Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA YANG BERAWAL DARI SANDIWARA

CINTA YANG BERAWAL DARI SANDIWARA

SAME KADE by SAME KADE
February 21, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 20 mins read
CINTA YANG BERAWAL DARI SANDIWARA

Daftar Isi

  • BAB 1: Awal Sebuah Kesepakatan
  • BAB 2: Kontrak Cinta Palsu
  • BAB 3: Awal dari Kepura-puraan
  • BAB 4: Ketulusan yang Tak Disadari
  • BAB 5: Guncangan dalam Sandiwara
  • BAB 6: Pertahanan yang Mulai Runtuh
  • BAB 7: Akhir dari Kesepakatan?
  • BAB 8: Kebenaran yang Terungkap
  • BAB 9: Menemukan Arti Cinta Pertama
  • BAB 10: Cinta yang Bukan Sandiwara

BAB 1: Awal Sebuah Kesepakatan

Langit sore berwarna jingga keemasan saat bel pulang sekolah berdentang nyaring di seluruh penjuru SMA Cahaya Nusantara. Siswa-siswi berhamburan keluar kelas dengan wajah lelah, beberapa mengobrol riang, sementara yang lain sibuk dengan ponsel mereka. Di sudut halaman sekolah, seorang gadis berkacamata dengan rambut dikuncir rendah berjalan tergesa-gesa, menundukkan kepala seolah ingin menghindari perhatian.

Gadis itu, Naya Rahmadhani, bukan siapa-siapa di sekolah ini. Ia tidak terkenal, tidak memiliki banyak teman, dan lebih sering menghabiskan waktu dengan buku-bukunya di perpustakaan. Namun, siang itu, ia dipanggil seseorang yang membuatnya terhenti di tengah langkah.

“Naya,” suara berat itu terdengar tepat di belakangnya.

Naya menoleh dengan ragu. Di hadapannya berdiri Narendra Adiputra, siswa paling populer di sekolah, kapten tim basket, dan anak orang kaya yang selalu menjadi pusat perhatian. Dengan seragam yang sedikit berantakan dan tangan dimasukkan ke dalam saku, Narendra menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Ada apa?” tanya Naya hati-hati. Ia jarang—hampir tidak pernah—berbicara dengan Narendra.

Narendra menarik napas pelan, lalu menatapnya dengan tatapan tajam. “Aku butuh bantuanmu.”

Naya mengerutkan kening. “Bantuan apa?”

Lelaki itu melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka, lalu mendekat. “Aku ingin kau berpura-pura menjadi pacarku.”

Sejenak, dunia terasa berhenti. Naya berkedip, mengira dirinya salah dengar. “Apa?”

“Aku ingin kau menjadi pacarku. Tapi cuma pura-pura. Selama tiga bulan,” ulang Narendra dengan nada yang lebih tegas.

Naya tertawa kecil, mengira ini hanya lelucon murahan. “Narendra, kalau ini semacam taruhan atau prank, aku tidak tertarik.”

“Terserah kau percaya atau tidak, tapi aku serius.”

Naya menatap wajah Narendra, mencari tanda-tanda kebohongan. Namun, yang ia lihat hanyalah keseriusan yang mencengangkan. Tidak ada tawa atau tatapan meremehkan seperti yang biasa ia lihat dari anak-anak populer di sekolah.

“Tapi kenapa aku?”

Narendra mendesah, lalu duduk di bangku kayu yang berada di dekat mereka. Naya masih berdiri, menatapnya dengan penuh kebingungan.

“Ayahku ingin menjodohkanku dengan anak koleganya. Aku tidak mau. Tapi kalau aku bisa meyakinkan mereka bahwa aku sudah punya pacar, perjodohan itu bisa dibatalkan.”

Naya mengernyit. “Lalu kenapa harus aku? Bukankah banyak gadis di sekolah ini yang rela melakukan apa saja untuk menjadi pacarmu, meskipun hanya pura-pura?”

Narendra menatapnya tajam. “Justru karena itu. Aku butuh seseorang yang tidak akan menuntut lebih. Aku tahu kau bukan tipe yang akan jatuh cinta padaku begitu saja, dan aku yakin kau tidak akan menyebarkan gosip atau drama seperti gadis-gadis lain.”

Naya merasa sedikit tersinggung dengan pernyataan itu, tetapi ia mengerti maksud Narendra. Ia memang bukan orang yang suka mencari perhatian atau ikut dalam permainan sosial anak-anak populer.

“Tiga bulan?” ulangnya, memastikan.

Narendra mengangguk. “Selama itu, kita hanya perlu terlihat seperti pasangan di depan umum. Tidak perlu benar-benar berkencan atau melakukan hal-hal yang berlebihan. Setelah itu, kita kembali seperti semula.”

Naya terdiam, mempertimbangkan. Tawaran ini memang aneh, bahkan gila. Tapi di sisi lain, tidak ada ruginya bagi dirinya. Ini hanya sandiwara. Selain itu, bagian kecil dari dirinya penasaran seperti apa rasanya menjadi seseorang yang diperhatikan—walau hanya dalam pura-pura.

“Aku harus dapat apa sebagai gantinya?” tanyanya, mencoba bersikap realistis.

Narendra tersenyum tipis, seolah sudah menduga pertanyaan itu. “Aku bisa membantumu. Aku tahu kau ingin mengikuti olimpiade sains, tapi kurang dukungan dari guru. Aku bisa berbicara dengan kepala sekolah. Aku juga bisa membantumu mengatasi masalah dengan Gina dan gengnya.”

Naya tercengang. Narendra tahu soal Gina? Gina adalah salah satu gadis paling berpengaruh di sekolah, dan selama ini sering mengganggunya karena alasan yang tidak jelas.

“Baiklah,” akhirnya Naya menjawab. “Tapi aku punya syarat.”

Narendra menatapnya penuh minat. “Apa itu?”

“Kita tidak boleh membawa perasaan ke dalam kesepakatan ini. Tidak ada kecemburuan, tidak ada hubungan yang lebih dari sandiwara. Kalau salah satu dari kita melanggar aturan, permainan ini berakhir.”

Narendra tersenyum samar. “Sepakat.”

Naya mengulurkan tangannya, dan Narendra menyambutnya dengan genggaman erat. Tanpa mereka sadari, sebuah cerita baru telah dimulai—sebuah kisah cinta yang berawal dari sandiwara.*

BAB 2: Kontrak Cinta Palsu

Malam itu, Naya duduk di meja belajarnya, menatap ponselnya dengan ragu. Percakapan dengan Narendra sore tadi masih berputar di kepalanya. Ia masih tidak percaya bahwa ia menerima tawaran gila itu—berpura-pura menjadi pacar anak paling populer di sekolah selama tiga bulan.

