Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA TAPI TAK DIANGGAP

SAME KADE by SAME KADE
April 17, 2025
in Bucin
Reading Time: 22 mins read
CINTA TAPI TAK DIANGGAP

Bab 1: Pertemuan yang Tidak Terduga

  • Tokoh utama, Mira, seorang wanita yang awalnya tidak percaya pada cinta sejati, bertemu dengan Rizky, seorang pria yang sepertinya terlalu sempurna untuknya. Namun, pertemuan ini justru membuatnya merasa tertarik tanpa bisa menjelaskan kenapa.

    Mira tidak percaya bahwa hari itu akan datang begitu cepat. Sebagai seorang yang cenderung menutup hati, ia merasa nyaman dengan rutinitas dan kehidupan yang sudah ia bangun selama ini. Tidak ada ruang untuk cinta atau perasaan yang tak terduga. Tapi, takdir berkata lain.

    Hari itu, saat Mira sedang duduk sendirian di kafe favoritnya, matanya tertuju pada sebuah pemandangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Seorang pria tampan dengan penampilan santai, mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata hitam, berjalan memasuki kafe. Sambil mencari tempat duduk, pria itu melemparkan senyum tipis ke arah Mira yang kebetulan sedang memandangnya. Dan di situlah segalanya mulai berubah.

    Mira merasa jantungnya berdebar kencang, sebuah perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan. Mungkin itu hanya perasaan sesaat, pikirnya. Tapi mengapa setiap kali matanya berpapasan dengan pria itu, ia merasa seperti dunia ini hanya ada mereka berdua?

    Pria itu akhirnya duduk di meja dekat jendela, seolah tidak memperhatikan Mira yang masih duduk di sudut kafe. Namun, entah kenapa, Mira merasa tertarik untuk mengenalnya lebih dekat. Sebuah dorongan tak terduga menggerakkan dirinya untuk memulai percakapan.

    Dengan sedikit ragu, Mira memberanikan diri untuk mendekati pria itu. Ia tersenyum kaku, dan pria itu langsung menatapnya dengan tatapan tajam, membuat Mira sedikit gugup.

    “Maaf, apakah saya bisa duduk di sini?” tanya Mira, berusaha tetap tenang.

    Pria itu mengangkat kacamata hitamnya dan tersenyum, seakan menilai Mira dengan cepat. “Tentu saja, silakan,” jawabnya santai, memberi izin untuk duduk.

    Mira duduk dengan hati berdebar. Tanpa sadar, percakapan dimulai dengan kata-kata yang terasa natural meski mereka baru saja bertemu. Mira merasa nyaman, seperti telah mengenal pria ini selama bertahun-tahun. Pria itu, yang kemudian diperkenalkan sebagai Rizky, ternyata bekerja di perusahaan yang sama dengan teman dekat Mira, namun selama ini ia tak pernah mendengarnya membicarakan sosok Rizky. Mereka berbincang tentang banyak hal—dari pekerjaan, hobi, hingga mimpi-mimpi yang tak pernah mereka ungkapkan sebelumnya.

    Rizky, dengan senyumannya yang menenangkan dan pembicaraannya yang ringan, berhasil membuat Mira merasa lebih hidup dari sebelumnya. Meski begitu, di dalam hatinya ada keraguan. Mengapa pertemuan ini terasa terlalu sempurna? Apakah ini hanya kebetulan belaka? Atau justru ada alasan lebih besar mengapa mereka bisa bertemu di saat yang tepat?

    Mira berusaha mengalihkan pikirannya, namun setiap kali melihat Rizky yang sedang tersenyum, perasaan aneh itu datang lagi. Ada sesuatu yang berbeda dengan pria ini. Sesuatu yang membuat Mira ingin lebih mengenalnya. Meski dia tidak ingin mengakui perasaan itu, hatinya seakan berkata lain.

    Setelah beberapa waktu, Rizky mengajaknya untuk keluar dan berjalan-jalan di sekitar taman kota, menikmati sore yang cerah. Mira, yang awalnya ragu, akhirnya setuju. Selama perjalanan itu, suasana begitu santai dan penuh tawa. Rizky menunjukkan sisi lucu dan penuh kehangatan yang membuat Mira semakin terpesona. Di sisi lain, Mira merasa ada ketegangan yang tak bisa diungkapkan. Dia tahu, perasaan ini bukanlah perasaan biasa. Ia merasa tersentuh, tetapi di saat yang sama, ia juga merasa takut akan kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.

    Ketika hari mulai gelap dan mereka berdua berada di depan rumah Mira, Rizky tersenyum lembut dan berkata, “Terima kasih sudah menemani saya. Rasanya sudah lama sekali saya tidak merasa nyaman berbicara dengan seseorang.”

    Mira terdiam, merasa ada getaran dalam kata-kata itu. “Terima kasih juga, Rizky. Saya juga merasa begitu.”

    Sebelum berpisah, Rizky berkata dengan nada lebih serius, “Mungkin kita bisa bertemu lagi. Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan denganmu.”

    Mira mengangguk pelan, namun hatinya masih bergulat dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Mungkinkah ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa?

    Malam itu, di kamar tidurnya, Mira memikirkan kembali pertemuan yang baru saja terjadi. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan. Rizky adalah sosok yang mengubah pandangannya tentang cinta, dan mungkin, hanya mungkin, dia juga merasakan hal yang sama.

    Namun, Mira tidak tahu bahwa pertemuan ini akan menjadi titik awal bagi perjalanan emosional yang penuh dengan tantangan, cinta yang tak terbalas, dan banyak hal yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.


Bab 2: Ketertarikan yang Mulai Muncul

  • Mira mulai memperhatikan Rizky lebih dalam. Meskipun mereka berteman, perasaan Mira terhadap Rizky semakin sulit untuk disangkal. Namun, Rizky tampak tidak menyadari hal itu, bahkan cenderung menganggap Mira hanya sebagai teman biasa.

  • Setelah pertemuan mereka yang tak terduga, Mira merasa sedikit terombang-ambing antara perasaan senang dan kebingungannya sendiri. Pertama kali bertemu Rizky, semuanya terasa begitu alami, seolah mereka sudah mengenal satu sama lain sejak lama. Namun, setelah pulang malam itu, Mira merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada ketertarikan yang tidak bisa ia hindari, sebuah perasaan yang muncul begitu cepat dan membuatnya tak bisa menenangkan diri.Mira berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Dia tahu bahwa perasaan ini bisa saja hanya sementara, sebuah sensasi yang muncul karena kedekatan mereka yang terjadi begitu mendalam dalam waktu yang singkat. Tapi, semakin ia memikirkan pertemuan itu, semakin ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan santai.

