Daftar Isi
BAB 1: Pertemuan Tak Terduga
Ceritakan pertemuan pertama setelah waktu yang lama, bisa di sebuah acara atau situasi tak terduga yang mempertemukan mereka kembali. Ini adalah momen kunci yang membuka kembali kenangan lama dan perasaan yang belum selesai.
Fokus pada karakter protagonis (Dira atau Rian) yang sedang menjalani hidupnya saat ini. Tunjukkan konflik internal mereka, seperti kesibukan, ketidakpastian, atau rasa rindu yang disembunyikan.
Di tengah suasana reuni, Dira bertemu kembali dengan Rian. Mereka tidak menyangka bahwa pertemuan ini akan membuka pintu masa lalu yang sempat terkunci rapat.
Alya memandangi layar ponselnya dengan mata setengah terpejam, mencoba untuk memfokuskan diri pada pesan yang baru saja masuk. Suara dering notifikasi dari aplikasi pesan instan itu terdengar lagi, kali ini dari nomor yang tidak dikenalnya. Penasaran, ia membuka pesan itu dengan ragu. Terkadang, ada beberapa pesan yang datang dari orang-orang yang ingin menawarkan pekerjaan, atau bahkan sekadar spam. Tapi ini berbeda.
“Alya, kita harus bertemu.”
Pesan itu singkat, tanpa salam atau penjelasan lebih lanjut. Nama pengirimnya muncul di atasnya: Rangga.
Rangga? Siapa dia?
Alya mengerutkan kening. Sudah lama sekali ia tidak mendengar nama itu, bahkan mungkin sudah lebih dari tiga tahun. Rangga adalah teman lama, seseorang yang ia kenal di sebuah acara pelatihan penulisan saat dia masih di bangku kuliah. Mereka tidak begitu dekat, hanya sekadar teman yang berbicara sepintas tentang impian dan harapan masa depan, tentang cita-cita yang sama namun tak pernah benar-benar mewujudkan sesuatu bersama.
Namun, pesan itu… entah kenapa, memunculkan rasa rindu yang tidak bisa dijelaskan. Rangga selalu punya cara untuk membuatnya merasa nyaman. Mungkin itu karena percakapan mereka dulu selalu mengalir begitu alami, tanpa ada kesan terburu-buru. Setelah acara itu, mereka sempat berbicara sekali dua kali, namun kemudian saling menghilang begitu saja dalam keseharian masing-masing.
Ragu, Alya pun mengetik balasan.
“Rangga? Lama nggak denger kabar. Kenapa? Ada apa?”
Tak lama setelah itu, pesan masuk kembali. Kali ini, tidak ada kata-kata yang terlambat. Hanya ada sebuah tautan video dan pesan singkat.
“Aku akan jelaskan nanti. Klik video ini. Jangan khawatir.”
Alya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ada rasa penasaran yang datang bersama kecemasan yang tidak bisa ditangkal. Tanpa berpikir panjang, ia mengklik video itu.
Beberapa detik berlalu, dan layar ponselnya menampilkan wajah seorang pria yang sangat familiar. Itu Rangga. Namun, yang membuat Alya terkejut adalah tatapan matanya yang berbeda—seakan ada sesuatu yang lebih mendalam, lebih serius dari yang ia kenal dulu. Rangga terlihat lebih dewasa, lebih matang. Matanya yang dulu tampak ceria kini tampak penuh teka-teki.
“Hey, Alya,” suara Rangga terdengar. “Maaf kalau tiba-tiba menghubungi kamu. Aku tahu kita nggak pernah benar-benar saling menjaga komunikasi setelah acara itu, tapi ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan.”
Alya menunggu, berusaha menangkap setiap kata yang diucapkan Rangga. Video itu terus berjalan, memperlihatkan Rangga yang duduk di sebuah ruang yang tampaknya adalah ruang kerjanya. Di belakangnya, terlihat beberapa tumpukan buku dan laptop yang menyala. Ketika Rangga melanjutkan, suara di latar belakang terpotong, dan dia kembali berbicara.
“Jadi begini, Alya. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku baru saja mendapatkan tawaran pekerjaan di luar negeri—lebih tepatnya, di Jepang. Dan aku… aku ingin mengajakmu ke sana.”
Alya tercengang. Jantungnya berdegup kencang. Mengajak ke Jepang? Dia tidak mengerti apa yang Rangga maksudkan. Mereka belum pernah berbicara serius, bahkan dulu saat acara pelatihan pun obrolan mereka masih seputar hal-hal yang lebih ringan. Apa yang terjadi sekarang?
“Dengar, Alya… ini bukan hanya soal pekerjaan,” suara Rangga terdengar lagi. “Ada banyak hal yang aku harus bicarakan denganmu, tentang masa lalu kita, tentang kita yang tidak pernah selesai… Aku harap kamu bisa datang dan bertemu dengan aku.”
Alya terdiam. Perasaannya campur aduk. Dia sudah lama sekali tidak mendengar kabar tentang Rangga. Kehidupannya kini jauh berbeda—selalu sibuk dengan pekerjaannya, berusaha meraih tujuan hidupnya sendiri. Lalu mengapa Rangga tiba-tiba datang kembali setelah bertahun-tahun?
Tanpa sadar, jemarinya mulai mengetik sebuah pesan balasan.
“Aku nggak tahu apa maksud kamu, Rangga. Ini terlalu mendadak. Kita nggak pernah…”
Namun, sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, pesan itu langsung terkirim, dan video pun terhenti. Tampak Rangga menatapnya dengan penuh harap.
“Pikirkan baik-baik, Alya. Ini bukan sekadar undangan. Aku ingin kita mengatasi semua yang belum selesai antara kita.”
