Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

CINTA PERTAMA RINDU TERAHKIR

CINTA PERTAMA RINDU TRAHKIR

SAME KADE by SAME KADE
February 28, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 20 mins read
CINTA PERTAMA  RINDU TERAHKIR

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
  • Bab 2: Mengingat Kembali
  • Bab 3: Dekat Tanpa Kata
  • Bab 4: Cinta yang Terungkap
  • Bab 5: Rindu yang Terakhir
  • Bab 6: Keputusan yang Pahit
  • Bab 7: Cinta yang Tersimpan

Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga

Hari itu, matahari baru saja tenggelam di balik gedung-gedung tinggi kota. Suasana kampus yang biasanya riuh dengan suara tawa dan langkah-langkah cepat, kini sedikit lebih tenang. Alya duduk di bangku taman dekat danau buatan kampus, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi yang kokoh. Sebuah buku terbuka di tangannya, namun pikirannya melayang jauh. Sejak pindah ke kota ini untuk melanjutkan kuliah, hidupnya terasa seperti menjalani rutinitas yang tak ada habisnya. Kuliah, tugas, dan tugas lagi. Tak ada yang menarik, selain kenyataan bahwa ia harus meninggalkan kampung halamannya yang tenang untuk mengejar cita-cita di kota yang penuh dengan kebisingan ini.

Alya, seorang gadis berusia dua puluh tahun, adalah tipikal mahasiswa yang introvert. Tidak banyak teman, namun selalu berhasil mendapatkan nilai yang baik. Ia merasa nyaman dengan rutinitasnya yang sederhana, tidak pernah mencari keramaian. Semua berubah ketika hari pertama kuliah dimulai. Ia bertemu dengan Rio.

Pada awalnya, ia tidak terlalu memperhatikan keberadaan Rio. Rio adalah teman satu kelas yang tampak lebih banyak berbicara dengan teman-teman lain. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam diri Rio. Meskipun tidak terlalu banyak bicara, setiap kali mata mereka bertemu, ada perasaan yang aneh merayap di hati Alya. Seperti ada koneksi yang tak terucapkan, sebuah ikatan yang seolah-olah telah lama terjalin. Alya menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan perasaan itu. Mungkin hanya perasaan aneh yang muncul karena ia berada di tempat baru, lingkungan baru, dan segala hal baru.

Sampai akhirnya, kejadian itu terjadi. Saat tengah hari, ketika Alya keluar dari kelas dan berjalan menuju kantin untuk makan siang, tiba-tiba ada suara yang memanggil namanya dari belakang.

“Alya!”

Alya berhenti sejenak dan menoleh. Seorang pemuda dengan senyum yang tampak familiar berdiri di sana. Pemuda itu mengenakan jaket denim dan celana jeans biru, dengan rambut hitam yang sedikit acak-acakan. Wajahnya tampak lebih matang dari yang ia ingat, namun matanya—mata itu—seperti kembali membawa Alya ke masa lalu.

“Rio?” Alya hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Rio… itu kamu?” suaranya sedikit bergetar.

Rio tertawa pelan, wajahnya dipenuhi dengan senyum hangat. “Ya, aku. Sudah lama ya, Alya? Gak nyangka kita bisa ketemu lagi di sini.”

Alya merasa ada sebuah kehangatan yang mendalam dalam suara Rio. Ia memandang Rio, mencoba mengingat kembali masa-masa mereka bersama. Masa-masa ketika mereka masih anak-anak yang suka bermain di taman kota, ketika mereka berbagi tawa dan kebahagiaan tanpa beban. Tetapi, setelah itu, Rio pindah ke kota lain, dan keduanya terpisah tanpa pernah benar-benar saling menghubungi.

“Aku gak nyangka bisa ketemu kamu di sini,” Alya berkata, sedikit terbata-bata. “Kamu… kenapa baru muncul sekarang?”

Rio mengangkat bahu, senyum di wajahnya semakin lebar. “Kadang, hidup membawa kita ke tempat yang tak terduga. Aku baru pindah ke sini untuk lanjut kuliah. Ternyata kita satu kampus.” Rio menjelaskan dengan santai.

Alya merasa sedikit bingung. Mereka sudah lama tidak berkomunikasi, dan begitu banyak waktu yang telah berlalu. Alya merasa seolah-olah masa lalu yang telah lama terkubur itu tiba-tiba muncul kembali, mengganggu ketenangannya yang selama ini ia banggakan.

“Jadi, kamu kuliah di sini juga?” tanya Alya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

“Iya. Aku di jurusan Teknik, sama kayak kamu, kan?” Rio menatapnya dengan penuh perhatian, seolah tidak ingin melewatkan setiap detil dari pertemuan itu.

Alya mengangguk. “Iya, aku di jurusan Teknik juga,” jawabnya, merasa canggung. “Aku… nggak tahu kalau kamu juga di sini. Lama banget kita gak ngobrol.”

Rio tertawa pelan. “Iya, terlalu lama. Aku baru ingat, kita dulu sering banget main bareng waktu kecil. Ingat nggak, waktu kita bikin rumah pohon di belakang rumahmu?”

Alya tersenyum, kenangan masa kecil itu kembali mengalir deras. “Aku ingat banget! Tapi aku nggak tahu kenapa, setelah kamu pindah, aku nggak pernah dengar kabarmu lagi.”

Rio mengangkat alis, ekspresinya sedikit berubah menjadi lebih serius. “Aku… sempat pindah lagi beberapa kali. Aku nggak sengaja kehilangan kontak. Tapi sekarang, sepertinya kita diberi kesempatan untuk bertemu lagi.”

Alya merasa hatinya berdebar. Mungkin ini terlalu cepat, tapi perasaan yang dulu pernah ada tiba-tiba terbangun kembali. Perasaan yang dulu sempat terpendam karena waktu dan jarak. Saat itu, Alya menyadari bahwa ia tidak hanya terkejut karena bertemu dengan Rio setelah sekian lama, tetapi juga karena perasaan lama yang muncul begitu saja. Ada kerinduan yang menyentuh relung hatinya.

