Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA TANPA BATAS LOKASI

CINTA TANPA BATAS LOKASI

SAME KADE by SAME KADE
March 21, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 34 mins read
CINTA TANPA BATAS LOKASI

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan yang Tak Terlupakan
  • Bab 2: Terbentuknya Ikatan yang Kuat
  • Bab 3: Rindu yang Menghantui
  • Bab 4: Jarak yang Semakin Memisahkan
  • Bab 5: Ujian Cinta

Bab 1: Pertemuan yang Tak Terlupakan

Mereka bertemu secara tidak sengaja melalui aplikasi pertemanan, forum online, atau media sosial. Percakapan pertama mereka dimulai dengan obrolan biasa tentang hobi atau pekerjaan, namun segera berkembang menjadi perbincangan yang lebih personal dan mendalam.

Mereka merasa nyaman satu sama lain dan memutuskan untuk terus berkomunikasi. Percakapan via teks, video call, dan telepon mulai mengisi hari-hari mereka.

Hari itu adalah hari yang biasa bagi Lina, seorang desainer grafis muda yang tinggal di Jakarta. Seperti hari-hari lainnya, pagi itu ia bangun terlambat, terburu-buru menuju kantor, dan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Ia duduk di depan komputernya, menatap layar dengan raut wajah yang tampak lelah. Meski kariernya terus berkembang, Lina merasa ada sesuatu yang hilang. Meskipun teman-temannya sering mengajaknya keluar untuk bersenang-senang, hatinya merasa kosong.

Lina memiliki banyak teman di media sosial, namun ia merasa itu semua hanya hubungan yang dangkal. Ia seringkali merasa kesepian meskipun dikelilingi oleh banyak orang. Namun, hari itu, di luar kebiasaan, Lina memutuskan untuk mengikuti saran sahabatnya, Rina, untuk bergabung dalam sebuah grup diskusi online tentang desain grafis yang cukup populer. Rina meyakinkan Lina bahwa ini bisa menjadi cara yang bagus untuk bertemu orang-orang baru, berbagi wawasan, dan memperluas jaringan.

Dengan sedikit ragu, Lina membuka laptopnya dan mencari grup itu. Setelah beberapa menit, ia berhasil bergabung dan mulai menjelajah percakapan yang ada. Tiba-tiba, pesan pribadi masuk ke inbox-nya. Sebuah nama yang tidak dikenal muncul di layar, Raka.

“Hey, aku lihat kamu baru saja bergabung dengan grup ini. Aku Raka, senang bertemu denganmu!” pesan pertama itu sederhana, namun entah mengapa membuat Lina merasa nyaman.

Lina terkejut, namun ia membalas dengan singkat, “Hai, aku Lina. Baru bergabung, sih. Senang bertemu juga.”

Percakapan mereka awalnya terasa biasa saja. Mereka berbicara tentang pekerjaan masing-masing, berbagi tips desain, dan saling memberi pendapat tentang proyek yang sedang mereka kerjakan. Namun, semakin lama percakapan itu semakin intens. Tanpa mereka sadari, waktu berlalu begitu cepat.

Lina merasa bahwa percakapan ini berbeda dengan yang lain. Raka, meskipun baru dikenalnya, terasa begitu familiar. Ada kehangatan dalam setiap kata-kata yang ia tulis. Raka tidak hanya memberikan saran teknis mengenai desain grafis, tetapi ia juga mengajak Lina berbicara tentang topik-topik yang lebih personal, mulai dari kehidupan sehari-hari, hingga impian dan harapan masa depan.

Setelah beberapa hari bertukar pesan, Lina merasa seolah-olah mereka sudah saling mengenal bertahun-tahun. Setiap malam mereka menghabiskan waktu berjam-jam berbicara, berbagi cerita dan tawa. Tanpa disadari, perasaan Lina terhadap Raka mulai berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.

Namun, ada satu hal yang membuat Lina merasa ragu: Raka tinggal jauh, sangat jauh. Ia tinggal di Bali, sementara Lina di Jakarta. Jarak yang begitu jauh membuat Lina berpikir dua kali tentang perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Mereka belum pernah bertemu secara langsung. Semua percakapan mereka hanya terjadi di dunia maya, lewat kata-kata yang terketik di layar.

Namun, Raka tidak pernah memberi kesan bahwa jarak itu menjadi halangan. Ia tampak begitu tulus dalam berbicara, tidak ada yang dibuat-buat. Setiap kali mereka berbicara, Lina merasa bahwa dia tidak hanya berbicara dengan seseorang dari luar kota, tapi dengan seseorang yang seolah-olah sudah ada dalam hidupnya sejak lama. Itu adalah perasaan yang tidak bisa dijelaskan, tetapi Lina merasakannya dengan sangat kuat.

Suatu malam, setelah percakapan panjang yang berakhir dengan tawa, Raka mengajak Lina untuk melakukan video call. Lina merasa cemas, tetapi juga sangat ingin melakukannya. “Bagaimana kalau kita video call?” tulis Raka di layar.

Lina tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Dengan sedikit ragu, ia setuju. Beberapa detik setelahnya, layar ponselnya berkedip dan sebuah wajah muncul di layar—wajah yang selama ini hanya ia lihat melalui foto profil, kini hidup dengan ekspresi nyata.

“Hey, Lina!” Raka tersenyum ramah, dan meskipun hanya melalui layar, senyuman itu membuat Lina merasa hangat.

Lina tersenyum gugup. “Hai, Raka.”

Perasaan cemas yang semula ada langsung menghilang saat mereka mulai berbicara. Raka lebih tampak nyata dalam video call itu—tertawa, berbicara, dan memandang Lina dengan cara yang membuat Lina merasa begitu dihargai. Percakapan mereka mengalir begitu lancar, seolah-olah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Sejak malam itu, video call menjadi hal yang rutin dilakukan setiap hari.

Lina mulai merasa bahwa meskipun mereka terpisah oleh jarak, ada sesuatu yang kuat yang menghubungkan mereka—sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan dunia maya. Raka tidak hanya menjadi teman biasa, tetapi menjadi sosok yang membuatnya merasa hidup.

Hari-hari berlalu dengan begitu cepat. Komunikasi antara Lina dan Raka semakin intens, dan keduanya mulai membuka diri satu sama lain lebih dalam lagi. Mereka tidak hanya berbicara tentang pekerjaan atau hal-hal umum, tetapi mulai membicarakan masa lalu mereka, ketakutan mereka, dan mimpi-mimpi yang mereka harapkan bisa tercapai di masa depan.

Lina mulai menceritakan tentang keluarganya yang konservatif, tentang bagaimana ia selalu merasa terjebak dalam ekspektasi orang tua. Sementara Raka, dengan penuh perhatian, mendengarkan dan memberikan saran dengan cara yang lembut. Ia tidak pernah menghakimi, hanya memberi pemahaman yang membuat Lina merasa diterima.

Dalam beberapa minggu, Lina merasa hubungan mereka berkembang dengan sangat cepat. Meskipun jarak dan waktu yang terpisah sangat jauh, komunikasi mereka terasa begitu dekat. Raka mulai menjadi sosok yang sangat penting dalam hidup Lina. Bahkan, saat ia merasa cemas atau tertekan di kantor, hanya mendengar suara Raka yang menenangkan sudah cukup untuk membuatnya merasa lebih baik.

Pada suatu malam, setelah hari yang panjang dan melelahkan, Raka mengirimkan pesan singkat yang membuat hati Lina berdebar. “Lina, aku tahu ini mungkin terdengar gila, tapi aku merasa sudah mengenalmu seumur hidup. Aku ingin bertemu denganmu. Apa kamu merasa hal yang sama?”

Lina terdiam sejenak. Pesan itu menggelitik hatinya. Ia juga merasa hal yang sama, namun ada keraguan yang menghinggapinya. Meskipun perasaan mereka begitu kuat, apakah mereka siap untuk bertemu di dunia nyata? Apakah perasaan ini hanya ilusi yang tercipta dalam dunia maya?

Namun, meskipun keraguan itu ada, Lina tidak bisa menahan perasaan yang tumbuh dalam dirinya. Dengan hati yang berdebar, ia membalas pesan Raka, “Aku juga merasakan hal yang sama, Raka. Tapi kita berada di tempat yang sangat jauh. Apa kita benar-benar bisa menghadapinya?”

Raka membalas dengan cepat, “Jika kita ingin itu terjadi, kita harus berusaha, Lina. Cinta tidak mengenal jarak. Aku yakin kita bisa melewati apapun bersama.”

Malam itu, Lina merasa begitu tersentuh oleh kata-kata Raka. Cinta yang ia rasakan mungkin tidak sempurna, mungkin tidak sesuai dengan gambaran cinta pada umumnya, tetapi ia tahu satu hal pasti: ini adalah cinta yang sejati. Cinta yang dibangun bukan hanya di atas fisik atau tempat, tetapi di atas komunikasi yang tulus dan rasa saling menghargai.

Beberapa minggu kemudian, Lina akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah berani—untuk bertemu dengan Raka. Mereka merencanakan pertemuan pertama mereka. Rencananya adalah Raka yang akan datang ke Jakarta, tetapi sebelum itu terjadi, Lina merasa gelisah dan penuh pertanyaan. Bagaimana rasanya bertemu dengan seseorang yang sudah sangat akrab di dunia maya, namun asing di dunia nyata?

