoleh padanya dengan sedikit ragu. “Tapi rumah kita beda arah.”
“Nggak apa-apa. Rumah kamu nggak jauh dari sini, kan?”
Dian menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang terasa aneh dalam percakapan mereka. Biasanya, mereka selalu bercanda dalam situasi seperti ini, tapi kali ini, ada kehangatan dalam suara Raka yang membuat hatinya berdebar tanpa alasan.
Saat mereka berjalan berdua di bawah payung yang sama, Dian bisa merasakan kedekatan yang berbeda. Ia bisa mendengar napas Raka yang teratur di sampingnya, merasakan bahunya yang sesekali bersentuhan. Hujan masih turun deras, membasahi sebagian lengan mereka yang tidak tertutup payung.
Dian mencoba mencari topik untuk mengalihkan pikirannya. “Raka, kalau disuruh memilih antara fotografi atau musik, kamu lebih pilih yang mana?”
Raka berpikir sejenak sebelum menjawab, “Aku suka dua-duanya, tapi kalau harus memilih, mungkin fotografi. Soalnya, dengan foto, aku bisa menyimpan kenangan.”
Dian mengangguk. “Aku suka kalau kamu ngomong soal hal-hal yang kamu suka. Mata kamu jadi berbinar.”
Raka menoleh dan menatapnya. Dian menahan napas, menyadari bahwa kata-katanya barusan terdengar terlalu jujur. Untuk sesaat, mereka hanya saling menatap, sebelum Raka tersenyum kecil.
“Kamu juga,” katanya akhirnya. “Aku suka kalau kamu ketawa. Dunia jadi terasa lebih hidup.”
Dian tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya tertawa pelan, berusaha menutupi kegugupan yang tiba-tiba muncul.
Tapi di dalam hatinya, ia tahu. Perasaannya terhadap Raka bukan lagi sekadar persahabatan.
Malam itu, saat sudah di rumah, Dian duduk di tepi tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang kacau. Ia tahu perasaan ini adalah kesalahan. Raka milik Nadia. Dan Nadia adalah sahabat terbaiknya.
“Tolong, jangan seperti ini…” bisiknya pada dirinya sendiri.
Namun, semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin hatinya terasa sakit. Karena jauh di dalam lubuk hatinya, ia tahu… bahwa mungkin Raka juga mulai merasakan hal yang sama.*
BAB 3: Kedekatan yang Tak Terhindarkan
Hari-hari berlalu, dan musim hujan masih enggan pergi. Langit sering kali diselimuti awan kelabu, mengiringi perubahan kecil yang terjadi di antara mereka—perubahan yang semakin sulit untuk diabaikan.
Dian berusaha menjaga jarak, meyakinkan dirinya bahwa perasaan yang mulai tumbuh itu hanyalah ilusi. Tapi dunia seakan punya rencana lain. Entah bagaimana, ia dan Raka justru semakin sering bersama, bukan karena keinginannya, tapi karena keadaan yang selalu mempertemukan mereka dalam momen-momen yang tidak bisa dihindari.
Salah satunya adalah tugas sekolah yang diberikan oleh Bu Mira, guru Biologi mereka.
“Nadia, kamu kelompok sama Ardi dan Lila. Raka dan Dian, kalian berdua satu kelompok,” ujar Bu Mira saat membagi kelompok untuk proyek penelitian ekosistem.
Dian sempat membeku di tempatnya. Ia melirik sekilas ke arah Nadia, berharap sahabatnya itu akan protes dan meminta bertukar kelompok. Namun, yang dilakukan Nadia justru tersenyum dan mengangguk santai.
“Ya udah, berarti kita harus serius ngerjain tugas masing-masing,” kata Nadia sambil mengemasi bukunya. “Good luck, ya!”
Dian menghela napas, lalu menatap Raka yang duduk di sampingnya.
“Kayaknya kita bakal sering ketemu dalam beberapa minggu ke depan,” gumamnya, setengah bercanda.
Raka tersenyum kecil. “Seperti biasanya, kan?”
Tapi tidak, tidak seperti biasanya. Kali ini berbeda.
Dua hari kemudian, mereka memutuskan untuk mengerjakan tugas di kafe yang sama, tempat mereka biasa nongkrong bertiga. Hanya saja, kali ini tanpa Nadia.
Dian mencoba bersikap biasa saja, fokus pada laptopnya sambil menuliskan hasil observasi mereka. Namun, sesekali ia mendengar suara Raka yang sedang mengutak-atik kameranya, dan tanpa sadar, ia memperhatikannya lebih lama dari yang seharusnya.
“Kamu kenapa?” tanya Raka tiba-tiba, membuat Dian tersentak.
“Hah?”
“Kamu dari tadi ngeliatin aku.”
Dian tertawa gugup, cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke layar laptop. “Nggak kok, aku cuma… mikir.”
