Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA YANG KAU NODAI

CINTA YANG KAU NODAI

SAME KADE by SAME KADE
March 26, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 18 mins read
CINTA YANG KAU NODAI

Daftar Isi

  • BAB 1  Awal yang Penuh Harapan
  • BAB 2 Tumbuhnya Cinta
  • BAB 3 Kepercayaan yang Terbentuk
  • BAB 4 Tanda-tanda yang Tidak Terlihat
  • BAB 5 Pengkhianatan yang Menyakitkan
  • BAB 6  Menghadapi Realitas

BAB 1  Awal yang Penuh Harapan

Alina berjalan menyusuri trotoar yang dipenuhi dengan daun-daun kering yang berjatuhan. Pagi itu, cuaca cukup cerah, matahari bersinar lembut, namun hatinya tetap terasa berat. Hari pertama di sekolah setelah liburan panjang selalu membawa suasana baru—wajah-wajah lama bertemu lagi, dan semuanya tampak lebih dewasa, lebih matang. Alina merasakan hal itu pada dirinya sendiri. Meski baru saja menginjakkan kaki di kelas dua SMA, ia merasa seperti ada banyak hal yang sudah berubah, termasuk dirinya.

Di tengah perjalanan menuju kelas, matanya menangkap sosok yang tidak asing. Seorang pria dengan rambut hitam pekat dan wajah tampan tengah berdiri di depan ruang kelas, berbincang dengan beberapa teman sekelasnya. Evan. Nama itu seperti dentingan musik di telinga Alina, mengingatkan pada perasaan yang selama ini ia simpan dalam hati. Sudah lama ia memperhatikan Evan dari kejauhan, seorang siswa yang baru pindah ke sekolah mereka setahun yang lalu. Meskipun hanya sesekali bertemu, setiap kali melihat Evan, hati Alina selalu berdebar-debar. Ia merasa ada sesuatu yang istimewa tentang Evan—sesuatu yang membuatnya tertarik, meskipun ia tidak bisa sepenuhnya menjelaskan apa itu.

Alina berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Cinta pertama seringkali datang tanpa rencana, tanpa bisa diprediksi. Ia sudah cukup mengerti bahwa jatuh cinta bukanlah hal yang bisa diatur dengan logika. Ia hanya ingin menikmati hari-harinya seperti biasa, menjalani hari-hari SMA yang penuh dengan pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler. Namun, pertemuan tak terduga dengan Evan yang terjadi beberapa hari lalu mengubah segalanya.

Kejadian itu bermula ketika mereka terjebak di ruang perpustakaan setelah hujan deras menghentikan semua kegiatan di luar kelas. Alina yang sedang duduk di pojok, menyelesaikan tugas, tiba-tiba merasa ada seseorang yang mendekat. Saat ia menoleh, wajah itu—wajah Evan—langsung tertangkap matanya. Tanpa sengaja, Evan duduk di sebelahnya, menatap sekeliling dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. Alina merasa kikuk, tetapi berusaha untuk tetap tenang. Mereka tidak pernah berbicara sebelumnya, meskipun mereka tahu satu sama lain.

“Punya teman untuk tugas ini?” tanya Evan, dengan senyum santai yang membuat hati Alina berdebar-debar.

Alina mengangguk dengan canggung, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. “Iya, aku sedang menyelesaikan tugas sejarah,” jawabnya, sambil berusaha menunjukkan bahwa ia tidak terpengaruh oleh kehadiran Evan yang tiba-tiba itu.

Evan tersenyum lebar, seakan-akan Alina sudah lama mengenalnya. “Aku dengar kamu pintar, jadi mungkin bisa membantuku sedikit.” Alina merasa sedikit terkejut. Evan yang tampan dan populer, meminta bantuannya? Padahal mereka tidak pernah berbicara sebelumnya. Tetapi, ia tidak bisa menolak tawaran itu. Rasa penasaran mengalahkan segala rasa canggung yang ada.

Mereka pun mulai berbincang, membicarakan tugas sekolah, tetapi juga berbicara tentang hal-hal lain. Ternyata, Evan jauh lebih ramah dan terbuka daripada yang Alina bayangkan. Mereka berbicara tentang film yang mereka sukai, tentang musik, dan bahkan tentang masa kecil mereka yang ternyata tidak jauh berbeda. Alina merasa nyaman berbicara dengannya, seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Ada rasa keterikatan yang tumbuh begitu cepat, dan Alina tak bisa menahan diri untuk berpikir bahwa mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.

Hari berikutnya, Evan mengirimkan pesan singkat lewat aplikasi chatting. “Terima kasih atas bantuannya kemarin. Aku merasa beruntung bisa bertemu denganmu.” Alina terkejut, meskipun mereka sudah berteman seharian, Evan masih tetap menunjukkan perhatian yang tidak biasa. Pesan itu seperti petunjuk bahwa mungkin ada lebih dari sekadar pertemanan yang sedang berkembang di antara mereka.

Sejak itu, percakapan mereka semakin intens. Setiap hari, mereka saling bertukar pesan, berbicara tentang hal-hal ringan namun selalu ada rasa ketertarikan yang tak bisa diabaikan. Alina merasa seperti ia sedang menjalani masa-masa indah di awal percintaan, meskipun ia belum benar-benar menyadari perasaan apa yang tumbuh di dalam hatinya. Namun, setiap kali mendengar nama Evan, hatinya mulai berdebar dengan cara yang berbeda.

