Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA TANPA HENTI

Cinta Tanpa Henti

SAME KADE by SAME KADE
March 16, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 35 mins read
CINTA TANPA HENTI

Daftar Isi

  • BAB 1: Pertemuan Tak Terduga
  • BAB 2: Kenangan yang Tak Pernah Lenyap
  • BAB 3: Awal yang Kembali Terganggu
  • BAB 4: Tanda Tanya di Hati
  • BAB 5: Menghadapi Kebenaran

BAB 1: Pertemuan Tak Terduga

Ceritakan pertemuan pertama setelah waktu yang lama, bisa di sebuah acara atau situasi tak terduga yang mempertemukan mereka kembali. Ini adalah momen kunci yang membuka kembali kenangan lama dan perasaan yang belum selesai.

Fokus pada karakter protagonis (Dira atau Rian) yang sedang menjalani hidupnya saat ini. Tunjukkan konflik internal mereka, seperti kesibukan, ketidakpastian, atau rasa rindu yang disembunyikan.

 Di tengah suasana reuni, Dira bertemu kembali dengan Rian. Mereka tidak menyangka bahwa pertemuan ini akan membuka pintu masa lalu yang sempat terkunci rapat.

Alya memandangi layar ponselnya dengan mata setengah terpejam, mencoba untuk memfokuskan diri pada pesan yang baru saja masuk. Suara dering notifikasi dari aplikasi pesan instan itu terdengar lagi, kali ini dari nomor yang tidak dikenalnya. Penasaran, ia membuka pesan itu dengan ragu. Terkadang, ada beberapa pesan yang datang dari orang-orang yang ingin menawarkan pekerjaan, atau bahkan sekadar spam. Tapi ini berbeda.

“Alya, kita harus bertemu.”

Pesan itu singkat, tanpa salam atau penjelasan lebih lanjut. Nama pengirimnya muncul di atasnya: Rangga.

Rangga? Siapa dia?

Alya mengerutkan kening. Sudah lama sekali ia tidak mendengar nama itu, bahkan mungkin sudah lebih dari tiga tahun. Rangga adalah teman lama, seseorang yang ia kenal di sebuah acara pelatihan penulisan saat dia masih di bangku kuliah. Mereka tidak begitu dekat, hanya sekadar teman yang berbicara sepintas tentang impian dan harapan masa depan, tentang cita-cita yang sama namun tak pernah benar-benar mewujudkan sesuatu bersama.

Namun, pesan itu… entah kenapa, memunculkan rasa rindu yang tidak bisa dijelaskan. Rangga selalu punya cara untuk membuatnya merasa nyaman. Mungkin itu karena percakapan mereka dulu selalu mengalir begitu alami, tanpa ada kesan terburu-buru. Setelah acara itu, mereka sempat berbicara sekali dua kali, namun kemudian saling menghilang begitu saja dalam keseharian masing-masing.

Ragu, Alya pun mengetik balasan.

“Rangga? Lama nggak denger kabar. Kenapa? Ada apa?”

Tak lama setelah itu, pesan masuk kembali. Kali ini, tidak ada kata-kata yang terlambat. Hanya ada sebuah tautan video dan pesan singkat.

“Aku akan jelaskan nanti. Klik video ini. Jangan khawatir.”

Alya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ada rasa penasaran yang datang bersama kecemasan yang tidak bisa ditangkal. Tanpa berpikir panjang, ia mengklik video itu.

Beberapa detik berlalu, dan layar ponselnya menampilkan wajah seorang pria yang sangat familiar. Itu Rangga. Namun, yang membuat Alya terkejut adalah tatapan matanya yang berbeda—seakan ada sesuatu yang lebih mendalam, lebih serius dari yang ia kenal dulu. Rangga terlihat lebih dewasa, lebih matang. Matanya yang dulu tampak ceria kini tampak penuh teka-teki.

“Hey, Alya,” suara Rangga terdengar. “Maaf kalau tiba-tiba menghubungi kamu. Aku tahu kita nggak pernah benar-benar saling menjaga komunikasi setelah acara itu, tapi ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan.”

Alya menunggu, berusaha menangkap setiap kata yang diucapkan Rangga. Video itu terus berjalan, memperlihatkan Rangga yang duduk di sebuah ruang yang tampaknya adalah ruang kerjanya. Di belakangnya, terlihat beberapa tumpukan buku dan laptop yang menyala. Ketika Rangga melanjutkan, suara di latar belakang terpotong, dan dia kembali berbicara.

“Jadi begini, Alya. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku baru saja mendapatkan tawaran pekerjaan di luar negeri—lebih tepatnya, di Jepang. Dan aku… aku ingin mengajakmu ke sana.”

Alya tercengang. Jantungnya berdegup kencang. Mengajak ke Jepang? Dia tidak mengerti apa yang Rangga maksudkan. Mereka belum pernah berbicara serius, bahkan dulu saat acara pelatihan pun obrolan mereka masih seputar hal-hal yang lebih ringan. Apa yang terjadi sekarang?

“Dengar, Alya… ini bukan hanya soal pekerjaan,” suara Rangga terdengar lagi. “Ada banyak hal yang aku harus bicarakan denganmu, tentang masa lalu kita, tentang kita yang tidak pernah selesai… Aku harap kamu bisa datang dan bertemu dengan aku.”

Alya terdiam. Perasaannya campur aduk. Dia sudah lama sekali tidak mendengar kabar tentang Rangga. Kehidupannya kini jauh berbeda—selalu sibuk dengan pekerjaannya, berusaha meraih tujuan hidupnya sendiri. Lalu mengapa Rangga tiba-tiba datang kembali setelah bertahun-tahun?

Tanpa sadar, jemarinya mulai mengetik sebuah pesan balasan.

“Aku nggak tahu apa maksud kamu, Rangga. Ini terlalu mendadak. Kita nggak pernah…”

Namun, sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, pesan itu langsung terkirim, dan video pun terhenti. Tampak Rangga menatapnya dengan penuh harap.

“Pikirkan baik-baik, Alya. Ini bukan sekadar undangan. Aku ingin kita mengatasi semua yang belum selesai antara kita.”

Pesan terakhir itu terhapus, dan tiba-tiba layar ponsel Alya kembali gelap. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak ada alasan kenapa Rangga ingin mengundangnya ke Jepang, atau apa yang terjadi dengan hidupnya sejak terakhir kali mereka bertemu.

Alya terdiam. Suasana di sekelilingnya seakan berubah menjadi sunyi. Pikiran-pikiran liar mulai bermunculan—tentang Rangga, tentang masa lalu mereka, dan tentang kemungkinan yang bahkan belum bisa ia bayangkan. Mengapa sekarang? Mengapa tidak dulu?

Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali berdering. Alya menatap layar ponsel, matanya masih belum bisa fokus sepenuhnya.

Terkadang, takdir memang datang dengan cara yang tak terduga. Dan pertemuan yang awalnya terasa seperti sebuah kebetulan, bisa saja menjadi awal dari perjalanan yang lebih besar.

Pagi itu, Alya merasa seperti dunia berputar lebih cepat dari biasanya. Setiap kali ia mencoba berkonsentrasi pada pekerjaannya, pikirannya justru kembali kepada pesan dari Rangga yang ia terima semalam. Sesuatu tentang tawaran pekerjaan di luar negeri, dan yang lebih penting, sesuatu yang belum selesai di antara mereka. Apa yang dimaksud Rangga dengan kata-kata itu? Apa yang harus ia pikirkan?

Setelah berjam-jam merenung, Alya memutuskan untuk membuka kembali pesan dari Rangga. Ia menatap layar ponselnya, mencoba mencari jawaban. Namun, tak ada pesan baru. Hanya video yang telah dia tonton semalam. Alya merasa ragu. Di satu sisi, ia merasa tak ada salahnya mencoba menghubungi Rangga untuk mencari kejelasan, tapi di sisi lain, ia juga merasa takut untuk membuka pintu masa lalu yang sudah lama ia tutup.

Tiga tahun. Sudah tiga tahun sejak terakhir kali mereka berbicara, sejak acara pelatihan penulisan yang seharusnya menjadi titik awal bagi sebuah persahabatan yang lebih dalam. Namun, setelah itu, segalanya berubah. Alya terfokus pada kariernya, mengikuti berbagai pelatihan lain, mencari pengalaman, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan penerbitan buku ternama di Jakarta. Sementara Rangga, dia ingat, berjuang dengan usahanya sendiri. Tidak ada kabar, tidak ada pesan, hanya kenangan yang perlahan memudar.

“Dengar, Alya… aku ingin kita mengatasi semua yang belum selesai antara kita.”

Kata-kata Rangga terus bergema di kepala Alya. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan, campuran antara ketidakpastian dan kerinduan yang sudah lama ia kubur. Tanpa sadar, ia menekan tombol telepon dan memanggil nomor Rangga.

Tunggu. Tunggu dulu. Apa yang sedang ia lakukan? Bagaimana kalau Rangga sudah melupakan semuanya? Bagaimana jika ia sudah punya kehidupan sendiri di luar sana?

Namun, telepon tetap berdering. Dalam beberapa detik, suara Rangga terdengar di ujung sana, suara yang tenang, tetapi juga penuh dengan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.

“Hallo?” suaranya terdengar agak ragu.

“Apa yang kamu maksud dengan ‘belum selesai’, Rangga?” suara Alya terputus-putus. Ia tidak bisa menyembunyikan ketegangan dalam suaranya.

“Alya…” Rangga terdengar menghela napas. “Aku tahu ini semua mendadak, dan mungkin bikin kamu bingung. Aku juga nggak bisa menjelaskan semuanya lewat pesan, jadi… aku pikir kita harus bicara langsung.”

Alya memijat pelipisnya. “Langsung? Kenapa harus bertemu? Kenapa harus ke Jepang?”

Rangga diam sejenak. Alya bisa mendengar suara napasnya yang dalam, seperti sedang berusaha menata kata-kata yang tepat.