    Pagi-pagi, sebelum mulai bekerja, Mira menerima pesan singkat dari Rizky. Sebuah pesan yang singkat, namun cukup membuatnya tersenyum tanpa bisa dihentikan.

    “Selamat pagi, Mira. Terima kasih sudah menemani saya kemarin. Semoga hari ini berjalan lancar untukmu. Kita harus bertemu lagi, kan? 😊”

    Mira merasa senyumannya terkunci di bibirnya. Entah mengapa, pesan sederhana itu bisa membuatnya merasa bahagia. Ia merasa bahwa ada ketulusan dalam kata-kata Rizky. Mira pun membalas pesan itu dengan hati-hati, berusaha menjaga sikap tetap profesional.

    “Selamat pagi, Rizky. Terima kasih juga untuk hari kemarin. Semoga harimu juga menyenankan. Kita lihat nanti.”

    Meskipun balasan Mira terkesan santai dan biasa saja, hatinya tak bisa menipu. Ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam dirinya—sesuatu yang belum bisa ia jelaskan sepenuhnya. Ketertarikan yang mulai muncul, pelan namun pasti. Setiap kali melihat pesan dari Rizky, Mira merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Setiap kata yang diketiknya terasa penuh makna. Dan semakin lama, Mira semakin merasa bahwa perasaan ini bukanlah perasaan biasa. Ada magnet yang menariknya ke Rizky.

    Hari-hari setelahnya, mereka semakin sering berkomunikasi, baik melalui pesan teks maupun telepon. Terkadang, obrolan mereka ringan dan penuh tawa, terkadang pula menjadi lebih serius ketika mereka membicarakan hal-hal yang lebih personal. Mira merasa bahwa Rizky adalah orang yang bisa diajak berbicara tentang apa saja. Mereka memiliki banyak kesamaan, mulai dari pandangan hidup hingga hobi yang sama, membuat kedekatan mereka semakin terasa intens.

    Namun, di balik kebahagiaan itu, ada rasa khawatir yang terus menggelayuti Mira. Meskipun ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Rizky, dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dia takut jika perasaannya hanya sepihak. Rizky tampak begitu ramah dan menyenangkan, tapi apakah dia merasakan hal yang sama? Apa Rizky benar-benar tertarik padanya, ataukah dia hanya melihat Mira sebagai teman biasa?

    Mira berusaha menenangkan pikirannya, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, ketertarikan itu semakin sulit untuk disembunyikan. Setiap pertemuan, bahkan yang terkesan sederhana, semakin menguatkan perasaan itu. Rizky tidak hanya menarik secara fisik, tapi juga memiliki kepribadian yang hangat dan perhatian. Setiap kali mereka bersama, Mira merasa seolah dunia berhenti sejenak, dan hanya ada mereka berdua. Senyum Rizky, cara dia berbicara, bahkan cara dia mendengarkan dengan penuh perhatian, membuat Mira merasa nyaman dan dihargai.

    Suatu hari, Rizky mengundang Mira untuk makan siang bersama di sebuah restoran kecil yang mereka pilih bersama. Ini adalah pertemuan kedua mereka, namun kali ini terasa lebih intim, lebih mendalam. Rizky mengenakan pakaian yang sedikit lebih formal dari biasanya, sementara Mira juga tampil sedikit lebih rapi, meskipun tetap nyaman.

    Selama makan, Rizky bercerita banyak tentang hidupnya. Mira pun tak kalah terbuka, menceritakan beberapa hal pribadi tentang dirinya yang belum pernah ia bagikan kepada orang lain. Mereka tertawa bersama, saling mengungkapkan pendapat tentang berbagai hal—dari film favorit hingga pandangan mereka mengenai cinta.

    Saat itu, ada sesuatu dalam pandangan Rizky yang membuat Mira terdiam sejenak. Seolah-olah, dalam tatapan itu, dia bisa merasakan perasaan yang sama. Sebuah ketertarikan yang tak terucapkan, tapi terasa begitu kuat.

    “Terima kasih sudah mau datang hari ini, Mira,” kata Rizky sambil tersenyum. “Saya merasa nyaman berbicara denganmu.”

    Mira terkejut, namun senyumnya membalas kata-kata itu. “Saya juga merasa hal yang sama, Rizky.”

    Saat mereka berpisah di depan restoran, Rizky memberikan pelukan singkat pada Mira, yang terasa hangat dan penuh perhatian. Meskipun pelukan itu tidak terlalu lama, Mira merasa jantungnya berdebar lebih kencang daripada sebelumnya.

    Namun, ada satu pertanyaan yang terus berputar di pikirannya—apakah ini cinta yang sesungguhnya, atau hanya ketertarikan yang dibumbui harapan-harapan manis yang tidak pasti?

    Mira tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti, perasaan ini semakin kuat. Entah bagaimana, dia merasa bahwa perasaan ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan.

    Bab ini menampilkan perkembangan hubungan Mira dan Rizky yang mulai tumbuh lebih intens. Meskipun Mira merasakan ketertarikan yang kuat, dia masih bingung dengan perasaannya. Apakah Rizky juga merasakan hal yang sama, ataukah ini hanya ilusi yang diciptakan oleh harapan-harapan yang tak terucapkan?

Bab 3: Menyimpan Perasaan dalam Diam

  • Mira semakin terjatuh dalam rasa sukanya kepada Rizky. Namun, dia tidak pernah mengungkapkan perasaan itu, takut jika hal itu akan merusak hubungan mereka sebagai teman. Mira memilih untuk menyimpannya dalam hati.

  • Setelah pertemuan mereka yang semakin intens, Mira mulai merasa kebingungannya semakin dalam. Ketertarikannya pada Rizky terus berkembang, tapi dia sadar bahwa dia harus berhati-hati. Walaupun Rizky selalu ramah dan hangat, Mira merasa belum waktunya untuk mengungkapkan perasaannya. Ada ketakutan yang menggelayuti hatinya — takut jika perasaannya hanya sepihak, takut jika ini akan merusak hubungan baik yang sudah mereka bangun.Hari-hari berlalu, dan setiap kali Mira bertemu dengan Rizky, perasaan itu semakin kuat, semakin sulit disembunyikan. Namun, ia memilih untuk menahannya. Dia mulai memahami bahwa, meskipun perasaan itu begitu besar, tidak semua perasaan harus diungkapkan dengan segera. Dalam keheningan, dia belajar untuk menikmati perasaan itu tanpa harus terburu-buru untuk mengungkapkannya.