Raka menatapnya dengan tatapan penuh selidik sebelum kembali fokus pada kameranya. “Oke. Kalau ada yang dipikirin, cerita aja. Aku dengerin.”
Dian ingin tertawa. Kalau aku bilang yang kupikirin itu kamu, gimana? Tapi tentu saja, ia tidak bisa mengatakannya.
Waktu berlalu, dan tanpa mereka sadari, malam semakin larut. Kafe mulai sepi, hanya menyisakan beberapa pengunjung yang sibuk dengan dunia mereka masing-masing.
“Udah jam sembilan malam, nih. Aku anterin kamu pulang?” tawar Raka.
Dian menatapnya ragu. “Nggak usah, deh. Aku bisa pulang sendiri.”
Raka mengernyit. “Udah malam, Dian. Aku nggak bakal ninggalin kamu pulang sendirian.”
Dian akhirnya menyerah. Mereka berjalan berdampingan di trotoar yang masih basah sisa hujan sore tadi. Udara dingin membuat napas mereka terlihat seperti uap tipis di bawah lampu jalan.
“Kamu sadar nggak, kita jadi lebih sering berdua akhir-akhir ini?” tanya Dian tiba-tiba.
Raka terdiam sesaat sebelum menjawab, “Iya. Kenapa? Kamu nggak nyaman?”
Bukan itu masalahnya. Dian justru mulai merasa terlalu nyaman.
Ia hanya menggeleng. “Nggak. Aku cuma takut… ini semua bakal merusak sesuatu.”
Raka berhenti melangkah, membuat Dian ikut berhenti. Ia menatap gadis itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Merusak apa?”
Dian menggigit bibirnya. “Persahabatan kita. Hubungan kamu sama Nadia.”
Hening.
Lalu, suara napas Raka terdengar lebih berat dari biasanya. “Dian, aku nggak ngerti kenapa kita jadi kayak gini. Tapi aku juga nggak bisa pura-pura nggak ngerasain sesuatu.”
Dian menahan napas. Ini pertama kalinya Raka secara langsung mengakui apa yang juga ia rasakan selama ini.
“Kamu ngerasain sesuatu?” tanyanya, hampir berbisik.
Raka menatapnya dalam. “Aku nggak tahu ini apa, tapi aku tahu satu hal—aku nggak pernah ngerasa gini sebelumnya.”
Dian ingin lari, ingin menutup telinganya dan berpura-pura tidak mendengar. Tapi bagian lain dari hatinya justru ingin bertahan di tempat itu, ingin mendengar lebih banyak.
Sebelum salah satu dari mereka sempat berbicara lagi, suara klakson mobil membuyarkan momen tersebut. Mereka tersadar, kembali melangkah seperti tidak ada yang terjadi.
Namun, dalam hati masing-masing, mereka tahu—momen itu telah mengubah segalanya.*
BAB 4: Rahasia yang Terbongkar
Pagi itu, langit mendung menggantung di atas kota. Hawa dingin menyeruak masuk melalui celah jendela kelas, seolah menjadi pertanda akan sesuatu yang buruk.
Dian duduk di bangkunya, memandangi layar ponsel dengan pikiran kacau. Beberapa hari terakhir, ia semakin sering menghabiskan waktu dengan Raka—baik karena tugas maupun hal-hal kecil yang entah bagaimana selalu membuat mereka terjebak dalam situasi berdua.
Dan semakin lama, semakin sulit baginya untuk menyangkal bahwa ia telah jatuh. Jatuh pada seseorang yang tidak seharusnya ia cintai.
Ia menghela napas, menekan perasaan itu dalam-dalam. Tapi di sisi lain, ada ketakutan yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana jika Nadia tahu? Bagaimana jika persahabatan mereka hancur karena ini?
Hari itu, seperti biasa, mereka bertiga duduk bersama di kantin. Dian mencoba bersikap biasa, tertawa bersama Nadia, mendengarkan cerita tentang kejadian-kejadian lucu di kelas. Tapi yang ia rasakan hanyalah kegelisahan yang terus menghantui.
“Aku seneng banget, nih!” kata Nadia dengan senyum lebar. “Kemarin Raka nemenin aku seharian. Kita jalan-jalan, ngobrol panjang, terus dia juga beliin aku es krim favoritku.”
Dian tersentak. Seharusnya ia senang mendengar itu. Seharusnya ia merasa lega karena Raka masih memperlakukan Nadia sebagaimana mestinya. Tapi entah kenapa, hatinya justru terasa semakin berat.
Dan yang lebih menyakitkan adalah fakta bahwa malam sebelumnya, Raka juga bersamanya—mengobrol tentang mimpi-mimpi mereka, berbagi tawa yang terasa begitu tulus, dan saling melempar pandangan yang… berbeda.
Dian mencoba tersenyum. “Wah, so sweet. Kalian kayak couple goals banget.”
Nadia tertawa kecil. “Ya iyalah. Udah lama pacaran, harus dong tetap romantis.”