“Ini lebih dari sekadar pekerjaan, Alya,” akhirnya Rangga berkata dengan serius. “Ini tentang kita. Dan aku rasa, kamu juga sudah merasa ada sesuatu yang mengganjal antara kita.”

“Rangga, aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan,” jawab Alya dengan cemas. “Kita nggak pernah… kita nggak pernah punya apa-apa lebih dari sekadar teman, kan? Dan tiba-tiba kamu menghubungi aku setelah bertahun-tahun, dan kamu bilang ada yang ‘belum selesai’? Itu nggak masuk akal.”

“Alya,” suara Rangga terdengar lebih lembut. “Aku sadar, waktu itu aku nggak cukup berani untuk membuka hati. Aku pikir kamu nggak merasa sama seperti aku. Tapi setelah waktu berlalu, aku sadar… aku salah. Aku seharusnya tidak membiarkan kamu pergi tanpa mengatakan apa-apa.”

Ada keheningan yang panjang di antara mereka. Alya merasa seluruh tubuhnya membeku. Apa yang sebenarnya Rangga coba katakan? Perasaannya terhadapnya? Apakah selama ini ada hal yang tidak pernah ia ketahui?

“Aku pikir kita harus bicara lebih jelas, Alya. Bisa nggak kamu datang ke Tokyo?” Rangga melanjutkan, nada suaranya sedikit memelas. “Aku nggak akan memaksamu. Tapi aku ingin memberi penjelasan. Dan… kalau kamu masih ada sedikit ruang untukku di hidupmu, mungkin kita bisa mulai dari sana.”

Alya menggigit bibir bawahnya. Hatinya dipenuhi keraguan, tetapi di sisi lain, ada perasaan yang sulit dijelaskan—sebuah dorongan yang memaksanya untuk menyetujui tawaran ini, meskipun itu berarti membuka kembali luka lama yang belum sempat sembuh.

“Baik,” jawab Alya pelan. “Aku akan datang. Tapi aku minta penjelasan yang jelas, Rangga. Jangan membuat aku bingung lagi.”

“Terima kasih, Alya,” Rangga berkata dengan suara yang penuh haru. “Aku janji, aku akan menjelaskan semuanya.”

Satu minggu kemudian, Alya menemukan dirinya berada di bandara Soekarno-Hatta, menunggu penerbangan menuju Tokyo. Dia tidak pernah membayangkan akan melakukan perjalanan seperti ini. Jepang? Bahkan sekarang, ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah tiba di sana. Apakah ia akan menyesal? Apakah perasaan yang dulu pernah ada akan kembali? Dan yang lebih penting, apakah Rangga benar-benar bisa memberinya penjelasan yang dia cari?

Alya menatap layar ponselnya sekali lagi, mencari tahu apakah ada kabar terbaru dari Rangga. Tidak ada pesan baru. Sepertinya Rangga lebih memilih untuk menjaga jarak sampai mereka bertemu langsung.

Sesampainya di Bandara Narita, Tokyo, Alya merasakan perasaan campur aduk yang semakin menguat. Setiap sudut kota ini terasa asing baginya, tetapi juga menarik dengan segala keunikannya. Tentu saja, dia tahu bahwa kota ini jauh berbeda dengan Jakarta yang selalu ramai dan penuh dengan kesibukan. Di Tokyo, segala sesuatu terasa lebih teratur dan tenang—sebuah kenyamanan yang justru membuatnya merasa semakin cemas.

Rangga menghubunginya beberapa kali selama penerbangan, mengingatkan Alya untuk tidak khawatir dan mengatakan bahwa dia akan menjemputnya di bandara. Namun, perasaan cemas Alya tak bisa begitu saja hilang.

Setibanya di pintu keluar, dia melihat seorang pria tinggi dengan jaket hitam dan ransel besar, berdiri di dekat pintu kedatangan internasional. Alya mengenali wajah itu meski ada banyak perubahan. Rangga kini tampak lebih dewasa, lebih serius, dan sedikit lebih kurus daripada yang ia ingat. Matanya, yang dulu penuh semangat, kini tampak lebih dalam, seperti menyimpan banyak cerita.

Rangga tersenyum ketika melihat Alya, senyum yang hangat dan penuh arti. “Alya, akhirnya kamu datang,” katanya, melangkah mendekat.

“Aku datang. Tapi jangan buat aku menyesal, ya,” jawab Alya, sedikit cemas tetapi berusaha menyembunyikan perasaannya.

Rangga tertawa pelan. “Aku janji. Ayo, kita bicara di tempat yang lebih tenang.”

Alya mengangguk, lalu mereka berjalan keluar dari bandara bersama-sama, menuju dunia yang sangat berbeda dari yang pernah mereka kenal sebelumnya.


Setelah beberapa jam, mereka akhirnya tiba di sebuah kafe kecil di pusat kota Tokyo. Rangga memesan kopi untuk mereka berdua, dan suasana yang semula canggung perlahan mencair. Alya merasa sedikit lebih nyaman, meskipun hatinya masih penuh dengan tanda tanya besar.

Rangga memulai pembicaraan. “Alya, aku tahu ini semua aneh dan nggak mudah untuk dijelaskan. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa selama ini aku selalu memikirkanmu, bahkan setelah kita berpisah. Mungkin aku nggak cukup berani waktu itu untuk mengungkapkan perasaan sebenarnya.”

Alya menatap Rangga, masih bingung dengan apa yang dia dengar. “Perasaan? Maksudmu, selama ini kamu…?”

Rangga mengangguk, matanya tak lepas dari mata Alya. “Ya, aku mencintaimu, Alya. Sejak pertama kali kita bertemu. Tapi aku nggak pernah punya keberanian untuk mengatakannya.”

Alya terdiam, kata-kata itu bagaikan petir yang menggetarkan seluruh tubuhnya. Cinta? Rangga? Tapi bagaimana bisa? Dan mengapa sekarang, setelah bertahun-tahun?

Suasana menjadi hening sejenak, masing-masing merenung dalam pikiran mereka sendiri. Perasaan yang terpendam selama ini, yang akhirnya datang kembali setelah waktu yang begitu lama.

BAB 2: Kenangan yang Tak Pernah Lenyap

Bab ini bisa berisi kilas balik yang menggambarkan hubungan mereka sebelumnya, kenangan indah, atau kenapa mereka berpisah. Ini penting untuk membangun pemahaman pembaca tentang hubungan yang pernah ada.

Mulai menunjukkan adanya ketegangan dalam pertemuan mereka, seperti perasaan yang belum terselesaikan atau ketidakpastian tentang perasaan masing-masing.

Contoh: Dira masih ingat bagaimana Rian adalah pria pertama yang membuatnya merasa berarti. Tapi kenapa mereka berpisah? Rian diam, seolah ada rahasia yang belum terungkap

Setelah pertemuan mereka yang penuh ketegangan di kafe Tokyo, Alya merasa seperti ada sesuatu yang perlahan-lahan berubah dalam dirinya. Rangga, pria yang dulunya hanya teman biasa, kini telah membuka pintu yang sudah lama ia tutup rapat-rapat. Ada sesuatu yang aneh, namun pada saat yang sama, terasa begitu familiar. Sesuatu yang dalam, sesuatu yang penuh dengan kenangan lama.

Alya mengatur napasnya. Mereka duduk berseberangan, secangkir kopi hangat di tangan masing-masing. Meskipun pertemuan ini semula terasa canggung, suasana mulai mencair sedikit demi sedikit, seiring dengan percakapan mereka yang mulai lebih mengalir. Namun, dalam hati Alya, perasaan aneh itu tetap ada. Ada perasaan yang sudah lama ia abaikan, yang kini tiba-tiba muncul kembali seperti sebuah bayangan dari masa lalu.

“Kamu benar-benar sudah lama menghilang,” kata Alya, mencoba memecah keheningan yang mulai menggelayuti mereka. “Setelah pelatihan penulisan itu, aku nggak pernah dengar kabar dari kamu. Kenapa? Apa yang terjadi?”

Rangga mengangkat kedua bahunya dengan ragu. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah jalanan Tokyo yang sibuk. “Aku… aku pergi mencari pekerjaan. Pekerjaan yang nggak ada hubungannya dengan menulis. Aku sempat bekerja di beberapa perusahaan, mencoba untuk membangun sesuatu. Tapi kamu tahu, hidup itu nggak pernah berjalan seperti yang kita rencanakan, kan?”

Alya mengangguk pelan. “Iya, aku tahu. Aku juga merasa begitu. Terkadang hidup seperti memberi kita arah yang tak pernah kita bayangkan.”

Rangga menatapnya, dan dalam sekejap, seolah ada dunia lain yang terbuka antara mereka. Dunia yang penuh dengan kenangan. Dunia yang membuat mereka terdiam, membiarkan waktu seolah berhenti sejenak.

“Dulu, waktu kita masih sering ngobrol tentang cita-cita, tentang apa yang ingin kita capai…” Rangga melanjutkan, suaranya pelan. “Aku selalu merasa ada sesuatu yang belum selesai di antara kita. Seperti… aku nggak pernah berani melangkah lebih jauh, dan kamu juga sepertinya nggak pernah memberi petunjuk.”

Alya menunduk, mengingat kembali masa-masa itu. Mereka sering duduk bersama, berbicara tentang masa depan. Kadang bercanda, kadang serius. Mereka memiliki mimpi yang sama—ingin menjadi penulis, ingin menciptakan sesuatu yang berarti, sesuatu yang bisa menginspirasi. Namun, di balik semua obrolan itu, Alya selalu merasakan ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tak terucapkan.

“Aku ingat, dulu kamu pernah bilang kalau kamu ingin menulis buku tentang cinta,” kata Alya, berusaha membawa percakapan kembali ke kenangan masa lalu. “Kamu bilang, kamu ingin menulis tentang perasaan yang tak terucapkan, tentang cinta yang terpendam.”

Rangga tersenyum tipis. “Iya, aku ingat. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku lebih banyak menulis untuk orang lain. Menulis artikel, menulis laporan, segala hal yang tak berhubungan dengan apa yang benar-benar aku inginkan.”

