Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA TAK TERBALAS

CINTA TAK TERBALAS

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Cinta Segitiga
Reading Time: 18 mins read
CINTA TAK TERBALAS

Daftar Isi

  • Bab 1: Hati yang Tak Terucapkan
  • Bab 2: Perasaan yang Tak Terucapkan
  • Bab 3: Ketegangan yang Meningkat
  • Bab 4: Perjalanan Menemukan Diri
  • Bab 5: Pilihan yang Menyakitkan

Bab 1: Hati yang Tak Terucapkan

Rina melangkah perlahan menuju ruang kelas, matanya masih terpejam sejenak menatap langit yang tampak mendung. Udara pagi itu seakan menyelimuti hati yang sedang galau. Dalam pikirannya, terulang kembali kejadian kemarin, saat ia berada di antara dua pria—Rafi dan Dika—yang sama-sama memberi perhatian lebih padanya. Namun, ada satu hal yang belum pernah bisa ia ungkapkan: perasaan yang ia pendam begitu dalam kepada Rafi, sahabat terbaiknya, orang yang sudah bertahun-tahun bersama dirinya.

Rina menghela napas panjang, mengingat betapa mudahnya ia tertawa dan berbicara dengan Rafi tentang berbagai hal, tetapi bagaimana hatinya selalu bergetar setiap kali Rafi mendekat. Di sisi lain, ada Dika, teman lama yang selalu sabar mendengarkan ceritanya, memberi perhatian dengan cara yang berbeda. Dika lebih pendiam, tetapi kehadirannya selalu bisa menenangkan Rina. Ia juga mulai menyadari bahwa perasaan Dika terhadapnya lebih dari sekadar teman. Semua ini membuatnya bingung. Mana yang harus dipilih? Kedua pria ini sangat penting dalam hidupnya, namun hatinya hanya terikat pada satu orang—Rafi.

Pagi itu, seperti biasa, Rina bertemu dengan Dika di kantin. Dika tersenyum lembut begitu melihatnya, senyuman yang selalu membuat Rina merasa lebih tenang. Rina membalas senyuman itu, namun ada rasa aneh di dadanya. “Hai, Dika,” sapanya sambil duduk di depan Dika yang sedang menatap layar ponselnya.

“Hai, Rina. Kamu terlihat sedikit lelah, ada masalah?” tanya Dika sambil meletakkan ponselnya.

Rina terkesiap mendengar pertanyaan itu. Seperti biasa, Dika selalu tahu kapan dia harus bertanya dan kapan harus diam. “Tidak, cuma sedikit pusing saja,” jawabnya, mencoba menyembunyikan kecemasannya.

Dika memandangnya dengan tatapan yang dalam, seperti ingin berkata sesuatu. Rina tahu bahwa Dika tidak pernah benar-benar bisa menyembunyikan perasaan, dan kali ini, Rina merasa ada sesuatu yang berbeda di mata Dika. Sebuah keseriusan yang mulai menuntut perhatian.

“Kamu tahu, Rina, aku selalu ada untuk kamu, kan? Aku… aku ingin kamu tahu, aku sudah lama merasa lebih dari sekadar teman. Aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya, tapi aku merasa… perasaan ini semakin kuat,” kata Dika dengan suara pelan namun tegas.

Rina terdiam. Kalimat itu menghujam langsung ke jantungnya. Ia sudah menduga, sejak beberapa bulan terakhir, bahwa Dika mungkin memiliki perasaan lebih terhadapnya. Namun, mendengar ungkapan itu langsung dari bibir Dika membuat hatinya tiba-tiba berdebar kencang. Ia tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu bagaimana cara meresponsnya. Semuanya terasa kacau, dan satu-satunya hal yang bisa Rina lakukan adalah menundukkan kepala, berusaha mengatur napas yang mendalam.

Dika menatapnya sejenak, tampak menunggu jawaban, tetapi Rina hanya diam. Wajahnya merah, dan dalam hatinya, perasaan campur aduk berkecamuk. Ada rasa cemas, takut, dan sedikit kesedihan. Ia tidak tahu harus memilih siapa di antara keduanya. Rafi atau Dika. Rafi adalah sosok yang selalu ada untuknya, yang sering membuatnya merasa aman dan bahagia, tetapi Dika, dengan caranya yang lembut dan penuh perhatian, ternyata juga mengisi ruang yang berbeda dalam hatinya.

“Aku… aku tidak tahu harus bagaimana, Dika,” akhirnya Rina berkata, suaranya hampir berbisik. “Aku juga merasa sangat dekat denganmu, tapi aku… aku juga merasa ada yang berbeda dengan Rafi.”

Dika tersenyum sedikit, meskipun senyum itu terlihat dipaksakan. “Aku mengerti, Rina. Aku tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini jika kamu membutuhkan seseorang.”

Rina merasa sedikit lega mendengar kata-kata Dika. Meskipun jantungnya masih berdegup cepat, ia merasa sedikit lebih tenang. Dika adalah orang yang mengerti batasan, yang tidak pernah memaksa Rina untuk memilih. Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa menahan perasaan itu lebih lama. Dia tahu, perasaannya terhadap Dika bukanlah perasaan yang bisa dipendam selamanya. Namun, bagaimana bisa ia memilih, ketika hatinya terasa begitu berat karena cinta yang tak terbalas pada Rafi?

Setelah beberapa lama terdiam, Rina memutuskan untuk beranjak pergi. “Aku harus ke kelas, Dika. Terima kasih sudah mendengarkan,” katanya sambil tersenyum canggung.

