Daftar Isi
BAB 1: Pertemuan Kembali Setelah Bertahun-tahun
Ardi dan Dina bertemu kembali secara tidak sengaja melalui media sosial. Dulu, mereka adalah teman masa kecil yang terpisah oleh waktu dan jarak. Setelah berbulan-bulan tidak saling berbicara, mereka mulai kembali berkomunikasi melalui pesan singkat.
Rasa kaget dan nostalgia menyelimuti mereka saat mereka mulai berbicara kembali. Ada rasa rindu dan keinginan untuk tahu lebih banyak tentang kehidupan satu sama lain setelah bertahun-tahun.
Membuka jalan untuk hubungan yang lebih dalam melalui percakapan pertama mereka.
Ardi menatap layar ponselnya dengan ragu. Sudah berapa kali dia menekan ikon aplikasi media sosial itu, dan sudah berapa kali dia merasa bimbang sebelum akhirnya menekan tombol “Kirim”? Entah kenapa, hati Ardi terasa berdebar. Nama yang muncul di daftar teman Facebooknya bukanlah nama asing—itu adalah Dina, teman masa kecilnya yang terakhir kali dia lihat lima tahun lalu, sebelum dia dan keluarganya pindah ke kota lain.
Tapi sejujurnya, Ardi tidak pernah benar-benar melupakan Dina. Kenangan tentang mereka selalu terbersit setiap kali dia berjalan melewati taman dekat rumah masa kecilnya. Dina adalah gadis ceria yang selalu tahu cara membuatnya tertawa, bahkan ketika segala sesuatu terasa buruk. Namun, setelah keluarganya pindah, mereka kehilangan kontak. Dina tetap tinggal di kota yang sama, sementara Ardi memulai hidup baru yang penuh tantangan di kota yang jauh. Sejak itu, komunikasi mereka terputus.
Sekarang, seiring dengan melambatnya waktu, Ardi merasa sedikit cemas. Apa yang harus dia katakan kepada Dina setelah sekian lama? Bukankah akan terasa canggung? Namun, rasa ingin tahu akhirnya mengalahkan keraguannya. Ardi memutuskan untuk menulis pesan.
“Hei, Dina… apa kabar? Lama sekali kita nggak ngobrol, ya.”
Pesan itu terkirim. Seketika, Ardi merasakan perasaan campur aduk. Apakah Dina masih ingat dia? Apakah dia sudah melupakan semua kenangan masa kecil mereka? Ardi hanya bisa menunggu.
Ponsel Ardi bergetar, dan matanya langsung menangkap notifikasi yang muncul. Sebuah balasan dari Dina.
“Ardi? Wah, ini luar biasa! Aku kira kamu sudah lupa sama aku. Kabar baik kok, justru penasaran banget gimana kabarmu sekarang.”
Ardi tersenyum membaca balasan itu. Ternyata, Dina masih ingat dia. Bahkan, Dina merasa senang bisa berkomunikasi lagi setelah bertahun-tahun tidak ada kabar. Momen itu membuat Ardi merasa sedikit lebih tenang. Ia menekan balasan untuk mengirim pesan lagi.
“Yah, sebenarnya aku juga sering kepikiran. Banyak banget yang ingin aku ceritakan. Aku baru pindah ke kota ini, dan kadang merasa kesepian. Tapi, cukup seru kok. Kamu sendiri gimana? Masih di tempat yang sama?”
Ardi menunggu balasan, dan tak lama kemudian ponselnya bergetar lagi.
“Aku masih di sini, di kota lama. Sebenarnya aku juga sama, kadang merasa kesepian. Apalagi setelah teman-teman lama pada sibuk dengan kehidupan masing-masing. Tapi ya, bisa jadi lebih sibuk juga, kan, haha.”
Pesan itu seperti membuka pintu untuk percakapan yang lebih panjang. Ardi merasa ringan di hati. Mereka berbicara tentang kehidupan masing-masing, mengenang kenangan masa kecil yang penuh tawa, hingga kisah-kisah lucu yang sering mereka alami bersama. Ardi tertawa kecil saat Dina bercerita tentang bagaimana ia pernah terjatuh ke dalam kolam renang waktu mereka masih kecil, dan dia terpaksa memanggil bantuan orang tuanya karena tidak bisa berenang.
Cerita itu membawanya kembali ke masa-masa yang menyenangkan. Ardi hampir lupa bahwa mereka berdua sudah tidak lagi berada dalam dunia yang sama. Dunia yang dulu penuh dengan canda tawa, permainan, dan masa-masa tanpa beban. Sekarang, semuanya berbeda. Mereka berada di dunia yang dipisahkan oleh waktu dan jarak, dunia di mana komunikasi mereka hanya bisa terjalin melalui layar ponsel atau komputer.
Setelah beberapa minggu saling bertukar pesan, Ardi dan Dina mulai merasa semakin dekat. Mereka mulai berbagi cerita lebih dalam tentang kehidupan pribadi mereka. Dina bercerita tentang pekerjaannya yang padat sebagai seorang desainer grafis, yang sering membuatnya merasa lelah dan terasing dari teman-teman dekatnya. Ardi, di sisi lain, mengungkapkan bagaimana ia mulai merasa terjebak dalam rutinitasnya sebagai mahasiswa di sebuah universitas di kota yang jauh dari rumahnya. Meski hidup mereka jauh berbeda, ada satu kesamaan yang mereka temui—keduanya merasa kesepian, meskipun dikelilingi banyak orang.
Suatu malam, setelah mereka selesai berbicara panjang lebar tentang pekerjaan dan kehidupan masing-masing, Dina mengirimkan pesan singkat yang membuat Ardi terdiam sejenak.
“Aku nggak tahu kenapa, tapi setiap kali kita ngobrol, aku merasa seolah kita nggak pernah terpisah. Seperti kembali ke masa kecil, ya?”
Ardi membaca pesan itu berulang kali. Dia tidak bisa menahan senyum kecil yang tersungging di bibirnya. Apakah perasaan yang sama juga ada dalam dirinya? Hatinya mulai merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Namun, perasaan itu membuat Ardi bingung. Bukankah mereka sudah terpisah oleh waktu dan jarak? Dia di kota lain, jauh dari Dina yang tinggal di kota asal mereka. Apakah ini hanya perasaan nostalgia atau sesuatu yang lebih?
Suatu sore, Ardi duduk di kamarnya, menatap layar ponselnya. Dia kembali membuka aplikasi media sosial, berharap untuk melihat kabar terbaru dari Dina. Tidak lama setelah itu, pesan baru muncul.
“Hai, Ardi. Aku cuma ingin bilang… terima kasih. Aku merasa sangat nyaman ngobrol sama kamu lagi. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan lebih lanjut, tapi aku bingung mulai dari mana. Rasanya aneh, karena kita baru kembali berhubungan, tapi aku merasa sudah mengenal kamu begitu lama.”
Ardi menarik napas panjang. Ada sesuatu dalam pesan itu yang membuatnya merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Ini bukan hanya tentang persahabatan. Ada perasaan yang lebih mendalam—entah dari Dina, atau dari dirinya sendiri. Ardi merasa ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan begitu saja.