Alya bisa merasakan kehangatan dalam suara Rangga, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Kenangan-kenangan itu datang begitu saja, seperti hujan yang tiba-tiba turun di tengah terik matahari. Mereka berdua tidak bisa menghindar dari perasaan itu. Perasaan yang sudah lama terpendam, yang kini kembali menyeruak keluar.

Kenangan tentang malam-malam itu. Malam-malam di mana mereka duduk bersama di taman kampus, berbicara tentang segala hal, tentang impian, tentang cinta. Kenangan tentang senyum Rangga yang selalu mampu membuat hatinya berdebar, kenangan tentang tawa mereka yang tak pernah berakhir.

“Kamu tahu, Rangga,” Alya berkata pelan, “aku selalu merasa kalau kita punya banyak hal yang tidak pernah terucapkan. Dan itu… membuat aku takut. Aku takut kalau kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang kita inginkan.”

Rangga menatapnya dengan serius. “Alya, aku tahu ini tidak mudah. Tapi, ada yang ingin aku katakan. Sesuatu yang sudah lama aku simpan.”

“Apa itu?” Alya bertanya, matanya mulai berkaca-kaca. Ada rasa khawatir yang mulai menghampiri, tetapi juga rasa ingin tahu yang tak bisa ia hindari.

“Alya,” Rangga memulai, suaranya bergetar, “aku selalu mencintaimu. Selama ini, aku selalu mencintaimu. Dan aku… aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya waktu itu. Aku takut, aku takut jika aku mengatakannya, itu akan merusak segalanya.”

Alya terdiam, seolah kata-kata itu baru saja membekukan seluruh tubuhnya. Cinta. Rangga mencintainya. Apa artinya itu? Apa yang harus ia rasakan?

Perasaan itu datang begitu saja, meluncur seperti aliran sungai yang tak bisa dibendung. Alya tidak tahu apakah ia siap untuk menerima kenyataan itu. Kenyataan bahwa perasaan yang ia coba hindari selama ini, ternyata juga dirasakan oleh Rangga.

“Kenapa sekarang, Rangga?” akhirnya Alya bertanya, suaranya hampir tak terdengar. “Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?”

Rangga menghela napas panjang. “Karena aku baru sadar, Alya. Aku baru sadar kalau hidup terlalu singkat untuk terus menyimpan perasaan yang tak pernah kita ungkapkan. Aku ingin memberi kita kesempatan untuk melihat apa yang bisa terjadi, kalau kita mulai dari sini. Dari titik ini.”

Alya terdiam. Setiap kata Rangga bagaikan guntur yang menggelegar di dalam hatinya. Apa yang ia rasakan? Apakah ia juga mencintai Rangga seperti yang ia rasakan dulu? Atau apakah ini hanya kenangan yang melayang di atas permukaan, hanya untuk menambah kebingungannya?

“Rangga…” Alya melanjutkan, “Aku tidak tahu harus berkata apa. Tiga tahun lalu, kita seperti berada di dua dunia yang berbeda. Aku selalu sibuk dengan karierku, dan kamu… kamu selalu mengejar impianmu. Aku merasa seperti kita terlalu berbeda. Dan sekarang, kamu datang dengan perasaan ini.”

Rangga mengangguk pelan. “Aku tahu, dan aku minta maaf kalau itu membuat kamu merasa terjebak. Tapi aku ingin kita mencoba lagi, Alya. Aku ingin kita mulai dengan kejujuran. Aku tahu ini nggak akan mudah. Aku tahu ada banyak hal yang harus kita hadapi, tapi aku percaya kita bisa melakukannya.”

Alya menundukkan kepala, menatap cangkir kopinya yang mulai dingin. Ada begitu banyak perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Takut. Ragu. Cemas. Tetapi di balik itu semua, ada juga perasaan yang tak bisa ia ingkari. Perasaan yang sudah lama terkubur.

Kenangan itu kembali hadir. Kenangan tentang Rangga yang selalu ada saat ia merasa terpuruk, kenangan tentang kata-kata manis yang tak pernah sempat diucapkan, kenangan tentang tatapan mata Rangga yang selalu bisa membuatnya merasa aman. Semua itu seakan datang dengan kekuatan yang tak bisa ia hindari.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Rangga,” Alya berkata akhirnya, suaranya hampir putus. “Tapi aku rasa… aku ingin memberi kita kesempatan. Sebuah kesempatan untuk melihat apa yang bisa terjadi, tanpa harus takut akan masa lalu kita.”

Rangga tersenyum, dan senyum itu adalah senyum yang penuh dengan harapan. “Aku tidak akan pernah membuat kamu menyesal, Alya. Aku janji.”

Dan di tengah kota Tokyo yang sibuk itu, mereka mulai membuka lembaran baru. Lembaran yang penuh dengan kenangan, tetapi juga penuh dengan harapan untuk masa depan.

Setelah percakapan itu, Tokyo terasa seperti kota yang asing bagi Alya. Ia merasa terombang-ambing di antara perasaan yang sulit dijelaskan. Ada bagian dari dirinya yang merasa seperti mimpi—pertemuan dengan Rangga setelah bertahun-tahun, pembukaan perasaan yang selama ini terkubur, semuanya terasa begitu tiba-tiba. Tapi di sisi lain, ia merasa seperti ada beban yang terangkat, seolah sebuah rahasia yang telah lama terkunci akhirnya ditemukan.

Malam itu, setelah mereka berbicara di kafe kecil yang tenang, Rangga mengajak Alya berjalan-jalan di sekitar Shibuya. Suasana malam Tokyo yang sibuk dan penuh dengan cahaya neon memberi kesan yang aneh—sebuah kontras yang tajam antara kedekatan yang mereka rasakan dan hiruk-pikuk dunia di sekitar mereka. Namun, semakin lama mereka berjalan bersama, semakin Alya merasa nyaman, meskipun pikirannya masih terombang-ambing.

“Alya,” Rangga mulai, setelah beberapa saat berjalan tanpa bicara, “Aku sadar selama ini aku sering kali menghindar dari kenyataan. Dulu, aku nggak berani bilang kalau aku punya perasaan lebih dari sekadar teman terhadapmu. Dan sekarang, setelah semuanya berjalan, aku… aku nggak mau menunggu lagi.”

Alya berjalan di samping Rangga, menatap keramaian di sekitar mereka tanpa benar-benar melihatnya. Kakinya bergerak tanpa berpikir. Pikiran-pikiran yang datang begitu cepat—mencari jawaban, mencari pemahaman—membuat hatinya berdebar lebih cepat dari yang ia inginkan.

“Kamu tahu, Rangga,” Alya memulai, suaranya pelan, namun tegas. “Aku nggak tahu apakah aku bisa kembali seperti dulu. Ada banyak hal yang sudah berubah. Aku juga nggak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kita sudah lama tidak berkomunikasi. Itu bukan hal yang mudah.”

Rangga berhenti sejenak dan menatap Alya dengan penuh perhatian. “Aku tahu, Alya. Dan aku nggak mengharapkan kamu langsung bisa menerima semuanya. Aku cuma ingin kamu tahu, kalau aku benar-benar ingin memulai lagi. Dengan cara yang berbeda.”

“Apa maksudmu dengan ‘memulai lagi’?” tanya Alya, meski dirinya merasa ragu-ragu. Hatinya berdebar, dan entah mengapa ia merasa cemas meski suara Rangga terdengar penuh dengan harapan.

“Memulai dari awal, seperti kita pertama kali bertemu,” jawab Rangga, senyum tipis di wajahnya. “Mungkin lebih baik kita tidak terburu-buru. Kita lihat bagaimana perasaan ini berkembang. Mungkin ini kesempatan untuk benar-benar mengenal satu sama lain lebih dalam. Kita nggak perlu langsung memutuskan sesuatu sekarang. Aku hanya ingin memberi kesempatan untuk melihat apa yang bisa terjadi.”

Alya terdiam. Benar juga. Mungkin selama ini ia terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan, terlalu terjebak dalam rutinitasnya. Dan Rangga, yang kini berdiri di sampingnya, menawarkan kesempatan untuk melihat segalanya dari sudut pandang yang berbeda. Tapi, apakah ia siap untuk mengambil langkah itu? Menerima perasaan yang sudah lama terpendam? Atau justru memilih untuk tetap berjalan di jalannya yang sudah lebih pasti?

Namun, meskipun ada keraguan, Alya merasa ada bagian dari dirinya yang ingin percaya. Mungkin inilah yang disebut dengan kesempatan kedua. Mungkin inilah cara hidup untuk memberi mereka jalan yang baru. Setidaknya, ia bisa memberi Rangga dan dirinya kesempatan untuk mencoba.


Esok harinya, setelah beristirahat di hotel kecil yang nyaman, Rangga mengajak Alya untuk berkeliling kota. Mereka mengunjungi berbagai tempat—dari taman yang tenang di Ueno, ke pasar tradisional di Asakusa, hingga melewati jembatan yang menghubungkan distrik Shinjuku yang sibuk. Setiap tempat yang mereka kunjungi seolah memberi Alya ruang untuk berpikir dan merenung. Tidak ada tuntutan, tidak ada ekspektasi yang tinggi. Hanya ada mereka berdua, berbicara tentang segala hal yang terasa ringan namun penuh makna.

Saat mereka duduk di sebuah taman kecil di kawasan Ueno, Alya merasa lebih tenang. Ada kesejukan di udara Tokyo pagi itu, dan suara angin yang berdesir di antara pepohonan memberikan rasa damai yang jarang ia rasakan di Jakarta. Ia menatap Rangga yang duduk di sampingnya, wajahnya lebih rileks dan tampak lebih cerah.

“Alya,” Rangga membuka pembicaraan, “Aku nggak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi dalam hidup kamu setelah kita berpisah. Tapi, aku tahu satu hal—aku nggak bisa melupakan kamu begitu saja.”