Di sekolah, mereka mulai terlihat lebih sering bersama. Saling bertukar senyum, saling menyapa. Tidak ada yang istimewa pada awalnya, tetapi bagi Alina, itu adalah hal kecil yang sangat berarti. Rasa ragu mulai mengusik pikirannya. Apakah ini benar-benar cinta pertama? Apakah perasaan ini nyata, atau hanya imajinasi belaka? Meskipun begitu, Alina tidak bisa menahan diri untuk berharap. Mungkin, ini adalah awal dari sebuah kisah cinta yang selama ini hanya ia bayangkan dalam pikirannya.

Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di benaknya. Alina sering melihat Evan bersama Vira, sahabat dekatnya yang ceria dan periang. Mereka selalu terlihat sangat dekat, sering tertawa bersama, dan berkolaborasi dalam berbagai proyek sekolah. Terkadang, Alina merasa cemburu, meskipun ia tahu bahwa Vira adalah sahabat terbaiknya. Tetapi, ada perasaan yang berbeda ketika melihat Vira dan Evan berbicara begitu akrab.

Alina mencoba mengabaikan perasaan cemburu itu. Ia tahu bahwa ia tidak boleh terburu-buru dalam hal cinta. Tetapi, hati kecilnya berbisik bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan antara Evan dan Vira. Rasa cemburu itu perlahan-lahan mengubah cara Alina melihat hubungan mereka. Mungkin saja, perasaan yang berkembang antara dirinya dan Evan akan segera diuji oleh kenyataan yang tak terduga.

Hari itu, Alina memutuskan untuk berbicara langsung dengan Evan. Meskipun hatinya penuh dengan rasa takut dan ragu, ia merasa bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Ia tahu, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menyimpan perasaan sendiri, terlebih ketika hati sudah mulai jatuh. Dan dengan tekad yang bulat, Alina bersiap untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam—cinta pertama yang tulus, penuh harapan, dan begitu berharga.*

BAB 2 Tumbuhnya Cinta

Alina duduk di bangku taman sekolah, matahari yang menyinari langit biru memberikan sentuhan hangat pada kulitnya. Ia memandang sekeliling dengan rasa syukur. Hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu dalam udara yang membuatnya merasa lebih hidup. Semuanya tampak lebih cerah, lebih indah. Dan itu semua berkat Evan.

Sejak beberapa minggu terakhir, hubungannya dengan Evan semakin erat. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, berbicara lebih sering, dan berbagi banyak momen yang terasa begitu istimewa. Evan adalah pria yang penuh perhatian, dengan senyum yang bisa membuat hari Alina menjadi lebih baik hanya dalam sekejap. Setiap kali ia melihat Evan, hatinya berdebar tak terkontrol. Dan meski ia tak mengungkapkannya, ia tahu, perasaan itu bukan sekadar rasa kagum. Itu adalah cinta.

Pada awalnya, Alina tidak yakin apa yang ia rasakan. Semua terjadi begitu cepat. Mereka pertama kali bertemu di sebuah acara sekolah, di mana Evan tampak begitu berbeda dengan pria lain. Ia tidak hanya tampan, tetapi juga memiliki aura yang membuat siapa pun ingin lebih dekat dengannya. Dan begitu Alina mengenalnya, ia menyadari bahwa Evan bukan hanya memiliki penampilan yang menarik, tetapi juga hati yang baik.

Setiap percakapan mereka selalu mengalir dengan mudah. Mereka bisa berbicara tentang segala hal, mulai dari hal-hal sepele hingga topik yang lebih dalam. Evan tak hanya mendengarkan, tetapi juga memberikan saran dan pendapat yang penuh perhatian. Alina merasa nyaman berada di dekatnya. Setiap senyumannya memberikan rasa hangat yang menenangkan hatinya. Alina merasa bahwa inilah cinta yang selama ini ia impikan, yang membuat jantungnya berdebar setiap kali Evan menatapnya dengan penuh perhatian.

Namun, apa yang membuat hati Alina semakin yakin adalah bagaimana Evan juga mulai menunjukkan rasa yang sama. Ia tidak hanya mendekatkan diri kepada Alina, tetapi juga menunjukkan perhatian yang tulus. Saat mereka duduk bersama, Evan sering kali menggenggam tangan Alina dengan lembut, seolah mengatakan bahwa ia ada di sana untuknya. Setiap kali mereka bertemu, rasanya seperti dunia hanya milik mereka berdua. Alina merasa seolah-olah ia adalah satu-satunya orang yang penting bagi Evan, dan itu membuatnya semakin terjerat dalam perasaan ini.

Suatu sore, saat mereka sedang duduk di bangku taman sekolah, Evan mengajak Alina berbicara lebih serius. Ia menatap Alina dengan tatapan yang penuh arti, matanya penuh kehangatan. “Alina, aku merasa ada sesuatu yang sangat spesial antara kita. Aku merasa sangat nyaman berada di dekatmu. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya, tapi aku merasa seperti… kamu adalah bagian dari hidupku yang telah lama hilang,” kata Evan dengan suara yang lembut.