“Aku juga merasa sama, Dina. Aku rasa kita berdua punya banyak cerita yang belum dibagi. Mungkin kita bisa bertemu langsung suatu hari nanti, siapa tahu bisa berbicara lebih banyak.”
Pesan itu terkirim. Ardi menatap layar ponselnya, berharap ada balasan. Namun, yang muncul hanyalah titik-titik yang menunjukkan Dina sedang mengetik. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mengetahui bahwa percakapan ini akan berlanjut lebih jauh. Namun, dalam hatinya, Ardi tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar.
Pada malam itu, Ardi tidak bisa tidur. Perasaannya bercampur aduk. Ada rasa rindu yang tiba-tiba muncul, seolah Dina ada di dekatnya, padahal mereka berdua masih berada di dunia yang jauh berbeda. Dia memikirkan bagaimana rasanya bertemu Dina setelah sekian lama, setelah semuanya berubah.
Sebuah perasaan halus mulai muncul—rasa ingin tahu apakah hubungan ini bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar teman lama. Tetapi Ardi juga sadar, dia tidak bisa melupakan kenyataan bahwa jarak mereka tetap ada. Meskipun mereka berbicara hampir setiap hari, tetap saja mereka terpisah ribuan kilometer. Bagaimana mereka bisa menghadapinya jika perasaan ini semakin dalam?
Ardi tahu satu hal pasti: dia tidak bisa menahan perasaannya lebih lama lagi
Setelah beberapa minggu saling bertukar pesan, Ardi mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam. Suatu malam, setelah percakapan panjang lewat chat yang membahas tentang hobi dan impian masa depan, Dina tiba-tiba mengirimkan pesan yang lebih pribadi.
“Aku nggak tahu kenapa, tapi ada rasa yang nggak bisa aku ungkapkan… Seperti ada yang mengganjal, dan aku nggak tahu harus bagaimana menghadapinya,” tulis Dina.
Ardi terdiam sejenak membaca pesan itu. Ada kegugupan yang muncul dalam dirinya, seolah Dina baru saja membuka sebuah topik yang belum siap dia jawab. Apa yang sebenarnya Dina rasakan? Apakah perasaan ini hanya kekosongan yang ia coba isi dengan percakapan mereka?
Ardi membalas dengan hati-hati.
“Apa maksudmu? Maksudnya, ada sesuatu yang nggak beres? Kalau kamu merasa nggak nyaman, aku nggak mau maksain kok,” balas Ardi, berharap bisa memberi ruang bagi Dina untuk terbuka tanpa merasa terbebani.
Titik-titik kecil muncul di layar, menandakan Dina sedang mengetik balasan. Ardi menatap layar ponselnya dengan intens, seakan setiap detik adalah waktu yang sangat berharga. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Dina akhirnya menulis balasan.
“Aku… aku cuma takut kalau ini semua cuma sementara. Maksudku, kamu tahu kan, hubungan kita cuma lewat layar aja. Kita nggak pernah bener-bener ketemu. Aku takut, setelah bertemu, semuanya nggak sama. Apa yang terjadi kalau ternyata kita nggak cocok lagi, setelah semuanya berubah?”
Mendapatkan balasan seperti itu, hati Ardi terasa berat. Dina, yang dulu selalu ceria dan penuh semangat, sekarang mengungkapkan kekhawatirannya dengan begitu terbuka. Ardi tahu bahwa dia juga merasakan hal yang sama. Mereka berdua berada dalam ketidakpastian, tapi Ardi merasa bahwa mereka sudah terjalin terlalu jauh untuk mundur.
“Dina, aku juga merasa hal yang sama. Kadang aku berpikir, ‘Apa benar kita bisa bertahan?’ Tapi aku rasa, kita nggak bisa tahu sebelum mencoba. Aku nggak tahu, mungkin perasaan kita ini nggak bisa dijelaskan, tapi aku nggak bisa menahan diri. Aku ingin lebih dari sekadar teman lama. Aku ingin… lebih.”
Pesan itu terpaksa Ardi kirimkan meski hatinya berdegup sangat kencang. Apakah Dina akan memahami maksudnya? Atau apakah ini akan membuat hubungan mereka menjadi canggung?
Titik-titik kecil muncul lagi di layar. Ardi menunggu dengan cemas, merasakan keraguan dan harapan yang bercampur. Dina akhirnya mengirim balasan yang membuat Ardi hampir terjatuh dari tempat duduknya.
“Aku juga merasakan hal yang sama, Ardi. Aku nggak tahu kenapa, tapi setelah lama nggak ngobrol, aku merasa… mungkin ini bisa jadi lebih dari sekadar persahabatan. Tapi, kita harus hati-hati, kan? Jarak ini bisa jadi halangan yang besar.”
Ardi merasa seakan beban berat yang ia rasakan selama ini akhirnya terangkat. Dina, yang selama ini hanya ada dalam kenangan, kini juga merasakan perasaan yang sama. Meskipun ada keraguan, mereka berdua tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik komunikasi ini. Tapi bagaimana mereka akan menghadapi tantangan yang akan datang?
Beberapa hari setelah percakapan itu, Ardi mulai merasa gelisah. Seperti yang Dina katakan, jarak adalah masalah besar. Ardi tinggal di kota yang jauh, jauh dari tempat asal mereka. Bahkan jika mereka ingin bertemu, ada banyak kendala yang harus dihadapi—biaya perjalanan, waktu, dan kenyataan bahwa kehidupan mereka sudah terpisah begitu lama. Ardi tidak ingin mengecewakan Dina, tetapi ia merasa terjepit antara keinginannya untuk bertemu dengan kenyataan bahwa mereka mungkin tidak bisa melakukannya dalam waktu dekat.
Suatu sore, saat Ardi sedang duduk di kafe dekat kampus, ia menerima pesan dari Dina yang membuat pikirannya semakin kacau.
“Ardi, aku baru saja dapat tawaran untuk pekerjaan di luar negeri. Aku nggak tahu apakah ini kesempatan yang besar atau justru tantangan yang terlalu berat. Aku ingin melakukannya, tapi aku nggak tahu bagaimana ini akan memengaruhi kita.”
Pesan itu menghempas Ardi seperti gelombang besar. Dina, yang selama ini ia anggap sebagai teman dekat yang selalu ada, sekarang berhadapan dengan kesempatan besar yang bisa menjauhkannya lebih jauh lagi. Ardi merasa dilema yang berat. Di satu sisi, dia tahu betapa pentingnya kesempatan itu bagi Dina, tetapi di sisi lain, dia takut jika itu berarti akhir dari hubungan mereka.
“Aku nggak tahu, Dina. Kalau kamu merasa itu adalah langkah yang tepat untukmu, aku nggak akan menghalangi. Tapi… apakah kita bisa menghadapinya? Aku nggak tahu apakah kita bisa bertahan jika kamu jauh di luar negeri,” jawab Ardi, meskipun hatinya terasa terhimpit.
Titik-titik kecil muncul di layar, menandakan Dina sedang mengetik. Ardi menahan napas. Ini adalah momen yang akan menentukan. Pesan itu datang lagi.
“Aku nggak tahu, Ardi. Aku takut… kalau kita jauh, semuanya akan jadi semakin sulit. Tapi aku juga nggak ingin menyesal nggak mengambil kesempatan ini. Ini kesempatan yang sekali seumur hidup. Tapi kamu benar, jarak memang sulit.”