Alya menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Ia tidak bisa menafikan bahwa perasaan itu memang pernah ada, bahkan mungkin masih ada. Namun, mengungkapkan perasaan itu sekarang, setelah bertahun-tahun, terasa seperti melangkah ke dalam sesuatu yang sangat besar dan rumit.

“Aku tahu kita sudah lama tidak berkomunikasi,” lanjut Rangga. “Tapi aku percaya, kadang-kadang kita perlu kehilangan sesuatu untuk menyadari betapa berharganya hal itu. Aku merasa seperti itu dengan kamu.”

Alya memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Aku juga merasa begitu, Rangga. Tapi… ada banyak hal yang sudah berubah. Aku nggak bisa hanya kembali begitu saja tanpa memikirkan segala konsekuensinya.”

Rangga mengangguk, mengerti betul keraguan yang muncul dalam diri Alya. “Aku tahu. Aku cuma nggak mau menunggu lebih lama lagi, Alya. Waktu itu seperti terbuang sia-sia kalau kita nggak memberi kesempatan untuk sesuatu yang lebih. Aku cuma berharap kita bisa memberi diri kita sendiri kesempatan untuk mencoba.”

Alya menunduk, menatap tangannya yang terlipat di atas pangkuan. Ada banyak kenangan yang kembali muncul. Kenangan tentang mereka yang dulu masih muda, penuh harapan dan impian. Kenangan tentang saat-saat sederhana yang mereka habiskan bersama. Dan kenangan tentang kata-kata yang tidak pernah diucapkan. Bagaimana mereka bisa terpisah begitu lama, tanpa benar-benar tahu apa yang hilang di antara mereka?

“Aku nggak pernah benar-benar mengerti kenapa kita bisa terpisah, Rangga,” kata Alya akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Tapi aku juga nggak bisa menolak perasaan yang aku rasakan sekarang. Aku masih ingat bagaimana dulu kita bisa berbicara berjam-jam tanpa merasa lelah. Kita bisa saling mengerti tanpa perlu banyak kata.”

“Karena kita pernah terhubung dengan cara yang berbeda,” jawab Rangga pelan. “Kadang-kadang, ketika dua orang saling terhubung, itu bukan hanya tentang kata-kata. Itu tentang apa yang ada di dalam hati mereka. Aku rasa, kita berdua tahu itu.”

Alya mengangkat wajahnya, dan matanya bertemu dengan mata Rangga. Ada kehangatan di sana. Ada kenyamanan yang sulit dijelaskan, seolah waktu kembali memutar, membawa mereka kembali ke masa-masa ketika semuanya terasa lebih sederhana.

Hari itu, setelah berjalan seharian, Rangga mengajak Alya untuk makan malam di sebuah restoran kecil dengan pemandangan indah ke kota Tokyo yang gemerlap. Suasana restoran itu begitu romantis, dengan lampu-lampu lembut yang memberikan cahaya hangat pada setiap sudut ruangan. Mereka duduk di meja kecil, saling berhadapan, sementara pelayan menyajikan makanan dengan penuh perhatian.

Selama makan malam, percakapan mereka mengalir dengan lancar, seolah-olah tidak ada jarak waktu yang memisahkan mereka. Alya mulai merasa lebih nyaman, lebih terbuka. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang impian yang mungkin bisa dicapai bersama, tentang hal-hal kecil yang selama ini mereka lewatkan.

Tapi, pada satu titik, Rangga tiba-tiba berhenti berbicara dan menatap Alya dengan serius. “Alya,” katanya pelan, “Aku nggak akan memaksa kamu untuk melakukan sesuatu yang kamu nggak siap lakukan. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ingin kamu dalam hidupku. Kalau kamu masih ragu, aku akan menunggu. Tapi aku ingin kamu tahu, perasaan ini… nggak akan pernah lenyap.”

Alya menatap Rangga, matanya berkaca-kaca. Ia merasa seperti dihantam gelombang perasaan yang begitu besar. Keinginan untuk bergerak maju, tetapi di saat yang sama, ketakutan akan kemungkinan kehilangan kembali. Ini bukanlah hal yang mudah.

“Tapi aku nggak bisa janjikan apa-apa sekarang, Rangga,” jawab Alya, suara hampir hilang. “Aku hanya butuh waktu.”

Rangga mengangguk pelan, senyum tipis di wajahnya. “Aku tahu. Dan aku nggak akan pergi ke mana-mana. Aku akan menunggu, Alya.”

Pada malam yang tenang itu, di bawah langit Tokyo yang penuh bintang, Alya merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Mungkin ini adalah awal dari perjalanan panjang mereka berdua. Sebuah perjalanan yang penuh dengan

BAB 3: Awal yang Kembali Terganggu

Dira dan Rian mulai berinteraksi lebih intens, saling bertukar cerita tentang kehidupan mereka selama bertahun-tahun ini. Mereka merasa ada perasaan yang belum hilang, tetapi mereka juga merasakan ada penghalang.

Mungkin ada ketegangan dari pihak keluarga, pekerjaan, atau kesalahpahaman yang muncul antara mereka. Ini akan menambah tantangan untuk hubungan mereka berkembang.

Contoh: Rian mulai muncul dalam kehidupan Dira lebih sering, tapi setiap kali mereka mulai dekat, ada rasa takut bahwa masa lalu mereka belum selesai dan bisa mengulang kesalahan yang sama.

Hari-hari setelah pertemuan mereka di Tokyo, segala sesuatu terasa seperti mimpi yang berjalan lambat. Alya dan Rangga mulai berkomunikasi lebih sering. Meski jarak masih menjadi halangan utama, mereka berusaha menjaga hubungan mereka. Pesan-pesan singkat di tengah kesibukan, video call di malam hari, dan percakapan singkat saat makan siang—semua itu membawa mereka lebih dekat. Namun, meskipun ada usaha untuk kembali saling mengenal dan merajut benang-benang hubungan yang telah lama terputus, ada hal-hal yang sulit diabaikan.

Alya merasa bingung. Ia sudah lama berusaha melepaskan masa lalunya dan fokus pada kariernya. Tetapi saat Rangga kembali hadir dalam hidupnya, segala sesuatu yang ia kira sudah terlupakan, kembali terbangun. Ada kenangan yang ingin ia sembunyikan, ada luka yang belum sepenuhnya sembuh. Apakah ia benar-benar siap untuk kembali membuka hatinya? Ataukah ia hanya terjebak dalam nostalgia tentang siapa Rangga di masa lalu?

Hari itu, setelah seminggu penuh dengan pesan-pesan manis dan percakapan yang hangat, Rangga mengajaknya untuk bertemu. Tidak ada acara besar, hanya sekedar makan malam sederhana di sebuah restoran yang mereka pilih bersama. Meskipun begitu, bagi Alya, setiap pertemuan dengan Rangga selalu terasa seperti ujian.

Malam itu, langit Jakarta cerah, dengan angin sepoi-sepoi yang menyentuh wajah Alya saat ia keluar dari mobil. Di restoran, Rangga sudah menunggu di meja yang telah mereka pesan sebelumnya. Alya bisa melihat ekspresi penuh harapan di wajahnya, namun di dalam hati, ia merasa ragu. Ada sesuatu yang belum selesai. Ada bagian dari dirinya yang takut untuk melangkah terlalu jauh, terlalu cepat.

“Hey,” Rangga menyapa dengan senyuman, berdiri saat Alya datang mendekat. “Kamu terlihat luar biasa malam ini.”

Alya tersenyum tipis. “Terima kasih, Rangga.” Mereka saling duduk dan mulai membuka menu. Atmosfer yang hangat dari lampu-lampu redup di restoran memberikan perasaan nyaman, namun Alya masih merasakan ketegangan yang mengendap.

Setelah beberapa menit, Rangga membuka percakapan. “Aku nggak tahu apa yang kamu rasakan sekarang, Alya. Tapi aku merasa… aku merasa kita sudah berada di jalur yang benar. Kapan pun kamu siap untuk melangkah lebih jauh, aku akan ada di sini.”

Alya menatapnya, merasa sedikit terkejut dengan keterbukaan Rangga. Ia ingin menjawab, tapi kata-kata itu tidak datang begitu saja. Ada bagian dari dirinya yang ingin berlari, dan ada bagian lain yang ingin percaya bahwa kali ini mereka bisa mencoba lagi, tanpa ada keraguan.

“Saya nggak tahu, Rangga,” jawabnya akhirnya, suara pelan. “Aku merasa… bingung. Ada banyak hal yang harus aku pikirkan.”

Rangga mengangguk dengan bijak, meskipun ada sedikit kekecewaan di matanya. “Aku mengerti, Alya. Aku nggak ingin membuat kamu merasa terburu-buru. Kita bisa berjalan sesuai ritme kita masing-masing. Tapi yang jelas, aku ingin kita memberi kesempatan pada diri kita sendiri.”

“Dan aku ingin itu juga, Rangga,” Alya berkata dengan suara yang lebih tenang. “Tapi aku perlu waktu.”

Setelah beberapa saat, pembicaraan mereka beralih ke topik lain, berbicara tentang pekerjaan, tentang film terbaru yang mereka tonton, dan rencana liburan yang mungkin bisa mereka buat bersama. Namun, di dalam hati Alya, ketidakpastian itu terus menghantuinya. Perasaan itu—rasa takut akan kehilangan diri sendiri lagi—kembali muncul dengan begitu kuat. Ia sudah pernah mengalami patah hati sebelumnya. Ia sudah terbiasa dengan kesendirian, dan ia tahu bagaimana rasanya mengubur perasaan agar tidak menyakiti diri sendiri.

Malam itu, setelah makan malam yang tenang, Rangga mengantarkan Alya kembali ke mobil. Mereka berbicara sedikit lagi di luar restoran, menikmati suasana malam yang sepi. Sebelum berpisah, Rangga menatapnya dengan serius.

“Alya,” katanya, suara rendah dan penuh perhatian. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah berniat untuk mengganggu hidupmu. Aku hanya ingin kita punya kesempatan untuk mulai dari sini. Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.”