Alina merasakan jantungnya berdegup semakin kencang. Ia menatap Evan dengan mata yang tak bisa menyembunyikan perasaannya. “Aku merasa hal yang sama, Evan. Sejak kita mulai lebih sering berbicara, aku merasa hidupku menjadi lebih berarti. Aku merasa… bahagia.” Alina merasa kata-kata itu keluar dengan sendirinya, seolah-olah perasaan yang selama ini terpendam akhirnya bisa diungkapkan. Dan saat Evan menggenggam tangannya dengan erat, Alina tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang besar.

Cinta pertama mereka semakin tumbuh seiring waktu. Setiap pertemuan, setiap percakapan, semakin memperdalam hubungan mereka. Mereka mulai berbagi lebih banyak tentang hidup mereka, tentang masa lalu, impian, dan harapan-harapan yang belum tercapai. Evan bercerita tentang keluarga dan impian masa depannya, sementara Alina berbicara tentang perjuangannya dalam mengejar cita-cita dan bagaimana ia ingin membuat orang tuanya bangga. Meskipun berbeda latar belakang, keduanya merasa terhubung dengan cara yang sangat dalam. Mereka saling mendukung dan memotivasi satu sama lain untuk menjadi yang terbaik.

Di tengah hubungan yang semakin erat ini, Alina mulai merasa bahwa ia telah menemukan belahan jiwanya. Setiap momen yang dihabiskan bersama Evan terasa begitu sempurna. Ia merasa bahwa dunia ini penuh dengan kemungkinan, dan yang terpenting adalah bahwa ia tidak lagi merasa sendirian. Evan membuatnya merasa diperhatikan, dihargai, dan dicintai.

Namun, meskipun Alina merasa sangat bahagia, ada saat-saat ketika keraguan kecil muncul dalam pikirannya. Ia tahu bahwa ini adalah cinta pertama, dan ia takut jika suatu saat nanti hubungan mereka akan diuji. Apakah cinta ini bisa bertahan? Apakah mereka bisa mengatasi segala tantangan yang mungkin datang? Namun, saat melihat Evan, keraguan-keraguan itu seakan lenyap. Ia merasa bahwa bersama Evan, apapun yang terjadi, mereka bisa menghadapinya bersama.

Di sisi lain, Evan juga merasakan hal yang sama. Ia tidak hanya merasa tertarik pada Alina karena penampilannya yang menarik, tetapi juga karena kepribadiannya yang luar biasa. Alina adalah sosok yang sederhana, bijaksana, dan penuh semangat. Ia tahu bahwa Alina adalah seseorang yang bisa menjadi pendamping hidupnya. Setiap kali melihat senyumnya, hatinya berdebar, dan ia merasa bahwa ini adalah cinta sejati. Tapi di balik kebahagiaannya, ia juga merasa ada tanggung jawab besar untuk menjaga hati Alina, untuk memastikan bahwa cinta yang tumbuh ini tidak akan pernah terluka.

Hari-hari berlalu dengan penuh kebahagiaan. Mereka semakin dekat, semakin saling mengenal. Cinta mereka tumbuh, dan keduanya merasa seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua. Namun, meskipun hubungan mereka semakin kuat, Alina tahu bahwa hubungan ini akan menghadapi tantangan suatu saat nanti. Tidak ada hubungan yang sempurna, dan ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa setiap cinta akan diuji.

Namun, satu hal yang pasti—cinta pertama mereka, cinta yang tumbuh dengan tulus dan penuh harapan, adalah sesuatu yang akan selalu dikenang. Alina tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang, dan ia siap untuk melangkah bersama Evan, apapun yang akan datang.

Perasaan cinta pertama ini, yang tumbuh begitu murni dan penuh harapan, membuat Alina merasa lebih hidup daripada sebelumnya. Ia percaya, meskipun ada ketakutan dan keraguan, cinta ini akan mengajarkan mereka banyak hal. Cinta yang tulus adalah sesuatu yang harus dijaga, dan Alina yakin, selama mereka saling mencintai, mereka akan selalu mampu menghadapinya bersama.*

BAB 3 Kepercayaan yang Terbentuk

Hari demi hari, Alina merasa dirinya semakin nyaman berada di sekitar Evan. Semua yang terjadi begitu cepat—dari saling mengenal, berbicara tentang hal-hal kecil dan besar, hingga tumbuhnya perasaan yang kuat di antara mereka. Sejak pertama kali mereka bertemu, Evan telah memberi kesan yang tak terhapuskan di benak Alina. Ia bukan hanya tampan, tetapi juga sangat perhatian. Setiap kata yang diucapkan Evan membuat Alina merasa dihargai dan dipahami. Meski begitu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan nyaman yang Alina rasakan. Ia mulai merasa bahwa kehadiran Evan telah memberi warna baru dalam hidupnya. Sejak mengenalnya, hidupnya terasa lebih penuh.

Alina, yang selalu berhati-hati dalam hal perasaan, mulai membuka hatinya sedikit demi sedikit. Ia tahu bahwa cinta itu bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, tetapi ia merasa bahwa ada sesuatu yang berbeda kali ini. Setiap percakapan dengan Evan terasa mudah dan menyenangkan. Tidak ada yang dibuat-buat, semuanya mengalir alami. Kepercayaan mulai tumbuh di antara mereka, dan Alina merasa seperti menemukan teman sejati yang tak hanya mendengarkan, tetapi juga memahami dirinya.