Raka, yang sedari tadi diam, hanya tersenyum tipis. Namun, Dian bisa merasakan ada sesuatu yang berubah dalam tatapannya.
Siang itu, saat istirahat kedua, Dian pergi ke perpustakaan sendirian. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Namun, ketika ia sedang membaca buku, suara familiar terdengar di antara rak-rak buku.
Suara Nadia.
Refleks, Dian mengintip dari sela-sela rak dan melihat Nadia sedang berbicara dengan salah satu teman mereka, Siska.
“Kamu nggak curiga sama Raka akhir-akhir ini?” tanya Siska dengan nada hati-hati.
Dian merasakan jantungnya berdegup lebih kencang.
“Curiga?” Nadia mengernyit. “Maksud kamu?”
Siska menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, “Aku cuma… kemarin aku lihat dia sama Dian di kafe. Mereka kelihatan deket banget. Aku nggak mau suuzan sih, tapi aku rasa ada sesuatu.”
Dian membeku. Dunia seakan berhenti berputar saat ia menunggu reaksi Nadia.
Nadia terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Ayolah, Siska. Dian sahabat aku. Dia nggak mungkin kayak gitu sama Raka.”
“Tapi kamu yakin?”
“Tentu saja.”
Dian menelan ludah, tangannya gemetar di sisi tubuhnya. Ia ingin keluar dari tempat persembunyiannya dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa Siska hanya salah paham. Tapi bagaimana bisa ia mengatakan itu jika dalam hatinya sendiri, ia tahu kebenarannya?
Namun, sebelum ia bisa bergerak, suara lain muncul dari arah belakang.
“Nadia…”
Raka.
Dian membalikkan badan dan melihat Raka berdiri tak jauh darinya. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Nadia, seolah ingin mengatakan sesuatu yang berat.
Dian ingin menghentikannya. Jangan, Raka. Jangan katakan apapun.
Tapi Raka tidak bisa ditahan.
“Aku perlu bicara sama kamu,” katanya pelan.
Nadia menatapnya dengan bingung. “Kenapa? Ada apa?”
Raka menelan ludah. Ia menatap sekilas ke arah Dian, lalu kembali ke Nadia.
“Aku nggak mau bohong sama kamu. Ada sesuatu yang harus kamu tahu.”
Dian bisa merasakan napasnya tercekat di tenggorokan. Ini adalah momen yang selama ini ia takutkan.
Nadia mengernyit. “Raka, kamu kenapa?”
Keheningan yang menyiksa mengisi ruangan. Lalu, dengan suara yang nyaris bergetar, Raka berkata,
“Aku rasa… aku mulai menyukai Dian.”
Dian menutup matanya, merasa seluruh tubuhnya melemah.
Sedangkan Nadia… tatapannya langsung kosong. Seolah ia baru saja mendengar sesuatu yang paling menyakitkan dalam hidupnya.
Hening.
Lalu, tanpa sepatah kata pun, Nadia berbalik dan pergi.
Meninggalkan Raka.
Meninggalkan Dian.
Dan meninggalkan persahabatan yang baru saja hancur.*
BAB 5: Hati yang Terbelah
Sejak hari itu, semuanya berubah.
Dian merasakannya, Raka merasakannya, dan yang paling terluka—Nadia—sudah pasti merasakannya lebih dari siapa pun.
Mereka bertiga yang dulu selalu bersama kini terasa seperti orang asing. Tidak ada lagi obrolan ringan di kantin, tidak ada lagi canda tawa yang mengisi hari-hari mereka. Sekarang, setiap kali mereka bertemu di kelas, hanya ada keheningan yang menggantung di udara, membebani mereka dengan rasa bersalah dan kepedihan.
Dian mencoba beberapa kali untuk berbicara dengan Nadia, tetapi gadis itu selalu menghindar. Jika dulu mereka duduk bersebelahan, kini Nadia lebih memilih duduk dengan teman lain. Jika dulu mereka selalu pulang bersama, kini Dian melihatnya berjalan lebih dulu tanpa menoleh sedikit pun.
Hati Dian terasa hancur setiap kali itu terjadi. Ia merindukan sahabatnya, merindukan kebersamaan mereka yang dulu terasa begitu indah.
Tapi bagaimana mungkin semuanya bisa kembali seperti semula?
Suatu sore, Raka mengirim pesan.
Raka: Aku tunggu di taman. Kita perlu bicara.
Dian menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan meraih jaketnya.
Saat tiba di taman, Raka sudah duduk di bangku kayu yang terletak di bawah pohon besar. Tangannya bertaut di depan, wajahnya tampak kusut seperti seseorang yang sudah berhari-hari kurang tidur.
Dian duduk di sampingnya, menjaga jarak. Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa detik sebelum akhirnya Raka membuka suara.
“Nadia nggak mau ngomong sama aku,” katanya lirih.
Dian menggigit bibirnya. “Aku juga.”
Raka menarik napas panjang. “Aku nyakitin dia.”