Alya mengangguk, mencoba untuk meredakan kegelisahan dalam hatinya. “Aku tahu, Rangga. Aku… Aku juga tidak ingin semuanya menjadi rumit, tapi kadang-kadang… ada bagian dari diriku yang merasa ragu.”

“Ragu tentang apa?” tanya Rangga, menatapnya dalam-dalam.

Alya menggigit bibirnya. “Ragu tentang apakah aku bisa membuka hatiku lagi untuk kamu. Ragu tentang apakah aku bisa benar-benar mempercayai perasaan kita setelah semua yang terjadi.”

Rangga menarik napas panjang. “Aku nggak akan memaksamu, Alya. Aku cuma ingin kita jujur satu sama lain. Kalau kamu nggak siap, aku akan menunggu. Aku janji. Tapi aku berharap suatu saat nanti kamu bisa memandang aku dengan cara yang sama seperti dulu.”

Alya tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa berat. “Aku akan mencoba, Rangga. Aku janji.”

Mereka berpisah malam itu dengan sebuah janji yang masih terasa rapuh, namun ada secercah harapan di antara mereka. Namun, bagi Alya, langkah untuk benar-benar membuka hati kembali terasa jauh lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Ketika ia tiba di rumah, ia langsung mengurung diri di kamar, merenung tentang pertemuan mereka yang sederhana namun penuh makna.

Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan itu, dan meskipun mereka terus berkomunikasi, ada hal-hal yang mulai muncul di antara mereka. Meskipun niat baik Rangga selalu terlihat, Alya merasa seperti ada jarak yang semakin melebar. Tidak hanya dari dirinya sendiri, tetapi juga dari dunia yang mereka coba ciptakan kembali bersama.

Mereka saling bertukar pesan setiap hari, tetapi ada kekosongan yang tak bisa mereka penuhi hanya dengan kata-kata. Rangga mulai menunjukkan sisi-sisi baru yang belum pernah Alya lihat sebelumnya. Terkadang, ia menjadi lebih tertutup, lebih jarang mengungkapkan perasaannya. Bahkan dalam percakapan panjang yang biasanya berlangsung hingga tengah malam, Alya merasakan adanya perbedaan. Ada momen-momen di mana Rangga tampak menghindar, tidak seperti sebelumnya.

“Alya, aku sedang sibuk dengan beberapa proyek baru,” Rangga mengirim pesan di suatu pagi. “Mungkin kita bisa bertemu nanti minggu depan, ya?”

Alya hanya membalas dengan singkat, meskipun di dalam hatinya ada sedikit kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Rangga? Mengapa ia tiba-tiba berubah? Apakah ini bagian dari ketakutan yang muncul ketika mereka mulai berusaha kembali? Atau apakah ada hal lain yang lebih besar yang belum terungkap?

Perasaan itu semakin mengganggu Alya. Kenangan masa lalu yang penuh dengan harapan itu mulai terbalik, menciptakan bayangan yang tidak ingin ia hadapi. Ia mencoba untuk bersikap sabar, mencoba untuk memberi ruang, tetapi semakin ia berpikir, semakin ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hubungan mereka.

Hari demi hari berlalu, dan Alya merasa terombang-ambing. Bagaimana jika perasaan mereka tidak lagi cukup untuk mengatasi segala ketidakpastian yang muncul? Bagaimana jika mereka tidak bisa kembali seperti dulu, seperti yang diinginkan Rangga?

Satu malam, saat keduanya berencana untuk melakukan video call, Alya melihat perubahan besar dalam diri Rangga. Ia tampak lebih dingin dan jauh. Mata Rangga yang dulu penuh semangat kini terlihat lelah dan kosong. Ketika mereka berbicara, percakapan itu terasa hampa, tidak seperti sebelumnya yang penuh tawa dan canda.

“Alya,” Rangga berkata dengan suara yang lebih rendah, “Aku rasa kita perlu bicara tentang apa yang terjadi. Aku merasa seperti kita mulai menjauh satu sama lain lagi.”

Alya merasakan hatinya terjatuh. Ia tahu, perasaan yang telah mereka bangun bersama-sama kini sedang diuji. Tetapi, apakah mereka akan mampu melalui ini tanpa kehilangan semuanya?

BAB 4: Tanda Tanya di Hati

Bab ini bisa menunjukkan kebingungannya Dira tentang apakah dia harus percaya lagi pada Rian. Rian juga mulai merasakan keraguan apakah mereka bisa kembali bersama.

Karakter mulai mengungkapkan lebih banyak tentang perasaan mereka yang tertahan. Mereka menghadapi ketakutan dan keraguan pribadi, tetapi juga mulai menunjukkan keinginan untuk memperbaiki segalanya.

 Dira mulai berbicara tentang ketakutannya akan pengkhianatan. Rian berusaha meyakinkan Dira bahwa dia tidak akan pernah melukai Dira lagi, meskipun sulit baginya untuk membuka diri sepenuhnya.

Hari-hari setelah pertemuan mereka di Tokyo seakan berjalan dengan lambat. Alya merasa seperti berada di persimpangan yang tidak bisa ia lewati dengan mudah. Semua yang ia lakukan, setiap pesan yang ia terima dari Rangga, bahkan percakapan singkat mereka, semakin membuatnya terombang-ambing. Ia ingin percaya pada apa yang ada di hadapannya, tetapi terlalu banyak ketakutan yang datang bersama dengan setiap langkah yang mereka ambil bersama. Bisakah hubungan ini bertahan lama? Atau ia hanya akan kembali menjadi luka yang ia coba sembuhkan?

Malam itu, setelah beberapa minggu hanya berkomunikasi lewat pesan dan panggilan video singkat, Rangga mengajak Alya untuk bertemu lagi. Kali ini, tidak ada rencana khusus—hanya sekedar makan malam dan berbicara lebih banyak, jauh dari dunia mereka yang sibuk. Namun, meskipun terlihat sederhana, bagi Alya, setiap pertemuan dengan Rangga terasa semakin menantang.

“Dulu, kita nggak pernah merasa canggung seperti ini, ya?” kata Alya, sambil menatap ponselnya yang sudah diletakkan di meja, menunggu Rangga datang.

Rangga datang tepat waktu, dengan senyuman seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari dirinya—sebuah aura ketegangan yang terasa dalam setiap gerakan dan kata yang ia ucapkan. Mereka duduk di meja yang sudah mereka pesan sebelumnya, di sebuah restoran dengan pencahayaan remang-remang yang membuat suasana terasa lebih intim.

“Alya,” Rangga memulai percakapan, suara itu sedikit lebih pelan daripada biasanya. “Aku tahu kita sudah berusaha mencoba untuk mulai kembali. Aku tahu kamu merasa ragu. Aku juga begitu.”

Alya mengangkat wajahnya, menatap Rangga dengan penuh perhatian. Perasaan cemas mulai memenuhi dadanya. “Aku nggak bisa berpura-pura nggak merasa seperti ini, Rangga. Setiap kali aku mencoba untuk membuka hati lagi, ada suara kecil yang bilang aku nggak bisa.”

“Apa itu suara kecil yang mengatakan kamu nggak bisa?” Rangga bertanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. “Apa itu suara yang lebih besar daripada perasaanmu sendiri?”

Alya terdiam sejenak. “Itu suara ketakutan,” jawabnya, akhirnya. “Ketakutan akan hal yang belum tentu terjadi, tapi juga ketakutan akan sesuatu yang aku nggak bisa kontrol. Aku nggak ingin kembali terluka. Dan aku juga nggak ingin kita hanya terjebak dalam kenangan, Rangga.”

Rangga memandangnya dalam-dalam, seolah berusaha mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Alya. Lalu, dengan lembut, ia meraih tangan Alya yang tergeletak di meja. “Alya, aku nggak akan membuatmu terluka lagi. Aku tahu apa yang telah terjadi di masa lalu, dan aku nggak akan mengulanginya. Aku hanya ingin… kita memberi kesempatan untuk melihat apakah kita bisa membangun sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih baik.”

Alya menarik napas panjang, merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka. Kata-kata Rangga begitu tulus, namun hatinya masih dibayangi oleh bayang-bayang masa lalu. Kepercayaan itu tidak bisa begitu saja diberikan.

“Tidak mudah, Rangga,” katanya, matanya menghindari tatapan Rangga. “Kamu harus tahu itu. Aku tidak bisa langsung melupakan semua yang terjadi, semua kenangan itu. Aku… aku juga nggak tahu apakah aku siap membuka kembali lembaran lama ini.”

Rangga mengangguk pelan, lalu melepaskan tangannya dari tangan Alya, tetapi masih duduk dengan sikap penuh perhatian. “Aku tahu kamu membutuhkan waktu, Alya. Aku nggak ingin terburu-buru. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku ingin memberi kita kesempatan. Aku ingin kita mencoba lagi, meski dengan langkah-langkah kecil.”

“Aku ingin mencoba, Rangga,” Alya berkata pelan, “tapi aku juga nggak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ada hal-hal yang sudah berubah. Kita nggak bisa kembali ke masa lalu. Kita harus membangun yang baru.”

Rangga tersenyum tipis, meskipun ada keraguan yang terlihat di matanya. “Aku setuju. Kita nggak akan kembali ke masa lalu. Tapi siapa tahu, kita bisa menciptakan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.”

Minggu-minggu setelah pertemuan itu berlalu dengan lambat. Hubungan mereka semakin terasa penuh dengan ketidakpastian, meskipun mereka berusaha untuk berkomunikasi dengan lebih baik. Setiap percakapan terasa seperti ujian bagi Alya. Ada saat-saat ketika ia merasa nyaman, namun ada juga saat-saat ketika keraguan datang begitu kuat, mengguncang rasa percaya yang sudah mulai mereka bangun.

Setiap kali Rangga mengirimi pesan, Alya merasa gelisah. Ada keinginan untuk membalasnya dengan sepenuh hati, namun ada juga perasaan takut bahwa ia hanya akan kembali mengecewakan dirinya sendiri. Setiap kalimat yang Rangga kirimkan terasa seperti pertanyaan yang belum terjawab, sebuah percakapan yang terus berlanjut tanpa jawaban pasti.