Kekhawatiran itu terus menggelayuti pikiran Lina. Apa yang akan mereka bicarakan? Bagaimana jika mereka tidak cocok ketika bertemu langsung? Apakah mereka akan merasa canggung? Banyak pertanyaan yang terus menghantui pikiran Lina, tetapi satu hal yang ia tahu—ia ingin mencoba.

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Raka terbang dari Bali menuju Jakarta, dan Lina menunggu di bandara dengan perasaan yang campur aduk. Ketika Raka muncul di pintu kedatangan, pandangannya langsung terfokus pada pria yang sudah berhari-hari ia bayangkan, namun belum pernah ia temui.

Raka tersenyum, dan Lina merasakan detak jantungnya semakin cepat. Tanpa kata-kata, mereka saling mendekat, dan dalam sekejap, tangan mereka bertemu dalam sebuah pelukan hangat yang terasa sangat nyata. Segala keraguan dan kecemasan hilang begitu saja.

Pertemuan itu adalah awal dari babak baru dalam kehidupan mereka, sebuah kisah yang akan terus berkembang meskipun mereka tahu masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun, satu hal yang pasti—cinta mereka tak lagi terbatasi oleh layar atau jarak.*

Bab 2: Terbentuknya Ikatan yang Kuat

Setiap hari mereka berkomunikasi lebih sering, mulai dari membicarakan kegiatan sehari-hari hingga berbagi mimpi dan ketakutan. Mereka mulai merasakan adanya ikatan emosional yang kuat meski hanya terhubung lewat dunia maya.

Lina dan Raka merasa mulai jatuh cinta, tetapi keduanya ragu untuk mengungkapkannya karena takut akan kekecewaan dan kenyataan bahwa jarak memisahkan mereka.

Masalah mulai muncul, seperti perasaan cemburu, keraguan akan hubungan yang tidak nyata, dan tekanan dari teman atau keluarga yang tidak memahami hubungan jarak jauh.

Hari-hari setelah pertemuan pertama mereka tidak pernah sama lagi bagi Lina. Meskipun ia merasa senang dan bahagia bertemu dengan Raka secara langsung, ada banyak perasaan yang berbaur dalam hatinya. Ada rasa ketakutan yang tak terucapkan, seolah ia takut untuk terlalu berharap, takut untuk menginginkan lebih. Namun, meskipun perasaan itu muncul, ia tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa ia merasa lebih hidup setelah bertemu Raka.

Setelah pertemuan mereka yang singkat namun penuh makna, komunikasi antara mereka tidak berhenti. Meskipun Raka harus kembali ke Bali, mereka terus berhubungan seperti sebelumnya, bahkan lebih intens. Namun, ada perasaan yang mengendap di hati Lina. Ia merasa seperti ada sesuatu yang belum sepenuhnya dia ungkapkan, sesuatu yang masih terpendam dalam hatinya.

Saat mereka berbicara di telepon atau melakukan video call, Raka tidak pernah gagal untuk membuatnya tersenyum. Kata-katanya selalu penuh perhatian, dan ia selalu tahu bagaimana membuat Lina merasa spesial. Namun, Lina merasa ada satu hal yang mengganjal—apakah perasaan yang ia rasakan ini benar-benar cinta, atau hanya ilusi yang tercipta dari rindu dan keinginan untuk merasa dihargai? Bagaimana jika itu semua hanya perasaan sementara, karena kedekatan yang mereka bangun melalui teknologi?

Raka, di sisi lain, merasa kebingungannya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa ia memiliki perasaan yang kuat terhadap Lina, ia merasa takut jika perasaan itu hanya didorong oleh keinginan untuk memiliki seseorang yang jauh. Apakah cinta ini sejati? Apakah ia benar-benar mencintai Lina atau hanya jatuh cinta pada gagasan tentangnya, tentang mereka yang terhubung meskipun terpisah jarak yang begitu jauh?

Perasaan itu membuatnya ragu, namun ketika ia berbicara dengan Lina, semua keraguan itu seolah menguap. Tawa mereka yang saling mengisi ruang kosong di malam-malam panjang, kata-kata manis yang terucap dengan mudah, semua itu terasa sangat nyata. Namun, dalam hati Raka, ada pertanyaan yang terus mengganggu: “Apakah aku akan cukup kuat untuk menjaga perasaan ini tetap hidup, meskipun jarak memisahkan kita?”

Lina merasakan kegelisahan yang mulai tumbuh. Setiap kali ia mendengar suara Raka, hatinya berdebar, tetapi ia juga merasa terjebak dalam kebingungan. Perasaan yang begitu kuat terhadap seseorang yang berada begitu jauh darinya membuatnya bingung. Apakah ini cinta yang sejati? Apakah ia benar-benar tahu apa yang ia inginkan? Tidak ada jaminan bahwa hubungan mereka akan berjalan mulus. Mereka berdua sudah cukup tahu bahwa dunia maya bukanlah tempat yang ideal untuk membangun hubungan yang langgeng. Meskipun mereka telah bertemu, jarak tetap menjadi tembok besar yang memisahkan mereka.

Namun, yang lebih mengganggu bagi Lina adalah bagaimana ia harus menjaga keseimbangan antara hidupnya yang sudah ada di Jakarta dengan perasaan yang mulai tumbuh untuk Raka di Bali. Setiap kali ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, bayangan Raka selalu muncul, dan semakin lama, semakin sulit untuk mengabaikannya.

Sementara itu, Raka mulai menyadari bahwa perasaan yang ia rasakan terhadap Lina bukan hanya sebatas rasa kagum atau ketertarikan fisik. Ia merasa ada ikatan yang lebih dalam, sesuatu yang melampaui sekadar obrolan ringan atau video call rutin. Ia ingin lebih. Ia ingin melihat Lina lebih sering, berbicara lebih banyak, merasakan kehadirannya dalam kesehariannya. Namun, ada ketakutan di dalam dirinya. “Jika aku terlalu terbuka, apakah Lina akan merasa terbebani dengan perasaan ini? Jika aku terlalu terbuka, apakah aku akan kehilangan dia?”

Perasaan itu menghantui Raka dalam diam. Meskipun ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlalu terbawa oleh emosi, semakin lama ia merasa semakin sulit untuk mengabaikan perasaan yang tumbuh di hatinya. Setiap kata dari Lina, setiap senyum yang ia tampilkan dalam video call, seolah memperkuat keyakinannya bahwa perasaan mereka lebih dari sekadar pertemuan dunia maya yang kebetulan terjadi.

Suatu malam, setelah selesai bekerja, Lina duduk di depan laptopnya, menatap layar dengan perasaan kosong. Rasa rindu yang ia rasakan untuk Raka semakin memuncak, namun ia masih tidak yakin bagaimana mengungkapkan perasaan itu. Sudah beberapa kali ia ingin memberitahunya, namun setiap kali lidahnya terasa kaku, seolah ada ketakutan yang membungkam kata-katanya.

Ketika pesan dari Raka muncul di layar, Lina merasa hati kecilnya berdebar. Raka menanyakan bagaimana hari-harinya, dan mereka mulai berbicara tentang rutinitas masing-masing. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan yang bisa dirasakan, meskipun tidak ada kata-kata yang mengungkapkan hal itu. Setelah beberapa saat berbicara, Raka mengetik pesan yang membuat hati Lina bergetar.

“Lina, aku tahu kita baru bertemu, dan aku tahu ini mungkin terdengar gila, tetapi aku merasa sangat kuat tentang perasaan ini. Aku merasa seperti aku ingin lebih dari sekadar teman denganmu. Apakah kamu merasakannya juga?”

Lina terdiam membaca pesan itu. Ia merasa seolah dunia berhenti sejenak. Raka, orang yang sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya meskipun hanya melalui layar, akhirnya mengungkapkan perasaannya. Hati Lina berdebar lebih keras. Ia tahu ini adalah saat yang menentukan, momen yang akan mengubah semuanya.

Dengan jari yang sedikit gemetar, Lina membalas pesan itu, “Aku merasakannya juga, Raka. Aku merasa bahwa kita lebih dari sekadar teman. Aku hanya takut… takut jika ini semua hanya karena kita terpisah jauh, dan perasaan ini hanyalah karena jarak.”

Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Raka membalas dengan penuh keyakinan, “Aku mengerti ketakutanmu, Lina. Tapi aku merasa apa yang kita miliki lebih dari itu. Aku yakin kita bisa melewati jarak ini bersama.”

Pesan itu membenamkan Lina dalam perasaan yang sulit dijelaskan. Ia merasa senang, namun sekaligus cemas. Cinta yang ia rasakan semakin nyata, semakin kuat, tetapi apakah ia siap untuk mempertahankan hubungan ini? Apakah mereka bisa menjaga perasaan ini meskipun jarak masih membatasi mereka?

Hari-hari setelah pengakuan itu terasa penuh dengan harapan dan ketegangan yang menggelora. Lina dan Raka terus berbicara setiap hari, lebih terbuka dari sebelumnya. Namun, meskipun mereka semakin dekat, mereka tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa hubungan mereka masih terhalang oleh jarak yang sangat jauh.

Pada suatu malam, Lina akhirnya mengungkapkan ketakutannya kepada Raka. “Aku takut, Raka. Aku takut ini tidak akan bertahan. Kita terpisah oleh jarak yang begitu jauh, dan aku takut aku akan kehilanganmu.”