“Ini cuma sandiwara,” gumamnya pelan, meyakinkan diri sendiri.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang baru saja ia simpan: Narendra Adiputra.

Narendra: Aku akan menjemputmu besok pagi. Kita harus mulai terlihat seperti pasangan.

Naya mengetik balasan dengan hati-hati.

Naya: Apa itu perlu? Kita bisa pura-pura pacaran di sekolah saja.

Hanya butuh beberapa detik sebelum Narendra membalas.

Narendra: Kalau kita hanya berpura-pura di sekolah, orang akan curiga. Pacar yang sebenarnya pasti melakukan hal-hal di luar sekolah juga. Aku akan menjemputmu jam tujuh. Jangan terlambat.

Naya menghela napas. Ini baru dimulai, tapi Narendra sudah begitu serius. Ia menaruh ponselnya dan berbaring di kasur, menatap langit-langit kamarnya.

“Tiga bulan. Aku hanya harus bertahan selama tiga bulan.”

Keesokan paginya, Naya berdiri di depan rumahnya, merasa canggung. Ia tidak pernah dijemput siapa pun sebelumnya, apalagi oleh cowok sekelas Narendra. Tak lama kemudian, suara motor menderu mendekat, dan Narendra muncul dengan jaket hitam dan helm di tangannya.

“Cepat naik,” katanya singkat.

Naya menelan ludah. “Aku… aku belum pernah naik motor dengan orang lain.”

Narendra menatapnya sejenak, lalu menyerahkan helm. “Pegang aku kalau kau takut.”

Dengan ragu, Naya memakai helm dan naik ke motor, menjaga jarak sejauh mungkin.

Narendra tertawa kecil. “Kau pikir kau bisa duduk sejauh itu tanpa jatuh?”

Naya menggerutu pelan, lalu akhirnya memegang jaket Narendra dengan canggung. Motor melaju, dan jantung Naya berdegup kencang—bukan karena perasaan, tapi karena takut jatuh.

Begitu mereka sampai di sekolah, semua mata langsung tertuju pada mereka. Beberapa siswa bahkan terkejut melihat Narendra turun dari motor bersama Naya.

“Seriusan?” bisik seorang siswi pada temannya.

Gina, salah satu gadis populer di sekolah yang dulu pernah menyukai Narendra, menatap mereka dengan tatapan tajam.

Narendra tampaknya tidak peduli. Ia turun dari motor, melepas helmnya, lalu—tanpa peringatan—menarik tangan Naya dan menggenggamnya erat saat mereka berjalan ke gerbang sekolah.

Jantung Naya hampir berhenti. “Hei, apa-apaan ini?” bisiknya panik.

“Kita pacaran, ingat?” jawab Narendra santai. “Santai saja.”

Santai? Bagaimana mungkin ia bisa santai ketika semua orang menatap mereka dengan ekspresi tidak percaya?

Saat mereka melewati koridor sekolah, sahabat Naya, Dinda, buru-buru menghampirinya dengan mata membelalak.

“Naya! Apa yang sebenarnya terjadi?” bisik Dinda, matanya berpindah dari Naya ke Narendra.

Narendra hanya tersenyum tipis. “Dia pacarku sekarang,” katanya ringan, lalu meninggalkan mereka sebelum Naya bisa membantah.

Dinda menatap Naya penuh curiga. “Kau bercanda, kan?”

Naya menggigit bibirnya. Ia tidak bisa memberitahu siapa pun tentang sandiwara ini. “Aku akan menjelaskan nanti.”

Dinda mendecak. “Kau tahu, aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini.”

Tentu saja aneh, pikir Naya. Ia sendiri masih sulit mempercayai semuanya.

Di kantin sekolah, Narendra dan Naya duduk berhadapan. Beberapa pasang mata masih melirik ke arah mereka, berbisik-bisik.

“Kau lihat? Semua orang memperhatikan kita,” kata Narendra sambil menggigit rotinya.

Naya mendesah. “Tentu saja. Kau tiba-tiba menggandeng tanganku di depan umum.”

Narendra menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Itu perlu. Kalau kita tidak terlihat meyakinkan, orang-orang akan curiga.”

Naya memainkan sedotan di gelasnya. “Kalau begitu, kita perlu aturan.”

Narendra menatapnya dengan tertarik. “Aturan seperti apa?”

Naya menarik napas dalam-dalam. “Pertama, kita hanya perlu bersikap mesra di depan umum. Tidak ada kontak fisik yang tidak perlu saat tidak ada orang yang melihat.”

Narendra mengangguk. “Lanjutkan.”

“Kedua, kita tidak boleh mencampuri kehidupan pribadi satu sama lain.”

Narendra menaikkan alis. “Maksudmu?”

“Kau tidak boleh bertanya tentang hal-hal pribadi dalam hidupku, dan aku juga tidak akan bertanya tentang hidupmu,” jelas Naya.

Narendra tersenyum samar. “Baiklah. Apalagi?”

Naya menatapnya serius. “Ketiga, dan yang paling penting: tidak boleh ada perasaan.”

Narendra terkekeh. “Kau benar-benar yakin?”

“Tentu saja. Ini hanya kesepakatan. Tidak lebih,” kata Naya tegas.

Narendra mengangguk pelan. “Baiklah, Nona Kontrak. Aku setuju.”

Naya menghela napas lega. Setidaknya dengan aturan ini, ia bisa menjaga jarak dan memastikan semuanya tetap terkendali.

Namun, tanpa mereka sadari, permainan ini baru saja dimulai. Dan terkadang, dalam permainan perasaan, tidak ada aturan yang benar-benar bisa mengendalikannya.*

BAB 3: Awal dari Kepura-puraan

Hari pertama menjalani sandiwara ini terasa lebih sulit dari yang Naya bayangkan. Sejak Narendra mengumumkan hubungan mereka di sekolah, ke mana pun ia pergi, tatapan penuh rasa ingin tahu selalu mengikutinya. Beberapa tatapan itu berisi kebingungan, beberapa jelas dipenuhi kecemburuan, dan sisanya tampak tidak percaya.

Di kelas, Naya duduk di bangkunya dengan gelisah. Dinda yang duduk di sebelahnya melipat tangan di dada, menatapnya dengan tajam.