Ardi merasa seolah-olah ada dua jalan yang terbentang di depannya. Di satu sisi, dia bisa mendukung Dina untuk mengejar impian dan kariernya. Di sisi lain, ia takut kehilangan kesempatan untuk bersama Dina. Mungkin cinta mereka akan pupus karena jarak yang semakin jauh. Mungkin, hubungan mereka akan terhenti begitu saja, hanya karena keduanya tidak bisa bertahan dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini.
Beberapa hari kemudian, Ardi merasa gelisah. Ia tahu bahwa keputusan yang harus diambil Dina akan memengaruhi hidupnya juga. Tanpa disadari, dia sudah mulai merasakan perasaan yang lebih dalam, perasaan yang bahkan sulit diungkapkan. Cinta, entah kapan mulai tumbuh dalam dirinya. Cinta yang bukan hanya datang dari kecocokan, tetapi juga dari kenangan yang dibangun bertahun-tahun lalu. Meski mereka tidak pernah menyadarinya dulu, seiring berjalannya waktu, mereka semakin dekat.
Namun, apakah mereka siap untuk menghadapi kenyataan yang begitu berat? Apakah mereka cukup kuat untuk berjuang, meski terpisah oleh jarak?
Suatu pagi, Ardi memutuskan untuk mengirimkan pesan panjang kepada Dina. Tidak hanya tentang perasaannya, tetapi juga tentang masa depan mereka. Ardi tidak ingin tinggal diam, merasa hanya sebagai penonton dalam kisah hidup Dina. Dia ingin menjadi bagian dari cerita itu, apapun konsekuensinya.
“Dina, aku ingin kamu tahu bahwa apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu. Kalau kamu merasa ini adalah jalan yang tepat, aku nggak akan menghalangi. Tapi aku ingin kita coba. Kita harus coba. Jangan biarkan jarak jadi alasan kita tidak bisa berjuang bersama.”
Pesan itu terkirim, dan Ardi menunggu dengan cemas. Setelah beberapa detik, Dina membalas.
“Aku… aku nggak tahu harus bilang apa, Ardi. Aku juga merasa bingung. Tapi aku janji, kita akan coba. Kita berdua akan coba.”
Kata-kata itu memberi Ardi secercah harapan. Meskipun ada ketakutan dan kebingungan di antara mereka, mereka sepakat untuk mencoba. Cinta mereka, meski terpisah oleh jarak, kini menjadi alasan mereka untuk berjuang.
Pada malam itu, setelah percakapan panjang yang penuh harapan dan ketegangan, Ardi merasa lebih tenang. Meski banyak yang tidak pasti, ia tahu bahwa mereka memiliki sesuatu yang kuat. Sesuatu yang tidak bisa dihancurkan oleh jarak. Mereka akan berjuang untuk hubungan ini, apapun yang terjadi.
BAB 2: Kenangan yang Kembali Muncul
Ardi dan Dina mulai berbagi kenangan masa kecil mereka, bertukar cerita tentang hidup mereka yang sudah berubah. Dina mengungkapkan tantangannya, seperti pekerjaan yang melelahkan dan perasaan kesepian. Ardi, di sisi lain, bercerita tentang kehidupannya di kota baru.
Kehangatan dan keakraban kembali muncul, meskipun ada sedikit keraguan dalam hati mereka. Mereka mulai merasa bahwa hubungan ini bisa jadi lebih dari sekadar percakapan biasa.
Memperkenalkan dinamika komunikasi yang terjalin melalui teks dan telepon.
Malam itu, Ardi duduk di balkon kamar kosnya yang menghadap ke keramaian kota. Dengan secangkir kopi yang masih mengepul, ia menatap layar ponselnya, yang menampilkan pesan dari Dina. Hatinya berdebar kencang saat membaca kalimat singkat yang ditulis Dina:
“Malam ini aku nggak bisa tidur, jadi aku teringat banyak hal. Ingat nggak waktu kita dulu sering main di taman? Aku suka banget kalau kamu ngajakin aku naik sepeda sambil keliling taman.”
Pesan itu mengembalikan Ardi pada kenangan yang sudah lama terkubur dalam ingatannya. Taman itu—tempat mereka sering berkumpul, bermain, dan berbicara tentang impian-impian mereka di masa depan—seakan hidup kembali dalam pikirannya. Ardi merasa ada sesuatu yang hangat di hatinya saat membayangkan Dina di sana, dengan senyum cerianya yang selalu menghiasi wajahnya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Ardi membalas pesan itu:
“Aku ingat banget. Taman itu selalu jadi tempat favorit kita. Waktu itu kita nggak pernah merasa bosan meskipun cuma berputar-putar di situ aja, kan? Kita selalu punya cerita baru. Aku ingat, kamu selalu cerita soal buku yang kamu baca, dan aku dengarkan dengan penuh perhatian.”
Dina membalas dengan cepat. Pesannya kali ini lebih panjang.
“Aku juga ingat kamu yang selalu punya ide-ide aneh, seperti misalnya bikin tempat persembunyian rahasia di balik semak-semak. Kita sering bersembunyi di sana, cuma kita berdua, tanpa gangguan apapun. Rasanya… waktu itu dunia kita cuma ada di situ aja. Aku kadang mikir, kalau waktu bisa berhenti, aku pengen waktu itu nggak pernah selesai.”
Membaca pesan itu, Ardi merasa seperti ada angin yang membawa dia kembali ke masa-masa itu—masa ketika hidup terasa ringan, penuh tawa, dan tak ada beban. Kenangan itu hadir begitu nyata dalam benaknya, seakan-akan waktu tidak pernah bergerak. Dia merasa rindu akan masa itu, tetapi juga sadar bahwa banyak hal yang telah berubah.
Kenangan itu bukan hanya sekadar tempat atau aktivitas—kenangan itu adalah bagian dari hubungan mereka. Ardi tahu bahwa hubungan yang mereka miliki dulu lebih dari sekadar pertemanan masa kecil. Meskipun mereka belum menyadarinya saat itu, ada perasaan yang lebih dalam, perasaan yang kini semakin sulit untuk disangkal.
Beberapa hari setelah itu, Ardi merasa semakin dekat dengan Dina. Mereka mulai sering berbicara lebih dalam tentang masa kecil mereka—kenangan yang mereka berdua simpan dalam hati. Dalam setiap percakapan, Dina bercerita tentang banyak hal yang ternyata selama ini ia simpan sendiri. Kadang, cerita-cerita itu begitu sederhana, namun begitu bermakna. Tentang bagaimana ia pernah merasa takut akan gelap di malam hari, dan Ardi lah yang memberinya keberanian dengan cara yang lucu, hingga akhirnya mereka selalu tertawa bersama.
Tapi ada juga kenangan yang lebih menyakitkan. Seperti saat Dina bercerita tentang perpisahan yang ia alami dengan orang tuanya setelah mereka bercerai. Meskipun ia tidak mengungkapkan rasa sakitnya secara langsung, Ardi bisa merasakan betapa berat beban yang selama ini dipendam Dina.
“Kadang aku merasa, kayaknya aku nggak pernah bisa benar-benar merasain kebahagiaan setelah itu,” tulis Dina suatu malam. “Mungkin karena aku takut kehilangan lagi. Tapi setiap kali aku ngobrol sama kamu, aku merasa sedikit lega, kayak ada yang hilang dari beban itu.”