    Pada saat-saat tertentu, Mira merasa bahwa perasaan itu tidak bisa dipendam lebih lama, namun ada saat lainnya di mana ia merasa lebih baik menyimpannya dalam diam. Dia sering mengingat kembali semua percakapan mereka, semua tawa yang mereka bagikan, dan senyum Rizky yang selalu berhasil menghangatkan hatinya. Semua itu menjadi pengingat bahwa, meskipun perasaannya besar, ada ketakutan yang lebih besar lagi — ketakutan untuk kehilangan segala sesuatu jika dia salah langkah.

    Suatu sore, saat mereka sedang duduk bersama di sebuah kafe yang ramai, Mira merasakan tatapan Rizky yang berbeda. Kali ini, tatapannya lebih dalam, penuh dengan arti. Mira merasa seolah dunia menjadi lebih lambat, dan detik-detik itu terasa lebih panjang dari biasanya.

    “Kenapa kamu diam?” tanya Rizky, suaranya yang lembut mengusik kebisuan Mira.

    Mira tersentak. “Hah? Oh, tidak ada… cuma sedang mikir aja.”

    Rizky tersenyum tipis, seolah memahami bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Mira, namun Mira tidak ingin melakukannya. Ada sesuatu yang dia sembunyikan, perasaan yang begitu dalam, namun belum siap untuk diungkapkan.

    Mira mengalihkan pandangannya, berusaha fokus pada kopi yang ada di depannya. “Aku hanya merasa… kita sudah cukup dekat, kan?”

    Rizky mengangguk, “Aku merasa begitu juga. Aku nyaman denganmu, Mira. Kamu orang yang asyik diajak ngobrol.”

    Kata-kata itu membuat Mira sedikit tersenyum, tetapi hatinya kembali gelisah. Dia merasa semakin terjebak dalam perasaannya. Kenapa dia harus menunggu? Kenapa dia harus ragu?

    Di dalam hatinya, ada keinginan besar untuk mengungkapkan semua yang dia rasakan. Tapi di luar itu, dia hanya bisa mengendalikannya. Setiap kali ia hendak mengatakannya, ada suara kecil di dalam dirinya yang berkata, “Tunggu. Jangan terburu-buru.”

    Malam hari setelah pertemuan itu, Mira duduk di kamarnya, menatap langit yang sepi dari jendela. Pikiran-pikiran tentang Rizky tidak pernah berhenti mengalir. Meskipun dia tahu bahwa perasaan itu semakin sulit untuk disembunyikan, dia tahu bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk mengungkapkannya.

    Dia memutuskan untuk menulis di buku harian kecil miliknya, menulis tentang perasaannya yang tak terungkapkan, tentang kebingungannya, tentang keinginan untuk mengungkapkan cinta, namun takut kehilangan segala-galanya.

    “Rizky, aku merasa ada sesuatu yang tumbuh dalam hatiku. Tapi aku tidak tahu apakah ini hanya perasaan sementara ataukah sesuatu yang lebih. Aku ingin mengatakannya, tapi aku takut jika itu merusak segala sesuatu yang telah kita bangun. Aku takut jika aku terlalu terburu-buru, atau jika aku salah langkah dan kehilanganmu.”

    Menulis itu sedikit memberi ketenangan, tetapi juga membuatnya semakin sadar bahwa perasaan ini semakin mendalam. Seiring berjalannya waktu, Mira merasa seperti berjalan di garis tipis antara mengungkapkan perasaan atau membiarkannya tetap tersembunyi.

    Rizky mungkin tidak tahu apa yang Mira rasakan. Namun, dalam diamnya, Mira melihat banyak tanda-tanda yang membuatnya ragu—apakah Rizky merasa sama? Atau apakah dia hanya melihat Mira sebagai teman baik, tanpa rasa yang lebih dalam?

    Mira tahu satu hal: ia harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa ada banyak hal dalam hidup yang tidak bisa dipaksakan, termasuk perasaan cinta. Walaupun ia ingin agar perasaan ini tumbuh dan berkembang, ia tahu bahwa tidak semua perasaan harus langsung diungkapkan. Terkadang, menunggu adalah pilihan yang lebih bijaksana.

    Namun, setiap kali ia bertemu Rizky, perasaan itu semakin sulit untuk disembunyikan. Apakah akhirnya Mira akan memutuskan untuk membuka hatinya? Atau apakah dia akan terus menyimpan perasaan itu dalam diam, takut akan kehilangan segalanya?

    Cerita ini berlanjut dengan ketegangan antara hati dan akal, antara keinginan untuk mengungkapkan perasaan dan rasa takut akan hasilnya. Mira akan segera menemukan bahwa terkadang, dalam cinta, diam bukanlah sebuah pilihan yang mudah, tetapi sebuah ujian berat yang harus dihadapi.

Bab 4: Tanda-Tanda yang Membingungkan

  • Rizky mulai memberikan perhatian lebih kepada Mira, namun Mira masih merasa ragu. Tindakan Rizky tampaknya penuh dengan tanda-tanda yang membuat Mira bingung. Apakah Rizky hanya peduli sebagai teman, atau ada perasaan lain yang tersirat?

  • Mira berjalan pulang dari kampus dengan perasaan campur aduk. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Rizky, semuanya terasa semakin kabur. Ada hal-hal yang tak terucapkan, perasaan yang tertahan, namun Mira merasa seperti ada sesuatu yang sedang terjadi. Rizky, pria yang selama ini dia anggap hanya teman, tiba-tiba saja muncul dengan sikap yang berbeda—sering kali perhatian yang sangat jelas, tetapi kadang terlihat menghindar. Seperti dua sisi mata uang, semuanya terasa bertentangan.Hari itu, mereka bertemu lagi di kafe yang biasa mereka kunjungi. Ada sedikit keramaian di sana, namun Mira merasa dunia di sekitar mereka seperti menghilang, hanya ada dia dan Rizky. Mereka duduk berhadapan, meja di antara mereka penuh dengan secangkir kopi dan secangkir teh hangat yang mulai dingin.

    Rizky yang biasanya cenderung ceria kini tampak lebih pendiam. Matanya tertuju pada ponselnya, namun jarinya tidak bergerak untuk mengetik apapun. Mira memperhatikan hal itu, merasa seperti ada yang mengganjal di hatinya.