Raka mendengarkan dengan seksama, tidak langsung memberikan jawaban, tetapi lebih memilih untuk memberi Lina waktu untuk mengungkapkan perasaannya. Setelah beberapa menit, Raka berkata, “Lina, aku juga takut. Aku takut jika aku terlalu berharap dan itu semua hanya akan berakhir mengecewakan kita. Tapi aku juga tidak ingin menyerah pada perasaan ini. Aku percaya pada kita, dan aku percaya pada cinta yang kita bangun bersama.”

Lina terdiam, merasa seolah-olah ada beban yang sedikit berkurang. Kata-kata Raka memberi kekuatan dan kepercayaan diri. “Aku juga ingin percaya, Raka. Mungkin kita memang terpisah oleh jarak, tapi aku merasa kita bisa melewatinya. Aku tidak ingin melepaskanmu.”

Itulah momen di mana kedua hati itu saling terhubung lebih dalam, meskipun jarak masih tetap ada di antara mereka. Mereka sadar bahwa hubungan ini membutuhkan komitmen, usaha, dan kesabaran, tetapi mereka juga sadar bahwa cinta mereka lebih kuat dari semua ketakutan yang ada.

Hari-hari berlalu begitu cepat sejak pertemuan pertama mereka, dan meskipun keduanya tinggal di dua kota yang berbeda, perasaan yang tumbuh di antara semakin kuat. Tidak ada yang bisa menghalangi mereka untuk terus berhubungan, baik itu jarak, waktu, ataupun kesibukan masing-masing. Setiap malam, ketika mereka berbicara melalui video call atau pesan teks, ada rasa hangat yang terus menyelimuti hati mereka.

Lina merasa bahwa ia sudah mulai mengetahui hampir setiap detail tentang Raka. Tidak hanya tentang pekerjaannya sebagai fotografer profesional di Bali, tetapi juga tentang kegemarannya, kebiasaannya, dan bahkan kisah masa lalunya. Raka selalu berbicara dengan terbuka dan penuh kepercayaan diri, membuat Lina merasa sangat dihargai. Setiap kali Raka bercerita tentang hal-hal kecil dalam hidupnya—tentang ayahnya yang selalu mendukung kariernya, atau bagaimana ia suka menghabiskan waktu di pantai untuk merenung—Lina merasa seolah-olah ia bisa merasakan sendiri kehangatan yang datang dari cerita itu.

Namun, bagi Raka, cerita tentang Lina jauh lebih menarik. Ia sangat ingin mengenal Lina lebih dalam, memahami semua lapisan yang ada dalam dirinya. Lina bukan hanya seorang wanita yang cerdas dan mandiri, tetapi ia juga memiliki kelembutan hati yang sulit ditemukan di banyak orang. Dalam setiap percakapan mereka, Raka merasa bahwa Lina adalah pribadi yang penuh perhatian, dan bahkan ketika mereka berada jauh satu sama lain, ia merasa hadir dengan caranya sendiri. Setiap kata dari Lina terasa seperti angin hangat yang mengusir rasa sepi dalam hidupnya.

Lina mulai merasa bahwa ia mulai menemukan keseimbangan dalam hidupnya. Meskipun ia tetap merasa terikat pada pekerjaan dan tanggung jawab yang ada, ada sesuatu yang berbeda sekarang—sesuatu yang memberi arti lebih pada hari-harinya. Percakapan dengan Raka memberikan semangat baru dalam hidupnya, dan ketika mereka berbicara, dunia seolah hanya milik mereka berdua. Ketegangan yang tadinya ada dalam hatinya perlahan memudar, tergantikan oleh perasaan yang lebih besar—kepercayaan dan kenyamanan yang datang dari ikatan yang semakin erat.

Namun, meskipun mereka berbicara tentang banyak hal, ada satu hal yang belum pernah dibicarakan oleh keduanya—keinginan untuk bertemu lagi. Pertanyaan yang mengganggu hati Lina setiap malam adalah, apakah mereka benar-benar siap untuk melangkah lebih jauh, lebih dalam dari sekadar pertemuan pertama yang menggembirakan itu? Apakah mereka siap untuk menantang batasan yang ada dan membuka diri sepenuhnya satu sama lain?

Salah satu malam setelah video call mereka yang panjang, Lina duduk di depan jendela kamar tidurnya, merenungkan semua yang telah terjadi. Rasa rindu yang menggebu menghalangi pikirannya untuk fokus. Ketika ia menatap bintang-bintang di luar jendela, ia bertanya-tanya apakah Raka juga merasakan hal yang sama. Apakah ia juga memikirkan hubungan mereka yang semakin berkembang ini?

Seperti biasa, Raka tidak bisa menunggu untuk berbicara dengan Lina. Ia mengirimkan pesan, “Kamu sedang apa?” yang langsung membuat Lina tersenyum. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari mendengar suara Raka, bahkan jika hanya dalam bentuk pesan teks.

“Sedang memikirkanmu,” jawab Lina dengan jujur, meskipun ia merasa sedikit malu untuk mengungkapkan perasaan itu.

Dalam hitungan detik, Raka membalas, “Aku juga sedang memikirkanmu. Rasanya seperti waktu berjalan begitu lambat setiap kali aku tidak bisa mendengarmu.”

Lina merasakan debaran di dadanya. Kata-kata Raka terasa begitu tulus, dan ia bisa merasakan kehangatan dari setiap kalimat yang ditulis. Namun, rasa ragu itu muncul kembali dalam benaknya. “Raka, kita tahu kita tinggal jauh. Semua ini… terasa seperti mimpi. Kamu merasa seperti ini juga, kan?” Lina bertanya, tidak dapat menahan rasa takutnya.

Raka membalas dengan cepat, “Lina, aku tidak akan mengatakan semua ini jika aku tidak benar-benar merasakannya. Aku percaya pada kita. Aku percaya bahwa meskipun kita terpisah oleh jarak, kita bisa membuat ini berhasil.”

Lina merasa ada sesuatu yang dalam pada kata-kata itu. Setiap kali Raka berbicara tentang kepercayaan mereka, Lina merasa lebih tenang. Namun, ada bagian dari dirinya yang masih meragukan segalanya. Perasaan takut itu masih ada, meskipun ia tahu bahwa Raka adalah orang yang tepat untuk berbagi kehidupannya.

Keinginan untuk lebih dekat dengan Raka semakin kuat, tetapi Lina tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia tinggal di Jakarta, sementara Raka berada di Bali. Jarak itu sangat jauh, dan kesibukan pekerjaan membuat pertemuan mereka sulit untuk diwujudkan. Mereka hanya bisa berkomunikasi melalui layar ponsel atau komputer, dan meskipun itu memberi mereka kenyamanan, ada bagian dari Lina yang ingin merasakan kehadiran Raka dalam dunia nyata.

Lina tidak bisa menghindari perasaan gelisah yang datang setiap kali mereka membicarakan masa depan. Apakah hubungan ini hanya sebuah ilusi? Apakah mereka bisa benar-benar bersama jika mereka terpisah begitu jauh? Sementara itu, Raka juga merasakan ketidakpastian yang sama. Meskipun ia yakin dengan perasaannya, ia tahu bahwa ini bukanlah hal yang mudah. Keputusan untuk melanjutkan hubungan ini berarti mereka harus berkomitmen untuk sesuatu yang belum tentu terwujud dalam bentuk nyata. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa tidak semua hal bisa diselesaikan melalui video call atau pesan singkat.

Namun, semakin lama, Raka merasa semakin jelas bahwa apa yang ia rasakan untuk Lina bukanlah sekadar perasaan sementara. Ada ikatan yang sangat kuat yang mengikat mereka berdua—ikatan yang tidak bisa dihancurkan oleh jarak atau waktu. Raka mulai percaya bahwa ia ingin lebih dari sekadar hubungan virtual ini. Ia ingin bertemu lebih sering, berbagi momen nyata, dan melihat apakah mereka bisa bersama di dunia nyata.

Suatu malam, setelah percakapan panjang di mana mereka berbicara tentang segala hal dari pekerjaan hingga kenangan masa kecil, Raka mengatakan sesuatu yang tidak terduga. “Lina,” katanya dengan suara serius, “aku ingin lebih dari sekadar teman yang jauh. Aku ingin lebih dekat denganmu, lebih dekat dalam kehidupan nyata. Aku ingin kita bertemu lagi, tapi kali ini, aku ingin melihat bagaimana kita bisa melangkah lebih jauh. Apa kamu siap untuk itu?”

Lina merasa jantungnya berdebar keras mendengar kata-kata itu. Apakah ia siap? Apakah ia benar-benar ingin melangkah lebih jauh? Rasa takut dan keraguan datang dalam sekejap, tetapi ada juga rasa ingin yang tak tertahankan. “Aku… aku ingin itu juga, Raka. Tapi bagaimana kita bisa melakukannya? Kita tahu ada banyak halangan.”

Raka menjawab dengan penuh keyakinan, “Kita akan temui jalan kita, Lina. Kita akan membuatnya berhasil. Aku percaya pada kita, pada cinta ini.”