Pesan terakhir itu terhapus, dan tiba-tiba layar ponsel Alya kembali gelap. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak ada alasan kenapa Rangga ingin mengundangnya ke Jepang, atau apa yang terjadi dengan hidupnya sejak terakhir kali mereka bertemu.
Alya terdiam. Suasana di sekelilingnya seakan berubah menjadi sunyi. Pikiran-pikiran liar mulai bermunculan—tentang Rangga, tentang masa lalu mereka, dan tentang kemungkinan yang bahkan belum bisa ia bayangkan. Mengapa sekarang? Mengapa tidak dulu?
Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali berdering. Alya menatap layar ponsel, matanya masih belum bisa fokus sepenuhnya.
Terkadang, takdir memang datang dengan cara yang tak terduga. Dan pertemuan yang awalnya terasa seperti sebuah kebetulan, bisa saja menjadi awal dari perjalanan yang lebih besar.
Pagi itu, Alya merasa seperti dunia berputar lebih cepat dari biasanya. Setiap kali ia mencoba berkonsentrasi pada pekerjaannya, pikirannya justru kembali kepada pesan dari Rangga yang ia terima semalam. Sesuatu tentang tawaran pekerjaan di luar negeri, dan yang lebih penting, sesuatu yang belum selesai di antara mereka. Apa yang dimaksud Rangga dengan kata-kata itu? Apa yang harus ia pikirkan?
Setelah berjam-jam merenung, Alya memutuskan untuk membuka kembali pesan dari Rangga. Ia menatap layar ponselnya, mencoba mencari jawaban. Namun, tak ada pesan baru. Hanya video yang telah dia tonton semalam. Alya merasa ragu. Di satu sisi, ia merasa tak ada salahnya mencoba menghubungi Rangga untuk mencari kejelasan, tapi di sisi lain, ia juga merasa takut untuk membuka pintu masa lalu yang sudah lama ia tutup.
Tiga tahun. Sudah tiga tahun sejak terakhir kali mereka berbicara, sejak acara pelatihan penulisan yang seharusnya menjadi titik awal bagi sebuah persahabatan yang lebih dalam. Namun, setelah itu, segalanya berubah. Alya terfokus pada kariernya, mengikuti berbagai pelatihan lain, mencari pengalaman, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan penerbitan buku ternama di Jakarta. Sementara Rangga, dia ingat, berjuang dengan usahanya sendiri. Tidak ada kabar, tidak ada pesan, hanya kenangan yang perlahan memudar.
“Dengar, Alya… aku ingin kita mengatasi semua yang belum selesai antara kita.”
Kata-kata Rangga terus bergema di kepala Alya. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan, campuran antara ketidakpastian dan kerinduan yang sudah lama ia kubur. Tanpa sadar, ia menekan tombol telepon dan memanggil nomor Rangga.
Tunggu. Tunggu dulu. Apa yang sedang ia lakukan? Bagaimana kalau Rangga sudah melupakan semuanya? Bagaimana jika ia sudah punya kehidupan sendiri di luar sana?
Namun, telepon tetap berdering. Dalam beberapa detik, suara Rangga terdengar di ujung sana, suara yang tenang, tetapi juga penuh dengan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
“Hallo?” suaranya terdengar agak ragu.
“Apa yang kamu maksud dengan ‘belum selesai’, Rangga?” suara Alya terputus-putus. Ia tidak bisa menyembunyikan ketegangan dalam suaranya.
“Alya…” Rangga terdengar menghela napas. “Aku tahu ini semua mendadak, dan mungkin bikin kamu bingung. Aku juga nggak bisa menjelaskan semuanya lewat pesan, jadi… aku pikir kita harus bicara langsung.”
Alya memijat pelipisnya. “Langsung? Kenapa harus bertemu? Kenapa harus ke Jepang?”
Rangga diam sejenak. Alya bisa mendengar suara napasnya yang dalam, seperti sedang berusaha menata kata-kata yang tepat.
“Ini lebih dari sekadar pekerjaan, Alya,” akhirnya Rangga berkata dengan serius. “Ini tentang kita. Dan aku rasa, kamu juga sudah merasa ada sesuatu yang mengganjal antara kita.”
“Rangga, aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan,” jawab Alya dengan cemas. “Kita nggak pernah… kita nggak pernah punya apa-apa lebih dari sekadar teman, kan? Dan tiba-tiba kamu menghubungi aku setelah bertahun-tahun, dan kamu bilang ada yang ‘belum selesai’? Itu nggak masuk akal.”
“Alya,” suara Rangga terdengar lebih lembut. “Aku sadar, waktu itu aku nggak cukup berani untuk membuka hati. Aku pikir kamu nggak merasa sama seperti aku. Tapi setelah waktu berlalu, aku sadar… aku salah. Aku seharusnya tidak membiarkan kamu pergi tanpa mengatakan apa-apa.”
Ada keheningan yang panjang di antara mereka. Alya merasa seluruh tubuhnya membeku. Apa yang sebenarnya Rangga coba katakan? Perasaannya terhadapnya? Apakah selama ini ada hal yang tidak pernah ia ketahui?
“Aku pikir kita harus bicara lebih jelas, Alya. Bisa nggak kamu datang ke Tokyo?” Rangga melanjutkan, nada suaranya sedikit memelas. “Aku nggak akan memaksamu. Tapi aku ingin memberi penjelasan. Dan… kalau kamu masih ada sedikit ruang untukku di hidupmu, mungkin kita bisa mulai dari sana.”
Alya menggigit bibir bawahnya. Hatinya dipenuhi keraguan, tetapi di sisi lain, ada perasaan yang sulit dijelaskan—sebuah dorongan yang memaksanya untuk menyetujui tawaran ini, meskipun itu berarti membuka kembali luka lama yang belum sempat sembuh.