Mereka mulai berbicara lebih banyak, bercerita tentang kehidupan masing-masing setelah berpisah. Alya merasa nyaman berbicara dengan Rio, seperti tidak ada jarak yang terlalu lama di antara mereka. Namun, setiap kali mata mereka bertemu, ada sensasi yang sulit dijelaskan, seolah-olah ada rasa yang lebih dalam yang tidak bisa mereka abaikan.

Alya tersenyum kecil, merasa aneh dengan dirinya sendiri. “Aku nggak tahu, Rio… Rasanya semuanya seperti mimpi. Kita bisa bertemu lagi setelah sekian lama.”

Rio tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, yang selalu membuat hati Alya berdebar. “Mungkin ini memang takdir. Siapa tahu, kita bisa jadi teman lagi, kan?”

Alya menatapnya dengan tatapan yang sulit diungkapkan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi satu hal yang pasti, pertemuan yang tak terduga ini telah membangkitkan kembali perasaan yang telah lama hilang.

Dan seperti itu, Alya merasa kehidupannya yang penuh rutinitas mulai berubah. Mungkin, justru dari pertemuan yang tak terduga inilah, cinta pertama yang terlupakan akan kembali mengisi ruang hatinya yang selama ini terasa kosong.*

Bab 2: Mengingat Kembali

Alya duduk di kursinya, menatap layar laptop yang terbuka di depannya. Namun, matanya tidak bisa fokus pada skripsi yang tengah ia kerjakan. Pikiran dan perasaannya terjebak pada pertemuan tadi siang dengan Rio. Bayangan wajahnya—senyum, tatapan mata yang penuh kenangan—terus menghantui Alya. Dalam sekejap, semuanya terasa seperti kembali ke masa lalu. Masa kecil yang penuh tawa, dan Rio, teman masa kecil yang tiba-tiba hadir kembali setelah sekian lama menghilang dari kehidupannya.

Ia menutup laptopnya perlahan, berusaha mengusir segala kebingungan yang memenuhi kepalanya. Alya bangkit dari tempat duduk dan berjalan ke jendela. Dari sana, ia bisa melihat pemandangan kampus yang mulai sepi, dengan langit senja yang mulai menggelap. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan itu—perasaan yang dulu ia coba lupakan—kembali muncul. Perasaan yang dulu ia rasakan setiap kali berada di dekat Rio.

Tiba-tiba, kenangan masa kecil itu datang dengan jelas dalam pikirannya.

Flashback:

Alya berlari kecil di halaman rumahnya yang luas, dikejar oleh Rio yang tertawa riang. Mereka berdua baru saja selesai bermain bola di taman belakang rumah. Alya merasa angin sejuk pagi hari menyapu wajahnya, dan Rio—dengan senyum lebarnya—berusaha menangkapnya.

“Alya, tunggu!” Rio berteriak, mencoba mengejar langkah Alya yang semakin cepat. Ia terbahak, mencoba mengimbangi langkah Alya yang lebih lincah, meskipun Rio lebih tinggi darinya.

Alya berlari lebih cepat, namun tidak bisa menghindari tawa yang terdengar begitu ringan di telinganya. “Kamu nggak bisa menang, Rio!” serunya, sambil berlari menuju pohon besar di pojok halaman yang menjadi tempat persembunyian mereka.

Rio akhirnya berhenti, kelelahan. “Oke, oke, aku menyerah!” katanya sambil terengah-engah, matanya yang cerah masih penuh semangat meskipun dia kalah. “Tapi nanti kamu yang jadi penjaga!”

Alya tertawa kecil. “Deal! Tapi jangan salahkan aku kalau kamu nanti nggak bisa menang!”

Mereka berdua kemudian duduk di bawah pohon itu, saling berbicara tentang apa saja, dari sekolah, teman-teman, hingga impian masa depan. Mereka merasa begitu dekat, tanpa ada rasa canggung di antara mereka. Tidak ada beban, hanya tawa dan canda yang memenuhi hari-hari mereka.

Namun, seiring berjalannya waktu, Rio harus pindah ke kota lain karena pekerjaan orang tuanya. Hari-hari itu pun berakhir begitu saja. Mereka berjanji untuk tetap menjaga komunikasi, tetapi akhirnya, kata-kata itu hanya menjadi janji kosong. Alya tidak tahu apa yang terjadi dengan Rio setelah kepergiannya. Tanpa sadar, dia merasakan kekosongan dalam hidupnya—perasaan yang ia coba sembunyikan, namun tidak pernah benar-benar hilang.

Kembali ke masa kini:

Alya duduk di tepi tempat tidur, matanya terpejam, dan pikirannya kembali melayang. Kenangan itu begitu hidup dalam benaknya, terasa seolah baru saja terjadi kemarin. Ia ingat betul, bagaimana Rio selalu ada di sampingnya, bagaimana ia merasa begitu aman dan bahagia ketika berada di dekat Rio. Rasanya, saat itu dunia mereka hanya terdiri dari mereka berdua. Tidak ada yang lebih penting selain saling mendukung dan berbagi cerita.

Namun, waktu terus berjalan, dan begitu banyak yang berubah. Rio pergi, dan hidup Alya pun bergerak maju. Ia fokus pada sekolah, belajar dengan tekun untuk mencapai cita-citanya. Tetapi ada satu hal yang tidak pernah berubah—perasaannya terhadap Rio. Meskipun mereka tidak pernah lagi berkomunikasi, perasaan itu tetap hidup dalam dirinya. Cinta pertama itu, meskipun tidak pernah terucap, tetap ada.

Sekarang, setelah bertahun-tahun, Rio muncul kembali. Dan perasaan itu—perasaan yang lama terkubur—kembali muncul begitu saja, tanpa permisi. Alya merasa bingung. Apa yang seharusnya ia lakukan dengan perasaan ini? Apakah mungkin, cinta pertama mereka bisa berlanjut setelah sekian lama? Atau justru pertemuan ini hanya akan membuat luka lama terbuka kembali?