Dian menunduk. “Kita nyakitin dia.”
Tak ada yang berbicara selama beberapa saat. Suara angin yang berdesir di antara pepohonan terasa lebih nyaring daripada keheningan di antara mereka.
“Aku nggak pernah berniat buat jatuh hati sama kamu, Dian,” Raka akhirnya berkata. “Aku juga nggak tahu kapan mulai merasakan ini. Tapi semakin aku coba menahan, semakin aku sadar bahwa aku nggak bisa membohongi diri sendiri.”
Dian menatapnya, hatinya terasa berdebar aneh. Ada bagian dalam dirinya yang ingin mendengar lebih banyak, tapi ada juga bagian lain yang ingin berteriak agar Raka berhenti berbicara.
“Raka…”
“Aku nggak minta kamu buat ngerasain hal yang sama,” potong Raka cepat. “Aku cuma… aku nggak bisa berpura-pura kalau aku nggak punya perasaan ini. Aku tahu ini salah. Aku tahu aku egois. Tapi aku nggak bisa menyangkalnya.”
Dian menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan kekacauan dalam hatinya.
“Dan kamu?” Raka bertanya pelan. “Apa yang kamu rasain?”
Dian terdiam.
Bagaimana ia bisa menjawab pertanyaan itu?
Bagaimana ia bisa mengakui bahwa setiap kali Raka berada di dekatnya, jantungnya berdetak lebih cepat? Bahwa setiap kali ia melihat Raka dan Nadia bersama, hatinya terasa sesak?
Bagaimana ia bisa mengakui bahwa ia juga jatuh cinta?
Tapi jika ia mengatakannya, itu sama saja dengan mengkhianati Nadia sepenuhnya.
Dian menggigit bibirnya, menatap lurus ke depan. “Aku nggak tahu,” jawabnya akhirnya.
Raka menatapnya lama, seolah mencoba membaca apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya. Tapi Dian tetap tak bergeming, tak ingin membiarkan perasaannya menguasai dirinya.
“Kalau aku tahu akhirnya bakal kayak gini, aku lebih milih buat nggak pernah ngerasain ini sama sekali,” katanya pelan.
Raka menunduk. “Aku juga.”
Mereka kembali terdiam.
Dan di antara keheningan itu, mereka tahu bahwa ada sesuatu yang telah berubah selamanya—sesuatu yang tidak akan bisa mereka perbaiki lagi.
Hari-hari berlalu, dan luka itu semakin terasa dalam.
Nadia tetap menjaga jarak. Dian tidak lagi berani mendekatinya, tidak ingin memperburuk keadaan. Namun, suatu hari, tanpa sengaja mereka bertemu di perpustakaan.
Nadia yang sedang mengambil buku dari rak mendongak dan bertemu pandang dengan Dian.
Dian menahan napas. “Nad…”
Nadia diam, menatapnya tanpa ekspresi. Lalu, ia melanjutkan aktivitasnya, seolah Dian tidak ada di sana.
Dian merasakan dadanya sesak. Ia tahu, persahabatan mereka tidak akan pernah sama lagi.
Dan mungkin, tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.*
BAB 6: Keputusan yang Sulit
Hujan turun perlahan di luar jendela kelas, menciptakan pola-pola acak di kaca yang mulai berkabut. Udara dingin menyelimuti ruangan, tetapi tidak lebih dingin dari suasana di antara mereka bertiga.
Dian duduk diam di bangkunya, memperhatikan Nadia yang kini selalu berusaha menjauh. Sejak rahasia itu terbongkar, persahabatan mereka seolah hanya tinggal bayangan. Raka pun tidak banyak bicara, lebih sering termenung dengan pikirannya sendiri.
Dian tahu, ini tidak bisa terus berlanjut.
Sesuatu harus diakhiri, atau mereka akan terus terjebak dalam keadaan menyakitkan ini.
Hari itu, ketika jam sekolah berakhir, Dian memberanikan diri untuk menemui Nadia. Ia melihatnya di lorong sekolah, berjalan sendiri sambil menenteng buku-buku pelajaran.
“Nadia, tunggu,” panggil Dian dengan suara pelan, hampir ragu.
Nadia berhenti, tetapi tidak berbalik.
Dian melangkah mendekat. “Aku… aku tahu kamu masih marah. Aku tahu aku salah. Tapi tolong, dengarkan aku sekali ini saja.”
Nadia akhirnya menoleh, matanya dingin dan penuh luka. “Dengerin apa lagi, Dian? Mau kamu jelasin apa? Bahwa kamu nggak sengaja jatuh cinta sama pacar sahabatmu sendiri?”
Dian terdiam. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang bisa sepenuhnya membenarkan kesalahannya. Tapi ia juga tidak ingin menyerah begitu saja.
“Aku nggak pernah berniat buat nyakitin kamu,” kata Dian dengan suara pelan. “Aku juga nggak pernah mau merasakan ini. Aku mencoba menolak perasaan ini, tapi semakin aku menolaknya, semakin aku sadar kalau aku juga terluka.”