Pada suatu sore yang cerah, mereka duduk di bangku taman kampus, tempat yang sering mereka datangi. Alina merasa nyaman dengan kehadiran Evan di sampingnya. Angin sepoi-sepoi dan suara burung yang bernyanyi membuat suasana terasa begitu tenang. Mereka berbicara tentang banyak hal—dari buku yang mereka baca, hingga masa kecil mereka yang penuh kenangan.

“Aku selalu suka baca buku tentang petualangan, kamu?” tanya Evan, matanya menyiratkan minat tulus pada percakapan mereka.

Alina tersenyum, merasa senang bisa berbagi kesukaannya. “Aku suka baca novel. Tapi lebih suka cerita yang bisa membuatku merenung, yang membuat aku berpikir tentang hidup. Mungkin karena aku selalu merasa ingin tahu lebih banyak tentang dunia ini.”

Evan menatap Alina dengan mata penuh perhatian. “Kamu unik, Alina. Aku suka cara kamu melihat dunia.”

Kata-kata itu membuat Alina merasa dihargai, lebih dari sekadar perhatian biasa. Ia merasa seperti dia benar-benar dipahami, bukan hanya sebagai seseorang yang ditemui di jalan, tapi sebagai individu dengan pemikiran dan perasaan yang kompleks. Kepercayaan itu mulai menguat dalam dirinya. Ia mulai percaya bahwa Evan adalah orang yang tepat untuk berbagi cerita dan menjalani hidup bersama.

Seiring berjalannya waktu, kedekatan mereka semakin nyata. Evan mulai berbagi lebih banyak tentang dirinya—tentang keluarganya yang penuh drama, tentang masa-masa sulit yang ia alami, tentang apa yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Alina merasa tersentuh dengan cerita Evan. Ia tahu bahwa setiap orang memiliki perjuangan mereka sendiri, dan dia menghargai kenyataan bahwa Evan merasa nyaman untuk membuka diri padanya.

“Aku nggak pernah bilang hal-hal ini ke orang lain sebelumnya,” ujar Evan dengan nada serius, matanya menatap ke depan. “Tapi aku merasa kamu orang yang tepat untuk mendengarnya.”

Alina terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Ia tahu bahwa kepercayaan yang diberikan Evan padanya bukanlah hal yang mudah. Mungkin baginya, membuka diri adalah hal yang berat, tetapi untuk Alina, itu adalah sebuah kehormatan.

“Terima kasih sudah mempercayakan cerita itu padaku, Evan,” jawab Alina lembut, menyentuh lengan Evan dengan tangan yang penuh empati.

Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kebersamaan itu. Dalam hati Alina, kepercayaan itu tumbuh menjadi lebih dari sekadar kata-kata. Itu adalah sesuatu yang lebih dalam, yang memerlukan waktu dan perhatian untuk dipelihara. Setiap cerita yang mereka bagi, setiap perasaan yang mereka ungkapkan, semakin memperkuat hubungan mereka. Alina merasa bahwa ia telah menemukan seseorang yang tidak hanya bisa berbagi tawa, tetapi juga bisa berbagi air mata.

Namun, meskipun kepercayaan itu tumbuh, ada satu hal yang masih menghantui pikiran Alina. Ia sering kali bertanya-tanya apakah Evan benar-benar bisa dipercaya sepenuhnya. Meskipun tidak ada tanda-tanda bahwa Evan menyembunyikan sesuatu, perasaan ragu itu selalu datang tiba-tiba, terutama saat ia melihat Evan berbicara dengan gadis-gadis lain di kampus. Rasa cemburu yang terkadang muncul membuatnya merasa insecure, tetapi ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.

Suatu malam, setelah selesai belajar di perpustakaan, Alina mendapat pesan singkat dari Evan.

“Malam ini ada acara di kafe dekat kampus. Aku berharap bisa ketemu dan ngobrol lebih banyak. Bisa?”

Alina membaca pesan itu, dan meskipun hatinya senang, sedikit kecemasan muncul. Ia berpikir, apakah ini hanya perasaan paranoidnya saja? Apa yang sebenarnya ada di balik ajakan itu? Namun, ia mencoba menepis rasa ragu itu dan membalas pesan Evan dengan cepat.

“Tentu! Aku senang sekali bisa ketemu.

Keesokan harinya, mereka bertemu di kafe seperti yang direncanakan. Suasana hangat dan santai membuat keduanya merasa lebih dekat. Alina merasa nyaman berbicara tentang berbagai hal, mulai dari impian masa depan hingga hal-hal kecil yang sering mereka diskusikan. Ketika Evan menggenggam tangannya dengan lembut, Alina merasakan sentuhan yang begitu tulus. Ia tahu bahwa hubungan mereka sedang berkembang menjadi sesuatu yang lebih.

Pada malam itu, saat mereka berdua berjalan pulang, Alina berhenti sejenak dan menatap langit yang cerah. “Aku merasa sangat percaya padamu, Evan. Entah kenapa, aku merasa kita bisa saling mengandalkan.”

Evan tersenyum, menggenggam tangan Alina lebih erat. “Aku juga merasa hal yang sama, Alina. Aku nggak ingin kehilangan kepercayaan ini. Aku ingin terus berada di sini untuk kamu.”