    “Rizky,” Mira memulai dengan hati-hati. “Ada apa? Kamu kelihatan seperti sedang banyak berpikir.”

    Rizky menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Oh, nggak apa-apa kok. Hanya… banyak hal yang perlu dipikirkan. Kamu tahu, kadang hidup ini penuh pilihan, dan kita nggak selalu tahu harus memilih yang mana.”

    Mira mengangguk, mencoba mencerna kata-kata Rizky. “Memilih apa? Apa kamu sedang berpikir tentang masa depan?” tanyanya, berusaha membuka pembicaraan lebih jauh.

    Rizky hanya diam, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Aku hanya… bingung dengan apa yang sedang terjadi. Terkadang, kita merasa nyaman dengan sesuatu, tapi di sisi lain, kita merasa ragu apakah itu memang pilihan yang tepat.”

    Mira merasa kata-kata itu sedikit ambigu. Dia menyadari, selama beberapa minggu terakhir ini, Rizky tidak hanya berbicara tentang kehidupannya secara umum. Dia merasa ada yang lebih mendalam dalam kata-katanya, yang tak sengaja menyentuh hati Mira.

    “Tapi, aku merasa kamu sedang bicara tentang lebih dari sekadar kehidupan biasa. Ada yang lain, kan?” Mira bertanya, berusaha memecah ketegangan yang tercipta di antara mereka.

    Rizky menatap Mira, sejenak tidak berkata-kata. Dia seperti berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat. Lalu, dengan suara yang lebih rendah, dia berkata, “Mungkin aku juga bingung dengan perasaanku sendiri. Kadang-kadang aku merasa dekat dengan seseorang, tapi di saat yang sama, aku merasa takut dengan apa yang akan terjadi jika aku lebih jauh lagi.”

    Kata-kata itu membuat Mira terdiam. Seolah sebuah pernyataan yang ditujukan padanya, namun di saat yang sama juga menyembunyikan banyak makna yang tidak bisa langsung dia tangkap. Ada rasa sakit di balik tatapan Rizky, sebuah ketakutan yang muncul dari dalam dirinya.

    Mira mencoba menenangkan hatinya yang mulai gelisah. Apa maksud dari semua ini? Apa Rizky merasa sama seperti dirinya? Ataukah dia hanya sekedar berpikir tentang hubungan persahabatan mereka yang semakin dekat? Tetapi mengapa, jika itu hanya persahabatan, ada ketegangan yang terasa begitu nyata?

    Tiba-tiba, Rizky bangkit dari kursinya, berjalan ke arah pintu keluar. Mira mengikuti gerak-geriknya dengan pandangan tak mengerti. Namun sebelum Rizky melangkah pergi, dia menoleh sebentar.

    “Aku perlu waktu untuk memikirkan semuanya, Mira. Maaf kalau aku membingungkanmu. Kita bicara lagi nanti, oke?” Rizky mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang penuh arti, seperti ada banyak beban yang ingin dia lepaskan, namun terhalang oleh sesuatu.

    Mira hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya terasa lebih berat daripada sebelumnya. Sebuah perasaan tak terkatakan mengendap dalam dadanya, dan dia tahu, inilah saatnya untuk lebih jujur pada dirinya sendiri. Perasaan yang muncul tiba-tiba, tanda-tanda yang sulit dimengerti, semuanya membawanya pada satu kesimpulan: dia harus tahu apa yang sebenarnya ada dalam hati Rizky.

    Namun, Mira juga menyadari satu hal penting. Tanda-tanda yang membingungkan ini bukan hanya milik Rizky. Dia juga terjebak dalam kebingungannya sendiri. Dia tidak bisa terus menunggu tanpa mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi. Dan lebih penting lagi, apakah perasaannya selama ini benar-benar diterima oleh Rizky?

    Malam itu, saat Mira berjalan pulang dengan langkah gontai, pikirannya terus berputar. Ada keraguan yang semakin menumpuk di hatinya. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menunggu jawaban yang tidak pernah datang. Tapi, apakah dia berani untuk bertanya dan mengungkapkan segalanya? Atau, apakah lebih baik untuk menahan diri dan membiarkan waktu yang mengungkapkan semuanya?

    Yang jelas, Mira tahu bahwa dia tidak bisa lagi mengabaikan tanda-tanda yang ada. Hari-hari penuh kebingungan ini harus berakhir, dan dia akan siap menghadapi apapun yang akan datang.

Bab 5: Cinta yang Tak Terbalas

  • Mira menyadari bahwa meskipun dia mencintai Rizky, perasaan itu tidak pernah terbalas. Rizky mulai lebih dekat dengan wanita lain, dan Mira merasa cemburu, namun dia tetap berusaha untuk menyembunyikan perasaannya.

  • Mira menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan terakhir dari Rizky. Sebuah chat singkat yang penuh dengan basa-basi, seolah hubungan mereka tidak pernah lebih dari sekadar pertemanan. Dia menggenggam ponselnya erat, berharap ada sesuatu yang bisa dia lakukan untuk mengubah keadaan. Namun, kenyataan yang pahit selalu kembali menyadarkannya—Rizky tidak pernah melihatnya sebagai seseorang yang lebih dari sekadar sahabat.Cinta yang ia rawat selama ini, yang ia jaga dengan segenap hati, ternyata hanya berjalan satu arah. Mira selalu ada untuk Rizky—mendengar setiap keluh kesahnya, tertawa bersama, bahkan rela datang kapan pun Rizky membutuhkan seseorang untuk berbagi cerita. Tapi ketika Mira yang butuh, ketika dia berharap Rizky akan menyadari perasaannya, yang dia dapatkan hanyalah respons dingin dan tak lebih dari rasa nyaman sebagai teman.

    Hari itu, Mira memberanikan diri untuk menemui Rizky di kampus, berharap ada sesuatu yang bisa membuatnya mengerti. Namun, langkahnya terhenti saat dia melihat Rizky di taman, sedang berbicara dengan seorang gadis lain—Dita. Gadis itu tampak begitu nyaman tertawa di sampingnya, dan lebih menyakitkan lagi, Rizky menatap Dita dengan cara yang selama ini Mira impikan.

    Dada Mira terasa sesak. Dia ingin berpaling, ingin lari sejauh mungkin agar tak perlu melihat kenyataan yang begitu menyesakkan ini. Tapi kakinya terasa berat, seolah dunia memaksanya untuk menyaksikan pemandangan yang selama ini dia hindari.