Nadia tertawa sinis. “Jadi sekarang kamu mau aku kasihan sama kamu?”
“Bukan itu maksudku,” Dian menunduk, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. “Aku cuma ingin kita bisa bicara. Aku nggak mau kehilangan kamu, Nad. Kamu sahabatku.”
Nadia menatapnya lama, lalu menggelengkan kepala dengan senyum pahit. “Sahabat?” Ia tertawa kecil. “Dian, kalau kamu benar-benar sahabatku, kamu nggak akan membiarkan semua ini terjadi.”
Dian merasakan sesuatu mencengkeram hatinya begitu erat hingga hampir sulit bernapas. “Aku minta maaf,” katanya, suaranya bergetar. “Aku benar-benar minta maaf.”
Nadia menghela napas, lalu menatap Dian dengan mata yang kini terlihat lelah, lebih daripada sekadar marah. “Aku juga capek, Dian. Aku nggak tahu apakah aku bisa memaafkan kamu atau nggak. Tapi satu hal yang aku tahu… aku nggak bisa terus seperti ini.”
Dian menahan napas. “Maksud kamu?”
“Aku butuh waktu. Aku nggak tahu berapa lama, tapi untuk sekarang… aku nggak bisa dekat sama kamu lagi.”
Kata-kata itu terasa seperti tamparan. Air mata menggenang di mata Dian, tetapi ia menahannya agar tidak jatuh.
“Kalau itu yang terbaik buat kamu…” katanya akhirnya, suaranya nyaris tidak terdengar.
Nadia tidak menjawab. Ia hanya menatap Dian untuk terakhir kalinya sebelum melangkah pergi, meninggalkannya di lorong yang terasa semakin sunyi.
Dian berjalan tanpa arah setelah kejadian itu. Ia merasa kosong, seolah bagian dari dirinya telah hilang. Saat melewati taman belakang sekolah, ia melihat sosok yang sudah tidak asing—Raka, duduk di bangku kayu dengan wajah penuh kegelisahan.
Sejenak, ia ragu untuk mendekat. Tapi kemudian, Raka menoleh dan melihatnya. Tanpa berkata apa-apa, Dian berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
Raka menghela napas panjang. “Gimana?”
Dian menggeleng, menatap tanah. “Dia bilang butuh waktu.”
Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara gemerisik hujan yang terdengar, menemani perasaan yang semakin sulit diungkapkan.
“Jadi kita harus gimana?” tanya Raka akhirnya.
Dian menutup matanya. Ia telah memikirkan ini selama berhari-hari. Dan meskipun hatinya berontak, ia tahu bahwa keputusan ini harus diambil.
“Kita nggak bisa terus begini, Raka,” katanya pelan.
Raka menegang. “Maksud kamu?”
“Aku nggak bisa kehilangan Nadia,” Dian menatapnya dengan mata berkabut. “Aku juga nggak bisa terus membiarkan semuanya menjadi lebih rumit. Kita harus berhenti.”
Raka menatapnya, sorot matanya penuh ketidakpercayaan. “Jadi kamu mau kita pura-pura nggak pernah ada apa-apa?”
Dian menggigit bibirnya, menahan isakan yang ingin pecah. “Aku mau kita kembali seperti dulu. Sebelum semua ini terjadi. Aku mau kita… kembali jadi teman.”
Raka tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di dalamnya. “Dian… kamu tahu itu nggak mungkin, kan?”
Dian menggenggam jemarinya erat-erat. “Aku tahu.”
Raka mengusap wajahnya dengan frustasi. “Aku nggak bisa pura-pura nggak peduli sama kamu. Aku nggak bisa pura-pura nggak merasakan apa-apa.”
Dian menatapnya dengan air mata yang kini jatuh tanpa bisa dicegah. “Tapi aku nggak bisa kehilangan Nadia. Dan kalau kita terus begini, aku takut aku bakal kehilangan kalian berdua.”
Raka terdiam.
Waktu seakan berhenti di antara mereka, membiarkan kenyataan pahit meresap perlahan ke dalam hati masing-masing.
Lalu, dengan suara serak, Raka akhirnya berkata, “Jadi ini akhirnya?”
Dian menunduk, mengusap air matanya. “Iya.”
Raka menatap langit kelabu di atas mereka, seolah berharap hujan akan membawa pergi semua perasaan yang kini mengikat hatinya begitu erat.
Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan.
“Kalau itu yang terbaik buat kamu,” katanya. “Aku akan coba.”
Dian ingin mengatakan sesuatu, ingin menghapus kesedihan yang tergambar jelas di wajah Raka. Tapi ia tahu, tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki ini.
Mereka telah membuat keputusan.
Dan meskipun itu adalah keputusan yang paling sulit dalam hidup mereka, mereka harus menjalaninya.
Hujan masih turun.