Kata-kata itu membuat Alina merasa tenang. Kepercayaan yang terbentuk bukan hanya berdasarkan kata-kata manis, tetapi melalui tindakan yang nyata. Setiap pertemuan, setiap percakapan, dan setiap janji yang mereka buat, semakin memperkuat ikatan antara mereka. Alina tahu bahwa meskipun tidak ada yang bisa menjamin masa depan, saat ini, kepercayaan itu adalah landasan yang kuat bagi hubungan mereka.

Kepercayaan adalah pondasi yang kokoh, dan meskipun perjalanan mereka masih panjang, Alina merasa yakin bahwa dengan Evan di sisinya, ia bisa melewati apapun yang datang. Cinta pertama yang tumbuh bukan hanya dari kata-kata indah, tetapi dari kenyataan bahwa mereka saling memberikan kepercayaan yang tulus dan saling mendukung.*

BAB 4 Tanda-tanda yang Tidak Terlihat

Hari-hari setelah liburan musim panas berjalan seperti biasa. Alina dan Evan kembali ke sekolah, melanjutkan rutinitas mereka yang sudah menjadi kebiasaan. Namun, meski semuanya terlihat seperti normal, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Alina. Rasanya seperti ada yang berbeda dengan Evan, meskipun ia tak tahu apa itu. Semuanya dimulai dengan hal-hal kecil, yang sebenarnya bisa saja ia abaikan.

Pada awalnya, Alina tidak begitu memikirkannya. Setiap kali mereka berbicara, ada momen-momen di mana Evan tampak lebih jauh, lebih cemas, dan kadang-kadang teralihkan oleh ponselnya. Hal itu tidak terlalu terlihat jika hanya terjadi sekali atau dua kali, namun semakin sering, Alina mulai merasa ada yang tidak beres. Biasanya, ketika mereka duduk bersama di perpustakaan, mereka berbicara tentang banyak hal, tertawa bersama, dan berbagi cerita. Namun akhir-akhir ini, Evan lebih banyak diam, bahkan ketika Alina berusaha memulai percakapan. Saat ia bertanya tentang apa yang mengganggunya, Evan hanya tersenyum canggung dan mengatakan bahwa ia hanya merasa sedikit lelah. Alina mulai merasa ada jarak, meski Evan tidak mengatakannya secara langsung.

Di satu sisi, Evan tetap menjadi sosok yang perhatian. Ia masih memberikan perhatian lebih padanya, seperti membawa makanan favorit Alina ketika mereka bertemu di sekolah. Namun, semakin lama, Alina merasa bahwa perhatian itu tidak lagi tulus, melainkan lebih seperti kewajiban. Sebuah kebiasaan yang mulai terasa dipaksakan, bukan karena keinginan untuk membuat Alina bahagia. Alina merasa ragu, tetapi ia berusaha untuk berpikir positif. Mungkin, hanya perasaan buruknya saja yang membuatnya meragukan segalanya.

Namun, semakin lama, tanda-tanda itu semakin nyata. Dalam satu kesempatan, mereka sedang duduk di kafe favorit mereka, tempat yang selalu menjadi saksi kebersamaan mereka. Alina merasa ada yang aneh dengan sikap Evan, yang terlihat gelisah dan tak fokus. Ketika Alina menyentuh tangannya, ia merasa tangan Evan lebih dingin dari biasanya, dan pandangannya yang biasa penuh dengan rasa sayang kini tampak kosong. “Ada apa, Evan? Kamu tampak berbeda belakangan ini,” tanya Alina dengan hati yang mulai ragu.

Evan hanya tersenyum tipis, mencoba mengalihkan perhatian Alina dengan topik lain. “Tidak ada apa-apa, aku cuma lelah saja.” Namun, ada sesuatu dalam cara Evan menghindari tatapan Alina yang membuatnya semakin bingung. Biasanya, Evan akan menatapnya dengan penuh perhatian, seolah tidak ingin ada yang menghalangi kebersamaan mereka. Tapi kali ini, pandangan itu terasa kosong, seolah ada tembok yang terbentuk di antara mereka.

Hari berikutnya, Alina kembali merasakan ketegangan yang sama saat mereka bertemu di sekolah. Evan yang biasanya selalu menemani Alina pulang bersama, kini lebih sering memilih untuk pulang dengan teman-temannya. Alina mencoba bertanya, namun Evan hanya menjawab bahwa ia ada janji dengan teman sekelas yang membutuhkan bantuannya. Meski Alina mengerti bahwa mereka memiliki kehidupan masing-masing, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya. Ini bukan tentang jadwal yang sibuk, tetapi tentang sikap Evan yang semakin berbeda. Sepertinya, ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Alina mencoba berbicara dengan sahabatnya, Rani, tentang perasaannya. “Rani, aku merasa seperti ada yang berubah dengan Evan. Tapi, aku nggak tahu apa yang salah. Dia jadi lebih dingin dan lebih sering menghindar. Aku nggak bisa bilang kalau dia nggak peduli lagi, tapi… entah kenapa rasanya beda,” ujar Alina, mencoba mengungkapkan kekhawatirannya.

Rani memandang Alina dengan wajah serius. “Alina, kadang-kadang perasaan kita memang bisa menipu. Tapi, jika dia benar-benar berubah, kamu harus lebih berhati-hati. Cinta itu seharusnya membuat kita merasa aman, bukan sebaliknya.”