Ardi menatap layar ponselnya, merasakan kesedihan dalam setiap kata yang Dina kirimkan. Ia teringat bagaimana dulu, saat mereka masih kecil, Dina selalu terlihat ceria. Namun kini, seiring berjalannya waktu, Ardi tahu bahwa banyak hal yang membuat Dina berubah. Mungkin itulah yang membuat hubungan mereka terputus begitu lama—karena perubahan-perubahan itu, karena kenyataan yang tidak bisa mereka hindari.
Namun, meskipun ada banyak perubahan, ada satu hal yang tidak pernah berubah—kenangan mereka yang selalu hidup dalam ingatan. Kenangan-kenangan itu adalah hal yang terus mengikat mereka, bahkan ketika jarak mulai memisahkan.
Ardi menulis balasan, kali ini dengan lebih tulus.
“Aku nggak tahu kalau kamu merasa begitu, Dina. Tapi aku juga merasa… ada yang hilang setelah kita berpisah. Kadang aku merasa kalau kita bisa saling berbagi lebih banyak lagi waktu itu, mungkin semuanya nggak akan seperti ini. Tapi yang pasti, aku senang kalau kamu merasa lebih baik kalau kita ngobrol. Aku juga merasakannya.”
Dina membalas dengan cepat, kali ini lebih panjang daripada biasanya.
“Kadang aku berpikir, apakah kita bisa kembali ke masa itu? Masa di mana kita cuma dua anak kecil yang nggak peduli tentang dunia luar. Kita cuma peduli tentang hari itu, tentang main sepeda, tentang ngumpet di semak-semak, tentang hal-hal kecil yang bikin kita tertawa. Aku rindu masa itu, Ardi. Tapi aku juga takut, karena aku nggak tahu apakah kita bisa kembali ke sana.”
Membaca pesan itu, Ardi merasa ada sesuatu yang berat menekan dadanya. Dina benar—mereka tidak bisa kembali ke masa itu. Waktu telah bergerak, dan mereka telah berubah. Namun, satu hal yang tetap ada adalah ikatan yang mereka miliki, meski terpisah oleh waktu dan jarak.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Ardi merasa semakin banyak yang harus dia renungkan. Hubungannya dengan Dina terasa semakin dalam, namun semakin juga terasa banyak hal yang tak terungkapkan. Mereka berdua seperti dua orang yang sangat dekat, tetapi juga ada batasan yang tidak bisa dilewati. Mereka berbicara tentang masa lalu, tentang kenangan, tetapi ada rasa takut yang sama—takut kehilangan satu sama lain, takut perubahan itu terlalu besar untuk dihadapi.
Suatu malam, setelah percakapan yang penuh dengan candaan dan cerita-cerita kecil, Ardi kembali menulis pesan untuk Dina.
“Kadang aku mikir, kita ini udah nggak sama seperti dulu, ya. Kita udah lebih dewasa, lebih banyak tahu tentang dunia luar, tentang hidup yang lebih keras. Tapi kenangan masa kecil kita tetap hidup, kayak ada bagian dari kita yang nggak pernah berubah. Aku suka banget ngobrol sama kamu, tapi aku juga nggak bisa berhenti mikir, apa kita bisa kembali ke tempat itu, tempat yang penuh dengan kebahagiaan dan tanpa beban.”
Dina membalas dengan pesan yang sederhana, namun penuh makna.
“Ardi, aku rasa kita nggak bisa kembali ke sana. Kita nggak bisa kembali ke masa itu. Tapi kita bisa menciptakan kenangan baru. Kita bisa mulai dari sekarang, dari sini. Mungkin itu yang terbaik.”
Mendengar kalimat itu dari Dina, Ardi merasa ada kelegaan. Dina benar—mereka tidak bisa kembali ke masa lalu, tetapi mereka bisa menciptakan kenangan baru. Meski banyak hal yang berubah, satu hal yang tetap adalah rasa saling mengerti dan mendukung. Itu adalah dasar yang kuat bagi hubungan mereka sekarang.
Setelah berbulan-bulan saling bertukar pesan, Ardi dan Dina akhirnya memutuskan untuk berbicara lebih serius tentang masa depan mereka. Meskipun mereka masih terpisah oleh jarak, hubungan mereka telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Mereka mulai membicarakan kemungkinan untuk bertemu—meskipun itu tampak seperti impian yang sangat jauh.
Suatu malam, saat mereka berbicara melalui video call, Ardi melihat Dina dengan jelas—senyumannya, matanya yang berbinar, dan cara dia tertawa yang membuatnya merasa seperti kembali ke masa kecil. Ardi merasa seolah-olah dunia mereka tiba-tiba menjadi lebih dekat, lebih nyata.
“Dina,” kata Ardi, setelah beberapa saat terdiam. “Aku nggak tahu bagaimana caranya, tapi aku ingin kita bertemu. Aku ingin melihatmu lagi, berbicara langsung, nggak hanya lewat layar ini. Aku nggak bisa terus begini, cuma saling kirim pesan. Aku ingin lebih.”
Dina terdiam beberapa detik, seakan mencerna kata-kata Ardi. Akhirnya, dia tersenyum, meskipun ada sedikit keraguan di matanya.
“Ardi, aku juga ingin bertemu. Tapi kita tahu kan, itu nggak gampang. Aku nggak bisa janji kapan, tapi… aku janji, aku akan berusaha untuk itu.”
Mendengar kata-kata itu, Ardi merasa hatinya penuh dengan harapan. Mereka mungkin terpisah oleh jarak, tetapi mereka memiliki kenangan bersama yang tidak bisa diambil oleh siapa pun. Kenangan itu akan selalu mengikat mereka, bahkan saat mereka tak lagi bisa berkomunikasi seperti dulu.
Saat Ardi menatap layar ponselnya, ia merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan—sesuatu yang membuat hatinya terasa penuh. Pesan dari Dina tadi malam masih terngiang dalam ingatannya:
“Ingat nggak waktu kita pernah duduk di bangku taman itu? Rasanya seperti kemarin, padahal sudah bertahun-tahun berlalu.”
Kenangan itu seolah membawa Ardi kembali ke masa lalu, saat mereka masih anak-anak yang belum terbebani oleh apa pun. Taman itu—tempat yang menjadi saksi bisu persahabatan mereka—memiliki arti yang lebih dalam dari sekadar ruang hijau. Bagi Ardi, itu adalah tempat di mana segala keraguan dan kecemasan hilang, tempat di mana mereka berdua bisa menjadi diri mereka sendiri.
“Kenangan itu memang nggak pernah benar-benar hilang, ya?” Ardi berbicara pada dirinya sendiri sambil memandangi layar ponselnya yang kini kosong. Dina, meskipun jauh di sana, masih memiliki pengaruh yang kuat dalam hidupnya, bahkan setelah bertahun-tahun mereka tidak berhubungan.
Ardi mengingat kembali saat-saat kecil di taman itu. Dina dengan rambut panjang yang selalu terurai, tertawa lepas setiap kali mereka bermain sepeda bersama. Suasana di taman itu tak pernah berubah: selalu ada angin sepoi-sepoi yang menggoyangkan daun-daun pohon, selalu ada bunga warna-warni yang tumbuh di pinggir jalan setapak. Dan yang paling ia ingat adalah tawa Dina—suatu suara yang kini terasa jauh, tetapi selalu hidup dalam ingatannya.
