Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Alya bertemu kembali dengan sahabat lamanya, Dimas, yang dulu sempat disukainya diam-diam. Namun kini, Alya sudah menjalin hubungan dengan Reza, pria yang selalu setia mendampinginya.
Langit sore itu tampak sendu, seolah menyatu dengan suasana hati Alya yang baru saja selesai bekerja. Ia melangkah pelan keluar dari gedung perkantoran di kawasan Sudirman, mengenakan setelan kerja sederhana berwarna krem dengan tas hitam menggantung di pundaknya. Di tangan kirinya, ia menggenggam ponsel, membaca pesan dari Reza, kekasihnya selama tiga tahun terakhir.
“Sayang, maaf aku lembur lagi malam ini. Kita makan malam besok, ya?”
Alya menghela napas. Pesan seperti itu sudah terlalu sering datang akhir-akhir ini. Reza memang sedang mengejar promosi di kantornya, dan Alya paham akan ambisinya. Tapi tetap saja, rasa kecewa perlahan tumbuh menjadi kekosongan.
Ia memutuskan berjalan ke sebuah kafe di dekat kantor, tempat favoritnya menenangkan diri. Aroma kopi dan lagu-lagu akustik pelan menyambutnya, memberi kehangatan di antara keramaian kota yang mulai mereda.
Tanpa diduga, matanya tertumbuk pada sosok pria yang sedang duduk sendiri di pojok ruangan. Pria itu sedang membaca buku, tapi seolah merasakan tatapan Alya, ia mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu.
“Dimas?” suara Alya lirih, hampir tak percaya.
Pria itu terkejut sejenak, lalu tersenyum lebar. “Alya? Ya ampun, kamu?”
Alya berjalan mendekat. Senyumnya mengembang, tak bisa disembunyikan. “Aku nggak nyangka kita ketemu lagi setelah sekian lama.”
Dimas bangkit dari duduknya dan mereka berpelukan singkat, canggung tapi hangat. Dimas adalah sahabat SMA-nya, yang dulu sempat membuat jantung Alya berdebar lebih cepat dari seharusnya. Mereka pernah sangat dekat, namun hidup membawa mereka ke jalan yang berbeda setelah lulus.
Mereka memutuskan duduk bersama, saling bertukar cerita. Dimas sekarang bekerja sebagai arsitek di Bandung, dan kebetulan ada proyek yang membawanya ke Jakarta selama beberapa bulan. Mereka tertawa, mengingat masa-masa remaja yang penuh kenangan.
“Kamu masih suka nulis puisi?” tanya Dimas sambil menyeruput kopinya.
Alya tersenyum. “Udah jarang. Hidup kayaknya makin sempit buat hal-hal romantis.”
“Sayang banget. Aku dulu suka baca puisimu. Bahkan… ada beberapa yang aku simpan diam-diam, kamu tahu?”
Alya tertawa, tapi hatinya bergetar. Ada sesuatu dalam tatapan Dimas yang membuatnya merasa seperti gadis SMA lagi. Sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan, bahkan bersama Reza.
Percakapan mereka terus mengalir, dan tanpa disadari malam pun tiba. Alya melirik jam tangan dan tersentak.
“Wah, aku harus pulang. Nggak terasa udah selama ini.”
“Aku senang banget bisa ketemu kamu lagi, Ly. Kamu masih sama kayak dulu—hangat dan bikin nyaman.”
Alya hanya tersenyum. Ia merasa senang, tapi juga bingung. Hatinya yang selama ini tenang, tiba-tiba bergelombang oleh kehadiran masa lalu.
Mereka bertukar nomor ponsel sebelum berpisah. Saat Alya berjalan pulang malam itu, pikirannya tak henti memutar ulang percakapan mereka. Ia merasa seperti berada di ambang sesuatu yang besar, sesuatu yang belum bisa ia definisikan.
Dan ia tidak tahu, bahwa pertemuan itu akan menjadi awal dari cinta yang terbelah dua.
Bab 2: Antara Kenangan dan Kenyataan
Kedekatan Alya dan Dimas perlahan membangkitkan kembali kenangan lama. Sementara itu, Reza mulai merasakan adanya jarak dalam hubungan mereka, meski Alya menyangkal semuanya.