Dan dalam diam, dua hati yang saling mencintai harus belajar melepaskan.*
BAB 7: Perpisahan yang Menyakitkan
Hujan turun semakin deras di luar jendela, membasahi jalanan yang mulai gelap karena sore hampir berganti malam. Dian duduk di meja belajarnya, menatap kosong ke layar ponsel. Sudah berulang kali ia membuka aplikasi pesan, menuliskan sesuatu, lalu menghapusnya lagi.
Nadia, aku kangen kamu.
Nadia, apa kita benar-benar nggak bisa kembali seperti dulu?
Nadia, aku minta maaf…
Namun, tak satu pun pesan itu terkirim.
Di sisi lain, ada nama lain yang juga terpikirkan. Raka.
Sejak percakapan terakhir mereka di taman sekolah, Raka mulai menjaga jarak. Tidak ada lagi obrolan panjang di kantin, tidak ada lagi momen kebetulan di mana mereka berpapasan dan tersenyum canggung. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang perlahan menghilangkan orang-orang yang berarti dalam hidupnya.
Dian menghela napas berat.
Ia sudah memutuskan. Tapi mengucapkan keputusan itu jauh lebih mudah daripada menjalankannya.
Keesokan harinya, suasana sekolah masih sama. Dingin, sunyi, dan penuh batas-batas yang tak kasat mata.
Saat jam istirahat, Dian berdiri di depan rak buku perpustakaan, tangannya gemetar saat ia meraih sebuah novel yang dulu sering ia baca bersama Nadia. Matanya berkaca-kaca, mengingat masa-masa mereka dulu tertawa bersama, saling bercerita tentang hal-hal konyol.
Ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan diri.
Namun, saat ia membukanya kembali, sosok Nadia sudah berdiri di depannya.
Dian membeku. Jantungnya berdegup kencang. Ini adalah pertama kalinya mereka berdua berdiri sedekat ini sejak kejadian itu.
Nadia menatapnya lama, sebelum akhirnya berbicara. “Aku mau ngomong sama kamu.”
Suara itu… begitu datar, tanpa emosi.
Dian mengangguk cepat. “Aku juga, Nad.”
Mereka berdua berjalan ke luar perpustakaan, menuju taman belakang sekolah yang sepi. Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat, hanya ada suara angin yang berhembus pelan di antara mereka.
Nadia akhirnya memecah keheningan. “Aku sudah berpikir banyak, Dian.”
Dian menatap sahabatnya dengan cemas. “Tentang apa?”
Nadia menghela napas panjang sebelum menoleh menatap Dian langsung. “Tentang kita. Tentang persahabatan kita. Dan tentang kamu dan Raka.”
Hati Dian mencelos.
“Aku nggak bisa pura-pura nggak sakit hati,” lanjut Nadia. “Aku nggak bisa pura-pura nggak kecewa. Kamu orang yang paling aku percaya, Dian. Tapi kamu juga orang yang paling menyakitiku.”
Dian menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku tahu, Nad. Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak pernah mau semua ini terjadi.”
Nadia tersenyum miris. “Tapi tetap terjadi.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka.
“Aku nggak bisa benci kamu, Dian,” kata Nadia akhirnya. “Tapi aku juga nggak bisa terus bersama kamu seperti dulu. Aku butuh waktu. Butuh jarak.”
Dian menelan ludah dengan susah payah. “Jarak?”
Nadia mengangguk. “Aku pikir aku bisa melupakan semuanya kalau aku nggak melihat kamu setiap hari. Jadi… aku akan pindah sekolah.”
Dian terkejut. “Apa?”
“Ayahku dapat mutasi kerja ke kota lain. Aku memutuskan untuk ikut dengannya,” kata Nadia pelan. “Aku pikir, ini yang terbaik untukku.”
Dian merasakan sesuatu mencengkeram dadanya. Ini jauh lebih menyakitkan daripada yang ia bayangkan.
“Nadia… tolong jangan pergi.”
Nadia tersenyum lemah. “Aku harus, Dian. Aku nggak bisa terus-terusan melihat kamu dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.”
Dian menggigit bibirnya, air mata akhirnya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. “Aku nggak mau kehilangan kamu.”
“Kamu sudah kehilangan aku sejak hari itu, Dian,” kata Nadia dengan suara bergetar.
Dian terisak, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin memperbaiki semuanya, tapi ia tahu tidak ada lagi yang bisa dilakukan.
“Selamat tinggal, Dian.”
Nadia berbalik dan berjalan pergi.
Dian hanya bisa berdiri di sana, melihat sahabat yang paling ia cintai berjalan menjauh darinya—untuk selamanya.
Sore itu, setelah pulang sekolah, Dian pergi ke tempat yang selama ini ia hindari.
Lapangan basket.
Di sana, Raka sedang duduk sendirian di bangku pinggir lapangan, bola basket tergeletak di sampingnya.