Malam itu, setelah percakapan yang penuh ketegangan, Lina merasa ada perubahan dalam dirinya. Meskipun rasa takut dan keraguan masih ada, ia tahu satu hal—ia ingin memberikan kesempatan pada hubungan ini. Ia ingin mencoba, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata. Ia ingin melihat apakah cinta yang mereka bangun benar-benar kuat dan tahan lama, atau hanya sekadar kenangan manis dari dunia maya yang penuh ilusi.

Keputusan untuk melangkah lebih jauh adalah sebuah langkah besar. Itu berarti mereka harus berani menghadapinya bersama, dengan segala risiko dan ketidakpastian yang ada. Namun, bagi Lina dan Raka, ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa meskipun mereka terpisah oleh jarak, cinta mereka bisa mengatasi semua rintangan yang ada.

Dengan keyakinan baru dalam diri masing-masing, mereka mulai merencanakan masa depan mereka. Mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama, mungkin ke Bali atau Jakarta, untuk menghabiskan waktu bersama dan lebih mengenal satu sama lain. Meskipun masa depan mereka masih penuh ketidakpastian, satu hal yang jelas—ikatan yang mereka miliki sudah cukup kuat untuk bertahan, dan keduanya siap untuk menghadapinya.*

Bab 3: Rindu yang Menghantui

Lina dan Raka mulai merasakan rindu yang mendalam, dan mereka mulai bertanya-tanya apakah cinta ini bisa bertahan lebih lama jika terus terpisah. Mereka mulai mengungkapkan perasaan mereka dengan lebih jujur.

Setelah beberapa minggu berlalu sejak percakapan terakhir mereka tentang melangkah lebih jauh, Lina merasa seperti kehidupannya berubah, meski tidak secara fisik. Rindu yang datang setiap hari semakin menghantui hatinya, seakan-akan setiap detik tanpa berbicara dengan Raka adalah waktu yang terbuang. Meskipun mereka berbicara setiap hari, berbagi cerita melalui pesan, atau melakukan panggilan video di malam hari, jarak yang membentang begitu jauh terasa semakin nyata.

Di setiap percakapan, ada rasa hangat yang melingkupi, tetapi juga ada kesedihan yang tak terucapkan, seolah-olah mereka saling berusaha menghindari kenyataan bahwa hubungan mereka masih terhalang oleh ruang dan waktu. Rindu yang tak terkatakan itu sering kali datang saat Lina tidak bisa tidur, saat malam merayap lebih lambat dari biasanya. Setiap kali dia menatap layar ponselnya yang menunjukkan foto Raka, ia merasa seolah-olah ada sebuah kekosongan yang tak bisa diisi. Bagaimana mungkin rasa ini bisa terwujud sepenuhnya hanya melalui layar?

Lina sering bertanya-tanya dalam hati, Apakah perasaan ini akan berubah seiring waktu? Apakah kita akan benar-benar merasa puas hanya dengan komunikasi jarak jauh? Namun, setiap kali ia berbicara dengan Raka, semua keraguan itu terhapus begitu saja. Suara Raka, tawa hangatnya, dan cara dia mendengarkan dengan penuh perhatian membuat Lina merasa dihargai dan diterima. Namun, seiring waktu, perasaan itu semakin intens dan menciptakan ruang kosong yang tak bisa diisi dengan kata-kata saja.

Hari demi hari, rindu itu semakin mendalam. Lina tak lagi bisa menyangkalnya. Ketika ia berada di tengah-tengah kesibukannya, tiba-tiba saja terbayang wajah Raka, dan ia harus berjuang untuk mengabaikannya. Rindu yang datang begitu intens hampir seperti sebuah beban yang tak bisa ia lepaskan. Bahkan saat ia mencoba beristirahat, perasaan itu tetap menghantuinya.

Namun, ia tahu bahwa ia harus terus maju. Kehidupannya di Jakarta tetap berjalan seperti biasa, dengan pekerjaan yang harus dihadapi, teman-teman yang selalu mendukung, dan aktivitas yang harus dilakukan. Tetapi setiap kali ia kembali ke kamar tidur di malam hari, setelah semua kegiatan selesai, rasa rindu itu kembali datang dengan kuat. Ia sering kali merindukan sesuatu yang lebih, lebih dari sekadar percakapan singkat atau video call yang berlangsung sebentar.

Raka, meskipun berada jauh di Bali, merasakan hal yang sama. Meskipun kesibukannya tidak kurang padat, ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa Lina selalu ada dalam pikirannya. Setiap kali ia bekerja, mengedit foto, atau berbicara dengan teman-temannya, hatinya tak bisa lepas dari perasaan yang lebih besar—perasaan untuk Lina. Bahkan dalam kesibukan yang penuh dengan deadline, ada satu ruang kosong yang selalu mengingatkannya pada Lina. Ia tahu bahwa ia sudah merindukan wanita itu lebih dari yang bisa ia katakan.

Namun, seperti halnya Lina, Raka juga berusaha untuk tidak terlalu terbawa oleh perasaan ini. Ia mencoba untuk fokus pada pekerjaan dan hal-hal lain yang penting. Tetapi setiap kali ia melihat pesan dari Lina, hati kecilnya berdebar-debar. Setiap kali video call berakhir, ia merasa seolah-olah ada bagian dari dirinya yang hilang. Rindu itu menghantui setiap detik dalam hidupnya, membawanya kembali ke kenangan akan pertemuan pertama mereka—sebuah pertemuan yang terasa seperti awal dari sesuatu yang besar, sesuatu yang akan terus berkembang seiring waktu.

Sementara itu, jarak antara mereka seolah menjadi semakin besar. Meski komunikasi mereka terjalin dengan baik, kenyataan bahwa mereka tidak dapat bertemu secara langsung membuat Raka merasa kehilangan. Ia rindu melihat senyum Lina secara langsung, rindu mendengar tawa riangnya tanpa layar yang menghalangi. Ia ingin merasakan kehadiran Lina di sampingnya, bukan hanya dalam bentuk gambar atau suara di layar.

Pada suatu malam, setelah berhari-hari merasa cemas, Raka memutuskan untuk menulis pesan yang sudah lama ingin ia kirimkan. Ia tahu, dengan menulis pesan itu, ia membuka diri untuk sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang lebih menuntut kejujuran dan keberanian. Ia mengetik, “Lina, ada satu hal yang ingin aku katakan. Aku tidak bisa lagi menahan perasaan ini. Aku merindukanmu lebih dari yang bisa aku ungkapkan.”

Setelah menekan tombol kirim, Raka merasa ada beban yang terangkat, meskipun perasaan cemas masih menggelayuti. Ia tahu bahwa dengan mengungkapkan perasaan ini, ia sedang mengambil langkah besar menuju hubungan yang lebih nyata—dan itu menakutkan. Namun, di sisi lain, ia juga merasa lega. Ternyata, perasaan rindu ini bukan hanya miliknya sendiri, tetapi milik Lina juga.

Beberapa menit kemudian, balasan dari Lina muncul. “Aku juga merindukanmu, Raka. Rasanya setiap hari aku menunggu pesan darimu. Tapi aku juga takut, takut jika perasaan ini hanya sebentar. Bagaimana jika kita tidak bisa bertahan dengan jarak ini?”

Raka membaca pesan itu dengan seksama, merasakan kesamaan yang dalam dengan perasaan Lina. Meskipun ada rasa takut dalam kata-kata itu, ada juga keinginan yang kuat untuk bersama. Rindu mereka sama, dan itu adalah kenyataan yang tidak bisa mereka hindari.

Malam-malam berlalu begitu cepat, tetapi rasa rindu yang membara di hati Lina dan Raka tidak pernah benar-benar hilang. Mereka berbicara hampir setiap hari, berbagi cerita tentang apa yang mereka lakukan, bagaimana hari mereka berjalan, dan berbagi kenangan kecil yang membuat mereka merasa lebih dekat meskipun terpisah oleh ribuan kilometer. Namun, ada saat-saat ketika mereka merasa bahwa komunikasi itu tidak cukup. Mereka merindukan sentuhan, merindukan kedekatan fisik yang hanya bisa terjadi ketika mereka benar-benar bersama.

Lina mulai merasa bahwa ia terperangkap dalam perasaan ini—terperangkap dalam rindu yang tak bisa diungkapkan sepenuhnya. Ia mulai merasa cemas bahwa hubungan ini mungkin akan meredup seiring berjalannya waktu. Meskipun ia merasa dekat dengan Raka, ia juga tahu bahwa kedekatan mereka sangat tergantung pada teknologi yang bisa berubah kapan saja. Layar ponsel atau komputer bisa saja menghilangkan segala sesuatu yang mereka bangun—begitu pula dengan jarak yang selalu menjadi penghalang utama.

Pada saat yang sama, Raka juga merasakan ketegangan yang sama. Setiap kali ia melihat layar ponsel, ia merasa seolah-olah ia sedang berbicara dengan seseorang yang tidak bisa ia sentuh, yang tidak bisa ia lihat dengan jelas, dan itu membuatnya semakin frustasi. Ia merindukan Lina dengan cara yang tidak bisa diungkapkan dalam kata-kata.