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan seperti biasa, setidaknya secara lahiriah. Alya tetap berangkat kerja setiap pagi, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan rapi, dan pulang dengan wajah yang tampak tenang. Tapi di dalam hatinya, ada badai kecil yang terus tumbuh. Ia masih bisa mendengar tawa Dimas saat mereka mengobrol di kafe, masih bisa merasakan tatapan hangat yang membuatnya merasa dikenang dan dihargai. Perasaan yang sudah lama tak ia temukan dalam kesehariannya bersama Reza.
Reza, seperti biasa, tetap sibuk. Ia lelaki yang bertanggung jawab, tak pernah lupa memberi kabar, namun selalu sibuk. Malam-malam Alya semakin sering ia habiskan sendiri di kamar kosnya, menyibukkan diri dengan buku atau film yang tak pernah selesai ditonton karena pikirannya melayang.
Pada malam Sabtu yang seharusnya jadi momen kencan mereka, Alya memutuskan menerima ajakan Dimas untuk ngopi lagi. Kali ini di sebuah kafe kecil di bilangan Kemang, tempat yang lebih sunyi dan dikelilingi pepohonan rindang. Suasananya tenang, jauh dari hiruk pikuk, seperti ruang rahasia tempat mereka bisa kembali jadi diri sendiri.
“Jadi kamu masih suka mendengarkan Sheila on 7?” tanya Alya, menyeringai kecil.
Dimas tertawa. “Iyalah. Musiknya kayak waktu. Bisa bawa balik semua rasa yang dulu.”
“Kamu masih ingat pas kita bolos kelas Fisika cuma buat nonton konser mereka di Yogya?”
“Gimana bisa lupa. Itu pertama kalinya aku berani megang tangan kamu. Diam-diam, biar nggak ketahuan teman-teman.”
Alya tersenyum, namun senyuman itu segera redup oleh kenyataan. Ia sekarang milik orang lain. Ia punya hubungan yang seharusnya dijaga. Tapi kenangan-kenangan itu menyeruak seperti tamu tak diundang, dan ia tak punya kekuatan untuk mengusirnya.
“Dimas, kamu sadar nggak sih… kita kayak balik ke masa lalu? Padahal waktu udah bawa kita jauh dari titik itu.”
“Aku sadar, Ly. Tapi apa salahnya kalau masa lalu itu ternyata nggak selesai?”
Ucapan itu membuat Alya menunduk. Kata-kata Dimas bukan sekadar nostalgia. Itu adalah pernyataan hati. Dan hatinya Alya sadar tidak pernah benar-benar sembuh dari perasaan yang dulu pernah tumbuh.
Hari-hari berikutnya, komunikasi mereka makin intens. Sekadar kirim foto kopi pagi, tanya kabar, bahkan berbagi cerita-cerita kecil yang dulu biasa mereka lakukan. Reza pun mulai merasa ada yang berbeda.
“Kamu kelihatan sering senyum akhir-akhir ini, Ly. Ada yang lucu di kantor?” tanya Reza suatu malam saat mereka video call.
Alya tersentak, lalu mencoba tersenyum. “Iya… banyak kejadian lucu. Temen-temen kantor lagi suka nge-prank.”
Padahal, senyum itu lahir dari pesan Dimas yang baru saja masuk:
“Kopi sore ini tanpa kamu rasanya hambar. Kamu apa kabar, Alya?”
Di satu sisi, Alya merasa bersalah. Ia bukan tipe wanita yang mudah goyah. Tapi perhatian Dimas—yang sederhana namun penuh makna—terasa seperti oase di tengah hubungan yang mulai kering.
Pada suatu malam, Alya duduk sendiri di balkon kos. Ia membuka album foto di ponselnya, melihat kenangan-kenangan bersama Reza. Mereka pernah bahagia. Sangat bahagia. Reza adalah lelaki pertama yang memperjuangkannya sampai akhir. Tapi akhir-akhir ini, hubungan mereka hanya diisi rutinitas. Rasa cinta perlahan tergeser oleh kewajiban.