“Baik,” jawab Alya pelan. “Aku akan datang. Tapi aku minta penjelasan yang jelas, Rangga. Jangan membuat aku bingung lagi.”
“Terima kasih, Alya,” Rangga berkata dengan suara yang penuh haru. “Aku janji, aku akan menjelaskan semuanya.”
Satu minggu kemudian, Alya menemukan dirinya berada di bandara Soekarno-Hatta, menunggu penerbangan menuju Tokyo. Dia tidak pernah membayangkan akan melakukan perjalanan seperti ini. Jepang? Bahkan sekarang, ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah tiba di sana. Apakah ia akan menyesal? Apakah perasaan yang dulu pernah ada akan kembali? Dan yang lebih penting, apakah Rangga benar-benar bisa memberinya penjelasan yang dia cari?
Alya menatap layar ponselnya sekali lagi, mencari tahu apakah ada kabar terbaru dari Rangga. Tidak ada pesan baru. Sepertinya Rangga lebih memilih untuk menjaga jarak sampai mereka bertemu langsung.
Sesampainya di Bandara Narita, Tokyo, Alya merasakan perasaan campur aduk yang semakin menguat. Setiap sudut kota ini terasa asing baginya, tetapi juga menarik dengan segala keunikannya. Tentu saja, dia tahu bahwa kota ini jauh berbeda dengan Jakarta yang selalu ramai dan penuh dengan kesibukan. Di Tokyo, segala sesuatu terasa lebih teratur dan tenang—sebuah kenyamanan yang justru membuatnya merasa semakin cemas.
Rangga menghubunginya beberapa kali selama penerbangan, mengingatkan Alya untuk tidak khawatir dan mengatakan bahwa dia akan menjemputnya di bandara. Namun, perasaan cemas Alya tak bisa begitu saja hilang.
Setibanya di pintu keluar, dia melihat seorang pria tinggi dengan jaket hitam dan ransel besar, berdiri di dekat pintu kedatangan internasional. Alya mengenali wajah itu meski ada banyak perubahan. Rangga kini tampak lebih dewasa, lebih serius, dan sedikit lebih kurus daripada yang ia ingat. Matanya, yang dulu penuh semangat, kini tampak lebih dalam, seperti menyimpan banyak cerita.
Rangga tersenyum ketika melihat Alya, senyum yang hangat dan penuh arti. “Alya, akhirnya kamu datang,” katanya, melangkah mendekat.
“Aku datang. Tapi jangan buat aku menyesal, ya,” jawab Alya, sedikit cemas tetapi berusaha menyembunyikan perasaannya.
Rangga tertawa pelan. “Aku janji. Ayo, kita bicara di tempat yang lebih tenang.”
Alya mengangguk, lalu mereka berjalan keluar dari bandara bersama-sama, menuju dunia yang sangat berbeda dari yang pernah mereka kenal sebelumnya.
Setelah beberapa jam, mereka akhirnya tiba di sebuah kafe kecil di pusat kota Tokyo. Rangga memesan kopi untuk mereka berdua, dan suasana yang semula canggung perlahan mencair. Alya merasa sedikit lebih nyaman, meskipun hatinya masih penuh dengan tanda tanya besar.
Rangga memulai pembicaraan. “Alya, aku tahu ini semua aneh dan nggak mudah untuk dijelaskan. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa selama ini aku selalu memikirkanmu, bahkan setelah kita berpisah. Mungkin aku nggak cukup berani waktu itu untuk mengungkapkan perasaan sebenarnya.”
Alya menatap Rangga, masih bingung dengan apa yang dia dengar. “Perasaan? Maksudmu, selama ini kamu…?”
Rangga mengangguk, matanya tak lepas dari mata Alya. “Ya, aku mencintaimu, Alya. Sejak pertama kali kita bertemu. Tapi aku nggak pernah punya keberanian untuk mengatakannya.”
Alya terdiam, kata-kata itu bagaikan petir yang menggetarkan seluruh tubuhnya. Cinta? Rangga? Tapi bagaimana bisa? Dan mengapa sekarang, setelah bertahun-tahun?
Suasana menjadi hening sejenak, masing-masing merenung dalam pikiran mereka sendiri. Perasaan yang terpendam selama ini, yang akhirnya datang kembali setelah waktu yang begitu lama.
BAB 2: Kenangan yang Tak Pernah Lenyap
Bab ini bisa berisi kilas balik yang menggambarkan hubungan mereka sebelumnya, kenangan indah, atau kenapa mereka berpisah. Ini penting untuk membangun pemahaman pembaca tentang hubungan yang pernah ada.
Mulai menunjukkan adanya ketegangan dalam pertemuan mereka, seperti perasaan yang belum terselesaikan atau ketidakpastian tentang perasaan masing-masing.
Contoh: Dira masih ingat bagaimana Rian adalah pria pertama yang membuatnya merasa berarti. Tapi kenapa mereka berpisah? Rian diam, seolah ada rahasia yang belum terungkap
Setelah pertemuan mereka yang penuh ketegangan di kafe Tokyo, Alya merasa seperti ada sesuatu yang perlahan-lahan berubah dalam dirinya. Rangga, pria yang dulunya hanya teman biasa, kini telah membuka pintu yang sudah lama ia tutup rapat-rapat. Ada sesuatu yang aneh, namun pada saat yang sama, terasa begitu familiar. Sesuatu yang dalam, sesuatu yang penuh dengan kenangan lama.