Semakin lama, perasaan Ardi semakin kuat. Ia merasa bahwa Dina adalah bagian dari dirinya, dan bahwa kenangan mereka bukanlah sekadar kenangan masa kecil yang harus dilupakan. Sebaliknya, kenangan itu adalah pengingat dari apa yang seharusnya mereka miliki. Entah kenapa, meskipun terpisah jauh, perasaan ini tetap kuat. Bahkan semakin kuat.
Sementara itu, Dina juga merasakan hal yang sama. Di tempat yang jauh dari kota tempat Ardi tinggal, ia duduk di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit malam. Malam itu sepi, hanya terdengar suara angin yang berdesir dan suara kendaraan yang sesekali lewat di jalan raya. Dina memikirkan Ardi, teman masa kecilnya yang dulu sangat dekat dengannya. Sekarang, setelah sekian lama mereka saling berkomunikasi kembali, ada perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya—perasaan yang sudah ia lupakan sejak lama.
“Kenapa rasanya seperti ini?” Dina bergumam pada dirinya sendiri. “Kenapa kenangan itu kembali muncul begitu saja? Apa aku benar-benar rindu pada Ardi, atau hanya rindu masa kecil yang sederhana dan tanpa beban?”
Dina menyandarkan punggungnya pada kursi balkon, mencoba untuk memikirkan semua yang telah terjadi. Setelah bertahun-tahun hidup dengan rutinitas yang kaku dan kesibukan yang tak ada habisnya, tiba-tiba Ardi kembali muncul dalam hidupnya. Mungkin Ardi tidak tahu, tapi bagi Dina, kehadiran Ardi dalam hidupnya—meskipun hanya lewat pesan-pesan singkat—telah mengubah banyak hal.
Kata-kata Ardi yang selalu menenangkan, caranya yang bisa membuatnya tertawa meski di tengah kesedihan, serta kenangan-kenangan indah tentang masa kecil mereka, membuat Dina merasa bahwa ada sesuatu yang lebih. Namun, ketakutan kembali menghantui dirinya. Ketakutan akan perasaan yang belum tentu bisa diterima. Ketakutan akan masa depan yang tidak pasti.
“Apa aku benar-benar siap untuk ini?” Dina bertanya pada dirinya sendiri, meski tahu bahwa jawabannya belum tentu jelas.
Beberapa hari setelah itu, Dina mengirimkan pesan panjang kepada Ardi. Ketika Ardi membaca pesan itu, ia bisa merasakan ketegangan yang mengalir melalui setiap kata yang ditulis Dina. Dina mengungkapkan bahwa perasaan yang ia miliki bukan hanya sekadar nostalgia masa kecil—ini lebih dari itu. Ada rasa rindu yang mendalam terhadap seseorang yang dulu sangat ia percayai, dan kini kembali hadir dalam hidupnya.
“Ardi, aku merasa takut. Setelah bertahun-tahun kita tidak berkomunikasi, kenapa perasaan ini bisa datang begitu saja? Apa kita bisa benar-benar kembali ke masa itu? Aku takut, kalau kita mencoba untuk lebih dekat, kita akan terluka lagi. Aku takut kita tidak bisa kembali ke sana.”
Membaca pesan itu, Ardi terdiam sejenak. Dia tahu betul apa yang dimaksud oleh Dina. Rasa takut akan kehilangan, rasa takut akan kembali terluka, itu adalah hal yang wajar. Tapi Ardi merasa bahwa perasaan yang mereka alami tidak bisa diabaikan begitu saja. Setiap pesan, setiap percakapan mereka, semakin memperkuat perasaan yang tidak bisa dia hindari.
Ardi membalas pesan itu dengan hati-hati, berusaha untuk menenangkan ketakutan yang juga ada di hatinya.
“Dina, aku juga merasa takut. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku rasa kita tidak bisa menghindari perasaan ini begitu saja. Apa pun yang terjadi, aku hanya ingin kita coba, karena aku percaya kenangan kita dulu lebih dari sekadar masa lalu. Aku ingin kita coba membangun sesuatu yang baru, meski kita tahu itu tidak mudah.”
Setelah beberapa menit, Dina membalas. Kali ini, balasannya terasa lebih ringan.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Ardi, tapi aku ingin mencoba juga. Aku tidak ingin hidup dalam ketakutan akan masa lalu. Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan tahu apa yang bisa kita capai. Aku siap untuk itu.”
Pesan itu membuat Ardi merasa lega. Meski belum ada kepastian, mereka berdua sepakat untuk mencoba melangkah maju bersama, meski banyak ketidakpastian yang akan menghadang.
Beberapa minggu berlalu sejak perbincangan itu, dan hubungan mereka semakin berkembang. Ardi dan Dina mulai lebih sering berkomunikasi, tidak hanya melalui pesan teks, tetapi juga melalui video call yang kini menjadi cara mereka untuk merasa lebih dekat. Meski terbatas oleh jarak, mereka mulai menemukan kenyamanan dalam kehadiran satu sama lain—sebuah kenyamanan yang perlahan mengikis ketakutan mereka.
Suatu malam, setelah selesai berbicara tentang pekerjaan dan impian mereka, Dina kembali mengingatkan Ardi tentang kenangan masa lalu yang tak terlupakan. Kali ini, mereka berbicara tentang saat-saat kecil yang pernah mereka lewati bersama.
“Ingat nggak waktu kita sempat membuat waktu ‘teman rahasia’? Kita cuma nulis surat-surat kecil buat satu sama lain, dan saling menaruhnya di dalam kotak kayu yang kita sembunyikan di bawah pohon besar itu?” tulis Dina dalam pesan singkat.
Ardi tertawa kecil membaca pesan itu. Ingatan itu datang begitu jelas di benaknya—kenangan saat mereka berdua memutuskan untuk membuat sebuah tradisi, hanya untuk mereka berdua, tanpa ada yang tahu. Setiap surat yang mereka tulis penuh dengan kata-kata sederhana, cerita tentang apa yang mereka lakukan, dan harapan-harapan kecil yang ingin mereka capai. Itu adalah cara mereka untuk saling berbagi perasaan tanpa kata-kata langsung.
Ardi membalas dengan penuh kasih sayang, “Aku ingat banget. Kita begitu yakin kalau kotak itu akan jadi rahasia kita selamanya. Kita nggak pernah cerita ke siapa-siapa tentang itu. Kalau bisa, aku pengen banget bisa balik ke saat itu, ke waktu kita merasa dunia kita cuma berdua.”
Dina membalas dengan lebih lembut, “Aku juga rindu masa itu, Ardi. Rasanya semuanya lebih mudah, lebih sederhana. Tapi… aku juga sadar, kita nggak bisa kembali ke sana. Kita sudah berubah. Kita lebih dewasa sekarang, lebih tahu banyak hal. Aku harap, hubungan kita yang baru ini bisa lebih berarti.”