Suatu malam, setelah beberapa hari tidak berkomunikasi secara intens karena kesibukan masing-masing, Raka mengirim pesan panjang yang tulus. “Lina, aku tahu kita tidak bisa bertemu sekarang, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku merindukanmu lebih dari yang bisa aku ungkapkan. Aku ingin kita tidak hanya berbicara tentang rindu ini, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa menghadapinya. Aku ingin kita lebih dekat, meskipun kita terpisah. Aku ingin tahu apakah kamu juga merasakan hal yang sama.”

Lina membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Rindu, kecemasan, dan harapan semuanya bercampur aduk. Tetapi, ada satu hal yang jelas di pikirannya—ia ingin bersama Raka, ia ingin merasakan kehadirannya lebih dekat. Meskipun mereka tidak bisa bertemu sekarang, ia tahu bahwa rasa rindu ini harus dihadapi, bukan dihindari.

Ia membalas dengan penuh ketulusan, “Aku merindukanmu juga, Raka. Aku tahu kita tidak bisa terus seperti ini, tapi aku ingin kita mencari cara untuk menjadikan ini lebih nyata. Kita harus melawan rindu ini bersama, bukan hanya menunggu. Aku siap untuk itu.”

Setelah percakapan itu, keduanya merasa ada sesuatu yang terlepas dalam diri mereka—sebuah beban yang selama ini menghantui. Mereka tahu bahwa rindu mereka bukanlah hal yang bisa mereka hindari, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka harus menemukan cara untuk menghadapinya. Rindu itu bukan sekadar perasaan sementara; itu adalah bagian dari hubungan mereka yang semakin mendalam.

Dalam perjalanan cinta mereka yang tak terbatas oleh lokasi, mereka mulai menerima kenyataan bahwa jarak adalah bagian dari tantangan yang harus mereka hadapi. Rindu yang mereka rasakan adalah bukti bahwa mereka peduli, bahwa mereka benar-benar menginginkan satu sama lain.

Rindu itu mungkin menghantui mereka, tetapi mereka tahu bahwa itu juga mengikat mereka lebih kuat. Dan bersama-sama, mereka siap melawan semua ketakutan dan keraguan untuk menemukan jalan yang mengarah ke kebahagiaan yang mereka impikan.

Setiap pagi, Lina merasakan kesepian yang mendalam meskipun dia tidak sendirian. Di Jakarta, dia dikelilingi oleh teman-teman, rekan kerja, dan rutinitas yang padat. Namun, ketika malam datang, dan dunia seakan menghilang dalam kegelapan, perasaan rindu itu datang dengan cara yang tak terelakkan. Ketika matahari tenggelam, dia tahu bahwa malam akan diisi dengan kenangan, pesan-pesan tak terbalas, dan percakapan yang belum selesai.

Lina merasa seakan-akan ia terjebak dalam sebuah lingkaran tak berujung. Dia menunggu dan merindukan seseorang yang begitu jauh, namun begitu dekat di hatinya. Pagi hari sering dimulai dengan pesan dari Raka yang mengingatkannya untuk melangkah maju, meskipun perasaan itu tetap ada—tak terucapkan, namun selalu terasa. Ada harapan yang tumbuh di dalam diri Lina, namun ia tahu bahwa harapan itu tak bisa hidup tanpa usaha.

Pada satu malam yang sepi, setelah berbicara dengan teman-temannya tentang betapa sulitnya menjalani hubungan jarak jauh, Lina kembali membuka aplikasi pesan. Di sana, ia melihat foto terakhir yang dikirimkan oleh Raka—sebuah gambar dirinya dengan latar belakang pantai Bali yang indah, wajahnya tersenyum bahagia, seolah semua yang ada di sekitarnya berjalan lancar. Tapi dalam senyum itu, Lina bisa merasakan ada ketegangan yang tersimpan, sebuah kesedihan yang tak terungkapkan. Ia merindukan sosok itu—bukan hanya sosok yang terlihat di foto, tetapi sosok yang membuat hatinya merasa utuh.

Dia menatap foto itu lebih lama dari biasanya, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela. Kota Jakarta yang padat, dengan semua lampu yang menyala, terasa jauh lebih sepi ketika hatinya dipenuhi kerinduan yang begitu besar. Setiap malamnya, ia menunggu pesan dari Raka, menunggu kata-kata yang bisa memberi kenyamanan dalam gelap malam. Tapi setiap pesan yang masuk hanya terasa sementara, seperti bayangan yang hilang ketika fajar datang.

Malam itu, Lina memutuskan untuk mengirimkan pesan panjang kepada Raka. “Aku tahu kita jauh, tapi aku ingin kau tahu bahwa setiap malam aku merindukanmu. Aku tahu kamu sedang sibuk, begitu pula aku, tapi aku tidak bisa menahan perasaan ini. Aku merasa seperti menunggu sesuatu yang tak pasti, dan itu membuatku bingung. Bagaimana aku bisa tahu jika kamu merasakan hal yang sama?”

Setelah beberapa saat, pesan itu terkirim. Lina menunggu dengan cemas, berharap ada balasan yang segera datang. Namun, seiring waktu yang berlalu, rasa cemas itu berubah menjadi kekhawatiran. Akankah Raka mengerti apa yang dia rasakan? Apakah perasaan ini hanya miliknya sendiri, ataukah Raka merasakannya juga? Dalam keheningan malam, segala macam pertanyaan muncul di benaknya.

Namun, tak lama kemudian, balasan dari Raka masuk. “Lina, aku juga merindukanmu. Tapi, seperti yang selalu kita bicarakan, jarak ini memang menyulitkan. Aku juga merasa terjaga oleh perasaan ini. Aku selalu menunggu kabar darimu, dan setiap kali kita berbicara, aku merasa lebih baik. Tapi saat kita berpisah lagi, rindu itu datang lagi.”

Membaca pesan itu membuat hati Lina sedikit lega, meskipun perasaan rindu itu tetap ada, tak pernah hilang. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang bagaimana mereka akan bisa bertemu, meskipun itu terasa sangat jauh.

Namun, dalam hati Lina, ada rasa takut yang tak terungkapkan. Bagaimana jika rindu ini tak cukup untuk mempertahankan hubungan mereka? Bagaimana jika waktu, jarak, dan kehidupan yang semakin menuntut tak memberi mereka kesempatan untuk saling bertemu lebih sering? Akankah cinta mereka tetap utuh atau justru memudar seiring berjalannya waktu?

Kehidupan mereka tetap berjalan, masing-masing dengan kesibukan yang tak pernah berhenti. Lina terus bekerja di kantornya yang penuh tantangan, sementara Raka juga sibuk dengan proyek-proyek foto yang selalu menuntut perhatiannya. Setiap hari mereka mengisi waktu mereka dengan kegiatan masing-masing, tetapi di setiap detiknya, ada perasaan kosong yang tak bisa diisi dengan apa pun. Hati mereka terikat pada satu hal—saling merindukan, saling menunggu, dan saling mencintai.

Namun, perasaan itu tidak selalu datang dengan cara yang mudah. Setiap kali mereka berpisah setelah percakapan panjang, Lina merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ia tahu bahwa Raka merasakan hal yang sama, tetapi mereka berdua terlalu takut untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam. Rindu mereka adalah hal yang paling nyata, namun itu juga yang sering kali menghalangi mereka untuk bergerak maju.

Suatu malam, Raka mengirimkan pesan yang membuat Lina terdiam sejenak. “Lina, aku sering berpikir tentang kita. Aku tahu jarak ini sulit, tapi apakah kita bisa tetap bertahan? Aku ingin kita menjadi lebih dari sekadar dua orang yang terpisah oleh layar dan pesan-pesan singkat. Aku ingin kita benar-benar menjadi satu, meskipun kita terpisah.”

Pesan itu membuat Lina terperangah. Itu adalah pesan yang selama ini ia tunggu-tunggu, namun begitu membebani hatinya. Ia tahu bahwa Raka menyadari betapa besar perasaan mereka, tetapi apakah mereka berdua siap untuk menghadapi kenyataan bahwa jarak ini mungkin tidak akan berakhir dalam waktu dekat? Rindu itu tak hanya menciptakan ruang kosong dalam hati mereka, tetapi juga membuka pertanyaan besar tentang masa depan hubungan mereka.

Setelah berbicara dengan Raka, Lina merasa ada sebuah beban yang terangkat. Mereka berdua akhirnya berbicara tentang ketidakpastian yang selama ini mengganggu mereka. Mereka mengungkapkan rasa takut akan perasaan yang memudar seiring waktu, tentang rasa khawatir jika suatu saat mereka akan terpisah lebih lama lagi, atau bahkan selamanya.

Namun, setelah semua percakapan itu, Lina merasa sedikit lebih tenang. Mereka berdua sudah berbicara dengan jujur, dan itu adalah langkah besar. Mereka mengerti bahwa jarak ini bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi mereka juga sepakat bahwa perasaan mereka tak boleh dibiarkan tergerus oleh waktu.

Lina dan Raka mulai lebih sering berbicara tentang masa depan mereka. Mereka merencanakan pertemuan-pertemuan di masa yang akan datang, meskipun itu masih terasa jauh dan tak pasti. Mereka berdua tahu bahwa rindu yang mereka rasakan adalah sebuah ujian—uji untuk kesetiaan, untuk komitmen, dan untuk keberanian. Tetapi, mereka juga tahu bahwa selama mereka terus berjuang, cinta itu bisa tumbuh dan berkembang meskipun terpisah oleh jarak yang tak terhingga.