Alya berjalan menuju lemari kayu tua di sudut kamarnya. Di dalam lemari itu, terdapat sebuah kotak kayu kecil yang telah lama disimpan. Kotak itu penuh dengan kenangan masa kecil mereka—foto-foto mereka berdua, kartu ucapan ulang tahun, dan berbagai benda kecil yang menjadi saksi bisu persahabatan mereka. Alya membuka kotak itu perlahan, dan mengambil sebuah foto yang sudah sedikit memudar. Itu adalah foto mereka berdua, yang diambil di sebuah taman pada hari ulang tahunnya yang ke-10. Di dalam foto itu, mereka berdua tersenyum lebar, dengan Rio yang memeluknya di belakang, seolah melindunginya dari segala hal. Wajah Rio dalam foto itu tampak begitu cerah, begitu penuh kebahagiaan.

“Kenapa kamu pergi, Rio?” gumam Alya pelan, seolah berbicara kepada foto itu. “Kenapa kita harus berpisah begitu saja?”

Alya menyimpan kembali foto itu ke dalam kotak kayu, kemudian menutup kotak tersebut dengan hati-hati. Di balik senyum manis yang terpancar di wajahnya, ada kerinduan yang mendalam. Kerinduan yang tak pernah benar-benar hilang meskipun waktu terus berjalan. Ia tahu, meskipun telah sekian lama tidak bertemu, perasaan itu tidak akan pernah bisa benar-benar dilupakan. Cinta pertama adalah kenangan yang akan selalu hidup dalam hati.

Namun, pertemuan mereka hari ini memberi harapan baru. Alya merasa seolah dunia memberi mereka kesempatan kedua. Mungkin inilah saatnya untuk membuka hati, untuk menyambut perasaan yang sudah lama terkubur. Tapi, ada ketakutan yang muncul bersamaan dengan perasaan itu. Apakah Rio masih memiliki perasaan yang sama? Apakah hubungan mereka bisa kembali seperti dulu, atau justru akan berakhir lebih cepat dari yang mereka harapkan?

Alya tahu, ia harus menemukan jawabannya. Dan untuk itu, ia harus berani menghadapi perasaan yang selama ini ia hindari. Dengan perasaan itu, Alya memutuskan untuk tidak lagi lari dari kenyataan. Cinta pertama, meskipun penuh dengan ketidakpastian, adalah bagian dari perjalanan hidupnya. Dan mungkin, kali ini, ia bisa menemukan jawaban yang selama ini ia cari.*

Bab 3: Dekat Tanpa Kata

Hari-hari setelah pertemuan mereka yang tak terduga itu, Alya merasa segala sesuatu berjalan dengan cara yang berbeda. Kehidupannya, yang sebelumnya teratur dan penuh dengan rutinitas, kini terasa sedikit terganggu oleh kehadiran Rio. Meskipun mereka belum berbicara banyak, ada sesuatu yang tak bisa diabaikan—sesuatu yang membuat hati Alya berdebar setiap kali Rio muncul di depannya. Senyumnya, tatapannya yang penuh makna, semuanya membuat Alya merasa seperti kembali ke masa-masa itu—masa kecil yang penuh kebahagiaan dan kehangatan.

Pagi itu, Alya kembali menuju kampus, dengan langkah yang lebih ringan dari biasanya. Tadi malam, Rio mengiriminya pesan singkat. Pesan yang sederhana, hanya berupa ucapan selamat tidur dan harapan agar hari Alya menyenankan. Namun, bagi Alya, pesan itu jauh lebih bermakna dari yang Rio sadari. Ada sesuatu dalam pesan itu yang menggetarkan hatinya—sesuatu yang tidak pernah berubah, meskipun waktu telah berlalu begitu lama.

“Semoga hari kamu menyenankan, Alya. Sampai bertemu nanti,” begitulah pesan Rio yang mengakhiri percakapan mereka. Tidak ada kata-kata indah atau romantis, namun Alya merasa seperti dunia mereka kembali berputar di sekitar satu sama lain.

Pagi itu, ketika Alya tiba di kampus, dia melihat Rio sedang duduk di bawah pohon besar di dekat taman. Rio sedang membaca buku, tampak tenggelam dalam dunia yang hanya ia kenal. Alya mendekat dengan langkah pelan, berusaha tidak membuat suara agar Rio tidak menyadari kedatangannya lebih dulu. Saat langkahnya semakin dekat, Rio mengangkat wajahnya dan tersenyum. Senyum itu, meski tidak banyak kata yang terucap, langsung membuat hati Alya berdegup kencang. Itu adalah senyum yang penuh makna, seolah dunia mereka kembali terhubung meski tanpa perlu berbicara.

“Selamat pagi, Rio,” sapa Alya, berusaha menyembunyikan rasa canggung yang tiba-tiba muncul.

“Selamat pagi, Alya,” jawab Rio dengan suara lembut, matanya tetap tertuju pada Alya. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada tatapan yang lebih dalam, lebih penuh arti. Tatapan itu membuat Alya merasa seperti mereka berbicara tanpa perlu mengatakan sepatah kata pun.

Mereka duduk bersama di bangku taman yang sama, hanya berdiam diri dalam keheningan. Tidak ada percakapan yang mengisi ruang antara mereka, namun Alya merasakan kedekatan yang begitu kuat. Ada rasa nyaman yang melingkupi mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Rio membuka bukunya lagi, tapi kali ini Alya tidak bisa berkonsentrasi pada apapun. Perasaannya hanya terfokus pada Rio, pada kehadirannya yang begitu nyata di depannya.

Sejenak, Rio menutup bukunya dan menatap Alya. “Alya,” panggilnya pelan, namun cukup untuk menarik perhatian Alya.

“Ya?” jawab Alya, menatapnya dengan penuh perhatian.

Rio tersenyum tipis. “Kamu ingat ketika kita masih kecil, kan? Waktu kita sering menghabiskan waktu bersama, di sini, di taman ini? Rasanya seperti baru kemarin.”