Alya mengatur napasnya. Mereka duduk berseberangan, secangkir kopi hangat di tangan masing-masing. Meskipun pertemuan ini semula terasa canggung, suasana mulai mencair sedikit demi sedikit, seiring dengan percakapan mereka yang mulai lebih mengalir. Namun, dalam hati Alya, perasaan aneh itu tetap ada. Ada perasaan yang sudah lama ia abaikan, yang kini tiba-tiba muncul kembali seperti sebuah bayangan dari masa lalu.
“Kamu benar-benar sudah lama menghilang,” kata Alya, mencoba memecah keheningan yang mulai menggelayuti mereka. “Setelah pelatihan penulisan itu, aku nggak pernah dengar kabar dari kamu. Kenapa? Apa yang terjadi?”
Rangga mengangkat kedua bahunya dengan ragu. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah jalanan Tokyo yang sibuk. “Aku… aku pergi mencari pekerjaan. Pekerjaan yang nggak ada hubungannya dengan menulis. Aku sempat bekerja di beberapa perusahaan, mencoba untuk membangun sesuatu. Tapi kamu tahu, hidup itu nggak pernah berjalan seperti yang kita rencanakan, kan?”
Alya mengangguk pelan. “Iya, aku tahu. Aku juga merasa begitu. Terkadang hidup seperti memberi kita arah yang tak pernah kita bayangkan.”
Rangga menatapnya, dan dalam sekejap, seolah ada dunia lain yang terbuka antara mereka. Dunia yang penuh dengan kenangan. Dunia yang membuat mereka terdiam, membiarkan waktu seolah berhenti sejenak.
“Dulu, waktu kita masih sering ngobrol tentang cita-cita, tentang apa yang ingin kita capai…” Rangga melanjutkan, suaranya pelan. “Aku selalu merasa ada sesuatu yang belum selesai di antara kita. Seperti… aku nggak pernah berani melangkah lebih jauh, dan kamu juga sepertinya nggak pernah memberi petunjuk.”
Alya menunduk, mengingat kembali masa-masa itu. Mereka sering duduk bersama, berbicara tentang masa depan. Kadang bercanda, kadang serius. Mereka memiliki mimpi yang sama—ingin menjadi penulis, ingin menciptakan sesuatu yang berarti, sesuatu yang bisa menginspirasi. Namun, di balik semua obrolan itu, Alya selalu merasakan ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tak terucapkan.
“Aku ingat, dulu kamu pernah bilang kalau kamu ingin menulis buku tentang cinta,” kata Alya, berusaha membawa percakapan kembali ke kenangan masa lalu. “Kamu bilang, kamu ingin menulis tentang perasaan yang tak terucapkan, tentang cinta yang terpendam.”
Rangga tersenyum tipis. “Iya, aku ingat. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku lebih banyak menulis untuk orang lain. Menulis artikel, menulis laporan, segala hal yang tak berhubungan dengan apa yang benar-benar aku inginkan.”
Alya bisa merasakan kehangatan dalam suara Rangga, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Kenangan-kenangan itu datang begitu saja, seperti hujan yang tiba-tiba turun di tengah terik matahari. Mereka berdua tidak bisa menghindar dari perasaan itu. Perasaan yang sudah lama terpendam, yang kini kembali menyeruak keluar.
Kenangan tentang malam-malam itu. Malam-malam di mana mereka duduk bersama di taman kampus, berbicara tentang segala hal, tentang impian, tentang cinta. Kenangan tentang senyum Rangga yang selalu mampu membuat hatinya berdebar, kenangan tentang tawa mereka yang tak pernah berakhir.
“Kamu tahu, Rangga,” Alya berkata pelan, “aku selalu merasa kalau kita punya banyak hal yang tidak pernah terucapkan. Dan itu… membuat aku takut. Aku takut kalau kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang kita inginkan.”
Rangga menatapnya dengan serius. “Alya, aku tahu ini tidak mudah. Tapi, ada yang ingin aku katakan. Sesuatu yang sudah lama aku simpan.”
“Apa itu?” Alya bertanya, matanya mulai berkaca-kaca. Ada rasa khawatir yang mulai menghampiri, tetapi juga rasa ingin tahu yang tak bisa ia hindari.
“Alya,” Rangga memulai, suaranya bergetar, “aku selalu mencintaimu. Selama ini, aku selalu mencintaimu. Dan aku… aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya waktu itu. Aku takut, aku takut jika aku mengatakannya, itu akan merusak segalanya.”
Alya terdiam, seolah kata-kata itu baru saja membekukan seluruh tubuhnya. Cinta. Rangga mencintainya. Apa artinya itu? Apa yang harus ia rasakan?
Perasaan itu datang begitu saja, meluncur seperti aliran sungai yang tak bisa dibendung. Alya tidak tahu apakah ia siap untuk menerima kenyataan itu. Kenyataan bahwa perasaan yang ia coba hindari selama ini, ternyata juga dirasakan oleh Rangga.
“Kenapa sekarang, Rangga?” akhirnya Alya bertanya, suaranya hampir tak terdengar. “Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?”
Rangga menghela napas panjang. “Karena aku baru sadar, Alya. Aku baru sadar kalau hidup terlalu singkat untuk terus menyimpan perasaan yang tak pernah kita ungkapkan. Aku ingin memberi kita kesempatan untuk melihat apa yang bisa terjadi, kalau kita mulai dari sini. Dari titik ini.”
Alya terdiam. Setiap kata Rangga bagaikan guntur yang menggelegar di dalam hatinya. Apa yang ia rasakan? Apakah ia juga mencintai Rangga seperti yang ia rasakan dulu? Atau apakah ini hanya kenangan yang melayang di atas permukaan, hanya untuk menambah kebingungannya?