    Ketika akhirnya Rizky menyadari keberadaannya, dia melambaikan tangan dengan senyum santai, seolah semuanya baik-baik saja. “Mira! Sini, duduk bareng!” katanya dengan nada yang selalu membuat hati Mira melemah.

    Tapi kali ini, Mira tahu dia harus mengambil keputusan. Dengan senyum yang dipaksakan, dia berkata, “Maaf, Ky, aku ada urusan lain.” Lalu, tanpa menunggu jawaban, dia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Rizky yang terlihat bingung.

    Di perjalanan pulang, air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya jatuh. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar merasa kalah dalam perasaannya sendiri. Tidak ada lagi harapan, tidak ada lagi kemungkinan. Cinta yang dia beri selama ini ternyata tidak pernah benar-benar diterima.

    Malam itu, Mira menatap dirinya di cermin. “Sampai kapan aku akan terus seperti ini?” bisiknya pada bayangannya sendiri. Dia tahu dia harus melepaskan, harus belajar untuk mencintai dirinya sendiri lebih dari siapa pun. Tapi menghilangkan perasaan yang sudah mengakar begitu dalam bukanlah hal yang mudah.

    Dengan hati yang perlahan mulai menerima kenyataan, Mira berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan mencoba—sedikit demi sedikit—untuk berhenti mencintai seseorang yang tak pernah melihatnya dengan cara yang sama.

Bab 6: Kekecewaan yang Menyakitkan

  • Setelah mengetahui bahwa Rizky mulai menjalin hubungan dengan orang lain, Mira merasa hatinya hancur. Dia merasa seperti menjadi orang yang tidak pernah dihargai, meskipun telah memberi segalanya.

  • Mira duduk terdiam di bangku taman, matanya menatap kosong ke depan, tetapi pikirannya berputar-putar, kembali mengingat semua kejadian yang baru saja terjadi. Setiap detik yang dilewati bersama Rizky terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Rasa sakit itu datang begitu mendalam, menyentuh bagian hatinya yang paling rapuh.

    Hari itu, ketika mereka bertemu di kafe, Mira akhirnya memutuskan untuk menanyakan perasaan Rizky secara langsung. Seperti yang sudah dia duga, dia harus menghadapi kenyataan pahit yang selama ini hanya terpendam dalam hatinya. Rizky, dengan cara yang lembut namun begitu jelas, akhirnya mengungkapkan bahwa dia tidak merasa hal yang sama. Dia tidak mencintai Mira seperti yang Mira harapkan.

    “Aku… aku memang suka kamu, Mira,” kata Rizky dengan nada pelan, seolah kata-kata itu harus dipilih dengan sangat hati-hati. “Tapi aku nggak bisa memberikanmu apa yang kamu inginkan. Aku tidak bisa mencintaimu dengan cara yang kamu harapkan.”

    Sakit. Itulah satu-satunya kata yang bisa menggambarkan apa yang Mira rasakan saat itu. Seperti seluruh dunia runtuh dalam sekejap. Semua harapan, semua mimpi yang telah dia bangun bersama Rizky, semua impian tentang masa depan yang dia rencanakan, semuanya hancur begitu saja. Dalam sekejap, cinta yang dia yakini begitu kuat dan tulus ternyata hanyalah sebuah ilusi.

    Mira menatap Rizky dengan tatapan kosong, berusaha menahan air mata yang sudah hampir menetes. “Jadi selama ini… apa yang kita punya ini cuma perasaan aku aja, ya?” Suaranya pecah, penuh dengan kekecewaan yang begitu dalam. “Aku kira kita berdua punya sesuatu yang lebih dari sekedar teman.”

    Rizky terdiam, wajahnya penuh penyesalan. “Mira, aku nggak pernah berniat menyakitimu. Aku benar-benar menghargai persahabatan kita, dan aku… aku nggak ingin kehilangan itu,” jawab Rizky, meskipun suara itu terdengar tidak meyakinkan.

    Air mata Mira mulai menetes, mengalir perlahan di pipinya. Perasaan sakit itu tak bisa disembunyikan lagi. Dia merasa sangat dikhianati, bukan hanya oleh Rizky, tetapi juga oleh dirinya sendiri yang telah begitu mempercayakan perasaannya pada seseorang yang ternyata tidak memiliki perasaan yang sama.

    “Kenapa kamu nggak bilang dari awal?” Mira berbisik, hampir tak terdengar. “Kenapa harus sampai aku merasa seperti ini? Aku berusaha keras, Rizky, berusaha untuk tetap ada untuk kamu, untuk kita. Tapi ternyata aku cuma… cuma khayalan dalam hidupmu.”

    Rizky terdiam, tidak bisa memberikan jawaban yang cukup memadai. Hanya ada keheningan yang membungkam percakapan mereka. Mira merasa semua usaha, perhatian, dan rasa cinta yang dia berikan selama ini sia-sia. Setiap kenangan indah bersama Rizky seakan berubah menjadi racun yang perlahan menggerogoti hatinya.

    Setelah beberapa saat yang terasa sangat panjang, Mira berdiri dari bangku taman. Ia menatap Rizky untuk terakhir kalinya, mencoba menahan rasa sakit yang mendera. “Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Mungkin aku butuh waktu untuk sendiri. Aku… aku butuh menjauh dari semua ini,” katanya, suaranya hampir tak terdengar, namun sangat jelas untuk dirinya sendiri.

    Dengan langkah yang berat, Mira meninggalkan Rizky, meninggalkan semua kenangan yang ternyata tak akan pernah menjadi kenyataan. Setiap langkahnya terasa seperti mencabik-cabik hatinya sendiri, namun dia tahu bahwa ini adalah keputusan yang terbaik untuk dirinya. Kadang, melupakan seseorang yang kita cintai adalah hal yang paling sulit, tapi mungkin itu adalah cara untuk menemukan kembali diri kita yang hilang.

    Di malam yang sunyi itu, Mira merasa begitu kesepian, seakan dunia ini terlalu luas untuk dijelajahi sendirian. Namun, dia tahu, bahwa meskipun rasa sakit ini begitu mendalam, ini adalah bagian dari proses penyembuhan. Dan suatu saat nanti, dia akan melihat kembali masa lalu ini dan tersenyum, karena dia berhasil bangkit dari kekecewaan yang begitu menyakitkan.