Alya terkejut. “Tentu saja aku ingat. Taman ini, pohon itu, tempat kita sering bersembunyi dari dunia,” jawab Alya, suara lembutnya penuh kenangan. Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan kenangan masa kecil itu meresap kembali.

Rio melanjutkan, “Aku merasa, meskipun kita sudah lama tidak bertemu, seolah tidak ada jarak antara kita. Seolah waktu tidak pernah memisahkan kita.”

Alya merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata Rio. “Aku juga merasa begitu, Rio. Meskipun semuanya berubah, aku merasa kita masih terhubung. Tidak ada yang benar-benar berubah.”

Alya menatap Rio dengan penuh rasa ingin tahu. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, namun ia ragu. Rasa takut akan jawaban yang mungkin tidak seperti yang diharapkan membuatnya tertahan. Akhirnya, ia memutuskan untuk tetap diam, menikmati momen kebersamaan yang sederhana ini.

Sementara itu, Rio seolah bisa membaca apa yang ada di pikiran Alya. Ia tersenyum, seolah mengerti apa yang sedang dipikirkan Alya, namun tidak mengungkapkannya. Keheningan itu bukanlah sesuatu yang mengganggu, tetapi malah menjadi tanda bahwa kedekatan mereka sudah cukup kuat tanpa perlu banyak kata. Mereka hanya duduk bersama, berbagi ruang yang sama, dan itu sudah lebih dari cukup.

Hari itu berlalu begitu saja, tanpa percakapan panjang atau kata-kata manis. Namun, bagi Alya, hari itu adalah salah satu hari yang paling berharga. Mereka tidak perlu berbicara banyak, tidak perlu menunjukkan perasaan dengan kata-kata yang dramatis. Cukup dengan kebersamaan yang sederhana, kedekatan mereka terasa begitu nyata.

Setelah beberapa waktu, Rio berdiri dan mengangkat tasnya. “Aku harus pergi, Alya. Ada kuliah yang harus aku ikuti,” katanya dengan nada ringan, namun tetap ada rasa berat dalam suaranya.

Alya mengangguk, meskipun sedikit enggan untuk berpisah. “Iya, Rio. Sampai jumpa nanti.”

Rio tersenyum lagi, senyum yang membuat Alya merasa hangat di dalam hati. “Sampai jumpa, Alya. Kita masih punya banyak waktu untuk berbicara, kan?” katanya, sebelum melangkah pergi.

Alya menatapnya pergi, dan hatinya kembali berdebar. Ada perasaan yang belum selesai, perasaan yang menggelitik dan tidak bisa dia hindari. Meskipun mereka hanya duduk bersama tanpa banyak kata, Alya merasa seperti ada dunia baru yang sedang terbuka untuknya. Dunia yang penuh dengan kemungkinan, dunia di mana kedekatan bisa tercipta tanpa harus diucapkan dalam kata-kata. Dunia di mana Rio ada, dan Alya tahu, perasaan ini masih ada—terpendam dalam-dalam, namun begitu nyata.

Alya tersenyum pada dirinya sendiri, berharap bahwa pertemuan-pertemuan mereka selanjutnya akan semakin membuka jalan untuk memahami apa yang sebenarnya ada di antara mereka.*

Bab 4: Cinta yang Terungkap

Hari-hari setelah pertemuan mereka di taman itu berlalu begitu cepat. Alya merasa seperti hidupnya dipenuhi dengan banyak perasaan yang tak terungkapkan. Setiap kali ia bertemu Rio, entah itu di kampus atau dalam kesempatan-kesempatan tak terduga lainnya, hatinya terasa berdebar lebih cepat, seolah perasaan yang selama ini terkubur kembali muncul ke permukaan. Namun, ia masih ragu. Apakah perasaan itu benar adanya, atau hanya kenangan yang membuai? Mungkin Rio hanya melihatnya sebagai teman lama, bukan sebagai seseorang yang bisa lebih dari itu.

Pada suatu malam yang cerah, setelah seharian penuh dengan kegiatan kuliah yang melelahkan, Alya memutuskan untuk duduk di balkon apartemennya, menikmati udara malam yang segar. Pikirannya masih terhenti pada Rio—pada senyumnya yang hangat, pada tatapan matanya yang seolah bisa melihat langsung ke dalam hatinya. Meskipun mereka sudah lama tidak berbicara secara langsung, perasaan itu tetap ada, dan Alya tak bisa lagi mengabaikannya.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar, menyadarkan Alya dari lamunannya. Sebuah pesan masuk dari Rio, yang langsung membuat hatinya berdegup kencang.

“Hey, Alya. Apakah kamu sedang tidak sibuk?” bunyi pesan itu.

Alya tersenyum, sedikit gugup saat melihat nama Rio di layar. Tanpa berpikir panjang, ia segera membalas.

“Tidak, aku sedang di rumah. Kenapa?” jawabnya, sambil menunggu respons Rio dengan harap-harap cemas.

Beberapa detik kemudian, pesan dari Rio kembali muncul.

“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu. Kalau kamu tidak keberatan, bisa bertemu sebentar? Aku ingin menjelaskan sesuatu yang sudah lama ingin aku katakan.”

Pesan itu seperti sebuah petunjuk yang memunculkan banyak pertanyaan dalam benaknya. Ada sesuatu dalam kata-kata Rio yang membuatnya merasa tidak tenang. Apa yang ingin Rio katakan? Apakah ini berkaitan dengan perasaan yang ia rasakan selama ini? Ataukah Rio hanya ingin mengungkapkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengannya?

Dengan hati yang berdebar, Alya memutuskan untuk segera bertemu Rio. Ia tidak ingin menunggu lebih lama lagi untuk mengetahui apa yang sebenarnya ada di balik pesan itu. Segera, ia mengenakan jaket dan keluar menuju kafe kecil di dekat kampus tempat mereka sering bertemu. Udara malam yang sejuk terasa menambah ketegangan dalam dirinya. Sebentar lagi, ia akan mengetahui jawaban atas semua rasa penasaran yang selama ini mengganggunya.