“Rangga…” Alya melanjutkan, “Aku tidak tahu harus berkata apa. Tiga tahun lalu, kita seperti berada di dua dunia yang berbeda. Aku selalu sibuk dengan karierku, dan kamu… kamu selalu mengejar impianmu. Aku merasa seperti kita terlalu berbeda. Dan sekarang, kamu datang dengan perasaan ini.”
Rangga mengangguk pelan. “Aku tahu, dan aku minta maaf kalau itu membuat kamu merasa terjebak. Tapi aku ingin kita mencoba lagi, Alya. Aku ingin kita mulai dengan kejujuran. Aku tahu ini nggak akan mudah. Aku tahu ada banyak hal yang harus kita hadapi, tapi aku percaya kita bisa melakukannya.”
Alya menundukkan kepala, menatap cangkir kopinya yang mulai dingin. Ada begitu banyak perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Takut. Ragu. Cemas. Tetapi di balik itu semua, ada juga perasaan yang tak bisa ia ingkari. Perasaan yang sudah lama terkubur.
Kenangan itu kembali hadir. Kenangan tentang Rangga yang selalu ada saat ia merasa terpuruk, kenangan tentang kata-kata manis yang tak pernah sempat diucapkan, kenangan tentang tatapan mata Rangga yang selalu bisa membuatnya merasa aman. Semua itu seakan datang dengan kekuatan yang tak bisa ia hindari.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Rangga,” Alya berkata akhirnya, suaranya hampir putus. “Tapi aku rasa… aku ingin memberi kita kesempatan. Sebuah kesempatan untuk melihat apa yang bisa terjadi, tanpa harus takut akan masa lalu kita.”
Rangga tersenyum, dan senyum itu adalah senyum yang penuh dengan harapan. “Aku tidak akan pernah membuat kamu menyesal, Alya. Aku janji.”
Dan di tengah kota Tokyo yang sibuk itu, mereka mulai membuka lembaran baru. Lembaran yang penuh dengan kenangan, tetapi juga penuh dengan harapan untuk masa depan.
Setelah percakapan itu, Tokyo terasa seperti kota yang asing bagi Alya. Ia merasa terombang-ambing di antara perasaan yang sulit dijelaskan. Ada bagian dari dirinya yang merasa seperti mimpi—pertemuan dengan Rangga setelah bertahun-tahun, pembukaan perasaan yang selama ini terkubur, semuanya terasa begitu tiba-tiba. Tapi di sisi lain, ia merasa seperti ada beban yang terangkat, seolah sebuah rahasia yang telah lama terkunci akhirnya ditemukan.
Malam itu, setelah mereka berbicara di kafe kecil yang tenang, Rangga mengajak Alya berjalan-jalan di sekitar Shibuya. Suasana malam Tokyo yang sibuk dan penuh dengan cahaya neon memberi kesan yang aneh—sebuah kontras yang tajam antara kedekatan yang mereka rasakan dan hiruk-pikuk dunia di sekitar mereka. Namun, semakin lama mereka berjalan bersama, semakin Alya merasa nyaman, meskipun pikirannya masih terombang-ambing.
“Alya,” Rangga mulai, setelah beberapa saat berjalan tanpa bicara, “Aku sadar selama ini aku sering kali menghindar dari kenyataan. Dulu, aku nggak berani bilang kalau aku punya perasaan lebih dari sekadar teman terhadapmu. Dan sekarang, setelah semuanya berjalan, aku… aku nggak mau menunggu lagi.”
Alya berjalan di samping Rangga, menatap keramaian di sekitar mereka tanpa benar-benar melihatnya. Kakinya bergerak tanpa berpikir. Pikiran-pikiran yang datang begitu cepat—mencari jawaban, mencari pemahaman—membuat hatinya berdebar lebih cepat dari yang ia inginkan.
“Kamu tahu, Rangga,” Alya memulai, suaranya pelan, namun tegas. “Aku nggak tahu apakah aku bisa kembali seperti dulu. Ada banyak hal yang sudah berubah. Aku juga nggak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kita sudah lama tidak berkomunikasi. Itu bukan hal yang mudah.”
Rangga berhenti sejenak dan menatap Alya dengan penuh perhatian. “Aku tahu, Alya. Dan aku nggak mengharapkan kamu langsung bisa menerima semuanya. Aku cuma ingin kamu tahu, kalau aku benar-benar ingin memulai lagi. Dengan cara yang berbeda.”
“Apa maksudmu dengan ‘memulai lagi’?” tanya Alya, meski dirinya merasa ragu-ragu. Hatinya berdebar, dan entah mengapa ia merasa cemas meski suara Rangga terdengar penuh dengan harapan.
“Memulai dari awal, seperti kita pertama kali bertemu,” jawab Rangga, senyum tipis di wajahnya. “Mungkin lebih baik kita tidak terburu-buru. Kita lihat bagaimana perasaan ini berkembang. Mungkin ini kesempatan untuk benar-benar mengenal satu sama lain lebih dalam. Kita nggak perlu langsung memutuskan sesuatu sekarang. Aku hanya ingin memberi kesempatan untuk melihat apa yang bisa terjadi.”
Alya terdiam. Benar juga. Mungkin selama ini ia terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan, terlalu terjebak dalam rutinitasnya. Dan Rangga, yang kini berdiri di sampingnya, menawarkan kesempatan untuk melihat segalanya dari sudut pandang yang berbeda. Tapi, apakah ia siap untuk mengambil langkah itu? Menerima perasaan yang sudah lama terpendam? Atau justru memilih untuk tetap berjalan di jalannya yang sudah lebih pasti?
Namun, meskipun ada keraguan, Alya merasa ada bagian dari dirinya yang ingin percaya. Mungkin inilah yang disebut dengan kesempatan kedua. Mungkin inilah cara hidup untuk memberi mereka jalan yang baru. Setidaknya, ia bisa memberi Rangga dan dirinya kesempatan untuk mencoba.