Dika hanya mengangguk, “Tentu. Semoga hari kamu menyenankan.”

Rina berjalan cepat menuju ruang kelas, namun pikirannya masih dipenuhi oleh dua sosok pria yang begitu berbeda dalam hidupnya. Di ruang kelas, Rina mencoba untuk fokus pada pelajaran, namun hati dan pikirannya terpecah. Tak ada yang bisa dia lakukan selain terus memikirkan pilihan yang seolah semakin sulit.

Saat istirahat tiba, Rina bertemu dengan Rafi di luar kelas. Rafi menyapanya dengan senyuman lebar, senyuman yang selalu membuat hati Rina bergetar. “Hei, Rina, hari ini ada rencana apa?” tanya Rafi, memiringkan kepalanya sedikit, seakan ingin mengajak Rina untuk berbicara lebih lanjut.

“Tidak ada, Rafi. Aku hanya ingin beristirahat saja,” jawab Rina, mencoba bersikap biasa.

Rafi mengangguk, namun ada sesuatu yang terlihat berbeda di wajahnya, seperti ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu. Rina menatap wajah Rafi dan merasa hatinya semakin sulit dipahami. Ia merasa sangat dekat dengan Rafi, seakan dia adalah bagian dari dirinya yang tak terpisahkan. Tetapi, apakah Rafi merasakan hal yang sama? Rafi selalu perhatian padanya, tetapi apakah itu berarti bahwa Rafi juga mencintainya? Ataukah, perasaan Rafi hanya sebatas sahabat?

“Apa kamu baik-baik saja? Kamu tampak sedikit… bingung,” tanya Rafi, sambil menatap mata Rina dalam-dalam.

Rina terdiam sejenak, kemudian mengangguk lemah. “Aku hanya lelah, Rafi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabnya sambil memaksakan senyum.

Namun, senyum itu tidak bisa menutupi kegelisahan yang terus mengganggunya. Di satu sisi, ada Rafi, yang selalu bisa membuatnya tertawa dan merasa aman. Di sisi lain, ada Dika, yang dengan caranya yang tenang dan penuh perhatian, selalu bisa mengerti dirinya lebih dalam. Namun, hatinya tetap bergetar hanya ketika berada di dekat Rafi.

Rina tahu, dia tidak bisa terus menyembunyikan perasaannya. Cinta ini terlalu kuat untuk dipendam lebih lama. Namun, keputusan untuk mengungkapkannya kepada Rafi atau Dika, itu yang membuat hatinya semakin ragu. Kedua pria ini telah mengisi hari-harinya dengan kenangan indah, namun kini, Rina harus memilih salah satu dari merek dan itu, sama sekali tidak mudah.*

Bab 2: Perasaan yang Tak Terucapkan

Hari itu, cuaca di luar kelas tampak cerah meski di dalam hati Rina, badai perasaan terus bergejolak. Setelah percakapan dengan Dika yang membuatnya semakin bingung, perasaan yang selama ini ia pendam kembali menguasai dirinya. Rina tahu, ia sudah berada di persimpangan jalan. Dika telah mengungkapkan perasaannya, dan meskipun Rina tidak ingin mengecewakannya, ada satu nama yang terus bergetar di dalam dadanya—Rafi.

Pagi itu, Rina memutuskan untuk sedikit melupakan kebingungannya. Ia ingin mencoba fokus di sekolah, meskipun hatinya terus merasa terbelah. Dika mungkin sudah mengungkapkan perasaannya, tetapi Rafi… ah, Rafi selalu ada di sana. Dia sahabat terbaiknya, seseorang yang selalu mengerti dirinya, yang memahami kegelisahannya bahkan tanpa kata-kata. Begitu banyak kenangan indah bersama Rafi yang tak bisa ia lupakan. Rina merasa, di balik kebersamaan itu, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar persahabatan. Sesuatu yang ia takutkan untuk diakui.

Saat bel masuk, Rina duduk di bangkunya yang berada di pojok kelas, tepat di dekat jendela. Ia bisa melihat Rafi yang duduk beberapa meja di depannya. Rafi selalu terlihat santai, tetapi senyumnya yang hangat selalu berhasil membuat hati Rina berdebar. Sesekali, mata mereka bertemu dan Rina merasakan sensasi aneh di dada, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Ia mengalihkan pandangannya cepat-cepat, merasa malu dengan perasaan yang semakin sulit ia sembunyikan.

Namun, hari itu berbeda. Ketika pelajaran dimulai, Rafi tiba-tiba mendekat ke meja Rina setelah gurunya menjelaskan materi. Rina merasa jantungnya hampir melompat keluar begitu melihat Rafi yang berdiri di sampingnya. Dia tersenyum, sedikit canggung, membuat Rina merasa seolah-olah ada yang tidak biasa.

“Rina, bisa bicara sebentar?” tanya Rafi dengan suara rendah, tapi cukup jelas di telinga Rina.

“H-hmm… tentu, Rafi,” jawab Rina dengan suara yang sedikit bergetar. Ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya, namun hatinya tidak bisa berbohong.

Rafi mengangguk dan mengajak Rina keluar dari ruang kelas. Mereka berjalan di lorong, yang sepi karena sebagian besar teman-teman mereka sudah berada di kelas. Rina menahan napasnya, berharap perasaan cemas yang semakin menguasai tubuhnya bisa sedikit mereda.