Ia pun membuka akun Instagram Dimas. Melihat foto-fotonya selama di Bandung: proyek-proyek arsitektur, foto pegunungan, matahari terbenam. Dimas selalu punya cara melihat dunia dengan indah. Dan kini, ia juga membawa keindahan itu ke dalam hati Alya.
Tiba-tiba, pesan dari Reza masuk:
“Sayang, aku lagi mikir sesuatu. Kita kayaknya butuh liburan berdua. Cuti bareng, mungkin ke Bali. Kamu mau?”
Alya menatap layar, hatinya tercekat. Ia tahu, ini cara Reza untuk menyelamatkan hubungan mereka. Tapi kenapa justru hatinya merasa ragu?
Malam itu, Alya tidak membalas pesan itu. Ia hanya duduk diam, memandangi langit malam Jakarta yang redup oleh polusi. Kepalanya dipenuhi tanya. Haruskah ia bertahan pada kenyataan yang sudah ia jalani selama ini? Atau mengikuti suara hati yang perlahan memanggil dari masa lalu?
Dan di tengah kebimbangan itu, ia sadar satu hal: cinta tidak pernah hitam dan putih. Terkadang, cinta datang dalam bentuk kenangan… yang mengusik kenyataan.
Bab 3: Tersesat di Antara Dua Hati
Alya mulai meragukan perasaannya. Di satu sisi, Reza telah banyak berkorban untuknya. Di sisi lain, kehadiran Dimas menghidupkan sisi dirinya yang lama terkubur.
Waktu terus berjalan, namun hati Alya seperti berhenti di satu simpang jalan. Setiap pagi ia bangun dengan keraguan, setiap malam ia tidur dengan pertanyaan yang tak kunjung punya jawaban. Di satu sisi, ada Reza—lelaki yang telah menemaninya selama tiga tahun, dengan segala kesederhanaan dan tanggung jawabnya. Di sisi lain, ada Dimas—sahabat lama yang kembali hadir membawa debar yang hampir ia lupakan.
Hubungan dengan Reza tak pernah benar-benar buruk. Ia lelaki baik. Pekerja keras. Setia. Tapi akhir-akhir ini, seolah keduanya hanya berjalan berdampingan, bukan lagi saling menggenggam. Sementara Dimas datang dengan cara yang berbeda. Ia tidak menuntut, hanya hadir dan mendengarkan. Tapi kehadirannya justru mengguncang benteng perasaan yang selama ini Alya jaga.
Pada suatu sore, Alya memutuskan bertemu dengan sahabatnya, Nina, di sebuah tempat makan favorit mereka di daerah Blok M. Nina adalah satu-satunya orang yang tahu tentang perasaannya saat ini.
“Jadi, kamu makin sering ketemu Dimas?” tanya Nina sambil menyeruput es teh manis.
Alya mengangguk pelan. “Tiap kali ketemu dia… rasanya kayak bisa bernapas lega. Tapi… aku juga nggak mau ninggalin Reza. Dia nggak salah.”
“Kadang, Alya… bukan tentang siapa yang salah. Tapi tentang siapa yang membuat kamu merasa hidup.”
Kata-kata Nina itu menggantung lama dalam benak Alya. Malam itu, ia memutuskan menuliskan semua perasaannya dalam buku jurnal. Sebuah kebiasaan lama yang sudah lama ia tinggalkan.
“Reza adalah rumah yang tenang. Tapi Dimas adalah angin yang membawaku terbang. Di antara dua hati ini, aku tak tahu harus memilih tempat tinggal atau petualangan. Tapi bagaimana jika aku memilih yang salah?”
Hari-hari selanjutnya semakin membingungkan. Reza benar-benar menepati janjinya untuk meluangkan waktu. Mereka pergi makan malam di sebuah restoran romantis, dan Reza memberinya kejutan kecil—sebuah kalung dengan liontin berbentuk daun.
“Simbol dari ketenangan,” kata Reza. “Kayak kamu. Selalu bikin aku tenang.”