Saat ia melihat Dian datang, alisnya sedikit terangkat. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Dian melangkah mendekat, lalu duduk di sampingnya.
“Mau main?” tanya Raka pelan, mencoba tersenyum, meski jelas terlihat dipaksakan.
Dian menggeleng. “Aku cuma mau ngomong sesuatu.”
Raka menatapnya lama, lalu mengangguk. “Apa?”
“Nadia mau pindah,” kata Dian dengan suara bergetar.
Raka terdiam. Matanya melebar sedikit, lalu ia menunduk, mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
“Jadi gini akhirnya,” gumamnya pelan.
Dian menatap tanah, jari-jarinya mencengkram rok seragamnya erat-erat. “Aku ngerasa aku gagal jadi sahabat yang baik. Aku nyakitin orang yang paling berarti buat aku.”
Raka menatapnya. “Kamu juga orang yang paling berarti buat dia, Dian. Itu sebabnya ini begitu menyakitkan buatnya.”
Dian menutup matanya, mencoba menahan tangis yang ingin kembali pecah.
“Aku harus pergi, Raka,” katanya akhirnya.
Raka terdiam. “Maksud kamu?”
Dian menoleh, menatapnya dengan mata yang penuh luka. “Aku mau coba move on. Bukan cuma dari perasaan aku ke kamu, tapi juga dari semua rasa bersalah yang aku bawa. Aku pikir… kita juga butuh jarak.”
Raka tidak langsung menjawab. Ia hanya duduk diam, memproses kata-kata itu dalam pikirannya.
Lalu, dengan suara berat, ia berkata, “Jadi ini perpisahan kita juga?”
Dian mengangguk, meskipun itu adalah hal yang paling sulit yang pernah ia lakukan.
Raka tersenyum kecil, tetapi matanya penuh kesedihan. “Aku nggak akan bilang aku setuju. Tapi kalau itu yang terbaik buat kamu… aku akan menghormati keputusanmu.”
Dian tersenyum pahit.
Mereka berdua saling menatap, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak dari kata-kata yang tidak bisa mereka ucapkan.
Lalu, untuk terakhir kalinya, Dian berdiri dan berjalan pergi.
Tanpa menoleh ke belakang.
Dan di tengah hujan yang mulai turun lagi, ia tahu bahwa ini adalah perpisahan yang tidak akan pernah bisa ia lupakan.*
BAB 8: Waktu yang Menyembuhkan
Minggu-minggu berlalu setelah perpisahan yang pahit itu. Dian merasa seolah ia sedang berjalan melalui hidup dengan langkah-langkah yang terasa berat. Waktu seakan berjalan lebih lambat, setiap detik penuh dengan kenangan yang menyakitkan, dan setiap langkah terasa lebih sepi daripada sebelumnya. Kehilangan Nadia dan Raka adalah luka yang dalam, dan meskipun ia berusaha untuk tersenyum, hatinya tetap hancur.
Hari-hari di sekolah kini terasa kosong. Teman-temannya masih ada, namun mereka seakan menjadi bayangan yang samar di tengah kekosongan yang menguasai pikirannya. Ia mencoba untuk tetap tersenyum, tetap menjalani rutinitasnya, tapi setiap kali ia mendengar tawa atau melihat seseorang berbicara tentang masa lalu mereka bertiga, ia hanya merasa semakin terasing.
Meskipun demikian, Dian tahu bahwa waktu adalah satu-satunya hal yang bisa menyembuhkan luka ini. Ia mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini akan berlalu, bahwa suatu saat, rasa sakit ini akan berkurang, meskipun tidak tahu seberapa lama itu akan terjadi.
Satu bulan setelah perpisahan itu, Dian menerima sebuah pesan yang tak terduga.
Nadia: Dian, aku sudah sampai di kota baru. Semua terasa asing, tapi aku mulai belajar menerima semuanya. Aku cuma mau bilang, aku nggak pernah benci kamu. Aku hanya butuh waktu.
Dian menatap layar ponselnya dengan mata yang sedikit berkaca. Meskipun pesan itu singkat, ia merasa ada kelegaan yang datang bersamaan dengan kata-kata itu. Seperti ada harapan yang kembali muncul setelah berbulan-bulan berada dalam kegelapan.
Ia membalas pesan itu dengan hati yang sedikit lebih ringan.
Dian: Aku tahu, Nad. Aku cuma mau kamu tahu kalau aku selalu mendukung keputusanmu. Aku harap kita bisa baik-baik saja suatu saat nanti.
Tak lama setelah itu, Nadia membalas dengan kata-kata yang penuh harapan.
Nadia: Terima kasih, Dian. Aku harap kita bisa tetap berhubungan, meskipun jarak memisahkan.
Dian tersenyum kecil, menyadari bahwa meskipun mereka berdua jauh, ada sedikit cahaya yang mulai menembus kegelapan hatinya. Rasa kehilangan itu belum sepenuhnya hilang, tetapi setidaknya, ada sedikit harapan untuk masa depan.