Rindu itu akan tetap ada. Tetapi, mereka tidak ingin membiarkannya menghancurkan apa yang telah mereka bangun bersama. Mereka akan terus saling menunggu dan saling mencintai, meskipun terkadang rindu itu menghantui.*

Bab 4: Jarak yang Semakin Memisahkan

Meskipun mereka saling mencintai, kehidupan masing-masing mulai menuntut perhatian mereka. Lina sibuk dengan pekerjaannya di Jakarta, sementara Raka juga memiliki komitmen yang tidak bisa diabaikan di Bali.

Ada momen di mana keduanya merasa lelah dengan komunikasi jarak jauh. Mereka merasa hubungan ini mungkin tidak bisa bertahan, karena rindu yang tak tertahankan dan ketidakpastian akan masa depan.

Salah satu dari mereka (misalnya, Lina) merasa terlalu terbebani dengan jarak dan memutuskan untuk berhenti sejenak, untuk berpikir dengan jernih apakah hubungan ini bisa dilanjutkan.

Setiap pagi, Lina merasakan kesepian yang mendalam meskipun dia tidak sendirian. Di Jakarta, dia dikelilingi oleh teman-teman, rekan kerja, dan rutinitas yang padat. Namun, ketika malam datang, dan dunia seakan menghilang dalam kegelapan, perasaan rindu itu datang dengan cara yang tak terelakkan. Ketika matahari tenggelam, dia tahu bahwa malam akan diisi dengan kenangan, pesan-pesan tak terbalas, dan percakapan yang belum selesai.

Lina merasa seakan-akan ia terjebak dalam sebuah lingkaran tak berujung. Dia menunggu dan merindukan seseorang yang begitu jauh, namun begitu dekat di hatinya. Pagi hari sering dimulai dengan pesan dari Raka yang mengingatkannya untuk melangkah maju, meskipun perasaan itu tetap ada—tak terucapkan, namun selalu terasa. Ada harapan yang tumbuh di dalam diri Lina, namun ia tahu bahwa harapan itu tak bisa hidup tanpa usaha.

Pada satu malam yang sepi, setelah berbicara dengan teman-temannya tentang betapa sulitnya menjalani hubungan jarak jauh, Lina kembali membuka aplikasi pesan. Di sana, ia melihat foto terakhir yang dikirimkan oleh Raka—sebuah gambar dirinya dengan latar belakang pantai Bali yang indah, wajahnya tersenyum bahagia, seolah semua yang ada di sekitarnya berjalan lancar. Tapi dalam senyum itu, Lina bisa merasakan ada ketegangan yang tersimpan, sebuah kesedihan yang tak terungkapkan. Ia merindukan sosok itu—bukan hanya sosok yang terlihat di foto, tetapi sosok yang membuat hatinya merasa utuh.

Dia menatap foto itu lebih lama dari biasanya, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela. Kota Jakarta yang padat, dengan semua lampu yang menyala, terasa jauh lebih sepi ketika hatinya dipenuhi kerinduan yang begitu besar. Setiap malamnya, ia menunggu pesan dari Raka, menunggu kata-kata yang bisa memberi kenyamanan dalam gelap malam. Tapi setiap pesan yang masuk hanya terasa sementara, seperti bayangan yang hilang ketika fajar datang.

Malam itu, Lina memutuskan untuk mengirimkan pesan panjang kepada Raka. “Aku tahu kita jauh, tapi aku ingin kau tahu bahwa setiap malam aku merindukanmu. Aku tahu kamu sedang sibuk, begitu pula aku, tapi aku tidak bisa menahan perasaan ini. Aku merasa seperti menunggu sesuatu yang tak pasti, dan itu membuatku bingung. Bagaimana aku bisa tahu jika kamu merasakan hal yang sama?”

Setelah beberapa saat, pesan itu terkirim. Lina menunggu dengan cemas, berharap ada balasan yang segera datang. Namun, seiring waktu yang berlalu, rasa cemas itu berubah menjadi kekhawatiran. Akankah Raka mengerti apa yang dia rasakan? Apakah perasaan ini hanya miliknya sendiri, ataukah Raka merasakannya juga? Dalam keheningan malam, segala macam pertanyaan muncul di benaknya.

Namun, tak lama kemudian, balasan dari Raka masuk. “Lina, aku juga merindukanmu. Tapi, seperti yang selalu kita bicarakan, jarak ini memang menyulitkan. Aku juga merasa terjaga oleh perasaan ini. Aku selalu menunggu kabar darimu, dan setiap kali kita berbicara, aku merasa lebih baik. Tapi saat kita berpisah lagi, rindu itu datang lagi.”

Membaca pesan itu membuat hati Lina sedikit lega, meskipun perasaan rindu itu tetap ada, tak pernah hilang. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang bagaimana mereka akan bisa bertemu, meskipun itu terasa sangat jauh.

Namun, dalam hati Lina, ada rasa takut yang tak terungkapkan. Bagaimana jika rindu ini tak cukup untuk mempertahankan hubungan mereka? Bagaimana jika waktu, jarak, dan kehidupan yang semakin menuntut tak memberi mereka kesempatan untuk saling bertemu lebih sering? Akankah cinta mereka tetap utuh atau justru memudar seiring berjalannya waktu?

Kehidupan mereka tetap berjalan, masing-masing dengan kesibukan yang tak pernah berhenti. Lina terus bekerja di kantornya yang penuh tantangan, sementara Raka juga sibuk dengan proyek-proyek foto yang selalu menuntut perhatiannya. Setiap hari mereka mengisi waktu mereka dengan kegiatan masing-masing, tetapi di setiap detiknya, ada perasaan kosong yang tak bisa diisi dengan apa pun. Hati mereka terikat pada satu hal—saling merindukan, saling menunggu, dan saling mencintai.

Namun, perasaan itu tidak selalu datang dengan cara yang mudah. Setiap kali mereka berpisah setelah percakapan panjang, Lina merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ia tahu bahwa Raka merasakan hal yang sama, tetapi mereka berdua terlalu takut untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam. Rindu mereka adalah hal yang paling nyata, namun itu juga yang sering kali menghalangi mereka untuk bergerak maju.

Suatu malam, Raka mengirimkan pesan yang membuat Lina terdiam sejenak. “Lina, aku sering berpikir tentang kita. Aku tahu jarak ini sulit, tapi apakah kita bisa tetap bertahan? Aku ingin kita menjadi lebih dari sekadar dua orang yang terpisah oleh layar dan pesan-pesan singkat. Aku ingin kita benar-benar menjadi satu, meskipun kita terpisah.”

Pesan itu membuat Lina terperangah. Itu adalah pesan yang selama ini ia tunggu-tunggu, namun begitu membebani hatinya. Ia tahu bahwa Raka menyadari betapa besar perasaan mereka, tetapi apakah mereka berdua siap untuk menghadapi kenyataan bahwa jarak ini mungkin tidak akan berakhir dalam waktu dekat? Rindu itu tak hanya menciptakan ruang kosong dalam hati mereka, tetapi juga membuka pertanyaan besar tentang masa depan hubungan mereka.

Setelah berbicara dengan Raka, Lina merasa ada sebuah beban yang terangkat. Mereka berdua akhirnya berbicara tentang ketidakpastian yang selama ini mengganggu mereka. Mereka mengungkapkan rasa takut akan perasaan yang memudar seiring waktu, tentang rasa khawatir jika suatu saat mereka akan terpisah lebih lama lagi, atau bahkan selamanya.

Namun, setelah semua percakapan itu, Lina merasa sedikit lebih tenang. Mereka berdua sudah berbicara dengan jujur, dan itu adalah langkah besar. Mereka mengerti bahwa jarak ini bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi mereka juga sepakat bahwa perasaan mereka tak boleh dibiarkan tergerus oleh waktu.

Lina dan Raka mulai lebih sering berbicara tentang masa depan mereka. Mereka merencanakan pertemuan-pertemuan di masa yang akan datang, meskipun itu masih terasa jauh dan tak pasti. Mereka berdua tahu bahwa rindu yang mereka rasakan adalah sebuah ujian—uji untuk kesetiaan, untuk komitmen, dan untuk keberanian. Tetapi, mereka juga tahu bahwa selama mereka terus berjuang, cinta itu bisa tumbuh dan berkembang meskipun terpisah oleh jarak yang tak terhingga.

Rindu itu akan tetap ada. Tetapi, mereka tidak ingin membiarkannya menghancurkan apa yang telah mereka bangun bersama. Mereka akan terus saling menunggu dan saling mencintai, meskipun terkadang rindu itu menghantui.

Dengan perasaan yang lebih dalam, Lina dan Raka melangkah maju. Meskipun masih banyak ketidakpastian yang mereka hadapi, mereka tahu satu hal: rindu itu adalah bagian dari cinta mereka yang sejati. Dan selama mereka memiliki perasaan itu, tidak ada yang bisa memisahkan mereka.

Ini adalah pengembangan lebih lanjut dari Bab 3: Rindu yang Menghantui. Bab ini bisa terus dikembangkan dengan menambahkan interaksi sehari-hari mereka, rencana masa depan yang lebih rinci, dan penambahan konflik eksternal yang dapat memperdalam ketegangan dalam cerita, misalnya masalah yang timbul akibat jarak yang terlalu lama atau ketidakpastian yang semakin menguat.