“Jadi, kapan kau akan memberitahuku kebenarannya?” tanya Dinda pelan, cukup keras untuk hanya didengar oleh Naya.

Naya mengalihkan pandangan, berpura-pura membaca buku. “Kebenaran apa? Aku dan Narendra benar-benar berpacaran.”

Dinda mendengus. “Ayolah, Naya. Kau bisa membohongi satu sekolah, tapi tidak denganku. Aku tahu kau sejak kecil. Kau bahkan tidak pernah tertarik dengan cowok sebelumnya, apalagi tiba-tiba berpacaran dengan Narendra, si raja sekolah.”

Naya menghela napas. Dinda terlalu pintar untuk bisa dibohongi. “Dinda, kumohon… Aku hanya butuh kau percaya padaku kali ini.”

Dinda mengernyit, masih tidak sepenuhnya puas, tetapi ia tidak menekan lebih jauh. “Baiklah. Tapi kalau kau butuh bicara, aku ada di sini.”

Sebelum Naya sempat menjawab, pintu kelas terbuka, dan Narendra masuk dengan gaya khasnya—tenang, percaya diri, dan seperti biasa, menjadi pusat perhatian. Namun, kali ini, ia melakukan sesuatu yang membuat jantung Naya hampir berhenti.

Narendra berjalan ke arah Naya, lalu tanpa ragu, ia menepuk kepala gadis itu dengan lembut sebelum duduk di bangku sebelahnya.

“Pagi, Sayang,” katanya santai, dengan senyum jahil.

Naya membeku. Kelas menjadi sunyi dalam sekejap. Semua orang menatap mereka dengan mata terbelalak.

“Pagi…” balas Naya dengan canggung.

Beberapa detik kemudian, suara bisik-bisik mulai memenuhi ruangan. Naya bisa merasakan tatapan penuh rasa penasaran menghujani mereka. Seakan belum cukup, Narendra mendekatkan wajahnya ke arah Naya dan berbisik, “Kau terlihat kaku. Santai saja. Ini bagian dari kesepakatan.”

Naya menelan ludah. Ia tahu ini semua hanya pura-pura, tapi mengalaminya langsung jauh lebih sulit daripada yang ia kira.

Saat istirahat tiba, sandiwara mereka semakin intens. Narendra menarik Naya ke kantin, membiarkan mereka dilihat oleh sebanyak mungkin orang. Ia bahkan menarik kursi untuk Naya sebelum duduk di seberangnya.

“Wow, kau benar-benar ingin semua orang percaya, ya?” gumam Naya, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral.

Narendra tersenyum. “Tentu saja. Kalau kita tidak total dalam berpura-pura, semuanya akan sia-sia.”

Tiba-tiba, seseorang berdiri di samping meja mereka. Gina, mantan gebetan Narendra, menatap Naya dengan penuh selidik.

“Jadi, kalian benar-benar pacaran?” tanyanya dengan nada meremehkan.

Narendra menyeringai, lalu tanpa ragu, ia meraih tangan Naya di atas meja. “Ya, memangnya kenapa?”

Jantung Naya hampir melompat keluar dari dadanya. Ia ingin menarik tangannya, tapi tatapan Narendra seolah memperingatkannya untuk tetap berperan.

Gina mendengus. “Aku hanya penasaran bagaimana mungkin seseorang seperti Naya bisa menaklukkan seseorang seperti kamu.”

Narendra tertawa kecil. “Mungkin karena aku menyukai gadis pintar dan apa adanya.”

Naya terkejut mendengar kata-kata itu. Meskipun ia tahu Narendra hanya berbicara untuk kepentingan sandiwara mereka, tetap saja mendengar pujian itu membuatnya sedikit gugup.

Gina mendecak sebelum pergi, meninggalkan mereka berdua. Begitu Gina sudah cukup jauh, Naya menarik tangannya dengan cepat.

“Kau harus memberi tahu aku sebelum melakukan hal-hal seperti itu!” bisiknya tajam.

Narendra mengangkat bahu. “Spontanitas membuat kita lebih meyakinkan.”

Naya hanya bisa menghela napas panjang. Jika ini baru permulaan, bagaimana ia bisa bertahan selama tiga bulan?

Malam itu, Naya berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar. Ia tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah secepat ini hanya karena sebuah kesepakatan konyol.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Narendra.

Narendra: Kau berhasil hari ini. Semua orang mulai percaya.

Naya: Aku merasa seperti di drama murahan.

Narendra: Yah, setidaknya kau pemeran utamanya.

Naya tidak tahu harus tertawa atau menangis. Satu hal yang pasti, ini baru permulaan dari kepura-puraan yang mungkin lebih rumit dari yang ia bayangkan.*

BAB 4: Ketulusan yang Tak Disadari

Hari-hari berlalu, dan perlahan Naya mulai terbiasa dengan sandiwara yang ia jalani bersama Narendra. Awalnya, setiap sentuhan kecil atau perhatian pura-pura dari lelaki itu selalu membuatnya canggung. Namun, tanpa ia sadari, kini semuanya terasa lebih alami. Seperti hari ini, ketika Narendra dengan santainya menunggu Naya di depan kelas untuk makan siang bersama.

“Cepatlah, Naya. Aku lapar,” keluh Narendra dengan nada manja yang sukses menarik perhatian seisi kelas.

Naya melirik ke sekeliling. Beberapa teman sekelasnya berbisik-bisik, sementara yang lain menatap dengan tatapan iri. Naya menghela napas. Ia tahu, bagian dari kesepakatan ini adalah membuat hubungan mereka terlihat nyata, tapi Narendra kadang terlalu berlebihan.

“Kau bisa pergi lebih dulu kalau lapar,” balas Naya setengah malas.

Narendra menggeleng. “Tidak seru kalau tidak makan bersamamu.”

Dinda yang sejak tadi memperhatikan hanya bisa tersenyum kecil. “Aku heran, Naya. Kau terlihat semakin nyaman dengannya.”

Naya tersentak. “Apa? Tidak mungkin! Ini semua masih pura-pura.”

“Ya, tapi ekspresimu tidak seperti seseorang yang berpura-pura,” sahut Dinda tajam.

Naya terdiam. Ia tidak ingin mengakui bahwa sedikit demi sedikit ia mulai menikmati kebersamaan ini. Tidak, ini hanya ilusi. Ia tidak boleh lupa bahwa ini semua hanya permainan.

Saat mereka duduk di kantin, Narendra tiba-tiba mengambil sepotong ayam dari piringnya dan meletakkannya di piring Naya.

