Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Tak Terlupakan
Perkenalkan karakter utama, Raya dan Dimas. Raya adalah seorang wanita muda yang tinggal di kota besar dan bekerja sebagai seorang desainer grafis. Dimas adalah seorang pria yang bekerja di luar negeri sebagai insinyur.
Raya dan Dimas bertemu di sebuah acara seminar internasional, yang awalnya tidak mereka duga akan saling mengenal. Percakapan pertama mereka dimulai dengan hal-hal sepele tentang pekerjaan dan hobi. Namun, tidak lama kemudian, mereka merasa ada sesuatu yang kuat di antara mereka.
Kedekatan mereka semakin berkembang, meski hanya dalam waktu singkat. Mereka merasa nyaman satu sama lain, seperti ada ikatan yang sulit dijelaskan. Raya merasa bahwa Dimas adalah seseorang yang tepat, meskipun ia tahu bahwa mereka berasal dari dunia yang berbeda.
Setelah acara berakhir, mereka terpaksa berpisah. Dimas harus kembali ke luar negeri, dan Raya kembali ke rutinitas hidupnya. Momen perpisahan itu menyisakan perasaan kosong di hati mereka.
Raya memandang layar ponselnya dengan mata yang mulai kabur karena lelah. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan layar komputer di hadapannya menampilkan desain yang sudah hampir selesai. Sebagai seorang desainer grafis, ia sering begadang untuk menyelesaikan pekerjaan, tetapi malam itu terasa berbeda. Sesekali, ia menatap keluar jendela, melihat kota yang sepi, hanya diterangi lampu-lampu jalanan yang memantul dari atap mobil yang melintas. Sesekali juga, pikirannya melayang pada satu hal—satu kesempatan yang belum pernah ia rencanakan sebelumnya.
Esok hari, ia harus menghadiri seminar desain internasional di salah satu hotel mewah di kota, dan ia merasa campur aduk tentang hal itu. Ia tidak begitu yakin apakah seminar tersebut akan memberikan manfaat bagi kariernya, tetapi ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa dilewatkan. Rasa tidak nyaman itu semakin meningkat ketika ia menyadari bahwa ia belum mempersiapkan dengan matang apa yang ingin ia presentasikan.
Raya menyandarkan kepalanya di kursi, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang penuh dengan berbagai gambar desain di dinding. Di balik layar laptopnya, hanya ada kegelapan malam dan suara ketikan keyboard yang terdengar pelan. Ia mendesah, merasa lelah, tetapi tetap melanjutkan pekerjaannya, menyelesaikan apa yang bisa diselesaikan malam itu. Namun, di dalam hatinya, ada rasa cemas yang tidak dapat ia elakkan.
Keesokan harinya, Raya bangun terlambat. Alarm yang ia atur di ponselnya sudah berbunyi, tetapi ia terlalu lelah untuk membangunkan dirinya lebih awal. Bergegas, ia bersiap-siap, mengenakan pakaian yang rapi, dan membawa semua perlengkapan yang ia butuhkan untuk seminar. Dengan tas di bahu, ia melangkah keluar dari apartemennya, menyambut hari yang penuh dengan kegelisahan. Hari itu mungkin akan menjadi sebuah kesempatan besar, namun ia juga merasa seperti berada di ujung ketidakpastian.
Sesampainya di hotel tempat seminar berlangsung, Raya disambut dengan keramaian orang-orang yang sudah berkumpul di area registrasi. Suara obrolan dan tawa mengisi udara, sementara beberapa peserta sudah mulai mencari tempat duduk di dalam ruang seminar. Raya merasa sedikit canggung, tidak biasa berada di tengah-tengah orang yang tidak ia kenal. Ia tahu, meskipun seminar ini penting, tidak semua orang yang hadir akan benar-benar memahami visinya.
Setelah menyelesaikan registrasi, Raya melangkah ke dalam ruang seminar. Penuh dengan deretan kursi yang sudah terisi hampir seluruhnya. Ia mencari tempat duduk yang kosong dan menemukan satu kursi di dekat pintu keluar, cukup strategis untuk bisa langsung keluar jika sesi seminar membosankan. Setelah duduk, ia meletakkan tasnya di samping, lalu membuka laptop dan mulai menyiapkan catatan.
Tak lama kemudian, seorang pria tinggi dengan jaket hitam masuk ke dalam ruangan. Sosoknya langsung menarik perhatian Raya, tidak hanya karena postur tubuhnya yang tegap, tetapi juga karena tatapan mata yang penuh antusias. Matanya memancarkan semangat yang langsung membuat orang-orang di sekitarnya tertarik. Ia tersenyum ramah kepada beberapa peserta yang mengenalinya dan kemudian duduk di kursi yang terletak tidak jauh dari tempat Raya duduk.
Raya melirik sekilas, mencoba untuk tidak terlalu memandangi pria itu. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ia merasa pria itu tampak familiar, meskipun ia yakin mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Saat pria itu mengeluarkan laptop dan menyiapkan alat presentasi, Raya menahan rasa ingin tahunya. Ada perasaan aneh yang meresap dalam dirinya—perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Setelah beberapa saat, sesi seminar dimulai. Pembicara pertama memulai dengan topik yang cukup teknis tentang desain grafis dan perkembangan teknologi dalam dunia kreatif. Raya mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap hal yang dirasa penting. Namun, pikirannya tidak bisa sepenuhnya fokus. Matanya kembali tertuju pada pria yang duduk tidak jauh darinya. Meski ia berusaha untuk tetap konsentrasi pada materi, hatinya teralihkan.
Tiba-tiba, suara pria itu terdengar menginterupsi pembicara dengan pertanyaan yang sangat relevan dan tajam. “Bagaimana teknologi ini bisa mengubah cara kita melihat desain tradisional? Apakah kita sudah cukup mengoptimalkan kekuatan visual untuk menciptakan dampak yang lebih besar?” suaranya dalam dan tegas, penuh dengan rasa ingin tahu yang jelas.
Semua orang di ruang seminar terdiam sejenak, memberi perhatian penuh. Raya mendengarkan dengan seksama, dan tanpa sadar, ia tersenyum. Ia bisa merasakan betapa besar passion pria itu terhadap bidang desain. Sesaat kemudian, pria itu menoleh ke arah Raya yang duduk di belakangnya, seolah-olah merasa bahwa ia sedang diperhatikan.
Mata mereka bertemu dalam sekejap, dan ada sesuatu yang tidak biasa di dalam tatapan itu. Senyum tipis muncul di wajah pria itu. “Apakah kamu setuju dengan apa yang saya katakan?” tanyanya, seakan-akan ingin melibatkan Raya dalam percakapan.
Raya terkejut, tidak menyangka akan diajak bicara. Ia merasa sedikit canggung, tetapi dengan percaya diri, ia menjawab, “Tentu. Saya pikir penting untuk selalu mempertimbangkan konteks dan audiens dalam setiap desain yang kita buat. Teknologi harus menjadi alat untuk memperkuat pesan, bukan hanya sekadar tren.”
Pria itu mengangguk, tampaknya tertarik dengan jawaban Raya. “Saya setuju,” katanya, lalu menambahkan, “Saya Dimas, kebetulan saya juga seorang desainer, tapi lebih fokus pada desain produk.”
Raya terkejut. “Desainer produk? Menarik sekali. Saya Raya,” jawabnya, menyodorkan tangan untuk bersalaman.
Percakapan singkat mereka itu terasa seperti petir di siang hari. Tanpa mereka sadari, setelah sesi seminar selesai, keduanya akhirnya berbincang lebih banyak. Mereka menemukan bahwa mereka memiliki banyak kesamaan, mulai dari minat dalam desain hingga pandangan hidup yang mirip. Mereka berbicara tentang berbagai topik, dan semakin lama, obrolan mereka semakin mengalir lancar.
Sore itu, setelah seminar berakhir, Dimas mengajak Raya untuk duduk di sebuah kafe di sekitar hotel. Mereka melanjutkan obrolan mereka tentang kehidupan, karier, dan bahkan impian pribadi yang kadang-kadang terasa jauh dari jangkauan. Dimas menceritakan bagaimana ia harus bekerja di luar negeri untuk mengejar peluang yang lebih besar, sementara Raya berbicara tentang kesulitan yang ia hadapi dalam mengembangkan kariernya di kota besar.
“Mungkin kita harus bertemu lebih sering,” ujar Dimas di akhir percakapan, sambil tersenyum. “Aku rasa ada banyak hal yang bisa kita pelajari satu sama lain.”
Raya tersenyum kecil. “Tentu, saya akan senang sekali.”
Namun, meskipun keduanya sudah merasa sangat dekat, mereka tahu bahwa waktu mereka tidak akan pernah cukup. Dimas harus kembali ke luar negeri, sementara Raya harus terus mengurus kehidupan di kota yang sibuk ini. Tapi malam itu, mereka merasa seolah-olah dunia mereka telah berubah. Ada semacam ikatan yang terbentuk begitu saja tidak direncanakan, namun begitu kuat.
Setelah berpisah, masing-masing berjalan kembali ke kehidupannya, tetapi malam itu, perasaan yang menggetarkan hati mereka tak pernah bisa mereka lupakan. Meskipun mereka belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, mereka tahu satu hal pasti: pertemuan ini akan selalu menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Raya melangkah keluar dari kafe itu dengan langkah ringan, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Ia berusaha menahan senyum yang ingin meliputi seluruh wajahnya, tetapi entah mengapa ada semacam kegelisahan yang mengganggu pikirannya. Sebelum bertemu dengan Dimas, ia tidak pernah merasa sehidup itu dalam percakapan dengan orang baru. Entah mengapa, perasaan itu datang begitu tiba-tiba dan membuatnya merasa seperti ada yang berubah dalam dirinya.
Malam itu, ia pulang ke apartemennya dengan langkah tergesa-gesa, mencoba menenangkan pikirannya. Ia menghela napas panjang dan membuka pintu rumah, disambut dengan keheningan yang biasa mengelilinginya setiap malam. Sambil menaruh tas dan membuka sepatu, ia mengingat kembali percakapan mereka, senyum Dimas yang hangat, dan pandangan matanya yang dalam. Ada sesuatu yang membuat hati Raya berdebar tak terkontrol, sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Apa ini yang disebut cinta pada pandangan pertama?
Ponsel di meja samping tempat tidur bergetar, mengalihkan perhatian Raya dari lamunannya. Ternyata, itu adalah pesan dari Dimas.
Dimas:
“Raya, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk berbicara dengan saya. Saya sangat menikmati obrolan kita. Semoga kita bisa bertemu lagi.”
Raya membalas dengan cepat, mencoba tidak terlalu banyak berpikir.
Raya:
“Terima kasih juga, Dimas. Saya juga menikmati waktu kita tadi. Senang bisa berbicara lebih banyak.”
Dimas tidak langsung membalas. Raya menunggu sejenak, lalu memutuskan untuk melanjutkan rutinitas malamnya. Namun, pikirannya terus terarah pada Dimas. Ia berusaha untuk menepis perasaan yang menggelora itu, tetapi entah kenapa, rasanya begitu sulit untuk mengalihkan perhatian.
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar lagi. Kali ini Dimas mengirim pesan lebih panjang.
Dimas:
“Aku tahu, kita baru saja bertemu, dan mungkin ini terkesan cepat. Tapi aku merasa ada sesuatu yang berbeda denganmu. Aku merasa kita punya banyak kesamaan dalam hal-hal yang kadang orang lain tidak mengerti. Bagaimana kalau kita terus berbicara lebih sering? Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu.”