Lina duduk di mejanya, menatap layar komputer yang terpasang di depannya. Hari itu adalah hari yang penuh dengan rapat dan tenggat waktu yang menumpuk. Seperti biasa, tugas-tugas di kantor datang tak terelakkan, menuntut perhatian lebih dari yang seharusnya. Tapi meskipun ia sibuk dengan pekerjaan, perasaan rindu kepada Raka tak bisa disembunyikan. Pikirannya terus berkelana ke Bali, ke tempat yang jauh dari kehidupannya yang padat ini. Rindu itu seolah datang dengan cara yang tak terduga—pada saat-saat yang paling sibuk sekalipun.

Setiap kali perasaan itu datang, Lina berusaha mengalihkan perhatian dengan bekerja lebih keras. Namun, ia tahu bahwa itu hanya bertahan sementara. Begitu pekerjaannya selesai, pikiran dan perasaan itu kembali datang—terus-menerus, seperti gelombang yang tak pernah berhenti.

Keadaan ini tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh Raka di Bali. Proyek-proyek foto dan berbagai kegiatan lainnya semakin menambah kesibukannya. Namun, tidak ada satu pun yang bisa mengalihkan pikirannya dari Lina. Meskipun ia tahu bahwa hubungan jarak jauh ini penuh tantangan, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia merindukan Lina lebih dari yang bisa ia ungkapkan. Setiap kali ia mengambil foto, atau berbicara dengan orang lain, ada perasaan kosong yang terus menggantung di hatinya—sesuatu yang tidak bisa ia temukan di dunia nyata selain dalam kehadiran Lina.

Namun, jarak antara mereka semakin menjadi halangan yang nyata. Setiap pesan yang tertunda, setiap panggilan video yang dibatalkan karena kesibukan, semakin mempertegas betapa jauh mereka berada satu sama lain. Lina dan Raka mulai merasa bahwa jarak ini bukan hanya sebuah angka—itu adalah dinding yang memisahkan mereka lebih dalam daripada yang mereka kira.

Jarak ini mulai menggerus kedekatan mereka yang sebelumnya begitu erat. Raka dan Lina mulai merasakan ketegangan yang tak terucapkan dalam setiap percakapan. Mereka berbicara, tetapi seolah ada sesuatu yang hilang—kehangatan yang dulu mereka rasakan, kini mulai terkikis. Ketika mereka berbicara di telepon, percakapan mereka cenderung menjadi singkat dan terburu-buru, tidak seperti dulu ketika mereka bisa berbicara berjam-jam tanpa merasa waktu cukup.

Lina mulai merasakan ada jarak yang lebih dalam di antara mereka. Terkadang, ia merasa seolah Raka tidak lagi tertarik pada pembicaraan yang mereka lakukan. Dalam beberapa kesempatan, percakapan mereka terhenti tanpa arah yang jelas, dan Lina mulai mempertanyakan apakah hubungan mereka masih bisa bertahan.

Pada malam-malam tertentu, Lina duduk di kamarnya, memikirkan semua kenangan indah yang mereka bagi bersama. Ia teringat bagaimana mereka pertama kali bertemu, bagaimana mereka saling membuka hati, dan bagaimana mereka memimpikan masa depan bersama. Tapi sekarang, semua itu terasa seperti mimpi yang jauh, seolah-olah perasaan mereka tidak lagi sekuat dulu. Lina bertanya-tanya, Apakah ini hanya fase sementara? Apakah ini hanya karena jarak yang memisahkan kita, atau apakah ini pertanda bahwa hubungan ini mulai pudar?

Ia merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam, terutama saat Raka tidak lagi mengirimkan pesan sepenuh hati seperti dulu. Meskipun ia tahu bahwa Raka juga sibuk, perasaan itu tetap hadir—perasaan bahwa ada sesuatu yang mulai berubah di antara mereka.

Raka merasakan hal yang sama. Meskipun ia mencoba untuk menjaga komunikasi, ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa jarak ini semakin memperburuk segalanya. Pekerjaan yang menuntut waktu dan perhatian penuh, ditambah dengan kerinduan yang semakin besar, membuatnya merasa terjepit. Rasa kehilangan semakin menggerogoti dirinya. Kadang-kadang, ia merasa bahwa Lina tidak lagi membutuhkan dirinya, meskipun itu hanya perasaan yang tidak terucapkan.

Dalam satu percakapan malam, ketika Raka berbicara dengan Lina, ia mulai merasa cemas. Mereka berbicara tentang segala hal, tetapi tidak ada pembicaraan yang mendalam, tidak ada obrolan tentang masa depan atau impian bersama. Sebaliknya, percakapan itu terasa datar, hanya berkutat pada hal-hal sepele.

“Lina, apa kabar? Apa kamu baik-baik saja?” tanya Raka, meskipun ia tahu jawabannya.

“Aku baik-baik saja,” jawab Lina pelan. Suaranya terdengar datar, hampir seperti tidak ada emosi di balik kata-katanya.

Raka menahan napas. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. “Kamu terdengar… berbeda. Apa yang terjadi?”

“Aku… aku hanya merasa sedikit lelah,” jawab Lina, mencoba menghindari pembicaraan lebih dalam.

Tetapi, di dalam hati mereka berdua, ada ketegangan yang semakin terasa. Mereka tidak lagi bisa berbicara seperti dulu—terbuka dan penuh semangat. Rindu itu, yang dulu membawa mereka lebih dekat, kini malah membuat jarak semakin lebar. Mereka sama-sama terjebak dalam perasaan yang tak terungkapkan, terjebak dalam hubungan yang terbebani oleh harapan dan ketakutan.

Raka merasa bahwa Lina mulai menjauh. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengembalikan kedekatan mereka yang dulu begitu kuat. Bagaimana mereka bisa menjaga hubungan ini tetap hidup jika mereka terus berada di dunia yang terpisah oleh ribuan kilometer?

Pada suatu pagi yang cerah, Lina bangun dengan perasaan kosong. Meskipun hari itu penuh dengan aktivitas, hatinya terasa hampa. Ia mencoba menyibukkan diri dengan bekerja, tetapi kesepian itu tetap menghantuinya. Setiap kali ia membuka ponselnya, ia berharap ada pesan dari Raka—tapi sering kali, pesan itu hanya datang dengan jeda waktu yang panjang, dan ketika datang pun, itu terasa seperti sebuah kewajiban, bukan percakapan yang penuh dengan kasih sayang.

Lina tahu bahwa dia tidak bisa terus-terusan merasa seperti ini. Ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri—apakah dia terlalu bergantung pada Raka untuk merasa bahagia? Apakah perasaan rindu ini hanya menambah beban dalam hidupnya yang sudah cukup rumit?

Begitu juga dengan Raka. Di Bali, meskipun ia dikelilingi oleh pemandangan alam yang indah dan teman-teman yang peduli, perasaan kesepian itu semakin nyata. Ia merasa terisolasi dalam dunianya sendiri, tidak dapat berbicara dengan siapa pun tentang perasaannya yang sebenarnya. Hanya Lina yang bisa membuatnya merasa hidup, tetapi sekarang, bahkan perasaan itu mulai memudar. Mungkin memang benar—jarak ini terlalu besar untuk mereka hadapi.

Beberapa minggu berlalu, dan hubungan mereka semakin terasa stagnan. Raka dan Lina mencoba untuk berbicara lebih banyak, tetapi percakapan mereka lebih sering berakhir dengan ketidakjelasan. Keduanya merasa seperti dua orang yang sama-sama terjebak dalam hubungan yang tak bisa bergerak maju. Rindu yang mereka rasakan kini terasa lebih seperti sebuah beban, bukan kebahagiaan.

Pada satu malam yang penuh ketegangan, Raka memutuskan untuk menelepon Lina dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres, dan ia tidak bisa terus berjalan tanpa kejelasan.

“Lina, kita perlu bicara,” kata Raka dengan suara yang tegas, tetapi ada keputusasaan di balik kata-katanya. “Aku merasa kita semakin jauh. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa kamu merasa hal yang sama?”

Lina terdiam sejenak, mencerna kata-kata Raka. Hatinya terasa berat, dan ia tahu bahwa ini adalah percakapan yang harus terjadi. “Aku tidak tahu, Raka. Aku merasakan hal yang sama. Rindu kita semakin besar, tetapi kita semakin terpisah. Aku merasa seperti kita tidak bisa bertahan seperti ini.”

Raka mendengar kekhawatiran dalam suara Lina, dan ia merasakan hal yang sama. Mereka sudah berusaha, tetapi sepertinya jarak ini terlalu besar untuk mereka atasi.

Bab ini diakhiri dengan perasaan tidak pasti yang menyelimuti keduanya. Meskipun mereka masih saling mencintai, jarak yang memisahkan mereka semakin membuat segalanya menjadi sulit. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka terancam oleh jarak yang semakin besar, dan mereka belum menemukan cara untuk menghadapinya.