“Makan ini. Kau butuh lebih banyak protein,” katanya santai.

Naya mengerutkan kening. “Kenapa tiba-tiba jadi peduli dengan pola makanku?”

Narendra tertawa kecil. “Bukankah itu yang dilakukan pacar yang baik?”

Naya menghela napas. “Kau benar-benar terlalu dalam menjalani peran ini.”

Namun, jauh di dalam hatinya, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh. Perhatian kecil dari Narendra, meskipun mungkin bagian dari kepura-puraan, terasa begitu tulus. Tanpa sadar, Naya mulai bertanya-tanya: apakah Narendra benar-benar berpura-pura, ataukah ada sesuatu yang lebih dari ini?

Sore harinya, Naya berjalan pulang sendirian. Biasanya, Narendra akan menemaninya, tapi hari ini lelaki itu ada urusan keluarga. Rasanya sedikit aneh tanpa kehadiran Narendra di sisinya.

Saat melintasi taman dekat rumahnya, ia melihat seorang anak kecil menangis karena terjatuh. Naya segera menghampiri dan membantu anak itu berdiri. Saat ia hendak membersihkan luka kecil di lutut anak itu, suara familiar terdengar di belakangnya.

“Naya, kau baik sekali.”

Naya menoleh dan menemukan Narendra berdiri di sana, tersenyum lembut.

“Kau sudah selesai dengan urusan keluargamu?” tanyanya, sedikit terkejut.

Narendra mengangguk. “Ya, dan aku pikir akan lebih menyenangkan kalau aku mengantar pacarku pulang.”

Naya mendesah pelan. “Kau tidak perlu melakukannya, kau tahu.”

Narendra menatapnya dalam-dalam. “Tapi aku ingin.”

Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Naya terdiam. Ini bukan sekadar bagian dari sandiwara mereka. Ada kehangatan di mata Narendra yang membuat dadanya berdegup lebih cepat.

Mereka berjalan berdampingan dalam keheningan, sampai akhirnya Naya memberanikan diri untuk bertanya, “Kenapa kau begitu baik padaku? Maksudku, lebih dari yang seharusnya?”

Narendra tertawa kecil. “Mungkin karena aku benar-benar menikmati waktu bersamamu.”

Naya tertegun. Jawaban itu seharusnya sederhana, tapi mengapa hatinya bergetar saat mendengarnya?

Malam itu, untuk pertama kalinya, Naya mulai meragukan satu hal.

Apakah ini benar-benar hanya kepura-puraan, atau ada ketulusan yang selama ini tidak ia sadari?*

BAB 5: Guncangan dalam Sandiwara

Hari-hari berlalu, hubungan pura-pura antara Naya dan Narendra tampak semakin nyata di mata semua orang. Bahkan bagi mereka berdua, batas antara kepura-puraan dan kenyataan mulai mengabur. Namun, seperti sebuah sandiwara, tidak mungkin semuanya berjalan mulus selamanya.

Suatu siang, saat jam istirahat, Naya tengah duduk di kantin bersama Narendra ketika suara nyaring seseorang menginterupsi mereka.

“Jadi ini alasanmu menghindar dariku, Ren? Karena kau sibuk bermain cinta dengan Naya?”

Naya terkejut saat melihat seorang gadis berdiri di depan mereka dengan tatapan marah. Wajahnya cantik, namun ekspresi kesalnya membuat suasana menjadi tegang. Narendra tampak sedikit kaku sebelum akhirnya mendesah berat.

“Arini, ini bukan tempatnya untuk membahas ini,” ujar Narendra dengan nada tenang, meski jelas terlihat ada ketegangan dalam sorot matanya.

“Kenapa tidak? Kau mengabaikanku selama berminggu-minggu, dan sekarang aku tahu alasannya. Kau lebih memilih berpura-pura pacaran dengan Naya daripada menyelesaikan masalah kita!” suara Arini semakin meninggi, membuat perhatian orang-orang di kantin tertuju pada mereka.

Naya merasa seluruh tubuhnya menegang. Ia tidak pernah mendengar tentang Arini dari Narendra sebelumnya. Siapa sebenarnya gadis ini? Mengapa ia terdengar begitu emosional?

“Arini, aku dan Naya…” Narendra terdiam sejenak, menatap Naya dengan ragu seakan sedang menimbang-nimbang kata-kata yang tepat. “Hubungan kami nyata. Aku tidak berpura-pura.”

Jawaban itu sukses membuat Naya menatapnya dengan mata melebar. Kenapa Narendra berkata seperti itu? Bukankah ini semua hanya permainan?

Arini mendengus sinis. “Benarkah? Lalu bagaimana dengan semua janji yang kau buat padaku? Bagaimana dengan kita?”

Kini giliran Narendra yang terdiam. Wajahnya berubah menjadi ekspresi bersalah.

“Kita sudah selesai, Arini. Aku tidak bisa terus-menerus menggantung perasaanmu,” kata Narendra akhirnya.

Arini tertawa sinis. “Jadi kau menggantung perasaanku hanya untuk melanjutkan sandiwara ini? Aku tidak percaya kau berubah secepat ini.”

Naya merasakan dadanya sesak. Ia ingin sekali berbicara, ingin menyangkal bahwa semua ini hanyalah permainan, tapi kata-kata Narendra barusan justru menimbulkan kebingungan di hatinya sendiri. Apakah Narendra benar-benar mengatakan itu hanya untuk mempertahankan ilusi hubungan mereka, atau ada sesuatu yang lebih dalam yang tidak ia sadari?

Setelah kejadian di kantin, Naya memilih untuk menghindari Narendra. Ia butuh waktu untuk mencerna semuanya. Namun, Narendra tidak tinggal diam. Beberapa hari kemudian, ia mendatangi Naya di taman sekolah saat gadis itu tengah membaca buku sendirian.

“Kenapa kau menghindariku?” tanya Narendra tanpa basa-basi.

Naya menutup bukunya dan menatapnya dingin. “Kenapa kau berbohong pada Arini? Kau bilang hubungan kita nyata. Kau sadar itu bukan kebenaran, kan?”

Narendra terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku tidak tahu, Naya. Awalnya, ya, ini memang hanya sandiwara. Tapi semakin lama, aku merasa ingin melindungimu, ingin bersamamu bukan karena kesepakatan, tapi karena aku benar-benar menyukaimu.”

Jantung Naya berdebar kencang. Ia tidak siap mendengar pengakuan seperti itu.