“Ada apa, Rafi? Kamu terlihat serius,” tanya Rina, berusaha mencairkan suasana yang terasa tegang. Namun, Rafi hanya tersenyum tipis.

“Rina… aku sudah lama ingin mengatakan sesuatu,” kata Rafi, sejenak mengalihkan pandangannya ke lantai. “Aku merasa kita sudah lama dekat, lebih dari sekadar teman. Aku tahu ini mungkin sulit, tetapi aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku. Aku… aku menyukaimu, Rina.”

Rina terdiam. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah hari. Betapa selama ini ia menunggu dan berharap Rafi akan mengatakan hal itu. Namun, kini saat itu datang, Rina merasa dirinya kehilangan kata-kata. Matanya terbuka lebar, tapi tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Dia hanya bisa menatap Rafi, mencoba mencerna apa yang baru saja diucapkan oleh sahabatnya.

Rafi tampak menunggu dengan cemas, seperti sedang menunggu keputusan yang mungkin bisa merubah segalanya. Rina, di sisi lain, merasa seluruh dunia seolah berhenti berputar. Selama ini, ia sudah mencintai Rafi dalam diam, tetapi tidak pernah berani mengungkapkannya. Kini, perasaan itu terungkap begitu saja, membuatnya merasa seperti berada di ambang jurang—antara kebahagiaan yang sangat diinginkan dan ketakutan akan perasaan yang terlalu dalam.

“Aku… aku juga merasa ada sesuatu, Rafi. Tapi…” suara Rina tercekat. Sebuah perasaan berat menjalar di tenggorokannya. Ia ingin mengatakannya, ingin sekali membiarkan Rafi tahu bahwa hatinya juga untuknya, tetapi ada sesuatu yang menghalangi. Sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan, meskipun ia ingin sekali.

“Rina, kamu tidak perlu menjawab sekarang,” kata Rafi, menatap Rina dengan lembut. “Aku hanya ingin kamu tahu. Jika kamu tidak merasakan hal yang sama, aku akan mengerti. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku tidak bisa terus menyembunyikan perasaan ini.”

Rina menunduk, berusaha menahan air matanya. Kata-kata Rafi semakin menyentuh hatinya, tetapi ia juga merasa terluka. Kenapa harus sekarang? Kenapa semuanya datang bersamaan? Dika sudah menyatakan perasaannya, dan kini Rafi juga mengungkapkan apa yang selama ini terpendam. Rina terjebak di antara dua perasaan yang sama-sama kuat, dan ia merasa tidak bisa memilih salah satunya tanpa menyakiti hati yang lain.

“Rafi…” Rina memulai, tetapi suaranya hampir tidak terdengar. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa.”

Rafi tersenyum pahit, lalu menepuk bahu Rina dengan lembut. “Aku mengerti, Rina. Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu. Aku menghargai persahabatan kita lebih dari apapun. Aku tidak ingin itu hilang hanya karena perasaan ini. Tapi jika ada kesempatan, aku akan menunggu, dengan sabar.”

Rina merasa seperti ada batu besar yang menekan dadanya. Ia ingin berteriak, ingin melepaskan semua yang dirasakannya, tetapi lidahnya terasa kelu. Bagaimana mungkin ia bisa memilih antara Rafi yang selalu ada dan Dika yang dengan tulus mencintainya? Rina tahu, ia tidak bisa terus mengabaikan perasaan ini. Namun, jika ia memilih Rafi, apakah ia bisa melepaskan Dika yang selama ini selalu ada di sisinya, yang juga memberikan perhatian penuh?

Setelah beberapa detik yang terasa seperti jam, Rina akhirnya mengangguk pelan. “Aku… aku butuh waktu, Rafi. Aku tidak ingin menyakiti siapapun.”

Rafi hanya mengangguk, lalu tersenyum dengan tulus. “Tidak apa-apa, Rina. Aku tunggu, dan apapun yang terjadi, aku akan tetap di sini untukmu. Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.”

Rina merasa tubuhnya lemas saat kembali ke kelas. Hatinya terasa berat, penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Ia merasa terjebak di antara dua pria yang sangat berarti baginya. Dika yang sabar dan penuh perhatian, serta Rafi yang sudah lama mengisi ruang istimewa dalam hatinya. Tidak ada jawaban yang mudah, dan semakin ia mencoba untuk menyelesaikan kebingungannya, semakin ia merasa terhimpit oleh cinta yang tak terucapkan.

Pagi itu, Rina sadar satu hal: tidak ada yang bisa memaksanya untuk memilih, tetapi dia juga tahu, dia tidak bisa terus menghindar dari perasaan yang tak bisa diungkapkan. Cinta itu harus diperjuangkan tapi apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan dan mengungkapkan segalanya*

Bab 3: Ketegangan yang Meningkat

Pagi itu terasa lebih berat daripada biasanya. Rina terbangun dengan perasaan cemas yang menyelimuti hatinya. Keputusan yang ia pikirkan sepanjang malam belum juga menemukan titik terang. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada aktivitas sehari-hari, pikirannya selalu kembali pada satu hal: Rafi dan Dika. Dua pria yang masing-masing telah mengungkapkan perasaan mereka, dua pria yang begitu penting dalam hidupnya, namun ia merasa semakin terjebak.