Raya menatap pesan itu lama, hati yang semula terbalut keraguan perlahan tergerus oleh rasa hangat yang muncul begitu saja. Ada sesuatu yang tulus dalam kata-kata Dimas, dan itu membuatnya merasa lebih tenang.
Raya:
“Aku juga merasa hal yang sama. Kita memang belum mengenal satu sama lain dengan baik, tapi aku senang bisa berbicara denganmu. Jadi, pasti aku akan senang kalau bisa terus berbicara.”
Pesan itu langsung dibalas oleh Dimas dengan cepat.
Dimas:
“Luar biasa. Aku yakin pertemuan ini bukan kebetulan. Semoga kita bisa saling mendukung, walaupun jarak memisahkan kita nanti.”
Kalimat terakhir Dimas itu membuat Raya terdiam sejenak. Ia merasa seperti ada sesuatu yang lebih dalam dalam percakapan mereka. Jarak? Apakah Dimas merujuk pada apa yang Raya pikirkan—bahwa pertemuan ini adalah awal dari hubungan yang tak pasti karena pekerjaan Dimas yang mengharuskannya sering pergi keluar negeri?
Namun, ia memutuskan untuk tidak terlalu banyak berpikir. Bagaimanapun juga, ini baru awal, dan tidak ada salahnya mencoba menjalin hubungan yang lebih dekat, bahkan jika itu dimulai dari jarak yang jauh.
Beberapa Minggu Kemudian
Hari-hari berlalu dengan cepat. Raya dan Dimas terus berkomunikasi melalui pesan teks dan panggilan video. Setiap kali mereka berbicara, ada perasaan hangat yang membuat keduanya semakin nyaman. Mereka berbicara tentang segalanya—tentang pekerjaan, kehidupan pribadi, bahkan rencana-rencana yang mereka impikan di masa depan. Dimas mengajak Raya berbicara tentang perjalanannya ke luar negeri, sementara Raya membagikan pengalaman hidupnya yang penuh dengan tantangan.
Suatu malam, mereka berbicara lebih lama dari biasanya. Dimas bercerita tentang kehidupan kerjanya yang sangat padat di luar negeri, dan bagaimana ia merindukan Indonesia. “Terkadang, aku merasa begitu jauh dari rumah,” katanya, sambil menghela napas. “Tapi ada satu hal yang selalu membuatku merasa lebih dekat—aku selalu berpikir tentang orang-orang yang aku kenal, dan sekarang, termasuk kamu.”
Raya tersentak. Ada rasa hangat yang mengalir di hatinya. “Aku juga merasakan hal yang sama,” jawabnya pelan. “Banyak hal yang berubah sejak kita bertemu. Aku merasa lebih bersemangat.”
Mereka melanjutkan percakapan itu hingga larut malam, hingga keduanya merasa lelah tetapi tidak ingin mengakhiri percakapan mereka. Setiap kata yang keluar dari mulut Dimas terdengar begitu tulus, dan setiap kali Raya mendengar suaranya, ia merasa seolah-olah dunia menjadi lebih kecil. Meskipun mereka terpisah oleh ribuan kilometer, komunikasi mereka terasa sangat intim, hampir seperti mereka berada di ruangan yang sama.
Di Luar Negeri
Dimas kembali ke luar negeri, dan seperti yang sudah dijanjikan, mereka terus menjaga komunikasi. Namun, meskipun keduanya berusaha keras untuk tetap terhubung, ada kalanya jarak dan waktu menguji hubungan mereka. Setiap kali Dimas pergi ke lokasi baru untuk pekerjaan, ada saat-saat ketika mereka sulit untuk berbicara karena perbedaan zona waktu. Raya mulai merasakan kecemasan yang mengganggu, dan kadang ia merasa seperti ia sedang kehilangan Dimas sedikit demi sedikit.
Namun, meskipun ada rasa rindu yang tak tertahankan, Raya mencoba untuk tetap tenang. Ia tahu bahwa ini adalah tantangan dalam hubungan jarak jauh, dan bahwa komunikasi adalah kunci untuk mengatasi rasa rindu itu. Mereka berbicara lebih banyak tentang rencana masa depan, berusaha meyakinkan satu sama lain bahwa meskipun terpisah, perasaan mereka tetap kuat. Setiap kali Dimas mengirimkan pesan atau menelepon, rasa rindu yang besar itu terasa sedikit lebih ringan.
Suatu malam, saat Raya sedang duduk di balkon apartemennya, ponselnya berbunyi. Dimas mengirimkan pesan singkat yang membuat hatinya berdebar.
Dimas:
“Aku rindu kamu. Tidak ada yang seperti perasaan ketika kita berbicara. Aku harap kita bisa bertemu lagi, suatu hari nanti.”
Raya membaca pesan itu berulang-ulang. Ada kehangatan yang ia rasakan di dalam dada, seperti ada ikatan yang semakin kuat meski jarak memisahkan. Ia membalas dengan pesan yang hampir sama.
Raya:
“Aku juga merindukanmu, Dimas. Tidak mudah menjaga jarak ini, tapi aku merasa kita sudah lebih dari sekadar teman. Aku yakin kita bisa melewati semuanya.”
Tidak lama setelah pesan itu dikirim, Dimas menghubungi Raya melalui panggilan video. Malam itu, mereka berbicara lebih lama dari biasanya. Di balik wajah mereka yang terpantul di layar, ada perasaan yang tak terkatakan, perasaan yang lebih dari sekadar kedekatan fisik. Ini adalah sebuah hubungan yang dibangun dari percakapan, pengertian, dan rindu yang terus tumbuh meski terpisah jarak.
Keesokan Harinya
Raya kembali ke rutinitasnya, tetapi pikirannya terus terfokus pada Dimas. Ia merasa bahwa hubungan ini, meskipun penuh dengan tantangan, adalah sesuatu yang berharga. Setiap kali Dimas berbicara tentang masa depan, Raya merasa semakin yakin bahwa cinta mereka akan tumbuh, tidak peduli betapa jauh mereka terpisah.
Dan meskipun keduanya tahu bahwa ada banyak hal yang harus dihadapi, mereka tidak takut. Mereka tahu bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang istimewa—sesuatu yang tidak bisa dibatasi oleh waktu atau jarak.*
Bab 2: Pesan yang Tak Pernah Terucapkan
Dimas kembali ke luar negeri, sementara Raya merasa kehilangan. Mereka mulai berkomunikasi melalui pesan teks dan media sosial. Namun, kesibukan masing-masing membuat komunikasi mereka tidak terlalu intens.
Meskipun komunikasi terbatas, perasaan rindu dan kerinduan yang mendalam tetap ada. Raya mulai merasa cemas karena ia tidak tahu bagaimana perasaan Dimas. Mereka hanya berbicara melalui pesan teks, dan terkadang, Raya merasakan ada jarak emosional meskipun mereka masih saling mencintai.
Raya ingin mengungkapkan lebih banyak perasaan, tetapi selalu ragu. Ia takut jika perasaannya tidak dibalas dengan cara yang sama. Sementara itu, Dimas juga merasa hal yang sama, tetapi terhalang oleh ketidakpastian dan jarak yang begitu jauh.
Seperti biasa, Hani duduk di depan laptopnya, mengetikkan beberapa kalimat untuk pekerjaan yang sepertinya tidak ada habisnya. Di luar jendela, malam sudah merambat lebih dalam, menggelapkan langit kota yang sibuk dengan gemerlap lampu. Namun, bagi Hani, keheningan malam itu terasa semakin menyesakkan. Ia bisa merasakan ketegangan yang menggelayuti hatinya, sebuah perasaan yang sudah beberapa waktu terakhir muncul setiap kali ia berusaha menyendiri. Cinta, yang dulu mengalir deras, kini terasa jauh dan kabur.
Sudah dua tahun sejak terakhir kali ia bertemu dengan Dito. Dua tahun yang terasa seperti dua abad. Mereka berdua terpisah jarak karena pekerjaan Dito yang mengharuskannya tinggal di luar negeri. Selama itu, mereka hanya berkomunikasi melalui pesan dan panggilan video yang semakin lama terasa semakin hampa. Hani menyadari bahwa apa yang mereka miliki, meskipun begitu kuat di awal, semakin memudar seiring berjalannya waktu. Ada jarak fisik yang menghalangi mereka, dan ada jarak emosional yang perlahan tumbuh antara keduanya.
Hani membuka aplikasi pesan di ponselnya. Nama Dito masih ada di daftar kontaknya, tetapi sudah lama ia tidak menerima pesan darinya. Hanya pesan singkat yang berbunyi, “Maaf, sibuk. Nanti aku hubungi.” Terkadang, Dito mengirim pesan dengan ucapan rindu, namun itu hanya terasa seperti kata-kata kosong yang tidak memberikan makna lebih. Hani tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan terhadap semua ini.
Tiba-tiba, matanya tertuju pada satu pesan yang tak pernah ia kirimkan, yang disiapkan namun tidak sempat terungkap. Sebuah pesan yang seharusnya Dito terima pada suatu malam yang kini terasa begitu jauh. Pesan itu ada di dalam draft pesan di aplikasi ponselnya.
Pesan yang Tak Pernah Terkirim:
“Dito, aku sudah mencoba untuk bertahan. Tapi aku merasa semakin lama, kita semakin jauh. Aku tidak tahu apakah kamu masih merasakan hal yang sama. Aku ingin kita bertemu, untuk merasakan kehadiranmu lagi, karena aku rindu. Aku rindu semua tentang kita. Aku harap kamu masih ingin bertemu.”
Hani menatap pesan itu tanpa mengetik apapun lagi. Entah kenapa, hatinya terasa semakin sesak. Ia sudah menulis pesan itu beberapa bulan yang lalu, tetapi setiap kali hendak mengirimkannya, ia ragu. Ragu apakah itu keputusan yang benar. Ragu apakah pesan itu akan membuatnya merasa lebih baik atau malah semakin membuat semuanya terasa lebih rumit. Rasa takut bahwa Dito akan merasa tertekan atau tidak nyaman membuat Hani menahan diri untuk tidak mengirimkannya.
Namun, perasaan itu semakin tak bisa dibendung. Hani merasakan betapa pentingnya pesan itu untuk mengungkapkan apa yang ada dalam hati. Keinginan untuk berbicara dengan Dito, untuk mencari tahu apakah masih ada ruang di antara mereka, seakan semakin kuat. Tetapi, ia juga tahu bahwa setiap hubungan memiliki dinamika yang rumit. Tidak semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan kata-kata.
Setelah beberapa detik penuh keraguan, Hani akhirnya menutup aplikasi pesan itu dan meletakkan ponselnya di meja. Matanya kembali menatap layar laptopnya, namun fokusnya terpecah. Pikirannya teralihkan kembali pada Dito. Ia ingat betul bagaimana mereka dulu bertemu. Itu adalah pertemuan yang tak terduga, yang akhirnya mengubah segalanya dalam hidup mereka.
Kenangan yang Tak Terlupakan
Hani ingat betul malam pertama mereka bertemu. Itu adalah sebuah pertemuan yang tidak direncanakan, yang bahkan sempat membuatnya merasa canggung dan tidak nyaman. Ia sedang berada di sebuah acara gathering teman-teman lama di sebuah kafe di Jakarta, ketika Dito datang dengan teman-temannya yang juga mengenal beberapa orang di kelompok itu. Hani ingat bagaimana Dito mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat sedikit lebih berani dibandingkan orang lain yang hadir. Matanya yang tajam, namun lembut, langsung menarik perhatian Hani, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu memperhatikannya.