“Narendra… kita tidak bisa melakukan ini. Aku tidak ingin menjadi alasan seseorang terluka,” ujar Naya lirih, teringat pada tatapan kecewa Arini.

“Aku tahu. Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura lagi. Aku ingin kau tahu perasaanku sebenarnya, Naya. Dan aku harap kau bisa memahami itu.”

Mata mereka saling bertemu, dan untuk pertama kalinya, Naya merasa semua ini bukan lagi sekadar sandiwara. Tetapi apakah ia siap menerima kenyataan itu?*

BAB 6: Pertahanan yang Mulai Runtuh

Setelah pengakuan Narendra, Naya tidak bisa lagi mengabaikan perasaan yang mulai berkembang dalam hatinya. Namun, setiap kali ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini masih sekadar sandiwara, hatinya justru berontak. Apa yang seharusnya menjadi sekadar kesepakatan kini berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih rumit.

Di sekolah, mereka masih sering terlihat bersama. Namun kini ada sesuatu yang berbeda. Setiap sentuhan ringan, setiap tatapan yang bertahan lebih lama dari seharusnya, semuanya menambah kebingungan dalam hati Naya. Bahkan, sahabatnya, Rina, mulai menyadari ada yang aneh.

“Kau yakin ini masih sekadar pura-pura?” tanya Rina suatu hari saat mereka duduk berdua di kelas.

Naya menghela napas panjang. “Aku tidak tahu, Rina. Aku benar-benar tidak tahu lagi.”

Di sisi lain, Narendra pun mulai goyah. Meski ia yakin dengan perasaannya, ia tahu Naya masih ragu. Namun, semakin hari, ia tidak bisa lagi menyembunyikan apa yang ia rasakan. Puncaknya terjadi ketika mereka berdua terjebak dalam hujan di depan sekolah sepulang jam les sore.

Narendra melepas jaketnya dan menyerahkannya pada Naya. “Pakai ini, kau akan kedinginan.”

Naya menolak dengan lembut. “Aku tidak apa-apa.”

Namun, Narendra tetap memasangkan jaket itu di bahu Naya. Tangannya menyentuh pipi gadis itu sejenak, membuat jantung Naya berdebar lebih kencang. Mereka saling bertatapan dalam diam, hanya diiringi suara hujan yang mengguyur jalan.

“Aku tidak akan memaksamu untuk merasa yang sama, Naya,” kata Narendra akhirnya. “Tapi aku ingin kau tahu, aku ada di sini. Aku tidak akan pergi.”

Naya menatapnya, bingung dengan perasaannya sendiri. Perlahan tapi pasti, pertahanannya mulai runtuh.

Hari-hari berikutnya terasa semakin membingungkan bagi Naya. Setiap kali ia menatap Narendra, hatinya berdebar lebih kencang. Ia mulai menyadari betapa perhatiannya lelaki itu, bagaimana Narendra selalu ada untuknya, bahkan tanpa ia sadari.

Di suatu pagi, saat Naya datang ke sekolah, ia mendapati Narendra sudah menunggunya di depan gerbang.

“Aku menunggumu,” ucap Narendra sambil tersenyum tipis.

Naya mengerutkan kening. “Kenapa?”

“Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” jawabnya singkat.

Sikap Narendra yang lembut membuat Naya semakin bingung. Ia berusaha keras menyangkal perasaannya, tapi setiap kali ia mencoba menjauh, Narendra selalu berhasil membuatnya kembali ragu.

Di kelas, saat pelajaran berlangsung, Naya mencuri-curi pandang ke arah Narendra yang duduk beberapa bangku di depannya. Ia masih ingat bagaimana lelaki itu mengatakan bahwa ia tidak akan pergi. Kata-kata itu terngiang di kepalanya, membuatnya sulit berkonsentrasi.

Saat istirahat, Rina kembali menghampirinya dengan tatapan penuh selidik. “Aku lihat tadi kau memperhatikan Narendra lagi. Naya, kau tidak bisa terus-menerus menyangkal apa yang kau rasakan.”

“Aku tidak menyangkal,” sangkal Naya buru-buru.

Rina mendengus. “Lalu kenapa wajahmu memerah sekarang?”

Naya meraba pipinya dan menyadari bahwa sahabatnya benar. Ia menghela napas panjang dan menundukkan kepala. “Aku takut, Rina. Aku takut kalau semua ini hanya sementara. Aku takut kalau aku terlalu dalam dan akhirnya terluka.”

Rina menatapnya dengan lembut. “Naya, kadang-kadang kita harus mengambil risiko untuk sesuatu yang berharga. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Narendra, tapi yang jelas, dia tidak main-main denganmu. Kau juga harus jujur pada dirimu sendiri.”

Kata-kata Rina membuat Naya semakin merenung. Apakah ia benar-benar jatuh cinta pada Narendra? Ataukah ini hanya perasaan sesaat karena kedekatan mereka?

Hari itu, saat Naya hendak pulang, hujan turun lagi. Ia berdiri di depan sekolah, menatap langit yang kelabu. Tanpa disangka, Narendra kembali muncul dengan payung di tangannya.

“Kau belum pulang?” tanyanya.

Naya menggeleng. “Aku menunggu hujan reda.”

Narendra tersenyum dan membuka payungnya. “Ayo, aku antar kau pulang.”

Naya menatapnya ragu. “Tidak perlu, Narendra. Aku bisa menunggu.”

Namun, Narendra tetap berdiri di sampingnya, seolah menolak untuk pergi. “Aku sudah bilang, aku tidak akan pergi, kan? Jadi, ayo.”

Hati Naya kembali berdebar. Ia tidak bisa lagi menyangkal bahwa Narendra memiliki tempat di hatinya. Dengan langkah ragu, ia melangkah mendekat, berdiri di bawah payung yang sama.

Sepanjang perjalanan, mereka berjalan dalam diam. Namun, di dalam hati, Naya tahu bahwa pertahanannya benar-benar mulai runtuh.*

BAB 7: Akhir dari Kesepakatan?

Hari-hari berlalu dengan semakin banyak kebingungan dalam hati Naya. Semakin ia mencoba menyangkal perasaannya, semakin hatinya menolak untuk tunduk pada logika. Ia tahu bahwa sandiwara ini ada batasnya, tapi entah mengapa, ia tidak lagi menginginkan akhirnya.

Di sisi lain, Narendra semakin terbuka dalam menunjukkan perasaannya. Tidak ada lagi batasan antara akting dan kenyataan, setidaknya bagi dirinya sendiri. Ia benar-benar jatuh hati pada Naya, dan ia tidak ingin semua ini berakhir sebagai kebohongan.