Hari-hari terakhir di sekolah pun semakin membuat situasi semakin rumit. Rafi selalu memperlakukannya dengan penuh perhatian, tetapi tetap menjaga jarak setelah mengungkapkan perasaannya. Sementara itu, Dika, meskipun tidak lagi begitu terang-terangan seperti dulu, masih menunjukkan perhatian tulus kepada Rina dengan cara yang lebih lembut, namun tak kalah intens. Rina merasa terperangkap di antara dua dunia yang berbeda. Satu yang penuh dengan rasa nyaman dan keakraban, satu lagi yang dipenuhi dengan keraguan dan ketegangan.

Hari itu, di saat istirahat, Rina duduk sendirian di kantin, menatap kosong ke luar jendela. Suara riuh teman-teman yang sedang bercengkrama seakan tidak mampu mengusir ketegangan yang melanda hatinya. Ia merasakan sebuah kepenatan yang luar biasa, sebuah rasa terperangkap yang terus-menerus menghimpitnya. Saat-saat seperti ini, ia merasa seperti sedang berada di tepi jurang, tak tahu harus melangkah ke mana.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang datang mendekat memecah lamunannya. Ia mendongak dan melihat Dika berdiri di hadapannya, menatapnya dengan ekspresi yang penuh makna.

“Rina, kamu lagi mikir berat, ya?” tanya Dika dengan nada lembut, mencoba mengurangi ketegangan yang terasa di udara.

Rina terpaksa tersenyum, meskipun senyum itu terasa dipaksakan. “Ah, tidak juga. Hanya sedikit lelah. Kenapa, Dika?”

Dika duduk di sampingnya, menyandarkan punggung pada kursi dan memandang Rina dengan penuh perhatian. “Kamu tahu, aku tahu kamu sedang berusaha keras memilih di antara aku dan Rafi. Aku bisa merasakannya, Rina. Tapi aku ingin kamu tahu, aku siap menunggu, aku akan tetap ada untuk kamu, meskipun itu berat.”

Rina terdiam. Kata-kata Dika seperti menyayat hatinya. Ia tahu bahwa Dika tulus mencintainya, namun entah mengapa hatinya tidak bisa sepenuhnya menerima perasaan itu. Ada sesuatu yang selalu menghalangi dirinya untuk benar-benar melihat Dika sebagai lebih dari sekadar sahabat. Di sisi lain, ada Rafi, yang sudah lama berada di dalam hidupnya, yang sudah begitu dekat dengannya, dan yang kini mulai mengungkapkan perasaannya. Tetapi, Rina juga menyadari bahwa perasaannya terhadap Rafi tidak pernah sesederhana itu.

“Aku tidak ingin menyakitimu, Dika. Tapi… aku juga tidak tahu harus bagaimana,” jawab Rina pelan. Matanya mengalihkan pandangannya ke meja, berusaha menghindari tatapan Dika yang begitu dalam. “Aku merasa terjebak. Aku tidak tahu apa yang harus aku pilih. Aku takut… aku takut salah memilih dan kehilangan semuanya.”

Dika menatapnya sejenak, kemudian menghela napas panjang. “Rina, aku sudah tahu jawabannya. Aku tahu kamu masih memiliki perasaan yang lebih untuk Rafi. Tidak perlu ada keraguan. Aku hanya ingin kamu bahagia. Tidak masalah jika itu bersama dia,” katanya dengan suara yang sedikit bergetar, tetapi penuh ketulusan.

Rina merasa terharu mendengar kata-kata Dika. Ia tahu Dika sangat mencintainya, namun sepertinya Dika sudah menerima kenyataan bahwa hati Rina tidak bisa dia penuhi. Namun, meskipun begitu, Rina merasa teramat sulit untuk memberi keputusan.

Ketika Rina membuka mulut untuk berkata sesuatu, suara langkah kaki lain terdengar mendekat. Ia mendongak dan melihat Rafi yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Mata mereka bertemu sejenak, dan Rina bisa merasakan ketegangan di udara.

“Ada apa dengan kalian berdua?” tanya Rafi dengan nada yang sedikit tegang. Wajahnya terlihat serius, jauh dari senyum santainya yang biasanya. Rina terperanjat. Ia tahu bahwa Rafi pasti sudah merasakan ketegangan di antara dirinya dan Dika.

Dika tersenyum pahit. “Tidak ada, Rafi. Aku hanya ingin memastikan bahwa Rina baik-baik saja. Kamu tahu, kan, dia sedang mengalami kebingungan.”

Rafi mengangguk perlahan, tetapi ekspresinya tetap datar. Ia duduk di kursi yang berseberangan dengan Dika, lalu menatap Rina dengan tatapan yang penuh arti. “Rina, aku tahu kamu sedang berpikir keras tentang semua ini. Aku tidak ingin memaksamu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak bisa menunggu selamanya. Aku sudah menunggumu cukup lama, dan aku tidak ingin kita berakhir seperti ini, terjebak dalam kebingungan.”

Rina terdiam, merasa hatinya semakin terhimpit. Kata-kata Rafi menggetarkan hatinya, namun ia juga tahu bahwa Dika, yang selalu ada untuknya, tidak bisa terus menunggu tanpa kejelasan. Di depan Rina, ada dua dunia yang sangat berbeda—satu yang penuh dengan rasa aman dan kedamaian bersama Dika, dan satu lagi yang dipenuhi dengan rasa cinta yang tak terucapkan, yang telah lama ia pendam untuk Rafi.

Suasana di meja itu semakin tegang, dengan Rina berada di tengah-tengahnya, merasa semakin tidak mampu mengatasi perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Waktu seakan berjalan begitu lambat, dan setiap detik terasa berat. Rina menunduk, berusaha mengendalikan emosi yang mulai membanjirinya.