Tentu saja, Rangga juga merasa hal yang sama. Meskipun ia berusaha menunjukkan bahwa ia lebih dewasa, lebih siap, dan lebih stabil, ada saat-saat ketika ia merasa seperti mengulangi kesalahan yang sama. Ia tahu Alya masih berjuang dengan perasaannya sendiri, dan terkadang ia merasa terjebak di tengah antara keinginannya untuk maju dan ketakutannya akan kehilangan segalanya lagi.

Pada suatu malam, setelah beberapa hari tidak ada kabar dari Rangga, Alya merasa cemas. Sejak pagi, ponselnya tetap sepi. Tidak ada pesan masuk, tidak ada panggilan yang terlewat. Biasanya, Rangga akan mengirim pesan selamat malam atau sekadar bertanya tentang bagaimana harinya. Tetapi malam itu, tidak ada apa-apa.

Alya menatap ponselnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Mungkin Rangga sibuk. Mungkin tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, semakin lama ia menunggu, semakin besar kekhawatirannya. Akhirnya, tanpa berpikir panjang, ia mengirimkan pesan.

“Rangga, apa kabar? Aku belum dengar kabarmu sejak pagi.”

Beberapa menit berlalu, dan akhirnya, pesan itu terbalas.

“Maaf, Alya. Aku sedang banyak kerjaan belakangan ini. Aku nggak mau kamu merasa diabaikan.”

Mendapatkan balasan itu sedikit menenangkan hati Alya, namun di saat yang sama, ada sesuatu dalam diri Rangga yang terasa berbeda. “Kenapa ia harus meminta maaf?” pikir Alya. “Kenapa ada jarak yang terasa begitu besar di antara kami sekarang?”

Hari-hari berikutnya menjadi semakin aneh. Meskipun mereka masih berusaha berkomunikasi, sering kali ada jeda yang panjang antara setiap percakapan. Rasanya seperti ada ketegangan yang tak terlihat di udara, meskipun tidak ada kata-kata yang langsung menyatakan hal itu.

Pada akhirnya, perasaan Alya mulai bergulat dengan perasaan yang lebih kuat dan sulit untuk dipahami. Bagaimana bisa mereka melanjutkan sesuatu yang sudah terhenti begitu lama, ketika kedua belah pihak saling melangkah dengan penuh keraguan? Akankah mereka benar-benar bisa membangun sesuatu yang lebih dari sekedar kenangan?

Satu malam, Rangga mengundang Alya untuk bertemu. Kali ini, tidak ada makan malam romantis atau percakapan panjang. Mereka hanya ingin berbicara. Hanya itu. Mereka bertemu di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai, di sudut yang agak jauh dari keramaian.

Saat Rangga datang, Alya melihatnya dengan tatapan yang lebih tajam dari sebelumnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa sangat peka terhadap perubahan kecil dalam diri Rangga. Senyumannya tidak lagi sehangat dulu. Suaranya terdengar lebih datar, lebih kosong.

“Ada apa, Rangga?” Alya langsung bertanya, duduk di hadapannya dengan rasa penasaran yang semakin besar.

“Alya, aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana,” Rangga mengawali. “Aku merasa kita sudah mencoba terlalu banyak, tapi ada sesuatu yang terus mengganggu aku. Aku merasa ada jarak yang semakin besar di antara kita, dan aku nggak tahu harus bagaimana.”

Alya terdiam, hatinya berdegup kencang. “Aku juga merasa begitu, Rangga. Tapi aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan. Aku rasa… kita harus jujur satu sama lain. Mungkin kita nggak bisa melanjutkan ini.”

Rangga mengangguk perlahan. “Aku nggak ingin kita saling menyakiti, Alya. Tapi aku juga nggak ingin terjebak dalam hubungan yang hanya ada karena kenangan.”

“Kadang-kadang, Rangga,” Alya mulai berkata, “kenangan itu mungkin memang harus dibiarkan pergi.”

Di sinilah titik balik itu terjadi.

Sejak pertemuan terakhir mereka di kafe, Alya merasa seperti ada sesuatu yang berat mengendap di hatinya. Perasaan yang sudah lama ia coba atasi kembali menghantui, dan meskipun Rangga tampak lebih terbuka tentang ketidakpastian yang mereka hadapi, Alya merasa seolah-olah mereka berdua sedang berjalan di jalan yang penuh dengan tanda tanya besar yang tidak bisa dijawab.

Hari-hari setelahnya berjalan dengan hampa. Meskipun mereka masih berhubungan, komunikasi mereka mulai terasa berbeda. Pesan-pesan singkat yang dulu mengalir dengan mudah kini terasa seperti kewajiban yang harus dipenuhi. Panggilan video yang sebelumnya penuh tawa kini terasa canggung, hampir seperti mereka berdua sedang bermain peran dalam hidup yang bukan milik mereka.

Alya mencoba meyakinkan dirinya bahwa perasaan ini hanyalah sementara, bahwa keraguan ini akan hilang seiring waktu. Namun, semakin ia berpikir, semakin ia merasa terjebak. Ia merasa seolah-olah ia tidak benar-benar mengenal Rangga lagi. Laki-laki yang dulu begitu dekat, yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, kini terasa seperti sosok yang jauh.

“Alya, kenapa kamu tidak jawab pesanku?” pesan Rangga masuk pada suatu sore yang cerah. Alya memandang layar ponselnya, ragu-ragu sejenak. Ia merasa bersalah karena telah mengabaikan pesan itu selama beberapa jam, namun ada bagian dari dirinya yang merasa enggan untuk menjawabnya dengan segera. Apa yang harus ia katakan? Apa yang harus mereka bicarakan lagi?

Ia akhirnya memutuskan untuk membalas dengan singkat, menghindari percakapan yang terlalu dalam.

“Maaf, tadi aku sibuk. Ada apa?”

Beberapa menit berlalu sebelum pesan balasan dari Rangga masuk.

“Aku cuma ingin memastikan semuanya baik-baik saja dengan kamu. Aku merasa kita mulai makin jauh, dan itu membuat aku nggak nyaman. Apa kamu merasa begitu juga?”

Alya terdiam. Pertanyaan itu membuatnya terhenti sejenak. Selama ini, ia selalu berusaha untuk menjaga perasaan Rangga agar tidak terluka. Tapi bagaimana dengan perasaannya sendiri? Ia merasa seperti berada di persimpangan yang sulit. Ia ingin berkata jujur pada Rangga, namun di sisi lain, ia takut kata-katanya akan merusak apa yang tersisa dari hubungan mereka. Mereka berdua sudah lama terpisah oleh jarak, dan kini sepertinya jarak itu semakin lebar.

“Aku nggak tahu,” jawab Alya akhirnya. “Mungkin kita memang makin jauh, tapi itu nggak berarti kita nggak bisa memperbaikinya, kan?”

Pesan itu dikirim, namun setelahnya Alya merasa cemas. Apa yang akan terjadi jika Rangga merasa terlalu terbebani? Apa yang akan terjadi jika ia benar-benar mengungkapkan ketidakpastiannya?

Malam itu, mereka berbicara lewat telepon, tetapi percakapan mereka terasa seperti latihan yang dipaksakan. Meskipun suara Rangga terdengar sama seperti dulu, ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan. Setiap kalimat yang mereka ucapkan seolah diukur dengan hati-hati, seolah mereka takut mengatakan sesuatu yang bisa merusak keseimbangan yang rapuh itu.

“Alya, aku merasa kita berdua sedang berada di tempat yang sama sekali berbeda. Kamu tahu, aku nggak tahu lagi apa yang aku inginkan dari hubungan ini. Dan aku takut kalau kita terus berjalan seperti ini, kita akan kehilangan lebih banyak hal daripada yang kita kira.”

“Aku juga merasa hal yang sama, Rangga,” jawab Alya, suaranya hampir tidak terdengar. “Mungkin kita memang harus berhenti berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Aku nggak bisa terus berjalan dengan perasaan ragu-ragu ini.”

Ada keheningan yang panjang setelah kalimat itu. Alya bisa merasakan ketegangan di antara mereka semakin meningkat, seperti sebuah benang yang semakin rapat ditarik, namun tidak ada yang mau mengakuinya.

“Alya,” suara Rangga terdengar serius. “Apa kamu masih merasa ada sesuatu yang bisa kita pertahankan? Apa ada ruang di hatimu untuk aku lagi?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, membuat Alya merasa seperti terjatuh ke dalam lubang yang tak berujung. Selama ini, ia sudah berusaha menutup dirinya dari perasaan-perasaan yang mengikatnya pada Rangga, tetapi mendengar kata-kata itu, ia merasa seperti sebuah beban berat kembali menghimpit dadanya. Apa jawabannya? Ia merasa bingung, antara mengikuti kata hatinya yang masih menginginkan Rangga, dan logika yang mengatakan bahwa ini adalah jalan yang sudah terlalu panjang dan penuh luka.

“Aku nggak tahu, Rangga,” jawabnya pelan. “Aku ingin percaya bahwa kita bisa menemukan jalan, tapi aku nggak bisa membohongi diri sendiri. Aku rasa… aku rasa aku masih belum siap.”

“Alya, aku… aku nggak ingin kamu merasa terpaksa,” Rangga berkata dengan suara yang sedikit gemetar. “Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku masih ada di sini, kalau kamu membutuhkan waktu untuk menemukan jawabanmu.”

“Terima kasih, Rangga,” Alya menjawab dengan suara yang hampir pecah. “Tapi aku nggak bisa memberi kamu jawaban yang pasti sekarang. Aku hanya… butuh waktu.”