Sesampainya di kafe, Alya melihat Rio sudah duduk di salah satu sudut dengan secangkir kopi di tangannya. Mata Rio terlihat penuh dengan pemikiran, seolah sedang menunggu waktu yang tepat untuk berbicara. Alya mendekat dan duduk di depannya.

“Rio,” sapanya lembut, berusaha memecah keheningan yang ada di antara mereka.

Rio mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. “Alya,” jawabnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya—sesuatu yang lebih dalam, lebih penuh arti. “Terima kasih sudah datang.”

Alya hanya mengangguk, merasa sedikit cemas dengan apa yang akan Rio katakan. Ia menatap Rio dengan penuh perhatian, mencoba membaca ekspresi wajahnya, namun tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya.

Rio menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut. “Alya, ada hal yang sudah lama ingin aku katakan. Ini mungkin akan terdengar aneh, tapi aku rasa aku tidak bisa lagi menyimpannya sendiri.”

Jantung Alya berdetak lebih kencang. “Apa maksudmu, Rio? Kamu bisa bilang apa saja,” jawab Alya dengan suara sedikit gemetar, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Rio menundukkan kepala sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia akhirnya menatap Alya dengan tatapan yang penuh ketulusan.

“Alya, aku… aku merasa sangat beruntung bisa bertemu lagi denganmu setelah sekian lama. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi setiap kali kita bertemu, setiap kali aku melihatmu, hatiku selalu berdebar. Aku tahu ini mungkin tidak seharusnya terjadi, tapi aku tidak bisa lagi mengabaikan perasaan ini,” ucap Rio dengan suara pelan namun penuh makna.

Alya terkejut. Ternyata, perasaan yang selama ini ia rasakan juga ada pada Rio. Sebuah perasaan yang tersembunyi, yang tumbuh tanpa disadari. Alya merasa seperti ada beban yang terangkat dari pundaknya, meskipun ia juga merasa kebingungannya semakin dalam.

“Rio, aku… aku juga merasa hal yang sama. Sejak pertama kali kita bertemu lagi, aku merasa seperti ada sesuatu yang berubah, meskipun kita tidak banyak berbicara. Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya, tapi aku juga merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa antara teman lama,” jawab Alya, suaranya sedikit bergetar karena emosi yang menggebu-gebu dalam dirinya.

Rio tersenyum lega mendengar pengakuan Alya. “Jadi, kita berdua merasa hal yang sama, ya?” katanya dengan suara yang penuh kehangatan.

Alya mengangguk, merasa sedikit malu namun juga bahagia. “Aku rasa, kita memang memiliki perasaan yang sama, Rio. Aku tidak bisa lagi menahan perasaan ini, meskipun aku takut jika itu hanya akan membuat segalanya menjadi rumit.”

Rio mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Alya dengan lembut. “Aku tidak akan membiarkan apapun merusak ini, Alya. Kita akan menghadapi apapun bersama, seiring waktu.”

Malam itu, di tengah cangkir kopi yang masih mengepul dan suasana kafe yang tenang, akhirnya Alya dan Rio mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam. Perasaan yang menghubungkan mereka lebih dari sekadar kenangan masa kecil, melainkan sesuatu yang jauh lebih kuat, lebih nyata. Cinta yang selama ini tersembunyi, kini terungkap tanpa kata-kata yang perlu dipaksakan, hanya dengan ketulusan dan kejujuran dari hati masing-masing.

Saat mereka berdua saling menatap, Alya merasa dunia di sekelilingnya seakan berhenti berputar. Semua yang ia butuhkan ada di depannya—sebuah cinta yang terungkap setelah sekian lama, yang hadir tanpa paksaan, namun penuh dengan keindahan yang luar biasa.*

Bab 5: Rindu yang Terakhir

Waktu berlalu begitu cepat, dan hubungan antara Alya dan Rio semakin tumbuh dengan setiap pertemuan yang mereka jalani bersama. Hari-hari penuh canda tawa, percakapan ringan, dan kebersamaan yang semakin erat itu menjadi bagian dari kehidupan mereka yang tidak bisa dipisahkan. Mereka berbagi impian, harapan, dan rasa sakit masing-masing—hal-hal yang tidak pernah mereka ungkapkan pada orang lain, hanya kepada satu sama lain. Semuanya terasa sempurna.

Namun, tak ada yang bisa menghindari kenyataan. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, dan perasaan yang terpendam bisa saja berubah dalam sekejap.

Pada suatu sore yang cerah, ketika mereka sedang duduk bersama di taman, Rio menatap Alya dengan pandangan yang lebih serius dari biasanya. Alya merasakan ada yang berbeda dari sikap Rio hari itu. Ia mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan oleh pria yang sudah sangat ia cintai itu.

“Rio, ada apa? Kamu terlihat agak berbeda hari ini,” tanya Alya, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Rio menghela napas panjang, matanya yang biasanya cerah tampak lebih redup hari itu. “Alya, ada sesuatu yang harus aku sampaikan padamu, sesuatu yang aku rasa perlu kita bicarakan,” katanya dengan nada yang sedikit berat.

Alya merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Sesuatu dalam suara Rio mengingatkannya pada sebuah perasaan yang sudah lama ia kenali—rasa takut akan kehilangan. “Kamu membuatku khawatir, Rio. Apa yang terjadi?” tanyanya, mencoba mencari kepastian.

Rio menundukkan kepalanya sejenak, lalu memandang Alya dengan mata yang penuh makna. “Alya, aku harus pergi,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.

Kata-kata itu menghantam Alya seperti petir di siang bolong. “Pergi? Ke mana? Kenapa?” Alya bertanya dengan bingung, seolah tidak dapat memahami apa yang baru saja didengarnya.

Rio mengangguk perlahan. “Aku mendapatkan tawaran pekerjaan di luar kota. Aku harus pindah, Alya. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku merasa ini adalah kesempatan yang besar untuk masa depanku.”