“Aku… aku tidak tahu harus bagaimana,” kata Rina dengan suara serak, hampir tak terdengar. “Aku tidak ingin kehilangan kalian berdua.”

Dika dan Rafi saling berpandangan, dan untuk sesaat, keduanya diam. Rina bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat di antara mereka, dan ia tahu bahwa ini bukan lagi sekadar tentang perasaannya. Ini tentang persahabatan yang sudah terjalin lama, yang kini diuji oleh cinta yang datang begitu tiba-tiba.

“Kamu harus memilih, Rina,” kata Dika dengan lembut, meskipun suaranya dipenuhi dengan rasa sakit yang tidak bisa disembunyikan. “Kamu tidak bisa terus menghindari keputusan ini. Jangan biarkan kita bertiga terjebak dalam ketidakjelasan.”

Rafi menambahkan, “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kamu harus memikirkan apa yang membuatmu bahagia, Rina. Aku ingin melihatmu bahagia, meskipun itu berarti aku harus kehilanganmu.”

Rina merasa hatinya tercekik. Kata-kata mereka seperti pisau yang menembus dinding hatinya. Ia tahu bahwa apapun yang ia pilih, akan ada yang terluka. Tidak ada pilihan yang benar-benar tanpa konsekuensi. Namun, ia tidak bisa terus menerus berada di tengah-tengah mereka, menggantungkan harapan tanpa memberikan kejelasan.

“Aku… aku butuh waktu,” ucapnya dengan suara pelan, mencoba menahan air matanya. “Aku butuh waktu untuk berpikir, untuk menemukan jawaban yang benar.”

Dika dan Rafi saling bertukar pandang. Dika hanya mengangguk dengan sedih, sementara Rafi menghela napas panjang. “Kami akan memberimu waktu, Rina. Tapi, jangan biarkan waktu itu terlalu lama. Kami tidak bisa terus terjebak dalam ketegangan ini.”

Rina menatap kedua pria itu, hatinya begitu kacau. Ia tahu bahwa waktunya semakin menipis. Ketegangan yang semakin meningkat ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Suatu saat nanti, ia harus memilih, dan pilihan itu akan menentukan siapa yang akan tetap ada dalam hidupnya, dan siapa yang harus pergi.

Dengan langkah berat, Rina meninggalkan kantin, berusaha mencari tempat yang tenang untuk merenung. Setiap detik terasa semakin berat, dan ia tahu, jalan di depannya hanya ada dua dua hati yang saling mencintai, dan satu keputusan yang akan mengubah segalanya.*

Bab 4: Perjalanan Menemukan Diri

Rina berjalan keluar dari sekolah, menghirup udara sore yang terasa sedikit lebih dingin dari biasanya. Langit tampak cerah, namun hatinya tetap diliputi awan kelabu. Meskipun seharian ini ia mencoba untuk fokus pada pelajaran, pikirannya selalu kembali pada dua pria yang telah mengisi ruang hatinya—Rafi dan Dika. Kedua perasaan itu begitu kuat, tetapi Rina merasa seperti terjebak di antara keduanya, tidak bisa memilih, dan semakin kesulitan untuk menghadapinya.

Di luar pagar sekolah, Rina melangkah perlahan menuju taman kecil yang biasa ia kunjungi untuk merenung. Tempat ini sudah lama menjadi pelarian bagi Rina ketika hati dan pikirannya terasa kacau. Pemandangan taman yang asri, dengan bunga-bunga yang mulai mekar dan angin sepoi-sepoi, membuatnya merasa sedikit tenang. Namun, kedamaian itu hanya sementara, karena dalam dirinya, kebingungannya terus berkembang.

Ia duduk di bangku taman, menyandarkan punggung pada sandaran bangku dengan pandangan kosong. Wajah Rina tampak pucat, matanya yang biasanya cerah kini dipenuhi kelelahan dan kegelisahan. Sebelum memutuskan untuk keluar dari sekolah, ia telah memutuskan satu hal: ia butuh waktu untuk diri sendiri, untuk menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Rina tahu, ia tidak bisa terus terjebak dalam kebingungan seperti ini. Cinta itu tidak bisa terus dihindari. Suatu saat, ia harus menghadapi kenyataan, memilih salah satu dan menerima konsekuensinya.

“Apa yang sebenarnya aku inginkan?” gumamnya pelan pada diri sendiri.

Tidak ada jawaban yang datang, hanya angin yang berbisik lembut, seakan mencoba memberikan sedikit ketenangan. Rina memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Ia tidak bisa terus hidup dengan keraguan ini. Cinta bukan hanya soal memilih antara dua pria, tetapi juga soal memilih kebahagiaan dirinya sendiri. Apakah ia siap menghadapi konsekuensi dari pilihannya? Apakah ia bisa merelakan jika satu di antara mereka harus pergi?

Rina teringat kembali pada kata-kata Dika beberapa hari yang lalu, saat mereka berbicara di kantin. Dika, dengan penuh ketulusan, telah mengungkapkan perasaannya dan menyatakan bahwa ia akan menunggu Rina, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan. Dika adalah pria yang penuh perhatian, sabar, dan selalu ada untuknya. Meskipun Rina merasa nyaman dengan Dika, ada bagian dari dirinya yang merasa bahwa hubungannya dengan Dika tidak bisa lebih dari sekadar teman. Dika adalah sosok yang sangat berarti, tetapi hatinya sepertinya tak bisa beranjak lebih jauh.