    “Selamat tinggal, Rizky,” bisiknya dalam hati, berdoa agar dia bisa menemukan kebahagiaan yang selama ini dia cari.

Bab 7: Melihat Rizky Bahagia dengan Orang Lain

  • Mira harus belajar menerima kenyataan bahwa Rizky telah menemukan kebahagiaan dengan orang lain. Meski itu menyakitkan, Mira mencoba untuk merelakan dan berhenti berharap. Namun, perasaan cintanya kepada Rizky tidak bisa begitu saja hilang.

    Mira berdiri di ujung jalan, matanya terpaku pada sepasang kekasih yang berjalan berdampingan di trotoar yang sepi. Rizky, dengan senyuman hangat di wajahnya, tampak begitu bahagia, menggenggam tangan seorang perempuan yang Mira kenali. Namanya Dita, teman lama Rizky yang baru-baru ini muncul dalam kehidupan mereka, tanpa pernah Mira menyadari betapa dekatnya mereka.

    Melihat mereka bersama, seolah seluruh dunia tiba-tiba menghilang. Mira merasa tubuhnya kaku, seakan tak bisa bergerak, dan jantungnya mulai berdebar kencang. Entah kenapa, melihat Rizky dengan Dita, rasa sakit itu kembali hadir. Rasa sakit yang sudah lama Mira coba lupakan, kini terasa lebih dalam, lebih tajam. Sebuah luka yang belum sepenuhnya sembuh, kembali terbuka.

    Dari tempatnya berdiri, Mira bisa melihat Rizky tertawa dengan Dita, berbicara dengan begitu alami, seolah mereka adalah sepasang kekasih yang sudah lama bersama. Rizky yang selalu tampak sedikit canggung dan tertutup dengan perasaan, kini terlihat begitu terbuka, begitu hidup. Semua yang Mira inginkan, kini dimiliki oleh orang lain. Cinta yang dulu dia dambakan, kini berpindah tangan tanpa dia bisa berbuat apa-apa.

    Mira menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang hampir saja jatuh. Kenapa harus seperti ini? Kenapa dia merasa seolah-olah dia tidak cukup baik? Selama ini, dia selalu percaya bahwa jika cinta itu benar-benar ada, pada akhirnya pasti akan datang. Namun, kenyataan berkata lain. Cinta itu telah pergi, berlabuh di pelukan orang lain, meninggalkan dirinya di tengah lautan kesepian yang dalam.

    Setelah beberapa menit, Rizky dan Dita berhenti di sebuah kafe kecil, tertawa dan berbicara dengan penuh kebahagiaan. Mira tahu, dia harus pergi. Dia tidak bisa terus-menerus melihat pemandangan ini, tidak bisa terus menyiksa dirinya dengan rasa sakit yang tak berkesudahan. Namun, tubuhnya terasa berat, seperti ada kekuatan yang menahannya untuk melangkah pergi.

    Hati Mira bergejolak. Apa yang salah dengan dirinya? Apa yang kurang? Dia selalu memberikan segalanya, selalu ada untuk Rizky, selalu mendukung, dan berharap mereka bisa bersama. Tetapi, ternyata apa yang dia rasakan selama ini hanyalah sebuah harapan kosong. Rizky, meskipun dengan segala kehangatan yang dia tunjukkan, tidak pernah melihatnya lebih dari seorang teman.

    Akhirnya, Mira menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk berbalik, menjauh dari pemandangan yang semakin membuat hatinya teriris. Setiap langkah terasa semakin berat, namun dia tahu, ini adalah langkah yang tepat. Dia harus belajar menerima kenyataan bahwa cintanya pada Rizky takkan pernah terbalaskan.

    Di dalam hatinya, ada perasaan yang membuncah—perasaan cemburu, rasa kehilangan, dan juga kebingungan. Tetapi lebih dari itu, dia merasa hampa. Kehilangan itu datang bukan karena Rizky mencintai orang lain, tetapi karena Mira harus menerima bahwa dia tak bisa mengontrol takdir. Cinta, meskipun ia memberi segalanya, kadang tak bisa dipaksakan untuk kembali.

    Pada malam itu, di rumahnya yang sunyi, Mira duduk di atas ranjangnya, menatap langit yang gelap. Bintang-bintang di luar tampak redup, seolah-olah ikut merasakan kekecewaan yang melanda dirinya. Dia ingin menangis, ingin meluapkan semua perasaan yang terpendam, tetapi dia tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Rizky telah memilih jalan hidupnya, dan itu bukan lagi bersama Mira.

    Mira memutuskan untuk menghapus segala perasaan itu, untuk perlahan menerima kenyataan. Meski hati ini belum sepenuhnya siap untuk melepaskan, dia harus belajar untuk melakukannya. Kadang, melihat orang yang kita cintai bahagia dengan orang lain adalah bagian dari proses untuk menyembuhkan diri.

    Dia menyadari, tidak ada gunanya terus-terusan hidup dalam bayang-bayang Rizky, dalam kenangan yang hanya menyakitkan. Untuk pertama kalinya, Mira merasa bahwa dia harus berhenti berharap dan mulai fokus pada dirinya sendiri. Cinta itu harus ada, tapi kali ini, dia harus mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu.

    Dalam keheningan malam, Mira berjanji pada dirinya sendiri untuk memulai perjalanan baru. Sambil menghapus air mata yang jatuh, dia menatap cermin kecil di meja samping tempat tidurnya dan berkata, “Aku akan baik-baik saja. Aku akan menemukan kebahagiaan, meski tanpa dia.”

Bab 8: Proses Melepaskan

  • Mira memutuskan untuk menjauh dari Rizky demi kesejahteraan hatinya. Dia memulai perjalanan untuk menyembuhkan dirinya sendiri dan mencoba mengatasi rasa sakit akibat cintanya yang tak diakui. Mira belajar untuk mencintai diri sendiri dan berusaha untuk moving on.

  • Mira menatap langit sore yang mulai berubah jingga dari jendela kamarnya. Angin berhembus pelan, membawa serta kenangan yang masih tersimpan rapi di sudut hatinya. Sudah berminggu-minggu sejak terakhir kali dia benar-benar berbicara dengan Rizky. Tidak ada lagi obrolan larut malam, tidak ada lagi tawa yang mengisi harinya, dan yang paling terasa—tidak ada lagi harapan kosong yang ia pertahankan.Melepaskan ternyata bukan hal yang mudah. Awalnya, Mira berpikir bahwa menjauh dari Rizky akan membuat segalanya lebih sederhana. Tapi semakin dia berusaha, semakin dia sadar bahwa bayangan lelaki itu masih menghantuinya dalam hal-hal kecil—lagu yang biasa mereka dengarkan, tempat favorit mereka di kafe kampus, bahkan kebiasaan Rizky mengetik “wkwk” di setiap pesan.