Esok harinya, setelah beristirahat di hotel kecil yang nyaman, Rangga mengajak Alya untuk berkeliling kota. Mereka mengunjungi berbagai tempat—dari taman yang tenang di Ueno, ke pasar tradisional di Asakusa, hingga melewati jembatan yang menghubungkan distrik Shinjuku yang sibuk. Setiap tempat yang mereka kunjungi seolah memberi Alya ruang untuk berpikir dan merenung. Tidak ada tuntutan, tidak ada ekspektasi yang tinggi. Hanya ada mereka berdua, berbicara tentang segala hal yang terasa ringan namun penuh makna.
Saat mereka duduk di sebuah taman kecil di kawasan Ueno, Alya merasa lebih tenang. Ada kesejukan di udara Tokyo pagi itu, dan suara angin yang berdesir di antara pepohonan memberikan rasa damai yang jarang ia rasakan di Jakarta. Ia menatap Rangga yang duduk di sampingnya, wajahnya lebih rileks dan tampak lebih cerah.
“Alya,” Rangga membuka pembicaraan, “Aku nggak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi dalam hidup kamu setelah kita berpisah. Tapi, aku tahu satu hal—aku nggak bisa melupakan kamu begitu saja.”
Alya menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Ia tidak bisa menafikan bahwa perasaan itu memang pernah ada, bahkan mungkin masih ada. Namun, mengungkapkan perasaan itu sekarang, setelah bertahun-tahun, terasa seperti melangkah ke dalam sesuatu yang sangat besar dan rumit.
“Aku tahu kita sudah lama tidak berkomunikasi,” lanjut Rangga. “Tapi aku percaya, kadang-kadang kita perlu kehilangan sesuatu untuk menyadari betapa berharganya hal itu. Aku merasa seperti itu dengan kamu.”
Alya memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Aku juga merasa begitu, Rangga. Tapi… ada banyak hal yang sudah berubah. Aku nggak bisa hanya kembali begitu saja tanpa memikirkan segala konsekuensinya.”
Rangga mengangguk, mengerti betul keraguan yang muncul dalam diri Alya. “Aku tahu. Aku cuma nggak mau menunggu lebih lama lagi, Alya. Waktu itu seperti terbuang sia-sia kalau kita nggak memberi kesempatan untuk sesuatu yang lebih. Aku cuma berharap kita bisa memberi diri kita sendiri kesempatan untuk mencoba.”
Alya menunduk, menatap tangannya yang terlipat di atas pangkuan. Ada banyak kenangan yang kembali muncul. Kenangan tentang mereka yang dulu masih muda, penuh harapan dan impian. Kenangan tentang saat-saat sederhana yang mereka habiskan bersama. Dan kenangan tentang kata-kata yang tidak pernah diucapkan. Bagaimana mereka bisa terpisah begitu lama, tanpa benar-benar tahu apa yang hilang di antara mereka?
“Aku nggak pernah benar-benar mengerti kenapa kita bisa terpisah, Rangga,” kata Alya akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Tapi aku juga nggak bisa menolak perasaan yang aku rasakan sekarang. Aku masih ingat bagaimana dulu kita bisa berbicara berjam-jam tanpa merasa lelah. Kita bisa saling mengerti tanpa perlu banyak kata.”
“Karena kita pernah terhubung dengan cara yang berbeda,” jawab Rangga pelan. “Kadang-kadang, ketika dua orang saling terhubung, itu bukan hanya tentang kata-kata. Itu tentang apa yang ada di dalam hati mereka. Aku rasa, kita berdua tahu itu.”
Alya mengangkat wajahnya, dan matanya bertemu dengan mata Rangga. Ada kehangatan di sana. Ada kenyamanan yang sulit dijelaskan, seolah waktu kembali memutar, membawa mereka kembali ke masa-masa ketika semuanya terasa lebih sederhana.
Hari itu, setelah berjalan seharian, Rangga mengajak Alya untuk makan malam di sebuah restoran kecil dengan pemandangan indah ke kota Tokyo yang gemerlap. Suasana restoran itu begitu romantis, dengan lampu-lampu lembut yang memberikan cahaya hangat pada setiap sudut ruangan. Mereka duduk di meja kecil, saling berhadapan, sementara pelayan menyajikan makanan dengan penuh perhatian.
Selama makan malam, percakapan mereka mengalir dengan lancar, seolah-olah tidak ada jarak waktu yang memisahkan mereka. Alya mulai merasa lebih nyaman, lebih terbuka. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang impian yang mungkin bisa dicapai bersama, tentang hal-hal kecil yang selama ini mereka lewatkan.
Tapi, pada satu titik, Rangga tiba-tiba berhenti berbicara dan menatap Alya dengan serius. “Alya,” katanya pelan, “Aku nggak akan memaksa kamu untuk melakukan sesuatu yang kamu nggak siap lakukan. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ingin kamu dalam hidupku. Kalau kamu masih ragu, aku akan menunggu. Tapi aku ingin kamu tahu, perasaan ini… nggak akan pernah lenyap.”
Alya menatap Rangga, matanya berkaca-kaca. Ia merasa seperti dihantam gelombang perasaan yang begitu besar. Keinginan untuk bergerak maju, tetapi di saat yang sama, ketakutan akan kemungkinan kehilangan kembali. Ini bukanlah hal yang mudah.
“Tapi aku nggak bisa janjikan apa-apa sekarang, Rangga,” jawab Alya, suara hampir hilang. “Aku hanya butuh waktu.”