Namun, segalanya berubah ketika suatu siang, seorang gadis asing mendekati mereka di kantin sekolah. Ia memiliki rambut panjang tergerai dengan wajah yang tak asing bagi Naya. Gadis itu menatap Narendra dengan senyum yang penuh makna sebelum akhirnya berkata, “Narendra, akhirnya aku menemukannya. Kau benar-benar sulit dihubungi.”

Naya membeku di tempat. Ia menatap Narendra yang terlihat sama terkejutnya.

“Maura?” suara Narendra terdengar ragu.

Gadis itu mengangguk. “Ya, ini aku. Aku baru kembali ke kota ini, dan aku ingin bertemu denganmu. Aku dengar dari teman-teman bahwa sekarang kau sedang berkencan dengan seseorang. Apakah itu benar?”

Naya merasa jantungnya mencelos. Maura. Nama yang pernah ia dengar dari gosip teman-teman. Mantan pacar Narendra yang dulu meninggalkannya tanpa kabar. Jadi, ini dia? Gadis yang mungkin masih menempati hati Narendra?

Narendra terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab, “Ya, aku bersama Naya sekarang.”

Naya ingin merasa lega, tapi ada sesuatu dalam tatapan Narendra yang terasa aneh. Ada keraguan, ada kebingungan, seolah ia tidak yakin dengan kata-katanya sendiri.

Maura hanya tersenyum kecil. “Benarkah? Aku ingin bicara denganmu sebentar. Bisa?”

Narendra menoleh pada Naya, seakan meminta izin. Namun, sebelum Naya sempat berkata apa pun, Narendra sudah mengangguk. “Baiklah.”

Naya hanya bisa melihat punggung Narendra menjauh bersama Maura. Perasaan tidak nyaman menyerangnya. Ia menggenggam tangannya erat-erat, berusaha mengabaikan nyeri yang merayap di hatinya. Sejak kapan ia menjadi orang yang takut kehilangan Narendra?

Malam itu, Naya tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tidak berani ia ucapkan. Apa yang mereka bicarakan? Apakah Narendra masih memiliki perasaan untuk Maura? Dan yang paling menakutkan: apakah kesepakatan mereka akan berakhir lebih cepat dari yang ia duga?

Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Narendra muncul di layar:

Bisa kita bicara besok setelah sekolah?

Naya menatap pesan itu lama. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang membuatnya cemas. Seakan ia tahu apa yang akan terjadi, tapi tidak ingin mendengarnya. Dengan tangan gemetar, ia membalas singkat:

Baik.

Keesokan harinya, Naya menunggu di taman belakang sekolah, tempat yang sudah mereka sepakati. Ia merasa gugup, tidak yakin apakah ia siap menghadapi kenyataan yang mungkin menyakitkan. Tak lama, Narendra datang dengan wajah yang sulit ditebak.

“Naya,” panggilnya pelan.

Naya mengangkat wajah, berusaha menatapnya dengan tenang. “Apa yang ingin kau bicarakan?”

Narendra menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Aku ingin membicarakan tentang kesepakatan kita.”

Dan saat itu juga, dunia Naya seolah berhenti berputar.

“Aku pikir… aku ingin mengakhirinya,” lanjut Narendra.

Naya menelan ludah. Ia sudah menduga ini akan terjadi, tapi mendengarnya langsung dari mulut Narendra tetap saja membuat hatinya sakit.

“Kenapa?” tanyanya dengan suara yang hampir bergetar.

Narendra menatapnya lekat-lekat. “Karena aku tidak ingin ini hanya menjadi sebuah kesepakatan lagi. Aku ingin ini menjadi nyata, Naya. Aku benar-benar mencintaimu.”

Naya terdiam. Napasnya tercekat. Ia tidak menyangka Narendra akan mengatakan itu. Di saat ia mengira semuanya akan berakhir, ternyata justru sebaliknya.

“Aku tahu mungkin ini membingungkan untukmu, tapi aku sudah lama berhenti berpura-pura,” lanjut Narendra. “Aku ingin kau bersamaku bukan karena kesepakatan, tapi karena kau juga menginginkannya.”

Naya menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di matanya. Hatinya berkecamuk. Apakah ia berani mengakui perasaannya sendiri? Apakah ia siap melangkah keluar dari bayangan sandiwara dan menerima kenyataan yang baru?

Saat itu, ia menyadari satu hal: hati kecilnya sudah memberikan jawaban sejak lama. Ia hanya perlu memiliki keberanian untuk mengucapkannya.

“Narendra… aku juga tidak ingin ini menjadi sebuah kesepakatan lagi,” ucapnya akhirnya, suaranya lirih namun penuh ketulusan. “Aku juga mencintaimu.”

Narendra tersenyum, lega sekaligus bahagia. Tanpa ragu, ia meraih tangan Naya dan menggenggamnya erat. “Kalau begitu, mari kita mulai dari awal. Bukan sebagai sandiwara, tapi sebagai kita yang sesungguhnya.”

Dan di saat itu juga, semua kebingungan yang selama ini menyelimuti hati mereka sirna. Yang tersisa hanyalah satu perasaan yang nyata: cinta yang sesungguhnya telah tumbuh di antara mereka.*

BAB 8: Kebenaran yang Terungkap

Di tengah kebisingan kota yang tak pernah tidur, Naya duduk termenung di sebuah kafe kecil yang menjadi tempat favoritnya untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia luar. Secangkir kopi yang sudah lama dingin, tak lagi menarik perhatiannya. Pikirannya berkelana kembali ke pertemuan terakhirnya dengan Narendra. Ada yang tak beres, ada yang tidak ia pahami, dan perasaan itu semakin mengganggu hatinya.

Narendra, lelaki yang selalu tampak begitu penuh percaya diri dan kuat, ternyata menyimpan rahasia yang jauh lebih dalam daripada yang Naya bayangkan. Ternyata, di balik sikapnya yang dingin dan penuh perhitungan, ada ketakutan yang mendalam, sebuah keraguan yang telah lama menghantuinya. Dan kini, di tengah kebingungannya, Naya merasa dirinya dipermainkan.

Akhirnya, saat mereka berdua bertemu kembali, Narendra membuka mulutnya. Dengan wajah yang sedikit berubah, lebih rapuh dari biasanya, ia mengungkapkan hal yang selama ini ia sembunyikan. “Naya,” katanya, suara itu terdengar berat, “saya bukan hanya menghindari perjodohan. Saya… saya hanya ingin menemukan seseorang yang bisa menerima saya apa adanya.”