Alya tersenyum, tapi dalam hatinya ada kegelisahan. Sebab sehari sebelumnya, Dimas mengajaknya ke pameran arsitektur di Senayan. Mereka menghabiskan waktu membahas bangunan-bangunan tua, berbicara tentang seni dan kehidupan. Dimas tak memberi hadiah, tapi memberi ruang. Dan Alya merasa lebih dirinya sendiri saat bersama Dimas.
Suatu malam, ketika hujan turun pelan, Alya mendapat pesan dari Dimas:
“Kalau aku bukan masa lalu, apa kamu berani mencintaiku sekarang?”
Alya terdiam lama. Ia tahu, jika ia menjawab jujur, akan ada hati yang terluka. Tapi jika terus memendam, justru dua hati yang akan hancur.
Di tengah kebingungan, Alya memutuskan pergi ke tempat favoritnya: perpustakaan kota. Di antara rak-rak penuh buku itu, ia mencoba mencari jawaban. Tapi justru yang ia temukan adalah dirinya sendiri—yang sedang berdiri di hadapan dua hati, dua pilihan, dan dua kehidupan yang berbeda.
Saat ia menuruni tangga perpustakaan, ia melihat Reza berdiri di luar, memegang payung. Lelaki itu tersenyum, seolah tahu betul bahwa Alya sedang berjuang.
“Aku tahu belakangan ini kamu sering diam, Ly. Aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan. Tapi aku tahu… aku nggak mau kehilangan kamu.”
Mata Alya berkaca-kaca. Hujan turun lebih deras. Dan di hatinya, badai pun menggila.
Bab 4: Saat Rasa Tak Lagi Sama
Reza mulai mempertanyakan kesetiaan Alya. Sementara Dimas tak bisa menahan diri lagi dan mengungkapkan perasaannya yang selama ini dipendam.
Hari demi hari berlalu, dan setiap langkah yang diambil Alya semakin berat. Ada perasaan yang dulu pernah begitu besar, tapi kini perlahan memudar tanpa alasan yang pasti. Ia duduk di meja kerja, menatap layar laptop tanpa benar-benar fokus. Pesan dari Reza belum ia balas sejak pagi. Pesan sederhana sebenarnya: “Sarapan dulu ya, Sayang. Jangan lupa minum vitamin.” Tapi entah kenapa, pesan itu terasa hampa. Seperti rutinitas, bukan lagi perhatian yang menyentuh.
Di ruang yang sama, suara notifikasi dari ponselnya kembali berbunyi. Kali ini dari Dimas.
“Tadi aku lewatin taman kota yang dulu sering kita datangi. Daunnya udah berubah warna. Aku jadi ingat kamu.”
Dan anehnya, jantung Alya berdetak lebih cepat. Satu pesan yang singkat, tapi mampu menggugah perasaannya. Ia membalas tanpa ragu.
“Aku juga ingat. Di bangku paling ujung dekat kolam. Kita pernah duduk diam di sana hampir satu jam tanpa bicara, tapi rasanya nyaman.”
Alya menutup matanya. Ia merasa bersalah. Tapi juga merasa hidup. Dua perasaan yang saling bertentangan namun tak bisa ia tolak. Ia sedang berada di antara dua dunia. Dan kenyataan mulai mengikis satu sisi dari hatinya.
Beberapa hari kemudian, Reza mengajaknya makan malam di sebuah restoran Jepang yang baru buka di pusat kota. Alya mengenakan dress biru muda, warna yang selalu disukai Reza. Tapi sepanjang perjalanan, pembicaraan mereka hanya tentang pekerjaan dan lalu lintas. Tak ada percikan.
“Kamu capek, ya?” tanya Reza saat mereka sudah duduk dan menunggu makanan.
Alya menggeleng. “Nggak. Cuma lagi nggak banyak yang ingin aku ceritakan.”
Reza menatapnya dengan lembut. “Kamu berubah, Ly. Aku nggak tahu kenapa, tapi rasanya kayak… kita jauh, walaupun duduk berhadapan.”
Kalimat itu membuat Alya tercekat. Ia ingin mengatakan bahwa rasa itu memang berubah. Bahwa kini setiap sentuhan Reza terasa asing, setiap pelukannya seperti formalitas. Tapi ia tak sanggup menyakitinya. Belum.