    Namun, Mira tahu bahwa dia harus melangkah maju. Hidupnya tidak bisa terus terjebak dalam perasaan yang tak berbalas. Jadi, dia mulai belajar sedikit demi sedikit untuk mengisi hidupnya dengan hal-hal baru.

    Dia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-temannya yang dulu sering ia abaikan demi Rizky. Sore itu, ia duduk bersama Nia dan Sinta di sebuah kedai kopi kecil, tertawa lepas mendengar cerita mereka. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Mira merasakan kehangatan yang berbeda—bukan dari Rizky, tapi dari orang-orang yang benar-benar peduli padanya.

    “Jadi gimana?” tanya Nia tiba-tiba, menatap Mira dengan penuh selidik. “Udah bisa lupain dia?”

    Mira mengaduk minumannya, tersenyum kecil sebelum menjawab, “Aku enggak tahu, mungkin belum sepenuhnya. Tapi aku sadar satu hal—aku lebih berharga dari sekadar menunggu seseorang yang nggak pernah melihat aku dengan cara yang sama.”

    Nia dan Sinta tersenyum, lalu menggenggam tangannya erat. “Itu langkah yang bagus, Mir,” kata Sinta.

    Malamnya, saat Mira kembali ke kamarnya, ia membuka galeri ponselnya. Foto-foto bersama Rizky masih tersimpan di sana, mengingatkannya pada momen-momen indah yang pernah ada. Jemarinya ragu, namun akhirnya ia memilih untuk menghapus satu per satu. Setiap foto yang hilang dari layar terasa seperti beban yang terangkat sedikit demi sedikit dari hatinya.

    Langkah terakhirnya adalah menulis sesuatu untuk dirinya sendiri. Sebuah pengingat bahwa dia pantas mendapatkan seseorang yang benar-benar melihatnya, mencintainya tanpa ragu.

    “Melepaskan bukan berarti melupakan, tapi menerima kenyataan dan membiarkan dirimu bahagia dengan cara yang baru.”

    Dengan napas yang lebih lega, Mira akhirnya bisa tersenyum. Besok adalah hari baru, dan dia siap untuk melangkah tanpa bayang-bayang masa lalu yang terus menahannya.

Bab 9: Cinta Baru yang Tak Terduga

  • Setelah melalui banyak proses penyembuhan, Mira bertemu dengan seseorang yang membuatnya merasa hidup kembali. Meskipun perasaan terhadap Rizky masih ada, Mira akhirnya belajar untuk membuka hati dan memberi kesempatan pada orang lain.

  • Mira tidak pernah berpikir bahwa hatinya akan terbuka lagi secepat ini. Setelah sekian lama tenggelam dalam perasaan yang tak terbalas, dia mulai menikmati hari-harinya tanpa bayang-bayang Rizky. Hidupnya kini terasa lebih ringan, meskipun ada momen-momen di mana ingatan itu masih mencoba kembali.Namun, semuanya berubah sejak ia mulai mengenal Daffa—seseorang yang selama ini hanya sebatas teman dari lingkaran pergaulan yang sama. Daffa bukan tipe orang yang Mira perhatikan sebelumnya. Dia bukan sosok yang mendominasi percakapan, bukan juga orang yang suka menunjukkan diri. Tapi, semakin sering mereka menghabiskan waktu bersama, semakin Mira menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda.

    Sore itu, Mira dan Daffa sama-sama duduk di taman kampus, mengerjakan tugas masing-masing. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang menenangkan.

    “Kamu kenapa suka banget duduk di sini?” tanya Daffa tiba-tiba, mengangkat kepalanya dari layar laptop.

    Mira tersenyum kecil. “Aku suka suasananya. Rasanya tenang, nggak ribut kayak di kantin.”

    Daffa mengangguk paham. “Aku juga suka tenang. Tapi aku lebih suka duduk di sini karena ada kamu.”

    Mira terdiam. Bukan karena kaget, tapi karena dia merasa sesuatu dalam dirinya mulai bergeser. Daffa bukan hanya seseorang yang kebetulan ada di hidupnya. Dia selalu ada, tapi Mira baru benar-benar melihatnya sekarang.

    “Kenapa aku?” tanya Mira pelan.

    Daffa tersenyum, menatapnya dengan mata yang penuh ketulusan. “Karena kamu nggak pernah sadar betapa berharganya dirimu. Aku lihat caramu memperlakukan orang lain, cara kamu berjuang, cara kamu berusaha bahagia meskipun hatimu pernah terluka. Aku suka kamu, Mira.”

    Kata-kata itu menggema di kepala Mira. Dulu, dia pernah berharap mendengar kalimat itu dari seseorang yang lain. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Tidak ada ketidakpastian, tidak ada penantian tanpa arah. Yang ada hanyalah perasaan hangat yang perlahan menyelimuti hatinya.

    Mira menghela napas, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya. “Aku nggak tahu harus jawab apa…”

    Daffa mengangguk, seolah sudah memahami segalanya tanpa perlu penjelasan panjang. “Aku nggak minta kamu buru-buru, Mir. Aku cuma mau kamu tahu, kalau ada seseorang yang benar-benar melihatmu.”

    Mira menatapnya lama. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia menemukan seseorang yang tidak hanya hadir, tapi juga benar-benar ingin tinggal.

    Dan kali ini, dia tidak ingin menutup pintunya terlalu rapat.

Bab 10: Cinta yang Diterima dengan Terbuka

  • Rizky menyadari bahwa Mira telah berubah dan mulai melihatnya dengan cara yang berbeda. Namun, Mira kini tahu apa yang dia butuhkan: cinta yang tulus dan terbalas. Apakah Mira akan memilih untuk memberi kesempatan pada Rizky, atau membiarkan kisah cinta itu berakhir untuk selamanya?

  • Mira duduk di bangku kayu taman kampus, menatap langit senja yang mulai berubah warna. Cahaya jingga keemasan memantul di wajahnya, membawa kehangatan yang terasa berbeda kali ini. Sudah lama sejak terakhir kali ia merasa benar-benar damai.Di sampingnya, Daffa menyesap kopinya perlahan. Tidak ada percakapan, hanya kebersamaan yang terasa nyaman tanpa perlu banyak kata.