Awalnya, percakapan mereka terasa seperti obrolan biasa. Hani berbicara dengan Dito tentang pekerjaan, tentang minat mereka yang sepertinya beririsan dalam banyak hal—mulai dari seni hingga musik. Namun, semakin lama, obrolan itu mulai mengalir begitu saja, hampir seperti ada sebuah kedekatan yang terbentuk begitu cepat tanpa mereka sadari. Ada rasa nyaman yang tidak biasa, seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama.
Tiga jam berlalu tanpa terasa, dan ketika acara selesai, Dito mengajak Hani untuk berjalan bersama ke tempat parkir. Malam itu, mereka berbicara lebih banyak tentang kehidupan masing-masing—tentang mimpi, tentang ketakutan, dan tentang segala hal yang kadang-kadang sulit diungkapkan. Dito membuat Hani merasa dilihat, didengar, dan dihargai. Tanpa sadar, mereka akhirnya menjadi lebih dekat.
Tidak lama setelah pertemuan itu, mereka mulai bertukar pesan. Setiap pesan yang mereka kirimkan terasa seperti benih-benih yang tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar. Hani merasa seperti menemukan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya. Perasaan itu tumbuh begitu cepat, dan begitu kuat. Bahkan sebelum mereka tahu itu, mereka sudah menjadi pasangan yang tak terpisahkan, meskipun dunia mereka berputar dalam jarak yang tak bisa mereka kontrol.
Namun, setelah beberapa bulan, semuanya berubah. Dito mendapatkan tawaran pekerjaan yang mengharuskan dia untuk pindah ke luar negeri. Hani merasa hatinya terjepit, tetapi ia berusaha untuk mendukung keputusan Dito. Mereka berjanji untuk menjaga hubungan ini, untuk bertahan meskipun jarak memisahkan. Namun, semakin lama mereka berusaha, semakin besar rasa cemas yang muncul. Komunikasi mereka mulai berkurang, pesan-pesan yang dulu penuh dengan kata cinta kini menjadi lebih singkat dan formal. Setiap panggilan video terasa semakin hampa, seolah-olah ada jarak yang lebih besar daripada sekadar ribuan kilometer yang memisahkan mereka.
Hani tidak tahu kapan perasaan itu berubah. Kapan hubungan mereka mulai kehilangan gairahnya. Yang ia tahu adalah, malam itu, ia merasa lebih sendirian daripada sebelumnya.
Jarak yang Membesar
Satu bulan terakhir terasa sangat berat bagi Hani. Setiap kali ia membuka ponselnya, ia menunggu pesan dari Dito, namun pesan itu tidak pernah datang. Bahkan jika Dito menghubunginya, percakapan mereka terasa semakin datar, seakan ada tembok yang membatasi mereka. Terkadang Hani merasa seperti seorang asing dalam hubungan mereka sendiri, bertanya-tanya apakah Dito merasakan hal yang sama.
Hari itu, Hani kembali membuka pesan yang ia tulis beberapa bulan yang lalu, pesan yang tidak pernah ia kirimkan. Ia membaca setiap kata dengan hati yang penuh keraguan. Sebuah kalimat yang sederhana namun penuh dengan makna: “Aku ingin kita bertemu, untuk merasakan kehadiranmu lagi, karena aku rindu.” Kalimat itu terasa seperti luka yang belum sembuh. Rindu itu, rasa ingin dekat, ingin bertemu, namun terkadang jarak dan waktu menghalangi semua itu.
Apa yang harus Hani lakukan? Haruskah ia mengirimkan pesan itu dan membuka luka lama? Atau, apakah lebih baik ia membiarkan perasaan itu tetap terkubur di dalam hati?
Namun, semakin ia berpikir, semakin ia menyadari bahwa pesan itu bukan hanya tentang Dito. Itu adalah tentang dirinya, tentang apa yang ia rasakan, dan tentang harapannya untuk hubungan mereka. Mungkin ini saatnya untuk mengatakan apa yang selama ini terpendam. Mungkin ini saatnya untuk membuka percakapan yang selama ini ia hindari.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Hani akhirnya mengetikkan sebuah pesan baru.
Pesan yang Terkirim:
“Dito, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Kita sudah begitu jauh, dan aku merasa semakin sulit untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku rindu, Dito. Aku rindu dengan kita yang dulu. Aku ingin tahu apakah kita masih bisa bertahan, atau apakah ini hanya sebuah kenangan yang tak akan pernah kembali. Aku berharap kita bisa berbicara tentang ini.”
Hani menekan tombol kirim dengan perasaan yang campur aduk. Apa yang akan Dito katakan setelah ini? Apakah ia masih peduli?
Hani memandangi layar ponselnya dengan cemas setelah menekan tombol kirim. Matanya yang terfokus pada pesan yang baru saja ia kirimkan seolah menunggu tanggapan yang akan datang. Setiap detik terasa begitu panjang, dan ia merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak di antara ketikan dan balasan yang belum ada. Sesekali, ia menatap ponselnya, berharap layar itu bersinar menandakan sebuah notifikasi baru.
Namun, beberapa menit berlalu tanpa ada balasan dari Dito. Hani tahu bahwa Dito saat ini berada di luar negeri—waktu di sana berbeda dengan waktu di Jakarta, dan ia sering kali terlambat merespons pesan. Tapi entah kenapa, perasaan cemas yang ia rasakan tidak kunjung reda. Ia tahu, meskipun tak ada yang mengungkapkannya, bahwa hubungan mereka sudah semakin merenggang. Tidak ada lagi kehangatan dalam percakapan mereka seperti dulu. Hanya kata-kata kosong yang terdengar seperti kewajiban, bukan keinginan untuk berbagi lagi.
Hani menatap layar ponselnya sekali lagi, berharap sesuatu akan berubah. Namun tidak ada. Hanya keheningan yang semakin menambah beban di dadanya. Perasaan yang selama ini ia coba pendam, kini tidak bisa lagi disembunyikan. Ia rindu Dito—lebih dari yang ia inginkan untuk akui. Rindu bukan hanya karena ketiadaannya yang begitu jelas, tetapi juga karena kenangan-kenangan yang masih menghantui. Kenangan tentang mereka yang pernah bersama, berbagi cerita, tawa, dan harapan untuk masa depan.
Tapi kenangan itu kini terasa seperti bayangan. Tidak lagi jelas. Tidak lagi hidup.
Kenangan yang Terbengkalai
Hani masih ingat malam itu, saat pertama kali ia bertemu Dito di sebuah kafe yang ramai. Itu bukanlah pertemuan yang direncanakan, tetapi seperti banyak hal dalam hidupnya, kadang yang tak terencana justru yang paling berkesan. Dito datang bersama beberapa temannya yang sudah dikenal oleh teman-teman Hani. Awalnya, percakapan mereka terasa canggung. Dito yang pendiam dan lebih banyak mengamati, dan Hani yang biasanya tidak mudah membuka diri.
Namun, semakin lama, percakapan itu mulai mengalir begitu saja. Dito bercerita tentang pekerjaannya yang menuntutnya untuk bepergian ke luar negeri, tentang betapa ia merasa kehilangan ketika harus jauh dari rumah, dan tentang rindu yang tak pernah bisa diungkapkan. Hani mendengarkan dengan seksama, merasa bahwa Dito adalah orang yang memahaminya lebih baik dari siapapun yang ia kenal. Ada kedekatan yang tumbuh begitu cepat, seperti dua orang yang telah saling mengenal seumur hidup.
Setelah pertemuan itu, mereka mulai sering bertukar pesan. Awalnya hanya pesan singkat, saling bertanya kabar, atau sekadar berbagi cerita tentang pekerjaan. Namun, semakin lama, komunikasi mereka semakin intens. Hani merasa seolah ada bagian dari dirinya yang terhubung dengan Dito, meskipun hanya melalui kata-kata. Ada kenyamanan dalam berbicara dengan Dito, yang membuatnya merasa lebih berarti.
Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin dalam. Dito mulai memberi perhatian lebih, selalu menanyakan apakah Hani sudah makan, bagaimana kabarnya, atau apakah ia sudah tidur. Hani merasa dihargai, dan itu membuatnya merasa lebih hidup. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari hal-hal kecil yang sepele hingga mimpi-mimpi besar yang ingin mereka capai bersama.
Namun, semuanya berubah saat Dito mendapat tawaran pekerjaan yang mengharuskannya pindah ke luar negeri. Awalnya, Hani merasa bingung. Dia tahu bahwa keputusan itu adalah peluang besar bagi Dito, namun ia juga tahu bahwa hubungan mereka akan teruji. Mereka berdua berusaha untuk menjaga hubungan ini, berbicara tentang bagaimana mereka akan tetap saling mendukung meskipun terpisah oleh jarak. Tapi semakin lama, semakin terasa bahwa kata-kata itu hanyalah sebuah penghiburan. Jarak yang memisahkan mereka bukan hanya fisik, tetapi juga emosional.
Setiap kali Dito pergi ke luar negeri, Hani merasakan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia tahu bahwa Dito sibuk dengan pekerjaannya, tetapi kadang-kadang, ia merasa seperti Dito sudah mulai menjauh. Pesan-pesan yang dulu datang dengan cepat kini semakin jarang, dan setiap percakapan terasa seperti upaya untuk mengisi kekosongan, bukan untuk benar-benar berbagi.
Jarak yang Menambah Rindu
Hani duduk di atas ranjangnya, menatap jendela yang terbuka. Angin malam yang sejuk masuk ke dalam kamar, membawa kesunyian yang semakin menambah kesepian hatinya. Ia kembali membuka pesan yang ia kirimkan kepada Dito beberapa menit yang lalu. Ada rasa cemas yang menghantuinya, seolah-olah ia sedang menunggu sebuah jawaban yang akan mengubah segalanya.
Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar. Hani menatap layar dengan cepat, berharap itu adalah pesan dari Dito. Ternyata, hanya sebuah notifikasi dari aplikasi lain. Hani menghela napas pelan, kembali menatap ponselnya dengan penuh harapan. Kenapa Dito belum membalas? Adakah ia terlalu terburu-buru mengirimkan pesan itu? Atau mungkin Dito benar-benar tidak merasakan hal yang sama lagi?
Akhirnya, setelah beberapa waktu yang terasa tak berujung, ponselnya berbunyi. Hani hampir melompat dari tempat duduknya. Sebuah pesan muncul di layar. Dari Dito.
Dito:
“Maaf, Hani. Aku baru saja selesai dengan beberapa pekerjaan di sini. Aku tahu sudah lama tidak menghubungimu, dan aku merasa bersalah. Aku rindu juga, tapi kadang-kadang pekerjaan ini benar-benar menyita perhatian. Aku harap kamu mengerti.”
Hani menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Rindu, kecewa, dan lega bercampur menjadi satu. Dito akhirnya merespons, meskipun kata-katanya terasa formal dan penuh alasan. Ia bisa merasakan bahwa meskipun Dito merindukannya, ada jarak yang semakin besar di antara mereka.
Raya (Hani):
“Aku mengerti, Dito. Aku hanya merasa kita semakin jauh. Aku merindukan kita yang dulu—ketika kita bisa saling bercerita tanpa ada yang menghalangi.”