Naya terdiam. Kata-kata itu seperti sebuah petir yang menyambar hatinya. Ia merasa seperti terperangkap dalam sandiwara yang tak pernah ia rencanakan. Selama ini, ia selalu menganggap hubungan mereka adalah sebuah perjalanan yang saling mengisi, penuh kejujuran, meskipun awalnya dimulai dengan alasan yang salah.

“Tapi… kamu… Kamu memanfaatkan aku untuk itu?” tanya Naya dengan suara bergetar, hati yang terluka semakin mendalam. Ia merasa kecewa, bukan hanya karena rahasia yang tersembunyi, tetapi juga karena ia merasa seperti telah digunakan.

Narendra menundukkan kepala, seolah tidak mampu menatap mata Naya. “Saya tahu ini salah, dan saya minta maaf,” katanya dengan nada yang penuh penyesalan. “Tapi yang saya rasakan untukmu bukan sekadar permainan. Saya… saya hanya takut. Takut tidak ada yang bisa menerima saya, takut hidup saya selalu diatur oleh orang lain.”

Naya menggigit bibir, mencoba menahan air mata yang sudah hampir tumpah. Ia tak tahu lagi apa yang harus ia rasakan. Di satu sisi, ia ingin memahami, ingin memberikan kesempatan kedua. Tetapi di sisi lain, ia merasa dikhianati. Semua yang mereka bangun terasa sia-sia jika hanya dilihat sebagai sebuah permainan bagi Narendra.

“Aku merasa seperti hanya menjadi alat bagimu,” ucap Naya, suaranya semakin pecah. “Aku tidak tahu lagi apakah yang kita jalani ini nyata atau hanya ilusi semata.”

Narendra mengangguk pelan, matanya dipenuhi rasa bersalah. “Saya tidak bermaksud begitu, Naya. Jika saya bisa mengulang semuanya, saya akan melakukannya dengan cara yang berbeda. Saya benar-benar ingin menjadi orang yang layak untukmu.”

Naya menatapnya dalam diam. Apa yang ia rasakan? Apakah ia masih bisa mempercayai Narendra setelah semua yang terjadi? Waktu yang akan memberi jawabannya, tetapi yang pasti, hatinya sedang terluka dalam cara yang tak terbayangkan sebelumnya.

Di luar jendela, hujan mulai turun dengan deras, seolah ikut merasakan kesedihannya. Segalanya kini terasa berbeda. Dan Naya tahu, sebuah perjalanan baru telah dimulai—perjalanan untuk menemukan kebenaran sejati, bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang siapa mereka sebenarnya.*

BAB 9: Menemukan Arti Cinta Pertama

Hidup mereka berjalan seperti biasa setelah perpisahan itu, namun setiap langkah terasa berbeda. Naya merasa seperti ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Setiap sudut kota yang dulu mereka jelajahi bersama kini terasa asing, dan tempat-tempat yang dulu penuh kenangan manis menjadi lambang kehilangan yang tak kunjung hilang.

Narendra juga merasakannya. Meski berusaha terlihat sibuk dengan urusan pekerjaannya, hatinya tak pernah bisa fokus sepenuhnya. Sejak perpisahan mereka, ada bagian dalam dirinya yang hampa, sebuah ruang kosong yang hanya bisa diisi dengan pikiran tentang Naya. Ia teringat akan senyumnya, tatapan mata yang selalu penuh perhatian, dan cara Naya selalu bisa melihat dirinya lebih dari sekadar pria dengan segudang kekurangan.

Setelah beberapa minggu berlalu, Narendra memutuskan untuk menemui Naya, meski masih ada keraguan dalam hatinya. Ia tahu bahwa kata-kata saja tidak cukup untuk menjelaskan perasaan yang tiba-tiba begitu kuat. Namun, ia tak bisa lagi menahan perasaan itu—perasaan yang akhirnya ia sadari adalah cinta pertama yang selama ini ia cari, bahkan tanpa ia tahu.

Sore itu, mereka bertemu di tempat yang sama di mana semuanya dimulai. Kafe kecil dengan lampu temaram yang membuat suasana terasa hangat dan akrab. Naya duduk di sudut, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong, seolah dunia di luar sana tak lagi penting.

“Hei,” suara Narendra terdengar dari belakang, sedikit ragu.

Naya menoleh pelan, dan ada tatapan kosong di matanya yang langsung berubah ketika melihat wajah Narendra. “Kamu… Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya bergejolak.

Narendra menarik napas panjang sebelum duduk di depan Naya. “Aku hanya ingin mengatakan sesuatu, Naya,” ujarnya, suaranya bergetar. “Aku… aku baru sadar satu hal. Bahwa kamu… kamu adalah cinta pertamaku. Aku tak pernah benar-benar merasakannya sebelumnya, tapi sekarang aku tahu.”

Naya terdiam. Kata-kata itu datang begitu mendalam dan penuh makna. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang tiba-tiba terisi dengan kebenaran yang lama tertunda. Ia mengerjapkan mata, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku juga baru menyadarinya,” jawabnya pelan. “Aku… aku sudah lama terpaut padamu, Narendra. Bahkan sebelum aku menyadari itu sendiri.”

Narendra terdiam sejenak, meresapi kata-kata Naya. Ia meraih tangan Naya, menggenggamnya dengan lembut. “Aku takut, Naya. Aku takut jika aku membuka hati sepenuhnya, aku akan kehilangan semuanya. Tapi sekarang aku tahu, aku tak bisa lari dari perasaan ini. Aku… aku ingin kamu tahu, bahwa kamu bukan hanya bagian dari hidupku, kamu adalah alasan aku ingin berubah.”

Naya menghela napas, matanya bertemu dengan mata Narendra, penuh ketulusan. “Aku ingin percaya padamu, Narendra. Tapi kita harus belajar dari semua yang telah terjadi. Cinta bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang pengertian dan kepercayaan.”

Narendra mengangguk, senyumnya tipis namun penuh harapan. “Aku tahu, dan aku siap untuk itu. Mungkin kita harus mulai dari awal lagi, kali ini tanpa sandiwara. Hanya ada kita berdua, dengan semua kekurangan dan kelebihan kita.”

Naya menundukkan kepala, mencoba mencerna kata-kata itu. Sebuah keputusan besar harus diambil, tapi kali ini, hatinya lebih tenang. Tidak ada lagi keraguan yang menghantui, hanya perasaan yang jujur dan tulus yang mengalir antara mereka.