Mendengar kata-kata Rani, hati Alina semakin kacau. Ia mulai merenung, apakah ia terlalu sensitif atau memang ada sesuatu yang salah dengan hubungan mereka. Mungkin, memang ada yang disembunyikan Evan, meskipun ia belum siap untuk mempercayai dugaan itu sepenuhnya.

Beberapa hari kemudian, sebuah kejadian kecil membuat segalanya berubah. Alina menemukan sebuah pesan di ponsel Evan ketika mereka sedang duduk bersama di taman sekolah. Ponsel Evan yang tergeletak di meja tiba-tiba berdering. Tertarik untuk melihatnya, Alina tanpa sengaja memeriksa layar ponsel itu dan melihat nama yang tidak asing—Vira, sahabat terbaik Evan yang sering mereka habiskan waktu bersama. Namun, apa yang lebih mengejutkan adalah isi pesan tersebut. “Aku rindu kamu, Evan. Kapan kita bisa bertemu lagi?”

Alina merasa jantungnya terhenti sejenak. Pesan itu jelas, dan rasa sakit itu langsung menghantamnya. Ia merasa seperti dikhianati, meskipun ia belum sepenuhnya yakin apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ini hanya sebuah pesan biasa antara sahabat? Ataukah ada yang lebih dari itu? Dalam kebingungannya, Alina menatap Evan yang duduk di depannya, berusaha menyembunyikan kegelisahan.

Evan melihatnya, dan alisnya terangkat. “Apa yang kamu lihat?” tanyanya, terdengar sedikit gugup.

Alina tidak bisa lagi menahan perasaannya. “Siapa Vira? Kenapa dia mengirim pesan seperti itu?” Suaranya hampir bergetar, meski ia mencoba untuk tetap tenang.

Evan terdiam sejenak, kemudian menunduk. “Alina, itu… itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku… aku tidak ingin melukaimu.” Kata-kata itu keluar dengan nada cemas, tetapi tidak cukup meyakinkan. Hati Alina hancur seketika. Sesuatu di dalam dirinya tahu bahwa perasaan itu bukan hanya perasaan curiga, tetapi perasaan yang sudah menjadi kenyataan.

Sekarang, Alina tahu bahwa tanda-tanda yang ia abaikan selama ini adalah petunjuk dari kenyataan yang pahit. Cinta pertama yang ia perjuangkan dengan sepenuh hati kini mulai retak, dan Alina tidak tahu apakah ia siap menghadapi kenyataan yang lebih besar yang akan datang.*

BAB 5 Pengkhianatan yang Menyakitkan

Alina berdiri di depan pintu rumah Evan, dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kekhawatiran yang menyelimuti hatinya, namun ia berusaha meyakinkan diri bahwa semua yang ia rasakan hanyalah perasaan paranoid belaka. Ia memutuskan untuk datang tanpa pemberitahuan, ingin memberi kejutan kepada Evan yang sudah lama tidak membalas pesan-pesannya dengan penuh perhatian. Ia sudah merasakan ada yang berbeda dalam hubungan mereka belakangan ini, tetapi ia enggan untuk menduganya lebih jauh. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain kecurigaan yang tidak berdasar.

Namun, saat ia memutar pegangan pintu rumah Evan, perasaan aneh itu semakin kuat. Pintu tidak terkunci. Alina menahan napas dan melangkah masuk, mencoba untuk tetap tenang. Suara tawa terdengar samar dari ruang tamu, dan langkahnya semakin mantap menuju sumber suara itu.

Sampai di depan pintu kamar tidur Evan, Alina berhenti sejenak. Ia mendengar suara tawa yang semakin keras, disusul oleh suara yang sangat familiar—suara Evan. Ia merasakan jantungnya berdegup kencang, seakan sudah tahu ada sesuatu yang tidak beres. Ia memegang gagang pintu dan perlahan mendorong pintu kamar Evan terbuka.

Apa yang ia lihat di balik pintu itu membuat seluruh tubuhnya membeku. Evan, pria yang selama ini ia percayai, sedang berbaring di tempat tidur dengan Vira, sahabatnya sendiri, dalam posisi yang sangat intim. Matanya terbuka lebar, dan ia menatap mereka dengan kebingungan dan rasa tak percaya. Seluruh dunia seakan terhenti sejenak, dan hanya ada satu perasaan yang memenuhi hatinya: hancur.

Evan terkejut dan langsung menarik diri dari Vira. “Alina…!” teriaknya dengan nada cemas, berdiri tergesa-gesa. Sementara Vira, yang terbaring di sampingnya, hanya bisa memandang Alina dengan wajah penuh penyesalan, tetapi juga rasa bersalah yang tidak dapat disembunyikan.

Alina hanya bisa berdiri terpaku di depan pintu, tubuhnya terasa kaku, seolah tidak bisa bergerak. Ia merasa seluruh tubuhnya terasa dingin, tetapi di dalam hatinya ada api yang membara. Rasa sakit itu begitu tajam, menusuk hingga ke dasar hatinya. Alina tahu, pengkhianatan ini bukan hanya datang dari Evan, tetapi juga dari Vira, sahabat yang selama ini selalu ada untuknya.

“Evan, kenapa?” suara Alina bergetar, hampir tidak terdengar. Ia mencoba untuk menahan air mata yang mulai menggenang, tetapi rasa sakit itu membuatnya kehilangan kendali. “Kau… kau dan Vira?” ia terhenti sejenak, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja ia temui. “Selama ini kalian… seperti ini?”