Kemudian, ada Rafi. Sahabat lama yang sudah mengenal dirinya begitu dalam. Rafi adalah orang yang selalu bisa membuat Rina merasa diterima, membuatnya tertawa, dan membuatnya merasa aman. Sejak lama, Rina merasa ada sesuatu yang lebih pada Rafi, tetapi rasa itu selalu ia sembunyikan, takut merusak persahabatan mereka. Namun, ketika Rafi akhirnya mengungkapkan perasaannya, Rina merasa seperti dunia berhenti sejenak. Rafi memberi perasaan yang berbeda—sesuatu yang membuat Rina merasa spesial, tetapi juga takut jika perasaan itu tidak terbalas.

Saat itu, Rina menyadari satu hal: **bahwa ia belum benar-benar mengenal dirinya sendiri.** Sebelum ia bisa memilih antara Dika dan Rafi, ia harus tahu apa yang sebenarnya ia inginkan, bukan hanya mengikuti perasaan atau tekanan yang datang dari luar. Mungkin ini saat yang tepat untuk mencari tahu lebih dalam tentang siapa dirinya sebenarnya.

“Apakah aku hanya mencintai Rafi karena kebiasaan? Karena dia sahabatku? Atau apakah aku benar-benar merasa lebih?” tanya Rina pada dirinya sendiri, menatap langit yang semakin gelap.

Perjalanan untuk menemukan jawaban ini tidak mudah. Rina tahu bahwa ia harus memberikan diri waktu untuk refleksi. Tidak ada yang lebih penting sekarang selain menemukan apa yang sebenarnya ia rasakan, tanpa terbebani oleh harapan orang lain, tanpa merasa terjebak oleh perasaan yang saling tumpang tindih. Ia harus membebaskan dirinya dari kebingungannya.

Malam itu, Rina duduk di kamar tiduran, membuka buku catatan kecil yang sering ia gunakan untuk menulis hal-hal yang mengganggu pikirannya. Di sana, ia mulai menulis tentang perasaannya—tentang Dika, tentang Rafi, dan tentang dirinya. Ia menulis tentang bagaimana ia merasa ketika bersama Dika, dan bagaimana hatinya berdebar-debar setiap kali melihat Rafi. Ia menulis tentang kebahagiaan yang ia rasakan bersama Dika yang penuh perhatian, dan rasa nyaman yang datang begitu alami. Namun, ia juga menulis tentang bagaimana Rafi selalu tahu apa yang ia rasakan, bagaimana Rafi selalu ada untuknya sejak dulu, dan bagaimana hatinya merasa begitu dekat dengan Rafi meskipun ada ketakutan untuk mengungkapkan semuanya.

Sambil menulis, Rina mulai merenung lebih dalam. Ia menyadari bahwa, mungkin, perasaannya terhadap Dika lebih didorong oleh rasa nyaman dan persahabatan yang telah lama terjalin. Dika adalah seseorang yang selalu ada, yang mendengarkan setiap keluh kesahnya, yang memberikan rasa tenang dan perlindungan. Namun, apakah itu cukup untuk membuatnya jatuh cinta? Rina bertanya-tanya apakah ia hanya merasa takut kehilangan teman baiknya jika memilih untuk melangkah lebih jauh dengan Dika.

Di sisi lain, perasaannya terhadap Rafi terasa lebih rumit. Ada rasa yang lebih kuat, sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan nyaman atau kebiasaan. Rafi adalah bagian dari dirinya yang tak bisa ia lepaskan, bahkan ketika ia merasa ragu dan takut. Cinta itu terasa lebih besar dan lebih mendalam, tetapi juga lebih menakutkan. Karena jika ia memilih Rafi, itu berarti ia harus menghadapi kenyataan bahwa persahabatan mereka bisa berubah selamanya. Rina tidak tahu apakah ia siap untuk mengambil risiko itu.

Namun, satu hal yang semakin jelas dalam hati Rina: ia harus belajar untuk mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu. Sebelum ia bisa memilih antara Dika atau Rafi, ia harus tahu apa yang benar-benar membuatnya bahagia, bukan hanya apa yang membuat orang lain bahagia. Cinta yang sejati dimulai dari dalam diri, dan untuk bisa mencintai orang lain, ia harus terlebih dahulu menerima dan mencintai dirinya sendiri dengan segala ketidaksempurnaannya.

Pagi berikutnya, Rina memutuskan untuk mengambil langkah kecil menuju penemuan dirinya. Ia mulai lebih sering meluangkan waktu untuk dirinya sendiri, untuk melakukan hal-hal yang ia sukai tanpa memikirkan orang lain. Ia pergi berjalan-jalan sendirian, menikmati ketenangan alam, atau membaca buku yang telah lama ia abaikan. Dalam proses itu, Rina mulai menyadari bahwa kebahagiaan tidak harus datang dari keputusan besar atau dari orang lain. Kebahagiaan itu datang dari dalam diri sendiri, dari penerimaan, dan dari kepercayaan bahwa ia berhak untuk memilih jalan hidupnya sendiri tanpa rasa bersalah.