Rangga mengangguk pelan, senyum tipis di wajahnya. “Aku tahu. Dan aku nggak akan pergi ke mana-mana. Aku akan menunggu, Alya.”
Pada malam yang tenang itu, di bawah langit Tokyo yang penuh bintang, Alya merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Mungkin ini adalah awal dari perjalanan panjang mereka berdua. Sebuah perjalanan yang penuh dengan
BAB 3: Awal yang Kembali Terganggu
Dira dan Rian mulai berinteraksi lebih intens, saling bertukar cerita tentang kehidupan mereka selama bertahun-tahun ini. Mereka merasa ada perasaan yang belum hilang, tetapi mereka juga merasakan ada penghalang.
Mungkin ada ketegangan dari pihak keluarga, pekerjaan, atau kesalahpahaman yang muncul antara mereka. Ini akan menambah tantangan untuk hubungan mereka berkembang.
Contoh: Rian mulai muncul dalam kehidupan Dira lebih sering, tapi setiap kali mereka mulai dekat, ada rasa takut bahwa masa lalu mereka belum selesai dan bisa mengulang kesalahan yang sama.
Hari-hari setelah pertemuan mereka di Tokyo, segala sesuatu terasa seperti mimpi yang berjalan lambat. Alya dan Rangga mulai berkomunikasi lebih sering. Meski jarak masih menjadi halangan utama, mereka berusaha menjaga hubungan mereka. Pesan-pesan singkat di tengah kesibukan, video call di malam hari, dan percakapan singkat saat makan siang—semua itu membawa mereka lebih dekat. Namun, meskipun ada usaha untuk kembali saling mengenal dan merajut benang-benang hubungan yang telah lama terputus, ada hal-hal yang sulit diabaikan.
Alya merasa bingung. Ia sudah lama berusaha melepaskan masa lalunya dan fokus pada kariernya. Tetapi saat Rangga kembali hadir dalam hidupnya, segala sesuatu yang ia kira sudah terlupakan, kembali terbangun. Ada kenangan yang ingin ia sembunyikan, ada luka yang belum sepenuhnya sembuh. Apakah ia benar-benar siap untuk kembali membuka hatinya? Ataukah ia hanya terjebak dalam nostalgia tentang siapa Rangga di masa lalu?
Hari itu, setelah seminggu penuh dengan pesan-pesan manis dan percakapan yang hangat, Rangga mengajaknya untuk bertemu. Tidak ada acara besar, hanya sekedar makan malam sederhana di sebuah restoran yang mereka pilih bersama. Meskipun begitu, bagi Alya, setiap pertemuan dengan Rangga selalu terasa seperti ujian.
Malam itu, langit Jakarta cerah, dengan angin sepoi-sepoi yang menyentuh wajah Alya saat ia keluar dari mobil. Di restoran, Rangga sudah menunggu di meja yang telah mereka pesan sebelumnya. Alya bisa melihat ekspresi penuh harapan di wajahnya, namun di dalam hati, ia merasa ragu. Ada sesuatu yang belum selesai. Ada bagian dari dirinya yang takut untuk melangkah terlalu jauh, terlalu cepat.
“Hey,” Rangga menyapa dengan senyuman, berdiri saat Alya datang mendekat. “Kamu terlihat luar biasa malam ini.”
Alya tersenyum tipis. “Terima kasih, Rangga.” Mereka saling duduk dan mulai membuka menu. Atmosfer yang hangat dari lampu-lampu redup di restoran memberikan perasaan nyaman, namun Alya masih merasakan ketegangan yang mengendap.
Setelah beberapa menit, Rangga membuka percakapan. “Aku nggak tahu apa yang kamu rasakan sekarang, Alya. Tapi aku merasa… aku merasa kita sudah berada di jalur yang benar. Kapan pun kamu siap untuk melangkah lebih jauh, aku akan ada di sini.”
Alya menatapnya, merasa sedikit terkejut dengan keterbukaan Rangga. Ia ingin menjawab, tapi kata-kata itu tidak datang begitu saja. Ada bagian dari dirinya yang ingin berlari, dan ada bagian lain yang ingin percaya bahwa kali ini mereka bisa mencoba lagi, tanpa ada keraguan.
“Saya nggak tahu, Rangga,” jawabnya akhirnya, suara pelan. “Aku merasa… bingung. Ada banyak hal yang harus aku pikirkan.”
Rangga mengangguk dengan bijak, meskipun ada sedikit kekecewaan di matanya. “Aku mengerti, Alya. Aku nggak ingin membuat kamu merasa terburu-buru. Kita bisa berjalan sesuai ritme kita masing-masing. Tapi yang jelas, aku ingin kita memberi kesempatan pada diri kita sendiri.”
“Dan aku ingin itu juga, Rangga,” Alya berkata dengan suara yang lebih tenang. “Tapi aku perlu waktu.”
Setelah beberapa saat, pembicaraan mereka beralih ke topik lain, berbicara tentang pekerjaan, tentang film terbaru yang mereka tonton, dan rencana liburan yang mungkin bisa mereka buat bersama. Namun, di dalam hati Alya, ketidakpastian itu terus menghantuinya. Perasaan itu—rasa takut akan kehilangan diri sendiri lagi—kembali muncul dengan begitu kuat. Ia sudah pernah mengalami patah hati sebelumnya. Ia sudah terbiasa dengan kesendirian, dan ia tahu bagaimana rasanya mengubur perasaan agar tidak menyakiti diri sendiri.
Malam itu, setelah makan malam yang tenang, Rangga mengantarkan Alya kembali ke mobil. Mereka berbicara sedikit lagi di luar restoran, menikmati suasana malam yang sepi. Sebelum berpisah, Rangga menatapnya dengan serius.