Pesan itu akhirnya terkirim. Hani merasakan sebuah beban yang terangkat dari hatinya, meskipun tahu bahwa apa yang ia sampaikan tidak mudah untuk diterima. Ia ingin Dito tahu bahwa ia merasakan perubahan ini, dan ia tidak ingin membiarkan hubungan mereka terbenam begitu saja tanpa ada usaha untuk memperbaikinya.
Beberapa menit berlalu, namun tidak ada balasan dari Dito. Hani merasa cemas. Apakah Dito akan merasa tersinggung? Apakah ia akan merasa bahwa Hani terlalu menuntut? Mungkin Dito merasa ia terlalu banyak berharap padanya. Mungkin Dito sudah merasa bahwa hubungan ini tidak lagi berfungsi seperti dulu.
Namun, tak lama setelah itu, ponselnya bergetar lagi.
Dito:
“Aku juga merasa itu, Hani. Aku tidak tahu bagaimana kita bisa kembali seperti dulu, tapi aku tidak ingin kehilangan kamu. Aku ingin berusaha. Mungkin kita bisa bicara lebih banyak, meskipun sulit.”
Hani menatap pesan itu dengan rasa haru. Itu bukan jawaban yang ia harapkan—ia ingin mendengar Dito berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa mereka akan segera bertemu, dan bahwa mereka akan mengatasi semua ini. Tapi ini adalah awal yang baik. Dito mengakui perasaannya, meskipun dengan keraguan yang jelas.
Langkah Pertama Menuju Perubahan
Hani menarik napas dalam-dalam dan mengetik balasan dengan hati yang lebih tenang.
Raya (Hani):
“Aku juga tidak ingin kehilangan kamu, Dito. Mungkin kita harus berusaha lebih keras, mencari cara untuk tetap dekat meskipun terpisah jarak. Aku siap berusaha. Kita akan cari cara, kan?”
Pesan itu terkirim. Hani merasa sebuah kedamaian yang jarang ia rasakan. Meskipun masih banyak ketidakpastian, setidaknya mereka sudah mulai berbicara lagi. Mereka sudah mulai mencoba untuk memperbaiki apa yang sempat retak, dan itu adalah langkah pertama yang penting.
Malam itu, Hani merasa sedikit lebih baik. Meskipun jarak mereka masih besar, setidaknya ada komunikasi yang tulus. Ada harapan yang perlahan kembali tumbuh.*
Bab 3: Cinta yang Diuji oleh Jarak
Dimas mendapatkan tawaran pekerjaan di luar negeri yang lebih menggiurkan. Ini membuat keduanya harus memikirkan masa depan hubungan mereka. Raya merasakan bahwa jika Dimas pergi, hubungan mereka mungkin akan berakhir. Namun, Dimas ingin mengejar kariernya, dan ia merasa bahwa itu adalah kesempatan yang sangat besar.
Raya merasa bingung dan terluka, tetapi ia tahu bahwa cinta sejati tidak hanya bergantung pada kedekatan fisik. Mereka harus mempertimbangkan apakah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi jarak yang semakin jauh. Mereka berbicara tentang masa depan, dan memutuskan untuk mencoba menjalin hubungan meski terpisah.
Meskipun jarak semakin jauh, komunikasi mereka menjadi lebih intens. Mereka mencoba untuk menjaga hubungan dengan cara yang lebih bermakna, mulai dari panggilan video, kiriman surat elektronik yang panjang, dan pesan-pesan yang lebih dalam. Namun, meskipun komunikasi meningkat, masih ada perasaan ketidakpastian.
Beberapa minggu setelah percakapan panjang antara Hani dan Dito, keadaan hubungan mereka tidak berubah banyak. Meskipun ada niat baik dari kedua belah pihak untuk memperbaiki komunikasi, kenyataannya justru lebih sulit dari yang mereka bayangkan. Hani masih merasa terjebak dalam kebingungannya sendiri. Ia ingin percaya bahwa Dito masih mencintainya, tetapi ada banyak hal yang mengganggu pikirannya.
Setiap kali ia membuka ponselnya, ia berharap ada pesan dari Dito. Namun, pesan yang ia terima sering kali datang terlambat, atau bahkan terhenti begitu saja. Dito, yang dulu selalu menghubunginya secara rutin, kini jarang sekali menghubunginya tanpa alasan yang jelas. Hani mulai merasakan kejanggalan dalam hubungan mereka. Ada sesuatu yang hilang. Tidak ada lagi percakapan panjang tentang hari-hari mereka, tidak ada lagi tawa yang mengisi ruang-ruang kosong dalam pembicaraan mereka.
Pagi itu, Hani duduk di meja kerjanya, menatap layar laptopnya dengan penuh kelelahan. Sudah beberapa hari ini ia merasa seperti ada yang mengganjal di hatinya. Di tengah rutinitas pekerjaannya yang padat, ia tak bisa menahan perasaan cemas tentang hubungan jarak jauh yang semakin terasa berat. Bahkan meskipun mereka berdua berjanji untuk bertahan, rasa takut dan keraguan itu tetap menguasai.
Pesan dari Dito pagi itu hanya singkat: “Maaf baru balas, hari-hariku sibuk sekali. Aku rindu kamu.”
Sederhana, tetapi entah kenapa Hani merasa pesan itu tidak cukup untuk menenangkan keresahannya. Ia ingin lebih dari sekadar kata-kata kosong yang sudah lama tidak mengisi hari-harinya. Rindu itu sudah mulai berubah menjadi kebingungan. Rindu, yang dulu begitu mempersatukan mereka, kini terasa seperti beban yang semakin berat.
Hani berbalik menatap ponselnya, berusaha untuk tidak merasa terluka dengan pesan singkat yang tidak memberikan kejelasan. Tetapi, semakin ia menatapnya, semakin ia merasa ketidakpastian itu merayap ke dalam dirinya. Apa yang sebenarnya terjadi pada hubungan mereka? Apakah Dito juga merasakannya? Atau, apakah jarak yang memisahkan mereka telah mengikis semua yang pernah ada?
Dito, yang sekarang tinggal di luar negeri, semakin terhanyut dalam rutinitas kerja yang melelahkan. Pekerjaannya semakin intens, dan dia merasa tak punya cukup waktu untuk memikirkan hubungan jarak jauh mereka. Setiap kali ia berusaha untuk menghubungi Hani, selalu ada alasan lain yang muncul: rapat yang menumpuk, proyek yang harus diselesaikan, dan deadline yang semakin mendekat. Dito merasa terjebak dalam situasi yang membingungkan. Di satu sisi, ia sangat mencintai Hani dan ingin mempertahankan hubungan ini, tetapi di sisi lain, ia merasa bahwa segala sesuatunya sudah mulai sulit diatur.
Dito merasa bersalah karena sering kali terlambat menghubungi Hani, namun di sisi lain, ia tidak tahu bagaimana cara untuk mengatur semuanya. Jarak yang semakin jauh dan tuntutan pekerjaan yang semakin besar membuat Dito terjebak dalam dilema. Ia ingin menjadi pasangan yang baik, tetapi ia juga harus memprioritaskan pekerjaan yang sedang membebani hidupnya. Dalam benaknya, ia berpikir bahwa Hani pasti bisa memahami bahwa ini adalah fase yang sulit dalam hidupnya.
Namun, semakin lama, Dito merasa semakin kesepian. Pekerjaan yang menguras energi dan waktu membuatnya semakin terisolasi. Hanya sesekali ia bisa menikmati waktu luangnya, dan itupun digunakan untuk beristirahat. Ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Rindu yang ia rasakan tidak hanya untuk Hani, tetapi juga untuk dirinya sendiri yang seakan terlupakan di tengah kesibukannya.
Namun, meskipun perasaan ini ada, Dito merasa bingung bagaimana menyampaikannya kepada Hani. Ia takut bahwa Hani akan merasa tidak dihargai atau merasa terabaikan jika ia terus-menerus mengalihkan pembicaraan ke pekerjaannya. Namun, di sisi lain, ia merasa tidak adil jika harus berbohong kepada Hani tentang apa yang sedang ia rasakan. Pekerjaan ini memang penting, tetapi ia tidak ingin membuat Hani merasa terpinggirkan.
Sementara Dito merasa terjebak dalam kesibukan, Hani merasakan ketegangan yang semakin terasa setiap kali mereka berbicara. Pesan-pesan yang dulu mengalir begitu lancar kini terasa kaku. Hani merasa seolah-olah mereka sudah tidak lagi mengenal satu sama lain dengan cara yang sama seperti dulu. Ada kekosongan yang tak bisa diisi hanya dengan kata-kata. Bahkan saat mereka mengatur waktu untuk panggilan video, percakapan mereka terasa canggung. Hani mulai merasa bahwa ada bagian dari Dito yang sudah tidak ia kenali.
Pada malam itu, Hani mengirimkan pesan panjang kepada Dito, mencoba untuk mengungkapkan perasaannya yang sudah terpendam selama beberapa minggu.
Hani:
“Dito, aku merasa kita semakin jauh. Aku tahu kamu sibuk, aku mengerti itu, tapi aku merasa semakin sulit untuk bisa merasakan kehadiranmu. Setiap kali kita berbicara, aku merasa seperti kamu tidak benar-benar ada di sana. Aku merindukan kita yang dulu. Apa yang kita punya masih cukup kuat untuk bertahan? Aku hanya ingin tahu, Dito. Aku ingin tahu apakah kamu masih berjuang untuk kita.”
Hani menatap pesan yang baru saja ia kirimkan. Ia merasa sedikit lega setelah mengungkapkan perasaannya, tetapi juga khawatir. Apa Dito akan memahami perasaannya? Apakah dia akan merasa disalahkan? Hani tak bisa menahan kekhawatiran yang datang begitu saja.
Beberapa menit kemudian, pesan dari Dito akhirnya datang.
Dito:
“Aku mengerti, Hani. Aku juga merasakannya. Aku ingin sekali bisa ada di sana untuk kamu, tapi pekerjaan ini benar-benar menyita waktuku. Aku tidak tahu harus berkata apa, karena aku juga merasa seperti ada yang hilang. Tapi aku tidak ingin kita berakhir seperti ini. Aku ingin kita tetap berusaha, meskipun sulit.”
Hani membaca pesan itu berulang kali. Hatinya terasa lega, namun ada kelelahan yang mendalam di dalam diri Dito. Ia tahu bahwa Dito masih peduli, tetapi kata-kata itu tidak cukup untuk meyakinkan Hani bahwa hubungan mereka bisa bertahan. Rindu yang mereka rasakan sudah berubah menjadi ketegangan yang semakin sulit untuk diatasi.
Setelah percakapan itu, Hani merasa ada sedikit kelegaan, tetapi di saat yang sama, ia masih merasa cemas. Ia tahu bahwa hubungan jarak jauh tidak mudah, tetapi semakin lama ia merasa semakin kehilangan arah. Keterbatasan waktu, kesibukan, dan perasaan yang terkadang sulit dijelaskan membuat mereka berdua berada dalam posisi yang sangat sulit.
Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka berdua berusaha untuk menjaga komunikasi, semakin terasa bahwa cinta mereka diuji oleh jarak. Hani mulai berpikir lebih banyak tentang masa depan mereka. Apakah mereka akan terus berjuang dengan cara ini, atau apakah sudah saatnya mereka mengakui bahwa hubungan ini terlalu berat untuk dipertahankan?