Keesokan harinya, Alya kembali bertemu Dimas. Mereka duduk di sebuah rooftop café, memandangi lampu kota yang gemerlap.
“Kenapa kamu selalu tahu waktu yang tepat untuk hadir?” tanya Alya pelan.
“Karena aku nggak pernah benar-benar pergi,” jawab Dimas sambil menatap mata Alya. “Aku cuma nunggu saat kamu butuh seseorang untuk mengingatkan siapa diri kamu yang sebenarnya.”
Alya merasa hatinya retak. Bukan karena sakit, tapi karena tahu bahwa ia sedang kehilangan rasa untuk seseorang… dan menumbuhkan rasa untuk yang lain. Ia sedang jatuh cinta kembali. Tapi bukan pada Reza.
Pada malam itu, ia menulis lagi di jurnalnya:
“Ada cinta yang menghangatkan, dan ada cinta yang membakar. Aku pernah menikmati kehangatan bersama Reza. Tapi kini, Dimas datang dengan bara yang membuatku hidup kembali. Apakah aku jahat karena memilih rasa yang berbeda? Atau jujur karena tak ingin membohongi hati?”
Bab 5: Pilihan yang Menyakitkan
Alya berada di titik di mana ia harus memilih. Setiap pilihan menyisakan luka. Bagaimana mungkin ia mencintai dua orang sekaligus?
Waktu seolah mempercepat langkahnya ketika hati Alya semakin dikepung oleh keputusan yang tak bisa dihindari. Hidupnya berubah menjadi sebuah teka-teki emosi yang rumit: satu langkah salah bisa menghancurkan dua hati sekaligus. Ia berdiri di ambang keputusan besar yang akan menentukan masa depannya—dan masa depan dua lelaki yang sama-sama mencintainya.
Malam itu, Alya memandangi pantulan dirinya di cermin. Tatapannya kosong, wajahnya letih, dan hatinya… penuh luka. Di tangannya, dua buah foto: satu foto dirinya bersama Reza di hari jadi mereka yang kedua—tersenyum dalam pelukan hangat, tampak bahagia. Foto kedua adalah dirinya bersama Dimas, diambil diam-diam oleh Dimas saat mereka duduk di taman kota. Ia tampak tertawa lepas, sesuatu yang akhir-akhir ini jarang ia lakukan.
Alya tahu, ia tidak bisa terus seperti ini. Diam di tengah badai hanya akan membuatnya semakin hancur. Ia harus memilih. Tapi memilih berarti harus kehilangan. Dan kehilangan, bagi Alya, selalu menjadi ketakutan terbesar dalam hidupnya.
“Kalau kamu ada yang kamu sembunyikan, lebih baik bilang sekarang, Ly,” kata Reza suatu malam saat mereka bertemu di apartemen Alya.
Alya menghela napas. “Aku lagi bingung, Za. Aku nggak mau ngomong apa pun sampai aku yakin ini bukan cuma perasaan sesaat. Aku butuh waktu.”
“Waktu buat apa? Buat milih antara aku dan dia?” suara Reza meninggi, meski ia berusaha menahan emosi.
Alya tak menjawab. Dan diam itu adalah pengakuan yang menyakitkan.
“Aku nggak akan maksa kamu, Ly. Tapi aku juga nggak akan bohong. Aku ingin kamu. Dan aku siap menunggu… selama kamu juga jujur sama dirimu sendiri.”
Malam itu, Alya duduk sendirian di balkon apartemennya. Angin malam berembus lembut, tapi pikirannya berisik tak tertahankan. Ia menulis surat—bukan untuk dikirim, tapi untuk menumpahkan semua isi hati.
“Reza, kamu adalah orang yang mencintaiku dengan segala kesabaran dan kesederhanaan. Tapi terkadang, cinta yang terlalu tenang membuatku merasa sendiri. Kita berjalan bersama, tapi hatiku mulai menjauh. Maaf… mungkin aku berubah. Atau mungkin kita memang sudah tidak lagi di titik yang sama.”