Namun, meskipun Rina mulai merasa sedikit lebih tenang, perjalanan ini tidaklah mudah. Ia masih harus menghadapi pilihan yang sulit, dan meskipun ia mulai mengenal dirinya lebih baik, perasaan terhadap Dika dan Rafi tetap ada. Pilihan itu masih harus diambil, dan Rina tahu bahwa akhirnya, ia akan harus menghadapi kenyataan—apakah ia siap untuk menerima dan mengungkapkan cinta yang selama ini terpendam?Perjalanan menemukan diri bukanlah perjalanan yang singkat, namun Rina kini tahu satu hal dalam memilih antara Dika dan Rafi, ia harus memilih kebahagiaan yang sejati bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk dirinya sendiri

Dan, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rina merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi perjalanan itu.*

 

Bab 5: Pilihan yang Menyakitkan

Hari itu terasa lebih cerah dari biasanya, tetapi di dalam hati Rina, awan kelabu masih menggantung. Setelah berminggu-minggu mempertimbangkan segala kemungkinan, akhirnya hari itu datang juga. Hari yang akan menentukan siapa yang akan mendampinginya, siapa yang akan tetap berada di sampingnya, dan siapa yang harus pergi. Pilihan itu sudah di depan mata, dan Rina tahu, apapun yang ia putuskan, tidak akan pernah mudah. Ada dua hati yang sama-sama mencintainya, dan satu hati yang harus terluka.

Setelah merenung dan mencoba mendalami perasaannya lebih dalam, Rina akhirnya tahu apa yang harus ia lakukan. Ia sudah mencoba untuk melarikan diri dari kenyataan ini selama berhari-hari, tetapi hari ini, ia harus menghadapi perasaan itu. Ia harus membuat keputusan.

Rina menghubungi Dika dan Rafi, mengatur pertemuan di taman dekat sekolah tempat ia sering merenung. Tempat itu sudah menjadi saksi bisu bagi kebingungannya, dan sekarang, tempat itu juga akan menjadi saksi bagi keputusan besar yang akan mengubah semuanya. Rina berharap bahwa dengan bertemu langsung, ia bisa mendapatkan ketenangan, meskipun ia tahu bahwa itu tidak akan mudah.

Saat Rina tiba di taman, ia melihat Dika duduk di bangku sebelah kiri, sementara Rafi duduk di bangku sebelah kanan. Keduanya saling bertatapan, seakan-akan sudah saling mengenali perasaan masing-masing. Di mata mereka, ada keraguan, ada harapan, dan ada juga ketakutan. Ketiganya saling diam, tidak tahu harus memulai percakapan dari mana.

Akhirnya, Rina duduk di bangku tengah, di antara mereka, merasakan ketegangan yang begitu berat. Ia merasa jantungnya berdegup lebih cepat, tangan dan kakinya terasa dingin, dan mulutnya kering. Setiap detik terasa seperti beban yang semakin menekan dirinya. Ia tahu, kata-kata yang akan keluar dari mulutnya nanti bisa mengubah semuanya. Tidak ada lagi jalan untuk mundur.

“Dika, Rafi,” Rina memulai, suaranya bergetar. “Terima kasih sudah datang. Aku… aku ingin bicara dengan kalian berdua tentang apa yang aku rasakan.”

Dika menatapnya dengan tatapan penuh harap, sementara Rafi hanya mengangguk perlahan, menunggu apa yang akan Rina katakan. Wajah mereka yang biasanya ceria kini tampak serius, hampir penuh dengan kecemasan. Rina merasa hatinya semakin sesak. Ia tidak ingin menyakiti mereka, tetapi ia tahu bahwa keputusannya harus segera diambil.

“Aku tahu kalian berdua mencintaiku,” kata Rina, mencoba menenangkan diri. “Dan aku… aku juga sangat menghargai perasaan kalian. Kalian adalah dua orang yang sangat berarti bagiku. Tapi aku juga tahu satu hal: aku harus memilih salah satu dari kalian, dan itu adalah keputusan yang sangat sulit.”

Dika menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi. Rafi hanya menunduk, tidak mengatakan apapun. Suasana semakin sunyi, hanya suara angin yang sesekali terdengar di antara mereka. Rina merasakan keheningan yang mencekam, seakan seluruh dunia menunggu jawaban dari mulutnya.

“Dika,” Rina mulai lagi, suaranya terdengar seperti tercekik. “Kamu adalah seseorang yang sangat perhatian dan selalu ada untukku. Sejak kita berteman, aku merasa sangat nyaman denganmu. Kamu adalah orang yang baik, dan aku sangat menghargai segala perhatian dan kebaikanmu. Tapi… aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lebih jauh. Aku merasa hubungan kita sudah cukup sampai di sini. Aku tidak bisa memberimu lebih dari itu.”

Dika menatapnya dengan mata yang penuh luka, tetapi ia tetap tersenyum, meskipun senyum itu tampak sangat dipaksakan. “Aku mengerti, Rina. Aku sudah lama tahu jawabannya. Aku sudah tahu bahwa aku tidak bisa menjadi orang yang kamu pilih. Tapi aku tidak akan pergi. Aku akan tetap ada untukmu, meskipun aku tahu aku harus menerima kenyataan ini,” katanya dengan suara yang serak, berusaha menahan air mata.

Rina merasa hatinya tercabik-cabik. Ia tahu Dika berbicara dengan ketulusan yang dalam, tetapi keputusan ini tidak bisa dihindari. Ia tidak bisa terus mengingkari perasaan yang selama ini ia pendam. Dika memang sahabat terbaik, tetapi Rina tahu, hatinya tidak bisa lebih dari itu.