Ardi mengangguk, meskipun Dina tidak bisa melihatnya. Ia merasakan apa yang Dina rasakan. Mereka sudah berubah, tetapi kenangan yang mereka bagi bersama akan selalu menjadi bagian dari mereka—sesuatu yang tak akan pernah bisa dihapus.
Setelah berbulan-bulan berkomunikasi jarak jauh, baik Ardi maupun Dina merasakan semakin besar keinginan untuk bertemu. Namun, kendala jarak dan waktu selalu menjadi penghalang. Dina yang sibuk dengan pekerjaan barunya di luar negeri, sementara Ardi yang terikat dengan studinya di kampus, keduanya merasa terjebak dalam rutinitas masing-masing.
Namun, meskipun terpisah jauh, mereka mulai merencanakan pertemuan yang mereka impikan sejak lama. Dalam hati masing-masing, mereka tahu bahwa pertemuan itu adalah langkah penting dalam membangun hubungan mereka yang telah lama tertunda.
“Dina,” tulis Ardi suatu malam, “Kita pasti bisa bertemu suatu hari nanti. Aku percaya itu. Entah bagaimana caranya, kita akan melakukannya.”
Dina membalas dengan cepat. “Aku juga berharap begitu, Ardi. Aku ingin melihatmu lagi, merasakan kehadiranmu di sini.”
BAB 3: Cinta di Tengah Jarak
Komunikasi mereka semakin intens. Ardi dan Dina mulai berbicara lebih sering, bahkan berbagi kehidupan pribadi, kecemasan, dan harapan masa depan mereka. Mereka mulai merasakan adanya perasaan lebih dalam dari sekadar persahabatan.: Terpaut antara kebahagiaan berbicara setiap hari dan ketakutan akan kenyataan bahwa mereka tidak bisa saling mendekat fisik. Rasa rindu semakin besar.
Membangun hubungan emosional yang kuat meskipun terpisah jarak.
Hari itu, Ardi merasa ada sesuatu yang berbeda. Sejak pagi, ia merasa gelisah. Beberapa hari ini, percakapan dengan Dina semakin intens, dan semakin dalam perasaan yang ia rasakan. Meskipun mereka tidak bertemu langsung, setiap kali berbicara, Ardi merasa seolah-olah mereka semakin dekat. Tetapi ada ketegangan di antara keduanya—sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Pagi itu, Ardi memutuskan untuk mengirim pesan kepada Dina. Seperti biasa, mereka berkomunikasi melalui pesan singkat atau video call setelah jam kerja. Namun, ada perasaan yang lebih kuat di hati Ardi kali ini. Dia ingin lebih.
“Dina, kamu merasa seperti apa? Aku nggak bisa berhenti mikir soal kita. Aku tahu kita udah jauh, tapi rasanya kita semakin dekat. Tapi kadang aku takut, apakah perasaan ini cuma sementara?” tulis Ardi dengan sedikit keraguan. Setiap kali dia mengirimkan pesan seperti ini, ada perasaan cemas yang mengiringinya. Apa Dina merasa hal yang sama? Atau apakah dia hanya berusaha menjaga perasaan?
Beberapa menit kemudian, balasan Dina datang. Dengan cepat, Ardi membuka pesan tersebut dan membacanya:
“Aku juga merasa begitu, Ardi. Setiap kali kita berbicara, aku merasa semakin dekat dengan kamu. Tapi di sisi lain, aku merasa ragu, takut kalau ini cuma ilusi. Kita terpisah jauh. Bagaimana bisa hubungan ini bertahan?”
Ardi menarik napas dalam-dalam. Kata-kata Dina selalu menyentuh hatinya dengan cara yang tidak bisa dia jelaskan. Dina selalu terbuka tentang perasaannya, tetapi kali ini, ada keraguan yang lebih besar dari sebelumnya. Apakah mereka bisa terus melanjutkan ini? Apa mereka bisa bertahan di tengah jarak yang memisahkan?
Mereka telah menghabiskan berbulan-bulan berbicara setiap hari, berbagi cerita, berbagi tawa, bahkan berbagi impian. Namun tetap saja, ada perasaan kekosongan yang datang ketika mereka sadar bahwa mereka tidak bisa merasakan kehadiran fisik satu sama lain. Ardi bisa merasakan perubahan dalam dirinya—perasaan itu semakin dalam dan semakin sulit untuk disangkal.
“Apakah cinta bisa berkembang hanya melalui kata-kata?” Ardi bertanya-tanya. “Apakah ini benar-benar cinta, atau hanya perasaan rindu yang muncul karena kita terlalu lama terpisah?”
Hari demi hari berlalu, dan perasaan rindu itu semakin kuat. Ardi merasa bahwa meskipun mereka berkomunikasi hampir setiap saat, tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran fisik Dina. Rasanya aneh, seperti ada sesuatu yang hilang dari setiap obrolan mereka, meskipun kata-kata mereka tetap penuh kehangatan dan perhatian.
Suatu malam, setelah mereka selesai berbicara melalui video call, Ardi merenung sejenak. Dina berada di ujung lain dunia, dan meskipun mereka berdua ingin bertemu, kenyataan itu belum bisa terwujud. Terlalu banyak hal yang menghalangi—jarak, waktu, dan kehidupan mereka yang masing-masing sudah sangat sibuk. Tapi ada sesuatu dalam hatinya yang merasa bahwa hubungan ini bisa bertahan jika mereka berdua benar-benar berjuang untuk itu.
Dina tampak lebih emosional beberapa hari ini. Ardi bisa melihatnya melalui video call. Mata Dina terlihat lebih lelah, senyumnya tidak secerah dulu, dan ada kecemasan yang terlihat di wajahnya. Ardi merasa bahwa hubungan mereka sekarang semakin serius. Ini bukan hanya tentang berbagi kenangan masa kecil lagi. Ini tentang perasaan yang lebih dalam, tentang harapan yang belum terwujud. Dan semakin sering mereka berbicara, semakin jelas bahwa mereka berdua ingin lebih, meskipun ada jarak yang menghalangi.
Pada malam itu, setelah mereka mengakhiri percakapan, Ardi memutuskan untuk menulis sebuah surat panjang kepada Dina. Surat yang tidak hanya berisi kata-kata manis, tetapi juga perasaan yang ia pendam selama ini.
“Dina,” tulis Ardi, “Aku nggak tahu apakah aku bisa menjelaskan ini dengan kata-kata yang tepat. Aku cuma tahu, semakin lama kita berbicara, semakin aku merasa dekat denganmu. Tapi di sisi lain, aku juga merasa takut. Takut kalau aku berharap terlalu banyak. Takut kalau kita tidak bisa bertahan. Kamu jauh di sana, dan aku di sini. Apa kita bisa terus seperti ini?”
Ardi menulis lebih lanjut, berusaha mengungkapkan perasaannya tanpa terlalu banyak kebimbangan. Ia menulis tentang bagaimana ia merindukan suara Dina, bagaimana ia ingin merasakan kehadiran fisiknya, tetapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa mereka harus menghadapi kenyataan ini. Mereka terpisah jauh, dan meskipun cinta mereka semakin berkembang, ada begitu banyak tantangan yang harus dihadapi.
Beberapa hari setelah Ardi mengirimkan surat itu, Dina membalasnya. Dalam balasannya, Dina mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan—ketakutan yang sama. Ketakutan akan masa depan, ketakutan kalau hubungan mereka tidak bisa bertahan di tengah jarak yang memisahkan mereka.