Ketika percakapan itu berakhir, Alya merasa hampa. Semua yang mereka coba bangun terasa semakin sulit untuk dipertahankan. Meskipun mereka tidak secara langsung mengucapkan kata-kata perpisahan, percakapan malam itu seperti menggantungkan sebuah tanda tanya besar di antara mereka. Ada perasaan yang tak bisa diungkapkan, ada keraguan yang terus menerus menghantui setiap langkah yang mereka ambil.

Keesokan harinya, Alya mencoba untuk melanjutkan hidupnya. Pekerjaan di kantor kembali menyita pikirannya, tetapi perasaan yang tak menentu itu tetap menghantuinya. Setiap kali ia mencoba mengalihkan perhatian, ada saja kenangan tentang Rangga yang muncul. Semua kenangan indah mereka bersama terasa begitu dekat, namun juga begitu jauh pada saat yang bersamaan.

Pagi itu, saat ia sedang duduk di kafe kesukaannya untuk bekerja, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rangga.

“Aku memikirkan kita, dan aku rasa kita berdua membutuhkan waktu untuk memahami apa yang sebenarnya kita inginkan. Mungkin kita harus memberi ruang satu sama lain untuk menenangkan diri.”

Alya menatap pesan itu, hatinya campur aduk. Terkadang, perasaan itu datang begitu kuat, membuatnya ingin segera mengambil keputusan. Tetapi ada juga bagian dari dirinya yang merasa takut untuk melepas apa yang pernah mereka miliki. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ini akhirnya adalah tanda bahwa mereka harus mengakhiri semuanya, atau apakah ini hanya bagian dari proses untuk menemukan kembali satu sama lain?

Ia menatap layar ponselnya, mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin benar, mereka memang perlu waktu. Namun, pertanyaan yang terus berputar di kepalanya adalah: apakah waktu akan memberikan jawaban yang ia cari? Atau justru semakin memperbesar tanda tanya di hatinya?

Hari-hari setelahnya dipenuhi dengan kesibukan dan kebingungannya sendiri. Percakapan dengan Rangga menjadi semakin jarang, dan meskipun mereka berdua saling memberikan ruang, rasa rindu itu semakin menyakitkan. Alya merasa seperti dua dunia yang berseberangan antara yang dia inginkan dan apa yang sebenarnya bisa dia jalani.

Dan dalam keheningan itu, tanda tanya besar terus menggantung, menyelubungi hati keduanya.

BAB 5: Menghadapi Kebenaran

Satu atau lebih rahasia lama terungkap. Ini bisa berupa alasan mengapa mereka berpisah dulu, atau mungkin ada masalah yang selama ini disembunyikan oleh salah satu pihak.

Kedua karakter merasa cemas dan terluka, tetapi juga ada pengertian bahwa mereka harus melalui ini untuk bisa maju.

 Dira mengetahui bahwa ada alasan besar di balik keputusan Rian untuk meninggalkannya dulu, dan itu berkaitan dengan keluarganya yang sangat menekan. Rian merasa terjebak antara cinta dan kewajiban.

Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Alya duduk di sofa, menatap layar ponselnya yang kosong. Sudah beberapa kali ia ingin menghubungi Rangga, tetapi selalu ada sesuatu yang menahan tangannya. Rasanya ada tembok yang terbentuk di antara mereka, sebuah jarak yang semakin sulit untuk dilalui. Setiap pesan yang dikirim terasa seperti beban, dan setiap kata yang dituliskan seakan mengandung makna yang lebih besar daripada yang sebenarnya ada.

Sementara itu, Rangga di sisi lain kota merasa kebingungannya semakin bertambah. Sejak pertemuan terakhir mereka, ia berusaha keras untuk menenangkan pikirannya, namun semakin ia mencoba untuk mendekatkan diri pada Alya, semakin ia merasa terjebak dalam hubungan yang tak jelas arahnya. Ia ingin berbicara dengan Alya lebih banyak, tapi kadang-kadang, kata-kata terasa seperti halangan yang menghalangi mereka untuk berhubungan kembali seperti dulu.

“Alya, apa yang kita lakukan?” tanya Rangga dalam hati, saat ia memandangi jendela kamar tidurnya yang gelap. Ia mencoba mencari jawaban dalam dirinya sendiri, namun semakin ia berpikir, semakin ia merasa bingung.

Beberapa hari setelah itu, akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu. Alya merasakan sebuah dorongan yang tak terhindarkan untuk menghadapinya langsung. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mereka berdua berbicara secara terbuka, tanpa ada keraguan atau ketakutan yang menyelubungi kata-kata mereka. Ini adalah kesempatan terakhir, atau mungkin juga sebuah titik akhir. Namun, Alya tahu satu hal—keputusan harus diambil malam ini.

Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang tenang, tempat mereka dulu sering berdua, berjalan-jalan di bawah langit malam sambil berbicara tentang banyak hal, bahkan hal-hal yang mereka sendiri belum sepenuhnya mengerti. Alya tiba lebih dulu, duduk di bangku taman yang terletak di bawah pohon besar. Ia menatap langit yang gelap, merasakan angin sepoi-sepoi yang menyapu rambutnya. Taman itu masih sama, tetapi semuanya terasa berbeda. Setiap sudut terasa seperti kenangan, dan kenangan-kenangan itu datang dengan berat.

Saat Rangga tiba, mereka tidak langsung berbicara. Mereka hanya saling menatap, mencoba merasakan apa yang ada di dalam hati masing-masing. Tidak ada kata-kata yang keluar, hanya keheningan yang terasa begitu kental. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Rangga akhirnya duduk di sebelah Alya.

“Alya, aku nggak tahu lagi harus mulai dari mana,” kata Rangga, suaranya penuh keraguan. “Sejak kita mulai berkomunikasi lagi, rasanya semuanya hanya semakin rumit. Aku ingin kita kembali seperti dulu, tetapi… semakin kita mencoba, semakin aku merasa kita berdua terperangkap dalam bayangan masa lalu.”

Alya mengangguk perlahan, merasa seperti ada bagian dari dirinya yang ingin berteriak setuju, tetapi juga ada bagian yang menahan diri untuk tidak mengungkapkan perasaan yang lebih dalam. “Aku tahu apa yang kamu rasakan, Rangga,” jawabnya dengan suara lembut. “Aku juga merasa seperti itu. Ada banyak hal yang sudah berubah, dan kadang aku merasa kita nggak bisa kembali ke tempat yang sama lagi. Kita nggak bisa memutar waktu.”

Rangga menundukkan kepala, menatap tangan Alya yang terletak di atas bangku. “Aku selalu merasa kalau aku bisa melakukan lebih banyak hal untuk kita. Tapi kenyataannya, aku nggak tahu apakah kita bisa kembali ke titik yang sama. Kenapa semuanya harus semudah itu, Alya?”

“Aku juga merasa seperti itu,” Alya menjawab, “Tapi kenyataannya, kita nggak bisa mengabaikan apa yang sudah terjadi. Kita berdua punya luka, dan luka itu nggak bisa langsung sembuh begitu saja hanya karena kita mencoba melupakan semuanya.”

Mereka terdiam lagi. Tidak ada yang bisa dikatakan, karena dalam hati masing-masing, mereka tahu bahwa kebenaran yang sulit itu sudah tiba. Terkadang, kebenaran tidaklah indah. Kebenaran adalah kenyataan pahit yang harus diterima meskipun hati terasa hancur karenanya.

Alya merasa sesak di dadanya. Sudah terlalu lama ia menahan perasaan ini, menunggu momen yang tepat untuk mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan. Kini, setelah sekian lama, perasaan itu akhirnya muncul ke permukaan, dan ia tahu tidak ada cara lain selain mengungkapkan segalanya.

“Rangga, aku nggak bisa terus hidup dengan perasaan ragu seperti ini,” kata Alya dengan suara pelan, namun penuh ketegasan. “Aku nggak bisa terus berharap bahwa suatu saat kita akan kembali seperti dulu, karena aku tahu kita nggak bisa. Kita sudah berubah, dan kita tidak bisa memaksakan diri untuk kembali ke masa lalu yang sudah selesai.”

Rangga mengangkat wajahnya, menatap Alya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Jadi, apa yang kamu ingin katakan? Apakah kita harus berhenti mencoba?”

Alya menatapnya lama, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Ia tahu betapa sulitnya untuk mengatakan ini, tetapi ia juga tahu bahwa inilah kebenaran yang harus mereka hadapi. “Aku nggak tahu apakah kita bisa terus bersama, Rangga. Aku nggak tahu apakah kita bisa saling mengerti dan menerima satu sama lain lagi. Mungkin kita memang harus memberi ruang untuk diri kita masing-masing. Mungkin ini saatnya kita berhenti berpura-pura.”

Rangga terdiam, matanya memerah, dan ia terlihat bingung. Ia ingin berbicara, tetapi kata-kata terasa begitu sulit untuk keluar. “Jadi, apakah ini berakhir?” tanyanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.

Alya menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah mulai menggenang di matanya. “Aku nggak tahu. Mungkin kita hanya perlu waktu. Mungkin kita hanya perlu meresapi semuanya dan memikirkan apa yang terbaik untuk kita.”

Untuk beberapa saat, keduanya terdiam, saling memandang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tanda tanya di antara mereka begitu besar, namun pada saat yang sama, ada perasaan kelegaan yang datang setelah mengungkapkan kebenaran yang telah lama mereka pendam.

Setelah percakapan itu, mereka berdua berjalan bersama, tetapi jarak di antara mereka semakin terasa. Tidak ada lagi canda tawa yang mengisi keheningan, hanya langkah-langkah pelan yang saling mengikuti. Setiap kali Rangga mencoba berbicara, Alya merasa kata-kata itu hanya melayang tanpa makna. Meskipun mereka masih berada di sana, bersama-sama, tetapi mereka tahu—di dalam hati mereka, hubungan itu sudah tidak sama lagi.

Beberapa minggu kemudian, mereka memutuskan untuk berhenti berkomunikasi. Tidak ada drama besar, tidak ada kata perpisahan yang berat. Hanya keheningan yang menggantikan suara-suara mereka, dan setiap langkah yang diambil terasa semakin jauh.