    Mira menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Aku dulu nggak pernah nyangka kalau akhirnya bakal ada seseorang yang bisa aku terima tanpa rasa takut.”

    Daffa menoleh, matanya menyiratkan ketenangan. “Aku juga nggak nyangka akhirnya aku berani ngomong langsung ke kamu.”

    Mira tertawa kecil. “Berarti kita sama-sama nggak nyangka.”

    Daffa ikut tersenyum, lalu meletakkan gelas kopinya di atas meja kecil di samping mereka. “Aku nggak mau buru-buru, Mir. Aku cuma mau kamu tahu kalau perasaan ini nggak akan berubah, bahkan kalau kamu masih butuh waktu.”

    Mira menatapnya. Tidak ada tekanan di sana, tidak ada ketakutan akan penolakan. Hanya seseorang yang benar-benar ingin tetap ada, tanpa harus meminta lebih dari apa yang bisa diberikan.

    Dan kali ini, Mira tahu, dia sudah cukup kuat untuk membiarkan seseorang masuk ke dalam hidupnya lagi.

    Dia mengulurkan tangannya, jemarinya menyentuh punggung tangan Daffa dengan lembut. “Aku nggak mau lagi menutup diri, Daffa. Aku ingin mencoba, kali ini tanpa ragu.”

    Daffa menatapnya dengan sorot mata hangat, lalu menggenggam tangannya dengan lembut. “Aku janji, aku akan selalu ada.”

    Di bawah langit senja yang mulai meredup, Mira tahu bahwa akhirnya dia menemukan cinta yang tidak perlu diperjuangkan sendirian. Cinta yang datang tanpa paksaan, tanpa rasa takut. Cinta yang diterima dengan hati yang terbuka.

Bab 11: Cinta yang Tak Pernah Pudar

  • Meskipun Mira telah menemukan kebahagiaan baru, perasaan cintanya terhadap Rizky tidak pernah benar-benar hilang. Akankah mereka berdua bisa menemukan jalan kembali bersama, atau akankah cinta mereka tetap menjadi kenangan yang tak pernah terbalas?

  • Mira berjalan di sepanjang trotoar kota dengan langkah pelan. Angin sore yang sejuk berhembus, membawa kenangan yang dulu pernah terasa menyakitkan, tapi kini hanya meninggalkan jejak rasa syukur. Sudah lama sejak hatinya merasa selega ini.Di sudut kafe tempatnya biasa menghabiskan waktu sendirian, Daffa sudah menunggunya. Senyuman itu masih sama—hangat, menenangkan, dan selalu berhasil membuat Mira merasa dihargai.

    “Aku hampir berpikir kamu nggak bakal datang,” ujar Daffa dengan nada bercanda, tapi ada sedikit kegelisahan di matanya.

    Mira tertawa kecil, lalu duduk di hadapannya. “Aku nggak akan sejauh itu menghindar dari kamu.”

    Daffa menghela napas lega. “Baguslah, karena aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”

    Mira menatap secangkir teh di depannya. “Daffa, aku pernah takut untuk percaya lagi. Aku takut kalau cinta itu hanya akan berakhir jadi luka. Tapi kamu—kamu nggak pernah pergi, bahkan saat aku mencoba mendorongmu menjauh.”

    Daffa tersenyum lembut. “Karena aku tahu, cinta itu nggak cuma tentang memiliki, Mir. Kadang, cinta adalah tentang tetap bertahan, meski harus memberi waktu.”

    Mata Mira terasa panas. Kali ini, bukan karena sakit, tapi karena haru. Dia ingat betapa dulu dirinya hampir menyerah untuk merasakan cinta lagi. Tapi Daffa tetap ada. Tidak memaksa, tidak menuntut, hanya menunggu dengan sabar sampai Mira siap.

    “Jadi…” Daffa mengusap tengkuknya, sedikit gugup. “Kamu masih mau jalan bareng aku? Bukan sebagai teman lagi, tapi…”

    Mira tersenyum, kali ini tanpa ragu. Jemarinya terulur, menyentuh tangan Daffa dengan lembut. “Aku nggak pernah benar-benar pergi dari kamu, Daffa. Aku cuma butuh waktu untuk menyadari kalau dari dulu, cinta yang aku cari sudah ada di depan mataku.”

    Daffa menggenggam tangan Mira, kali ini lebih erat. “Dan aku nggak akan pernah melepaskanmu.”

    Di bawah langit sore yang mulai meredup, cinta yang dulu pernah disangkal, akhirnya menemukan tempatnya. Tidak lagi tentang perjuangan sendirian, tapi tentang dua hati yang memilih untuk tetap bersama—cinta yang tak pernah pudar.


Tema Utama: Cinta tak terbalas, perjalanan menyembuhkan diri, dan mencari kebahagiaan sejati.

Karakter Utama:

  • Mira: Seorang wanita yang pernah patah hati, belajar untuk melepaskan dan menemukan cinta sejati.

  • Rizky: Pria yang tidak menyadari perasaan Mira, namun akhirnya menyadari arti cinta sejati.

Pesan Moral: Kadang, cinta memang tidak selalu terbalas, tapi itu bukan akhir dari segalanya. Proses untuk menerima kenyataan dan mencintai diri sendiri adalah kunci menuju kebahagiaan sejati.***

Source: MELDA
Tags: #cintasejatiAkhirBahagiaCintaYangTakPernahPudarRomansaTakTergantikan
Previous Post

CINTA YANG BERESMI DIUDARA

Next Post

KARMA CINTA YANG KAU ABAIKAN

Related Posts

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

May 13, 2025
JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

JODOHKU, SEMOGA BUKAN PHP

May 4, 2025
AKU CINTA, KAMU CUEK

AKU CINTA, KAMU CUEK

May 1, 2025
BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

BUCIN TAK KENAL AKAL SEHAT

April 30, 2025
PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

PERTEMUAN VIRTUAL YANG TAK TERDUGA

April 29, 2025
CINTA ATAU MIE INSTAN?

CINTA ATAU MIE INSTAN?

April 28, 2025
Next Post
KARMA CINTA YANG KAU ABAIKAN

KARMA CINTA YANG KAU ABAIKAN

Istri Orang, Kekasih Rahasiaku

Istri Orang, Kekasih Rahasiaku

“HANYA KAMU YANG PERTAMA DI HATIKU”

"HANYA KAMU YANG PERTAMA DI HATIKU"

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id