Namun, meskipun ada perasaan putus asa, ada juga secercah harapan yang tersisa—mereka masih berkomunikasi, masih saling peduli, dan masih berusaha mencari jalan keluar. Tapi, jalan yang akan mereka pilih, dan apakah mereka bisa bertahan dalam cinta yang terhalang oleh jarak, masih menjadi tanda tanya besar.*

Bab 5: Ujian Cinta

Setelah beberapa waktu berlalu, Lina dan Raka memutuskan untuk bertemu. Mereka bertemu dengan penuh harapan dan kecemasan, merasa bahwa pertemuan ini adalah momen yang bisa mengubah segalanya. Ketika akhirnya bertemu, mereka merasakan campuran emosi—bahagia, cemas, dan takut akan kekecewaan. Namun, pertemuan itu justru menguatkan ikatan mereka, dan mereka menyadari bahwa cinta mereka bukan sekadar ilusi dunia maya.

Selama pertemuan mereka, Lina dan Raka menghabiskan waktu bersama dengan menciptakan kenangan baru, baik yang menyenangkan maupun yang menyentuh hati. Mereka menyadari bahwa meski jarak masih memisahkan, mereka siap untuk menjalani hubungan ini dengan lebih nyata dan penuh komitmen.

Hari-hari yang penuh dengan keraguan kini menjadi rutinitas bagi Lina. Meskipun ia masih berusaha untuk menjaga hubungan dengan Raka, ada sesuatu yang berbeda. Ketika pagi hari dimulai, pikiran pertama yang menyambutnya adalah keraguan akan masa depan mereka. Hati Lina berdebar saat membaca pesan-pesan Raka yang singkat dan terburu-buru. Rasa rindu yang begitu besar kadang terasa seperti beban yang semakin berat untuk dipikul. Ada kalanya ia merasa dirinya terjebak dalam hubungan yang tidak memberi kepastian.

Lina duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan kosong. Pekerjaan yang menumpuk tidak mampu mengalihkan pikirannya dari Raka. Setiap kali ia mencoba untuk melanjutkan pekerjaannya, wajah Raka muncul di benaknya, mengingatkannya pada malam-malam mereka bersama, pada kebersamaan yang semakin terasa seperti mimpi. Mimpi yang semakin pudar oleh jarak dan waktu.

Pikiran Lina terhenti sejenak saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Raka. Dengan hati-hati, ia membuka pesan itu. “Lina, aku akan sibuk minggu depan. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di Bali. Mungkin aku tidak akan sering menghubungimu.”

Mata Lina terasa panas, seakan-akan ada sesuatu yang menghancurkan dalam kalimat tersebut. Seperti angin yang meniupkan dingin yang menusuk ke dalam hatinya. “Aku mengerti,” balas Lina singkat, meskipun di dalam hatinya, ada rasa takut yang tak bisa ia sembunyikan.

Apa yang sedang terjadi dengan mereka? Apa yang terjadi pada Raka? Meskipun mereka sudah berusaha saling memahami, Lina merasakan ada jarak yang semakin dalam antara mereka.

Lina tahu bahwa hidup Raka di Bali tidak mudah. Namun, kenapa ia merasa semakin tersisih? Seperti yang dia katakan, Raka mungkin sibuk, tetapi perasaan Lina mengatakan bahwa ada yang lebih dari sekadar pekerjaan. Ada ketidakjujuran yang mulai muncul, meskipun Raka berusaha menyembunyikannya.

Setelah beberapa jam berlalu, Lina akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi Raka. Ia ingin membicarakan perasaan mereka, ingin tahu apa yang sedang terjadi dengan hubungan mereka. Mungkin inilah saatnya untuk jujur satu sama lain.

Malam itu, Raka akhirnya menjawab telepon dari Lina setelah beberapa kali mencoba menghubunginya. Suara Raka terdengar lebih lelah dari biasanya, dan Lina merasa ada jarak yang begitu jauh meskipun mereka hanya terpisah oleh layar ponsel.

“Raka, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” kata Lina dengan suara yang agak bergetar.

Raka diam sejenak, seolah mencerna kata-kata itu. “Apa itu, Lina?” suara Raka terdengar berat.

“Kenapa kita semakin jarang bicara?” Lina bertanya dengan lembut. “Aku merasa kamu semakin menjauh dari aku.”

Raka terdiam. Lina bisa merasakan ketegangan di ujung telepon. “Aku tidak tahu, Lina. Aku merasa kita mulai kehabisan waktu. Pekerjaan, kehidupan yang berbeda… Semua ini semakin berat.” Raka terdengar sangat jujur, namun Lina bisa mendengar ada sesuatu yang disembunyikan dari kata-katanya. Ada sesuatu yang ia ingin katakan, namun enggan untuk terbuka sepenuhnya.

Lina tidak bisa menahan perasaannya lagi. “Aku merasa seperti aku hanya menjadi orang yang ada di sampingmu, Raka. Aku ingin kita lebih dari sekadar berhubungan lewat pesan singkat dan telepon. Aku ingin kamu benar-benar ada.”

Ada jeda panjang setelah Lina berbicara, dan akhirnya Raka menghela napas berat. “Lina, aku memang ingin ada di sampingmu. Tapi aku merasa kita semakin terpisah. Aku tidak bisa berjanji akan selalu ada karena aku juga sedang berjuang dengan masalahku sendiri.”

Kata-kata itu memukul Lina seperti tamparan keras. Ia tahu bahwa Raka berjuang, tetapi bagaimana dengan dirinya? Bagaimana dengan perjuangannya untuk tetap mempertahankan hubungan ini?

“Apakah kamu ingin berhenti, Raka?” tanya Lina, suara penuh ketakutan.

Ada hening panjang sebelum Raka menjawab. “Aku tidak tahu, Lina. Aku rasa kita perlu waktu untuk berpikir. Aku merasa kita perlu lebih banyak waktu untuk diri kita masing-masing.”

Lina menutup telepon dengan hati yang hancur. Meskipun ia tahu bahwa ini mungkin adalah keputusan terbaik, ia tidak bisa menahan air mata yang mengalir begitu saja. Rasa sakitnya bukan hanya karena jarak, tetapi juga karena ketidakpastian yang semakin besar. Perasaan takut kehilangan itu semakin menggerogoti hatinya.

Hari-hari berlalu setelah percakapan itu, dan meskipun mereka berdua berusaha menjaga komunikasi, suasana semakin terasa canggung. Pesan-pesan mereka menjadi semakin jarang, dan setiap kali ada percakapan, selalu ada kesunyian yang tidak terucapkan di antara mereka. Masing-masing dari mereka mulai merasa bahwa hubungan ini bukan lagi tentang cinta yang menguatkan, tetapi tentang dua orang yang berjuang untuk mempertahankan sesuatu yang sudah tidak bisa dipertahankan lagi.

Pada satu titik, Lina memutuskan untuk mengunjungi Bali. Ia merasa bahwa mungkin, dengan berada di dekat Raka, ia bisa merasakan kedekatan yang sudah lama hilang. Namun, begitu ia tiba di sana, ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam sikap Raka. Ia bisa merasakan ketegangan yang semakin besar antara mereka. Raka terlihat lebih pendiam, dan meskipun mereka menghabiskan waktu bersama, ada jarak yang jelas terlihat di antara mereka.

“Raka, kenapa kamu seperti ini?” Lina bertanya dengan hati yang bimbang.

Raka menghindari tatapan matanya. “Aku merasa ada banyak hal yang belum selesai, Lina. Aku ingin sekali bisa memberimu segalanya, tetapi aku merasa aku sudah tidak punya apa-apa lagi.”

Mendengar kata-kata itu, hati Lina hancur. Ia ingin sekali memeluk Raka dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa cinta mereka bisa mengatasi semua ini. Tetapi ia tahu, bahwa mereka tidak sedang berada dalam waktu yang tepat untuk membuat keputusan besar. Mereka sedang berada di tengah-tengah ujian besar yang menguji kekuatan cinta mereka.

Waktu berlalu, dan meskipun mereka masih berkomunikasi, hubungan mereka terasa semakin rapuh. Rindu yang tak terbalas, janji-janji yang tak bisa ditepati, dan ketidakpastian masa depan semakin menggoyahkan keyakinan mereka. Mereka berdua merasa lelah, tetapi juga takut kehilangan satu sama lain.

Lina merasa bahwa hubungan mereka harus ada titik terang. Ia tidak ingin menyerah begitu saja, tetapi ia juga merasa bahwa hubungan ini tidak lagi memberi kebahagiaan. Raka juga merasa hal yang sama. Namun, keduanya tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.

Suatu malam, Raka mengirim pesan yang mengubah segalanya. “Lina, aku sudah berpikir panjang. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku mencintaimu, tapi aku rasa kita perlu waktu untuk diri kita sendiri. Aku tidak ingin kita saling menyakiti.”

Lina membaca pesan itu dengan hati yang terasa hancur. Bagaimana bisa ia melepaskan seseorang yang telah menjadi bagian besar dalam hidupnya? Tetapi, dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang benar. Mereka berdua perlu waktu untuk menyembuhkan diri mereka sendiri sebelum mereka bisa bersama lagi.***
————-THE END———–

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#cintasejati#HubunganJarakJauh#rindu#UjianCinta
Previous Post

PAHIT NYA DENDAM CINTA

Next Post

AROMA DENDAM DALAM CINTA

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
AROMA DENDAM DALAM CINTA

AROMA DENDAM DALAM CINTA

RINDU YANG MENYENTUH

RINDU YANG MENYENTUH

DENDAM DI BALIK CINTA PERTAMA

DENDAM DI BALIK CINTA PERTAMA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id