“Dimas, kamu datang saat aku merasa kosong. Kamu tidak mengisi ruang itu dengan paksaan, tapi dengan kehadiran yang menguatkan. Tapi aku juga takut… takut kalau rasa ini hanya pelarian, bukan cinta yang sebenarnya.”
“Aku mencintai kalian dengan cara yang berbeda. Tapi aku tahu, aku hanya bisa bersama satu orang. Dan keputusan itu harus segera kuambil, sebelum semuanya terlambat.”
Alya menggenggam cangkir kopinya erat-erat sebelum berkata, “Aku minta maaf, Reza. Tapi aku nggak bisa lanjut hubungan ini.”
Wajah Reza memucat. “Kenapa? Karena dia?”
Alya mengangguk pelan. “Bukan karena dia semata. Tapi karena aku berubah. Dan aku nggak mau kamu mencintai seseorang yang hatinya nggak utuh buat kamu. Itu nggak adil.”
Reza menunduk. Ia tidak menangis. Tapi sorot matanya pecah.
“Kamu tahu, Ly… aku pernah berpikir kita akan menikah. Aku bahkan udah lihat bayangan kita punya rumah kecil, anak-anak lari-lari di halaman… Tapi ternyata bukan aku yang kamu pilih ya?”
Alya menahan air matanya. Ia tidak bisa berkata apa pun selain, “Maaf.”
Beberapa minggu kemudian, ia berdiri di depan studio tempat Dimas biasa mengajar workshop arsitektur. Saat Dimas melihatnya, senyumnya tidak langsung muncul. Ia tampak ragu.
“Kamu udah selesai lari?” tanyanya pelan.
Alya mengangguk. “Aku nggak lari lagi. Aku sudah memilih. Dan kalau kamu masih mau… aku ingin memulai sesuatu yang jujur bersamamu.”
Dimas tidak langsung memeluknya. Tapi ia mengambil tangan Alya dan menggenggamnya erat.
“Selama ini, aku nggak pernah berhenti percaya kamu akan kembali. Bukan karena aku yang kamu butuhkan, tapi karena kamu tahu kamu layak bahagia.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Alya merasa damai.
Bab 6: Luka di Balik Cinta
Keputusan yang diambil Alya tidak membuat segalanya lebih mudah. Seseorang harus terluka. Dan cinta, ternyata tak selalu membawa bahagia.
waktu, Alya mulai merasakan dampak dari keputusannya. Meski secara sadar ia telah memilih Dimas, bayang-bayang Reza tetap meSeiringnghantui. Rasa bersalah, kehilangan, dan kenangan yang pernah mereka bagi datang silih berganti seperti gelombang yang tak pernah benar-benar reda.
Suatu pagi, Alya membuka laci meja kerja dan menemukan bingkai foto kecil berisi potret dirinya bersama Reza saat liburan ke Bali. Mereka tertawa, penuh kebahagiaan, dan cinta itu… nyata. Ia terdiam lama, jarinya menyentuh permukaan kacaberlalunya yang mulai berdebu. Hatinya seperti ditarik mundur ke masa lalu.
“Apa aku menyakitinya terlalu dalam?” gumam Alya sendiri.
Di sisi lain, hubungan dengan Dimas tidak berjalan semudah yang ia bayangkan. Ada perasaan yang belum tuntas. Bukan karena Dimas salah, tapi karena Alya belum sepenuhnya pulih. Ia masih terbawa luka yang belum sempat benar-benar diobati.
“Kamu masih mikirin dia, ya?” tanya Dimas suatu malam saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Alya.
Alya menunduk. “Aku nggak tahu… Aku udah memilih kamu, tapi hatiku kayak belum siap untuk sepenuhnya melepaskan. Bukan karena aku masih cinta, tapi karena luka ini belum sembuh.”
Dimas mengangguk, meski jelas terlihat bahwa kalimat itu menyakitkannya. “Aku bisa ngerti, Ly. Tapi aku juga butuh kamu jujur. Kalau kamu belum siap, jangan paksa diri. Aku nggak mau kita mulai sesuatu di atas luka.”