“Ardi,” balas Dina, “Aku merasa seperti kamu. Aku juga takut. Tapi, aku nggak tahu kenapa, aku merasa ada sesuatu yang lebih kuat dari rasa takut itu. Aku merasa kita bisa bertahan, jika kita sama-sama berusaha. Aku merasa semakin dekat denganmu, walaupun kita cuma ngobrol lewat pesan atau video call. Ini aneh, tapi aku rasa ini lebih dari sekadar hubungan jarak jauh.”
Dina juga mengungkapkan bahwa meskipun mereka jauh, perasaan yang ia miliki untuk Ardi tidak pernah hilang. Bahkan, perasaan itu semakin kuat seiring waktu. Namun, rasa takut akan jarak dan ketidakpastian masa depan membuatnya ragu. Seperti Ardi, Dina juga merasa ada bagian dari dirinya yang menginginkan lebih, namun ia takut akan kegagalan.
Setelah membaca balasan dari Dina, Ardi merasa sedikit lega. Meskipun ada ketakutan yang sama, mereka setidaknya sepakat bahwa perasaan mereka lebih dari sekadar hubungan yang terbentuk karena kebetulan atau rasa nostalgia masa lalu. Ini adalah perasaan yang tumbuh dan berkembang, meskipun ada ketidakpastian yang mengiringinya.
Akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk terus melanjutkan hubungan ini, mencoba menjalani cinta mereka meskipun terpisah jarak yang jauh. Mereka sepakat untuk tetap berusaha menjaga komunikasi, berbicara tentang perasaan mereka, dan merencanakan masa depan. Tetapi, ada satu hal yang masih menghantui mereka—bagaimana mereka bisa bertemu di dunia nyata? Bagaimana mereka bisa mengurangi jarak yang begitu besar di antara mereka?
Minggu-minggu berikutnya dipenuhi dengan percakapan yang lebih dalam, dengan lebih banyak berbagi perasaan dan harapan. Ardi dan Dina saling mendukung satu sama lain meskipun mereka terpisah oleh lautan dan benua. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang pekerjaan mereka, tentang apa yang mereka impikan di masa depan, dan tentang rencana mereka untuk bertemu. Meskipun keduanya tahu bahwa bertemu tidak akan mudah, mereka merasa bahwa itu adalah langkah penting dalam hubungan mereka.
“Ardi, aku ingin sekali bisa bertemu denganmu. Aku ingin merasakan kehadiranmu. Tapi, aku nggak tahu kapan itu bisa terjadi. Kita harus sabar, kan?” tulis Dina pada suatu malam.
Ardi membalas, “Aku juga ingin bertemu, Dina. Mungkin itu belum bisa sekarang, tapi aku yakin kita akan punya kesempatan itu. Kita harus percaya bahwa waktu akan membawa kita ke sana.”
Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka semakin dekat secara emosional, ada kenyataan yang harus mereka hadapi—jarak yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Namun, perasaan mereka tetap kuat, dan keduanya tahu bahwa ini adalah ujian untuk hubungan mereka. Mereka tidak akan menyerah begitu saja, meskipun pertemuan itu terasa jauh sekali.
Hari itu, Ardi merasa gelisah. Sudah hampir dua minggu sejak ia dan Dina melakukan video call terakhir, dan rasa rindu yang tak tertahankan membuatnya terjaga larut malam. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan hanya dengan kata-kata. Ia menyadari bahwa meskipun mereka terus berbicara melalui pesan dan telepon, perasaan itu—perasaan yang sudah lama tumbuh di dalam dirinya—akhirnya mulai muncul dengan lebih kuat.
Ardi duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang kosong. Pikirannya melayang jauh ke Dina, gadis yang dulu selalu dekat dengannya, yang kini begitu jauh, tak bisa dijangkau hanya dengan tangan. Ardi menarik napas panjang. Sejak mereka mulai berbicara kembali setelah bertahun-tahun terpisah, rasanya seperti mereka kembali menghidupkan kenangan masa kecil mereka. Namun semakin lama ia berbicara dengannya, semakin jelas bahwa perasaan mereka bukan lagi sekadar kenangan, melainkan sesuatu yang lebih besar.
Malam itu, Ardi memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Dina, sesuatu yang selama ini ingin ia katakan tapi selalu ragu untuk mengungkapkannya. Ia menulis dengan hati-hati, menyusun kata-kata dengan penuh pertimbangan.
“Dina, aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi semakin lama kita berbicara, aku merasa semakin dekat denganmu. Aku merasa seperti kita bukan hanya berbicara tentang masa lalu kita, tetapi juga tentang masa depan. Aku merasa ini lebih dari sekadar hubungan jarak jauh. Aku nggak tahu kenapa, tapi perasaan ini semakin kuat.”
Setelah beberapa menit, Dina membalas. Ardi menunggu dengan cemas, membaca setiap kata yang tertulis dengan cepat.
“Aku juga merasakannya, Ardi. Rasanya aneh, kan? Kita sudah lama terpisah, tapi seolah-olah kita nggak pernah jauh. Tapi, kadang aku ragu. Kita berdua di tempat yang sangat jauh. Bisa nggak ya, hubungan kita bertahan? Apa yang akan terjadi ketika kita akhirnya bertemu? Apakah ini hanya sebuah ilusi?”
Ardi merasa hatinya sedikit terhenyak membaca balasan itu. Dina, seperti dirinya, merasakan ketegangan yang sama. Meskipun mereka semakin dekat, tetap ada keraguan yang membayangi hubungan mereka. Jarak antara mereka bagaikan tembok besar yang tak mudah untuk dihancurkan. Mereka berdua berada dalam dua dunia yang berbeda—satu di luar negeri, satu lagi di Indonesia. Apa yang bisa mereka lakukan dengan jarak yang begitu besar?
Namun, Ardi tahu satu hal—ia tidak ingin menyerah pada perasaan ini. Tidak setelah semuanya yang telah mereka lewati. Ardi memutuskan untuk memberikan jawaban yang jujur dan mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
“Dina, aku nggak tahu apakah kita bisa mengubah kenyataan itu. Tapi aku percaya satu hal—jika kita terus berjuang, kita pasti bisa menemukan jalan untuk bersama. Aku tahu ini nggak mudah, dan kita harus sabar. Tapi aku nggak ingin hanya sekadar bertahan, aku ingin kita bisa punya masa depan yang lebih.”
Pesan itu membuat Dina terdiam sejenak. Beberapa menit berlalu, lalu ia membalas.
“Aku juga ingin itu, Ardi. Aku ingin kita mencoba, walaupun ada banyak ketakutan di dalam hati. Tapi aku takut, kita cuma berjuang dengan bayangan—bayangan tentang kita yang lebih baik. Aku takut ini tidak nyata.”
Ardi membaca balasan itu, dan kali ini, ia merasa bahwa mereka benar-benar berada dalam titik yang sama. Ketakutan mereka tidak berbeda. Mereka sama-sama takut bahwa perasaan yang mereka bangun ini mungkin hanya sebuah ilusi yang akan runtuh ketika mereka bertemu langsung.