Satu malam, ketika Dito menghubunginya melalui panggilan video, Hani memutuskan untuk membicarakan hal yang sudah ia pikirkan selama beberapa waktu.
Hani:
“Dito, aku ingin kita bicara serius tentang kita. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan seperti ini. Aku merasa kita semakin jauh, meskipun kita berusaha untuk saling mendekat. Kita harus memutuskan apakah kita bisa mengatasi semua ini, atau apakah sudah saatnya kita mencari jalan masing-masing.”
Dito terdiam sejenak. Wajahnya terlihat bingung, tetapi juga penuh dengan penyesalan. Ia tahu bahwa Hani sedang berbicara dari hati, dan ia tidak ingin kehilangan orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Namun, ia juga tahu bahwa pekerjaan dan kehidupan di luar negeri bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja.
Dito:
“Aku tidak ingin kehilangan kamu, Hani. Aku tahu aku telah banyak gagal dalam hal ini, tapi aku berjanji akan berusaha lebih keras. Aku tidak ingin kamu merasa seperti ini.”
Hani menatap Dito, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa ada sedikit harapan kembali. Meskipun ada banyak keraguan, mereka berdua tahu bahwa cinta mereka masih layak diperjuangkan.
ling menguatkan, Hani merasa bahwa kepercayaan diri dalam hubungan mereka semakin pudar. Setiap kali melihat ponselnya, ia merasakan detak jantung yang semakin tak teratur. Ia sudah terlalu sering menunggu pesan yang tidak kunjung datang, atau jika datang pun, itu hanya berupa pesan singkat yang tidak bisa menyembuhkan kerinduannya. Dito, yang dulu begitu rajin menanyakan kabarnya, kini jarang sekali menghubunginya. Pesan-pesan mereka semakin minim, dan perbincangan yang dulu bisa berlangsung berjam-jam kini hanya bertahan beberapa menit.
Pagi itu, Hani menatap layar ponselnya lagi. Hanya ada satu pesan dari Dito. Dito mengabari tentang pekerjaannya yang semakin padat dan menanyakan apakah Hani sudah makan. Meskipun ia tahu Dito tidak berniat buruk, Hani merasa sangat lelah dengan perasaan ini. Rasa rindu yang semakin menguat, namun komunikasi yang semakin berjarak, membuatnya semakin merasakan kesepian yang mencekam.
Ia berjalan ke ruang tamu, menghadap jendela besar yang menghadap ke jalanan yang sibuk. Terkadang, ia merasa seperti hanya seorang diri dalam keramaian. Semua orang tampaknya memiliki pasangan yang bisa mereka temui kapan saja, sedangkan ia hanya bisa menatap layar ponsel yang penuh dengan pesan yang tak terbalas.
Hani menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa ini bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dengan sekadar menunggu. Namun, entah kenapa, menunggu sepertinya menjadi satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang. Hanya menunggu dan berharap, sambil terus menjalani rutinitas hariannya yang monoton. Pekerjaannya yang semakin menumpuk juga tidak banyak membantunya untuk mengalihkan pikiran dari Dito.
Di lain pihak, Dito merasa terjebak dalam kesibukan yang hampir tak ada habisnya. Setiap hari, ia melanjutkan pekerjaannya di luar negeri dengan harapan bahwa ia bisa mencapai tujuannya dan kembali ke tanah air, namun kenyataannya semakin jauh dari harapannya. Meskipun ia tahu Hani merasa terabaikan, ia merasa semakin sulit untuk memberi perhatian lebih. Waktu yang sempit membuatnya terjebak dalam rutinitas yang tidak memberi ruang untuk hal-hal lain, termasuk untuk Hani. Dito tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya tanpa membuat Hani merasa seperti hanya menjadi tambahan dalam hidupnya yang sibuk.
Pada suatu sore, saat sedang duduk di kantor dengan secangkir kopi di tangannya, Dito menatap layar komputer dengan wajah lelah. Pekerjaan yang menumpuk tak kunjung selesai. Namun, di balik kesibukan itu, ada satu pikiran yang selalu menghantui: Hani. Ia merasa bersalah karena semakin jauh dari Hani. Ia merindukan kebersamaan mereka, meskipun ia tahu bahwa jarak dan waktu kini menjadi penghalang yang besar. Ia ingin sekali bisa memberi lebih, tetapi kenyataannya, itu semakin sulit.
Beberapa jam kemudian, ia memutuskan untuk mengirimkan pesan lagi kepada Hani. Tidak ada alasan khusus selain untuk memberi sedikit kelegaan pada dirinya sendiri dan untuk memastikan Hani tahu bahwa ia masih peduli.
Dito:
“Maaf kalau aku jarang menghubungimu akhir-akhir ini, Hani. Aku tahu ini sulit, dan aku merasa kita semakin terpisah. Aku ingin kita bisa melalui ini, tapi aku juga merasa cemas kalau kita terus terjebak dalam jarak seperti ini. Aku rindu kamu.”
Pesan itu akhirnya terkirim. Dito menatap ponselnya dengan cemas. Apa yang akan Hani katakan? Apakah ia akan merasa kecewa? Atau mungkin Hani sudah mulai lelah dengan semuanya? Dito tidak tahu jawabannya, dan itulah yang membuatnya semakin tertekan.
Di sisi lain, Hani sudah membaca pesan Dito. Perasaan campur aduk mengalir di dalam hatinya. Ada perasaan lega karena Dito akhirnya mengakui kesulitan yang mereka hadapi, namun ada juga rasa kecewa yang semakin menguat. Ia merasa bahwa meskipun Dito sudah mengungkapkan perasaannya, kata-kata itu tidak cukup untuk memperbaiki keadaan. Bagaimana bisa mereka bertahan jika setiap kali ada masalah, mereka hanya bisa berbicara lewat layar ponsel?
Hani pun akhirnya mengetik balasan. “Aku rindu juga, Dito. Tapi ini semakin sulit. Aku merasa semakin jauh darimu. Aku tahu kamu sibuk, tapi apakah kita bisa terus seperti ini?”
Setelah mengirimkan pesan itu, Hani merasa sedikit lebih ringan. Namun, di saat yang bersamaan, ia merasa cemas. Apakah Dito akan merasa disalahkan? Apakah kata-katanya terlalu keras? Ia ingin Dito tahu bahwa ia masih mencintainya, tetapi ia juga merasa bahwa mereka berdua perlu berbicara lebih jujur tentang apa yang mereka rasakan.
Beberapa menit kemudian, pesan dari Dito muncul di layar.
Dito:
“Aku juga merasa kita semakin jauh, Hani. Aku ingin sekali bisa memberikan lebih, tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Aku benar-benar merasa cemas tentang kita. Aku tidak ingin kamu merasa seperti ini, tapi aku juga merasa tidak bisa memberi lebih banyak perhatian untuk saat ini.”
Pesan Dito itu terasa seperti sebuah pukulan yang sangat berat. Hani membaca kalimat itu berulang kali, merasa semakin bingung dan lelah. Di satu sisi, ia bisa memahami kesibukan Dito, tetapi di sisi lain, ia merasa semakin dilupakan. Kenapa mereka selalu terjebak dalam komunikasi yang minim seperti ini?
Hani menatap layar ponselnya dalam diam. Ia tidak ingin merespons terburu-buru, karena ia tahu bahwa kata-kata yang salah bisa memperburuk keadaan. Namun, perasaan cemas dan rindu itu terus menerus mengganggu pikirannya. Akankah hubungan ini bertahan? Ataukah mereka akan berakhir seperti hubungan-hubungan lain yang terpecah oleh jarak dan waktu?
Pada malam itu, Hani memutuskan untuk tidur lebih awal, berusaha untuk mengistirahatkan pikirannya yang penuh dengan kekhawatiran. Namun, meskipun ia mencoba untuk menutup mata, hatinya terasa berat. Ia merindukan Dito, dan ia merindukan kenyamanan yang dulu mereka miliki—waktu yang bisa mereka habiskan bersama tanpa memikirkan jarak atau kesibukan.
Pagi berikutnya, Dito mencoba untuk menghubungi Hani. Kali ini, ia memutuskan untuk berbicara lebih terbuka, tanpa menyembunyikan apa yang ia rasakan. Meskipun ada rasa cemas yang menggerogoti dirinya, Dito tahu bahwa jika mereka ingin mempertahankan hubungan ini, mereka harus lebih jujur satu sama lain.
Dito:
“Hani, aku tahu kita sedang mengalami masa sulit, dan aku tahu aku tidak memberi cukup perhatian. Aku merasa seperti kita sedang berada di jalan yang berbeda, dan itu membuatku sangat cemas. Aku tidak ingin kehilanganmu, tapi aku juga merasa aku tidak bisa memberi lebih pada saat ini. Aku harap kamu mengerti.”
Pesan itu terasa berat bagi Dito, tapi ia tahu ini adalah langkah yang perlu diambil. Hani berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam dirinya. Ia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan ketakutannya akan masa depan mereka, atau kebingungannya tentang bagaimana cara mengatasi jarak ini.
Hani, yang sedang duduk di balkon sambil menikmati secangkir teh, membaca pesan itu dengan perasaan yang campur aduk. Ia merasakan kepedihan yang dalam dari setiap kata Dito. Ia tahu Dito berjuang untuk hubungan ini, tetapi ia juga merasa bahwa mereka berdua berada dalam labirin yang semakin rumit.
Hani:
“Dito, aku tidak ingin kita terus terjebak dalam ketidakpastian. Aku ingin kita berbicara dengan jujur, meskipun itu sulit. Aku juga tidak tahu apakah aku masih bisa bertahan seperti ini. Kita harus memilih, apakah kita akan terus berjuang untuk ini atau kita harus mengakhirinya.”
Kata-kata itu akhirnya terkirim, dan Hani menatap layar ponselnya untuk melihat apakah Dito akan merespons. Ia tahu bahwa keputusan ini akan sangat menentukan, dan ia tidak tahu apakah mereka bisa kembali seperti dulu.*
Bab 4: Perasaan yang Semakin Teruji
:Meskipun mereka berusaha keras, jarak ternyata mempengaruhi kepercayaan mereka satu sama lain. Raya mulai merasa cemburu ketika Dimas sering mengunggah foto bersama rekan-rekannya di luar negeri, sementara Dimas merasa Raya semakin menarik diri. Mereka merasa kesulitan untuk menjaga keintiman emosional.
Kepercayaan mulai retak. Raya meragukan perasaan Dimas yang tampaknya lebih sibuk dengan dunia barunya. Dimas juga merasa bingung, takut jika hubungan ini hanya menjadi kenangan masa lalu. Mereka berdua merasakan perasaan tak terucapkan yang semakin sulit dijembatani.
Setelah berdebat panjang, mereka memutuskan untuk memberi jeda satu sama lain. Masing-masing mencoba fokus pada kehidupan pribadi mereka. Meski begitu, mereka tahu, di dalam hati mereka masih ada cinta yang tak pernah pudar.
Hubungan jarak jauh memang bukan hal yang mudah dijalani. Setiap pasangan yang memilih jalan ini harus memiliki kekuatan hati yang besar, penuh dengan komitmen dan kepercayaan. Di tengah jarak yang memisahkan, cinta mereka bukan hanya diuji oleh waktu tetapi juga oleh keadaan yang sering kali tak terduga. Bab ini akan mengisahkan perjalanan emosi yang semakin teruji dalam hubungan jarak jauh antara dua insan yang saling mencintai, Dimas dan Raya.