Alya menangis malam itu. Bukan karena kehilangan Reza, tapi karena menyadari bahwa cinta yang baru pun tak akan tumbuh subur jika tanah tempatnya tumbuh masih dipenuhi duri masa lalu.
“Aku minta maaf, Reza. Bukan karena aku ingin kembali, tapi karena aku merasa belum benar-benar mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal.”
Reza tersenyum tipis. Wajahnya lebih tenang, tapi matanya masih menyimpan luka.
“Aku juga minta maaf, Ly. Mungkin aku terlalu percaya bahwa cinta bisa bertahan hanya karena kenangan. Aku nggak pernah nyangka kamu akan berubah. Tapi sekarang aku sadar, cinta yang sehat harus saling menumbuhkan, bukan saling menahan.”
Percakapan itu menjadi titik terang dalam perjalanan Alya. Ia merasa lega, dan untuk pertama kalinya, bisa bernapas tanpa beban di dadanya. Ia tahu, luka itu akan tetap ada, tapi kini ia punya keberanian untuk merawatnya dengan cara yang lebih baik
Ia membuka kembali jurnal lamanya dan membaca halaman-halaman penuh curahan hati, air mata, dan harapan yang pernah ia tulis saat bersama Reza. Di halaman terakhir, ia menulis:
“Mungkin cinta ini harus pergi agar aku bisa menemukan diriku yang sebenarnya. Aku terlalu lama berdiri di antara dua dunia: masa lalu yang belum selesai dan masa depan yang belum jelas. Kini aku tahu, untuk bisa melangkah, aku harus melepaskan beban yang tak lagi menjadi bagianku.”
“Ibu tahu kamu lagi butuh ketenangan.”
Alya memeluk ibunya lama. Hangat yang tidak bisa diberikan oleh siapa pun di dunia ini.
“Aku capek, Bu. Capek terus merasa bersalah. Capek merasa harus membahagiakan semua orang, sementara aku sendiri nggak tahu apa yang bikin aku bahagia.”
Sang ibu mengelus rambut Alya. “Kadang luka itu datang bukan untuk menyakitimu, tapi untuk menunjukkan apa yang belum kamu pelajari. Kalau kamu belum bisa memilih kebahagiaanmu sendiri, kamu akan terus hidup untuk membahagiakan orang lain.”
Kata-kata itu seperti tamparan lembut, tapi menyadarkan.
“Aku pengin jujur, Mas. Aku belum sepenuhnya sembuh. Tapi aku juga nggak ingin menyerah. Aku tahu kamu mungkin butuh seseorang yang utuh, dan aku belum sampai ke titik itu. Tapi kalau kamu bersedia, aku ingin kita jalan bareng… pelan-pelan. Nggak harus sekarang jadi sempurna. Tapi bisa saling belajar.”
Dimas memandang Alya dalam. “Aku nggak pernah minta kamu sempurna, Ly. Aku cuma pengin kamu jadi diri kamu yang sebenarnya. Luka kamu, masa lalu kamu aku terima. Yang penting kita mau saling tumbuh.”
Mereka saling menggenggam tangan, bukan sebagai dua insan yang sempurna, tapi sebagai dua orang yang sama-sama terluka, dan sama-sama ingin belajar mencintai dengan cara yang lebih dewasa
“Cinta bukan tentang memiliki seseorang sepenuhnya, tapi tentang menerima bahwa kita semua punya masa lalu. Luka bukan akhir dari segalanya. Ia adalah jalan menuju penyembuhan, jika kita mau berjalan dengan hati yang jujur. Aku mungkin belum sembuh, tapi aku sedang dalam perjalanan ke arah sana. Bersama seseorang yang memilih untuk tinggal, bukan karena aku sempurna, tapi karena ia yakin cinta adalah tentang proses, bukan hasil akhir.”
Bab 7: Cinta yang Tak Pernah Sama
Waktu berlalu, luka belum sepenuhnya sembuh. Namun, cinta yang tulus selalu menemukan jalannya, meski tak seperti yang dulu.