“Aku minta maaf, Dika. Aku benar-benar minta maaf,” Rina berbisik, suaranya hampir tidak terdengar. “Aku akan selalu menghargai kita, persahabatan kita. Tapi aku tidak bisa memberikan apa yang kamu harapkan.”

Dika menunduk, mencoba menahan perasaan yang begitu dalam. Rina bisa melihat bahwa ia begitu terluka, namun Dika tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya tersenyum, meskipun itu bukan senyum yang benar-benar bahagia. Rina merasa seolah-olah dunia runtuh di sekitarnya, dan ia tahu bahwa dengan keputusan ini, ia telah mengakhiri sebuah bagian dari hidupnya.

Kemudian, Rina beralih ke Rafi. Mata mereka bertemu, dan Rina merasa seluruh tubuhnya bergetar. Rafi adalah orang yang sudah lama ada dalam hidupnya, dan kini ia harus menghadapinya dengan hati yang penuh keraguan. Rafi sudah menunggunya begitu lama, menunggunya untuk memutuskan, dan kini waktunya tiba.

“Rafi,” Rina berkata dengan suara yang lebih lembut, “Aku sudah lama memendam perasaan ini, dan aku takut untuk mengungkapkannya. Tetapi sekarang aku tahu, aku ingin bersama denganmu. Aku ingin melangkah lebih jauh denganmu. Aku merasa sangat dekat denganmu, Rafi. Ada perasaan yang lebih dari sekadar sahabat antara kita. Aku tidak tahu sejak kapan itu dimulai, tetapi aku tahu sekarang, aku ingin mencoba.”

Rafi terdiam beberapa detik, kemudian senyumnya yang lembut mulai mengembang. “Rina…” katanya, suara itu bergetar, penuh harapan. “Aku sudah menunggumu lama. Aku tahu ini tidak mudah, tetapi aku sudah siap menunggu jawabannya. Aku senang akhirnya kamu memilih, meskipun aku tahu ini sangat berat untukmu. Aku ingin kita berdua melangkah bersama.”

Rina menatap Rafi, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa sedikit lebih tenang. Di dalam hatinya, ada perasaan lega. Meski penuh dengan ketegangan, pilihan ini terasa benar. Ia tahu, ini adalah keputusan yang benar untuk dirinya, meskipun harus mengorbankan perasaan Dika.

Namun, saat ia memandang Dika yang duduk di sampingnya, senyum Rina menghilang. Ada perasaan campur aduk yang tidak bisa ia jelaskan. Rina tahu bahwa meskipun ia memilih Rafi, Dika akan selalu ada di dalam hidupnya—sebagai teman, sebagai seseorang yang akan selalu dikenang. Tetapi, memilih Rafi berarti ia harus melepaskan persahabatan mereka dengan cara yang berbeda. Tidak ada yang bisa kembali seperti semula.

“Dika, aku… aku akan selalu menghargai persahabatan kita. Tapi aku harus melangkah maju,” kata Rina dengan suara yang hampir pecah. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tetapi aku ingin mencoba. Aku harap kamu mengerti.”

Dika menatap Rina untuk beberapa saat, lalu mengangguk pelan. Meskipun rasa sakit itu tampak jelas di matanya, ia tersenyum dengan tulus. “Aku mengerti, Rina. Aku harap kamu bahagia. Itu yang paling penting bagi aku. Aku akan tetap ada untukmu, meskipun aku tahu kita harus berubah.”

Rina merasa ada bagian dari dirinya yang hancur, tetapi di saat yang sama, ada rasa lega yang datang. Memilih Rafi berarti memilih kebahagiaan yang selama ini ia cari, dan meskipun itu menyakitkan, ia tahu itu adalah langkah yang harus diambil.

Saat Dika pergi dengan langkah yang perlahan, Rina menatapnya untuk terakhir kali. Hatinya penuh dengan penyesalan, tetapi juga dengan harapan. Ia tahu bahwa ini adalah pilihan yang menyakitkan, tetapi ini adalah perjalanan baru yang harus ia jalani.

Kini, Rina berdiri bersama Rafi, siap melangkah maju bersama orang yang telah lama ia cintai. Namun, meskipun ia bahagia dengan keputusannya, rasa sakit yang ia tinggalkan di belakangnya tetap ada—dan itu akan selalu menjadi bagian dari kisah mereka.***

———-THE END——–

Source: DELA SAYFA
Tags: #PilihanSulit #CintaTakTerbalas #PilihannyaMenyakitkan #PersahabatanDanCinta #KeputusanCinta
Previous Post

SAAT CINTA TERBALAS LUKA

Next Post

CINTA DI UJUNG DUNIA

Related Posts

” RUANG RINDU DI ANTARA KITA “

” RUANG RINDU DI ANTARA KITA “

April 30, 2025
ANTARA KAMU, DIA DAN LUKA YANG TERTINGGI

ANTARA KAMU, DIA DAN LUKA YANG TERTINGGI

April 29, 2025
CINTA SEGITIGA

CINTA SEGITIGA

April 28, 2025
pilihan sulit

pilihan sulit

April 26, 2025
CINTA TERBELAH DUA

CINTA TERBELAH DUA

April 25, 2025
DILEMA CINTA SEGITIGA

DILEMA CINTA SEGITIGA

April 16, 2025
Next Post

CINTA DI UJUNG DUNIA

PELANGI SETELAH AIR MATA

PELANGI SETELAH AIR MATA

DI ANTARA DUA DUNIA

DI ANTARA DUA DUNIA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id