Alya merasa dunia di sekelilingnya terhenti. Segala perasaan yang telah tumbuh dalam hatinya kini terasa begitu rapuh, seperti sesuatu yang baru saja dibangun namun akan segera hancur. “Tapi, Rio… kita baru saja menemukan kembali satu sama lain. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu,” suara Alya hampir pecah saat mengucapkannya. Air matanya mulai menggenang, namun ia berusaha keras untuk tidak menangis di hadapan Rio.

Rio meraih tangan Alya, menggenggamnya dengan lembut. “Aku tahu, Alya. Aku juga merasa hal yang sama. Rasanya seperti sebuah mimpi yang tak ingin aku akhiri. Tapi, kadang hidup memang penuh dengan pilihan-pilihan sulit. Aku tidak bisa melewatkan kesempatan ini.”

Alya menundukkan kepala, mencoba menahan air matanya yang kini hampir jatuh. “Jadi, ini akhir dari kita? Kita baru saja mulai, dan sekarang kamu pergi?”

Rio mengusap rambut Alya dengan lembut, sebuah gerakan yang begitu penuh perhatian. “Aku tidak ingin kamu merasa seperti ini. Aku ingin kamu tahu, perasaanku padamu tidak akan pernah berubah, meskipun jarak akan memisahkan kita. Cinta yang kita miliki akan selalu ada, meskipun kita tidak bisa bersama.”

Air mata Alya akhirnya jatuh, meskipun ia mencoba keras untuk menahan semuanya. Ia merasa seolah-olah bagian dari dirinya hilang begitu saja. “Rio, aku tidak tahu bagaimana aku bisa hidup tanpamu. Kamu sudah menjadi bagian dari hidupku yang sangat berarti, dan aku tidak tahu bagaimana rasanya melepasmu,” katanya, suaranya pecah.

Rio menggenggam tangan Alya lebih erat. “Alya, aku juga tidak tahu bagaimana caranya melepaskanmu. Tapi, kita harus percaya bahwa apapun yang terjadi, kita akan menemukan jalan kita masing-masing. Mungkin suatu saat nanti, jalan kita akan kembali bertemu. Tapi untuk saat ini, aku harus pergi.”

Alya menatap Rio dengan pandangan yang penuh dengan cinta dan rasa kehilangan yang mendalam. “Aku mencintaimu, Rio. Aku benar-benar mencintaimu,” katanya dengan penuh ketulusan.

Rio tersenyum, meskipun senyumnya itu tampak begitu sedih. “Aku juga mencintaimu, Alya. Dan itu tidak akan pernah berubah, apapun yang terjadi.”

Setelah beberapa saat terdiam, Rio berdiri dan meraih tasnya. Sebelum pergi, ia menoleh lagi kepada Alya, memberikan sebuah pandangan terakhir yang penuh dengan cinta dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. “Ini bukan perpisahan selamanya. Hanya sementara,” ujarnya, sebelum melangkah pergi, meninggalkan Alya yang masih terdiam di bangku taman.

Alya duduk di sana, tubuhnya terasa lemas, seolah semua kekuatan meninggalkan dirinya begitu saja. Dia memandang Rio yang mulai menjauh, hatinya terasa seperti teriris. Ia merasa seperti ada yang hilang, sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Namun di sisi lain, ia tahu bahwa cinta yang mereka miliki tidak akan pernah hilang, meskipun jarak dan waktu akan memisahkan mereka.

Malam itu, ketika Alya kembali ke apartemennya, ia duduk sendirian di balkon, memandang langit malam yang sunyi. Rindu yang tak terkatakan mengalir dalam dirinya, namun ia tahu, ini adalah bagian dari perjalanan hidupnya. Mungkin cinta pertama tidak selalu berakhir bahagia, tetapi cinta pertama adalah kenangan yang tidak akan pernah terlupakan. Dan meskipun perpisahan ini terasa sangat berat, Alya tahu bahwa Rio akan selalu ada di hatinya, sebagai cinta pertama yang akan selalu ia rindukan.

“Sampai jumpa, Rio,” bisik Alya pelan, sebelum akhirnya menutup matanya, membiarkan air mata terakhirnya mengalir dalam keheningan malam.*

Bab 6: Keputusan yang Pahit

Alya berjalan pelan di sepanjang trotoar, langkahnya terasa berat, seperti beban yang tak bisa dia lepaskan. Setelah perpisahan dengan Rio yang mengguncang hatinya, hidupnya tidak lagi sama. Setiap sudut kota, setiap kenangan kecil yang dia temui, seolah mengingatkannya pada pria itu. Rio. Cinta pertamanya. Cinta yang begitu mendalam, begitu tulus, namun juga begitu jauh dari genggamannya.

Malam itu, Alya duduk di meja makan kecil di apartemennya, sepotong roti di depannya yang sepertinya sudah tak lagi menggugah selera. Matanya kosong, pikirannya jauh entah ke mana. Ketika dia menatap layar ponselnya, sebuah pesan masuk dari Rio. Hatinya berdegup kencang. Meski mereka sudah berpisah, Rio tak pernah berhenti mengirimkan pesan singkat, mengingatkannya akan kenangan-kenangan indah yang pernah mereka bagi.

Dari Rio:
“Alya, aku berharap suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi. Mungkin tidak sekarang, mungkin nanti. Tapi aku percaya, kita akan selalu ada di hati satu sama lain. Aku merindukanmu.”

Alya menatap pesan itu dengan mata berkaca-kaca. Mengapa perpisahan ini terasa begitu menyakitkan? Mengapa meski semuanya sudah jelas, hatinya tetap berharap? Perasaan itu selalu datang, bahkan saat ia berusaha menutupinya dengan kesibukan sehari-hari. Setiap detik yang berlalu, ia merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Namun, dalam hati Alya, ada satu kenyataan yang harus ia hadapi. Perpisahan ini bukan hanya tentang jarak fisik. Ada banyak hal yang lebih penting dalam hidup yang harus ia utamakan. Rio memang mencintainya, tapi hidup tidak berhenti hanya karena cinta. Alya tahu bahwa dia harus membuat keputusan yang berat, sebuah keputusan yang akan membawanya pada jalan yang berbeda dari yang ia inginkan.