Dian kembali fokus pada kehidupan sehari-hari, mencoba untuk menjalani hari-hari tanpa terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-temannya yang lain, berusaha untuk tidak merasa terlalu kesepian. Namun, di setiap senyum dan tawa yang ia bagikan, ada sebersit rasa kosong yang masih sulit ia hapuskan.
Suatu sore, saat Dian sedang berjalan pulang dari sekolah, ia tanpa sengaja bertemu dengan Raka di taman dekat rumahnya. Raka sedang duduk di bangku, seolah menunggu seseorang, atau mungkin hanya sedang merenung seperti dirinya.
Melihat Raka di sana, hati Dian kembali terasa berat. Namun, kali ini ia merasa lebih tenang. Tidak ada amarah, tidak ada rasa kecewa yang menguasai pikirannya. Ia mendekati Raka dengan langkah yang mantap, tidak terlalu dekat, tetapi cukup untuk membuat mereka bisa berbicara tanpa ada yang mengganggu.
“Hai,” kata Dian, suaranya agak kaku, tetapi tidak terlalu canggung.
Raka menoleh, matanya sedikit terkejut, namun segera disusul dengan senyum tipis. “Hai,” jawabnya pelan. “Apa kabar?”
Dian duduk di bangku yang sedikit lebih jauh darinya. “Baik. Aku cuma… lagi jalan-jalan. Ke sini sendiri.”
Raka mengangguk, dan mereka terdiam beberapa saat. Tak ada yang berbicara, namun ada kedamaian yang mulai terasa. Dian merasa seperti ini adalah kali pertama mereka bisa berbicara tanpa adanya beban.
“Aku dengar Nadia sudah sampai di kota baru,” kata Dian akhirnya, mencoba memecah keheningan.
“Ya,” jawab Raka singkat. “Dia bilang dia mulai beradaptasi dengan tempat baru.”
Dian mengangguk pelan. “Aku harap dia bahagia di sana.”
Raka menatapnya dengan mata yang lebih lembut daripada yang pernah ia lihat sebelumnya. “Aku juga.”
Lama mereka terdiam, hanya menikmati keheningan yang tidak lagi terasa begitu menekan. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, karena mereka berdua tahu bahwa perasaan mereka sudah terlalu rumit untuk diungkapkan dalam satu percakapan. Namun, ada sesuatu yang berubah di antara mereka—sesuatu yang lebih tenang, lebih damai.
“Aku minta maaf, Dian,” kata Raka setelah beberapa saat.
Dian menoleh, sedikit terkejut. “Minta maaf?”
“Ya,” jawab Raka dengan suara yang pelan namun penuh penyesalan. “Aku tahu semuanya salah. Aku tahu aku juga punya bagian dalam semuanya. Aku nggak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu atau Nadia.”
Dian tersenyum kecil, meski hatinya masih terasa sakit. “Aku juga salah, Raka. Kita semua punya bagian dalam ini. Tapi aku nggak ingin terus-terusan merasa sakit. Aku cuma… ingin kita bisa berdamai dengan semua ini.”
Raka mengangguk, ekspresinya serius. “Aku ngerti. Aku juga nggak mau terus merasa terjebak dalam masa lalu.”
Mereka duduk dalam diam lagi, tetapi kali ini, Dian merasa sedikit lebih ringan. Keputusan mereka untuk tidak lagi terperangkap dalam kesalahan masa lalu mulai memberikan sedikit kelegaan. Mereka tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tetapi mereka bisa memilih untuk melepaskan.
Beberapa minggu kemudian, Dian mendapat kabar bahwa Nadia akan datang untuk liburan singkat. Nadia menghubunginya, mengajak untuk bertemu di sebuah kafe yang sering mereka kunjungi bersama.
Dian merasa gugup, tetapi juga sedikit bersemangat. Setelah sekian lama, akhirnya mereka akan bertemu lagi. Meskipun banyak hal yang masih perlu diselesaikan, Dian merasa bahwa pertemuan ini adalah langkah kecil untuk memperbaiki segalanya.
Di kafe itu, saat Nadia datang, Dian merasakan kehangatan yang telah lama hilang. Mereka saling tersenyum, dan meskipun ada ketegangan, ada juga kenyamanan dalam kebersamaan mereka.
“Aku rindu kamu,” kata Nadia sambil duduk di depan Dian, matanya berbinar.
Dian tersenyum lebar, perasaan lega mengalir dalam dirinya. “Aku juga rindu kamu, Nad.”
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Dian merasa bahwa luka yang selama ini ia rasakan perlahan mulai sembuh. Tidak sempurna, tetapi cukup untuk membuatnya percaya bahwa meskipun perpisahan itu menyakitkan, waktu akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk kembali bersama, meskipun tidak seperti dulu.
Karena waktu, pada akhirnya, memang bisa menyembuhkan—meskipun tidak selalu dengan cara yang kita harapkan.****
———————THE END———-