“Alya,” katanya, suara rendah dan penuh perhatian. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah berniat untuk mengganggu hidupmu. Aku hanya ingin kita punya kesempatan untuk mulai dari sini. Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.”
Alya mengangguk, mencoba untuk meredakan kegelisahan dalam hatinya. “Aku tahu, Rangga. Aku… Aku juga tidak ingin semuanya menjadi rumit, tapi kadang-kadang… ada bagian dari diriku yang merasa ragu.”
“Ragu tentang apa?” tanya Rangga, menatapnya dalam-dalam.
Alya menggigit bibirnya. “Ragu tentang apakah aku bisa membuka hatiku lagi untuk kamu. Ragu tentang apakah aku bisa benar-benar mempercayai perasaan kita setelah semua yang terjadi.”
Rangga menarik napas panjang. “Aku nggak akan memaksamu, Alya. Aku cuma ingin kita jujur satu sama lain. Kalau kamu nggak siap, aku akan menunggu. Aku janji. Tapi aku berharap suatu saat nanti kamu bisa memandang aku dengan cara yang sama seperti dulu.”
Alya tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa berat. “Aku akan mencoba, Rangga. Aku janji.”
Mereka berpisah malam itu dengan sebuah janji yang masih terasa rapuh, namun ada secercah harapan di antara mereka. Namun, bagi Alya, langkah untuk benar-benar membuka hati kembali terasa jauh lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Ketika ia tiba di rumah, ia langsung mengurung diri di kamar, merenung tentang pertemuan mereka yang sederhana namun penuh makna.
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan itu, dan meskipun mereka terus berkomunikasi, ada hal-hal yang mulai muncul di antara mereka. Meskipun niat baik Rangga selalu terlihat, Alya merasa seperti ada jarak yang semakin melebar. Tidak hanya dari dirinya sendiri, tetapi juga dari dunia yang mereka coba ciptakan kembali bersama.
Mereka saling bertukar pesan setiap hari, tetapi ada kekosongan yang tak bisa mereka penuhi hanya dengan kata-kata. Rangga mulai menunjukkan sisi-sisi baru yang belum pernah Alya lihat sebelumnya. Terkadang, ia menjadi lebih tertutup, lebih jarang mengungkapkan perasaannya. Bahkan dalam percakapan panjang yang biasanya berlangsung hingga tengah malam, Alya merasakan adanya perbedaan. Ada momen-momen di mana Rangga tampak menghindar, tidak seperti sebelumnya.
“Alya, aku sedang sibuk dengan beberapa proyek baru,” Rangga mengirim pesan di suatu pagi. “Mungkin kita bisa bertemu nanti minggu depan, ya?”
Alya hanya membalas dengan singkat, meskipun di dalam hatinya ada sedikit kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Rangga? Mengapa ia tiba-tiba berubah? Apakah ini bagian dari ketakutan yang muncul ketika mereka mulai berusaha kembali? Atau apakah ada hal lain yang lebih besar yang belum terungkap?
Perasaan itu semakin mengganggu Alya. Kenangan masa lalu yang penuh dengan harapan itu mulai terbalik, menciptakan bayangan yang tidak ingin ia hadapi. Ia mencoba untuk bersikap sabar, mencoba untuk memberi ruang, tetapi semakin ia berpikir, semakin ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hubungan mereka.
Hari demi hari berlalu, dan Alya merasa terombang-ambing. Bagaimana jika perasaan mereka tidak lagi cukup untuk mengatasi segala ketidakpastian yang muncul? Bagaimana jika mereka tidak bisa kembali seperti dulu, seperti yang diinginkan Rangga?
Satu malam, saat keduanya berencana untuk melakukan video call, Alya melihat perubahan besar dalam diri Rangga. Ia tampak lebih dingin dan jauh. Mata Rangga yang dulu penuh semangat kini terlihat lelah dan kosong. Ketika mereka berbicara, percakapan itu terasa hampa, tidak seperti sebelumnya yang penuh tawa dan canda.
“Alya,” Rangga berkata dengan suara yang lebih rendah, “Aku rasa kita perlu bicara tentang apa yang terjadi. Aku merasa seperti kita mulai menjauh satu sama lain lagi.”
Alya merasakan hatinya terjatuh. Ia tahu, perasaan yang telah mereka bangun bersama-sama kini sedang diuji. Tetapi, apakah mereka akan mampu melalui ini tanpa kehilangan semuanya?
BAB 4: Tanda Tanya di Hati
Bab ini bisa menunjukkan kebingungannya Dira tentang apakah dia harus percaya lagi pada Rian. Rian juga mulai merasakan keraguan apakah mereka bisa kembali bersama.
Karakter mulai mengungkapkan lebih banyak tentang perasaan mereka yang tertahan. Mereka menghadapi ketakutan dan keraguan pribadi, tetapi juga mulai menunjukkan keinginan untuk memperbaiki segalanya.
Dira mulai berbicara tentang ketakutannya akan pengkhianatan. Rian berusaha meyakinkan Dira bahwa dia tidak akan pernah melukai Dira lagi, meskipun sulit baginya untuk membuka diri sepenuhnya.
BAB 5: Menghadapi Kebenaran
Satu atau lebih rahasia lama terungkap. Ini bisa berupa alasan mengapa mereka berpisah dulu, atau mungkin ada masalah yang selama ini disembunyikan oleh salah satu pihak.
Kedua karakter merasa cemas dan terluka, tetapi juga ada pengertian bahwa mereka harus melalui ini untuk bisa maju.
Dira mengetahui bahwa ada alasan besar di balik keputusan Rian untuk meninggalkannya dulu, dan itu berkaitan dengan keluarganya yang sangat menekan. Rian merasa terjebak antara cinta dan kewajiban.