Perbedaan Waktu dan Rutinitas yang Berubah
Pagi di kota tempat Dimas berada adalah malam bagi Raya. Dengan perbedaan zona waktu yang mencapai tujuh jam, komunikasi menjadi tantangan besar bagi mereka. Dimas bekerja sebagai seorang insinyur di London, sementara Raya adalah seorang penulis skenario yang tinggal
Hubungan jarak jauh memang bukan hal yang mudah dijalani. Setiap pasangan yang memilih jalan ini harus memiliki kekuatan hati yang besar, penuh dengan komitmen dan kepercayaan. Di tengah jarak yang memisahkan, cinta mereka bukan hanya diuji oleh waktu tetapi juga oleh keadaan yang sering kali tak terduga. Bab ini akan mengisahkan perjalanan emosi yang semakin teruji dalam hubungan jarak jauh antara dua insan yang saling mencintai, Dimas dan Raya.
Perbedaan Waktu dan Rutinitas yang Berubah
Pagi di kota tempat Dimas berada adalah malam bagi Raya. Dengan perbedaan zona waktu yang mencapai tujuh jam, komunikasi menjadi tantangan besar bagi mereka. Dimas bekerja sebagai seorang insinyur di London, sementara Raya adalah seorang penulis skenario yang tinggal di Jakarta. Setiap kali mereka ingin berbicara, salah satu harus mengorbankan waktu tidurnya.
“Aku nggak ingin kamu begadang terus-terusan demi aku, Ra,” kata Dimas suatu malam saat mereka berbicara melalui video call.
Raya tersenyum meski matanya terlihat lelah. “Aku nggak keberatan, Mas. Selama bisa dengar suara kamu sebelum tidur, itu sudah cukup.”
Namun, tak bisa dipungkiri, rutinitas yang berbeda mulai menyita perhatian mereka. Ada saat-saat di mana Dimas terlalu sibuk dengan proyek kantor hingga lupa memberi kabar. Raya pun terkadang tenggelam dalam dunia tulisannya dan tanpa sadar melewatkan pesan Dimas.
Keduanya tahu bahwa hubungan mereka semakin teruji. Tapi di balik semua itu, mereka belajar untuk lebih menghargai waktu yang singkat namun bermakna.
Kerinduan yang Membuncah
Jarak membuat setiap pertemuan menjadi sesuatu yang sangat dinantikan. Namun sayangnya, pandemi yang melanda dunia membuat rencana mereka untuk bertemu harus ditunda. Tiket pesawat yang sudah dipesan terpaksa dibatalkan.
“Aku rindu kamu, Mas. Rasanya ingin sekali peluk kamu sekarang,” ujar Raya dengan suara bergetar.
Dimas terdiam sesaat. Ia merasakan hal yang sama. Namun sebagai pria yang selalu berusaha tegar, ia mencoba menyembunyikan emosinya. “Aku juga rindu kamu, Ra. Tapi kita harus kuat. Ini semua sementara.”
Kerinduan yang membuncah itu akhirnya mereka lampiaskan dengan berbagi cerita lewat video call yang panjang. Mereka menonton film bersama secara daring, saling mengirim paket kejutan, dan berbagi playlist lagu favorit.
Namun, tetap saja, tidak ada yang bisa menggantikan hangatnya pelukan atau tatapan mata langsung. Kerinduan itu menjadi ujian terbesar bagi cinta mereka.
Godaan yang Menguji Kesetiaan
Suatu hari, Raya mendapat pesan dari teman lamanya, Bima. Pria itu pernah menyukai Raya semasa kuliah, dan kini ia kembali muncul dalam hidupnya. Awalnya, percakapan mereka hanya sebatas nostalgia. Namun lambat laun, Bima mulai menunjukkan perhatiannya yang lebih dari sekadar teman.
“Kamu nggak bosan, Ra, menjalin hubungan yang cuma lewat layar?” tanya Bima dalam salah satu percakapan mereka.
Raya terdiam. Pertanyaan itu menusuk hatinya. Namun ia segera menggeleng dan menjawab dengan tegas, “Aku nggak bosan, Bim. Aku cinta Dimas.”
Di sisi lain, Dimas juga menghadapi godaan yang tak kalah berat. Rekan kerjanya, seorang wanita cantik bernama Layla, kerap mengajaknya makan malam setelah kerja. Layla adalah sosok yang ceria dan mudah membuat orang merasa nyaman di dekatnya.
Suatu malam, saat Layla kembali mengajaknya makan malam, Dimas dengan tegas menolak. “Maaf, Layla. Aku harus menelepon tunanganku malam ini,” ujarnya dengan senyum ramah.
Keputusan itu bukanlah hal yang mudah, tetapi Dimas tahu bahwa kesetiaan adalah kunci untuk menjaga hubungan mereka tetap utuh.
Komunikasi yang Semakin Dewasa
Seiring berjalannya waktu, Dimas dan Raya menyadari bahwa komunikasi adalah fondasi utama dalam hubungan mereka. Mereka mulai lebih terbuka dalam menyampaikan perasaan masing-masing.
“Aku nggak suka kalau kamu telat kasih kabar, Mas. Aku jadi kepikiran macam-macam,” ungkap Raya suatu malam.
Dimas mendengarkan dengan penuh perhatian. “Maaf, Ra. Aku nggak bermaksud bikin kamu khawatir. Aku janji akan lebih disiplin kasih kabar.”
Di sisi lain, Dimas juga belajar untuk lebih jujur tentang perasaannya. “Aku juga kadang merasa kesepian di sini, Ra. Tapi aku selalu ingat bahwa semua ini untuk masa depan kita.”
Percakapan-percakapan itu membuat hubungan mereka semakin kuat. Mereka belajar untuk saling memahami tanpa menghakimi.
Pertemuan yang Menguatkan
Setelah hampir dua tahun menjalani hubungan jarak jauh, akhirnya Dimas mendapatkan cuti panjang dan bisa pulang ke Indonesia. Raya yang menunggu di bandara merasa jantungnya berdegup kencang saat melihat sosok Dimas muncul dari pintu kedatangan.
Tanpa ragu, mereka berlari ke arah satu sama lain dan saling berpelukan erat. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Raya.
“Aku kangen kamu, Mas. Banget,” ucap Raya dengan suara bergetar.
“Aku juga, Ra. Akhirnya kita bisa ketemu lagi,” balas Dimas dengan suara penuh haru.
Pertemuan itu menjadi momen yang sangat berharga bagi mereka. Semua kerinduan yang terpendam selama ini akhirnya terbayar lunas. Mereka menghabiskan waktu bersama dengan penuh cinta dan kebahagiaan.
Pelajaran dari Perjalanan Ini
Hubungan jarak jauh mengajarkan Dimas dan Raya banyak hal. Mereka belajar tentang pentingnya komunikasi, kesetiaan, dan saling pengertian. Meskipun jarak sering kali menjadi tantangan, cinta mereka justru semakin teruji dan tumbuh lebih kuat.
Kini, mereka tahu bahwa cinta sejati bukan hanya tentang kebersamaan fisik, tetapi juga tentang keteguhan hati dalam menjaga perasaan meski terpisah oleh jarak dan waktu.*
Bab 5: Penantian yang Tak Terbatas
Raya mulai menerima kenyataan bahwa hubungan mereka tidak bisa dipaksakan. Ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri dan menemukan kebahagiaan dalam perjalanan hidupnya. Dimas juga merasa sama, ia menyadari bahwa hubungan mereka harus tetap dihargai, meskipun terpisah oleh jarak.
Mereka menyadari bahwa cinta tak terbatas pada waktu atau jarak. Meskipun hubungan mereka tidak dapat disertai dengan kehadiran fisik, ada ikatan yang lebih dalam antara mereka yang tidak terpengaruh oleh jarak. Mereka memutuskan untuk tetap berjuang dengan cara mereka masing-masing.
Setelah berbulan-bulan menjalani hubungan yang terpisah, akhirnya Dimas memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Raya merasa cemas dan berdebar, tetapi ia tahu bahwa ini adalah langkah besar dalam hubungan mereka. Mereka akan saling bertemu dan mencoba untuk memulai lagi, dengan harapan bahwa cinta yang mereka rasakan dapat mengatasi segala rintangan.
Penantian merupakan tema yang seringkali diangkat dalam berbagai karya sastra. Dalam kehidupan sehari-hari, penantian bisa menjadi momen penuh harapan, kegelisahan, atau bahkan keputusasaan. Penantian yang tak terbatas adalah bentuk penantian yang seakan tidak pernah ada akhirnya, yang terus berlanjut meskipun waktu terus berlalu. Dalam cerita ini, kita akan menggali lebih dalam mengenai penantian yang dialami oleh dua tokoh utama: Raya dan Dimas.
Bab ini akan mengupas perjalanan batin kedua tokoh yang terperangkap dalam suatu kondisi penantian yang tiada henti. Penantian mereka tidak hanya berkisar pada waktu yang ditunggu, tetapi juga pada perasaan yang berlapis, yang kadang terasa tak terjangkau, namun tetap ada, mengikat mereka dalam ikatan yang hampir tidak tampak. Menggali dinamika psikologis, emosional, dan filosofis dari penantian yang tak terbatas ini akan membawa kita ke pemahaman lebih dalam mengenai bagaimana waktu dan harapan membentuk takdir.
perempuan muda yang sejak lama kehilangan arah dalam hidupnya. Kehilangan orang terdekat—mungkin seseorang yang sangat berarti baginya—meninggalkan luka mendalam. Namun, meski kehilangan tersebut sudah terjadi, perasaan dan harapan terhadap sosok yang hilang terus membekas dalam dirinya. Raya berada dalam penantian yang tidak pernah benar-benar dimulai, tetapi juga tidak pernah berhenti. Setiap harinya, ia hidup dalam kenangan yang membekas, menunggu sesuatu yang tak pasti: kemungkinan kembalinya orang yang telah hilang atau, lebih tepatnya, suatu titik di mana ia bisa menerima kenyataan bahwa orang tersebut tak akan pernah kembali.
Karakter Raya dipenuhi dengan kontradiksi yang rumit: ia menunggu dengan penuh harap, namun takut pada kenyataan yang akan diterimanya jika harapan itu tidak terwujud. Penantian Raya bukan hanya tentang waktu yang terhenti, tetapi juga tentang pencarian diri. Dalam setiap detik penantian, ia mencari makna dan tujuan yang belum ia temukan.
Di sisi lain, Dimas adalah sosok yang terjebak dalam rutinitas kehidupan tanpa arah yang jelas. Meski ia tidak merasakan kehilangan seketika seperti Raya, Dimas merasa hidupnya semakin terisolasi dari dunia luar. Ia tidak memiliki ikatan emosional yang dalam, dan segala yang ada dalam hidupnya terasa statis dan tidak berubah. Dimas merasa seolah hidupnya adalah sebuah penantian yang terus berlangsung tanpa ada alasan yang jelas untuk menunggu.
Namun, satu-satunya hal yang menahan Dimas dalam penantian ini adalah keyakinannya bahwa sesuatu yang besar—mungkin sebuah pengalaman atau sebuah pertemuan—akan datang di suatu saat. Sayangnya, ia tidak tahu kapan itu akan terjadi, dan apakah ia akan siap untuk menyambutnya.