Evan menunduk, tidak bisa melihat wajah Alina yang begitu terluka. “Alina, aku bisa jelaskan semuanya,” katanya dengan suara lemah. “Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Kami… kami tidak berniat untuk menyakitimu.”

Tapi Alina sudah tidak bisa mendengarkan penjelasan lebih lanjut. Ia merasa hatinya hancur berkeping-keping. Semua kenangan indah yang ia bagi bersama Evan dan Vira selama ini terasa seperti dusta. Apa yang sudah ia percayai selama ini, apa yang ia anggap sebagai cinta sejati, ternyata hanyalah kebohongan besar.

“Jangan katakan itu, Evan,” ujar Alina dengan suara yang tegas meskipun hatinya terasa sangat sakit. “Jangan katakan bahwa kalian tidak berniat menyakitiku. Itu semua sudah terjadi. Kau… kau mengkhianatiku dengan orang yang paling aku percayai. Dan itu… itu tidak bisa dimaafkan.”

Vira, yang sedari tadi hanya diam, akhirnya mengangkat suaranya. “Alina, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud… tapi aku jatuh cinta padanya,” katanya, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu ini salah, dan aku sangat menyesal. Tapi aku tidak bisa menahan perasaan ini lebih lama lagi.”

Alina menatap Vira dengan penuh kebingungan. “Jadi, ini salahku? Aku yang membuat kalian berdua jatuh cinta?” tanyanya dengan nada penuh kecewa. “Kalian tahu, kan, betapa aku mempercayai kalian berdua. Dan begini caranya kalian membalasnya?”

Evan berusaha mendekati Alina, tetapi langkahnya terhenti ketika Alina melangkah mundur. “Jangan, Evan. Jangan coba mendekat,” katanya, suaranya penuh ketegasan meskipun perasaan itu sangat membekas di dalam hatinya. “Aku sudah cukup terluka. Aku tidak butuh penjelasan lebih lanjut dari kalian.”

Dengan kata-kata itu, Alina berbalik dan berjalan keluar dari kamar Evan dengan langkah yang berat. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti beban yang sangat berat. Ia merasakan panas di matanya, namun ia berusaha keras untuk menahan air mata yang hampir tumpah. Ia tahu bahwa pengkhianatan ini bukan hanya merobek hatinya, tetapi juga merusak kepercayaan yang sudah ia bangun selama ini.

Setelah keluar dari rumah Evan, Alina berhenti di trotoar, menatap jalan yang sepi. Ia merasa seolah-olah dunianya runtuh, dan ia tidak tahu harus ke mana. Perasaan marah, kecewa, dan sedih bercampur aduk dalam dirinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana ia bisa melanjutkan hidup setelah ini?

Sambil menahan air mata, Alina berjalan pulang. Di setiap langkah, rasa sakit semakin menguat. Ini adalah kenyataan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Cinta yang begitu indah ternyata berakhir dengan pengkhianatan yang menyakitkan. Namun, di dalam hatinya, ia tahu satu hal: Ia harus kuat. Meski luka ini dalam, ia akan menemukan cara untuk menyembuhkannya, meski itu membutuhkan waktu yang lama. Cinta pertama memang bisa indah, tetapi juga bisa sangat menyakitkan.*

BAB 6  Menghadapi Realitas

Alina berjalan perlahan di sepanjang jalan setapak taman, dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya. Pagi itu, udara terasa begitu dingin, meskipun sinar matahari tampak cerah. Di kepalanya, rasa bingung dan sakit hati saling bertarung. Semalam adalah malam yang tak akan pernah ia lupakan, malam yang mengubah segalanya. Alina baru saja mengetahui kenyataan yang tak pernah ia duga sebelumnya: Evan, pria yang ia anggap sebagai cinta pertamanya, telah mengkhianatinya.

Hatinya terasa kosong, seperti ada ruang yang tak terisi, namun begitu penuh sesak dengan perasaan yang bercampur aduk. Alina menatap kosong ke depan, matanya berkaca-kaca, tetapi air matanya enggan jatuh. Ia merasa seperti terjebak dalam kebingungannya sendiri. Bagaimana mungkin pria yang begitu ia percayai, yang telah ia anggap sebagai belahan jiwa, bisa begitu mudah mengecewakan dan menyakitinya?

Kenangan indah tentang hubungan mereka berputar-putar dalam ingatannya. Senyuman Evan, perhatian kecil yang selalu ia beri, cara dia membuat Alina merasa dihargai—semua itu kini terasa seperti ilusi. Betapa mudahnya bagi Evan untuk berpaling dari cinta yang mereka bangun bersama. Alina tak tahu harus merasakan apa. Marah? Ya, tentu saja. Kecewa? Tidak diragukan lagi. Namun yang paling ia rasakan adalah rasa terluka yang begitu dalam, yang membuatnya hampir tak bisa bernapas.

Langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah bangku kosong di dekat kolam. Ia duduk di sana, memandang air yang tenang dan tidak bergejolak. Seperti hati Alina yang saat ini, tampak tenang di luar, tetapi penuh gejolak di dalam. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Namun, setiap kali ia memikirkan Evan dan pengkhianatannya, ia merasa semakin terpuruk.