Alya kembali ke rutinitasnya, mencoba menenangkan hatinya yang terluka. Ia mulai fokus pada pekerjaannya, berkumpul dengan teman-teman, dan mencoba menemukan kembali jati dirinya yang sempat hilang di antara kenangan dan perasaan yang tak terungkapkan. Meski begitu, ada rasa kehilangan yang terus menghantuinya. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus menjalani hidupnya sendiri, tanpa bergantung pada masa lalu.

Begitu pula dengan Rangga. Ia mencoba untuk menerima kenyataan bahwa hubungan mereka memang harus berakhir, meskipun hatinya masih sering teringat pada Alya. Namun, ia juga menyadari bahwa mereka berdua perlu ruang untuk menyembuhkan diri. Mungkin suatu saat nanti, mereka bisa bertemu kembali dengan hati yang lebih kuat dan lebih terbuka, tetapi untuk saat ini, mereka harus belajar menerima bahwa hidup mereka harus berlanjut, meskipun tanpa satu sama lain.

Hari-hari berlalu, dan keduanya semakin terbiasa dengan keadaan ini. Meskipun perasaan itu masih ada, mereka tahu bahwa untuk bisa bahagia, mereka harus belajar melepaskan. Mereka telah menghadapi kenyataan yang sulit, dan meskipun itu menyakitkan, mereka tahu bahwa itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus mereka jalani.

Alya menatap langit sore itu, merenung sejenak. Ia tidak tahu apa yang akan datang di masa depan, tetapi ia tahu satu hal—keputusan untuk menghadapi kebenaran telah memberi mereka kedamaian yang selama ini mereka cari. Dan dengan itu, mereka berdua mulai belajar untuk melepaskan, satu langkah demi satu langkah.

Keputusan itu akhirnya datang. Alya merasa bahwa mereka tidak bisa terus berlarut-larut dalam ketidakpastian. Waktu yang mereka habiskan saling menghindar, berusaha menyembunyikan perasaan masing-masing, sudah cukup. Mereka berdua harus berbicara, dan kali ini, tidak ada yang bisa menghindar dari kebenaran.

Malam itu, mereka bersepakat untuk bertemu di taman yang sudah sering mereka kunjungi bersama. Taman itu selalu menyimpan kenangan manis, saat mereka berjalan bergandengan tangan, tertawa, dan berbicara tentang masa depan yang tampaknya begitu cerah. Tapi kini, taman itu terasa sepi, seperti menggambarkan kondisi hati mereka masing-masing—sunyi, penuh pertanyaan yang belum terjawab.

Alya datang lebih dulu, duduk di bangku taman yang biasa mereka gunakan untuk duduk berdua. Angin malam berhembus lembut, membawa harum bunga yang tumbuh di sekitar. Ia menatap langit, berpikir tentang semua yang telah terjadi. Perasaan ragu ini sudah terlalu lama mengganggunya, dan ia tahu malam ini adalah saatnya untuk berbicara, bahkan jika itu berarti merusak kenangan yang telah mereka bangun bersama.

Tidak lama kemudian, Rangga datang. Langkahnya terlihat berat, seakan beban yang ia bawa begitu besar. Ketika matanya bertemu dengan Alya, ada keheningan yang terasa panjang. Mereka saling memandang tanpa berkata-kata, seperti sedang mencari kekuatan untuk memulai percakapan yang sudah lama mereka hindari.

“Alya,” Rangga akhirnya membuka suara, “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku merasa kita semakin jauh, dan setiap kali aku berpikir kita akan kembali seperti dulu, aku merasa kita semakin terjebak dalam bayangan masa lalu.”

Alya menarik napas dalam-dalam. Perasaan yang sama juga menghantui dirinya. Setiap kali mereka berbicara, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang membatasi mereka. Mereka berdua berusaha menjaga hubungan ini, tetapi kenyataannya, seiring waktu, jarak semakin terasa, baik secara fisik maupun emosional.

“Aku juga merasa begitu, Rangga,” jawab Alya perlahan. “Sejak kita mulai berkomunikasi lagi, aku mulai merasakan adanya sesuatu yang berubah. Dulu, semuanya terasa begitu mudah. Kita tidak perlu banyak berpikir tentang apa yang kita rasakan, karena kita tahu kita saling mencintai. Tapi sekarang, aku merasa kita berusaha keras untuk mempertahankan sesuatu yang sebenarnya sudah mulai pudar.”

Rangga menundukkan kepalanya, seakan mencerna kata-kata Alya. “Aku nggak ingin kita berakhir seperti ini, tapi semakin lama aku merasa kita semakin terjebak. Kita nggak lagi bisa berbicara dengan bebas, kita nggak lagi bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Dan aku nggak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu, atau mungkin kita memang sudah berubah.”

Alya merasa hatinya sakit mendengar kata-kata itu, tetapi ia tahu Rangga benar. Mereka berdua sudah berubah, dan mungkin perubahan itu tidak bisa lagi disembunyikan. Mungkin mereka harus menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.

“Aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan, Rangga,” kata Alya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku merasa kita berdua sedang berada di jalan yang berbeda. Aku nggak tahu apakah kita bisa terus bersama, atau kalau pun kita bisa, apakah itu yang terbaik untuk kita.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Rangga menatap wajah Alya, mencari tanda-tanda bahwa ada secercah harapan yang masih bisa dipertahankan. Namun yang ia lihat hanya keletihan dan kebingungannya sendiri tercermin dalam mata Alya. Terkadang, perasaan tidak lagi cukup untuk mempertahankan hubungan yang rapuh. Mereka berdua tahu itu.

“Alya,” kata Rangga dengan suara yang lembut, “Aku nggak ingin memaksakan sesuatu yang nggak bisa kita pertahankan. Jika kita memang harus berpisah, maka aku akan menerima itu. Tapi aku juga ingin tahu, apakah kamu masih ingin mencoba? Apakah masih ada ruang di hatimu untuk aku?”

Alya terdiam sejenak. Ia merasa seperti ada batu besar yang menghalangi tenggorokannya. Seberapa banyak lagi ia bisa mempertahankan hubungan ini? Seberapa banyak lagi ia bisa menahan perasaan yang sebenarnya sudah terlalu lama terpendam?

“Aku nggak tahu,” jawab Alya dengan suara serak. “Mungkin aku butuh waktu untuk menjawab itu, Rangga. Mungkin kita berdua butuh waktu untuk berpikir dan memutuskan apakah kita benar-benar ingin terus bersama atau tidak.”

Rangga mengangguk perlahan, matanya terlihat lelah. “Aku paham. Aku juga butuh waktu untuk berpikir. Mungkin kita memang sudah terlalu lama terjebak dalam rutinitas ini, dan kita lupa bagaimana rasanya merasa bebas dan bahagia.”

“Aku tahu kita berdua tidak ingin berakhir seperti ini,” kata Alya, suara lirihnya penuh penyesalan. “Tetapi, mungkin inilah kenyataannya. Kita sudah berubah, dan mungkin kita harus menerima perubahan itu.”

Setelah pertemuan malam itu, mereka memutuskan untuk memberi ruang satu sama lain. Tidak ada perpisahan yang tegas, tidak ada kata-kata yang menyakitkan. Hanya keheningan yang menandai akhir dari sebuah bab dalam hidup mereka. Meski mereka tidak mengungkapkan secara langsung bahwa hubungan mereka telah berakhir, keduanya tahu bahwa ini adalah titik di mana mereka harus berhenti dan mengevaluasi kembali apa yang mereka inginkan.

Alya kembali ke kehidupannya sehari-hari, berusaha untuk mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang menyibukkannya. Pekerjaan, teman-teman, dan hobi-hobi kecil menjadi pelarian yang sementara. Namun, ada rasa kosong yang terus mengganggu pikirannya. Setiap kali ia melihat pesan atau mendengar nama Rangga, hati kecilnya masih terasa nyeri. Meskipun demikian, ia mencoba untuk menerima kenyataan. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk keduanya.

Begitu pula dengan Rangga. Setelah malam itu, ia merasa lebih tenang, meskipun hatinya tetap merasa kehilangan. Ia tahu bahwa mereka telah berusaha semaksimal mungkin, tetapi kadang-kadang, cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan. Ia merasa, mungkin, mereka memang sudah berada di titik yang tidak bisa lagi diubah. Setiap kali memikirkan Alya, ada perasaan rindu yang mengganggunya, namun ia juga tahu bahwa terkadang, melepaskan adalah pilihan yang paling bijak.

Beberapa minggu kemudian, mereka saling menghubungi, tetapi percakapan mereka terasa canggung dan penuh kehati-hatian. Tidak ada lagi kehangatan seperti dulu. Mereka berdua sudah sadar bahwa hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi, dan mereka harus menerima kenyataan itu.

Pada akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk benar-benar memberi ruang, masing-masing melanjutkan hidup mereka tanpa saling menghubungi. Meskipun itu menyakitkan, mereka tahu bahwa untuk bisa melangkah maju, mereka harus belajar melepaskan.

Malam itu, ketika Alya menatap langit yang sama dengan langit malam pertama mereka bertemu, ia merasa sedikit lega. Ia tahu ini bukan akhir yang sempurna, tetapi mungkin inilah yang terbaik untuk mereka berdua. Setiap pertemuan, setiap kenangan, membawa pelajaran yang membuat mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Dan meskipun mereka berpisah, ia yakin bahwa setiap langkah yang mereka ambil menuju masa depan akan membawa kedamaian yang selama ini mereka cari.***

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #CintaYangTerpisah#KeputusanSakit#LDR (Long Distance Relationship)#MenghadapiKebenaran#PATAHHATI
Previous Post

KENANGAN YANG BERMEKARAN

Next Post

GORESAN CINTA PERTAMA

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
GORESAN CINTA PERTAMA

GORESAN CINTA PERTAMA

CINTA MELALUI JARAK

CINTA MELALUI JARAK

KISAH CINTA PERTAMA YANG ABADI

KISAH CINTA PERTAMA YANG ABADI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id