Penantian yang dialami Raya dan Dimas bukanlah penantian yang bisa diukur dengan jam atau kalender. Mereka berada dalam ruang-ruang batin yang saling tumpang tindih, antara harapan dan kenyataan, antara perasaan yang tak terungkapkan dan keinginan yang tak terwujud. Dalam bab ini, kita akan menyelami lebih dalam tentang bagaimana penantian mereka membentuk mereka, baik dalam cara mereka melihat dunia, maupun dalam cara mereka berinteraksi dengan orang lain.
Bagi Raya, setiap hari adalah sebuah pengulangan dari hari-hari sebelumnya, sebuah rutinitas yang seakan tidak pernah berakhir. Ia terjebak dalam kenangan masa lalu yang terus menghantui, tetapi juga dalam harapan akan sesuatu yang belum pasti. Ia menunggu tanpa tahu kapan waktu itu akan datang, dan apakah kedatangannya akan membawa kebahagiaan atau kesedihan yang lebih dalam. Waktu, bagi Raya, tidak lagi menjadi sekadar ukuran, tetapi lebih kepada keadaan batin yang terus berputar, seolah-olah ia terjebak dalam satu titik yang tak dapat dilewati.
Bagi Dimas, waktu juga terasa tidak bergerak maju. Namun, ia tidak terjebak dalam kenangan seperti Raya. Sebaliknya, Dimas merasakan kekosongan yang melingkupi dirinya. Ia menunggu perubahan, namun tidak tahu bentuk perubahan itu. Tidak ada kenangan yang membekas, tetapi ada rasa ketidakpastian yang terus mengganggunya. Seperti menunggu sesuatu yang akan datang, meskipun ia tidak tahu apa yang ia tunggu.
Penantian juga membawa beban emosional yang besar bagi kedua tokoh ini. Raya, dengan segala harapannya yang terkubur dalam hati, seringkali terjebak dalam ketakutan bahwa harapan-harapannya tidak akan terwujud. Ia hidup dengan rasa rindu yang tidak bisa ia ungkapkan, karena ia tidak tahu apakah ada yang akan mengerti perasaannya. Rindu ini bukan hanya untuk sosok yang hilang, tetapi juga untuk dirinya sendiri—untuk menemukan kembali siapa dia di tengah-tengah penantiannya.
Dimas, meskipun tidak seintens Raya dalam pengalamannya, merasakan kesepian yang tak terucapkan. Ia merasa seperti berada di tepi jurang, di mana segala sesuatu yang ia lakukan terasa sia-sia, namun ia tetap bertahan dengan harapan bahwa suatu saat, segala sesuatu akan berubah. Namun, perasaan ini tidak pernah benar-benar bisa ia bagi dengan siapa pun. Ia merasa bahwa tidak ada yang bisa memahami apa yang ia rasakan, dan dengan demikian, ia terus memendam perasaan itu dalam-dalam.
Ketika Raya dan Dimas bertemu, ada semacam kekuatan magnetis yang tak dapat dijelaskan. Keduanya berada dalam penantian yang berbeda, namun keduanya merasakan kesamaan dalam hal kesepian dan harapan yang tidak terwujud. Meskipun mereka tidak berbicara tentang penantian mereka secara langsung, ada pemahaman yang tersembunyi di balik setiap kata yang mereka ucapkan. Mereka saling menguatkan tanpa benar-benar menyadari bahwa mereka berada dalam penantian yang sama—penantian terhadap makna hidup, terhadap perubahan, dan terhadap sebuah kebahagiaan yang belum terwujud.
Namun, meskipun ada koneksi antara keduanya, perjalanan batin mereka tetap terpisah. Raya masih terjebak dalam kenangan masa lalu yang membuatnya sulit untuk melangkah maju, sedangkan Dimas merasa kosong dan kehilangan arah. Kedua karakter ini menghadapi dilema yang berbeda, namun dalam satu hal mereka sama: mereka menunggu sesuatu yang tidak pernah benar-benar datang.
Penantian yang tak terbatas yang dialami oleh Raya dan Dimas tidak hanya tentang menunggu waktu atau momen yang tepat. Penantian mereka adalah cermin dari kehidupan itu sendiri—sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan harapan, ketidakpastian, dan keinginan yang tak terucapkan. Dalam perjalanan ini, mereka belajar untuk menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu bergerak sesuai dengan kehendak kita, dan bahwa penantian, dalam banyak hal, adalah bagian dari pencarian diri yang terus berlanjut.
Penantian yang tak terbatas juga menggambarkan bagaimana waktu tidak selalu memberikan jawaban yang kita cari. Terkadang, yang kita tunggu tidak datang dalam bentuk yang kita bayangkan, dan terkadang, kita harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa ada hal-hal yang tidak dapat kita kontrol. Dalam konteks ini, penantian menjadi proses yang mengajarkan kesabaran, pengertian, dan penerimaan.
Raya dan Dimas, dalam perjalanannya masing-masing, akhirnya akan menemukan bahwa penantian mereka—meskipun tampak tidak berujung merupakan bagian dari perjalanan hidup yang lebih besar. Mereka belajar bahwa terkadang, yang paling penting bukanlah apa yang kita tunggu, tetapi bagaimana kita belajar untuk hidup dengan penantian itu sendiri.
Bab 6: Cinta Tak Terbatas
Saat akhirnya mereka bertemu di bandara, semua keraguan dan ketidakpastian seakan menghilang. Mereka merasa bahwa cinta yang mereka jaga selama ini memang tak terhingga, dan tidak terikat oleh jarak atau waktu.
Dengan penuh keyakinan, mereka mulai merencanakan masa depan mereka bersama. Mereka tahu bahwa masih banyak tantangan yang harus mereka hadapi, tetapi mereka percaya bahwa cinta mereka dapat mengatasi segalanya.
Cinta adalah kekuatan yang tak terukur. Ia bisa tumbuh dalam keheningan, berkembang dalam ketidakpastian, dan bertahan meskipun terpisah oleh waktu dan ruang. Cinta yang tak terbatas bukanlah tentang sekadar perasaan, tetapi tentang pemahaman yang mendalam, pengorbanan, dan keberanian untuk terus mencintai tanpa mengharap balasan. Itu adalah cinta yang tidak mengenal batas, baik itu jarak, waktu, atau keadaan.
Bagi Maya dan Bima, cinta ini menjadi ujian terbesar dalam hidup mereka. Sejak pertama kali bertemu, mereka tahu bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara mereka. Sebuah ikatan yang kuat, yang meskipun diuji oleh jarak dan waktu, tidak pernah pudar. Namun, seperti halnya cinta yang sejati, perjalanan mereka tak selalu mulus. Ada rintangan, kesalahpahaman, dan ketakutan yang harus mereka hadapi untuk mempertahankan apa yang mereka miliki.
Bab ini akan mengungkapkan perjalanan emosional mereka yang penuh tantangan, ketegangan, dan juga kebahagiaan, saat mereka berusaha menjaga cinta mereka tetap hidup, meskipun dunia terus berubah di sekitar mereka.
Maya duduk di tepi jendela apartemennya, menatap keluar dengan mata yang kosong. Hujan deras mengguyur kota, dan jalanan yang basah memantulkan cahaya lampu jalan. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya—sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan kepada siapapun. Sudah hampir setahun sejak Bima pergi meninggalkan kota untuk pekerjaan yang mengharuskan ia berpindah tempat. Setiap malam, mereka menghubungi satu sama lain melalui video call atau pesan teks, namun Maya merasa ada jarak yang semakin lebar di antara mereka, meskipun secara fisik mereka masih dekat dalam percakapan.
Ia ingat saat pertama kali bertemu Bima. Ia masih ingat betul bagaimana mereka tersenyum malu-malu satu sama lain di sebuah kafe kecil, bagaimana Bima menatapnya dengan mata penuh rasa ingin tahu, dan bagaimana dia membuatnya merasa seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua. Waktu itu, Maya merasa bahwa hidupnya akan penuh dengan petualangan dan kebahagiaan bersama Bima. Namun, kini, ia merasakan kebingungan yang menyelimuti dirinya.
Cinta mereka diuji oleh jarak dan kesibukan. Bima yang selalu memiliki jadwal yang padat, sementara Maya, meskipun di kota yang sama, merasa terisolasi. Ada rasa cemas yang terus mengganggunya—bagaimana jika cinta ini tidak bertahan? Bagaimana jika Bima sudah tidak merasa sama seperti dulu?
Maya meletakkan telepon genggamnya di meja dan menatap langit malam. Ia merasa terjebak dalam perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Ia rindu Bima, tetapi juga takut untuk sepenuhnya membuka hatinya. Cinta yang ia rasakan untuk Bima bukanlah cinta yang biasa. Itu adalah cinta yang dalam, yang datang dengan keinginan untuk bersama, namun juga dengan rasa takut yang besar—takut akan kehilangan, takut akan perpisahan yang tak terhindarkan.
Bima sedang duduk di meja kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laptop yang terbuka. Pekerjaan yang memaksanya berpindah dari satu kota ke kota lain sudah mulai terasa melelahkan. Ia sering kali terbang ke berbagai tempat untuk proyek-proyek yang membutuhkan perhatian penuh, dan jarak yang terbentang antara dia dan Maya mulai menambah beban emosionalnya. Meskipun ia selalu berusaha menjaga hubungan mereka dengan komunikasi rutin, Bima merasa ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang tidak bisa ia identifikasi dengan jelas.
Ia menatap foto Maya yang terletak di meja kerjanya. Itu adalah foto mereka berdua di sebuah taman, pada hari yang cerah. Maya tersenyum lebar, matanya yang cerah memancarkan kebahagiaan. Bima merindukan senyum itu, merindukan tawa mereka yang biasa mengisi setiap percakapan. Namun, ada satu hal yang ia sadari—ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan tidak memberikan cukup perhatian untuk hubungan mereka. Ia takut, namun ia juga merasa tidak bisa berhenti. Pekerjaan adalah kewajiban yang harus ia lakukan untuk masa depan mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, Bima mulai merasa bahwa pekerjaannya tidak lagi memberikan kepuasan yang sama. Ada perasaan hampa yang mulai merayap dalam dirinya. Ia merasa seperti kehilangan arah, seperti bagian dari dirinya yang lebih penting tertinggal. Bagian itu adalah Maya. Cinta yang ia miliki untuk Maya semakin kuat, tetapi semakin lama ia terpisah darinya, semakin besar pula ketakutannya untuk kembali ke kehidupan yang dulu. Ia takut jika cinta mereka tidak lagi sama seperti sebelumnya.
Pagi itu, ketika Bima memeriksa ponselnya, ia melihat sebuah pesan dari Maya yang mengatakan, “Aku merasa terjauhkan darimu, Bima. Kita butuh lebih banyak waktu bersama.” Pesan itu membuat hatinya terasa berat. Ia tahu bahwa Maya benar—hubungan mereka memang mulai terasa renggang, dan ia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Namun, ia juga tahu satu hal: ia tidak ingin kehilangan Maya. Ia ingin kembali, tetapi entah bagaimana caranya.
Beberapa minggu setelah pesan itu, ketegangan mulai memuncak. Maya dan Bima akhirnya memutuskan untuk bertemu di sebuah tempat yang mereka pilih bersama pada awal hubungan mereka—taman kota yang menjadi saksi awal cinta mereka. Maya datang lebih awal dan duduk di bangku taman, menunggu dengan perasaan campur aduk. Ketika Bima akhirnya datang, mereka berdua saling memandang sejenak. Ada keheningan yang terasa berat di antara mereka.