“Aku setuju,” jawab Naya dengan lembut, “Kali ini, kita akan menjalani ini dengan cara yang berbeda. Tanpa kebohongan, tanpa sandiwara.”

Di luar, hujan mulai turun dengan perlahan, dan meskipun dunia di sekitar mereka penuh dengan kebisingan, di dalam hati mereka ada keheningan yang penuh makna. Mereka tidak lagi terjebak dalam permainan hidup yang rumit. Mereka hanya berdua, saling memahami, dan mulai menemukan arti dari cinta pertama yang sebenarnya.

Dan meski perjalanan mereka belum selesai, mereka tahu satu hal—bahwa cinta yang berawal dari sandiwara, kini mulai tumbuh menjadi sesuatu yang jauh lebih indah. Cinta yang tulus, cinta yang sejati.*

BAB 10: Cinta yang Bukan Sandiwara

Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Hujan yang semalam mengguyur kota meninggalkan langit yang cerah, namun masih sedikit berawan. Naya berdiri di balkon apartemennya, memandang dunia yang seolah memberikan kesempatan baru untuk memulai sesuatu yang berbeda. Ia tak bisa menahan senyumnya, meski hatinya masih penuh dengan pertanyaan. Apakah ini benar-benar yang diinginkannya? Apakah semuanya sudah cukup?

Saat itu, suara derap langkah terdengar mendekat, dan sebelum Naya sempat berbalik, sebuah suara yang ia kenal dengan baik menyapanya. “Naya,” suara Narendra begitu tegas, namun penuh dengan keraguan. “Kita perlu bicara.”

Naya menoleh, dan melihat Narendra berdiri di depan pintu balkon, tampak tak terhalang oleh hujan yang baru reda. Wajahnya serius, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang membuat hati Naya berdegup kencang. Apakah ini saat yang ia tunggu-tunggu? Atau justru akhir dari segalanya?

“Narendra,” Naya berkata, mencoba mengatur napas. “Apa lagi yang ingin kamu katakan?”

Narendra berjalan mendekat, langkahnya mantap meskipun ada ketegangan yang terasa di udara. “Aku tidak ingin ada lagi kebohongan, Naya. Tidak ada lagi kontrak, tidak ada lagi sandiwara. Aku hanya ingin kamu tahu satu hal—aku mencintaimu.”

Naya terdiam, matanya mencari kejujuran di balik setiap kata yang keluar dari bibir Narendra. Ia merasa seperti sebuah batu besar di dadanya terangkat, meskipun ia tahu bahwa itu bukanlah akhir dari perjalanan mereka, melainkan awal dari kisah baru.

“Aku tahu aku telah salah,” lanjut Narendra, “aku telah membawa kita ke dalam permainan yang tak seharusnya kita mainkan. Aku tidak pernah berniat menjadikan perasaan kita sebagai sandiwara. Aku takut, Naya. Takut akan perasaan ini, takut akan kehilanganmu, dan takut jika aku terlalu mencintaimu, aku akan terluka. Tapi sekarang aku sadar… aku tak bisa lari dari perasaan ini.”

Setiap kata yang keluar dari mulut Narendra seperti aliran sungai yang membawa kedamaian bagi Naya. Ia bisa melihat ketulusan dalam mata Narendra, dan itu cukup baginya. Semua yang mereka alami, semua yang mereka perjuangkan, rasanya kini mulai menemukan arah yang benar.

“Naya,” ujar Narendra sekali lagi, mendekat dan menggenggam tangan Naya dengan lembut. “Aku ingin kita menjalani cinta ini dengan cara yang sebenarnya. Tanpa ada kebohongan, tanpa ada sandiwara. Hanya dua hati yang saling mencintai.”

Naya menatap tangan Narendra yang menggenggamnya, merasakan kehangatannya, dan perlahan senyum muncul di wajahnya. “Aku tidak pernah mengharapkan semua ini dimulai dengan cara seperti itu,” katanya pelan. “Tapi sekarang aku tahu, perasaan kita itu nyata. Dan aku ingin kita jalani ini dengan sepenuh hati.”

Narendra menatapnya dengan penuh harapan, wajahnya sedikit cerah saat mendengar jawaban Naya. “Jadi… kita mulai dari sini?” tanyanya, suaranya bergetar sedikit, seolah takut jika ini hanya sebuah mimpi.

“Ya,” jawab Naya, “kita mulai dari sini. Tidak ada lagi kontrak, tidak ada lagi sandiwara. Hanya kita.”

Pada saat itu, dunia seperti berhenti sejenak. Semua yang pernah mereka jalani—semua kebohongan, kesalahpahaman, dan ketakutan—akhirnya terlewati. Kini, hanya ada satu hal yang penting: cinta mereka yang tulus dan penuh kejujuran.

Narendra mendekat dan memeluk Naya dengan lembut, dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, Naya merasa bahwa ia benar-benar dicintai. Ini bukan lagi permainan, ini adalah cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tidak perlu disembunyikan atau dilindungi oleh sandiwara. Cinta yang berdiri di atas dasar kepercayaan dan penerimaan.

“Terima kasih, Naya,” bisik Narendra di telinganya, “karena kamu telah memberiku kesempatan kedua.”

Naya hanya tersenyum, merasakan kedamaian dalam pelukan Narendra. “Tidak ada yang perlu disyukuri,” jawabnya, “karena ini adalah perjalanan kita berdua. Dan kita akan menjalaninya bersama.”

Di luar, sinar matahari mulai menembus awan, memberikan cahaya yang lembut, seolah memberi restu bagi kisah cinta mereka yang baru dimulai. Tidak ada lagi kebohongan yang harus disembunyikan, tidak ada lagi sandiwara. Hanya dua hati yang saling mencintai, dan itu sudah cukup untuk membuat dunia mereka terasa sempurna.***

————-THE END————

Source: DELA SAYFA
Tags: #Romance #Rindu #Melodi #Cinta #Kenangan
Previous Post

SATU HATI, RIBUAN KILOMETER

Next Post

SETIAP LANGKAH MENJAUH,HATIKU SEMAKIN DEKAT

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
SETIAP LANGKAH MENJAUH,HATIKU SEMAKIN DEKAT

SETIAP LANGKAH MENJAUH,HATIKU SEMAKIN DEKAT

KISAH CINTA DI ATAS PERAHU KECIL

KISAH CINTA DI ATAS PERAHU KECIL

CINTA KITA TANPA BATAS JARAK

CINTA KITA TANPA BATAS JARAK

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id