Waktu terus berjalan, dan meskipun luka dalam hati Alya mulai mengering, ia menyadari satu hal yang tak pernah berubah: cinta memang tidak akan pernah sama. Tidak dengan Reza, tidak dengan Dimas, bahkan tidak dengan siapa pun yang datang setelahnya. Setiap cinta memiliki bentuknya sendiri, nadanya sendiri, dan luka serta pelajarannya masing-masing.
Setelah pertemuan jujur itu, hubungan Alya dan Dimas berjalan perlahan, seperti dua orang asing yang baru belajar mengenal lagi. Mereka tak lagi memaksakan romantisme, tak buru-buru merangkai masa depan. Kini, yang mereka bangun adalah kejujuran dan kepercayaan. Dua hal yang dulunya Alya anggap pasti, namun kini ia tahu, perlu dirawat setiap hari.
Suatu sore, saat mereka duduk di sebuah perpustakaan kecil di pojok kota, Dimas mengambil sebuah buku puisi dan membacakan salah satu bagian untuk Alya.
“Cinta bukan tentang mengulang yang telah lalu, bukan pula menciptakan salinan dari kenangan yang lama, cinta adalah tentang hari ini, dengan semua ragu, luka, dan harap yang baru.”
Alya tersenyum tipis. Puisi itu seperti suara hatinya sendiri.
“Kamu tahu, Mas,” katanya lirih, “dulu aku pikir cinta itu seperti resep. Kalau udah tahu bahan dan takarannya, pasti bisa bikin ulang rasanya. Tapi ternyata, rasa cinta itu nggak bisa diulang. Cinta sama kamu… nggak pernah sama kayak cinta yang dulu.”
Dimas mengangguk. “Dan aku juga nggak pengin sama. Aku nggak mau jadi pengganti siapa pun. Aku pengin kita bikin cerita kita sendiri.”
Di hari ulang tahun Reza, Alya secara tak sengaja melihat unggahan foto dari teman lama mereka. Reza sedang tersenyum bersama seorang perempuan. Wajahnya tenang, matanya tak lagi penuh luka seperti dulu.
Alya terdiam lama menatap foto itu. Bukan karena cemburu, tapi karena tiba-tiba ia menyadari bahwa cinta mereka benar-benar telah berlalu. Ada rasa lega yang samar, sekaligus kekosongan yang aneh.
“Cinta kami dulu besar, tapi sudah selesai. Kini aku berjalan di cinta yang baru, meski bentuknya berbeda. Cinta yang tak pernah sama, tapi bukan berarti tak berarti.”
“Kalau kamu boleh memilih satu kata yang menggambarkan rasa cintamu sekarang, apa itu?”
Alya berpikir lama, lalu menjawab, “Tenang.”
Sang konselor tersenyum. “Tenang itu pertanda kamu sudah tidak mencari pengakuan dari luar. Kamu mulai menerima bahwa cinta bukan soal intensitas, tapi keberlanjutan.”
Kata-kata itu menancap kuat di hati Alya. Cinta yang tak sama bukan berarti lebih buruk. Ia hanya berbeda, dan itu bukan kesalahan siapa pun.
Suatu malam, mereka duduk berdua di kamar Alya.
“Aku pernah mikir untuk mundur,” ucap Dimas tiba-tiba.
Alya menoleh. “Kenapa?”
“Karena aku takut aku cuma jadi tambalan luka kamu. Tapi aku sadar, kamu nggak pernah minta aku jadi penyembuh. Kamu cuma butuh seseorang yang tetap tinggal saat kamu belajar sembuh.”
Alya menggenggam tangan Dimas. “Dan kamu tetap tinggal. Itu yang paling berarti buat aku.”
Mereka belajar bahwa cinta bukan sekadar kata-kata manis atau hadiah di hari jadi. Cinta adalah mendengarkan keluh kesah setelah hari yang panjang. Cinta adalah memasakkan bubur saat pasangan sakit. Cinta adalah tetap pulang meski sedang kecewa.
“Cinta yang dulu membuatku terbang dan jatuh. Tapi cinta yang sekarang membuatku berdiri dan berjalan. Ia tak pernah sama, dan memang tak seharusnya sama. Tapi ia nyata. Ia hadir. Dan aku memilih untuk menjaganya.”***