Pagi-pagi sekali, Alya berdiri di depan cermin, menatap refleksinya dengan mata yang sudah lelah menangis. Wajahnya terlihat pucat, rambutnya berantakan, dan sepertinya segala semangat hidupnya hilang begitu saja. Namun, di balik tatapan itu, ada sebuah tekad yang mulai tumbuh. “Aku harus bangkit,” gumamnya pada diri sendiri. Ia tahu, meskipun hati ini terluka, dia harus bergerak maju. Dunia tidak akan berhenti berputar hanya karena ia merasa kehilangan.

Hari itu, Alya memutuskan untuk kembali bekerja setelah beberapa hari vakum. Ia memasuki kantornya dengan langkah yang terhitung mantap, meskipun hatinya terasa kosong. Di tempat kerja, rekan-rekannya tampak menyadari perubahan dalam diri Alya. Mereka yang dulu melihatnya selalu ceria dan penuh semangat kini melihatnya lebih pendiam, lebih tertutup.

“Semuanya baik-baik saja, Alya?” tanya seorang teman dekatnya, Mira, dengan suara lembut.

Alya menghela napas, mencoba tersenyum. “Iya, Mira. Hanya sedikit lelah,” jawabnya, meskipun ia tahu itu bukan alasan yang sebenarnya.

Namun, Mira tidak mudah ditipu. “Alya, kamu pasti sedang berjuang dengan sesuatu. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Jika kamu butuh bicara, aku di sini.”

Alya menatap Mira sejenak, terharu dengan perhatian sahabatnya. “Terima kasih, Mira. Aku tahu kamu peduli,” katanya, suara yang hampir hilang.

Sore hari, Alya menerima panggilan dari ibunya. “Alya, aku tahu kamu sedang merasa tidak enak. Tapi kamu harus ingat, kita tidak bisa melarikan diri dari kenyataan. Kamu harus kuat. Kehidupanmu masih panjang.”

Alya terdiam, mendengarkan suara lembut ibunya. Kata-kata itu seperti sebuah siraman air dingin yang membangkitkan kesadarannya. Kehidupan memang harus terus berjalan. Rio mungkin bagian dari masa lalunya, tetapi ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang perasaan yang tak pasti. Ia harus membuat keputusan, keputusan yang akan membawanya pada kebahagiaan, meskipun itu berarti melepaskan segala sesuatu yang ia cintai.

Keputusan itu datang perlahan, namun pasti. Alya memutuskan untuk tidak lagi menghubungi Rio. Ia tahu bahwa meskipun hatinya masih mencintainya, Rio sudah memilih jalan hidupnya yang berbeda. Alya juga harus menemukan jalannya sendiri. Mungkin ini keputusan yang paling pahit, tetapi ia tahu ini adalah yang terbaik.

Saat malam tiba, Alya duduk sendirian di balkon apartemennya, melihat langit yang mulai gelap. Di kejauhan, lampu kota berkelip seperti bintang-bintang yang hilang. Hatinya terasa berat, namun ada sebuah kedamaian yang perlahan datang. Ia membuka ponselnya, menatap pesan-pesan dari Rio, dan kemudian memilih untuk menghapus semuanya. Ia tahu ini adalah langkah pertama untuk melepaskan dirinya dari masa lalu.

Keputusan yang pahit, namun benar.

Alya menatap ponselnya sekali lagi, sebelum akhirnya mematikannya dan meletakkannya di meja samping. “Aku harus melanjutkan hidupku,” bisiknya pelan pada diri sendiri.

Dia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang. Cinta pertama mungkin telah pergi, namun itu bukan akhir dari segalanya. Alya punya hidup yang lebih banyak untuk dijalani, mimpi yang masih harus diwujudkan, dan kebahagiaan yang mungkin akan datang suatu saat nanti, dalam bentuk yang berbeda.

Dengan sebuah tarikan napas yang dalam, Alya merasa bahwa hari esok akan lebih baik. Mungkin tidak ada Rio di sisinya, tetapi ia yakin bahwa dirinya layak untuk merasakan kebahagiaan—kebahagiaan yang tidak lagi bergantung pada seseorang, melainkan pada dirinya sendiri. Cinta pertama mungkin sudah berakhir, namun perjalanan hidupnya baru saja dimulai.*

Bab 7: Cinta yang Tersimpan

Beberapa bulan telah berlalu sejak Alya memutuskan untuk melanjutkan hidupnya tanpa Rio. Proses itu tidak mudah, tetapi ia tahu bahwa terkadang, cinta tidak bisa dipaksakan untuk tetap hidup di tengah-tengah realitas yang tak terjangkau. Hari-harinya berjalan dengan lebih stabil, meskipun ada kalanya ingatan tentang Rio datang dengan tiba-tiba, seperti angin yang membawa aroma kenangan manis dan pahit yang tak bisa dihindari.

Alya kini mulai belajar untuk menikmati waktunya sendiri, tanpa harus bergantung pada perasaan cinta yang pernah ia rasakan begitu dalam. Dia menghabiskan banyak waktu dengan teman-temannya, mengejar karir yang sempat tertunda, dan mulai menjalani hidup dengan cara yang lebih mandiri. Namun, ada satu hal yang selalu tetap dalam hatinya—cinta yang tak pernah benar-benar hilang.

Suatu pagi, Alya bangun dengan perasaan yang aneh. Seperti ada yang berbeda, meskipun semuanya terlihat biasa. Ia berjalan ke jendela apartemennya dan membuka tirainya, memandang kota yang sibuk dan penuh kehidupan. Ketika ia memandang jauh ke horizon, ia tiba-tiba teringat pada kata-kata yang pernah diucapkan oleh Rio beberapa bulan yang lalu: “Aku akan selalu ada di hati kamu, Alya, meskipun kita terpisah jauh.” Kata-kata itu seolah kembali menghantuinya, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan bahwa cinta yang pernah tumbuh di antara mereka masih ada di dalam hatinya.