Namun, meskipun ada ketakutan itu, ada sesuatu yang lebih kuat—keinginan untuk bersama. Keduanya menyadari bahwa hubungan mereka tidak bisa hanya dibangun dengan kata-kata dan komunikasi jarak jauh. Mereka perlu bertemu, melihat satu sama lain, dan merasakan kehadiran fisik untuk benar-benar tahu apakah cinta ini bisa bertahan.
Hari-hari setelah percakapan itu terasa lebih berat bagi Dina. Ia mulai merasa lebih tertekan dengan kenyataan bahwa meskipun Ardi ada dalam hidupnya, mereka masih terhalang oleh jarak yang besar. Dina merindukan saat-saat sederhana, saat mereka duduk bersama dan berbicara tanpa harus berpikir tentang waktu dan jarak. Ia merindukan tawa Ardi yang selalu bisa membuatnya merasa nyaman, sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh pesan teks atau telepon.
Terkadang, Dina merasa cemas. Apa yang terjadi jika mereka bertemu nanti? Apa yang terjadi jika ternyata perasaan mereka tidak sekuat yang mereka kira? Mereka sudah terlalu lama terpisah, terlalu banyak yang berubah dalam hidup mereka. Dina tahu bahwa perasaan yang mereka rasakan kini bisa saja berbeda dari perasaan yang mereka miliki dahulu, dan itu membuatnya merasa ragu.
Namun, meskipun ada kecemasan, Dina tidak bisa mengabaikan perasaan yang semakin tumbuh di dalam hatinya. Perasaan itu lebih dari sekadar kenangan masa kecil atau persahabatan yang pernah terjalin. Ini adalah perasaan yang lebih kuat, perasaan yang ingin ia pertahankan meskipun terpisah jauh.
Satu malam, saat ia duduk di balkon apartemennya, Dina akhirnya memutuskan untuk menulis sebuah surat. Surat itu ditujukan untuk Ardi, berisi semua perasaan yang selama ini ia pendam. Dina ingin memberi tahu Ardi bahwa meskipun ia merasa ragu, ia tetap ingin mencoba. Ia ingin berjuang bersama Ardi untuk hubungan ini, meskipun ada banyak ketidakpastian.
“Ardi,” tulis Dina, “Aku tahu aku sering ragu tentang ini. Tentang kita. Tapi aku nggak bisa terus seperti ini, hidup dalam ketakutan. Aku ingin berusaha, walaupun kadang aku merasa terjebak antara harapan dan kenyataan. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ingin mencoba. Aku ingin kita bertemu, dan mencari tahu apakah kita bisa melangkah lebih jauh bersama.”
Setelah menulis surat itu, Dina merasa lega. Meskipun ketakutan masih ada, ia merasa lebih tenang karena akhirnya mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya. Dina tahu, Ardi akan mengerti—bahwa meskipun mereka berdua takut, mereka bisa saling mendukung untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Ardi menerima surat dari Dina dengan penuh perasaan. Setelah membaca setiap kata dengan seksama, ia merasa ada kelegaan yang luar biasa. Dina, seperti dirinya, ingin berjuang untuk hubungan ini. Mereka sama-sama ingin mencoba meskipun ada banyak ketidakpastian. Mereka ingin bertemu, meskipun terhalang oleh jarak dan waktu.
Dalam balasan surat itu, Ardi menulis dengan penuh ketulusan.
“Dina, aku juga ingin kita bertemu. Aku tahu itu tidak mudah, tapi aku percaya kita bisa melakukannya. Kita sudah lama terpisah, dan aku merasa kita sudah terlalu banyak berbicara tentang masa lalu. Saatnya untuk menghadapi kenyataan, dan aku ingin kita menjalani itu bersama. Kita akan menemukan cara, aku yakin.”
Percakapan mereka semakin dalam dan lebih terbuka setelah itu. Meskipun jarak masih memisahkan mereka, mereka merasa lebih kuat. Rencana untuk bertemu, meskipun masih jauh dari kenyataan, memberikan harapan baru bagi keduanya.
Mereka mulai merencanakan pertemuan itu—mencari waktu yang tepat, memikirkan cara agar bisa melakukannya. Dina, yang bekerja di luar negeri, harus mencari cara untuk bisa pulang, sementara Ardi juga harus menyelesaikan beberapa komitmennya. Mereka tahu bahwa pertemuan itu tidak akan mudah, dan mereka harus berjuang untuk itu. Tetapi yang terpenting, mereka tahu bahwa perasaan yang mereka miliki kini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan jarak jauh. Itu adalah sesuatu yang mereka ingin perjuangkan, meskipun banyak tantangan yang menghadang.
BAB 4: Peningkatan Ketegangan
Meski hubungan mereka semakin dekat, muncul pertanyaan-pertanyaan besar. Dina merasa cemas apakah hubungan ini bisa bertahan lama, sedangkan Ardi mulai merasa frustasi dengan keterbatasan komunikasi jarak jauh. Ketidakpastian dan ketakutan mereka akan perasaan yang mungkin hilang seiring berjalannya waktu mulai menguasai mereka.
Ketegangan emosional yang tinggi. Perasaan rindu yang mendalam bercampur dengan kecemasan dan keraguan. Mereka masing-masing mencoba mencari cara untuk mengatasi perasaan ini.
Setelah beberapa bulan berkomunikasi, mereka memutuskan untuk bertemu secara langsung. Meskipun ada banyak kendala—biaya, waktu, dan tempat—mereka berdua berusaha mencari cara untuk mewujudkan pertemuan itu.
Kegembiraan yang luar biasa untuk bertemu, namun juga kekhawatiran akan bagaimana pertemuan tersebut akan berjalan. Mereka takut jika harapan mereka terlalu tinggi.
Membuka peluang untuk pertemuan fisik yang akan menguji kekuatan hubungan mereka.
Akhirnya, mereka bertemu di sebuah tempat yang spesial, seperti kota yang mereka impikan atau tempat yang penuh kenangan. Pertemuan ini berlangsung penuh emosi. Ada kebahagiaan, kecanggungan, dan rasa takut tentang bagaimana semuanya akan berjalan.
Kebahagiaan yang murni dan kegugupan bertemu setelah lama hanya berbicara melalui layar. Mereka mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa perasaan mereka nyata, dan pertemuan itu adalah langkah besar bagi hubungan mereka.
Memperlihatkan bahwa hubungan mereka bisa berkembang lebih dalam setelah bertemu, namun juga menonjolkan ketegangan yang muncul karena jarak fisik yang kembali memisahkan mereka.
BAB 7: Ujian Setelah Pertemuan
Setelah pertemuan, keduanya kembali terpisah oleh jarak. Kali ini, tantangan menjadi lebih besar. Mereka harus menghadapi perasaan yang lebih dalam, tetapi juga rintangan-rintangan baru yang menguji komitmen mereka, seperti kesibukan pekerjaan, perbedaan waktu, dan kebingungan tentang masa depan.
Perasaan takut kehilangan kembali muncul, namun juga ada keinginan kuat untuk bertahan bersama. Mereka mulai bertanya-tanya apakah mereka bisa membuat hubungan ini berhasil dalam jangka panjang.
Menyajikan ujian terakhir bagi hubungan mereka, di mana keduanya harus memutuskan apakah mereka siap melangkah ke jenjang yang lebih serius meski ada jarak.