Sejenak, Alina memikirkan tentang semua percakapan dengan Evan, betapa mereka berbagi segalanya—cerita tentang masa kecil, impian mereka, bahkan hal-hal yang sangat pribadi. Mereka saling mendukung satu sama lain, menghadapi segala rintangan bersama. Tetapi ternyata, semua itu tak berarti apa-apa bagi Evan. Ia memilih untuk merusak semuanya dengan sebuah keputusan yang begitu mudah.

Perasaan marah pun mulai menggantikan rasa kecewa yang semula mendalam. Alina mengumpulkan keberanian untuk berdiri dan berjalan ke arah tempat yang biasa ia dan Evan lewati bersama. Di jalan itu, ia menemukan banyak kenangan. Kenangan-kenangan itu kini menjadi berat, seperti batu besar yang menekan dadanya. Setiap sudut tempat ini mengingatkan pada senyum Evan, pada tawa mereka yang dulu begitu tulus.

Tiba-tiba, telepon di genggamannya berdering. Alina ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawabnya. Di ujung sana, suara Evan terdengar begitu asing, penuh dengan penyesalan. “Alina, aku minta maaf… aku tahu aku telah menghancurkan kepercayaanmu. Tapi aku benar-benar tidak ingin kehilanganmu.”

Denyutan di dalam dadanya terasa semakin cepat. “Evan, bagaimana bisa kamu melakukan ini? Kenapa? Apa yang salah dengan kita?” suara Alina hampir pecah, menahan tangis yang sudah sangat ingin ia lepaskan.

“Aku… aku tidak tahu, Alina. Aku merasa ada yang hilang, dan aku khilaf. Aku sangat menyesal,” jawab Evan dengan suara yang penuh penyesalan.

Alina memejamkan mata sejenak, berusaha menahan air mata yang sudah sejak tadi ingin ia lepaskan. “Evan, aku tidak tahu harus bagaimana. Apa yang terjadi antara kita sudah bukan lagi cinta yang aku kenal. Kamu telah merusak segalanya.”

Evan terdiam, tak ada yang bisa ia katakan lagi. Rasanya, setiap kata yang keluar darinya hanya menambah luka di hati Alina. Setiap kata permintaan maaf terasa kosong, tak cukup untuk menyembuhkan luka yang sudah terlalu dalam.

“Maafkan aku,” ujar Evan pelan, namun kata-kata itu tak lagi memiliki kekuatan. Alina menutup telepon itu dengan penuh perasaan hancur, meskipun seharusnya ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.

Hari-hari setelah itu, Alina merasakan dunia seakan terbalik. Ia tidak bisa lagi melihat Evan tanpa membayangkan pengkhianatannya. Setiap kenangan manis yang dulu mereka bagi kini terasa hambar dan bahkan menyakitkan. Di sekolah, Alina berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan perasaan yang sedang menguasai dirinya. Namun, rasa sakit yang ia rasakan membuatnya sulit untuk fokus pada apapun.

Alina merasa seperti kehilangan arah. Ia merasa terjebak dalam labirin perasaan yang tak bisa ia keluar. Di satu sisi, ia ingin melupakan semuanya dan bergerak maju, tetapi di sisi lain, ia merasa belum siap untuk melepaskan begitu saja cinta pertama yang begitu ia jaga. Kenangan tentang Evan, meskipun menyakitkan, tetap terukir jelas dalam pikirannya.

Di malam hari, Alina sering terbangun di tengah tidur, matanya basah oleh air mata. Ia ingin melupakan semua yang terjadi, tetapi rasa sakit itu terus menghantuinya. Mungkin, ia berpikir, ini adalah bagian dari proses penyembuhan. Mungkin, waktu akan membantunya menerima kenyataan bahwa pengkhianatan itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus ia jalani.

Namun, hari demi hari, ia mulai merasa sedikit lebih kuat. Ia mulai memahami bahwa meskipun Evan adalah bagian dari hidupnya, hidupnya tidak harus bergantung pada seseorang yang telah menyakiti hatinya. Perlahan-lahan, Alina mulai mengumpulkan potongan-potongan dirinya yang hancur, berusaha untuk menyembuhkan luka-luka yang dalam.

Di dalam hati, ia tahu satu hal: ia akan mampu melewati ini. Mungkin cinta pertama itu memang berakhir dengan luka, tetapi ia yakin bahwa suatu hari nanti, luka itu akan sembuh dan ia akan kembali merasa utuh, lebih kuat dari sebelumnya.

Dengan berjalannya waktu, Alina mulai menyadari bahwa meskipun cinta pertama membawa banyak pelajaran, ia tidak akan membiarkan pengalaman itu mendefinisikan siapa dirinya. Cinta yang kau nodai, Evan, adalah bagian dari masa lalu yang harus ia lepaskan agar bisa melangkah ke depan, menuju masa depan yang lebih baik dan lebih bahagia.***

——————-THE END—————

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #KeputusanSulit #DendamCinta #CintaTerlarang #KonflikEmosional #Pengorbanan
Previous Post

RINDU YANG TAK PERNAH MATI

Next Post

WAKTU YANG MENGUJI CINTA KITA

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
WAKTU YANG MENGUJI CINTA KITA

WAKTU YANG MENGUJI CINTA KITA

SAAT RINDU MENJADI RACUN

SAAT RINDU MENJADI RACUN

HATI YANG TAK BISA MEMAAFKAN

HATI YANG TAK BISA MEMAAFKAN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id