Tidak ada yang berubah, meskipun waktu telah berjalan. Cinta yang ia simpan dalam dirinya itu tetap ada, meski dalam diam. Alya tahu bahwa ia harus belajar untuk menerima kenyataan ini. Rio mungkin sudah pergi, namun perasaan itu, cinta yang tulus, tidak bisa dihapus begitu saja. Cinta pertama adalah bagian dari diri kita yang tak akan pernah sepenuhnya hilang, meskipun kita mencoba untuk melupakan.

Hari itu, Alya memutuskan untuk mengunjungi tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama, sebuah kafe kecil di sudut kota yang menjadi saksi bisu cinta mereka tumbuh. Kafe itu masih sama, dengan aroma kopi yang hangat dan suasana yang nyaman. Alya duduk di meja yang biasanya mereka duduki bersama, dan sesaat ia merasa seperti Rio masih ada di sana.

Seperti yang ia duga, kenangan itu datang begitu saja, memenuhi pikirannya. Mereka sering duduk berdua di sini, berbicara tentang masa depan yang sepertinya penuh dengan harapan, berbagi tawa, dan berbicara tentang segala hal yang mereka inginkan dalam hidup. Rio dengan impian-impiannya, Alya dengan harapan-harapannya. Mereka saling mendukung dan saling menguatkan satu sama lain, seolah-olah tidak ada yang bisa memisahkan mereka.

Alya memesan kopi favoritnya, sama seperti dulu, dan duduk menikmati kesendirian yang kini terasa lebih nyaman. Ada rasa manis dan pahit yang datang bersamaan—manis karena kenangan indah itu, dan pahit karena perpisahan yang tak terhindarkan. Namun, Alya tidak menyesali apa pun. Ia hanya merasa bahwa cinta itu tetap ada, meskipun tidak lagi bisa ia jalani bersama Rio.

Sambil memandangi cangkir kopinya, Alya menyadari satu hal yang begitu jelas—cinta pertama memang tidak pernah benar-benar hilang. Meskipun Rio sudah pergi dan mereka tidak bisa bersama lagi, perasaan itu tetap hidup dalam dirinya. Cinta yang tulus dan mendalam itu tidak bisa begitu saja dilupakan. Ia mungkin sudah melepaskan Rio dalam kehidupan nyata, tetapi dalam hatinya, Rio tetap ada. Cinta mereka adalah kenangan yang tak bisa dipisahkan dari perjalanan hidupnya.

Alya kembali ke apartemennya dengan hati yang sedikit lebih ringan. Meskipun ia tahu bahwa Rio sudah memilih jalannya, ia merasa bahwa dirinya juga perlu menemukan jalan baru yang bisa memberinya kebahagiaan. Cinta yang tersimpan di dalam hatinya tidak akan menghalanginya untuk melangkah maju. Itu adalah bagian dari dirinya yang akan selalu hidup, tetapi tidak mengikatnya untuk kembali ke masa lalu.

Beberapa hari kemudian, Alya menerima sebuah undangan yang tak terduga—undangan reuni sekolah menengah atas yang sudah lama ia tunggu. Meskipun ia merasa canggung dan sedikit ragu, ia akhirnya memutuskan untuk pergi. Reuni ini bukan hanya untuk bertemu teman-teman lama, tetapi juga untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya. Di sana, ia bertemu dengan beberapa teman sekelas yang sudah lama tidak ditemui, dan meskipun awalnya ia merasa canggung, kehadiran mereka membuat Alya merasa lebih hidup.

Tiba-tiba, saat ia sedang berbincang dengan teman-temannya, matanya tertuju pada seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan—seorang pria yang tak asing di matanya. Rio.

Detak jantung Alya berhenti sejenak. Rasanya seperti seluruh dunia berhenti berputar seketika. Rio berdiri di sana, tampak berbeda, namun tetap dengan senyum khasnya yang membuat Alya merasa gugup dan bingung. Mereka berdua saling memandang, seolah-olah waktu kembali terhenti sejenak. Alya bisa merasakan kilatan emosi yang kuat di dalam dirinya, namun ia juga tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk melanjutkan apa yang sudah menjadi bagian dari masa lalu.

Rio berjalan mendekat, senyumnya mengembang. “Alya,” katanya pelan, namun suaranya cukup untuk mengguncang hatinya. “Sudah lama kita tidak bertemu.”

Alya tersenyum, meskipun ada rasa canggung yang mengganggu. “Iya, sudah lama sekali. Aku tidak menyangka bisa bertemu kamu di sini.”

Rio mengangguk, matanya memancarkan tatapan hangat yang masih terasa seperti dulu. “Aku… aku harap kamu baik-baik saja,” ujarnya, suara yang penuh makna.

Alya mengangguk, meskipun perasaan di hatinya sangat kompleks. “Aku baik-baik saja, Rio. Aku sudah belajar banyak hal sejak kita berpisah.”

Mereka berdua terdiam sejenak, mencoba mengatur perasaan yang tak terkatakan. Alya tahu, meskipun perasaan itu masih ada, ia sudah berada di titik yang berbeda dalam hidupnya. Rio adalah bagian dari masa lalu yang tidak akan pernah ia lupakan, tetapi kini ia telah menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri. Cinta pertama memang tersimpan dalam hati, tetapi ia harus melanjutkan hidup.

Dan mungkin, suatu hari nanti, mereka akan saling memahami bahwa perpisahan itu bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan masing-masing. Cinta pertama tetap menjadi kenangan yang indah, namun hidup harus terus berjalan, dan Alya siap melangkah maju.***

——————–THE END——————–

Source: DELA SAYFA
Tags: #MelodiRindu #CintaTakTerlupakan #RinduYangAbadi #KisahCinta #NovelRomantis
Previous Post

RASA YANG TAK PERNAH USAI

Next Post

ANTARA LUAR ANGKASA DAN HATIMU

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
ANTARA LUAR ANGKASA DAN HATIMU

ANTARA LUAR ANGKASA DAN HATIMU

DUA HATI SATU CERITA

DUA HATI SATU CERITA

JARAK YANG MEMBANGUN RINDU

JARAK YANG MEMBANGUN RINDU

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id