“Maya,” Bima akhirnya membuka suara, “Aku tahu kita sudah banyak berbicara lewat telepon, tapi aku merasa… kita semakin jauh. Aku tidak tahu harus bagaimana.”
Maya menghela napas panjang, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku juga merasakannya, Bima. Rasanya kita sudah tidak seperti dulu lagi. Ada sesuatu yang hilang, dan aku takut itu akan semakin lebar.”
Bima menggenggam tangan Maya, berusaha memberikan rasa nyaman, meskipun ia tahu dirinya pun sedang terombang-ambing. “Aku takut kita tidak akan bisa melewati ini. Aku takut aku akan kehilanganmu.”
Maya menatapnya dalam-dalam, lalu berkata pelan, “Cinta itu bukan hanya tentang bersama. Cinta itu tentang memberi ruang, memberi waktu untuk tumbuh. Aku tidak ingin kita terjebak dalam kebingungan ini. Jika memang kita ditakdirkan bersama, kita akan menemukan jalan.”
Air mata menetes di pipi Maya, namun ia merasa ada sesuatu yang lebih besar dari rasa takut dan cemas itu—yaitu keyakinan bahwa cinta mereka, meskipun teruji, tak akan pernah benar-benar hilang. Mereka hanya perlu menemukan cara untuk menghadapinya bersama.
Setelah pertemuan itu, Maya dan Bima memutuskan untuk memberi jarak satu sama lain. Mereka menyadari bahwa cinta yang mereka miliki memang tak terbatas, tetapi untuk menjaga hubungan tetap sehat, mereka perlu memberi ruang untuk diri mereka masing-masing. Cinta tak terbatas bukanlah tentang terus-menerus bersama, tetapi tentang memberi kebebasan untuk berkembang, mengerti, dan belajar.
Bima kembali ke pekerjaannya dengan semangat baru. Ia mulai belajar untuk menyeimbangkan hidupnya, antara pekerjaan dan hubungan. Maya, di sisi lain, mulai menemukan kebahagiaan dalam dirinya sendiri. Ia fokus pada karirnya dan menemukan makna hidup yang lebih dalam, tanpa bergantung sepenuhnya pada Bima. Mereka berdua menyadari bahwa untuk menjaga cinta, mereka harus menjadi pribadi yang lebih baik, terlebih dahulu untuk diri mereka sendiri.
Setelah beberapa bulan, mereka kembali bertemu, namun kali ini dengan kedewasaan yang lebih besar. Mereka tidak lagi menuntut satu sama lain, tetapi saling menghargai. Mereka tahu bahwa meskipun terpisah oleh waktu dan ruang, cinta mereka akan tetap ada, tak terbatas oleh apapun.
Cinta yang sejati adalah cinta yang mampu bertahan di tengah segala tantangan, apapun bentuknya. Cinta tak terbatas bukan hanya tentang seberapa besar perasaan dua hati, tetapi tentang kemampuan untuk tetap saling menghargai, memahami, dan memberi ruang satu sama lain meski dalam keterpisahan. Cinta yang tak terbatas adalah cinta yang, meski terhalang oleh ribuan kilometer atau waktu yang panjang, tidak pernah pudar. Sebaliknya, ia justru tumbuh semakin dalam, seiring berjalannya waktu.
Bagi Maya dan Bima, cinta mereka telah melewati banyak ujian. Mereka telah bersama selama beberapa tahun, dan meskipun hubungan mereka semula penuh dengan kebahagiaan dan petualangan, tak ada yang bisa mempersiapkan mereka untuk ujian terbesar yang datang dalam bentuk jarak. Jarak yang terentang antara Jakarta, tempat Maya tinggal, dan kota-kota lain tempat Bima bekerja, menjadi sebuah tantangan yang tak bisa dihindari.
Bima, yang awalnya berharap pekerjaan dan mimpinya akan membawanya lebih dekat dengan tujuan hidupnya, kini mulai merasakan beban besar—terutama beban emosional dari hubungan jarak jauh yang semakin lama terasa semakin berat. Maya, yang berada di Jakarta, merasa semakin jauh dengan Bima meski mereka tetap berusaha berkomunikasi melalui telepon dan pesan singkat. Mereka berdua merasa ada sesuatu yang hilang dalam hubungan mereka, sesuatu yang tak bisa mereka jelaskan, namun sangat terasa.
Namun, meski ada keraguan dan ketakutan, Maya dan Bima tetap memegang teguh satu hal: cinta mereka. Ini adalah kisah tentang bagaimana mereka berjuang untuk menjaga cinta yang tak terbatas, meskipun dihadapkan dengan kenyataan yang pahit.
Maya duduk di meja makan kecil yang menghadap ke jendela apartemennya, menatap ke luar dengan tatapan kosong. Hujan deras mengguyur jalanan Jakarta, menambah kesendirian yang mulai ia rasakan. Pikirannya melayang jauh, menuju Bima, yang kini sedang jauh di luar kota. Mereka sudah beberapa minggu tidak bertemu, dan meskipun Maya mencoba untuk selalu tampak kuat, hatinya merasa kosong.
Selama ini, Maya telah berusaha untuk menjaga hubungan mereka tetap hidup. Ia merasa bersyukur setiap kali mendengar suara Bima melalui telepon, meski sesekali percakapan mereka hanya berisi tentang hal-hal biasa, tanpa ada kedalaman seperti dulu. Maya sering kali bertanya pada dirinya sendiri, apakah ini benar-benar cinta yang mereka miliki? Apakah jarak ini memang cukup kuat untuk mempertahankan hubungan mereka? Rasa rindu yang tak terungkap seringkali membuat Maya terjaga sepanjang malam, memikirkan Bima, memikirkan bagaimana mereka bisa kembali ke titik awal, saat semuanya terasa begitu mudah dan indah.
Tapi kenyataannya, kehidupan mereka kini penuh dengan ketidakpastian. Setiap kali ia membuka aplikasi pesan di ponselnya, ia merasakan ada kekosongan. Bima sibuk dengan pekerjaannya, dan ia sendiri juga harus menghadapi rutinitas kerja yang tidak kalah padat. Maya tahu, mereka berdua mencoba yang terbaik, tetapi ada saat-saat ketika ia merasa kesepian, terjebak dalam kebisuan yang hanya terisi oleh pesan-pesan singkat dan janji-janji yang belum terwujud.
Kadang, Maya merasa bahwa ia terlalu takut untuk berbicara tentang keraguannya. Ia takut jika ia mengungkapkan ketakutannya, itu justru akan membuat Bima merasa tertekan. Tetapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa jika mereka ingin terus bersama, mereka harus belajar untuk lebih terbuka satu sama lain.
Bima duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan catatan yang harus segera diselesaikan. Pekerjaannya yang menuntut membuatnya sering berpindah tempat, dari satu kota ke kota lainnya, dan meskipun ia berusaha menjaga komunikasi dengan Maya, ada perasaan hampa yang mulai merayap dalam dirinya. Bima merasa seperti ada sesuatu yang hilang, dan ia tak bisa menggambarkan dengan jelas apa yang membuatnya merasa seperti ini.
Maya, yang dulu selalu bisa membuatnya tertawa dan merasa ringan, kini terasa semakin jauh. Bima tahu bahwa ia telah mengabaikan Maya, meski ia tidak sengaja. Ia merasa terjebak antara tanggung jawab pekerjaan dan keinginannya untuk tetap dekat dengan orang yang ia cintai.
Saat pertama kali mulai menjalin hubungan dengan Maya, Bima merasa dunia mereka penuh dengan kemungkinan. Mereka berbicara tentang masa depan, berbagi mimpi dan impian. Tetapi seiring berjalannya waktu, kesibukannya yang semakin meningkat membuat semuanya tampak semakin jauh. Bima ingin menjadi pria yang lebih baik untuk Maya, pria yang bisa memberikan lebih banyak waktu dan perhatian. Namun, kesibukannya selalu menghalanginya.
Ada malam-malam ketika Bima terbangun dari tidurnya, merenungkan hubungan mereka. Ia merasa khawatir apakah Maya masih mencintainya seperti dulu? Apakah mereka masih bisa bertahan meskipun terpisah begitu jauh? Apa yang akan terjadi jika jarak ini semakin lebar, jika mereka semakin sibuk dan semakin jauh dari satu sama lain?
Suatu malam, ketika Bima sedang berbicara dengan Maya melalui video call, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan yang tak bisa mereka hindari lagi. Bima menyadari bahwa mereka berdua sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih besar dari sekadar jarak fisik—mereka sedang berjuang dengan perasaan yang terpendam dan rasa takut akan kehilangan satu sama lain.
“Maya,” kata Bima, suara serius, “aku tahu ini bukan hanya tentang kita yang jauh. Aku tahu aku banyak salah. Aku tidak memberi perhatian yang cukup padamu. Aku minta maaf.”
Maya terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan suara lembut namun penuh arti, “Bima, aku tahu kamu sibuk. Aku tidak marah. Aku hanya merasa… aku kehilanganmu.”
Setelah percakapan itu, Maya dan Bima memutuskan untuk memberi sedikit jarak satu sama lain, bukan karena mereka tidak saling mencintai, tetapi karena mereka merasa hubungan ini membutuhkan ruang untuk berkembang. Mereka membutuhkan waktu untuk mengevaluasi perasaan masing-masing dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dari hubungan ini.
Maya pergi mengunjungi orang tuanya di luar kota selama beberapa minggu. Ia berusaha untuk lebih fokus pada dirinya sendiri, menikmati waktu bersama keluarga, dan memberi diri kesempatan untuk berpikir dengan jernih. Bima, di sisi lain, melanjutkan pekerjaannya yang penuh dengan tantangan, tetapi ia juga berusaha untuk menemukan kembali dirinya, untuk memahami apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup dan dalam hubungan mereka.
Selama masa ini, mereka berdua belajar banyak tentang diri mereka sendiri dan tentang cinta yang mereka miliki. Maya menyadari bahwa cinta tidak selalu harus terjalin dalam kehadiran fisik, tetapi dalam pengertian dan saling mendukung satu sama lain. Bima pun menyadari bahwa meskipun pekerjaannya penting, ada hal-hal yang lebih penting dalam hidupnya yaitu menjaga hubungan yang penuh cinta dengan Maya.
Beberapa bulan setelah mereka memutuskan untuk memberi jarak, Maya dan Bima akhirnya bertemu lagi di kota tempat mereka pertama kali bertemu. Mereka duduk di kafe yang sama, mengenang kembali awal pertemuan mereka yang sederhana, namun penuh makna. Kini, meskipun ada banyak perubahan dalam hidup mereka, mereka tahu satu hal: cinta mereka tidak pernah hilang. Bahkan, meskipun diuji oleh waktu dan jarak, cinta itu justru tumbuh lebih kuat.
“Aku merindukanmu, Bima,” kata Maya dengan senyum yang tulus.
“Aku juga merindukanmu, Maya,” jawab Bima, menggenggam tangan Maya dengan erat. “Aku belajar banyak selama kita terpisah. Aku tahu, cinta kita tak terbatas, meski terpisah jarak dan waktu.”
Mereka berdua tersenyum, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, mereka merasa bahwa mereka telah menemukan kembali jalan mereka menuju satu sama lain.***
——‐——THE END————